Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Insiden dari kasus DD dan DBD ini terus
meningkat dan menjadi masalah kesehatan utama di daerah tropis. Epidemik demam
berdarah ini umumnya terjadi pada perubahan ke musim hujan, pada periode ini
banyak orang akan terinfeksi. Kebanyakan dari mereka akan sembuh dari demam
biasa, beberapa yang lainnya akan mengalami prognosis buruk seperti syok dan
komplikasi-komplikasi lainnya yang membahayakan. Kasus kematian pada pasien
demam berdarah paling banyak berasal dari golongan usia anak-anak dan pasien
dalam usia produktif. Sangat sulit untuk mengontrol angka kejadian demam dengue
atau demam berdarah ini disebabkan oleh adanya 4 macam serotype virus yang
menjadi etiologi penyakit ini, tidak adanya vaksin yang tesdia, dan sulitnya
mengontrol perkembangbiakan nyamuk aides aegepty yang menjadi vector penyakit
ini. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka
perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khusunya pada anak. Data
Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005)
terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit
penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).1-2
Tidak ada penanganan khusus untuk pasien demam dengue atau demam
berdarah selain terapi suportif dan terapi cairan. Periode berbahaya dalam demam
berdarah disebut periode kritis dimana pasien mungkin akan mengalami penurunan
kondisi dalam waktu yang relative singkat antara 48-72 jam. Jika dalam periode ini
pasien ditangani secara benar, kemungkinan prognosis pasien tidak akan menjadi
buruk. Oleh karena itu diperlukan monitoring pemberian terapi cairan secara ketat.
Kasus kematian pada pasien demam berdarah berhubungan dengan berbagai macam
factor seperti banyaknya pasien yang masuk rumah sakit ketika musim pandemik
demam berdarah terjadi sehingga monitoring ketat dan terapi yang tepat sangat sulit
BAB II
ISI
2.1 Dengue Hemorrhagic Fever
2.1.1 Definisi
Demam berdarah dengue atau dengue hemorrhagic fever adalah suatu
penyakit febril yang disebabkan oleh virus dengue yang mengakibatkan kondisi
trombositopenia infeksius akut yang parah pada pasien dan sering bersifat fatal. Pada
DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas hemostasis, dan pada kasus
yang parah, terjadi suatu sindrom renjatan kehilangan protein masif (dengue shock
syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu proses imunopatologik.4
Beberapa pasien demam dengue mungkin akan mengalami demam berdarah
dengue
yang merupakan
kondisi yang lebih berbahaya. Oleh karena itu pasien mungkin akan mengalami suatu
gejala dari penyakit yang berat seperti nyeri di bagian perut, mual muntah, perubahan
suhu badan dari demam ke hypothermia, gambaran klinis pendarahan, atau penurunan
dalam mental status. Pasien mungkin juga akan mengalami tanda awal syok seperti
letih, kulit dingin, nadi yang cepat lemah, dan penyempitan selisih sistole diastole
tekanan darah. Pasien demam dengue yang mengalami gejala seperti ini harus
kembali melakukan perawatan di rumah sakit.5
2.1.2 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106. Terdapat paling tidak 4 tipe serotipe virus dengue, yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotipe terbanyak.3
Virus dengue ini disebarkan dari manusia ke manusia melalui nyamuk genus Aedes,
seperti Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti tersebar di daerah tropis
dan subtropis merupakan vektor utama. Nyamuk ini berukuran kecil jika
dibandingkan dengan nyamuk lain, biasanya berukuran 3-4 mm. Warna tubuh hitam
dengan bintik-bintik putih pada seluruh tubuh dan kepala, dan lingkaran putih pada
kaki. Dadanya biasanya mempunyai corakan putih dan sayapnya bersisik serta
translusen.
2.1.3 Patofisiologi
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
kemudian terjadi viremia, yang ditandai dengan demam mendadak tanpa penyebab
yang jelas disertai gejala lain seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, pegal di
seluruh tubuh, nafsu makan berkurang dan sakit perut, bintik-bintik merah pada kulit.
