You are on page 1of 15

Protokol Resusitasi Cairan dan Transfusi Masif dari Perspektif Militer

Abstrak
Pendekatan resusitasi pada pasien dengan perdarahan masif mengalami
perubahan secara dramatis sejak 10 tahun terakhir, termasuk dari pengalaman
militer terkini. Militer Amerika Serikat telah membuat suatu pedoman Tactical
Combat Casualty Care (pelayanan taktis pada korban peperangan), untuk
manajemen sebelum sampai dan awal pada saat dirumah sakit, yang diadaptasi
dari bukti klinis di lingkungan militer. Sebagai pengecualian yaitu manajemen
cairan, pedoman ini telah digunakan oleh Australian Defence Force (angkatan
pertahanan). Menekankan pada kontrol perdarahan dengan cepat, pembedahan
dan usaha stabilisasi, while sound, menantang kedoktran tradisional dan
pengajaran. Bagaimanapun, indikasi, jenis dan cara pemberian dan hasil akhir dari
resusitasi cairan, terutama harus dilakukan pada periode awal saat di rumah sakit,
kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan. Review ini memiliki bukti yang
tersedia sehingga dapat direkomendasikan, dan masih perlu untuk didiskusikan,
dan pada akhirnya perkembangan keputusan ini dilakukan terutama oleh
Australian Defence Force.
Pengenalan
Penanganan utama dari terjadinya suatu perdarahan masif adalah menghentikan
perdarahan. Tindakan yang berguna terutama memasang turniket arterial, dengan
melakukan dressing (bebat tekan) dengan atau tanpa pemberian agen hemostatic
dan melakukan tindakan bedah untuk kontrol kerusakan awal. Tidak ada studi
yang menemukan manfaat dilakukannya pemberian cairan sebelum sampai rumah
sakit (pre-hospital) pada perdarahan masif. Sebaliknya, terdapat studi yang
menyatakan bahwa tidak ada manfaat dan mungkin justru merugikan pasien
ketika dilakukan pemberian cairan prehospital. Selain itu, analisis waktu kematian
dan tanda vital saat pasien masuk rumah sakit, menyatakan bahwa resusitasi
cairan mungkin memiliki manfaat kurang dari 2% pada pasien dengan perdarahan.
Oleh karena itu, masih banyak terdapat perdebatan panjang mengenai pemberian

resusitasi cairan pada trauma militer, dan secara minim, cocok untuk sebagian
besar dengan pasien ini. Meskipun demikian, rekomendasi resusitasi cairan sering
dicari sampai saat ini dan merupakan hal wajib untuk dokter militer dalam
mempersiapkan saran terbaik yang mungkin.
Pada review ini, kami menilai bukti terbaru dengan menggunakan 4 jenis
pertanyaan pokok (indikasi optimal, cara pemberian, jenis cairan dan hasil akhir)
yang berhubungan dengan resusitasi cairan pada lingkungan trauma militer,
melalui penggabungan konsep resusitasi cairan dan kontrol kerusakan akibat
resusitasi. Kami juga menganalisis rekomendasi program dari Amerika Serikat
yaitu Tactical Combat Casualty Care (TCCC), yang menyediakan pedoman untuk
menghadapi masalah ini. Analisis kami ditetapkan oleh Australian Defence Force
(ADF) dan konsensus dokter pertahanan, namun masih terjadi perdebatan dalam
hal informasi mengenani penanganan luka pada anggota ADF.

Tactical Combat Casualty Care


Militer/ tentara AS mengembangkan program TCCC untuk memandu penanganan
trauma di medan perang. Pokok dari TCCC adalah mengetahui penanganan
trauma yang sesuai dengan keadaan medan perang yang diatur oleh lingkungan
taktis. Prinsip TCCC merupakan penyelesaian dari misi dan mencegah korban
selanjutnya dan untuk penanganan korban.
Dengan

memperhatikan

perdarahan,

tujuan

awal

dari

TCCC

adalah

mempertahankan hemostatis. Konsep kedua yaitu melakukan kontrol definitive


yang tepat terhadap perdarahan, dimana jika terjadi peningkatan tekanan darah,
dapat menyebabkan perdarahan semakin cepat. Resusitasi cairan hanya
direkomendasikan jika tekanan darah sistolik dibawah 80-85 mmHg, turunnya
tekanan darah, atau penurunan kesadaran tanpa adanya riwayat trauma kepala.
Secara praktis, tindakan resusitasi hanya dapat dilakukan jika pasien tidak sadar
atau tidak terabanya pulsasi arteri radialis. Pemberian Hetastarch 6% dalam
larutan garam, (Hextend; Hospira Pty Ltd) tidak tersedia di Australia),

