Professional Documents
Culture Documents
Penyusun :
dr Afifatul Hakimah
Pendamping:
dr Utariyah Budiastuti
NamaPeserta
: dr Afifatul Hakimah
NamaWahana
: RSUD Batang
Topik : Grave Disease dan Bronkopneumoni Dextra
TanggalKasus : Januari 2016
NamaPasien :Tn.M
No RM : 341552
TanggalPresentasi: Agustus 2016
NamaPendamping : dr Utariyah Budiastuti
TempatPresentasi :Ruang Komite Medik RSUD Batang
ObyektifPresentasi :
Keilmuan
Ketrampilan
Penyegaran
TinjauanPustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi :
Tujuan : diagnosis, manajemen, prevensi
Bahan Bahasan :
TinjauanPustaka Riset
Kasus
Audit
Cara Pembahasan : Diskusi
Presentasidandiskusi Email
Pos
BAB I
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
A. Nama: Tn. M
B. Usia: 47 tahun
C. Jenis Kelamin: Laki-laki
D. Agama: Islam
2
E.
F.
G.
H.
I.
II.
Pekerjaan: Petani
Alamat: Sibebek, Bawang
No. CM: 341552
Tanggal Masuk RS: 14-1-2016 pukul 13.50 WIB
Cara Pembayaran: BPJS PBI
ANAMNESIS
A. Keluhan Utama: diare cair
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Batang dengan keluhan demam 2 hari ini,
demam tinggi sepanjang hari. Pasien juga mengeluh BAB cair sejak 1 hr yang
lalu, ampas sedikit, darah (-). Pasien mengatakan bahwa psien sering gelisah,
berdebar debar dan sesak nafas apabila terlalu lelah bekerja. 2 minggu ini
pasien batuk berdahak, dahak biasa, darah (-). Pasien juga menderita sariawan
di gusi dan bibir sejak 1 minggu. Pasien mengaku berat badan semakin turun
sejak 3 bulan terakhir, padahal nafsu makan meningkat. Pasien mengaku cepat
berkeringat dan tangan sering basah serta mudah lelah. Karena semakin hari
keluhan semakin memberat dan ditambah dengan diare, pasien memeriksakan
diri ke IGD RSUD Batang.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit ginjal
Riwayat asma
Riwayat alergi
Riwayat TBC
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di Bangsal Melati, tanggal 15 Januari 2016
Status Generalis:
1. Keadaan Umum: Tampak lemas, gelisah
2. Kesadaran: Composmentis; E4V5M6
3. Pemeriksaan Tanda Vital:
4. Pemeriksaan Kepala
Bentuk: Mesocephal,
Mata: Conjungtiva anemis -/- Sklera ikterik -/- Pupil isokor 3mm/3mm
reaktif +/+, eksoftalmos +/+ (minimal), lid rtraction -/-, lid lag -/o Stellwag sign
: -/o Von grave sign : -/o Mobius sign
: -/o Joffroy sign
: -/o Rossenbach sign
: -/ THT: Napas cuping hidung -/- discharge -/- darah -/5. Cavum Oris: Bibir kering pucat, stomatitis +
6. Regio Colli:
Inspeksi
Terlihat pembesaran di leher simetris, difus, warna sama dengan kulit sekitar,
Palpasi
:
4
sinistra
S1 S2 ireguler, murmur (-), gallop (-)
9. Abdomen
Inspeksi : datar, distensi (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), vena kolateral (-),
hernia umbikalis (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) meningkat
Perkusi
: timpani, Pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi (-), area troube timpani
Palpasi
: Supel (+), nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
10. Ekstremitas: Hangat, nadi isi dan tegangan cukup, simetris kanan dan kiri ;
capillary refill <2/<2, edem -/-
No
1
2
3
4
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah Berat
Sesak saat kerja
Berdebar
Kelelahan
Suka udara panas
Nilai
+1
+2
+2
-5
5
5
6
7
8
9
10
11
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
+5
+3
+2
+3
-3
-3
+3
Tanda
Tyroid teraba
Bising tyroid
Exoptalmus
Kelopak mata tertinggal gerak bola mata
Hiperkinetik
Tremor jari
Tangan panas
Tangan basah
Fibrilasi atrial
Nadi teratur
Ada
+3
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1
+4
Tidak Ada
-3
-2
-2
-2
-1
-
-3
+3
Skor = 28 hipertiroid
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan EKG
Nama Pemeriksaan
Hemoglobin (Hb)
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Basofil
Eosinofil
Neutrofil
Limfosit
Limfosit Absolut
Monosit
RDW-SD
RDW-CV
LED 1 jam
LED 2 jam
Ureum
Creatinin
Glukosa Sewaktu
Anti Dengue Ig G
Anti Dengue Ig M
Salmonela Typhi IgM
Hasil
10.5 g/dl
13.39 x 103ul
169.000 ul
4.1 x 106 uL
30.9%
75.4 fl
25.6 pg
34 g/dl
0.1
0.1
73.3
12.9
1.73x103/uL
13.2
38 fL
14.4%
60.0 mm/jam
85.0 mm/2 jam
23.0 mg/dL
0.80 mg/dL
77 mg/dL
Positif
Negatif
2.0 (negatif)
Nilai Rujukan
14.0-18.0
4.50-13.50 x 103
150.000-450.000
4.5x 106 - 5.300 x 106
37.0.-49.0
78.0-98.0
25.0-35.0
31.0-37.0
0-1
0-5
42-74
17-45
0.90-5.20
2-8
37-54
11-16
<10
<20
10.0 50.0
0.6 1.1
70-140
Negatif
Negatif
Negatif <= 2
Borderline 3
26
27
FT4
TSHS
97 pmol/L
0.01
Positif >=4
9-20
Euthyroid 0.25 - 5
7
(hyperthyroid)
INTERPRETASI:
VI.
