You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Insiden dari kasus DD dan DBD ini terus
meningkat dan menjadi masalah kesehatan utama di daerah tropis. Epidemik demam
berdarah ini umumnya terjadi pada perubahan ke musim hujan, pada periode ini
banyak orang akan terinfeksi. Kebanyakan dari mereka akan sembuh dari demam
biasa, beberapa yang lainnya akan mengalami prognosis buruk seperti syok dan
komplikasi-komplikasi lainnya yang membahayakan. Kasus kematian pada pasien
demam berdarah paling banyak berasal dari golongan usia anak-anak dan pasien
dalam usia produktif. Sangat sulit untuk mengontrol angka kejadian demam dengue
atau demam berdarah ini disebabkan oleh adanya 4 macam serotype virus yang
menjadi etiologi penyakit ini, tidak adanya vaksin yang tesdia, dan sulitnya
mengontrol perkembangbiakan nyamuk aides aegepty yang menjadi vector penyakit
ini. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka
perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khusunya pada anak. Data
Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005)
terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit
penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).1-2
Tidak ada penanganan khusus untuk pasien demam dengue atau demam
berdarah selain terapi suportif dan terapi cairan. Periode berbahaya dalam demam
berdarah disebut periode kritis dimana pasien mungkin akan mengalami penurunan
kondisi dalam waktu yang relative singkat antara 48-72 jam. Jika dalam periode ini
pasien ditangani secara benar, kemungkinan prognosis pasien tidak akan menjadi
buruk. Oleh karena itu diperlukan monitoring pemberian terapi cairan secara ketat.
Kasus kematian pada pasien demam berdarah berhubungan dengan berbagai macam
factor seperti banyaknya pasien yang masuk rumah sakit ketika musim pandemik
demam berdarah terjadi sehingga monitoring ketat dan terapi yang tepat sangat sulit

dilakukan karena terbatasnya sumber daya di rumah sakit terutama di negara-negara


berkembang. Kurangnya pengertian terhadap patofisiologi pada demam berdarah juga
berpengaruh terhadap krang tepatnya protocol terapi pada pasien. Terlebih lagi
kurangnya kesadaran pada pasien tentang penyakit demam berdarah ini sehingga
menyebabkan beberapa kasus yang telat untuk masuk rumah sakit ataupun masuk
rumah sakit sudah dalam keadaan kritis terkadang juga disertai syok yang
menyebabkan terapi menjadi lebih sulit dilakukan dan prognosis pasien yang buruk.3

BAB II
ISI
2.1 Dengue Hemorrhagic Fever
2.1.1 Definisi
Demam berdarah dengue atau dengue hemorrhagic fever adalah suatu
penyakit febril yang disebabkan oleh virus dengue yang mengakibatkan kondisi
trombositopenia infeksius akut yang parah pada pasien dan sering bersifat fatal. Pada
DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas hemostasis, dan pada kasus

yang parah, terjadi suatu sindrom renjatan kehilangan protein masif (dengue shock
syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu proses imunopatologik.4
Beberapa pasien demam dengue mungkin akan mengalami demam berdarah
dengue

yang merupakan

bentuk perjalanan penyakit yang lebih lanjut dengan

kondisi yang lebih berbahaya. Oleh karena itu pasien mungkin akan mengalami suatu
gejala dari penyakit yang berat seperti nyeri di bagian perut, mual muntah, perubahan
suhu badan dari demam ke hypothermia, gambaran klinis pendarahan, atau penurunan
dalam mental status. Pasien mungkin juga akan mengalami tanda awal syok seperti
letih, kulit dingin, nadi yang cepat lemah, dan penyempitan selisih sistole diastole
tekanan darah. Pasien demam dengue yang mengalami gejala seperti ini harus
kembali melakukan perawatan di rumah sakit.5
2.1.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106. Terdapat paling tidak 4 tipe serotipe virus dengue, yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotipe terbanyak.3
Virus dengue ini disebarkan dari manusia ke manusia melalui nyamuk genus Aedes,
seperti Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti tersebar di daerah tropis
dan subtropis merupakan vektor utama. Nyamuk ini berukuran kecil jika
dibandingkan dengan nyamuk lain, biasanya berukuran 3-4 mm. Warna tubuh hitam
dengan bintik-bintik putih pada seluruh tubuh dan kepala, dan lingkaran putih pada
kaki. Dadanya biasanya mempunyai corakan putih dan sayapnya bersisik serta
translusen.
2.1.3 Patofisiologi
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
kemudian terjadi viremia, yang ditandai dengan demam mendadak tanpa penyebab
yang jelas disertai gejala lain seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, pegal di

