You are on page 1of 17

LAPORAN AKHIR

DEPARTEMEN EMERGENCY
CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)

Disusun oleh:
KELOMPOK 7A
NI WAYAN ASMA NIRA YUSTIKA

115070201111011

ATIKA DYAH SETIANINGATI

115070201111013

FITRI OCTAVIA HADI PUTRI

115070201111015

ETRI NURHAYATI

115070201111017

RAHMI NURROSYID PRIMADIATI

115070201111019

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)

1. DEFINISI CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)


Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang
terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges, (1999)
cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi
karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, laserasi
dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral,
batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang

dapat

mengurangi

atau

mengubah

kesadaran

yang

mana

menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.


Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
Cedera kepala sedang (CKS) adalah kehilangan kesadaran atau amnesia
dengan nilai GCS 9-12 retrograde lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam. Pasien dengan trauma kepala mempunyai resiko untuk terjadinya
kerusakan otak dan kematian. Risiko kematian kemungkinan meningkat
karena pasien jatuh ke dalam koma yang lama.
2. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak
atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh
massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika
tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan
melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/
tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak
cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah.

Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar,


dan laserasi.
Klasifikasi Berdasarkan Beratnya
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan
nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a. Ringan
1.) GCS = 13 15
2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1.) GCS = 9 12
2.) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
3.) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1.) GCS = 3 8
2.) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3.) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Klasifikasi Berdasarkan Morfologinya
a. Cedera otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat
langsung dari trauma. Pada cedera primer dapat terjadi: memar
otak, laserasi. Cedera otak primer adalah cedera otak yang terjadi
segera cedera kepala baik akibat impact injury maupun akibat
gaya akselerasi-deselerasi (cedera otak primer ini dapat berlanjut
menjadi cedera otak sekunder) jika cedera primer tidak mendapat
penanganan yang baik, maka cedera primer dapat menjadi cedera
sekunder (Japardi, 2002).
1) Cedera pada SCALP
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya
adalah melindungi jaringan otak dengan cara menyerap
sebagian gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak.
Ceidera pada scalp dapat berupa Excoriasi, Vulnus, Hematom
subcutan, Hematom subgaleal, Hematom subperiosteal. Pada
excoriasi dapat dilakukan wound toilet. Sedangkan pada

vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai


mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk
menghindari

dead

space

sedangkan

pada

subcutan

mengandung banyak pembuluh darah demikian juga rambut


banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan
kuman menyebabkan terjadinya infeksi). Penjahitan pada
galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka
waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan
benang noabsorbsable tetapi dengan simpul terbalik untuk
menghindari

terjadinya

druck

necrosis),

pada

kasus

terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan


anti tetanus untuk mencegah terjadinya tetanus yang akan
berakibat

sangat

fatal.

Pada

kasus

dengan

hematom

subcutaan sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan


bebat tekan kemudian berikan anlgesia, jika selama 2 minggu
hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril. Hatihati cedera scalp pada anak-anak/bayi karena pendarahan
begitu banyak dapat terjadi shock hipopolemik (Japardi, 2002).
2) Fraktur linier kalvaria
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung
yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak
menyebabkan tulang kepala bending dan terjadi fragmen
fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tidak ada
terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya yang
menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka
kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar.
Jika gambar fraktur tersebut kesegala arah disebut Steallete
fracture, jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur
(Japardi, 2002).
3) Fraktur Depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila
fragmen dari fraktur masuk rongga intrakranial minimal setebal
tulang

fragmen

tersebut,

berdasarkan

pernah

tidaknya

fragmen berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi

dibagi 2 yaitu fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi


terbuka (Sunardi, 2007).
a. Fraktur Depresi Tertutup
Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan
tindakan

