You are on page 1of 14

Pendahuluan

Feces ( tinja) normal terdiri dari sisa- sisa makanan yang tidak tercerna, air, bermacam produk
hasil pencernaan makanan dan kuman- kuman nonpatogen. Orang dewasa normal mengeluarkan
100 300 gram tinja per hari. Dari jumlah tesebut 60- 70% merupakan air dan sisanya terdiri
dari substansi solid (10-20%) yang terdiri dari makanan yang tidak tercerna (selulosa), sisa
makanan yang tidak terabsorbsi, sel- sel saluran pencernaan (sel epitel) yang rusak, bakteri dan
unsur- unsur lain (+ 30%). Tinja yang dikeluarkan merupakan hasil pencernaan dari + 10 liter
cairan masuk dalam saluran cerna. Tinja normal menggambarkan bentuk dan ukuran liang kolon.
Perhatian terhadap pemeriksaan tinja di laboratorium dan klinik pada umumnya masih kurang.
Berlainan dengan pemeriksaan cairan tubuh lainnya, sampel tinja biasanya tidak dapat
dikeluarkan pada waktu hendak diperiksa dan penderita biasanya enggan untuk mengumpulkan
dan mengirimkannya untuk pemeriksaan. Hal yang sama dirasakan pula bila dokter, perawat atau
pegawai laboratorium lain diminta untuk melakukan pemeriksaan tinja.
Tinja merupakan spesimen yang penting untuk diagnosis adanya kelainan pada system traktus
gastrointestinal seperti diare, infeksi parasit, pendarahan gastrointestinal, ulkus peptikum,
karsinoma dan sindroma malabsorbsi. Pemeriksaan dan tes yang dapat dilakukan pada tinja
umumnya meliputi : Tes makroskopi, tes mikroskopi, tes kimia dan tes mikrobiologi.
Metode metode
1. Tes Makroskopi
1. Pra Analitik
a. Persiapan pasien : Pasien tidak dibenarkan makan obat pencehar sebelumnya. Preparat besi
akan mempengaruhi warna tinja dan sebaiknya dihentikan 4-6 hari sebelum pengambilan sampel.
Begitupun dengan obat- obat antidiare, golongan tetracycline, barium, bismuth, minyak atau
magnesium akan mempengaruhi hasil pemeriksaan.
b. Persiapan sampel : Sampel sebaiknya tinja segar (pagi hari) sebelum sarapan pagi, atau tinja
baru, defekasi spontan dan diperiksa dilaboratorium dalam waktu 2-3 jam setelah defekasi
(warm stool).
Pasien diberitahu agar sampel tinja jangan tercampur dengan urin atau sekresi tubuh lainnya.
Bila sarana laboratorium jauh dan membutuhkan waktu yang lebih lama, sampel sebaiknya
diberi pengawet buffered glycerol saline.
c. Pengumpulan/ pengambilan sampel
1. Wadah : Pot plastik yang bermulut lebar, tertutup rapat dan bersih. Beri label : nama, tanggal,
nomor pasien, jenis kelamin, umur, diagnosis awal. Tinja tidak boleh mengenai bagian luar

wadah dan diisi jangan terlalu penuh. Kertas toilet tidak dibenarkan sebagai wadah tinja oleh
karena mengandung bismuth.
2. Cara pengambilan :
a. Tinja segar : sebaiknya tinja pagi hari atau tinja baru dan defekasi spontan. Ambil tinja bagian
tengahnya sebesar ujung ibu jari, masukkan kedalam wadah dan tutup rapat.
b. Rectal swab
c. Anal swab ( jarang dilakukan )
2. Analitik
Alat
1. Lidi atau spatel kayu
2. Kapas lidi
Cara kerja
1. Sampel diperiksa ditempat yang terang
2. Perhatikan warna, bau, konsistensi, adanya darah, lender, nanah, cacing dll.
3. Pasca Analitik
Hasil dan interpretasi
1. Warna : normal tinja berwarna kuning coklat. Warna tinja yang abnormal dapat
disebabkan atau berubah oleh pengaruh jenis makanan, obat- obatan dan adanya
perdarahan pada saluran pencernaan
2. Bau : bau normal tinja disebabkan olah indol, skatol dan asam butirat. Tinja yang
abnormal mempunyai bau tengik, asam, basi.
3. Konsistensi : tinja normal agak lunak dan mempunyai bentuk seperti sosis
4. Lendir : Adanya lendir berarti ada iritasi atau radang dinding usus. Lendir pada bagian
luar tinja, lokasi iritasi mungkin pada usus besar dan bila bercampur dengan tinja, iritasi
mungkin pada usus kecil.
5. Darah : Normal tinja tidak mengandung darah. Perhatikan apakah darah itu segar (merah
muda), coklat atau hitam, apakah bercampur atau hanya dibagian luar tinja saja.