Kelainan juga dapat terjadi pada sistem retikulo endotel atau seperti pembesaran
kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Pelepasan zat anafilaktoksin, histamin
dan serotonin serta aktivitas dari sistem kalikrein menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding kapiler/vaskuler sehingga cairan dari intravaskuler keluar ke
ekstravaskuler atau terjadinya perembesaran plasma akibat pembesaran plasma terjadi
pengurangan volume plasma yang menyebabkan hipovolemia, penurunan tekanan
darah, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Selain itu system
reikulo endotel bisa terganggu sehingga menyebabkan reaksi antigen anti bodi yang
akhirnya bisa menyebabkan anaphylaxia
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon
imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE). Pada tahap awal virus dengue akan menyerang selsel makrofag
dan bereplikasi dalam sel Langerhans dan makrofag di limpa. Selanjutnya, akan
menstimulasi pengaturan sel T, reaksi silang sel T aviditas rendah dan reaksi silang
sel T spesifi k, yang akan meningkatkan produksi spesifi k dan reaksi silang
antibodi.4 Pada tahap berikutnya terjadi secara simultan reaksi silang antibodi dengan
trombosit, reaksi silang antibodi dengan plasmin dan produk spesifik. Proses ini
kemudian akan meningkatkan peran antibodi dalam meningkatkan titer virus dan di
sisi lain antibodi bereaksi silang dengan endotheliocytes. Pada tahap berikutnya
terjadi efek replikasi sel mononuclear. Di dalam sel endotel, terjadi infeksi dan
replikasi selektif dalam endotheliocytes sehingga terjadi apoptosis yang menyebabkan
disfungsi endotel. Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam
fagositosis virus. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a, sementara
proaktivator C1q, C3, C4, C5-C8, dan C3 menurun. Faktor-faktor di atas dapat
berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular melalui jalur akhir nitrat oksida. Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis
diaktivasi, dan jumlah faktor XII (faktor Hageman) berkurang. Mekanisme
perdarahan pada DBD belum diketahui, tetapi terdapat hubungan terhadap koagulasi
diseminata intravaskular (dissemintated intravascular coagulation, DIC) ringan,
kerusakan hati, dan trombositopenia.5,6
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah
pada saat terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukkan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulopati
dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP), peningkatan kadar tromboglobulin dan faktor prokoagulator IV yang merupakan penanda degranulasi
trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur ekstrinsik (tissue factor
pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak
melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).3
Kebocoran kapiler menyebabkan cairan, elektrolit, protein kecil, dan, dalam
beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke dalam ruang ekstravaskular. Plasma
merembes sejak permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada
5
pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai 30% atau lebih.
Bila renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan plasma yang tidak dengan
segera diatasi maka akan terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
Terjadinya renjatan ini biasanya pada hari ke-3 dan ke-7.5
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari demam berdarah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
febrile, toxic, dan convalescent. Pertama pasien akan mengalami demam yang tinggi
(3940 derajat) dengan gejala penyerta seperti letih, nyeri kepala, mual muntah,
myalgia dan kadang nyeri perut. Demam tingi yang akut ini berlangsung antara 2-7
hari biasanya akan disertai dengan manifestasi pendarahan yang ringan. Pendarahan
di kulit mungkin akan lebih sering ditemukan daripada pendarahan di hidung, saluran
cerna, atau di gusi. Gambaran pendarahan yang ringan ini akan disertai dengan hasil
tes tourniquet positif. Hematuria akan jarang ditemukan sementara pembesaran hati
akan lebih sering ditemukan. Thrombositopeni dan kenaikian hematocrit akan
ditemukan akibat kebocoran plasma biasanya sebelum fase toxic. Pada fase toxic
temperature badan akan turun dan gangguan sirkulasi akan muncul dalam waktu 2448 jam. Pada fase convalescent pasien sangat sedikit mempunyai harapat kesembuhan
total tanpa adanya gejala penyakit sisa.7
Tanda dan gejala yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF, dengan
masa inkubasi antara 13-15 hari. Adapun tanda dan gejala menurut WHO:
- Demam tinggi mendadak dan terus menerus 2-7 hari
-Manifestasi perdarahan, paling tidak terdapat uji tourniquet positif, seperti
perdarahan pada kulit (petekie, ekimosis. Epistaksis, Hematemesis, Hematuri, dan
melena)
- Pembesaran hati (sudah dapat diraba sejak permulaan sakit)
- Syok yang ditandai dengan nadi lemah, cepat disertai tekanan darah menurun
(tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang dan diastolic 20 mmHg atau kurang)
disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan
kaki, penderita gelisah timbul sianosis disekitar mulut.