operatip

kecuali

bila

fraktur

tersebut

menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang


hemiparese/plegi, penurunan kesadaran. Tindakan yang
dilakukan

adalah mengangkat

fragmen tulang yang

menyebabkan penekanan pada jaringan otak, setelah


mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya,
sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai
adanya gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi
(Japadi, 2002).
b. Fraktur Depresi Terbuka
Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan
operatif debridemant untuk mencegah terjadinya proses
infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat fragmen
yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti
jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi hematom,
kemudian menjahit durameter secara water tight/kedap
air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun
dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika Tidak melebihi
golden periode (24 jam), durameter tidak tegang Jika
fragmen tulang berupa potongan-potongan kecil maka
pengembalian tulang dapat secara mozaik (Japardi,
2002).
4) Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan
struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada
basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah
kalvaria, Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan
daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih melekat erat
pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila
terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter
klinis ditandai dengan Bloody otorrhea, Bloody rhinorrhea,

Liquorrhea, Brill Hematom, Batles sign, Lesi nervus cranialis


yang paling sering N I, NVII dan NVIII. Diagnose fraktur basis
cranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan
diagnose secara radiologis oleh karena foto basis cranii
posisinya hanging foto, dimana posisi ini sangat berbahaya
terutama pada cedera kepala disertai dengan cedera vertebra
cervikal ataupun pada cedera kepala dengan gangguan
kesadaran

yang

dapat

menyebabkan

apnea.

Adanya

gambaran fraktur pada foto basis cranii tidak akan merubah


penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan biaya
perawatan karena penambahan biaya foto basis cranii (Hafid,
1989).
5) Komosio Serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi
otak tanpa adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat
adanya cedera kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan
penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari
15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya
amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan
radiologis CT scan tidak didapatkan adanya kelainan (Japardi,
2002).
6) Kontusio Serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai
gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak,
secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak
sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya
kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti
hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing
sakit

kepala,

amnesia

retrograde/antegrade,

pada

pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah hiperdens di


jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan
bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah
yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT
Scan disebut Pulp brain (Japardi, 2002).
7) Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom)

Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara


durameter dan tulang, biasanya sumber pendarahannya
adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena
diploica

(oleh

karena

adanya

fraktur

kalvaria),

Vena

emmisaria, Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai


dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi
(ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan
kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil
anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan
jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi
dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya
kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya
lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH
karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain,
tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari
prognosenya
prognose

makin

penderita

kesempatan

untuk

panjang

lucid

EDH

(karena

melakukan

interval
otak

makin

baik

mempunyai

kompensasi).

Pada

pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area


hiperdens

dengan

bentuk bikonvek

diantara 2 sutura.

Terjadinya penurunan kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri


kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan
pemberian

anlgesia.

Pada

CT

Scan

jika

perdarahan

volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau


dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5
mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom,
menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala
dapat dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya
edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat
operasi didapatkan duramater yang tegang dan dapat
disimpan subgalea. Pada penderita yang dicurigai adanya
EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose radiologis
CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu
Burr hole explorations yaitu membuat lubang burr untuk

mencari EDH biasanya dilakukan pada titik- titik tertentu yaitu


Pada tempat jejas/hematom, pada garis fratur, pada daerah
temporal, pada daerah frontal (2 CM didepan sutura
coronaria), pada daerah parietal, pada daerah occipital.
Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS
datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari
60 tahun (Japardi, 2002).
8) Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang
terletak

dibawah

lapisan

duramater

dengan

sumber

perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering),


A/V cortical, Sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu
terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3
meliputiSubdural hematom akut terjadi kurang dari 3 hari dari
kejadian, Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari 3
minggu, Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih
dari 3 minggu. Secara klinis subdural hematom akut ditandai
dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi
yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Sedangkan pada
pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi
menurut EBIC (Europebraininjuy commition) pada perdarahan
subdural adalah Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM,
Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
Operasi

yang

dilakukan

adalah

evakuasi

hematom,

menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri


biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan
subgalea. Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS
awal

saat

operasi,

lamanya

penderita

datang

sampai

dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia


penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8
prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek
prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya
adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara


duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam
2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
9) Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi
pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah
yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan
adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya
daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single,
Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis
tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan
biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari
tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya
hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose
perdarahan subdural (Japardi, 2002).
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder yang terjadi akibat dari cedera otak
primer yang tidak mendapat penanganan dengan baik (sehingga
terjadi

hipoksia)

serta

adanya

proses

metabolisme

dan

neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka


cedera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi
Edema serebri, Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial
(Japardi, 2002).
1) Edema serebri
Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel sel otak,
pada kasus cedera kepala terdapat 2 macam edema serebri
Edema serebri vasogenik, Edema serebri sitoststik (Sunardi,
2007).
a.