seluruh tubuh, nafsu makan berkurang dan sakit perut, bintik-bintik merah pada kulit.
Kelainan juga dapat terjadi pada sistem retikulo endotel atau seperti pembesaran
kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Pelepasan zat anafilaktoksin, histamin
dan serotonin serta aktivitas dari sistem kalikrein menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding kapiler/vaskuler sehingga cairan dari intravaskuler keluar ke
ekstravaskuler atau terjadinya perembesaran plasma akibat pembesaran plasma terjadi
pengurangan volume plasma yang menyebabkan hipovolemia, penurunan tekanan
darah, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Selain itu system
reikulo endotel bisa terganggu sehingga menyebabkan reaksi antigen anti bodi yang
akhirnya bisa menyebabkan anaphylaxia
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon
imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE). Pada tahap awal virus dengue akan menyerang selsel makrofag
dan bereplikasi dalam sel Langerhans dan makrofag di limpa. Selanjutnya, akan
menstimulasi pengaturan sel T, reaksi silang sel T aviditas rendah dan reaksi silang
sel T spesifi k, yang akan meningkatkan produksi spesifi k dan reaksi silang
antibodi.4 Pada tahap berikutnya terjadi secara simultan reaksi silang antibodi dengan
trombosit, reaksi silang antibodi dengan plasmin dan produk spesifik. Proses ini
kemudian akan meningkatkan peran antibodi dalam meningkatkan titer virus dan di
sisi lain antibodi bereaksi silang dengan endotheliocytes. Pada tahap berikutnya
terjadi efek replikasi sel mononuclear. Di dalam sel endotel, terjadi infeksi dan
replikasi selektif dalam endotheliocytes sehingga terjadi apoptosis yang menyebabkan
disfungsi endotel. Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam
fagositosis virus. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi

virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a, sementara
proaktivator C1q, C3, C4, C5-C8, dan C3 menurun. Faktor-faktor di atas dapat
berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular melalui jalur akhir nitrat oksida. Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis
diaktivasi, dan jumlah faktor XII (faktor Hageman) berkurang. Mekanisme
perdarahan pada DBD belum diketahui, tetapi terdapat hubungan terhadap koagulasi
diseminata intravaskular (dissemintated intravascular coagulation, DIC) ringan,
kerusakan hati, dan trombositopenia.5,6
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah
pada saat terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukkan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulopati
dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP), peningkatan kadar tromboglobulin dan faktor prokoagulator IV yang merupakan penanda degranulasi
trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur ekstrinsik (tissue factor
pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak
melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).3
Kebocoran kapiler menyebabkan cairan, elektrolit, protein kecil, dan, dalam
beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke dalam ruang ekstravaskular. Plasma
merembes sejak permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada
5

pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai 30% atau lebih.
Bila renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan plasma yang tidak dengan
segera diatasi maka akan terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
Terjadinya renjatan ini biasanya pada hari ke-3 dan ke-7.5
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari demam berdarah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
febrile, toxic, dan convalescent. Pertama pasien akan mengalami demam yang tinggi
(3940 derajat) dengan gejala penyerta seperti letih, nyeri kepala, mual muntah,
myalgia dan kadang nyeri perut. Demam tingi yang akut ini berlangsung antara 2-7
hari biasanya akan disertai dengan manifestasi pendarahan yang ringan. Pendarahan
di kulit mungkin akan lebih sering ditemukan daripada pendarahan di hidung, saluran
cerna, atau di gusi. Gambaran pendarahan yang ringan ini akan disertai dengan hasil
tes tourniquet positif. Hematuria akan jarang ditemukan sementara pembesaran hati
akan lebih sering ditemukan. Thrombositopeni dan kenaikian hematocrit akan
ditemukan akibat kebocoran plasma biasanya sebelum fase toxic. Pada fase toxic
temperature badan akan turun dan gangguan sirkulasi akan muncul dalam waktu 2448 jam. Pada fase convalescent pasien sangat sedikit mempunyai harapat kesembuhan
total tanpa adanya gejala penyakit sisa.7
Tanda dan gejala yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF, dengan
masa inkubasi antara 13-15 hari. Adapun tanda dan gejala menurut WHO:
- Demam tinggi mendadak dan terus menerus 2-7 hari
-Manifestasi perdarahan, paling tidak terdapat uji tourniquet positif, seperti
perdarahan pada kulit (petekie, ekimosis. Epistaksis, Hematemesis, Hematuri, dan
melena)
- Pembesaran hati (sudah dapat diraba sejak permulaan sakit)
- Syok yang ditandai dengan nadi lemah, cepat disertai tekanan darah menurun
(tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang dan diastolic 20 mmHg atau kurang)
disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan
kaki, penderita gelisah timbul sianosis disekitar mulut.
Adapun gambaran klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada
penderita DHF adalah:
- Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan.
- Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare, konstipasi
6

