You are on page 1of 19

BAB I

TINJAUAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. NA

Umur

: 13 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Pelajar

Agama

: Islam

Alamat

: Parepare

Tanggal masuk

: 27 April 2016

Tanggal Pemeriksaan : 27 April 2016


No. RM
II.

: 11.01.42

ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dari keluarga pasien dan pasien sendiri
(heteroanamnesis)
1. Keluhan Utama : luka robek pada punggung kaki kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk dengan luka pada punggung kaki kanan dirasakan
sejak 1 jam SMRS, setelah mengalami kecelakaan lalu lintas saat
pasien mengendarai motor saat pulang sekolah lalu menabrak motor
lain yang melaju dari arah berlawanan. Kaki pasien sebelah kanan
tertindih sepeda motor, akibatnya punggung kaki kanan bawah pasien
mengalami luka terbuka. Namun saat kejadian pasien masih sadar.
Riwayat muntah (-), luka lain pada tubuh (-).
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya
4. Riwayat pengobatan
Selama sakit pasien tdak mengkonsumsi obat-obatan

5. Riwayat operasi
Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
6. Riwayat keluarga
Tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan pasien
III.
PEMERIKSAAN FISIK
A. PRIMARY SURVEY

Airway

Breathing : Pergerakan dada simetris, tidak ada jejas,

: clear, patent

RR : 22x/mnt

Circulation : tekanan darah 100/70 mmHg, Nadi 88 x/mnt

Disability : GCS E4V5M6 Composmentis, pupil isokor

Exposure : Suhu 37 oC (aksilla)


B. SECONDARY SURVEY
Status Lokalis
Look

: Regio pedis dextra


: luka robek dengan ukuran 10 x 8 cm di dorsal

pedis, deformitas (+), edema (+), hematom (+)


Feel
Move
NVD

: Nyeri tekan (+)


: Gerak terbatas nyeri
: Sensibilitas baik, A. Dorsalis pedis teraba, CRT <

2 detik
IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium (27 April 2016)
WBC : 15,5 x103u/L
RBC : 4,27 x 103u/L
Hb : 11,6 gr/dl
Plt : 278 x103 u/L
Hemostasis
CT : 800
Bt : 100
B. Pemeriksaan Radiologi

Foto Pedis Dextra posisi AP/Lateral

V.RESUME
Seorang anak perempuan berumur 13 tahun datang ke UGD
RS Andi Makkasau dengan luka robek pada punggung kaki kanan
setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 1 jam SMRS. Primary
survey clear. Secondary survey : status lokalis : regio pedis dextra.
Look : vulnus laceratum pada dorsal pedis. Edema (+), deformitas (+)
hematom (+) bone expose (+), tendon expose (+). Feel : nyeri tekan
setempat (+) sensibilitas (+), suhu rabaan normal, NVD dalam batas
normal. Move : gerak terbatas nyeri. Pemeriksaan penunjang foto
radiologi pedis posisi AP/Oblique : tampak garis fraktur dengan
konfigurasi community pada shaft metatarsal I, garis fraktur dengan
konfigurasi community pada base metatarsal II, garis fraktur dengan
konfigurasi oblique pada shaft metatarsal III, garis fraktur dengan
konfigurasi community pada shaft metatarsal IV dan V.
VI.

DIAGNOSA KERJA
Open Fracture metatarsal I,II,III,IV,V dextra grade IIIA

VII.