6. Parasit : Cacing mungkin dapat terlihat


Warna
Tidak Patologis
Patologis
Coklat, Coklat tua, kuning Oksidasi normal dari pigmen
coklat, coklat tua sekali
empedu
Dibiarkan lama diudara
Makanan yang
banyak daging
Hitam
Abu- abu / putih
Abu- abu muda sekali
Hijau atau kuning hijau

Merah

mengandung

Makanan mengandung zat besi , Pendarahan disaluran cerna


bismuth
bagian proksimal
Makanan mengandung coklat
Steatore (konsistensi seperti
bubur dan berbuih)
Makanan mengandung banyak Obstruksi saluran empedu
bahan susu barium
Makanan mengandung banyak Makanan melalui usus dalam
bayam, sayuran hijau lain. waktu cepat hingga pigmen
Pencahar berasal dari sayuran. empedu
belum
sempat
teroksidasi
Makanan yang mengandung Pendarahan yang berasal dari
banyak lobak merah (bit)
saluran cerna bagian distal

Tabel 1. Keadaan yang mempengaruhi warna tinja


1. Tes Mikroskopi
2. Pra Analitik
Persiapan sampel dan persiapan pasien sama dengan tes makroskopi
1. Analitik
1. Alat
1. Lidi/ kapas lidi
2. Kaca objek
3. Kaca penutup
4. Mikroskop
5. Reagen : Larutan eosin 2%, larutan lugol, larutan NaCl 0,9%

2. Cara kerja
1. Tetesi kaca objek disebelah kiri dengan 1 tetes NaCl 0,9% dan sebelah kanan
dengan 1 tetes larutan eosin 2% atau larutan lugol
2. Ambil tinja dibagian tengahnya atau pada permukaan yang mengandung lendir,
darah atau nanah + seujung lidi
3. Aduk sampai rata pada masing- masing larutan
4. Tutupi dengan kaca penutup
5. Periksa dibawah mikroskop, mula- mula dengan pembesaran 10x kemudian 40x.
Amati apakah ada telur cacing, amuba, eritrosit, leukkosit, sel epitel, Kristal, sisa
makanan dll
1. Pasca Analitik
Hasil dan interpretasi
1. Sel epitel. Beberapa sel epitel, yaitu yang berasal dari dinding usus bagian distal dapat
ditemukan dalam keadaan normal. Kalau sel epitel berasal dari bagian yang lebih
proksimal, sel- sel itu sebagian atau seluruhnya rusak. Jumlah sel epitel bertambah
banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus.
2. Makrofag. Sel- sel besar berinti satu memiliki daya fagositosis, dalam plasmanya sering
dilihat sel- sel lain (leukosit, eritrosit) atau benda- benda lain. Dalam preparat natif
( tanpa pewarnaan) sel- sel itu menyerupai amuba : perbedaanya ialah sel ini tidak dapat
bergerak.
3. Lekosit. Lebih jelas terlihat kalau tinja dicampur dengan beberapa tetes larutan asam
acetat 10%. Kalau hanya dilihat beberapa dalam seluruh sediaan, tidak ada artinya. Pada
disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan lain- lain, jumlah lekosit yang ditemukan
banyak menjadi besar.
4. Eritrosit. Hanya dilihat kalau lesi mempunyai lokalisasi dalam kolon, rectum atau anus.
Keadaan ini selalu bersifat patologis.
5. Kristal- Kristal. Pada umumnya tidakk banyak artinya. Dalam tinja normal mungkin
terlihat Kristal- Kristal tripelfosfat, kalsium oksalat dan asam lemak. Sebagai kelainan
mungkin dijumpai Kristal Charcot-Leyden dan Kristal hematoidin. Kristal CharcotLeyden biasanya ditemukan pada keadaan kelainan ulseratif usus, khususnya amubiasis.
Kristal hematoidin dapat ditemukan pada perdarahan usus.
6. Sisa makanan. Hampir selalu dapat ditemukan tertentu dikaitkan dengan sesuatu hal yang
abnormal. Sisa makanan itu sebagian berasal dari makanan daun- daunan dan sebagian