direkomendasikan sebagai penanganan resusitasi cairan prehospital. Hetastarch


adalah suatu molekul karbohidrat termasuk dalam kelompok hidroksietil yang
diubah menjadi beberapa molekul glukosa. Perlu dibedakan dengan zat tepung
(starches) pengganti lain dengan zat tepung yang digunakan untuk resusitasi
cairan, misalnya Pentastarch, yang dapat dibedakan berdasarkan berat molekul
dan derajat molaritasnya. Hextend diberikan sebanyak 500 ml per bolus, dapat
diulang satu kali jika terindikasi, yaitu masih terjadi penurunan kesadaran dan
pulsasi radialis belum teraba. Jarum intraosseus mungkin direkomendasikan jika
pemasangan infus dengan kanul ukuran 18 gauge tidak dapat dilakukan.
Hipotermia dicegah dengan menggunakan jaket hangat dari bahan kimia dan
penggunaan heat reflective shell (penutup badan) yang hangat. Evakuasi awal dari
medan tempur dan bedah untuk kontrol awal menjadi prioritas.
Indikasi pemberian resusitasi cairan
Tujuan pemberian resusitasi yaitu untuk mendapatkan volume darah yang cukup
untuk bersirkulasi membawa oksigen dan substrat energi sampai ke sel dan untuk
membuang produk metabolisme. Terdapat mekanisme yang menjaga agar volume
darah sirkulasi yang dibutuhkan tetap ada. Misalnya, perfusi renal menurun ketika
terjadi penurunan cardiac output, namun sel renal bertahan dalam proses yang
tidak lama, sehingga terdapat sekitar 1% pasien dengan trauma membutuhkan
terapi penggantian ginjal, terutama pada kasus dengan kegagalan multi-organ.
Restorasi awal volume darah sirkulasi untuk mencapai nilai normal pada keadaan
perdarahan akut masif tidak diperlukan. Oleh karena itu, tindakan ini justru dapat
merugikan. Penggantian setiap liter darah yang hilang dengan cairan kristaloid
tiga kali lipat, dimana cairan ini sesuai dengan kompertemen cairan intra dan
ekstraseluler, namun hal ini mungkin dapat menyebabkan dilusi pada konstitusi
darah, overload cairan dengan edema interstisial dan sindrom distress respirasi
akut, atau yang disebut Da Nang Lung, (dinamakan demikian setelah banyak
korban kota di AS dan beberapa sekutu menerima penanganan selama perang
Vietnam).

Konsep yang diketahui mengenai resusitasi cairan dalam mempertahankan perfusi


yang cukup ke jantung dan otak disebut sebagai resusitasi hipotensi, dimana
pengukuran tekanan darah lebih mudah dibandingkan dengan mengukur aliran ke
organ-organ ini. Keuntungan resusitasi hipotensi pertama kali didemostrasikan
oleh Bickell et al. dalam uji random kontrol trial dengan membandingkan
resusitasi langsung dan resusitasi yang ditunda pada 598 pasien dewasa dengan
luka penetrasi pada daerah kaki. Angka survival rumah sakit meningkat pada
kelompok dengan resusitasi yang ditunda (7)% vs 62%, dengan p= 0,04). Pasien
yang mendapatkan resusitasi langsung memiliki waktu rawat inap lebih lama, dan
terdapat kecenderungan mengalami komplikasi. Penjelasan mengenai perbedaan
keduanya belum dieksplorasi lebih lanjut secara empiris, namun beberapa penulis
dan hipotesis lainnya menyatakan bahwa restorasi lebih dari tekanan darah
normal merusak bekuan yang telah terbentuk dan meningkatkan faktor dilusi
darah, sehingga justru dapat menimbulkan perdarahan selanjutnya. Selain itu,
terdapat kecenderungan terdapat darah yang lebih banyak hilang pada
intraoperative di kelompok resusitasi langsung. Studi ini menjelaskan bahwa
resusitasi hipotensi sangat penting dalam praktik medis.
Studi oleh Bickell et al. lebih kritis. Mereka menggunakan metode pemilihan hari
lain, yang tidak ada pada uji random biasanya. Hal ini memperlihatkan risiko
variable yang tidak diduga, seperti variasi tim bedah yang melakukan tindakan.
Penulis menentang bahwa alokasi hari lain dibutuhkan untuk mencegah
terlambatnya terapi awal pada pasien. Hal ini tidak jelas apakah hasil dapat
diaplikasikan termasuk pada trauma tumpul atau trauma akibat tekanan hebat.
Trauma penetrasi dapat mengenai pembuluh darah besar, dimana tekanan yang
lebih tinggi menyebabkan perdarahan terus berlanjut, sedangkan perdarahan
kapiler pada trauma tumpul hanya sedikit pengaruhnya.
Jackson et al. mereview resusitasi hipotensi dalam 3 kelompok: trauma penetrasi,
tumpul dan trauma kepala. Review ini termasuk studi pada hewan dan manusia,
dimana penemuan studi pada manusia oleh Bickell menunjukkan hasil yang dapat
digambarkan. Bukti yang mendukung resusitasi hipotensi pada trauma tumpul dan

