You are on page 1of 5

1

TRADISI LISAN
DALAM BENTURAN KEBERTERIMAAN DAN HARAPAN
(Polemik Kelisanan Sastra dan Tradisi di Sulawesi Tenggara)
Oleh: Lilik Rita Lindayani, Ahmad Marhadi dan Wa Ode Sitti Hafsah
Dosen pada Fakutas Ilmu Budaya UHO, Kendari Sultra 93232
E-mail: lilik.rita@yahoo.com

Abstract
Tradition is a word which is very familiar to be heard and found in all fields.
Etymologically, tradition is a word referring to the custom, habit or the rules that
the society do from generation to generation. In other words, tradition is the
synonym of the word culture that the both are the product of work. Tradition is the
work product of society, and so is culture. Oral tradition is the shape of
interpretation of past experience and future investment of a big nation.
The problem in this research was how is oral tradition in South-East
Sulawesi in the clash of acceptability of its society? This research aimed to
describe oral tradition in South-East Sulawesi in the clash of acceptability of its
society. The threats that were faced by the researchers of oral tradition were: 1)
when the data or resources of data related to oral tradition would lose; 2) the singer
or teller of tradition and performer of tradition would pass away.
Oral tradition was valuable and interesting if organized well without
elaborating its essence with polemic. Oral tradition remained to be the possession of
societal group with all variants. The variants might not be marginalized because
there was ethnical existence as the owner of tradition in it.
Key Word: Oral Tradition, South-east Sulawesi, Polemic

A. Pendahuluan
Lisan dan kelisanan adalah including words , katalisan berarti berkenaan
dengan kata-kata. Sedangkan, kata kelisanan berdasarkan struktur morfologi dalam
aktifitas linguistik, afiks ke-an yang melekat pada kata lisan secara gramatikal
bermakna membuat jadi. Terlepas dari makna leksikalnya, maka ada keinginan
ketika kata-kata yang diucapkan akan menjadi sebuah konsep yang real setelah
diingat, terhapal, terbeber, hingga terlaksana.
Sementara kata tradisi, tradisi adalah sebuah kata yang sangat akrab
terdengar dan terdapat di segala bidang. Tradisi menurut etimologi adalah kata
yang mengacu pada adat atau kebiasaan yang turun temurun, atau peraturan
yang dijalankan masyarakat. Secara langsung, bila adat atau tradisi
disandingkan dengan stuktur masyarakat melahirkan makna kata kolot, kuno,
murni tanpa pengaruh, atau sesuatu yang dipenuhi dengan sifat takliq (lihat
KBBI).

