You are on page 1of 39

LAPORAN KASUS

GRAVE DISEASE DAN BRONKOPNEUMONI DEXTRA

Penyusun :
dr Afifatul Hakimah

Pendamping:
dr Utariyah Budiastuti

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD BATANG
2016
BORANG PORTOFOLIO
1

NamaPeserta
: dr Afifatul Hakimah
NamaWahana
: RSUD Batang
Topik : Grave Disease dan Bronkopneumoni Dextra
TanggalKasus : Januari 2016
NamaPasien :Tn.M
No RM : 341552
TanggalPresentasi: Agustus 2016
NamaPendamping : dr Utariyah Budiastuti
TempatPresentasi :Ruang Komite Medik RSUD Batang
ObyektifPresentasi :
Keilmuan
Ketrampilan
Penyegaran
TinjauanPustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi :
Tujuan : diagnosis, manajemen, prevensi
Bahan Bahasan :
TinjauanPustaka Riset
Kasus
Audit
Cara Pembahasan : Diskusi
Presentasidandiskusi Email
Pos

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
A. Nama: Tn. M
B. Usia: 47 tahun
C. Jenis Kelamin: Laki-laki
D. Agama: Islam
2

E.
F.
G.
H.
I.
II.

Pekerjaan: Petani
Alamat: Sibebek, Bawang
No. CM: 341552
Tanggal Masuk RS: 14-1-2016 pukul 13.50 WIB
Cara Pembayaran: BPJS PBI

ANAMNESIS
A. Keluhan Utama: diare cair
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Batang dengan keluhan demam 2 hari ini,
demam tinggi sepanjang hari. Pasien juga mengeluh BAB cair sejak 1 hr yang
lalu, ampas sedikit, darah (-). Pasien mengatakan bahwa psien sering gelisah,
berdebar debar dan sesak nafas apabila terlalu lelah bekerja. 2 minggu ini
pasien batuk berdahak, dahak biasa, darah (-). Pasien juga menderita sariawan
di gusi dan bibir sejak 1 minggu. Pasien mengaku berat badan semakin turun
sejak 3 bulan terakhir, padahal nafsu makan meningkat. Pasien mengaku cepat
berkeringat dan tangan sering basah serta mudah lelah. Karena semakin hari
keluhan semakin memberat dan ditambah dengan diare, pasien memeriksakan
diri ke IGD RSUD Batang.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit ginjal
Riwayat asma
Riwayat alergi
Riwayat TBC

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga:


Pasien mengaku tidak ada keluarga yang menderita sakit serupa
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat diabetes mellitus
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat TBC
: disangkal
E. Riwayat Penyakit Sosial dan Lingkungan
Pasien seorang petani bekerja di sawah. Pasien menikah 1 x, memiliki 1 orang
istri dan 3 oramg anak yang sudah bekerja. Status ekonomi : menengah ke
bawah.
3

Pasien bukan seorang perokok, tidak pernah mengkonsumsi alkohol, tidak


menggunakan narkoba, dan hanya berhubungan dengan istrinya. Riwayat
makan makanan mengandung karsinogenik disangakal.
III.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di Bangsal Melati, tanggal 15 Januari 2016
Status Generalis:
1. Keadaan Umum: Tampak lemas, gelisah
2. Kesadaran: Composmentis; E4V5M6
3. Pemeriksaan Tanda Vital:

Tekanan Darah: 110/70 mmHg


Nadi: 155x/ menit irreuler
Respiration Rate: 26 kali per menit
Suhu: 39,3 C

4. Pemeriksaan Kepala
Bentuk: Mesocephal,
Mata: Conjungtiva anemis -/- Sklera ikterik -/- Pupil isokor 3mm/3mm
reaktif +/+, eksoftalmos +/+ (minimal), lid rtraction -/-, lid lag -/o Stellwag sign
: -/o Von grave sign : -/o Mobius sign
: -/o Joffroy sign
: -/o Rossenbach sign
: -/ THT: Napas cuping hidung -/- discharge -/- darah -/5. Cavum Oris: Bibir kering pucat, stomatitis +
6. Regio Colli:
Inspeksi

Terlihat pembesaran di leher simetris, difus, warna sama dengan kulit sekitar,
Palpasi