trauma kepala masih terbatas. Sehingga teori fisiologi (mengenai disrupsi bekuan
darah dan koagulopati delusional), bukti dari studi dengan hewan, tapi hanya
terdapat satu trial klinis yang mendukung pendekatan ini. Pada lingkungan rumah
sakit, dengan penilaian uji koagulasi, laktat dan memonitor cardiac output,
ambang resusitasi cairan yang tepat pada pasien trauma belum dipelajari secara
adekuat.
Rekomendasi: kontrol bedah untuk perdarahan tidak boleh ditunda untuk
memenuhi resusitasi cairan.

Rute pemberian cairan


Akses sirkulasi cepat pada kasus trauma dibutuhkan untuk resusitasi cairan,
analgesik, antibiotik dan induksi anestesi, meskipun terdapat argumen yang
terdaftar sebagai batasan resusitasi cairan yang tepat pada kontrol perdarahan,
Manajemen awal trauma berat (turunan dari ATLS) merekomendasikan
pemasangan jarum lebih besar pada akses parenteral untuk memenuhi pemberian
cairan dengan cepat. Pendekatan ini lebih bermanfaat setelah kontrol perdarahan
dicapai. Kanulasi perifer sulit dilakukan pada syok hipovolemik akibat penurunan
vena perifer. Luka pada ekstremitas akibat peperangan, ditambah dengan kondis
lingkungan dan taktikal, dapat membuat area insersi pada lengan bawah untuk
kanulasi sulit dilakukan. Sama halnya, kanul 14G mungkin tidak dapat
diinsersikan. TCCC merekomendasikan kanul 18G menjadi kanul yang disetujui
untuk mendapatkan kecepatan aliran maksimal dan kemudahan ketika insersi.
Di rumah sakit, pemilihan akses intravena dengan jarum lebih besar lebih banyak
tersedia. Kateter vena dengan tiga lumen biasanya memiliki ukuran 16 dan 18,
namun aliran yang dapat dicapai pada hakikatnya dibatasi dengan panjang 15-20
cm. Diameter kateter arteri pulmoner berukuran 8,5 French atau 2,8 mm, dimana
mampu mengalirkan cairan sekitar 400-800 ml/menit. Opsi yang lebih baik yaitu
dengan kateter dialysis temporer, dimana memiliki 2 lumen dengan ukuran setiap

lumen sekitar 15,5 French (4,5 mm). Kecepatan aliran cairan sekitar 1 liter/menit
dapat dicapai tanpa melakukan tekanan yang lebih besar.
Akses vena sentral, bagaimnapun, membutuhkan waktu dan keterampilan dalam
pelaksanaannya. Pendekatan yang lebih baik yaitu dengan rute intraoseus (IO).
Leidel et al membandingkan angka keberhasilan