- Keluhan sistem tubuh yang lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan
sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada saluran tubuh dll.
- Temuan-temuan laboratorium yang mendukung adalah thrombocytopenia (kurang
atau sama dengan 100.000 mm3) dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit lebih
atau sama dengan 20 %).8
2.1.5 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD, yaitu:2,9,10
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin
dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya
dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai
dijumpai mulai hari ke 3 demam.5 Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan
atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan
hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat
dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Kebocoran plasma
dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal,
umumnya dimulai pada hari ke-3 demam. Sebagai parameter pemantauan pemberian
8

cairan. Jumlah kalium normal serum adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135145 mEq/l.2,8
2.2 Terapi Cairan pada DHF
2.2.1 Definisi dan Tujuan terapi cairan
Terapi cairan adalah tindakan pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh khususnya
pembuluh darah vena untuk mengatasi syok dan menggantikan volume cairan yang
hilang akibat perdarahan atau dehidrasi.11,12
Secara umum tujuan terapi cairan : 13
Mengganti cairan yang hilang
Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung
Mencukupi kebutuhan cairan sehari
Mengatasi syok
Mengoreksi dehidrasi
2.2.2 Kompartemen Cairan Tubuh
Tubuh manusia terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian yang padat (40% berat
badan) dan bagian yang cair (60% berat badan). Bagian yang padat terdiri atas
tulang, kuku, rambut, otot, dan jaringan yang lain. Bagian yang cair merupakan
bagian terbesar, terdiri dari : cairan intraselular (40% berat badan ) dan cairan
ekstraselular (20% berat badan). Cairan intraselular adalah cairan yang berada di
dalam semua sel tubuh sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di
luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu cairan intravaskular (5% dari berat
badan), interstitial (15% dari berat badan), dan transeluler yang meliputi sinovial,
intraokuler dan lain lain. Cairan intravaskular adalah cairan yang berada dalam
system vascular, cairan interstitial adalah cairan yang terletak diantara sel-sel tubuh,
sedangkan cairan transelular adalah cairan sekresi khusus. Cairan intraselular dan
ekstraselular dipisahkan oleh membran semipermeabel. 12,14
1)

Cairan Intraselular
Cairan yang terkandung di dalam sel disebut cairan intraseluler. Pada orang
dewasa, sekitar 2/3 dari cairan tubuhnya (40% dari berat badan) terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan
70 kg), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan

cairan intraselular. Ruang intraseluler merupakan ruang terbesar ( 23 liter)


dimana kalium merupakan kation terbesar. Oleh karena itu cairan yang
mengandung natrium tidak didistribusi ke intraseluler. 11,14
2)
Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraseluler. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir,
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di ruang ekstraselular (lebih besar dari
intraselular). Perbandingan ini akan berubah sesuai dengan perkembangan tubuh,
sehingga pada dewasa cairan intaselular dua kali dari cairan ekstraselular. Setelah
usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari
volume total.11,15
Cairan ekstraselular dibagi menjadi:
- Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel atau berada di antara sel dan ruang
intravaskuler termasuk dalam cairan interstitial, sekitar

(10-15% dari

cairan ektraselular). Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial.


Relatif terhadap ukuran tubuh, volumenya sekitar 2 kali lipat pada bayi
yang baru lahir dibandingkan dengan orang dewasa. Cairan interstisial
memfasilitasi transpor antara sel dan ruang intravaskuler. Selain air, ruangruang intertisial mengandung elektrolit dengan predominan kation natrium
dengan konsentrasi yang sama dengan ruang intravaskuler.
- Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah, misalnya
volume plasma. Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter.
Dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah,
sel darah putih dan platelet. Sirkulasi mentransportasikan nutrisi dan
oksigen ke sel dan mengangkut hasil metabolisme dan karbondioksida.
- Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, sendi sinovial, intraokular, dan sekresi saluran pencernaan.
Jumlahnya sekitar 1-3%.
2.2.3 Isi Cairan Tubuh
Zat terlarut dalam tubuh manusia dibagi menjadi dua yaitu elektrolit dan non
elektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai dalam larutan dan tidak
10

