You are on page 1of 5

b.

Dinasti Sanjaya
1) Sumber Sejarah
Bukti-bukti berdirinya Dinasti Sanjaya dapat diketahui melalui Prasasti Canggal
(daerah Kedu) tahun 732 M, Frasasti Balitung, Kitab Carita Parahyangan.
Prasasti Canggal (732 M) Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Sanjaya
yang berhubungan dengan pendirian lingga yang merupakan perwujudan Dewa
Siwa. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang dianutnya adalah agama Hindu.
Prasasti Balitung (907 M) Prasasti ini adalah prasasti tembaga yang dikeluarkan
oleh Raja Diah Balitung. Diah Balitung mengeluarkan prasasti ini sehubungan
dengan pemberian hadiah tanah kepada lima orang patihnya di Mantyasih, karena
kelima patihnya itu telah berjasa besar terhadap kerajaan. Dalam prasasti itu
disebutkan nama raja yang pernah memerintah pada Kerajaan Mataram dari Dinasti
Sanjaya.
Kitab Carita Parahyangan Kitab ini menceritakan tentang hal ikhwal raja-raja
Sanjaya.
2) Kehidupan Politik
Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja keturunan dari Dinasti Sanjaya. Raja-raja
yang pernah berjasa di Kerajaan Mataram di antaranya:
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya Menurut Prasasti Canggal (732 M), Raja
Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Raja Sanjaya
memerintah dengan sangat adil dan bijaksana sehingga. rakyatnya terjamin aman
dan tentram;
Di dalam masalah keagamaan. Raja Sanjaya mendatangkan pendeta-pendeta
Hindu beraliran Siwa. Dari para pendeta itu, raja dapat mernper-dalam agama Hindu
Siwa. Pemujaan yang tertinggi di Kerajaan Mataram diberikan kepada Dewa Siwa
yang dianggap sebagai dewa tertinggi. Untuk memuja dewa itu, didirikan candicandi.
Raja Sanjaya meninggal kira-kira pertengahan abad ke-8 M. la digantikan oleh Rakai
Panangkaran. Berturut-turut pengganti Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak dan
Rakai Garung. Ketiga raja ini tidak begitu jelas diketahui bentuk-bentuk
pemerintahannya, karena kurangnya bukti-bukti yang menginformasikan sepak
terjang mereka.
Sri Maharaja Rakai Pikatan Setelah Rakai Garung meninggal, Rakai Pikatan naik
tahta. Sebagai raja, ia mempunyai cita-cita untuk menguasai seluruh wilayah Jawa
Tengah. Untuk melaksanakan cita-citanya itu/ Rakai Pikatan harus berhadapan
dengan Kerajaan Syailendra yang pada saat itu diperintah oleh Raja Balaputra
Dewa. Perang tidak mungkin dilaksanakan, karena kekuatan Kerajaan Syailendra
melebihi kekuatan Kerajaan Mataram. Karena itu, jalan yang ditempuh Rakai
Pikatan adalah meminang putri dari Kerajaan Syailendra yang bernama
Pramodhawardani. Seharusnya Pramodhawardani berkuasa atas Kerajaan
Syailendra, tetapi ia menyerahkan tahtanya kepada Balaputra Dewa.
Untuk mencapai cita-citanya, Rakai Pikatan mendesak Pramodhawardani agar mau
menarik tahtanya kembali dari Balaputra Dewa, sehingga meletus perang saudara.
Dalam perang itu. Raja Balaputra Dewa dapat dikalahkan dan lari ke Kerajaan