:
4

Teraba sebuah pembesaran difus, konsistensi kenyal, permukaan rata, nyeri


tekan (-), suhu sama dengan sekitar,
Tidak teraba pembesaran KGB di servikal, jugular, submandibular dan
klavikular
Auskultasi : bruit (+)
7. Thorax Pulmo: Datar, Simetris statis dan dinamis, tidak nampak jejas, SDV +/+
Rhonki +/+ Wheezing -/- Stridor -/8. Cor: Tampak ictus cordis, kuat angkat,
Batas kanan atas

: SIC II linea parasternalis dextra

Batas kiri atas

: SIC II linea parasternalis sinistra

Batas kanan bawah

: SIC IV linea parasternalis dextra

Batas kiri bawah

: SIC VI 1 jari lateral linea midclavicularis

sinistra
S1 S2 ireguler, murmur (-), gallop (-)
9. Abdomen
Inspeksi : datar, distensi (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), vena kolateral (-),
hernia umbikalis (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) meningkat
Perkusi
: timpani, Pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi (-), area troube timpani
Palpasi
: Supel (+), nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
10. Ekstremitas: Hangat, nadi isi dan tegangan cukup, simetris kanan dan kiri ;
capillary refill <2/<2, edem -/-

No
1
2
3
4

Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah Berat
Sesak saat kerja
Berdebar
Kelelahan
Suka udara panas

Nilai
+1
+2
+2
-5
5

5
6
7
8
9
10
11

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10

Suka udara dingin


Keringat berlebihan
Gugup
Nafsu makan naik
Nafsu makan turun
Berat badan naik
Berat badan turun

+5
+3
+2
+3
-3
-3
+3

Tanda
Tyroid teraba
Bising tyroid
Exoptalmus
Kelopak mata tertinggal gerak bola mata
Hiperkinetik
Tremor jari
Tangan panas
Tangan basah
Fibrilasi atrial
Nadi teratur

Ada
+3
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1
+4

Tidak Ada
-3
-2
-2
-2
-1
-

< 80x per menit

-3

80 90x per menit

> 90x per menit

+3

Skor = 28 hipertiroid
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan EKG

Kesan : VES multifocal, Atrial Fibrilasi


B. Laboratorium 20/02/2016
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20
21
22
23
24
25

Nama Pemeriksaan
Hemoglobin (Hb)
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Basofil
Eosinofil
Neutrofil
Limfosit
Limfosit Absolut
Monosit
RDW-SD
RDW-CV
LED 1 jam
LED 2 jam
Ureum
Creatinin
Glukosa Sewaktu
Anti Dengue Ig G
Anti Dengue Ig M
Salmonela Typhi IgM

Hasil
10.5 g/dl
13.39 x 103ul
169.000 ul
4.1 x 106 uL
30.9%
75.4 fl
25.6 pg
34 g/dl
0.1
0.1
73.3
12.9
1.73x103/uL
13.2
38 fL
14.4%
60.0 mm/jam
85.0 mm/2 jam
23.0 mg/dL
0.80 mg/dL
77 mg/dL
Positif
Negatif
2.0 (negatif)

Nilai Rujukan
14.0-18.0
4.50-13.50 x 103
150.000-450.000
4.5x 106 - 5.300 x 106
37.0.-49.0
78.0-98.0
25.0-35.0
31.0-37.0
0-1
0-5
42-74
17-45
0.90-5.20
2-8
37-54
11-16
<10
<20
10.0 50.0
0.6 1.1
70-140
Negatif
Negatif
Negatif <= 2
Borderline 3

26
27

FT4
TSHS

97 pmol/L
0.01

Positif >=4
9-20
Euthyroid 0.25 - 5
7

(hyperthyroid)

Hyperthyroid < 0.15


Hypothyroid > 7

C. Pemeriksaan Radiologi Foto Thorax PA (20/2/2016)

INTERPRETASI:

Corakan bronkovaskuler pulmo dalam batas normal


Tampak perselubungan pulmo dextra
Sinus dextra tumpul. Diafragma licin
Cor : CTR > 0,5
KESAN:
Bronkopneumoni dextra
Efusi pleura dextra
Cardiomegali
D. Hasil Pemeriksaan VCT : Non Reaktif
V.

VI.