PLANNING DIAGNOSA

Planning Terapi
1. Non operatif
a. Medikamentosa

antibiotik

analgetik

TT
b. Non medikamentosa

Edukasi pasien tentang sakit yang dialami pasien

2. Operatif
Debridement + Open Reduction Internal Fixation (ORIF) K-Wire

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Regio Pedis


Skeleton Pedis terdiri dari tiga bagian : tarus, metatatarsus dan phalanges.
Metatarsus terdiri atas lima buah tulang disebut mulai dari sisi medial, dengan os
metatarsale I, II, III, IV dan V; os metatarsal merupakan os longum, yang masingmasing tulang dapat dibedakan atas basis, corpus dan caput.
Os metatarsale I atau os metatarsal dari hallux, menarik perhatian oleh
karena tebal dan pendek diantara tulang metatarsal lainnya. Corpusnya seperti
prisma, kuat; pada basisnya memperlihatkan faset non artikuler pada sisi-sisinya,
tetapi pada sisi lateralnya terdapat faset oval untuk bersendi dengan os metatarsale
II.
Os metatarsal II merupakan os metatarsale yang terpanjang, menjorok ke
proximal sesuai dengan cekungan yang dibentuk oleh ketiga ossa cuneiformia.
Basisnya membesar ke dorsal, sempit dan kasar.
Os metatarsale III pada bagian proximalnya terdapat facies articularis
berbentuk triangular untuk bersendi dengan sisi os cuneiforme laterale; di sisi
medial terdapat dua facies articularis untuk bersendi dengan os metatarsale II, dan
di sisi lateralnya terdapat facies articularis tunggal untuk bersendi dengan os
metatarsale IV; facies articularis terakhir ini terdapat di sudut dorsal basis.
Os metatarsale IV lebih kecil disbanding dengan os metatarsale terdahulu;
pada basisnya terdapat facies articularis berbentuk quadrilateral untuk bersendi
dengan os cuboideum; facies articularis halus di sisi medial dibagi oleh rigi
menjadi bagian anterior untuk bersendi dengan os metatarsale III.
Os metatrasale V mempunyai tonjolan yang kasar disebut tuberositas ossis
metatarsalis V, yang terletak di sebelah lateral basis. Basisnya akan bersendi kea
rah posterior dengan os cuboideum, dan ke sisi mediale dengan os metatarsale IV.

Anatomi pedis aspek dorsal dan plantar


2.2. Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau
tulang rawan yang disebabkan karena rudapaksa (Jong&Sjamsuhodajat,2005)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan
jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot
dan persarafan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan
langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak
langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada
klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa

trauma langsung, misalnya sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang
menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula.
3.2.2 Penyebab Fraktur
Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:
1. Peristiwa trauma (traumatic fracture)
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau
penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat
yang terkena, jaringan lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak
langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat
yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin
tidak ada.
2. Fraktur kelelahan atau tekanan (stress fracture)
Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal,
terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak
jauh.
3. Fraktur patologik (patologic fracture)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada
penyakit Paget).
Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam
tingkat yang berbeda; daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik
pendek, biasanya pada tingkatyang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu
dari fragmen tulang dapat menembus kulit; cedera langsung akan menembus atau
merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan sepeda motor adalah penyebab yang
paling lazim.
Banyak diantara fraktur itu disebabkan oleh trauma tumpul, dan resiko
komplikasinya berkaitan langsung dengan luas dan tipe kerusakan jaringan lunak.

Tscherne (1984) menekankan pentingnya menilai dan menetapkan tingkat cedera


jaringan lunak:
C0 = kerusakan jaringan lunak sedikit dengan fraktur biasa
C1 = abrasi dangkal atau kontusio dari dalam
C2 = abrasi dalam, kontusio jaringan lunak dan pembengkakan, dengan fraktur
berat
C3 = kerusakan jaringan lunak yang luas dengan ancaman sindroma
kompartemen.
2.2.3 Klasifikasi fraktur tulang
1) Klasifikasi klinis
a. fraktur tertutup disebut juga closed fracture. Tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan lingkungan luar.
b. fraktur terbuka
Disebut juga compound fracture. Fraktur terbuka adalah fraktur
yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from
without (dari luar). Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo, Merkow
dan Templeman (1990):

Grade I

Panjang luka < 1 cm

Biasanya berupa tusukan dari dalam kulit menembus ke


luar

Kerusakan jaringan lunak sedikit

Fraktur biasanya berupa fraktur simpel, transversal, oblik


pendek atau sedikit komunitif

Grade II
-

Laserasi kulit > 1 cm

Tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit

Kerusakan jaringan sedang

Sedikit kontaminasi dari fraktur

Grade III
-

Kerusakan jaringan lunak hebat

Kontaminasi hebat

Dibadi menjadi 3 subtipe:


IIIA : Jaringan lunak cukup untuk menutup fraktur , Fraktur
bersifat segmental atau komunitif hebat
IIIB: Trauma hebat dengan kerusakan dan kehilangan jaringan,
pendorongan periosteum, tulang terbuka, kontaminasi hebat ,
Fraktur bersifat komunitif hebat
IIIC: Fraktur terbuka yang disertai kerusakan arteri dan saraf tanpa
memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.

c. Fraktur dengan komplikasi


Fraktur yang disertai komplikasi seperti infeksi, mal-union,
delayed union, non-union.
2) Klasifikasi Radiologis
a.

Berdasarkan Lokasi
Fraktur dapat terjadi di berbagai tempat pada tulang seperti pada diafisis,
metafisis, epifisis, atau intra artikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan

b.

dengan dislokasi sendi, maka dinamakan fraktur dislokasi.


Berdasarkan konfigurasi
Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal(mendatar),
oblik (miring), atau spiral (berpilin). Jika terdapat lebih darisatu garis
fraktur, maka dinamakan kominutif.

3.2.4

Fraktur metatarsal
Fraktur Metatarsal merupakan kasus yang sering didapatkan. Kecelakaan
kendaraan bermotor dan kecelakaan kerja yang semakin meningkat juga
mempunyai peranan pada semakin meningkatnya jumlah kasus fraktur metatarsal.
Kelima metatarsal pada kaki mempunyai fungsi yang berbeda sehingga
membutuhkan penatalaksanaan yang berbeda pula. Metatarsal dibagi menjadi tiga
bagian Metatarsal 1,metatarsal 5 dan metatarsal 2-4.

Mekanisme yang paling sering didapatkan adalah trauma langsung seperti


crush injury atau twisting dan juga akibat gaya langsung yang bersifat kronis
sehingga menyebabkan Stress fracture.
Penyebab fraktur metatarsal biasanya dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan
penyebabnya antara lain :
1.
2.
3.
4.

Crush fracture yang merujuk pada hantaman langsung


Spiral fracture dari shaft yang meruuk pada twisting injury
Fraktur avulsi yang merujuk pada regangan yang terjadi pada ligamen
Insufficiency fractures yang merujuk pada repetitif stress

Gejala klinis yang muncul pada fase akut diantaranya adalah nyeri,
bengkak, dan kerusakan jaringan pada kulit yang biasanya cukup dapat
teridentifikasi. Pasien dengan tipe stress fracture biasanya gejala serat tandanya
lebih lama.
Pemeriksaan

penunjnag

radiologi

regio

pedis

dengan

posisi

anteroposterioe, lateral, dan oblique. Fraktur yang undisplaced dapat sulit

dideteksi dan begitu pula dengan stress fracture biasanya tidak memperlihatkan
kelainan sampai beberapa minggu setelahnya.
2.2.5

Diagnosis
Menegakkan diagnosis fraktur dapat secara klinis meliputi anamnesis

lengkap dan melakukan pemeriksaan fisik yang baik, namun sangat penting untuk
dikonfirmasikan denganmelakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen
untuk membantu mengarahkan danmenilai secara objektif keadaan yang
sebenarnya.
A. Anamnesa
Penderita biasanya datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang
hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat,
karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur
terjadi ditempat lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian atau jatuh dikamar mandi pada orang tua, penganiayaan,
tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena
trauma olah raga. Penderita biasanya datang karena nyeri, pembengkakan,
gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau
datang dengan gejala-gejala lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:

Syok, anemia atau perdarahan.

Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang


belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan
abdomen.

Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget).

Pada pemeriksaan fisik dilakukan:


Look (Inspeksi)

Deformitas: angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior),


diskrepensi (rotasi,perpendekan atau perpanjangan).
Bengkak atau kebiruan.
Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak).
Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi
hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan
luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka
(compound).
Feel (palpasi)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
Temperatur setempat yang meningkat
Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati.
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku.
Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan
pembedahan.
Move (pergerakan)
Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada
sendinya.
Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri
hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,
disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak
seperti pembuluh darah dan saraf.
3. Pemeriksaan Penunjang

Sinar -X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya
fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk
menentukan

keadaan,

lokasi

serta

eksistensi

fraktur.

