You are on page 1of 15

BOLEHKAH

MENGANGKAT AHLUL KITAB


SEBAGAI PEMIMPIN ?

Siapakah Ahlul Kitab itu ?


Hukum Mengangkat Ahlul Kitab Sebagai Pemimpin
Beberapa Syubuhat Seputar Ahlul Kitab

Di dalam Al Quran kita sering menemukan penyebutan kata-kata Ahlul Kitab. Berpuluhpuluh ayat bertutur mengenai ahlul kitab, siapakah mereka? Berimankah mereka? Apa
karakteristik mereka? Lalu mengapa Alquran banyak berbicara mengenai mereka? Dalam
tulisan singkat ini kita mencoba bersama-sama mengurai benang merah dan mencari titik
terang agar menjadi jelas wawasan tersebut bagi kita semua, dan memberi manfaat untuk
akidah dan muamalah kita.
Siapakah Ahlul Kitab?
Ahlul kitab dalam Al Quran adalah kaum Yahudi dan Nasrani, karena kitab suci telah
diturunkan kepada mereka dalam wujud kitab sebuah kitab suci, mereka pada dasarnya
adalah umat yang membaca dan menulis. Berbeda dengan umat Islam yang merupakan umat
penghafal pada asalnya. Itulah salah satunya hikmah Alquran diturunkan secara bertahap
melalui lisan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Penyebutan ahlul kitab yang bermakna kaum Yahudi dan Nasrani juga berlaku secara umum,
tanpa ada pengkhususuan kelompok tertentu dari mereka. Berangkat dari sini, dapatlah
dipahami bahwa siapa pun yang mengaku sebagai Yahudi ataupun Nasrani, maka dia adalah
ahlul kitab apa pun paham teologinya.
Jadi, di sana ada mereka yang berkeyakinan mempersekutukan Allah, ada pula yang tidak,
namun mereka tetaplah bukan umat Islam.
Konteks Penyebutan Ahlul Kitab Dalam Al Quran
Penyebutan ahlul kitab dalam Al Quran selalu memiliki konotasi celaan ataupun hardikan
dari Allah Taala kepada mereka. Sehingga sematan tersebut tidak sama sekali mengandung
pujian kepada mereka.

}
{
Artinya: Katakanlah: Hai Ahli Kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya
lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada
apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orangorang yang fasik? (QS. Al Maidah: 59)
{}
Artinya: Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur-adukkan yang haq dengan yang bathil,
dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya? (QS. Al Imron: 71)
{
}
Artinya: Katakanlah: Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi orang-orang
yang telah beriman dari jalan Allah, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu
menyaksikan? Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Imron:
99)
{}
Artinya: Katakanlah: Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal
Allah Maha menyaksikan apa yang kamu kerjakan? (QS. Al Imron: 98)
Hukum Ahlul Kitab
Sebagaimana yang telah tersebut di atas, bahwa ahlul kitab bukanlah kaum muslimin. Hal ini
merupakan perkara konsensus yang disepakati dalam agama Islam, tidak dapat diingkari oleh
seorang pun yang memeluk Islam. Untuk mempertegas hal ini baiklah kiranya kita
mengemukakan alasan-alasan berikut ini:
1. Al Quran dan As Sunnah telah menghukumi mereka sebagai kaum kafir.

{}
Artinya: Hai Ahli Kitab, mengapa kamu kafir kepada ayat-ayat Allah, padahal kamu
mengetahui (kebenarannya). (QS. Al Imran: 70)
((
)) .
Artinya: Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang pun dari umat ini
yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada
seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka (HR.
Muslim)
2. Kesepakatan kaum muslim yang telah berlaku: ijmak ataupun konsensus, bahwa ahlul kitab adalah
kafir