lagi makanan berasal dari makanan daun- daunan dan sebagian lagi makanan berasal dari
hewan, seperti serat otot, serat elastic, dll. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja
dicampur dengan larutan lugol : pati (amilum) yang tidak sempurna dicerna tampak
seperti butir- butir biru atau merah. Larutan jenuh Sudan III dan Sudan IV dalam alcohol
70% juga dipakai : lemak netral menjadi tetes- tetes merah atau jingga.
7. Telur cacing. Ascaris lumricoides, Necator americanus, Enterobius vermicularis
Trichiurus trichiura, Strongyloides stercoralis, dan sebagainya, juga yang termasuk genus
cestodas dan trematodas mungkin didapat.
Makroskopi/ Mikroskopi
Butir, kecil, keras, warna tua
Volume besar, berbau dan mengambang
Rapuh dengan lendir tanpa darah

Penyebab
Konstipasi
Malabsorbsi zat lemak atau protein
Sindroma usus besar yang mudah terangsang
inflamasi dangkal dan difus, adenoma dengan
jonjot- jonjot
Rapuh dengan darah dan lendir (darah nyata)
Inflamasi usus besar, tifoid, shigella, amubiasis,
tumor ganas
Hitam, mudah melekat seperti ter
Perdarahan saluran cerna bagian atas
Volume besar, cair, sisa padat sedikit
Infeksi non-invasif (kolera, E.coli keadaan
toksik, kkeracunan makanan oleh stafilokokus,
radang selaput osmotic (defisiensi disakharida,
makan berlebihan)
Rapuh mengandung nanah atau jaringan nekrotik Divertikulitis atau abses lain, tumor nekrotik,
parasit
Agak lunak, putih abu- abu sedikit
Obstruksi jaundice, alkoholik
Cair bercampur lendir dan eritrosit
Tifoid, kolera, amubiasis
Cair bercampur lendir dan leukosit
Kolitis
ulseratif,
enteritis,
shigellosis,
salmonellosis, TBC usus
Lendir dengan nanah dan darah
Kolitis ulseratif, disentri basiler, karsinoma
ulseratif colon, diverticulitis akut, TBC akut
Tabel 2. Beberapa diagnostic pada tes makroskopik dan mikroskopik tinja
1. TES KIMIA
Tes darah samar ( Occult blood Test ) cara Guaiac
1. Pra Analitik
1. Tujuan : Untuk mengetahui adanya perdarahan kecil yang tidak dapat dinyatakan
secara makroskopik atau mikroskopi.