bermuatan listrik seperti protein, urea, glukosa, oksigen, karbon dioksida, dan asamasam organik. Sedangkan elektrolit tubuh mencakup natrium, kalium, kalsium,
magnesium, klorida, bikarbonat, fosfat, dan sulfat. Elektrolit dibagi menjadi dua yaitu
ion positif (kation) dan ion negatif (anion) yang jumlahnya dalam larutan selalu sama.
Jumlah muatan dan konsentrasinya dinyatakan dalam miliequivalen (mEq)/L.
Komposisi elektrolit pada masing-masing kompartemen berbeda-beda. Kation utama
dalam cairan ekstraselular adalah natrium, sedangkan dalam cairan intraselular adalah
kalium. Anion utama cairan ekstraselular adalah klorida dan bikarbonat, sedangkan
dalam cairan intraselular adalah ion fosfat. Non elektrolit merupakan molekulmolekul yang statis menjadi pertikel-partikel atau tidak terdisosiasi dalam cairan,
seperti dextrose, ureum dan kreatinin.11,14,16
Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritas cairan ekstrasel,
konsentrasi ion-ion penting dan keseimbangan asam basa. Sehingga sangat penting
untuk diperhatikan dalam terapi cairan.11,17
2.2.4 Jenis Cairan Intravena
Berdasarkan penggunaannya cairan intravena dapat digolongkan menjadi 4
kelompok, yaitu: 12
1) Cairan pemeliharaan
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses,
paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan
umur, yaitu:
Dewasa
Anak-anak
Bayi
Neonatus

1,5 2
24
46
3

ml/kg/jam
ml/kg/jam
ml/kg/jam
ml/kg/jam

Cairan yang hilang ini umumnya mengandung sedikit elektrolit, sehingga


dipertimbangkan diberikan cairan elektrolit hipotonis-isotonis atau bisa juga
menggunakan cairan non elektrolit.
Cairan elektrolit misalnya: Dextrose 5% dalam NaCl 0,9%, dextrose 5%
dalam NaCl 0,4%, dextrose 5% dalam NaCl 0,225%, dextrose 5% dalam
ringer laktat, dextrose 5% dalam ringer, maltose 5% dalam ringer.

11

Cairan non elektrolit misalnya: Dextrose 5% atau 10% dalam air dan maltose
5% atau 10%.
2) Cairan pengganti
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh
sekuestrasi atau proses patologi yang lain, misalnya fistula, efusi pleura,
drainase lambung, dehidrasi dan perdarahan pada pembedahan atau cedera.
Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan kristaloid,
misalnya NaCl 0,9% dan ringer laktat atau koloid, misalnya dextrans 40 dan
70, albumin dan plasma.
3) Cairan untuk tujuan khusus lainnya
Yang dimaksud diatas adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus,
misalnya natrium bikarbonat 7,5% kalsium glukosa untuk tujuan koreksi
khusus terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.

4) Cairan nutrisi
Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau makan, tidak
boleh makan, dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi parenteral
pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral parsial
atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu.
Berdasarkan penggunaan secara klinis sehari hari, cairan intravena dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu cairan kristaloid dan koloid
a. Kristaloid
Komposisi cairan kristaloid mirip cairan ekstraseluler. Untuk mengatasi defisit
volume intravaskular yang sama efektifnya dengan pemberian koloid
diperlukan pemberian kristaloid dalam jumlah yang cukup, yaitu 3-4 kali
cairan koloid. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 2030 menit. Ada beberapa keuntungan pemakaian cairan kristaloid antara lain
harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak
menimbulkan alergi atau syok anafilaktik dan dapat disimpan lama. Kerugian
yang dapat timbul diantaranya edema perifer dan paru yang dikemukakan oleh
Heugman et al (1972). Beliau mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah

12

sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstisial (sekitar ) sehingga


timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi
jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang dapat infus 1 liter NaCl
0,9%.
Kristaloid dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial karena
kristaloid akan lebih menyebar jika dibandingkan dengan koloid. Larutan
Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis. Laktat yang terkandung di
dalamnya akan mengalami metabolisme menjadi bikarbonat di hati. NaCL
0,9% juga sering digunakan, akan tetapi jika diberikan berlebih akan
menyebabkan asidosis hiperkloremik dan menurunnya kadar bikarbonat
plasma akibat peningkatan klorida.
Cairan Kristaloid dapat bersifat isotonik, hipotonik maupun hipertonik terhadap
plasma. 18
Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu
penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti
pada dehidrasi kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama
pada keadaan hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada
diabetes insipidus. Cairan ini tidak dapat digunakan sebagai cairan
resusitasi pada kegawatan. Contohnya dextrosa 5%
Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat
dan plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi
intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 3 kali lebih
besar dari kehilangannya. Cairan ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi
dan waktu yang diperlukan pun relatif lebih pendek dibanding dengan
cairan koloid.
Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama.
Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan
intraseluler ke dalam ekstraseluler. Peristiwa ini dikenal dengan infus