Tradisi merupakan sinonim dari kata budaya yang keduanya


merupakan hasil karya. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitupun
dengan budaya. Keduanya saling mempengaruhi. Kedua kata ini merupakan
personifikasi dari sebuah makna hukum tidak tertulis, dan hukum tak tertulis
ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar.
(sumber: http://dewasastra.wordpress.com/2012/04/04/tradisi-bahasa-dan-istilah/)
Gabungan dua kata tradisi dan lisan frasa eksosentris tradisi lisan, sebuah
frasa di mana komponennya bergabung tetapi tidak mempunyai unsur pusat, kedua
kata itu tersebut sama-sama memiliki kekuatan sehingga tidak ada perwujudan
satelit frasa di dalamnya. Tidak teridentifikasi mana kata pengiring. Apakah tradisi
mengiringi kata lisan ataukah kata lisan yang menjadi pengiring kata tradisi?
Dengan kata lain lisan menjadi kuat ketika melekat dalam tradisi. Dan, tradisi terisi
oleh kekuatan kelisanan yang turun temurun, terkesan kaku, dan membudaya.
Pada era kekinian konsep tradisi lisan mulai di ekspos seperti kekuatan
katanya dalam bentuk frasanya. Secara fenomenal tradisi lisan Indonesia sering
menjadi warisan yang diperebutkan. Dan sepertinya kita orang Indonesia selalu
berdarah dalam perdebatan. Bukan kita tidak pintar memperebutkan sesuatu, tetapi
kita sedikit kurang lincah untuk menarik. Jika sudah berebut, bangsa lain rela
kehilangan toleransi demi sebuah kekuatan budaya dan komersialitas, karena mereka
sadar bahwa itulah akar kekuatan mereka, sekalipun akar mereka harus mengait akar
pohon yang lain. Akar yang membuat sebatang pohon memperoleh nutrisi makanan
sehingga batangnya semakin kuat dan kokoh. Kenyataan itu pulalah yang menjadi
fenomena pertentangan sedarah kita dengan Malaysia, fenomena itu seharusnya
tidak terjadi, jika judul dan syair lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut turut jadi
renungan. Dari judul lagu itu kita sudah jujur mengakui, bahwa kita ini keturunan
pelaut yang memiliki nenek moyang dengan besar kemungkinan terdampar di mana
saja, sehingga bisa melahirkan keturunan yang sama dalam kultur dan tradisi. Satu
contoh, pada kesenian Reog Ponorogo dan Barongan yang kemarin sempat menjadi
perdebatan klaim. Sepintas keduanya mirip namun secara filosopis ternyata
berbeda. Dilihat dari filosofinya, Barongan Malaysia cenderung bernuansa
keagamaan (ritual Islami) sementara filosofi Reog adalah keberanian dan ketabahan.
Dengan demikian, tema bisa saja sama, namun wujud dari tradisi itulah yang kadang
menampilkan perbedaan.
B. Wujud Interpretasi Kelisanan Sastra dan Tradisi
Tradisi lisan adalah wujud interpretasi pengalaman masa lalu dan investasi
masa depan sebuah bangsa yang besar. Ada banyak propinsi di negara ini dan salah
satunya adalah propinsi Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Tenggara kini sudah ada
tiga jenis tradisi lisan yang tercatat sebagai warisan nasional, yakni Kabhanti
Wakatobi, Tarian Lariangi, dan Kantola. Dirjen Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan Kabhanti dan Tari Lariangi Wakatobi
sebagai warisan budaya nasional, setelah menerima usulan dari Pemerintah
Kabupaten Wakatobi. Dan, pemerintah Kabupaten Wakatobi saat ini, tengah
memperjuangkan Kabhanti dan Tari Lariangi sebagai warisan budaya dunia melalui
Unesco di Paris.

Seperti klan-klan dalam sekte, pengakuan Kabhanti dengan embel-embel


Wakatobi sebagai wilayah kepemilikan menjadi sebuah perdebatan. Kabhanti
adalah sekte, di mana wilayah Muna dan Buton daratan menganggap Kabhanti itu
juga identifikasi klan mereka. Terlepas dari itu, apakah ada yang merasa tersisihkan
atau tidak, pemerintah cukup jeli melihat sisi profit nama Wakatobi dibalik
Kabhanti.
Berdasarkan latar belakang tersebut, di mana tradisi yang semula terabaikan
bahkan yang nyaris terlupakan bisa menuai gejolak, maka pembahasan makalah ini
mengarah pada permasalahan Bagaimana tradisi lisan di Sulawesi Tenggara dalam
benturan keberterimaan masyarakat pelakunya? Penulisan makalah ini bertujuan
mendeskripsikan kelisanan sastra dan tradisi di Sulawesi Tenggara dalam benturan
keberterimaan masyarakat pelakunya.
C. Polemik dalam Tradisi Lisan di Sulawesi Tenggara
Tradisi lisan bukanlah sebuah konsep sejarah, tetapi di dalam tradisi lisan
ada catatan sejarah. Itulah polemik yang menjadi perhatian kita saat ini, bahwa
keberadaan atau eksistensi budaya sebuah suku teridentifikasi lewat tradisi yang
dimilikinya. Ancaman dalam penelitian-penelitian tradisi lisan adalah hilangnya
sumber data atau data itu lenyap bersama wafat sang penutur atau pelaku tradisi.
Meminjam istilah dari Philippe Grang, bahwa meninggalnya seorang
penutur atau pelaku tradisi lisan sama dengan terbakarnya sebuah perpustakaan
dengan ribuan data.
Tercatatnya, Kabhanti Wakatobi sebagai bagian dari warisan budaya
nasional menuai kontroversi di daerah, karena pada dasarnya Kabhanti sendiri
memiliki versi, yakni versi Muna dan versi Buton. Ketika nama Kabhanti Wakatobi
yang mencuat ke permukaan timbul klaim di kalangan masyarakat pemilik tradisi
ini. Masing-masing menyatakan merekalah pemilik asli tradisi ini. Kalau saja, yang
tercatat dalam warisan budaya nasional itu hanya bernama Kabhanti ini mudah
diapresiasi oleh masyarakat pelaku dan pemiliknya, bahwa yang tecatat dalam
warisan budaya nasional dari Sulawesi Tenggara adalah Kabhanti milik beberapa
suku di Sulawesi Tenggara. Mana yang lisan dan mana yang bukan lisan akan
terlihat melalui sebuah pemetaan bukan sekedar catatan.
Pencantuman nama wilayah Wakatobi di belakang nama sebuah tradisi
Kabhanti yang hidup dalam kelompok masyarakat di Sulawesi Tenggara
menimbulkan pertanyaan ke mana atau berada di mana Kabhanti yang lain. Apakah
mereka harus juga menambahkan nama wilayah agar dapat juga diakui atau sejajar
dengan Kabhanti Wakatobi.
Fenomena tersebut di atas hendaknya menjadi pertimbangan pemerintah
pusat, nama wilayah adalah sesuatu yang sifatnya admistratif harusnya
dipertimbangkan secara matang apabila ingin disematkan di belakang nama sebuah
tradisi yang merupakan eksistensi masyarakat penuturnya sebagai tradisi yang
tercatat menjadi bagian warisan budaya nasional.
Sekalipun, ada banyak
komersialitas di dalamnya mengingat Wakatobi adalah sasaran objek wisata dunia.
Tradisi lisan tetaplah milik sekelompok masyarakat dengan segala variannya, yang
varian-variannya tidak boleh dimarginal karena ada keterkaitan ego suku di
dalamnya.