DIAGNOSA
Grave disease dan Bronkopneumonia dextra
PENATALAKSANAAN
A. Terapi
1. O2 nasal kanul 3 lpm
8

2. Inf. 2 jalur: Nacl 15tpm , Asering : Aminofluid 2:1 , 15 tpm


3. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 j
4. Inj. Ciprofloksasin 500mg/12j
5. Inj. Pantoprazol 1A/24 j
6. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j
7. Inj. Cernevit 1amp/ j
8. Inf. Paracetamol 500mg/6jam
9. Inj. Methyl prednisolon 1/4amp/8jam
10. Bisoprolol 1x2.5mg
11. PTU 3x1
12. Candistatin 3x 10 tetes
13. Loperamid 4x1
14. Codein 3x1
15. Ambroxol 3x1
B. Monitoring
1. Kesadaran
2. Keadaan Umum
3. Tanda-tanda Vital (suhu, nadi, TD, RR)
4. EKG
5. Tanda kegawatan syok kardiogenik
VII.

FOLLOW UP

TANGGA
L
15/01/16

PERJALANAN PENYAKIT

TERAPI YANG DIBERIKAN

S: demam (+), sesak berkurang, dada


berdebar, diare berkurang 2x sehari

1. O2 nasal kanul 3 lpm

ampas >>, batuk berkurang


9

O:
2. Inf. 2 jalur: Nacl 15tpm ,

TTV: t: 38 ; HR 132x; TD:

Asering : Aminofluid 2:1

110/60; RR: 26x

15 tpm

KU: Baik

3. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 j

Kes: CM / E4V5M6

4. Inj. Ciprofloksasin
500mg/12j

Mata: CA-/- SI -/-, eksoftalmos

THT: discharge -/- NCH -/-,


stomatitis +

Thorax: SDV +/+ RH +/+ WH-/-

5. Inj. Pantoprazol 1A/24 j


6. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j
7. Inj. Cernevit 1amp/ j
8. Inf. Paracetamol

Cor: s1s2 ireguler; murmur (-);

500mg/6jam

gallop (-)
9. Inj. Methyl prednisolon

Abd: dbn

Ext: Hangat, nadi isi dan

1/4amp/8jam
10. Bisoprolol 1x2.5mg

tegangan kuat, edem -/11. PTU 3x1


A:
Graves disease dan bronkopneumoni
dextra

12. Candistatin 3x 10 tetes


13. Codein 3x1
14. Ambroxol 3x1

16/01/16

S: sudah tidak sesak, dada berdebar,


BAB biasa, batuk berkurang

1. Inf. 2 jalur: Nacl 15tpm ,


Asering : Aminofluid 2:1

O:

15 tpm

TTV: t: 37,2; HR: 130; TD:


114/75; RR: 22

2. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 j


3. Inj. Ciprofloksasin
10

KU: Baik

Kes: CM / E4V5M6

Mata: CA-/- SI -/-, eksoftalmos

THT: discharge -/- NCH -/-,


stomatitis +

Thorax: SDV +/+ RH +/- WH-/-

Cor: s1s2 i reguler; murmur (-);

500mg/12j
4. Inj. Pantoprazol 1A/24 j
5. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j
6. Inj. Cernevit 1amp/ j
7. Inf. Paracetamol
500mg/6jam
8. Inj. Methyl prednisolon
1/4amp/8jam

gallop (-)
9. Bisoprolol 1x2.5mg

Abd: dbn
10. PTU 3x1

Ext: Hangat, nadi isi dan


tegangan kuat, edem -/-

17/01/16

11. Candistatin 3x 10 tetes

A:

12. Codein 3x1

Graves disease dan bronkopneumoni

13. Ambroxol 3x1

dextra
S: sudah tidak sesak, dada masih
berdebar, batuk berkurang

1. Inf. 2 jalur: Nacl 15tpm ,


Asering : Aminofluid 2:1

O:

15 tpm

TTV: t: 36,2; HR: 128; TD:


100/64; RR: 20

KU: Baik

Kes: CM / E4V5M6

Mata: CA-/- SI -/-, eksoftalmos

2. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 j


3. Inj. Ciprofloksasin
500mg/12j
4. Inj. Pantoprazol 1A/24 j
5. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j
11

THT: discharge -/- NCH -/stomatitis membaik

Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/-

Cor: s1s2 reguler; murmur (-);


gallop (-)

Abd: dbn

Ext: Hangat, nadi isi dan


tegangan kuat, edem -/-

A:

6. Inj. Cernevit 1amp/ j


7. Inf. Paracetamol
500mg/8jam
8. Inj. Methyl prednisolon
1/4amp/8jam
9. Bisoprolol 1x2.5mg
10. PTU 3x1
11. Candistatin 3x 10 tetes
12. Codein 3x1