Adapun gambaran klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada
penderita DHF adalah:
- Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan.
- Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare, konstipasi
6
- Keluhan sistem tubuh yang lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan
sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada saluran tubuh dll.
- Temuan-temuan laboratorium yang mendukung adalah thrombocytopenia (kurang
atau sama dengan 100.000 mm3) dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit lebih
atau sama dengan 20 %).8
2.1.5 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD, yaitu:2,9,10
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin
dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
cairan. Jumlah kalium normal serum adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135145 mEq/l.2,8
2.2 Terapi Cairan pada DHF
2.2.1 Definisi dan Tujuan terapi cairan
Terapi cairan adalah tindakan pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh khususnya
pembuluh darah vena untuk mengatasi syok dan menggantikan volume cairan yang
hilang akibat perdarahan atau dehidrasi.11,12
Secara umum tujuan terapi cairan : 13
Mengganti cairan yang hilang
Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung
Mencukupi kebutuhan cairan sehari
Mengatasi syok
Mengoreksi dehidrasi
2.2.2 Kompartemen Cairan Tubuh
Tubuh manusia terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian yang padat (40% berat
badan) dan bagian yang cair (60% berat badan). Bagian yang padat terdiri atas
tulang, kuku, rambut, otot, dan jaringan yang lain. Bagian yang cair merupakan
bagian terbesar, terdiri dari : cairan intraselular (40% berat badan ) dan cairan
ekstraselular (20% berat badan). Cairan intraselular adalah cairan yang berada di
dalam semua sel tubuh sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di
luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu cairan intravaskular (5% dari berat
badan), interstitial (15% dari berat badan), dan transeluler yang meliputi sinovial,
intraokuler dan lain lain. Cairan intravaskular adalah cairan yang berada dalam
system vascular, cairan interstitial adalah cairan yang terletak diantara sel-sel tubuh,
sedangkan cairan transelular adalah cairan sekresi khusus. Cairan intraselular dan
ekstraselular dipisahkan oleh membran semipermeabel. 12,14
1)
Cairan Intraselular
Cairan yang terkandung di dalam sel disebut cairan intraseluler. Pada orang
dewasa, sekitar 2/3 dari cairan tubuhnya (40% dari berat badan) terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan
70 kg), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan
(10-15% dari
bermuatan listrik seperti protein, urea, glukosa, oksigen, karbon dioksida, dan asamasam organik. Sedangkan elektrolit tubuh mencakup natrium, kalium, kalsium,
magnesium, klorida, bikarbonat, fosfat, dan sulfat. Elektrolit dibagi menjadi dua yaitu
ion positif (kation) dan ion negatif (anion) yang jumlahnya dalam larutan selalu sama.
Jumlah muatan dan konsentrasinya dinyatakan dalam miliequivalen (mEq)/L.