Di Sulawesi Tenggara ada banyak tradisi lain yang juga menimbulkan


benturan halus pelaku dan lingkungannya. Contoh lain, adalah penyelesaian
pelanggaran adat Mambolosuako kawin lari atau baku bawa lari milik masyarakat
Tolaki, di dalam adat ini ada tuturan adat yang mengatur seluruh tatanan perkawinan
atau masalah antara dua insan yang berbeda jenis yang tidak normal/lazim dalam
masyarakatnya.
La Ino (2011) mengemukakan, sistem adat istiadat mengandung muatan
sastra yang sangat erat dengan makna tuturan yang digunakan dengan nilai-nilai
etika dan estetika yang cukup berharga bagi masyarakatnya.
Etika adalah ukuran relatif prilaku individu atau kelompoknya. Di dalamnya
ada unsur estetika yang ukurannya relatif pula. Etika yang dalam kelompok
masyarakat tertentu sudah sangat etis, namun dianggap kontradiktif bagi kelompok
masyarakat yang lain. Yang bisa saja unsur estetikanya turut pupus pula akibat dari
ketidakseragaman padangan terhadap tradisi tersebut.
Dalam masyarakat Tolaki hukum adat nyaris lengkap mengatur kehidupan
masyarakatnya melalui kalo sara masalah serumit apa pun akan dapat terselesaikan.
Hampir setiap pelanggaran prilaku individu ada aturan adatnya yang menjamin
masalah akan terselesaikan apabila syarat-syarat dalam hukum adat tersebut sudah
terpenuhi. Inilah yang menjadi sumber benturan tersebut.
Bagi masyarakat Tolaki ada Mambolosuako kawin lari tidak dilarang,
dalam artian ada proses adat pernikahan yang sesuai prosedur pernikahan normal
ada yang tidak normal. Mambolosuako adalah prosedur yang tidak normal. Di
dalamnya mengatur banyak hal tentang pelanggaran adat perkawinan semancam
undang-undang tak tertulis. Bagi masyarakat diluar suku Tolaki di Sulawesi
Tenggara ini dianggap pelecehan terhadap nilai-nilai sakral sebuah perkawinan dan
hubungan antara pria dan wanita. Misalnya, adat ini memperkenankan seorang
pemuda membawa lari seorang gadis ke rumah imam untuk menghindari syaratsyarat yang harusnya dipenuhi dalam pernikahan normal, dengan adat ini pula
seorang pemuda bisa lolos dari kesalahannya terhadap seorang gadis setelah
membayar denda yang telah diatur dalam adat, dan lain sebagainya. Semua pelaku
tunduk pada aturan yang muncul dalam pertemuan adat dengan konsep tuturan yang
paten dalam setiap peristiwa pelanggaran. Sebagian orang melihat ada misi dagang,
pemerasan, pelecehan, dan lain-lain di dalamnya, sehingga dianggap budaya ini
sangat tidak mendidik. Tetapi tradisi ini tetap agung dan menjadi hukum yang tidak
boleh tidak dalam masyarakat Tolaki. Yang juga perlu diwaspadai saat ini juga
adalah warisan budaya orang Bajo, seperti nyanyian iko-iko yang hasil penelitiannya
sudah terkemas rapi di Prancis. Data pure diambil di wilayah Sulawesi Tenggara,
tetapi orang Bajo ada di seluruh pesisir pantai dunia. Sehingga, karya sastra lisan
yang unik ini suatu ketika akan luluh kepemilikannya karena orang-orang asing
sangat gigih meneliti siapa dan dari mana aktor intelgensi di balik karya sastra ini.
Mereka meneliti hingga ke DNA orang Bajo, sehingga setetes air liur bias
mengubah data.
Mengamati fenomena-fenomena tersebut, tradisi dan sastra lisan masa kini
adalah sebuah kemasan, dia terbentur pada nilai tawar, kemasan menjadi kekuatan
untuk bertahan. Benturan-benturan dalam masyarakat menurut hemat penulis justru
membuat tradisi lisan juga semakin eksis untuk sebuah pengakuan. Beberapa contoh