dan lamanya prosedur

pemasangan antara rute intraoseus (IO) dan kateter vena sentral (CVC) pada
pasien dewasa yang menjalani resusitasi cairan. Angka keberhasilan pada rute
intraosesus sekitar 90%, sedangkan 60% untuk kateter vena sentral, dengan waktu
yang dibutuhkan pada rute akses IO 2,3 0,8 menit, sedangkan dengan rute akses
CVC 9,9 3,7 menit. Rute IO lebih efektif pada lingkungan militer. Cooper et al.
melaporkan kasus serial militer pada 16 orang dewasa dan 10 orang anak-anak,
dimana 97%nya menggunakan rute IO, termasuk pada saat dalam helicopter,
menunjukkan hasil yang efektif. Kecepatan aliran dengan jarum intraosseus
ditentukan pada area insersi dan apakah kantong tekan digunakan atau tidak.
Kecepatan aliran rata-rata sebesar 68-204 ml/menit pada tibial (tidak atau dengan
menggunakan kantong tekan), dan 82-148 ml/menit pada humerus, dimana
keduanya merupakan area ekstremitas inferior dengan menggunakan jarum besar
akses vena sentral. Bagaimanapun, semua obat yang diberikan secara intravena
dapat diberikan juga secara IO, dan juga dapat dilakukan crossmatch darah dan
untuk mengambil sampel darah dalam rangka pemeriksaan penunjang
laboratorium. Teknik ini aman dengan komplikasi yang sedikit jika kondisi aseptic
tetap dipertahankan dan waktu infus diperpanjang sehingga insersi multiple pada
tulang yang sama dapat dihindari. Kasus serial yang lebih banyak (4270 kasus)
melaporkan insidensi osteomyelitis sekitar 0,6%. Oleh karena itu, kebutuhan
untuk akses IO dapat dilakukan pada situasi ketika akses IV perifer tidak dapat
dilakukan, sehingga dapat memfasilitasi pemberian obat dan cairan terutama
untuk kontrol perdarahan, seperti saat pemberian infus dengan volume yang besar.
Rekomendasi: akses vascular darurat sebelum sampai di rumah sakit dapat
dilakukan dengan jarum intraoseus ketika pemasangan kanul intravena tidak dapat
dilakukan, terutama jika terapi cairan intravena diindikasikan. Di rumah sakit,

akses vena sentral dengan jarum besar harus tersedia dan dipertimbangkan dalam
penggunaannya.

Jenis cairan resusitasi


Belum ada cairan intravena untuk manajemen resusitasi pasien dengan syok
hemoragik yang mampu menghasilkan keadaan yang superior ketika berbagai
cairan dibandingkan. Setiap cairan alternative yang tersedia setidaknya memiliki
argumen teori dan laboratorium yang mendukung penggunaanya. Rekomendasi
TCCC AS yaitu dengan penggunaan Hextend, berdasarkan berat kantong cairan
(dibandingkan

kristaloid)

yang

dibutuhkan

untuk

menghasilkan

efek

hemodinamik. Bagaimanapun, Hextend tidak secara resmi diakui oleh dokter


militer Australia mengenai penilaian bukti klinis dari penggunaanya. Larutan
kristaloid secara historis menjadi pilihan pada AS, berbeda dengan penggunaan di
Eropa yaitu banyak menggunakan koloid. Meskipun direkomendasikan oleh
TCCC, sebagian paramedic militer AS prehospital lebih banyak menggunakan
kristaloid dibandingkan dengan penggunaan Hextend.
Kristaloid
Volume cairan normal saline NaCl 0,9% yang besar dapat menghasilka keadaan
asidosis metabolic hiperkloraemik, asidosis metabolic, yang dinyatakan oleh
Schreiber pada review terakhir yang ia lakukan. Hal ini mungkin berhubungan
dengan vasodilatasi sistemik, peningkatan cairan paru ekstravaskular dan
koagulopati. Alternative paling sering digunakan yaitu larutan Hartmann atau
Ringer laktat, dimana mampu mengurangi laktat dari cairan NaCl 0,9%. Pada
resusitasi cairan dengan keadaan syok hemoragik, hal ini dapat menyebabkan
peningkatan level laktal sementara dan tidak berhubungan dengan asidosis. Jika
fungsi hepar terganggu, Plasma-lyte 148 (baxter, NSW, Australia) yang
mengandung glukonate dan asetat dibandingkan laktat, mungkin dapat mencegah
terjadinya masalah ini.

Mahler et al. melakukan uji trial dengan metode double blinded randomized
kontrol, membandingkan asidosis metabolic pada resusitasi 52 pasien dengan
ketoasidosis diabetic dengan NaCl atau Plasma-lyte. Resusitasi dengan plasmalyte menghasilkan kadar serum klorida yang lebih rendah, dan kadar bikarbonat
yang tinggi. McFarlane et al. menemukan hasil yang sama pada pasien yang
menjalani operasi hepatobilier dan pancreas. Rizoli menyimpukan bahwa tidak
ada bukti yang mendunkung Plasma-lyte lebih baik dibandingkan cairan kristaloid
laiinya pada manajemen prehospital pada pasien dengan hipovolemia traumatic.
Untuk mendapatkan keadaan seimbang, resusitasi dengan kristaloid harus
dilakukan, misalnya Hartmaan atau plasma-lyte lebih baik sebagai pilihan
daripada NaCl 0,9%. Bagaimanapun, rumah sakit militer dengan akses