2. Persiapan pasien : perlu dihindari zat- zat yang mengandung besi, vitamin c,
bromide, iodide, makanan yang mengandung mioglobin (daging), klorofil dan
peroksidase tumbuhan selama 2-3 hari. bila ditakutkan adanya perdarahan gusi
yang mungkin tertelan, penderita sebaiiknya tidak gosok gigi. perlu diperhatikan
juga agar tinja tidak tercampur dengan urin. Beberapa obat- obat dapat
memberikan hasil positif palsu, misalnya aspirin, salisilat, steroid, indometasid,
NSAIDS, antikoagulan, preparat besi, iodium.
3. Persiapan Sampel : Tidak ada persiapan khusus
4. Prinsip : Pembebasan O2 dari H2O2 menunjukkan adanya aktifitas peroksidase
molekul hemoglobin dan pelepasan oxidizes gum guaiac akan menghasilkan
produk oksidasi yang berwarna biru.
5. Analitik
1. Alat dan Bahan
1. Tabung Reaksi
2. Aquadest atau larutan NaCl 0,9 %
3. Serbuk Gum guaiac 3 gram
4. Alkohol 95 %
5. Asam asetat glasial
6. Hidrogen peroksidase (H2O2) 3%
2. Cara Kerja
1. Buatlah emulsi tiinja dalam tabung reaksi dengan air atau dengan larutan garam
kira- kira 5-10 ml dan panaskan hingga mendidih
2. Saringlah emulsi yang masih panas dan biarkan filtrat sampai menjadi dingin, dan
tambahkan 1 ml asam asetat glasial, campur
3. Dalam tabung reaksi kedua masukkan sepucuk pisau serbuk guaiac dan 2 ml
alcohol 95% campur.
4. Tuanglah secara hati- hati isi tabung kedua kedalam tabung yang berisi emulsi
tinja sehingga kedua jenis campuran tetap sebagai lapisan terpisah
5. Berikan 1 ml hydrogen peroksidase 3%, campur.

6. Hasil positif terlihat dari warna biru yang terjadi pada batas kadua lapisan itu
7. Hasil dibaca dalam waktu 5 menit (jangan lebih lama), perhatikan warna yang
timbul.
3. Interpretasi Hasil
negative : tidak ada perubahan warna atau hijau samar- samar
Positif 1

: hijau

Positif 2

: Biru- hijau

Positif 3

: Biru

Positif 4

: biru tua

1. Pasca Analitik
1. Interpretasi klinik :
Tes darah samar positif mungkin disebabkan oleh : karsinoma kolon, Colitis ulcerative,
Adenoma, Hernia diapragmatik, karsinoma lambung, Divertikulitis, Ulkus lambung.
DAFTAR PUSTAKA
Narang B,S and Reynolds T. Stool Examination, In Medical Laboratory Technology A Procedure
manual for Ruotine Diagnoctic Test, Vol.II, Tata Mc Graw hill Publisching Co Limited, New
Delhi, 1988 ; 880-891
Widmann FK. Tinjauan Klinis atas Hasil pemeriksaan Laboratorium, Edisi 9, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1995 ; 571- 584
Fischbach FT.Stool Examination, In A of Laboratory and Diagnostic Test, Ed V, Lippincott
Philadelphia, New York, 1998; 254-276
Herry J.B. et al. Examination of feces, in Clinical Diagnosis and Management by Laboratory
Methods, Nine Ed, WB Saunder Co, Philadelphia, 1996 ; 537-541
Burtis CA. Fecal Collection in Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry, Fourth Ed, WB
Sounders Company, 1996; 722-723.
Pemeriksaan tinja. Dalam Petunjuk Pemeriksaan Laboratorium puskesmas, Pusat Lab. Kesehatan
Bekerja sama dengan Dit. jend. Binkesmas, Jakarta, 1991 ; 63-67