Komposisi elektrolit pada masing-masing kompartemen berbeda-beda. Kation utama
dalam cairan ekstraselular adalah natrium, sedangkan dalam cairan intraselular adalah
kalium. Anion utama cairan ekstraselular adalah klorida dan bikarbonat, sedangkan
dalam cairan intraselular adalah ion fosfat. Non elektrolit merupakan molekulmolekul yang statis menjadi pertikel-partikel atau tidak terdisosiasi dalam cairan,
seperti dextrose, ureum dan kreatinin.11,14,16
Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritas cairan ekstrasel,
konsentrasi ion-ion penting dan keseimbangan asam basa. Sehingga sangat penting
untuk diperhatikan dalam terapi cairan.11,17
2.2.4 Jenis Cairan Intravena
Berdasarkan penggunaannya cairan intravena dapat digolongkan menjadi 4
kelompok, yaitu: 12
1) Cairan pemeliharaan
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses,
paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan
umur, yaitu:
Dewasa
Anak-anak
Bayi
Neonatus
1,5 2
24
46
3
ml/kg/jam
ml/kg/jam
ml/kg/jam
ml/kg/jam
11
Cairan non elektrolit misalnya: Dextrose 5% atau 10% dalam air dan maltose
5% atau 10%.
2) Cairan pengganti
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh
sekuestrasi atau proses patologi yang lain, misalnya fistula, efusi pleura,
drainase lambung, dehidrasi dan perdarahan pada pembedahan atau cedera.
Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan kristaloid,
misalnya NaCl 0,9% dan ringer laktat atau koloid, misalnya dextrans 40 dan
70, albumin dan plasma.
3) Cairan untuk tujuan khusus lainnya
Yang dimaksud diatas adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus,
misalnya natrium bikarbonat 7,5% kalsium glukosa untuk tujuan koreksi
khusus terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.
4) Cairan nutrisi
Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau makan, tidak
boleh makan, dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi parenteral
pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral parsial
atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu.
Berdasarkan penggunaan secara klinis sehari hari, cairan intravena dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu cairan kristaloid dan koloid
a. Kristaloid
Komposisi cairan kristaloid mirip cairan ekstraseluler. Untuk mengatasi defisit
volume intravaskular yang sama efektifnya dengan pemberian koloid
diperlukan pemberian kristaloid dalam jumlah yang cukup, yaitu 3-4 kali
cairan koloid. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 2030 menit. Ada beberapa keuntungan pemakaian cairan kristaloid antara lain
harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak
menimbulkan alergi atau syok anafilaktik dan dapat disimpan lama. Kerugian
yang dapat timbul diantaranya edema perifer dan paru yang dikemukakan oleh
Heugman et al (1972). Beliau mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah
12
13
Kristaloid
Lebih Kecil
Lebih cepat
Koloid
Lebih besar
Lebih
lama
dalam
14
3.
4.
Faal Hemostasis
Penggunaan
untuk
sirkulasi
Tidak ada pengaruh
mengganggu
Diberikan 3-4x dari Sesuai dengan
5.
6.
koreksi perdarahan
Reaksi Anafilaksis
Harga
jumlah perdarahan
Tidak ada
Murah
jumlah
perdarahan
Ada (jarang)
Mahal
15
resusitasi juga dikatakan tidak signigikan terbukti dalam mengurangi resiko kematian
pada pasien DHF jika dibandingkan dengan kristaloid.21
Penelitian dengan hasil serupa juga mengatakan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam penggunaan kristaloid/koloid, bahkan menunjukkanpenggunaan
human albumin tidak dianjurkan. Untuk larutan koloid jenis lain seperti succinylated
gelatin (Gelofusine) atau polygeline (Haemaccel)
16
2.3 Terapi Cairan Pada Pasien Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
2.3.1 Terapi cairan untuk pasien DF/DHF (Dengue tanpa tanda peringatan)
yang tidak masuk ke rumah sakit.
- Pada pasien dengan DF/DHF grade I yang tidak masuk ke rumah sakit,ORS (Oral
Rehydration Sulution) diberikan berdasarkan berat badan seperti yang terlihat
pada table di bawah ini :
17
18 jam.