uji

biokimia harus mampu menyesuaikan komposisi elektrolit dari cairan resusitasi


pasien.
Rekomendasi: plasma-lyte (biaya lebih mahal) atau larutan Hartmann (biaya lebih
murah), harus digunakan sebagai cairan awal resusitasi jika kristaloid dipilih.
Cairan lain yang tersedia pada rumah sakit, harus dipilih berdasarkan analisis
biokimia.

Koloid
Pada praktik di Australia, sediaan koloid yang dipilih antara lain Haemaccel
(poligeline) (AFT Pharmaceuticals, NSW), dan Gelofusine (B.Braun, NSW),
albumin (CSL Bioplasma,VIC), dan Voluven (hidroxyetil starch) (Fresenius Kabi,
NSW). Hextend dan Voluven merupakan jenis starch (zat tepung) hidroxyetil,
dimana struktur molekulnya berbeda, sehingga memiliki efek samping yang
berbeda pula.
Ogilvie et al. memeriksa keamanan dan efikasi dari penggunaan Hextend pada
pusat trauma tingkat I, dengan focus pada risiko koagulopati. Lebih dari 6 bulan
penggunaan Hextend tersedia untuk seluruh pasien non-luka bakar. Ahli Bedah
memberikan 500-1000 mL Hextend pada awal resusitasi cairan. Resusitasi awal

dengan Hextend berhubungan dengan penurunan mortalitas dan tanpa koagulopati


yang nyata. Uji ini merupakan yang pertama pada Hextend untuk hemodinamik
pasien dengan trauma dan merupakan uji terbesar pada populasi pasien bedah,
namun hasil penemuan ini tidak berdampak, karena terapinya dilakukan tidak
menggunakan metode randomized atau blinded. Allison et al. melakukan uji
randomized pada 45 pasien dengan trauma tumpul abdomen, yang diberikan
hidroxietil starch (Pentaspan, tidak tersedia di Australia), atau Gelofusine pada 24
jam pertama pemberian). Pasien pada kelompok yang diberikan hidroxyetil starch
memperlihatkan hasil dengan kebocoran kapiler posttraumatic lebih sedikit.
Belum terdapat bukti yang cukup mengenai keamanan penggunaan hidroxyetil
starch dan menyebabkan edema perifer lebih sedikit, jika dibandingkan dengan
penggunaan Gelofusine (misalnya Haemaccel). Review terkini oleh Ogiviel et al.
merekomendasikan bahwa dengan uji randomized, blinded yang adekuat
dibutuhkan, terutama pada pasien dengan trauma penetrasi, agar data dapat
diterima.
Risiko utama dari penggunaan gelatin adalah anafilaksis dan starch yaitu dapat
menyebabkan gangguan ginjal. Studi yang dilakukan pada 20.000 pasien
menemukan bahwa risiko anafilaksis dapat terjadi 6 kali lebi besar pada
pemberian gelatin dibandingkan dengan starch. Bagaimanapun, review sistematik
pada 34 studi yang dilakukan dengan 2607 pasien oleh Dart et a, menemukan
resiko relative 1,5 untuk terjadinya gagal ginjal akut pada pasien yang menerima
starch hidroxietil, dibandingkan dengan terapi cairan lainnya. Terdapat resiko
realtif sebesar 1,38 untuk membutuhkan terapi pengantian ginjal. Studi terbaru
melaporkan bahwa generasi ketiga dari hidroxietil lebih aman, namun pertanyaan
in dilakukan pada 8.000 pasien dengan uji random kontrol antara Voluven dan
saline 0,9% di Australia dan di New Zealand. Rekomendasi lebih banyak untuk
penggunaan voluve dan starch secara umum, namun kesimpulan ini masih
tergolong sangat cepat.
Rekomendasi: Belum terdapat bukti yang cukup mengenai rekomendasi
penggunaan satu koloid atau lebih.