Imam Ibnu Hazm berkata, Mereka bersepakat bahwasanya Allah Azza wa Jalla adalah satusatunya tiada sekutu bagi-Nya, dan Islam adalah agama yang tiada di muka bumi agama
(yang sah) selainnya, ia merupakan pengganti atas seluruh agama sebelumnya, tiada satu
agama pun yang datang setelahnya untuk menggantikannya. Dan barang siapa yang telah
sampai padanya hal ini lantas menyelisihi maka ia adalah orang yang kafir, kekal di neraka
selamanya. (Maratibul Ijma: 172-173)
Imam Ibnu Taimiyyah berkata, Barang siapa beranggapan bahwa kunjungan golongan
dzimmi (penganut agama non-Islam) ke gereja-gerejanya adalah suatu ibadah kepada Allah,
maka ia telah murtad (Al Iqna: 4/298).
Berkata Imam Al Hijjawi, Orang yang tidak mengkafirkan seseorang yang beragama selain
Islam seperti Nasrani atau meragukan kekafiran mereka atau menganggap mazhab mereka
benar, maka ia adalah orang kafir. (Al Iqna: 4/298).
3. Unsur kekufuran terbesar adalah mempersekutukan Allah dalam akidah mereka

Kaum Nasrani mempercayai konsep teologi trinitas, sedangkan kaum Yahudi juga
mempercayai Uzair sebagai anak Allah.
{
.
}
Artinya: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya Allah
ialah Al Masih putera Maryam, padahal Al Masih (sendiri )berkata, Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya
ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan, Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga,
padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti
dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih (QS. Al Maidah: 72-73).
{
}
Artinya: Orang-orang Yahudi berkata, Uzair itu putra Allah dan orang Nasrani berkata:
Al Masih itu putra Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka
meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana
mereka sampai berpaling? (QS. At Taubah : 30).
4. Mereka juga mempersekutukan Allah dalam menentukan aturan agama dan syariat serta mencap
stempel halal-haram, semata-mata tanpa dalil.

Mereka mengikuti dan menjadikan para pendeta dan para rahib sebagai Tuhan mereka yang
berhak melegalkan hukum apa saja ataupun mengubah aturan apa saja, meskipun itu
menyangkut seseorangberada di surga ataukah neraka.

{
}
Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam, padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak adaTuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (At Taubah : 31)
5. Kekufuran yang lain, tidak memercayai agama Islam sebagai agama Allah yang sah, berikut kitab suci
Al Quran dan kerasulan Nabi Muhammad.
6. Tidak mengakui agama Islam sebagai satu-satunya paham keagamaan universal yang telah
menghapus segenap paham keagamaan lainnya, termasuk Yahudi dan Nasrani.

{}
Artinya: Katakanlah, Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu
semua (QS. Al Imran: 70)
((
)) .
Artinya: Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang pun dari umat ini
yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada
seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka (HR.
Muslim).
7. Ahlul kitab secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka adalah kaum Yahudi atau juga
Nasrani,mereka sama sekali tidaklah mengatakan bahwa mereka muslim.

Jika mereka saja mengakuinya maka kenapa masih ada seorang yang mengaku muslim
berusaha menyelisihi hal ini!?
8. Selain itu, jika kita coba beranggapan bahwa ajaran Nabi Musa ataupun Nabi Isa tetap berlaku,
meskipun sebenarnya tidaklah demikian.

Maka kita dapatkan bahwa mereka juga telah kufur terhadap apa yang terdapat dalam kitab
suci mereka. Sebab, semua ajaran para Nabi itu mengajarkan keesaan Allah secara mutlak
tanpa ada sedikit pun unsur sekutu.
Kekhususan Ahlul Kitab
Penyebutan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai ahlul kitab dalam ajaran Islam memiliki
beberapa konsekuensi tertentu, yang memberikan perbedaan dan kekhususan tertentu bagi
mereka dibanding kaum kafir lainnya. Semua itu berangkat dari kesamaan pedoman awal
dalam beragama, yang lebih dikenal sebagai agama samawi yaitu agama yang sumber
asalnya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah dari langit. Adapun istilah agama
Ibrahimiyah atau agama anak keturunan Nabi Ibrahim banyak digunakan untuk mengelabui
tentang agama yang benar. Meskipun kita meyakini dengan pasti bahwa kedua ajaran agama
tersebut telah melenceng jauh dari garis pedoman terdahulunya, cukuplah sebagai bukti
bahwa ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa diturunkan hanya untuk kaum Israel saja, juga

pertanda dalam kitab mereka akan kedatangan Nabi Muhammad yang memberi konsekuensi
bagi mereka untuk mengikutinya. Ini semua tersebut dalam literatur wahyu keislaman,
sedangkan dalam literatur mereka sudah barang tentu dihapus secara massal dan terencana,
meski masih terdapat beberapa isyarat yang terserak di sana-sini. Di antara kekhususan
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Adanya ketentuan jizyah bagi mereka berdasarkan konsensus para ulama.