13

internal. Disamping itu cairan natrium hipertonik mempunyai efek


inotropik positif antara lain memvasodilatasi pembuluh darah paru dan
sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena dapat mengurangi
edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi jumlah cairan yang
dibutuhkan, contohnya NaCl 3%
b. Koloid
Koloid disebut juga sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan
volume plasma lebih besar dari volume yang diinfuskan. Koloid iso-onkotik
mengekspansikan volume plasma sebesar volume yang diinfuskan dan dikenal
sebagai substitute plasma atau cairan pengganti plasma. Koloid adalah cairan
yang mengandung partikel onkotik, sehingga menghasilkan tekanan onkotik.
Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul
tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung
bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskular. Darah
dan produk darah (human albumin, fraksi protein plasma, fresh frozen plasma,
larutan imunoglobulin) menghasilkan tekanan onkotik karena mengandung
molekul protein besar. Larutan koloid biasanya diberikan dalam jumlah yang
sama dengan volume kehilangan darah. Volume awal distribusi sama dengan
volume plasma. Koloid yang ideal meliputi : 19
o Stabil dengan efek kerja lama
o Bebas pirogen, antigen dan toksin
o Bebas dari risiko transmisi penyakit
o Efek ekspansi volume plasma bertahan sampai beberapa jam
o Metabolisme dan ekskresi tidak berefek negatif terhadap pasien
o Tidak ada efek merugikan
Kerugian koloid yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik,
koagulasi,dan lain-lain. Berdasarkan pembuatannya terdapat 2 jenis larutan
koloid, yaitu koloid alami dan koloid sintesis. Contoh koloid alami adalah
albumin, sementara koloid sintesis seperti dekstran, gelatin, dan hestartach.
Sifat Sifat
1. Berat molekul
2. Distribusi

Kristaloid
Lebih Kecil
Lebih cepat

Koloid
Lebih besar
Lebih
lama

dalam

14

3.
4.

Faal Hemostasis
Penggunaan
untuk

sirkulasi
Tidak ada pengaruh
mengganggu
Diberikan 3-4x dari Sesuai dengan

5.
6.

koreksi perdarahan
Reaksi Anafilaksis
Harga

jumlah perdarahan
Tidak ada
Murah

jumlah

perdarahan
Ada (jarang)
Mahal

2.2.5 Pemberian kristaloid/koloid pada pasien DHF


Kristaloid (larutan Ringers lactate or 0.9 NaCl) dianjurkan sebagai terapi
cairan yang aman dan seefektif larutan koloid dalam mengurangi angka kejadian syok
dan kematian pada.8-12 Dibandingkan dengan kristaloid,koloid sering dihungkan
dengan meningkatnya rersiko terjadinya reaksi alergi pada pasien dan juga muncul
tanda-tanda pendarahan yang baru, selain itu koloid juga memounyai harga yang
lebih mahal. Meskipun tidak ada data yang cukup kuat yang menunjukkan kelebihan
penggunaan salah satu cairan dalam penangan DHF tetapi penggunaan koloid lebih
direkomendasikan terutama dalam penangan pasien yang keadaan hemodinamiknya
tidak stabil dan sebagai rescue fluid jika setelah pemberian terapi cairan yang pertama
status kardiovaskular pasien tidak membaik.
Pemberian kristaloid yang diberikan contohnya adalah normal salaine atau
ringer laktat, smentara untuk koloid adalah gelatin-based, dextran-based, dan starchbased. Salah satu pertimbangan dalam pemberian cairan ini adalah pengaruhnya
terhadap koagulasi. Dextrans mungkin akan mengikat factor von Willebrand/factor
VIII dan mengganggu koagulasi. Tetapi dextrans deikatakan tidak memiliki pengaruh
klinis yang cukup signifikan sebagai cairan resusitasi dalam pasien syok. Dextran 40
juga berpotensi menyebabkan gangguan ginjal pada pasien hipovolemik. Gelatin
mempunyai efek yang paling sedikit terhadap koagulasi tetapi mempunyai resiko
menyebabkan alergi yang paling besar. Reaksi alergi juga ditemukan beberapa pada
pasien dengan terapi cairan dextran 70.20
Dalam sebuah penelitian yang mengevaluasi 74 pasien yang 66 diantaranya
dinyatakan meninggal, dikatakan bahwa tidak ada perbedaan berarti pada prognosis
pasien dalam penggunaan kristaloid/koloid. Penggunaan koloid sebagai cairan