Kristaloid vs Koloid
Studi yang dilakukan pada 6997 pasien dengan membandingkan Saline dan
larutan albumin (SAFE), menemukan tidak ada perbedaan mortalitas dalam 28
hari pasien yang dirawat di ICU yang membutuhkan resusitasi cairan dengan
albumin 4% atau normal saline. Pada analisis selanjutnya, terdapat kecenderungan
peningkatan mortalitas pada pasien trauma kepala yang menerima albumin,
dimana penulis memiliki hipotesis bahwa dapat terjadi eksaserbasi vasogenik atau
edema serebral sitotoksik. Studi SAFE merupakan studi terbesar dalam
membandingkan antara penggunaan kristaloid dan koloid sebagai cairan
resusitasi.

Bagaimanapun, hanya sedikit pasien dengan syok hemoragik

mendapatkan infus jenis cairan ini. Oleh karenanya, penemuan mungkin lebih
spesifik pada albumin dan dan tidak memperhitungkan gelatin atau starches.
Review Cochrane dengan 63 uji menyimpulkan tidak ada bukti bahwa resusitasi
dengan koloid menurunkan risiko kematian, dibandingkan dengan resusitasi
dengan kristaloid. Sama halnya, review oleh Grocott et al. dengan data klinis yang
tersedia menemukan tidak ada bukti untuk keuntungan relative terapi kristaloid
dan koloid, atau perbedaan dari jenis koloid.
Kurangnya bukti yang jelas mengenai keunggulan kristaloid atau koloid
menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, bahwa tidak ada perbedaan hasil
klinis dari kedua pemberian cairan ini yang dilakukan pada populasi heterogen.
Kedua, jika pertimbangan logis dijadikan hal yang tertinggi, kebutuhan cairan
yang mungkin pada kasus defisiensi cairan untuk mendapatkan efek hemodinamik
(berdasarkan pemahaman fisiologi dan juga dari hasil studi SAFE), menyarankan
koloid mungkin menjadi pilihan yang lebih baik. Bagaimanapun, perhatian logis
mengenai penggunaan kristaloid terlalu dalam, sehingga penggunaannya tetap
dilanjutkan berdasarkan rekomendasi TCCC.

Rekomendasi: Koloid tidak boleh digunakan untuk resusitasi cairan kecuali


pertimbangan yang tidak bisa ditolak seperti meminimalkan berat bawaan.
Keuntungan berat koloid mungkin harus lebih ditekankan.

Cairan hipertonik
Cairan hipertonik secara teori memiliki kemampuan lebih besar (pada volume
infus) untuk meningkatkan volume darah yaitu dengan menarik cairan
ekstraseluler ke dalam sirkulasi. Volume yang lebih kecil dibutuhkan pada
beberapa periode waktu. Efek yang sama dapat dicapat pada defisiensi cairan oleh
komite TCCC dengan merokomendasikan bolus 250 ml saline hipertonik 7,5%
(ditambah dengan 500ml Hextend). Bagaimanapun, rekomendasi ini tidak
disetujui, karena cairan tidak secara komersil tersedia di AS. Efektivitas cairan
hipertonik diungkap oleh Bunn et al. pada reviewnya di 14 uji dengan 956 pasien.
Adanya keseragaman kelompok pada studi metaanalisis ini menyebabkan
ketidaksesuaian. Bagaimanapun, studi ini belum secara jelas mendemonstrasikan
keuntungan dengan penggunaan cairan hipertonis. Hipertonik saline dianggap
memiliki keuntungan pada pasien dengan trauma kepala, dengan hipotesis edema
otak dapat dikurangi. Studi definitive pada konsep ini dilakukan pada 229 pasien
di Melbourne, dimana ditemukan bahwa tidak ada peningkatan pada fungsi
neurologis setelah 6 bulan terapi, jika dibandingkan dengan resusitasi cairan
konvensional.
Rekomendasi: cairan hipertonik tidak boleh digunakan untuk resusitasi cairan.

Cairan pengganti darah penyangkut oksigen dan cairan eksperimental lainnya.


Cairan pengganti darah merupakan cairan sintetik yang dapat membawa oksigen
dan termasuk substansi berdasarkan hemoglobin (permukaan yang dimodifikasi

seperti hemoglobin, hemoglobin intramolekular cross-linked dan hemoglobin


polimerasi) atau perfluorocarbon. Terdapat data campuran mengenai efikasi dan
keamanan mengenai cairan pengganti ini. Australia masih memiliki bukti klinis
yang terbatas, misalnya pada Jehovah Witness membutuhkan transfuse namun
menolak produk darah. Farmakologi resusitasi cairan didesain untuk melindungi
dan mengurangi reperfusi iskemik yang baru-baru ini sedang dikembangkan.
Piruvat, pertukaran Na+/H+ (NHE) inhibitor, asam valproate, DHE dan
adenosine/lignokain/ saline hipertonikm merupakan agen yang paling sering
diamati. Walaupun demikian, semua pendekatan penelitian ini tidak diakui
penggunaannya di Australia.
Rekomendasi: cairan-cairan pengganti darah seharusnya tidak dilakukan diluar
protocol penelitian.