Untuk

menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka


sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk
imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:

Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.

Untuk konfirmasi adanya fraktur.

Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi


fragmen serta pergerakannya.

Untuk mengetahui teknik pengobatan.

Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.

Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstraartikuler.

Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.

Untuk melihat adanya benda asing.

Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan


Rules of Two:

Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X
tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut
pandang (AP & Lateral/Oblique).

Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami
fraktur atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi
kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi

mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur


keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.

Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis
fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.

Dua cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih
dari 1 tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau
femur perlu juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang
belakang.

Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat,
kalau ragu-ragu, sebagai akibatresorbsi tulang, pemeriksaan
lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan diagnosis.

Pencitraan Khusus
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi
perlu dinyatakan apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana
yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur
serta bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan
prognosis serta waktu penyembuhan fraktur, misalnya penyembuhan
fraktur transversal lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak yang
kurang. Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata
pada sinar-X biasa.Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau
fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya
cara yang dapat membantu, sesungguhnya potret transeksional sangat
penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sukar.
Radioisotop scanning berguna untuk mendiagnosis fraktur-tekanan
yang dicurigai atau fraktur tak bergeser yang lain.

2.2.6

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur metatarsal bergantung terhadap tipr dari
fraktur, sisi yang terkena dan derajat dari displacement.
a. Undisplaced dan displaced minimal fractures
Penanganan yang dapat dilakukan adalah aplikasi dari below-knee
cast atau removable boot plint. Dengan mengelevasi posisi kaki serta
imobilisasi pergerakan aktif yang dimulai sesegera mungkin, dengan
partial weightbearing selama sekitar 4-6 minggu. Pada akhir dari
periode terapi, latihan sangatlah penting untuk pasien sehingga pasien
dapat beraktivitas dengan normal kembali. Malunion yang minimal
jarang timbul ketika mobilitas telah dimulai.
b. Displaced fractures
Pada displaced fractures biasanya dapat di terapi tertutup (closed
treated). Elevasi dari kaki sampai pembengkakan / swelling
menghilang. Fraktur dapat di reduksi dengan traksi dan imobilisasi
pada kaki dengan menggunakan castingtanpa menggunakan beban
selama 4 minggu.
Untuk fraktur dari metatarsal ke-2 sampai dengan metatarsal ke-5,
dissplacement pada dasar corona dapat digunakan dan closed
treatment seperti yang disebutkan diatas perlu dilakukan. Namun,
untuk fraktur metatarsal 1 dan semua jenis fraktur dengan
displacement

yang

significant

pada

sagital

plane

disaranka

menggunakan metode ORIF dengan menggunakan K-wire atau


dengan stabilisasai fiksasi yang lebih baik dengan menggunakan plate
and screw.
Fraktur pada neck metatarsal memiliki kecenderungan untuk
mengalami displaced atau re-displaced dengan hanya menggunakan
closed immobilization. Samgatlah penting mengecek posisi secara
berulang apabila imobilisasi tertutup dilakukan. Apabila fraktunya
unstable, kemungkinan akan digunakan untuk mengontrol posisi
melalui precutaneus dengan menggunakan K-wire atau screw fixation.

K-wire akan dilepas setelah 4 minggu, dengan cast immobilization


digunakan selama 4-6 minggu.
2.2.7

Komplikasi

1) Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa
internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena
luka yang tidak steril.
2) Delayed union
Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang
tetapi terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya
peredaran darah ke fragmen.
3) Non union
Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5
bulan mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan
pergerakan pada tempat fraktur.
4) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya
defisiensi suplay darah.
5) Mal union
Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti
adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan.
6) Trauma saraf terutama pada nervus peroneal komunis.
7) Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki.
Gangguan ini biasanya disebakan karena adanya adhesi pada otot-otot
tungkai bawah.
2.2.8