15

resusitasi juga dikatakan tidak signigikan terbukti dalam mengurangi resiko kematian
pada pasien DHF jika dibandingkan dengan kristaloid.21
Penelitian dengan hasil serupa juga mengatakan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam penggunaan kristaloid/koloid, bahkan menunjukkanpenggunaan
human albumin tidak dianjurkan. Untuk larutan koloid jenis lain seperti succinylated
gelatin (Gelofusine) atau polygeline (Haemaccel)

dikatakan mempunyai protein

asing bagi tubuh sehingga dimungkinkan terjadinya reaksi anaphylaxis, sementara di


larutan saline tidak.22
Sementara itu dalam penelitian lain disebutkan bahwa meskipun kebanyakan
pasien DHF mengalami perbaikan kondisi hanya dengan pemberian cairan kristaloid,
tetapi 10-20% pasien mengalami kebocoran plasma yang membutuhkan terapi cairan
dengan menggunakan koloid. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa penggunaan
iso-oncotic koloid termasuk plasma tidak seefektif penggunaan hyperoncotic koloid.
Hal ini terjadi karena larutan hyperoncotic koloid mempertahankan cairan
intravaskular lebih baik dan menurunkan hematocrit sekitar 6-10% dalam beberapa
kasus sementara cairan kristalod dan iso-oncotic koloid termasuk plasma hanya
mampu menurunkan hematrokrit hingga 2-3%. Tetapi Dextran dan haes-steril tidak
dapat diberikan sebagai cairan resusitasi pada pasien syok karena sifatnya yang
hiperoncotic.Untuk menurunkan hematrokit dalam presentase ini dua larutan koloid
ini harus diberikan secara bolus dalam dosis 10 ml/kg/jam. Kebanyakan tenaga medis
salah mengartikan jika penggunaan koloid hanya diberikan pada pasien dengan
kondisi syok tetapi pada kenyataannya penggunaan koloid juga bisa diberikan pada
pasien DHF yang menunjukkan tanda-tanda kelebihan cairan atau keadaan
hematrokrit pasien yang tingi-tinggi yang bersifat persisten.Dalam penelitian ini
79.8% persen pasien mengalami syok sementara sisanya tidak, kesimpulannya adalah
pemeberian koloid sama-sama terlihat efektif terutama dalam kemampuannya
mempertahankan cairan intravaskular yang terlihat dengan menurunnya kadar
hematocrit pasien dan juga tidak ditemukan adanya reaksi alergi atau efek samping
serius yang terjadi pada pasien.23

16

2.3 Terapi Cairan Pada Pasien Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
2.3.1 Terapi cairan untuk pasien DF/DHF (Dengue tanpa tanda peringatan)
yang tidak masuk ke rumah sakit.
- Pada pasien dengan DF/DHF grade I yang tidak masuk ke rumah sakit,ORS (Oral
Rehydration Sulution) diberikan berdasarkan berat badan seperti yang terlihat
pada table di bawah ini :

- Osmolaritas ORS yang sudah dikurangi mengandung sodium 45-60 mmol/L.


- Minuman dengan kandungan [Na] <20 meqs tidak diberikan.
2.3.2 Terapi cairan untuk pasien yang masuk ke rumah sakit tanpa syok
-

(DF/DHF grade I-II atau dengue tanpa tanda peringatan).


Larutan isotonik (D5 LRS, D5 Acetated Ringers D5 NSS/ D5 0.9 NaCl)
direkomendasikan untuk pasien DHF yang masuk rumah sakit tetapi tanpa syok.
Pemberian IVF dihitung menggunakan metode caloricexpenditure atau dengan
penghitungan berdasarkan berat badan (Metode Barnes and Young).

Jika pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi ringan,tambahan cairan yang


diperlukan untuk mengatasi dehidrasi ringan tersebut ditambahkan dalam waktu
6-8 jam. Formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan untuk
infus intravena adalah:
Maintenance IVF + Cairan untuk dehidrasi ringan

17

Penghitungan untuk cairan yang ditambahkan kedalam maintenance fluid untuk

mengatasi dehidrasi ringan adalah:


Bayi 50 ml/kg/ 6-8 jam
Anak-anak atau dewasa 30 ml/kg/ 6-8 jam
Dibutuhkan evaluasi berkelanjutan.
Setelah 6-8 jam, jumlah cairan dihitung berdasarkan maintenance fluid dalam 16-

18 jam.
Parameter klinis harus dimonitor secara ketat dan juga memperhatikan hematocrit
untuk memberikan hidrasi yang

adekuat sekaligus menghindari under atau

overhidrasi. Jumlah IVF dapat diturunkan sewaktu-waktu jika dibutuhkan.