Produk darah
Cairan resusitasi yang paling sesuai pada kehilangan darah yang masif adalah
whole blood (darah lengkap). Pernyataan ini didukung sejak tahun 1960, ketika
terdapat beebrapa alternative, tetapi sudah ditinggalkan karena pemasok darah
mulai

memisahkan

darah

menjadi

komponen,

sebagai

usaha

untuk

memaksimalkan penggunaan pasokan darah. Sampai baru-baru ini, pendidikan


konvensional memberikan 4 liter cairan resusitasi yang tidak mengandung darah,
sebelum dilakukan tranfusi sel darah, dan hanya setelah koagulopati secara
objektif diketahui untuk mempertimbangkan pemberian penggantian faktor
koagulasi dan platelet.
Resusitasi cairan pada perdarahan masif telah mengalami perubahan setelah
publikasi pada penelitian rumah sakit Combat US di Irak. Penelitian kohor
retrospektif mengidentifikasi 246 pasien yang telah menerima tranfusi masif ( 10
unit sel darah merah/ 24 jam). Responden penelitian dibagi dalam 3 kelompok
berdasarkan rasio plasma dengan sel darah merah. Rasio rendah (1:8 rasio plasma
dan sel darah merah), rasio medium (1:2,5); dan rasio tinggi (1:1,4). Pasien

dengan rasio tinggi, secara signifikan memiliki mortalitas yang rendah (65%
untuk rasio rendah, 34% untuk rasio medium, 19% untuk rasio tinggi, dengan
nilai P < 0,001). Kematian terjadi lebih dini pada kelompok dengan rasio rendah
dan medium, daripada kelompok rasio tinggi (masing-masing 2,4 jam dan 38
jam). Walau demikian, semua penelitian observasional, tidak membuktikan
penyebabnya. Jumlah kematian yang lebih besar pada kelompok rasio rendah
mungkin dikarenakan mereka menerima plasma dalam jumlah yang rendah, walau
demikian, penjelasan mungkin yang lain yaitu bahwa kematian lebih awal dapat
terjadi pada pasien dengan kelompok rasio rendah, karena mereka memiliki waktu
yang sedikit waktu untuk menerima plasma. Meskipun demikian, hasil ini juga
ditemukan pada 467 pasien pada 16 pusat trauma di AS dan 2746 pasien pada
pusat trauma di AS. Untuk mendukung penelitian ini, dengan metode yang
berbeda, terutama dengan metode randomized kontrol tidak dapat lakukan.
Tantangannya adalah mengidentifikasi pasien yang akan membutuhkan transfuse
masif dan memulai pemberian resusitasi rasio tinggi antara plasma dan sel darah
merah sesegera mungkin. Pemberian sebelum cairan sebelum masuk rumah sakit,
diberikan cairan non-darah dalam volume yang minimal, yang direkomendasikan
oleh TCCC.
Berdasarkan penelitian kohort observasional, umur sel darah merah telah diakui
dapat mempengaruhi outcome pasien. Sebagai contoh pada penelitian kohort,
pasien yang mengalami trauma sekitar 1813 orang, yang menerima minimal 6 unit
PRC, dengan durasi penyimpanan yang lebih lama merupakan prediktor yang
tidak bergantung terhadap mortalitas yang lebih tinggi. Mekanisme dapat
menurunkan kadar 2,3 DPG, menurunkan produksi NO, meningkatkan rigirditas
sel, transfer oksigen dari resipien ke donor dan faktor pendukung lainnya. Walau
demikian, tidak adanya bukti uji randomized kontrol, ini tidak mungkin diambil
sebagai hipotesis yang pasti.
Rekomendasi: pasien-pasien dengan perdarahan masif (yang diharapkan
membutuhkan >10 unit PRC) seharusnya menerima resusitasi minimal cairan non
blood dan sel darah awal, plasma dan platelet (whole blood) sebagai bagian dari

strategi resusitasi kontrol kerusakan akibat perdarahan masif. Cairan non-darah


seharusnya hanya diberikan untuk mempertahankan kesadaran atau pulsasi arteri
radialis, yang direkomendasikan oleh TCCC, dimana derajat perdarahannya
belum jelas. Strategi yang terbaik adalah kombinasi titrasi terhadap nilai
laboratorium dengan penggunaan awal komponen darah sebagai respon terhadap
perdarahan yang sedang berlangsung.