DIAGNOSA
Grave disease dan Bronkopneumonia dextra
PENATALAKSANAAN
A. Terapi
1. O2 nasal kanul 3 lpm
8
FOLLOW UP
TANGGA
L
15/01/16
PERJALANAN PENYAKIT
O:
2. Inf. 2 jalur: Nacl 15tpm ,
15 tpm
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
4. Inj. Ciprofloksasin
500mg/12j
500mg/6jam
gallop (-)
9. Inj. Methyl prednisolon
Abd: dbn
1/4amp/8jam
10. Bisoprolol 1x2.5mg
16/01/16
O:
15 tpm
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
500mg/12j
4. Inj. Pantoprazol 1A/24 j
5. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j
6. Inj. Cernevit 1amp/ j
7. Inf. Paracetamol
500mg/6jam
8. Inj. Methyl prednisolon
1/4amp/8jam
gallop (-)
9. Bisoprolol 1x2.5mg
Abd: dbn
10. PTU 3x1
17/01/16
A:
dextra
S: sudah tidak sesak, dada masih
berdebar, batuk berkurang
O:
15 tpm
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
Abd: dbn
A:
dextra
S: masih batuk sedikit-sedikit
O:
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
15 tpm
2. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 j
3. Inj. Ciprofloksasin
500mg/12j
4. Inj. Pantoprazol 1A/24 j
5. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j
stomatitis membaik
7. Inf. Paracetamol
500mg/8jam
Abd: dbn
9. Bisoprolol 1x2.5mg
dextra
S: batuk masih sedikit, pasien minta
pulang
O:
15 tpm
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
5. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j
500mg/12j
4. Inj. Pantoprazol 1A/24 j
-/-stomatitis membaik
7. Inf. Paracetamol
Abd: dbn
A:
500mg/8jam
8. Inj. Methyl prednisolon
1/4amp/8jam
9. Bisoprolol 1x2.5mg
10. PTU 3x1
11. Candistatin 3x 10 tetes
12. Codein 3x1
dextra
13. Ambroxol 3x1
25/02/2016
S: BLPL
O:
Cefixim 2 x 1
110/70; RR: 20
Lansoprazol 2x1
KU: Baik
Kes: CM / E4V5M6
PTU 3x1
Bisoprolol 1 x 2.5mg
Ambroxol 3x1
gallop (-)
Abd: dbn
A:
Graves disease dan bronkopneumoni
dextra
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
(goiter
difusa
toksika)
merupakan
penyebab
tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh produksi
autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit
Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu
17
19
20
Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan konversi dari
T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya produksi hormon tiroid
justru turun. Secara teoritis stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper,
meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress
akut maupun kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific
mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.
3. Radiasi Tiroid eksternal
Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah mengalami
radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis radiasi ini yang
merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen
serta menyulut penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam
pada subset sel T, yang mendorong disregulasi imun.
4. Chorionic Gonadothropin Hormon
Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh jaringan
trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara imunologik crossreact dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG (yang mempunyai sub unuit
alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG yang desialated. Efek yang menyerupai
efek TSH pun dikeluarkan oleh karsinoma testis embrional (seminoma testis). Secara
klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum, dimana T4 dan
juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau hebat maka klinis terlihat
tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya berhenti maka kadar hormon tiroid
diatas kembali normal.
D. Patofisiologi Graves Disease
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang
berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan
penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis
terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves (Shahab,
2002).