2.3.3 Terapi cairan pada pasien yang masuk ke rumah sakit dengan DHF grade
III (syok yang terkompensasi).

18

Pada pasien dalam kondisi syok yang terkompensasi (tekanan darah systole
normal tetapi ada tanda-tanda kebocoran plasma seperti berkurangnya perfusi dan
naiknya hematokrit) dilakukan terapi dengan cairan kristaloid isotonic 10-15
ml/kg/jam diatas satu jam dan juga tambahan oksigen jika dibutuhkan. Jika keadaan
pasien membaik terapi dilanjutkan ke dalam BOX B pada bagan yaitu pemberian
kristaloid IV sebanyak 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam kemudian berturut-turut
diturunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam
berikutnya. Jumlah cairan per hari tidak boleh melebihi 3 liter untuk menghindari
kelebihan cairan pada pasien. Evaluasi hematocrit pasien setiap 8-12 jam atau jika

19

dibutuhkan, evaluasi ulang status hemodinamik termasuk jumlah urin dan pantau
apakah ada tanda-tanda pendarahan pada pasien. Jika pasien stabil dan hematocrit
naik sebesar 10% lakukan evaluasi ulang dan pertimbangkan perlunya menambah
jumlah cairan yang masuk. Jika pasien tidak stabil dan hematocrit naik lakukan ulang
langkah pada BOX B. Jika pasien tidak stabil dan terjadi penurunan hematocrit cari
kemungkinan adanya tanda pendarahan pada pasien dan pertimbangkan untuk
melakukan tranfusi fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10
ml/kg. Jika kondisi pasien stabil selama 48 jam hentikan pemberian cairan IVF dan
lakukan terapi maintenance fluid atau menggunakan ORS.
Jika pasien tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi pada BOX A
masukkan cairan kristaloid atau koloid secara bolus sebanyak 10-20 ml/kg/jam
selama 1 jam. Jika pasien membaik dan hematocrit turun lanjutkan kedalam BOX B,
jika pasien tidak membaik dan hematocrit terus naik ulangi pemberian
koloid/kristaloid dengan dosis yang sama sekali lagi. Pemberian kristaloid pada
keadaan ini seperti Ringers lactat atau 0.9 NaCl solutions, sementara untuk koloid
seperti dextran, starch, atau gelatin. Jika pasien membaik lanjutkan ke BOX B, jika
pasien tidak membaik pertimbangkan untuk pemberian inotropes dan rujuk ke
tertiary center. Penggunaan inotropes disini harus melalui pertimbangan yang hatihati dan dilakukan setelah terapi cairan yang adekuat sudah diberikan.
- Untuk menghitung jumlah Dopamine yang ditambahkan ke dalam 100 ml
cairan IV :

Untuk menghitung volume obat yang akan ditambahkan ke dalam 100 ml


cairan IV :

Dosis Dopamine yang disiapkan : 40 mg/ml dan 80 mg/ml

20

Jika setelah dilakukan terapi pada BOX A pasien tidak mengalami perbaikan dan
muncul tanda-tanda pendarahan maka pertimbangkan untuk pemberian tranfusi fresh
whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika pasien membaik
lanjutkan ke dalam BOX B, dan jika tidak terjadi perbaikan pertimbangkan
pemberian inotropes.

2.3.4 Terapi cairan untuk pasien yang masuk ke rumah sakit dengan syok DHF
grade IV/DSS (syok hypotensive)

21

Jika pasien masuk dalam keadaan syok yang hipotensif (tekanan darah sistol
<90 mmHg atau MAP <70 mmHg atau tekanan darah sistol turun >40 mmHg)
perhatikan terapi cairan tetap berdasarkan hematrokit, berikan cairan isotonic
kristaloid/koloid dalam waktu 15 menit, dan juga berikan support oksigen. Jika
keadaan pasien membaik, berikan kristaloid/koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam
kemudian lanjutkan dengan 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan turunkan menjadi 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam. Jumlah cairan
per hari tidak boleh melebihi 3 liter untuk menghindari kelebihan cairan pada pasien.