Hasil Resusitasi
Dengan seluruh intervensi farmakologi, mendapatkan dosis yang benar mengenai
resusitasi cairan merupakan hal yang pentng dilakukan dalam resusitasi cairan.
Konsep ini diterima pada operasi elektif. Misalnya, Nisanevich et al.
membandingkan pasien-pasien yang menjalani operasi abdomen secara elektif
secara acak yang menerima cairan lebih banyak (bolus 10 ml/kg cairan diikuti
dengan 12 ml/kg/jam) maupun yang menerima cairan yang dibatasi (4
ml/kg/hari). Komplikasi yang timbul lebih sedikit pada kelompok yang menerima
cairan yang dibatasi dengan nilai P = 0,046. Pasien yang menerima cairan lebih
banyak, mengalami perubahan pola defekasi dan waktu rawat inap di rumah sakit
lebih lama. Review sistematik pada studi yang sama telah dibatasi dengan definisi
variable yang lebih luas mengenai strategi restriktif dan liberal mengenai
resusitasi cairan dan pertanyaan ini belum dipelajari melalui analisis meta-regresi.
Tidak terdapat penelitian yang sama pada pasien trauma, yang umumnya memiliki
riwayat hipoperfusi sebelum resusitasi.
Resusitasi yang dilakukan di rumah sakit tidak hanya memperhatikan tekanan
darah sebagai tolak ukur adekuatnya sirkulasi. Delapan puluh lima persen pasien
yang mengalami trauma berat masih memiliki asidosis setelah tekanan darah
dinormalkan. Laktat arteri dan output urine lebih baik mengindikasikan perfusi
organ. Studi manajemen resusitasi cairan oleh Gan et al. pada 100 pasien yang
menjalani operasi major elektif. Pasien secara acak diukur dengan menggunakan
dopler esophageal, yang mengukur ekspansi volume plasma intraoperative yang

dipandu dengan cardiac output, dengan tujuan mempertahankan nilai stroke


volume maksimal. Tujuan langsung pemberian cairan intraoperative menimbulkan
pengaruh terhadap pola defekasi, rendahnya insidensia nausea dan vomit post
operatif, serta penurunan waktu lama rawat inap post operatif. Hal yang sama,
tromboelastografi (TEG) telah dianjurkan untuk tujuan manajemen langsung
koagulopati pada pasien trauma. Pengukuran spektroskopi infra-red dekat dari
saturasi jaringan oksigen dapat dilihat dan secara teori dapat mengukur perfusi
jaringan, yang secara jelas dapat mengidentifikasi pada syok traumatic yang berat,
tapi belum dipelajari pada penelitian uji randomized kontrol.
Secara teori, pendekatan yang paling menarik adalah pencitraan langsung pada
diameter vena cava inferior, pengisian miokardial, dan kontraktilitas penggunaan
transtoraks atau trans-esofageal ekokardiografi. perlu banyak monitor untuk
mengevaluasi hasil resusitasi yang jelas dan sederhana sehingga dapat diterima
penggunaanya pada rumah sakit militer.
Kontrol bedah untuk kerusakan dan resusitasi
Pembahasan resusitasi cairan modern akan tidak lengkap tanpa diketahui
resusitasi kontrol kerusakan dan pembedahan. Kontrol kerusakan resusitasi
menekankan bahwa pembedahan merupakan salah satu bagian dari resusitasi.
Pada pasien yang menjalani operasi, monitor dipasang dan resusitasi dimulai pada
saat yang sama ketika tim bedah menghentikan perdarahan. Pendekatan ini
memberikan tantangan mengenai pemikiran tradisional dan organisasi klinis.
Dokter secara tradisional mengajarkan bahwa pasien harus teresusitasi sebelum
menjalani pembedahan. Perencana kesehatan, terutama dalam bidang militer,
membuat sistem dengan fasilitas resusitasi non bedah untuk stabilisasi sebelum
pasien dibawah ke rumah sakit.
Rekomendasi:
Konsep resusitasi non-bedah pada trauma major sudah tidak dilakukan dan harus
ditinggalkan oleh klinisi dan perencana kesehatan lainnya.

You might also like