21
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan
orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin
yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita,
sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin,
seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin,
terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin
didalam otot jantung (Shahab, 2002).
22
konvergensi (Price dan Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik dari penyakit graves
antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus (Stein,
2000).
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid
Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya
diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan
jaringan orbita. Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai
edema periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3,
ditandai
dengan
adanya
proptosis
yang
dapat
dideteksi
dengan
Hertel
exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses
infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran
menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan
terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai
dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6, ditandai dengan kerusakan
nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan (Shahab, 2002).
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis
(penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga
dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan
pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian
posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan
(Shahab, 2002).
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum
ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat
banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala
utama penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi
peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).
24
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan
adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan
(Shahab, 2002).
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang
ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan
pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga
terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun,
pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai
berikut:
Tabel 1: Indeks Wayne
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah Berat
Sesak saat kerja
Berdebar
Kelelahan
Suka udara panas
Suka udara dingin
Keringat berlebihan
Gugup
Nafsu makan naik
Nafsu makan turun
Berat badan naik
Berat badan turun
Tanda
Tyroid teraba
Bising tyroid
Exoptalmus
Kelopak mata tertinggal gerak bola mata
Hiperkinetik
Tremor jari
Tangan panas
Tangan basah
Fibrilasi atrial
Nadi teratur
Nilai
+1
+2
+2
-5
+5
+3
+2
+3
-3
-3
+3
Ada
+3
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1
+4
Tidak Ada
-3
-2
-2
-2
-1
-
-3
25
+3
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema
dibawah ini:
kemungkinan
keganasan.
Graves
selalu
dengan
gondok
27
Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun dengan
pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun meningkat sesudah
pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk menggantikan anti-Tg-Ab, sebab
hampir semua anti Tg-Ab positif juga positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak
sebaliknya.
Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara sebagai
berikut:
1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis
2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.
3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH yaitu TSAb
(yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs dalam sirkulasi justru
rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU) yang meningkat.
4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah diagnosis
ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah normal dan alkali
fosfatase meningkat.
Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga
diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan
pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan
neurologik primer (Shahab, 2002).
Pada
sindrom
yang
dikenal
dengan
familial
dysalbuminemic
4.
Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga
dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada
penderita tirotoksikosis antara lain:
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
- Terapi yodium radioaktif.
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara
-
adekuat.
Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,
alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme
tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar
T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi
dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid
(Shahab, 2002).
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan
produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis
tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan
29
jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi
(Shahab, 2002).
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh
kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis
tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme
dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan
jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir
rendah serta peningkatan angka kematian perinatal (Mansjoer, 1999).
F. Penatalaksanaan Graves Disease
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves
adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol
keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap
hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi
Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001;
Shahab, 2002).
1. Obat obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme
aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid
T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,
menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang
utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU,
tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3
ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan
segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat
diberikan sebagai dosis tunggal.
30
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan
menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan
sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan
sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat
antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid
secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal
pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan 100 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol
dimulai dengan 20 40 mg/hari dosis terbagi untuk 3 6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis
terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 10 mg/hari yang masih
dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar FT4 dalam batas normal.
Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia,
dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan
memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum
obat, aktivitas fisis dan psikis
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan
kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap
pagi selama 1 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping,
yaitu
agranulositosis
(metimazol
mempunyai
efek
samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema,
Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
31
untuk
mengendalikan
manifestasi
klinis
tirotoksikosis
33
34
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif
perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan
diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif.
Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat
bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien
hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT (Shahab, 2002).
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.
Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium
dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan
baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama
menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau
OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras
dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari (Shahab, 2002).
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek samping lain yang perlu diwaspadai
adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen
tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah
dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang
terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak
(leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum
minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan
kemungkinan gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3
sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup
35
tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena
akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian
tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme (Shahab,
2002).
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester
ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan mekanisme yang belum
diketahui terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin
receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan
demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan
obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman (Subekti, 2001).
KESIMPULAN
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik
yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria, terutama pada usia 20
40 tahun.
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal hipertiroidisme, goiter
difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan
proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya
palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila T3 dan
T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid
tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan
37
(scan dan USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah
eksaserbasi akut yang dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat
anti tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131).
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi
hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3,
pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi
homeostatik (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
38
DAFTAR PUSTAKA
Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 265
Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PDKE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease, Majalah
Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 64
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius, Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 778
Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P.,
Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080
Shahab
A,
2002,
Penyakit
Graves
(Struma
Diffusa
Toksik)
Diagnosis
dan
39