Sriwijaya.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dalam menyatukan pemerintahannya, Rakai
Kayuwangi dibantu oleh suatu Dewan Penasehat merangkap staf pelaksana yang
terdiri atas lima patih dan diketuai oleh seorang mahapatih. Di samping itu, Rakai
Kayuwangi berusaha keras untuk memajukan pertanian, karena pertanian akan
dapat menunjang aktivitas kehidupan perekonomian rakyatnya. Dalam bidang
keagamaan, perhatian raja sangat besar. Hal ini dibuktikan dari prasasti yang
ditemukan di daerah Dieng dan Plaosan.
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang Masa pemerintahan Rakai Watuhumalang tidak
dapat diketahui dengan jelas, karena prasasti-prasasti yang berasal dari masa
pemerintahannya tidak ada yang menyebutkan masa pemermtahannya. Prasastiprasasti tersebut lebih banyak membicarakan masalah-masalah keagamaan. Oleh
karena itu, pada masa pemerintahan Rakai Watuhumalang, masalah keagamaan
mendapat perhatian lebih khusus daripada masalah pemerintahan.
Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung Raja Dyah Balitung adalah seorang raja
Mataram yang besar dan cakap. la berhasil mengatasi masalah yang dihadapi
Kerajaan Mataram
dari masa pemerintahannya tidak ada yang menyebutkan masa pemermtahannya.
Prasasti-prasasti tersebut lebih banyak membicarakan masalah-masalah
keagamaan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Rakai Watuhumalang,
masalah keagamaan mendapat perhatian lebih khusus daripada masalah
pemerintahan.
Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung Raja Dyah Balitung adalah seorang raja
Mataram yang besar dan cakap. la berhasil mengatasi masalah yang dihadapi
Kerajaan Mataram dan mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan yang hampir
terpecah belah akibat pertentangan antarkaum bangsawan. Kesejahteraan rakyat
meningkat dan keamanan terjamin, bahkan daerah kekuasaannya meluas hingga ke
Jawa Timur.
Diah Balitung memerintah Mataram sampai tahun 910 M. Masa pemerintahannya
banyak meninggalkan prasasti. Prasasti terpenting adalah Prasasti Mantyasih
(Kedu) yang berisi tentang silsilah raja-raja Mataram dari Raja Sanjaya sampai
dengan Raja Diah Balitung.
Pada masa pemerintahannya dikenal adanya tiga jabatan penting, yaitu Rakryan I
Hi-no (pejabat tertinggi di bawah raja). Selanjutnya Rakryan I Halu dan Rakryan I
Sirikan. Ketiga jabatan ini merupakan tritunggal dan nama jabatan ini terus dipakai
oleh kerajaan-kerajaan berikutnya pada zaman Singasari-Majapahit.
Sri Maharaja Daksa Pengganti Diah Balitung adalah Daksa. Sebelum menjadi Raja
Mataram ia menjabat sebagai Rakryan I Hino. Pada masa pemerintahannya,
pembuatan Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Masa pemerintahan Raja
Daksa tidak berlangsung lama dan digantikan oleh Tulodhong. Masa pemerintahan
Tulodhong sangat singkat dan tidak terjadi hal-hal yang menonjol atau penting.
Sri Maharaja Rakai Wawa Pengganti Raja Tulodhong adalah Rakai Wawa. Dalam
menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh Mpu Sindok yang menjabat sebagai
Rakryan I Hino. Pada masa pemerintahannya terjadi kekacauan yang menjalar

sampai ke ibukota kerajaan. Kekacauan itu dapat diatasi, sehingga keamanan dapat
dipulihkan kembali.
Setelah Rakai Wawa meninggal, ia digantikan oleh Mpu Sindok. Narnun, karena
rasa khawatir terhadap serangan-serangan yang dilancarkan oleh Sriwijaya, maka
Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya, dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan


gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno.
Prasasti ini bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang
menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja
Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa
pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita
Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap
sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan
rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau
Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk
mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja Sanjaya juga mulai pembangunan kuilkuil pemujaan berbentuk candi. Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram
Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi
Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai
Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran
berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno
selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang waktu
itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap menghalangi cita-citanya
untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan
politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri
Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai
Pikatan dengan Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah Samaratungga
wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari
Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856),

menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan


Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri
ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan
kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda
(India), yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala
menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa
dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi
semakin luas kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah
wilayah Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti
Sanjaya dan Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan
berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai
Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno berikutnya masih tetap menganut agama
Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram
Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat
yang juga jd pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang
dipimpin oleh seorang mahapatih ini sangat penting perananya. Raja Mataram
selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui
kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah
Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang sngat
terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari
ancaman perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan
dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga
pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi
oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga
pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu
berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung.
Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama
di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di
Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan
Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat

kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa
pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah
Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami
nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda
kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan
ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di
Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno juga dilanda oleh bencana
letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan ibu kota kerajaan. Seluruh
masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak.
Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu
menjadi Rakryan i Hino.

You might also like