Edema serebri vasogenik

Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan


dari blood brain barrier (sawar darah otak ) sehingga
solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam
jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari
plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik
cairan intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi osmotik
dimana cairan intraseluler, yang tekanan osmotiknya lebih
rendah akan ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari
sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra
seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan
(shringkage) (Sunardi, 2002).
b.

Edema serebri sitostatik


Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen
kedalam jaringan otak berkurang (hipoksia) akibatnya
terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan
aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah
menjadi 38 ATP dan H2O). Sedangkan dalam keadaan
anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2
ATP dan H2O karena kekurangan ATP maka tidak ada
tenaga yang dapat digunakan untuk menjalankan proses
pompa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion
antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses
tersebut memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang
seharusnya dipompa keluar dari sel menjadi masuk
kedalam sel bersama masuknya natrium. Maka air (H2O)
ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi edema intra
seluler (Sumarmo Markam et.al :1999). Gambaran CT
Scan dari edema serebri Ventrikel menyempit, Cysterna
basalis menghilang, Sulcus menyempit sedangkan girus
melebar.

2) Tekanan Intra Kranial


Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan
dalam rongga kranial dan biasanya diukur sebagai tekanan
dalam ventrikel lateral otak. Menurut Morton, et.al tahun 2005,
tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai diatas 15

mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau


peningkatan

tekanan

intrakranial.

Tekanan

intrakranial

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu otak (sekitar 80% dari


volume total), cairan serebrospinal (sekitar 10%) dan darah
(sekitar 10%). MonroKellie doktrin menjelaskan tentang
kemampuan regulasi otak yang berdasarkan volume yang
tetap. Selama total volume intrakranial sama, maka TIK akan
konstan. Peningkatan volume salah satu faktor harus diikuti
kompensasi dengan penurunan faktor lainnya supaya volume
tetap konstan. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti
respon kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan
perubahan TIK. Beberapa mekanisme kompensasi yang
mungkin antara lain cairan serebrospinal diabsorpsi dengan
lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi menurunkan
aliran darah otak.
Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan
perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP). CPP
adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang
diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat
untuk metabolisme otak. CPP dihasilkan dari tekanan arteri
sistemik rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, dengan
rumus CPP = MAP ICP. CPP normal berada pada rentang
60-100 mmHg. MAP adalah rata-rata tekanan selama siklus
kardiak. MAP = Tekanan Sistolik + 2X tekanan diastolik dibagi
3. Jika CPP diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi
peningkatan TIK. Jika kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke
otak tidak adekuat sehingga hipoksia dan kematian sel otak
dapat terjadi. Jika MAP dan ICP sama, berart tidak ada CPP
dan perfusi serebral berhenti, sehingga penting untuk
mempertahankan kontrol ICP dan MAP.
Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu
kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun
terjadi perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi.
Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui
pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan perfusi

dengan

mengubah

diameter

pembuluh

darah

dalam

perubahan tekanan arteri. Pada klien dengan gangguan


autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan
tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat meningkatkan
aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan TIK.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi cerebral blood flow
antara lain :

Simpatis dan parasimpatis, parasimpatis mengakibatkan


vasodilatasi dan simpatis mengakibatkan vasokontriksi.

Temperatur turun mengakibatkan metabolisme serebral


turun

Usia semakin tua bloodflow akan semakin turun

Hematokrit

meningkat

maka

viskositas

meningkat

sehingga CBF turun.