kasus yang disebutkan mulai dari reog Ponorogo, hingga dua contoh tradisi di
Sulawesi Tenggara. Menunjukkan betapa sebuah tradisi menjadi nampak berharga
setelah tradisi itu menjadi polemik. Polemik yang mengangkat ego yang pada
akhirnya membuat sadar atas kepemilikannnya. Kemudian mengeksploitasi pikiran
untuk sadar menjaga dan melestarikannya.
D. Kesimpulan
Tradisi lisan adalah wujud interpretasi pengalaman masa lalu dan investasi
masa depan sebuah bangsa yang besar. Ada banyak negara di luar sana menjadi kaya
oleh tradisi dan sastra lisannya. Kita tidak sadar, bahwa sastra lisan asing pernah dan
tengah membuai kita dan anak-anak kita. Sebut saja sebuah perusahaan film kartun
terbesar di dunia Walt Disney menjadi besar karena dongeng-dongeng Eropa dan
Timur Tengah yang mereka filmkan, misalnya dongeng Cinderella, Putri Tidur,
Putri Thumbellina, Aladin, Beauty and the Beast, dan lain-lain.
Kesimpulannya, tradisi lisan dan sastra lisan akan berharga dan diminati
apabila dikemas secara apik tanpa mengurai esensinya dengan polemik. Tradisi
tetaplah milik sekelompok masyarakat dengan segala variannya, dan varian-varian
tersebut tidak boleh dimarginalkan karena ada eksistensi suku sebagai pemilik
tradisi di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Araby, Ahmad dkk. 1983. Sastra Lisan. Jakarta: Depdikbud.
Danadjaya, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gossip, Dongeng, Dan lain-lain.
Jakarta: Grafiti Press.
Grang, Philippe dan Charles Illouz (Penyunting), 2013. Kepulauan Kangean
(Penelitian Terapan untuk Pembangunan). Jakarta: KPG & Ecole
franaise dExtrm-Orient Universit de la Rochelle.
Hasan, Fuad. 1986. Renungan Budaya. Jakarta: Balai pustaka.
Hutomo, Suripan Sadi. 1983. Panduan Penelitian Satra lisan Daerah. Jakarta:
Depdikbud.
Ihroni, T.O (ed). 1986. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka.
La Ino, 2011. Makna Tuturan dalam Penyelesaian Adat Masyarakat Tolaki. Lingua
Vol. 6 No. 1 April 2011-ISSN 1693-4725
Moeliono, Anton (ed).1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
M.P.S.S, Pudentia. 2008 Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi
Tradisi Lisan (ATL)
Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai
Pustaka.
Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Dewasastra, 2012. http://dewasastra.wordpress.com/2012/04/04/tradisi-bahasa-danistilah/) diakses tanggal 31 Maret 2014.
Verhaar, JWM. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yagyakarta: Gadjah Mada
University Press.

You might also like