Yaitu bilamana mereka menolak untuk masuk Islam, maka diperbolehkan bagi mereka untuk
tetap memeluk agamanya dan berada di bawah naungan sebuah pemerintahan Islam, dengan
tetap memperhatikan aturan-aturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah serta membayar
jizyah dalam kadar dan ketentuan tertentu sebagai jaminan. Dan hal ini berlaku bagi mereka
secara konsensus, adapun di luar mereka maka mayoritas ulama tidak menganggapnya
berlaku, kecuali menyangkut kaum Majusi penyembah api.
{
}
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orangorang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS. Al Maidah: 5)
2. Boleh bagi seorang muslim menikahi wanita ahlul kitab yang baik, jika memang ia mampu
membentengi keimananannya.

{
}
Artinya: (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanitawanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundikgundik (QS. Al Maidah: 5)
3. Halalnya sembelihan ahlul kitab bagi kaum muslimin meski tidak disembelih dengan nama Allah

Selama memang hewan tersebut halal. Adapun sembelihan kaum kafir lainnya maka bagi
kaum muslimin tetap dihukumi sebagai bangkai yang tidak disembelih sesuai syariat.
{}
Artinya: Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka (QS. Al Maidah:5)
Di luar apa yang telah disebutkan di atas, maka seluruh hukum yang berkenaan dengan
mereka dalam Islam sama persis dengan hukum yang berkenaan dengan kaum kafir lainnya.
Seperti tidak diperbolehkan seorang muslim berpindah agama ke agama lain, dan bila tejadi
maka pelakunya dihukumi sebagai murtad dan berhak diperlakukan dengan hukuman yang
disyariatkan terhadap orang yang murtad.

MENJADIKAN AHLUL KITAB SEBAGAI PEMIMPIN ATAU ORANG KEPERCAYAAN


Bagi anda yang akrab dengan Al Quran, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang
kaum muminin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak.
Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir
sebagai auliya.
Makna auliya ( )adalah walijah ( )yang maknanya: orang kepercayaan, yang khusus
dan dekat (lihat Lisaanul Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali ( )yaitu orang
yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At
Tafasir, 305).
Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin
[Ayat ke-1]


Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada
Allah kembali (mu) (QS. Al Imran: 28)
Ibnu Abbas radhiallahuanhu menjelaskan makna ayat ini: Allah Subhanahu Wa
Taala melarang kaum muminin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat,
orang kepercayaan) padahal ada orang mumin. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai
mereka, sehingga kaum muminin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap
menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Taala berfirman: kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka (Tafsir Ath Thabari,
6825).
[Ayat ke-2]






Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang
lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang lalim (QS. Al Maidah: 51)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: Allah Taala melarang hamba-Nya yang beriman untuk
loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya.
Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu
adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi
orang mumin yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka

menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.


Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim (Tafsir Ibni
Katsir, 3/132).
Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, Bahwasanya Umar bin
Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asyari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan
pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama
Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab
pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia berkata: Hasil kerja orang ini bagus, bisakah
orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?. Abu
Musa menjawab: Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram. Umar bertanya: Kenapa? Apa
karena ia junub?. Abu Musa menjawab: bukan, karena ia seorang Nasrani. Umar pun
menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: pecat dia!. Umar lalu
membacakan ayat: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim (Tafsir Ibni
Katsir, 3/132).
Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang
yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum
muslimin.
[Ayat ke-3]



Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orangorang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orangorang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang
musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman
(QS. Al Maidah: 57)
As Sadi menjelaskan: Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul
kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan
yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasiarahasia kaum muminin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan
yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri
seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada
orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir (Tafsir As Sadi, 236)
Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara
[Ayat ke-4]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudarasaudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas
keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka
itulah orang-orang yang lalim (QS. At Taubah: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan: Allah Taala memerintahkan untuk secara menjelaskan terangterangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak
atau anak-anak dari orang mumin. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika
mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal
kepada mereka (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).
Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir
[Ayat ke-5]


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu
menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena
rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman
kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan
mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian) (QS. Al Mumtahanah: 1).
Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi
Balthaah radhiallahuanhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga
mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota
Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahualaihi
Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di
sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif
untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan
melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk
menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia
munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk
memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang
membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam. Lalu
turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada
orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum
Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam menegur Hathib
namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As
Sadi 7/854)
Berikut ini isi surat Hathib:

Amma badu. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahualaihi


Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam,
yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun,
Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah)
diri-diri kalian. Wassalam (Fathul Baari, 7/520).
As Sadi menjelaskan: jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang
engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru
memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat
kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah
(kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga
akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir
meninggalkan ahlul iman (Tafsir As Sadi, 854).
[Ayat ke-6]


Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu
kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka
sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka
berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah
kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong (QS.
An Nisa: 89)
As Sadi menjelaskan ayat ini dengan berkata: ini melazimkan tidak adanya kecintaan
terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini
juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap
sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika
mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum
muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahualaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang
ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka
yang benar-benar mumin lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara
zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, tawan dan bunuhlah mereka di
mana saja kamu menemuinya, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui
mereka. (Tafsir As Sadi, 1/191).
Namun As Sadi menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi
berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara
kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak
memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun
kaum kafirin.
3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh
kaum Muslimin (Tafsir As Sadi, 191).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik


[Ayat ke-7]



Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang
pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di
sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah (QS. An Nisa:
139)
Ibnu Katsir berkata: Lalu Allah Taala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik
yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mumin. Artinya,
pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan
cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mumin, orang munafik berkata kepada
orang kafir: Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main.
Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mumin. Maka Allah
pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya:
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?. Lalu Allah Taala mengabarkan
bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang
bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk
memiliki kekuatan (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)
Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya
[Ayat ke-8]


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang
nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS. An Nisa: 144)
Ibnu Katsir menjelaskan: Allah Taala melarang hamba-Nya dari kaum muminin untuk
menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mumin. Maksudnya Allah
melarang kaum muminin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada
mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum muminin yang tidak mereka
ketahui. Sebagaimana firman Allah Taala berfirman: Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa) Nya (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan
kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia
berfirman: Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?.
Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman
atas kalian (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya

[Ayat ke-9]


Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang
diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin
itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang
fasik (QS. Al Maidah: 81)
Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang
loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya,
juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahualaihi Wasallam sebagai Rasul yang
diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk
yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan
penolong padahal ada orang-orang Mumin. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang
yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal
apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Imam Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum
munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
BEBERAPA SYUBUHAT SEPUTAR AHLUL KITAB

Menjawab Propaganda dan Syubhat


Syubhat 1: terdapat ayat-ayat dalam Alquran yang memberikan pujian kepada ahlul kitab
bahkan menyatakan bahwa mereka juga ada yang beriman.
Syubhat 2: terdapat ayat yang menyebutkan bahwa ahlul kitab bukanlah termasuk orang
musyrik, seperti misalnya: maka kata ( ) di sini
bermakna sebagian (tabidh), sehingga orang kafir itu sebenarnya ada yang kafir musyrik,
dan adapula yang sebenarnya tidak musyrik sehingga bisa disandingkan dengan kaum
muslim.
Syubhat 3: Ada sebagian orang mengatakan bolehnya seorang Ahlul Kitab menikahi wanita
Muslimah dengan membawakan beberapa syubhat antara lain:

Bahwa tiga ayat yang tercantum di atas ( al-Muntahanah:10; al-Baqarah: 122 dan alMaidah: 5) tidak bisa dijadikan dalil dan tidak akan membantu apa yang dikatakan
para ulama terdahulu (as-Salaf) dan para ulama sekarang (al-Khalaf) atas
diharamkannya seorang ahlul Kitab menikahi wanita muslim. Dan atsar yang ada
juga merupakan khabar ahad dan tidak dikenal sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
dalam masalah ini.

Kalimat musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 122khusus bagi orang musyrik Arab
dan ungkapan lebin baik berkaitan dengan keutamaan bukan hukumnya.