3. ETIOLOGI CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Cidera kepala

TIK - oedem
- hematom
Respon biologi

Cidera otak primer


Kontusio
Laserasi

Hypoxemia

Kelainan metabolisme
Cidera otak sekunder
Kerusakan Sel otak

Gangguan autoregulasi

rangsangan simpatis

Aliran darah keotak

tahanan vaskuler
katekolamin
Sistemik & TD sekresi asam lambung

O2 ggan metabolisme

tek. Pemb.darah
Pulmonal

Stress

Mual, muntah

Asam laktat

tek. Hidrostatik

Oedem otak

kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan


Cerebral

oedema paru cardiac out put


Difusi O2 terhambat

Asupan nutrisi kurang

Ggan perfusi jaringan

Gangguan pola napas hipoksemia, hiperkapnea

5. MANIFESTASI KLINIK CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)


Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri
2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
6.
7.
8.
9.

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang


BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial


7. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.

4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
7. Pembedahan.
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuatluka
mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing
dan miminimalkan masuknya infeksi sebelumlaserasi ditutup.
1.

Menilai jalan nafas: bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;lepaskan gigi
palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgnmemasang collar
cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jikacedera orofasial mengganggu
jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.

2.

Menilai pernafasan: tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jikatidak beri


O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera
dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter
nadi untuk menjaga saturasi

3.

O2 minimum

95%.

Jika jalan

nafas

pasien

tidak

terlindung

bahkan

terancan/memperoleh O2 ygadekuat ( Pa O2 >95% dan Pa CO2<40% mmHg


serta saturasi O2 >95%)atau muntah maka pasien harus diintubasi serta
diventilasi oleh ahlianestesi.
4.

Menilai

sirkulasi:

otak

yg

rusak

tdk

mentolerir

hipotensi.

Hentikan

semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera


intraabdomen/dada.Ukur
darah pasang

dan

EKG.Pasang

catat

frekuensidenyut

jantung

dan

tekanan

jalur

intravena

besar.Berikan

larutan

yg

koloidsedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.


5.

Obati kejang: Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harusdiobati
mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dandpt diulangi 2x
jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin15mg/kgBB.

6.

Menilai tingkat keparahan: CKR,CKS,CKB6.Pada semua pasien dengan cedera


kepala dan/atau leher,lakukan fototulang belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral
dan odontoid ),kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh
keservikal C1-C7normal.Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan
berat :- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairanisotonis
lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairanhipotonis dan larutan
ini tdk menambah edema cerebri- Lakukan pemeriksaan : Ht, periksa darah

perifer lengkap, trombosit, kimia darah. Lakukan CT scanPasien dgn CKR, CKS,
CKB harusn dievaluasi adanya: 1. Hematoma epidural, 2. Darah dalam sub
arachnoid dan intraventrikel, 3. Kontusio dan perdarahan jaringan otak, 4. Edema
cerebri, 5. Pergeseran garis tengah, 6. Fraktur cranium, 7.Pada pasien yg koma
(skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda herniasilakukan: Elevasi kepala 30,
Hiperventilasi, Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit. Dosis
ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar dosis semula setiap 6
jam sampai maksimal 48 jam I- Pasang kateter foley-Konsul bedah saraf bila
terdapat indikasi opoerasi (hematom epidural besar,hematom sub dural, cedera
kepala terbuka,fraktur impresi >1 diplo).
8. KOMPLIKASI CEDERA KEPALA SEDANG (CKS)
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan,
harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan
tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah
dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan herniasi
dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak
disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan
akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat harus
membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah
yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan,

jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling
banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap
efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan
irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak
basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS
akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi
bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
5. Infeksi
6. Herniasi Otak

DAFTAR PUSTAKA
1. (Mansjoer, Arif dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran jilid 1.Jakarta: Fakultas
Kedokteran Unifersitas Indonesia
2. Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salema Medika
3. Batticaca Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
4. Pierce A. Grace & Neil R. Borley. 2006. Ilmu Bedah.Jakarta : Erlangga
Lecture Notes,2005. Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga
5. Smeltzer, Suzanne. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

You might also like