Parameter klinis harus dimonitor secara ketat dan juga memperhatikan hematocrit
untuk memberikan hidrasi yang
2.3.3 Terapi cairan pada pasien yang masuk ke rumah sakit dengan DHF grade
III (syok yang terkompensasi).
18
Pada pasien dalam kondisi syok yang terkompensasi (tekanan darah systole
normal tetapi ada tanda-tanda kebocoran plasma seperti berkurangnya perfusi dan
naiknya hematokrit) dilakukan terapi dengan cairan kristaloid isotonic 10-15
ml/kg/jam diatas satu jam dan juga tambahan oksigen jika dibutuhkan. Jika keadaan
pasien membaik terapi dilanjutkan ke dalam BOX B pada bagan yaitu pemberian
kristaloid IV sebanyak 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam kemudian berturut-turut
diturunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam
berikutnya. Jumlah cairan per hari tidak boleh melebihi 3 liter untuk menghindari
kelebihan cairan pada pasien. Evaluasi hematocrit pasien setiap 8-12 jam atau jika
19
dibutuhkan, evaluasi ulang status hemodinamik termasuk jumlah urin dan pantau
apakah ada tanda-tanda pendarahan pada pasien. Jika pasien stabil dan hematocrit
naik sebesar 10% lakukan evaluasi ulang dan pertimbangkan perlunya menambah
jumlah cairan yang masuk. Jika pasien tidak stabil dan hematocrit naik lakukan ulang
langkah pada BOX B. Jika pasien tidak stabil dan terjadi penurunan hematocrit cari
kemungkinan adanya tanda pendarahan pada pasien dan pertimbangkan untuk
melakukan tranfusi fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10
ml/kg. Jika kondisi pasien stabil selama 48 jam hentikan pemberian cairan IVF dan
lakukan terapi maintenance fluid atau menggunakan ORS.
Jika pasien tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi pada BOX A
masukkan cairan kristaloid atau koloid secara bolus sebanyak 10-20 ml/kg/jam
selama 1 jam. Jika pasien membaik dan hematocrit turun lanjutkan kedalam BOX B,
jika pasien tidak membaik dan hematocrit terus naik ulangi pemberian
koloid/kristaloid dengan dosis yang sama sekali lagi. Pemberian kristaloid pada
keadaan ini seperti Ringers lactat atau 0.9 NaCl solutions, sementara untuk koloid
seperti dextran, starch, atau gelatin. Jika pasien membaik lanjutkan ke BOX B, jika
pasien tidak membaik pertimbangkan untuk pemberian inotropes dan rujuk ke
tertiary center. Penggunaan inotropes disini harus melalui pertimbangan yang hatihati dan dilakukan setelah terapi cairan yang adekuat sudah diberikan.
- Untuk menghitung jumlah Dopamine yang ditambahkan ke dalam 100 ml
cairan IV :
20
Jika setelah dilakukan terapi pada BOX A pasien tidak mengalami perbaikan dan
muncul tanda-tanda pendarahan maka pertimbangkan untuk pemberian tranfusi fresh
whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika pasien membaik
lanjutkan ke dalam BOX B, dan jika tidak terjadi perbaikan pertimbangkan
pemberian inotropes.
2.3.4 Terapi cairan untuk pasien yang masuk ke rumah sakit dengan syok DHF
grade IV/DSS (syok hypotensive)
21
Jika pasien masuk dalam keadaan syok yang hipotensif (tekanan darah sistol
<90 mmHg atau MAP <70 mmHg atau tekanan darah sistol turun >40 mmHg)
perhatikan terapi cairan tetap berdasarkan hematrokit, berikan cairan isotonic
kristaloid/koloid dalam waktu 15 menit, dan juga berikan support oksigen. Jika
keadaan pasien membaik, berikan kristaloid/koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam
kemudian lanjutkan dengan 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan turunkan menjadi 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam. Jumlah cairan
per hari tidak boleh melebihi 3 liter untuk menghindari kelebihan cairan pada pasien.