Jawaban:
1. Seluruh ayat-ayat tersebut jika ditilik kembali, maka konteksnya selalu bermuara pada
dua hal.
Pertama: mereka adalah orang yang beriman pada ajaran asli nabi mereka sebelum
datangnya risalah Nabi Muhammad.
Kedua: atau mereka yang kemudian beriman kepada risalah Nabi Muhammad setelah
kedatangannya.
Sebagai contoh dua ayat ini dapatlah diketengahkan:

{
}
Artinya: Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada
Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada
mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya (QS.Al Imron: 199)
{ .
}
Artinya: Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka AlKitab sebelum
Al Quran, mereka beriman (pula) dengan Al Quran itu. Dan apabila dibacakan (Al
Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: Kami beriman kepadanya,
sesungguhnya Al Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya
kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya). (QS. Al Qashash:
52-53)
2. Adapun ayat yang mengesankan seolah-olah ada kafir tapi tidak musyrik, maka bisa
dijawab sebagai berikut. Pertama: bahwa kata ( ) di situ bukan bermakna sebagian
melainkan bermakna yaitu (bayan), maksudnya orang-orang kafir berupa ahlul kitab
dan kaum musyrik.
Kedua: bahwa ayat itu jelas menyebut mereka sebagai kafir yang berarti bukan Islam.
Ketiga: pada surat yang sama Allah menyebutkan tempat kembali mereka,
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu
adalah seburuk-buruk makhluk (QS. Al Bayyinah: 6).
Keempat: Allah juga dengan tegas mengatakan bahwa mereka berbuat syirik
sebagaimana dalam ayat yang telah disebut di atas, Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan. (AtTaubah : 31)

3. Dari syubhat di atas, maka dapat dijelaskan kepada mereka:

Kalau kita perhatikan penjelasan ayat-ayat di atas dan hukum-hukum yang berkaitan
dengannya dalam kitab-kitab Tafsir para Ulama, maka akan jelas dan gamblang bisa

membantah apa yang mereka katakan, sebagaimana yang sudah tersampaikan di awal
secara ringkas.
Sementara apa yang mereka katakan bahwa atsar yang berkaitakan dengan masalah
ini seluruhnya adalah khabar ahad dan tidak dikenal tidaklah benar, bahkan sekiranya
apa yang mereka katakan benar maka tidak bisa dibenarkan juga bahwa hadits-hadits
yang tidak masyhur tidak bisa dijadikan hujjah. Padahal yang demikian bisa dijadikan
penguat, dan penjelas atas ayat yang berkaitan dengan masalah ini.

Syubhat mereka yang mengatakan bahwa kalimat musyrik dalam surat al-Baqarah
ayat 122 dalah khusus bagi kalangan musyrik Arab dan ungkapan lebih baik
berkaitan dengan keutamaan dan bukanlah hukumnya tidaklah benar, karena kalimat
musyrik yang terdapat dalam ayat tersebut khusus sebagimana yang mereka
katakan, maka apakah yang demikian berarti hal ini khusus berlaku bagi kalangan
musyrik Arab dan tidak berlaku bagi kalangan musyrik selain Arab yang mereka itu
hidup ketika ayat tersebut diturunkan atau mereka yang hidup sesudahnya dari
kalangan Arab atau selain mereka di seluruh dunia.
Apabila ini yang dimaksudkan oleh mereka, maka mengapa Allah Taala
menharamkan seorang wanita muslim menikah dengan seorang musyrik, dan seorang
muslim menikahi wanita musyrik apabila berlaku bagi kalangan Arab, kemudian
menghalalkanya untuk selain mereka..? Apa hikmah dari yang demikian..? dan
dengan alasan apa sehingga pendapat ini bisa diterima..? dan dengan dalil apa bisa
dibenarkan..? dan apakah orang musyrik di zaman sesudahnya atau orang musyrik
selain Arab lebih baik dari kalangan Arab dilihat dari sisi aqidah..sehingga sebab
diharamkannya bagi kalangan Arab tidak bisa dijumpai di kalangan selain Arab..?
Kemudian bagaimana uangkapan lebih baikdalam ayat tersebut hanya mengandung
makna keutamaan, sehingga bisa dipahami kalau yang terjadi lebih rendah dari yang
demikian tidak terlarang. Artinya bahwa seorang mukmin jika dia itu lebih baik baik
dari seorang yang musyrik, maka keutamaan tidak menjadi penghalang bahwa orang
musyrik juga baik dan dibolehkan dia menikahi wanita muslim dikarenakan adanya
keutamaan padanya walaupun lebih rendah dari keutamaan orang mukmin?