Ganda Subrata. R. Penuntun Laboratorium Klinik, Cetakan ke-9, Dian Rakjat, Jakarta, 1999;
180- 185
Standar Pelayanan Medis FK-UNPAD-RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung, 1996; 38-40
Prianto J, dkk. Atlas Parasitologi Kedokteran, Cetakan ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1999.
Pathogenesis
Si salmonella ini masuk ke tubuh melalui makanan. Biasanya ada di makanan yang
terkontaminasi. Terkontaminasi apa? Kotoran manusia yang mengandung
salmonella. Jumlah salmonella yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia
sekitar 10 pangkat3- 10 pangkat6 colony forming unit.
Sebagian kuman yang tertelan dan masuk ke lambung akan mati sedangkan
sebagian kecil akan lolos dan masuk ke usus. Saudara saudara,,,ada beberapa
kondisi yang membuat kita rentan terhadap infeksi salmonella diantaranya
menurunnnya keasaman mukosa lambung (pada bayi < 1 tahun, konsumsi
antasida), disrupsi integritas usus (inflammatory bowel disease, penggunaan
antibiotic sehingga menganggu atau mengurangi flora normal, luka akibat operasi).
Nah kalau sistem pertahanan tubuh kita tidak baik, IgA di mukosa usus sedang
lemah maka salmonella akan menembus lapisan mukosa usus dan masuk ke sel M
yang ada di peyers patch (ini jaringan limfoid yang ada di usus) dan tembus ke
lamina propia. Di lamina propia ada makrofag yang akan memfagosit salmonella.
Namun salmonella dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam makrofag ini.
Why??? Ternyata oh ternyata si salmonella dapat menghasilkan suatu protein yang
bernama Pho P dan Pho Q sehingga lapisan lipopolisakrida membrane sel si bakteri
mampu melindunginya dari segala enzim di dalam makrofag yang dapat
menghancurkannya. Nah si makrofag yang mengandung salmonella dari peyers
patch di ileum distal akan menuju ke kelenjar limfe mesenterika, duktus torasikus
dan lalu ke sirkulasi sistemik (menyebabkan bakterimia asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial yaitu hati, limpa, nodus limfe, dan
sum sum tulang. Sampai disini fase ini dinamai periode inkubasi awal (initial
incubation) dan biasanya pasien tidak ada keluhan. Demam dan nyeri perut, baru
timbul jika jumlah bakteri sudah cukup banyak dan memicu sistem imun innate
(makrofag, granulosit, sel K dan lain lain). Di dalam hati dan limpa salmonella lalu
keluar dari makrofag. Salmonella lalu berkembang biak dan berkoloni di luar sel hati
atau di dalam sinusoid hati. Nah selanjutnya salmonella bisa masuk lagi ke sirkulasi
darah dan menyebabkan bakterimia simptomatik.
Koloni salmonella yang ada di hati akan memicu invasi sel mononuclear dan sel
imun selular lain ke hati sehingga terjadilah hepatomegali.
Salmonella yang mampir di hati ada juga yang masuk ke kantung empedu.,
berkembang biak disitu dan terbawa oleh ekskresi cairan empedu ke lumen usus.
sebagian bisa terbuang bersama feses atau masuk lagi ke Peyers patch. Proses
yang sama terulang ulang lagi kan. nah berhubung makrofag sudah tersensitisasi

sebelumnya (itu lho yang pertama2 salmonella dimakan makrofag) maka makrofag
jika bertemu dengan salmonella bebas dalam aliran darah maka makrofag akan
jadi hiperaktiv. Makrofag yang hiperaktiv akan memicu invasi sel mononuclear ke
dalam Peyers patch, awalnya peyers patch akan tampak hyperplasia lalu akan
nekrosis.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan salmonella dalam darah dengan cara kultur, tapi
sepertinya sepanjang saya lihat sebagai koas maupun sebagai pasien di Indonesia ini pakai Widal
atau Tubex (terbaru).
Uji
tubex
Uji tubex merupakan uji semi kuantitatif kolometrik. Pada intinya Uji tubex mendeteksi adanya
antibody anti-S typhi 09 pada serum pasien (09 itu saya juga kurang jelas maksdunya). Tetapi
kata buku IPD jilid 5, antigen 09 bersifat imunodominan dan dapat merangsang imun secara
independen. Karena sifatnya itu respon terhadap antigen 09 tergolong cepat sehingga deteksi bisa
dilakukan lebih dini yaitu pada hari ke 4-5 pada infeksi primer (blm pernah DT seumur2) dan
hari ke 2-3 pada infeksi sekunder. Uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat
mendeteksi
IgG
jadi
gak
cocok
buat
lihat
infeksi
masa
lampau.
Pada uji tubex digunakan 2 reagen. Reagen A adalah partikel magnetic yang diselubungi oleh
antigen S typhi 09 sedangkan reagen B adalah partikel lateks warna biru yang diselubungi
antibody spesifik untuk antigen 09. Cara kerjanya dengan memasukkan satu tetes serum pasien
suspek DT (di buku IPD bilangnya 25uL) ke tabung dan campur dengan 25uL reagen A (1 tetes).
setelah itu beri 2 tetes reagen B. konsepnya, jika dalam serum pasien tidak ada antibody terhadap
salmonella typhi 09 reagen B akan bereaksi dengan reagen A, dan ketika diletakkan pada rak
yang mengandung medan magnet komponen reagen A akan tertarik ke dasar dan membawa serta
reagen B yang berwarna biru. Sebagai akibatnya tabung akan berwarna merah karena warna
merah
adalah
warna
serum
yang
lisis.
Sebaliknya bila serum mengandung antibody salmonella T 09, antibody pasien akan berikatan
dengan reagen A dan menyebabkan reagen B tetap di tengah tidak tertarik ke dasar sehingga
larutan
berwarna
biru.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa uji ini memiliki sensitivitas sebesar 75-80% dan
spesifisitas sebesar 75-90%.
Uji
widal
Uji widal udah kadaluarsa banget, begitu kata seorang dosen parasitologi dan seorang dosen
ilmu penyakit dalam di FKUI. Tapi ada baiknya saya bahas juga walaupun udah rada capek
tangan
saya
ngetik
daritadi.
Uji widal berfungsi untuk mendeteksi adanya agglutinin (yah ini miriplah dengan antibody)
dalam serum penderita DT. Agglutinin ada macam macam agglutinin O untuk antigen dalam
tubuh kuman, agglutinin H untuk Ag dari flagel dan agglutinin Vi untuk Ag dari simpai kuman.