22
Evaluasi hematocrit pasien setiap 8-12 jam atau jika dibutuhkan, evaluasi ulang status
hemodinamik termasuk jumlah urin dan pantau apakah ada tanda-tanda pendarahan
pada pasien. Jika pasien stabil dan hematocrit naik sebesar 10% lakukan evaluasi
ulang dan pertimbangkan perlunya menambah jumlah cairan yang masuk. Jika pasien
tidak stabil dan hematocrit naik lakukan ulang langkah pada BOX B. Jika pasien
tidak stabil dan terjadi penurunan hematocrit cari kemungkinan adanya tanda
pendarahan pada pasien dan pertimbangkan untuk melakukan tranfusi fresh whole
blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika kondisi pasien stabil
selama 48 jam hentikan pemberian cairan IVF dan lakukan terapi maintenance fluid
atau menggunakan ORS.
Jika tidak terjadi perbaikan pada pasien masukkan cairan koloid 10-20
ml/kg/jam selama -1 jam lalu cek parameter hemodinamik. Jika keadaan pasien
membaik dan hematocrit turun kurungan IVF rate menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 12 jam dan jika kondisi pasien stabil lanjutkan ke BOX B. Jika hematokri naik dan
keadaan pasien tidak membaik setelah pemberian cairan kristaloid/koloid yang kedua
ulangi pemberian cairan kristaloid/koloid 20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika pasien
membaik lanjutkan ke BOX B, jika pasien tidak membaik pertimbangkan untuk
pemberian inotropes dan rujuk ke tertiary center.
Jika setelah dilakukan terapi pada BOX A pasien tidak mengalami perbaikan
dan muncul tanda-tanda pendarahan maka pertimbangkan untuk pemberian tranfusi
fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika pasien
membaik lanjutkan ke dalam BOX B, dan jika tidak terjadi perbaikan pertimbangkan
pemberian inotropes.
23
BAB III
KESIMPULAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan angka insiden yang terus
meningkat.
24
DHF.
Kristaloid dan koloid keduanya bisa digunakan dalam pengangan DHF dengan
mempertimbangkan beberapa hal dan tergantung dari derajat penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat
Jendral
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan
Cairan
pada
Pasien
Syok.Universitas
Sumatra
Utara.2010.pg:1-42
12. Kresnoadi,Erwin.
Terapi
Cairan
pada
Syok
Hipovolemik.
Universitas
Mataram.2011.pg:1-35
13. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks; 2010.
14. Zingarelli, Basilia. Shock and Reperfusion Injury dalam Rogers Text Bokk.
Pediatric Intensive Care.2008. ed. 4 Hal 252. Philadelpia.
15. Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science Ltd, 2003
16. Arifianto B. Syok. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti; 2006.
17. Sthavira,Arista. Referat Syok Hipovolemik.Universitas Trisakti.2013.pg:1-24
18. Udeani, John. Hemorrhagic Shock. New York: Department of Emergency
Medicine, Charles Drew University/ UCLA School of Medicine; 2010.
19. Martin, Gregory S, MD, MS. An Update on Intravenous Fluids. 2005. Diunduh
dari : http://cme.medscape.com/viewarticle/50313
20. Louisa P, Benjamin TL, Zamora NV. Fluid Management of Dengue Fever and
Dengue Hemorhhagic Fever. 2010
26
21. Perel P. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in Dengue fever
patients. 2012. Section 11
22. Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human albumin administration: a
metaanalysis of randomized, controlled trials. Ann Intern Med 2001;135:149-64.
23. Kalayanarooj S. Choice of Colloidal Solutions in Dengue Hemorrhagic Fever
Patients. J Med Assoc. 2008.
27