Tidak bisa dipungkiri bahwa kalimat lebih baik tidaklah menunjukkan


pengharaman, yaitu diharamkannya seorang musyrik menikahi wanita muslimah,
karena pengharaman yang demikian berasal dari perkataan Allah Taala dalam
firmanNya: Dan janganlah kalian nikahkan.
Maka pada dasarnya kalimat lebih baik berarti keutamaan, akan tetapi tidaklah
berarti yang mereka maksudkan. Maka firman Allah Subhaanahu wa Taala yang
artinya: dan seorang budak mukmin itu lebih baik daripada orang musyrik
meskipun kalian mengaguminya.. adalah sebagai penjelas dan penguat dan bukanlah
sebagai dasar pengambilan hukum. Sehingga apa yang mereka katakan dalam syubhat
di atas tertolak dan bathil.

Kepada Kaum Yahudi dan Nasrani

Dalam ajaran Yahudi dan Nasrani saat ini, mereka sama sekali tidak memiliki satu pun
argumentasi yang bersumber dari literatur ahlul kitab. Karena status literatur-literatur tersebut
sama sekali tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, hal ini dapat diperjelas
sebagai berikut:
1. Tidak adanya manuskrip yang tepercaya, ataupun bisa dipastikan kebenarannya
sebagai catatan asli.
2. Perbedaan-perbedaan yang sangat banyak, fatal dan kontradiktif antar teks-teks
literatur tersebut.
3. Tidak terdapat kesepakatan ataupun konsensus yang menjustifikasi keaslian literatur
terebut. Hal inilah yang dalam Islam disebut sebagai ijma.
4. Buramnya urut-urutan sejarah perjalanan literatur tersebut dari sejak ia diwahyukan
hingga zaman ini. Hal ini menyebabkan seluruh langkah crosscheck menyeluruh
menjadi mustahil.
5. Rentang waktu antara penulisan pertama dan waktu disampaikannya wahyu sangat
jauh, dan tidak dapat dikonfirmasi.
6. Tidak terdapat sama sekali sistem sanad yang hanya menjadi satu-satunya
keistimewaan agama Islam. Yaitu rantai periwayatan dari sang pembawa wahyu
hingga zaman ini. Terlebih seluruh mata rantai tersebut dapat dicek kredibilitasnya
masing-masing, sehingga ajaran agama terjaga dari kemungkinan salah tafsir, salah
riwayat, ataupun penyusupan ajaran-ajaran tertentu.
Semua hal di atas bukan hanya klaim sepihak belaka, namun juga diakui oleh orang-orang
dalam tubuh Ahlul Kitab sendiri. Sehingga sama sekali tidak dapat dijadikan sandaran dalam
berargumentasi apalagi dalam berkeyakinan yang menyangkut keselamatan dunia dan
akhirat.
Sebagai penutup, kitab suci Al Quran telah menyeru ahlul kitab untuk kembali menuju jalan
yang benar, mengikuti apa yang disampaikan oleh Nabi Musa ataupun Nabi Isa; berupa
tauhid alias keesaan Allah dan kewajiban mengikuti syariat seorang nabi penutup para Nabi
yaitu Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Allah Taala berfirman,
{
}
Artinya: Katakanlah, Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah
kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian
kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah) (QS. Al Imron: 64)

Wallahu alam bis shawab


Referensi

Alquran Alkarim

Majmu Fatawawa Rasail, Syeikh Al-Utsaimin. Dar Alwathan & Dar Atsuroya, cet:
terakhir 1413H.(soal-jawab ke-386)

Marotibul Ijma, Imam Ibnu Hazm. Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut.

Al Iqna, Imam Al Hijjawi. Darul Marifah, Beirut.

Man hum ahlulkitab? Silsilah Nur Ala Darb, Syeikh Bin


Baz.http://www.binbaz.org.sa/mat/10557

Hal yuthlaqu alaahlil kitab shifatul kufr? DR. Abdullah Al


Ahdal.http://www.saaid.net/Doat/ahdal/122.htm

Hal hunaka farqbayna ahlil kitab wal musyrikin? Syeikh Abdurrahman bin Nashir Al
Barrak. http://ar.islamway.net/fatwa/35185

http://muslim.or.id/aqidah/ahlul-kitab.html

http://muslim.or.id/tafsir/menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

http://www.alsofwa.com/2708/175-analisa-syubhat-dan-jawabannya.html

You might also like