Reagen yang dipakai adalah antigen salmonella yang sudah dimatikan.


Nah agglutinin biasanya terbentuk pada akhir minggu pertama demam dan meningkat cepat
sampai minggu ke 4 dan tetap tinggi sampai beberapa minggu berikutnya. Pada fase akut yang
pertama muncul adalah agglutinin O, barulah agglutinin H. agglutinin O dapat menetap sampai
4-6 bulan dan agglutinin H sampai 9-12 bulan. Jika serum pasien yang mengandung agglutinin
salmonella dicampur reagen maka terjadilah reaksi aglutinasi. Itulah yang dicari :D
Widal biasanya dilakukan pada akhir minggu pertama demam.
PATOFISIOLOGI SIROSIS
Patofisiologi Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini
menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan
ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati,
walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa
dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini
dapat menghubungkan daerah porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan
membentuk nodul dengan berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan
pembuluh hepatik dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal
demikian dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya
terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi
fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi ireversibel bila
telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran
septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi
mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral.
Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator
timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif
ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.

Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas
jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal. Dapat dijelaskan dengan
persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO: Cardiac output) adalah fungsi frekuensi
jantung (HR: Heart Rate) x Volume Sekuncup (SV: Stroke Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung berkurang,
sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung.
Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai,

maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah
jantung.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang tergantung
pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum Starling pada jantung yang menyatakan
bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh
panjangnya regangan serabut jantung); (2) Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi
yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium); (3) Afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa
darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik pada jantung
dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang akibat penekanan kontraktilitas
atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua
ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir
diastolik dan menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan
terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi
peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi
pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang akan menyebabkan
transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema sistemik.
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan arterial atau
penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan humoral. Peningkatan aktivitas
sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan
meningkatkan volume darah sentral yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun adaptasi-adaptasi
ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh
karena itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada
pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan peningkatan preload dapat memperburuk kongesti
pulmoner.
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer. Adaptasi ini dirancang
untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital, tetapi jika aktivasi ini sangat meningkat malah akan
menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah
penurunan aliran darah ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan
retensi sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-aldosteron juga akan teraktivasi, menimbulkan
peningkatan resistensi vaskuler perifer selanjutnya dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana
retensi sodium dan cairan.

Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin dalam sirkulasi, yang
juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan. Pada gagal jantung terjadi peningkatan
peptida natriuretik atrial akibat peningkatan tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi
resistensi terhadap efek natriuretik dan vasodilator.

You might also like