Graves disease dan bronkopneumoni


18/01/16

dextra
S: masih batuk sedikit-sedikit

13. Ambroxol 3x1


1. Inf. 2 jalur: Nacl 15tpm ,

O:

Asering : Aminofluid 2:1

TTV: t: 36,5; HR: 126; TD:


116/66; RR: 20

KU: Baik

Kes: CM / E4V5M6

Mata: CA-/- SI -/-, eksoftalmos

THT: discharge -/- NCH -/-

15 tpm
2. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 j
3. Inj. Ciprofloksasin
500mg/12j
4. Inj. Pantoprazol 1A/24 j
5. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j

stomatitis membaik

6. Inj. Cernevit 1amp/ j

Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/-

7. Inf. Paracetamol
500mg/8jam

Cor: s1s2 reguler; murmur (-);


gallop (-)

8. Inj. Methyl prednisolon


1/4amp/8jam
12

Abd: dbn

9. Bisoprolol 1x2.5mg

Ext: Hangat, nadi isi dan

10. PTU 3x1

tegangan kuat, edem -/A:


Graves disease dan bronkopneumoni
19/01/2016

dextra
S: batuk masih sedikit, pasien minta

11. Candistatin 3x 10 tetes


12. Codein 3x1
13. Ambroxol 3x1
1. Inf. 2 jalur: Nacl 15tpm ,

pulang

Asering : Aminofluid 2:1

O:

15 tpm

TTV: t: 36,5; HR: 119; TD:


110/60; RR: 20

2. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 j


3. Inj. Ciprofloksasin

KU: Baik

Kes: CM / E4V5M6

Mata: CA-/- SI -/-, eksoftalmos

5. Inj.Ondacentron 4 mg/8 j

THT: discharge -/- NCH

6. Inj. Cernevit 1amp/ j

500mg/12j
4. Inj. Pantoprazol 1A/24 j

-/-stomatitis membaik
7. Inf. Paracetamol

Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/-

Cor: s1s2 reguler; murmur (-);


gallop (-)

Abd: dbn

Ext: Hangat, nadi isi dan


tegangan kuat, edem -/-

A:

500mg/8jam
8. Inj. Methyl prednisolon
1/4amp/8jam
9. Bisoprolol 1x2.5mg
10. PTU 3x1
11. Candistatin 3x 10 tetes
12. Codein 3x1

Graves disease dan bronkopneumoni


13

dextra
13. Ambroxol 3x1
25/02/2016

S: BLPL

O:

TTV: t: 36,2; HR: 102; TD:

Cefixim 2 x 1

110/70; RR: 20

Lansoprazol 2x1

KU: Baik

Methyl prednisolon 2x1

Kes: CM / E4V5M6

PTU 3x1

Mata: CA-/- SI -/-,eksoftalmos

Bisoprolol 1 x 2.5mg

THT: discharge -/- NCH -/-

Candistatin 3x10 tetes

Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/-

Cor: s1s2 reguler; murmur (-);

Ambroxol 3x1

gallop (-)

Abd: dbn

Ext: Hangat, nadi isi dan


tegangan kuat, edem -/-

A:
Graves disease dan bronkopneumoni
dextra

14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya memiliki berat
15 - 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam hormon, yaitu tiroksin (T4), triiodotironin
(T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan kelenjar endokrin (tidak mempunyai
ductus) dan bilobular (kanan dan kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di
depan trachea tepat di bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang
membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.

Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:


1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta atau A.
anonyma.

Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:


1. V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).
15

2. V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).


3. V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri).
Persarafan kelenjar tiroid:
1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang N.vagus)
3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita suara
terganggu (serak/stridor)
Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

1. Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.


2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid merupakan satusatunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai status valensi yang lebih
tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil
dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim tiroperoksidase
(tipe enzim peroksidase).
4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi T4
(tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3
(triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi dihambat oleh I,
sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah. Proses ini
dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi, dimana
tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan kompleks
golgi.
16

Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan


Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara cepat
berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap
berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa
hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan
mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4 dan 65%
T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik, termasuk 10%
dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas
biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang
disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu
yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang
mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah
bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel.

Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid


1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan dengan
reseptornya di inti sel.
2. Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP (adenosin
trifosfat) meningkat.
3. Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.
4. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa janin
B. Definisi Graves Disease
Penyakit Graves

(goiter

difusa

toksika)

merupakan

penyebab

tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh produksi
autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit
Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu
17

pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan


kadang-kadang dengan dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001; Stein, 2000; Harrison,
2000).
C. Etiologi Graves Disease
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan thyroidstimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan thyrotropin
receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit
Graves berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang
spesifik, seperti hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang
infiltrative dermopathy (Karasek dan Lewinski, 2003).
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita
mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar
50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam
darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan
dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun
sampai 40 tahun (Shahab, 2002; Harrison, 2000).
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor
trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara drastis, chorionic
gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal (Moelyanto,
2007).
1. Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara mengelompok
dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-sehari sering
ditemukan pengelompokkan penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga
besarnya dalam beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon
TRH yang abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk
penderita penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam penyakit graves.
Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang berhubungan dengan alotipe IgG rantai
berat (IgG heavy chain) yang disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan
erat terlihat antara penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3 sedangakan pada orang
Jepang HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4 dan di Filipina seperti
dilaporkan oleh Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan risk-ration 5,1.
18

Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memproduksi


immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam mengatur fungsi limfosit
T-supresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan
limfosit B untuk membuat TSAb.
2. Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ spesifik,
yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid (thyroid
stimulating antibody atau TSAb).
Teori imunologis penyakit graves :
a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif
b. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic khusus
c. rendahnya sel T dengan fungsi suppressor
d. adanya cross reacting epitope
e. adanya ekspresi HLA yang tidak tepat
f.

adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi

g. stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T


h. adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.
Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem imun tidak bereaksi
atau memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen tubuh sendiri yang disebut
mempunyai toleransi imunologik terhadap komponen diri. Apabila toleransi ini gagal
dan sistem imun mulai bereaksi terhadap komponen diri maka mulailah proses yang
disebut autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap
komponen tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode
prenatal. Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari berbagai
faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik, hormonal dan faktor lain,
sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek secara tunggal maupun sinkron dengan
faktor lainnya. Adanya autoantibodi dapat menyebabkan kerusakan autoimune
jaringan, dan sebaliknya seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated response, yang
biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya TSAb,
Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap jaringan orbita, TBII dan respons
CMI (Cell Mediated Immunoglobulin).

19

Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb. Setelah terikat


dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH dan merangsang
adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu reseptor TSH pada setiap sel
tiroid. Kecuali berbeda karena efeknya yang lama, efek seluler yang ditimbulkannya
identik dengan efek TSH yang berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat menembus
plasenta dan transfer pasif ini mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun
neonatal, tetapi hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi.
Biasanya pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya TSAb dapat
disebabkan oleh:
a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi yang dapat
bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang banyak diteliti
adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini
mempunyai binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit graves
juga menunjukkan antibodi terhadap anti-Yersinia.
b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal komponen
tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi antigenik, sehingga
bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.
c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama dirahim
tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus dirangsang dan
mengalami diferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang secara terusmenerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi
karena rangsangan interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper
inducer.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah kondisi autoimmun
dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH. Penyakit graves adalah gangguan
multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi dengan faktor endogen dan faktor
lingkungan untuk menjadi penyakit. Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR
juga gen non HLA seperti TNF-, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan
gen reseptor TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa faktor
infeksi.
2. Trauma Psikis

20

Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan konversi dari
T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya produksi hormon tiroid
justru turun. Secara teoritis stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper,
meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress
akut maupun kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific
mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.
3. Radiasi Tiroid eksternal
Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah mengalami
radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis radiasi ini yang
merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen
serta menyulut penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam
pada subset sel T, yang mendorong disregulasi imun.
4. Chorionic Gonadothropin Hormon
Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh jaringan
trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara imunologik crossreact dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG (yang mempunyai sub unuit
alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG yang desialated. Efek yang menyerupai
efek TSH pun dikeluarkan oleh karsinoma testis embrional (seminoma testis). Secara
klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum, dimana T4 dan
juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau hebat maka klinis terlihat
tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya berhenti maka kadar hormon tiroid
diatas kembali normal.
D. Patofisiologi Graves Disease
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang
berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan
penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis
terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves (Shahab,
2002).
21

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan
orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin
yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita,
sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin,
seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin,
terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin
didalam otot jantung (Shahab, 2002).