Prognosis
Menurut Soeharso (1993), fraktur dapat disembuhkan atau disatukan
kembali fragmen-fragmen tulangnya melalui operasi. Namun ada sebagian jenis
fraktur yang sulit disatukan kembali fragmen-fragmen yaitu fraktur pada tulang

ulna, tulang radius, tulang fibula dan tulang tibia. Fraktur pada daerah elbow,
caput femur dan cruris dapat menyebabkan kematian karena pada daerah tersebut
dilewati saraf besar yang sangat berperan dalam kehidupan seseorang. Prognosis
fraktur tergantung dari jenis fraktur, usia penderita, letak, derajat keparahan, cepat
dan tidaknya penanganan. Prognosis pada pasca operasi fraktur cruris 1/3 tengah
tergantung pada jenis dan bentuk fraktur, bagaimana operasinya, dan peran dari
fisioterapi.
Prognosis dikatakan baik jika penderita secepat mungkin dibawa ke rumah
sakit sesaat setelah terjadi trauma, kemudian jenis fraktur yang diderita ringan,
bentuk dan jenis perpatahan simple, kondisis umum pasien baik, usia pasien
relative
muda, tidak terdapat infeksi pada fraktur dan peredaran darah lancar. Penanganan
yang diberikan seperti operasi dan pemberian internal fiksasi juga sangat
mempengaruhi terutama dalam memperbaiki struktur tulang yang patah. Setelah
operasi dengan pemberian internal fiksasi berupa plate and screw, diperlukan
terapi latihan untuk mengembalikan aktivitas fungsionalnya. Pemberian terapi
latihan yang tepat akan memberikan prognosis yang baik bilamana (1) quo ad
vitam baik jika pada kasus ini tidak mengancam jiwa pasien, (2) quo ad sanam
baik jika jenis perpatahan ringan, usia pasien relative muda dan tidak ada infeksi
pada fraktur, (3) quo ad fungsionam baik jika pasien dapat melakukan aktivitas
fungsional, (4) quo ad cosmeticam yang disebut juga dengan proses remodeling
baik jika tidak terjadi deformitas tulang. Dalam proses rehabilitasi, peran
fisioterapi sangat penting terutama dalam mencegah komplikasi dan melatih
aktivitas fungsionalnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition,
Churchill Livingstone.
Appley, A. Graham, Louis Solomon, 1995; Terjemahan Ortopedi, dan Fraktur
Sistem Appley; Edisi Ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
Anonymous. Fraktur Tibia Fibula. http://www.docstoc.com/docs/54980966/CaseBedah-Fraktur-Tibia-Fibula-FK-UNSRI. Diakses pada tanggal 7 November
2011.
Basmajian, John, 1978; Therapeutic Exercise.; Third edition, The William and
Wilkins, London.
Chusid, JG, 1993; Neuro Anatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Edisi
empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
De Wolf, A,N, 1994; Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh. Cetakan Kedua,
Hauten Zeventen.
Data RSO Dr. Soeharso Surakarta, 2005; Jurnal Penderita Fraktur Cruris; RSO
Dr.Soeharso Surakarta.
Bucholz R.W.HJD, Brown C.C.Rockwood and Green's Fractures In Adults 6ed.
Early JS, editor.Philadelphia: Lippicott Williams and Wilkins;2006
Veillette C.Metatarsal Fracture - 1st and 5th.Orthopaedia;2010[updatedJune
06,2010; cited 20109/29/2010]
Sarrafian.Anatomy of the Foot and Ankle.Philadelphia: JB Lippincott;; 1993

Schenck R.H.Fractures and dislocations of the forefoot: operative and


nonoperative treatment.J Am Acad OrthopSurg.1995;3:70-8
Solomon W, Nayagam.Injuries of the Ankle and Foot.In: Bowyer.G,
editor. Apleys System of Orthopaedics and Fractures.London: Hachette
UKCompany;2010.p.907-35
Saraiya MJ.First Metatarsal Fracture.PubMed.1995;12(4):749-58
Salter R.B., 1982.Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System.Baltimore :Williams & Wilkins
Miller, Mark D. 2004.Section2Upper and Lower Extremities Injuries.Review of
rthopaedics 4thed.Philadelphia: Saunders

You might also like