22

Evaluasi hematocrit pasien setiap 8-12 jam atau jika dibutuhkan, evaluasi ulang status
hemodinamik termasuk jumlah urin dan pantau apakah ada tanda-tanda pendarahan
pada pasien. Jika pasien stabil dan hematocrit naik sebesar 10% lakukan evaluasi
ulang dan pertimbangkan perlunya menambah jumlah cairan yang masuk. Jika pasien
tidak stabil dan hematocrit naik lakukan ulang langkah pada BOX B. Jika pasien
tidak stabil dan terjadi penurunan hematocrit cari kemungkinan adanya tanda
pendarahan pada pasien dan pertimbangkan untuk melakukan tranfusi fresh whole
blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika kondisi pasien stabil
selama 48 jam hentikan pemberian cairan IVF dan lakukan terapi maintenance fluid
atau menggunakan ORS.
Jika tidak terjadi perbaikan pada pasien masukkan cairan koloid 10-20
ml/kg/jam selama -1 jam lalu cek parameter hemodinamik. Jika keadaan pasien
membaik dan hematocrit turun kurungan IVF rate menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 12 jam dan jika kondisi pasien stabil lanjutkan ke BOX B. Jika hematokri naik dan
keadaan pasien tidak membaik setelah pemberian cairan kristaloid/koloid yang kedua
ulangi pemberian cairan kristaloid/koloid 20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika pasien
membaik lanjutkan ke BOX B, jika pasien tidak membaik pertimbangkan untuk
pemberian inotropes dan rujuk ke tertiary center.
Jika setelah dilakukan terapi pada BOX A pasien tidak mengalami perbaikan
dan muncul tanda-tanda pendarahan maka pertimbangkan untuk pemberian tranfusi
fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika pasien
membaik lanjutkan ke dalam BOX B, dan jika tidak terjadi perbaikan pertimbangkan
pemberian inotropes.

23

BAB III
KESIMPULAN

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan angka insiden yang terus
meningkat.

24

DH atau DHF diklasifikasikan menjadi 4 derajat dengan manifestasi klinis dan

penanganan yang berbeda-beda pada setiap derajatnya.


Pengobatan pada pasien DHF bersifat suportif terutama dengan terapi cairan.
Evaluasi ketat dan keberhasilan terapi cairan menentukan prognosis pasien

DHF.
Kristaloid dan koloid keduanya bisa digunakan dalam pengangan DHF dengan
mempertimbangkan beberapa hal dan tergantung dari derajat penyakitnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat

Jendral

Pengendalian

Penyakit

dan

Penyehatan

Lingkungan

Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan


lingkungan. Jakarta: 2007.
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan. 2005. p. 1-2.
3. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam
Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006. p. 1774-9
4. Halstead SB. Dengue. Curr Opin Infect Dis 2002;15:471-6.
5. Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. Pathophyisology and Management of
Dengue Hemorrhagic Fever. LMS Group. 2006
25

6. Lardo S. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit. RSPAD


Gatot Soebroto, Jakarta : 2013. Vol.40 No.9
7. World Health Organization. Clinical diagnosis. In: Dengue Haemorrhagic Fever:
Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, 2nd edn. WHO: Geneva, 1997, pp.
1223.
8. Sharma SK, Goel A. Dengue Hemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome
Pertinent Issues in Management. Medicine Update. P. 630-633
9. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi: 2001. p. 5-17.
10. Hadinegoro SRH, et.al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di
Indonesia. Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004
11. Primananda,Eva.Terapi

Cairan

pada

Pasien

Syok.Universitas

Sumatra

Utara.2010.pg:1-42
12. Kresnoadi,Erwin.

Terapi

Cairan

pada

Syok

Hipovolemik.

Universitas

Mataram.2011.pg:1-35
13. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks; 2010.
14. Zingarelli, Basilia. Shock and Reperfusion Injury dalam Rogers Text Bokk.
Pediatric Intensive Care.2008. ed. 4 Hal 252. Philadelpia.
15. Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science Ltd, 2003
16. Arifianto B. Syok. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti; 2006.
17. Sthavira,Arista. Referat Syok Hipovolemik.Universitas Trisakti.2013.pg:1-24
18. Udeani, John. Hemorrhagic Shock. New York: Department of Emergency
Medicine, Charles Drew University/ UCLA School of Medicine; 2010.
19. Martin, Gregory S, MD, MS. An Update on Intravenous Fluids. 2005. Diunduh
dari : http://cme.medscape.com/viewarticle/50313
20. Louisa P, Benjamin TL, Zamora NV. Fluid Management of Dengue Fever and
Dengue Hemorhhagic Fever. 2010

26

21. Perel P. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in Dengue fever
patients. 2012. Section 11
22. Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human albumin administration: a
metaanalysis of randomized, controlled trials. Ann Intern Med 2001;135:149-64.
23. Kalayanarooj S. Choice of Colloidal Solutions in Dengue Hemorrhagic Fever
Patients. J Med Assoc. 2008.

27

You might also like