22

Gambar 1: Patogenesis Penyakit Graves

E. Gambaran Klinis Graves Disease


1. Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang
berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan
aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,
keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80%
pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid
lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan
23

konvergensi (Price dan Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik dari penyakit graves
antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus (Stein,
2000).
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid
Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya
diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan
jaringan orbita. Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai
edema periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3,
ditandai

dengan

adanya

proptosis

yang

dapat

dideteksi

dengan

Hertel

exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses
infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran
menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan
terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai
dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6, ditandai dengan kerusakan
nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan (Shahab, 2002).
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis
(penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga
dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan
pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian
posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan
(Shahab, 2002).
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum
ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat
banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala
utama penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi
peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).
24

Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan
adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan
(Shahab, 2002).
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang
ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan
pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga
terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun,
pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai
berikut:
Tabel 1: Indeks Wayne

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah Berat
Sesak saat kerja
Berdebar
Kelelahan
Suka udara panas
Suka udara dingin
Keringat berlebihan
Gugup
Nafsu makan naik
Nafsu makan turun
Berat badan naik
Berat badan turun
Tanda
Tyroid teraba
Bising tyroid
Exoptalmus
Kelopak mata tertinggal gerak bola mata
Hiperkinetik
Tremor jari
Tangan panas
Tangan basah
Fibrilasi atrial
Nadi teratur

Nilai
+1
+2
+2
-5
+5
+3
+2
+3
-3
-3
+3
Ada
+3
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1
+4

Tidak Ada
-3
-2
-2
-2
-1
-

< 80x per menit

-3

80 90x per menit

25

> 90x per menit


Hipertyroid jika indeks 20
2.

+3

Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema
dibawah ini:

Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium


Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit
Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada
penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic
hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan
laboratorium yang jelas (Shahab, 2002).
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan
(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar
hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan
T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon
tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel
folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus
menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang
tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi
rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua
26

merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh


karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai
angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4
bebas (free T-4/FT-4) (Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson, 1995).
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis laboratorik :
a. Pemeriksaan metabolisme basal
pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang baik, harus
dilakukan oleh orang yang berpengalaman.
b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,
untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit (severity) serta
merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan tunggal FT4 atau TSH
dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing mempunyai kelemahan maka
banyak ahli menganjurkan untuk menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan
fungsi tiroid yang tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud
tersebut, penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal, lebih-lebih
di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s
mudah dan dijalankan dimana-mana maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan
ini dianjurkan pada : kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul
dalam jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat keluarga, dan
test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat dibedakan etiologi
tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain
d. Sidik tiroid
jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba
nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan
waktu melakukan sidik tiroid, yang ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold
nodul) atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada
gondok non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk
menyingkirkan

kemungkinan

keganasan.

Graves

selalu

dengan

gondok

hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus tiroid, TRAb dan TPOAb


e. Pemeriksaan terhadap antibodi.

27

Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun dengan
pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun meningkat sesudah
pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk menggantikan anti-Tg-Ab, sebab
hampir semua anti Tg-Ab positif juga positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak
sebaliknya.

Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara sebagai
berikut:
1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis
2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.
3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH yaitu TSAb
(yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs dalam sirkulasi justru
rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU) yang meningkat.
4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah diagnosis
ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah normal dan alkali
fosfatase meningkat.
Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga
diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan
pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan
neurologik primer (Shahab, 2002).
Pada
sindrom
yang
dikenal

dengan

familial

dysalbuminemic

hyperthyroxinemia dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like


protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3.
Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4,
T3 dan TSH normal. Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis
hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat
membedakannya dengan penyakit Graves (Shahab, 2002).
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki
etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi.
Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian
suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan
pengobatan tirotoksikosis yang adekuat (Shahab, 2002).
28

Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala


kelainan jantung, dapat berupa:
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung
sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan
terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala
berupa penurunan berat badan, struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang
berat, tanpa adanya gambaran klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas
katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan apathetic hyperthyroidism
(Shahab, 2002).

4.

Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga
dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada
penderita tirotoksikosis antara lain:
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
- Terapi yodium radioaktif.
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara
-

adekuat.
Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,
alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme

berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:


- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai
-

dengan flushing dan hiperhidrosis.


Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon

tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar
T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi
dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid
(Shahab, 2002).
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan
produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis
tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan
29

jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi
(Shahab, 2002).
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh
kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis
tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme
dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan
jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir
rendah serta peningkatan angka kematian perinatal (Mansjoer, 1999).
F. Penatalaksanaan Graves Disease
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves
adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol
keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap
hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi
Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001;
Shahab, 2002).
1. Obat obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme
aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid
T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,
menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang
utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU,
tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3
ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan
segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat
diberikan sebagai dosis tunggal.

30

Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan
menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan
sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan
sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat
antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid
secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal
pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan 100 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol
dimulai dengan 20 40 mg/hari dosis terbagi untuk 3 6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis
terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 10 mg/hari yang masih
dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar FT4 dalam batas normal.
Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia,
dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan
memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum
obat, aktivitas fisis dan psikis
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan
kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap
pagi selama 1 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping,

yaitu

agranulositosis

(metimazol

mempunyai

efek

samping

agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema,
Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
31

samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar


termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan
pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan
obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya
dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila
timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit
Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi
remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis
dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis
terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat
diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila
ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut:
1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti
Tiroid dosis rendah.
3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3
toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara
kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan
setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi
ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata (Subekti, 2001;
Shahab, 2002).
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat

untuk

mengendalikan

manifestasi

klinis

tirotoksikosis

(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas


melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat, meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui
penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari (Price dan Wilson, 1995; Corwin, 2001).
32

Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan


durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal
atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan
depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis,
dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada
pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia,
fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,
potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis
tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif
(Shahab, 2002).
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda
dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan
dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun
jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih
lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan
yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi
didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT
(Shahab, 2002).
2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara
kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan
bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya 1,7% pada kelompok penderita yang

33

mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7%


pada kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole (Subekti, 2001).
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma
yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre
operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat (Subekti, 2001).
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid
yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah
menyisakan 2 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita
masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit
Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus (Subekti, 2001).
4. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I) telah dikenal sejak lebih dari 50
tahun yang lalu. Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek
ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local
pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya.
Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu
terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi
sangat tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas
kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam
waktu 2 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan
sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula
terakumulasi di dalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara
pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik
ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu
yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif (Shahab, 2002).

34

Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif
perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan
diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif.
Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat
bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien
hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT (Shahab, 2002).
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.
Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium
dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan
baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama
menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau
OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras
dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari (Shahab, 2002).
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek samping lain yang perlu diwaspadai
adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen
tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah
dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang
terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak
(leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum
minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan
kemungkinan gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3
sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup
35

dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya


hipotiroidisme (Shahab, 2002).
5. Pengobatan Oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata
dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah
dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan
merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata
gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.
Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai
khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin,
disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan
pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan
operasi kelopak mata (Shahab, 2002).
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien
yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody
antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan
CT scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan
orbita lainnya (Shahab, 2002).
6. Pengobatan Krisis Tiroid
Pengobatan krisis

tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme

(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat


konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),
normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan
mengatasi faktor pemicu (Shahab, 2002).
7. Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan
hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada
hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status
eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis
terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat
di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil
dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan
36

tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena
akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian
tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme (Shahab,
2002).
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester
ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan mekanisme yang belum
diketahui terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin
receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan
demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan
obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman (Subekti, 2001).

KESIMPULAN
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik
yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria, terutama pada usia 20
40 tahun.
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal hipertiroidisme, goiter
difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan
proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya
palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila T3 dan
T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid
tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan
37

(scan dan USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah
eksaserbasi akut yang dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat
anti tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131).
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi
hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3,
pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi
homeostatik (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

38

DAFTAR PUSTAKA
Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 265
Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PDKE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease, Majalah
Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 64
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius, Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 778
Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P.,
Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080
Shahab

A,

2002,

Penyakit

Graves

(Struma

Diffusa

Toksik)

Diagnosis

dan

Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002,


PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 18
Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3, EGC,
Jakarta, 2000: hal 606 630
Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis
Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 5
Weetman P. A., Graves Disease. The New England Journal of Medicine. Massachusetts
Medical Society. 2000.

39

You might also like