Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Pendekatan resusitasi pada pasien dengan perdarahan masif mengalami
perubahan secara dramatis sejak 10 tahun terakhir, termasuk dari pengalaman
militer terkini. Militer Amerika Serikat telah membuat suatu pedoman Tactical
Combat Casualty Care (pelayanan taktis pada korban peperangan), untuk
manajemen sebelum sampai dan awal pada saat dirumah sakit, yang diadaptasi
dari bukti klinis di lingkungan militer. Sebagai pengecualian yaitu manajemen
cairan, pedoman ini telah digunakan oleh Australian Defence Force (angkatan
pertahanan). Menekankan pada kontrol perdarahan dengan cepat, pembedahan
dan usaha stabilisasi, while sound, menantang kedoktran tradisional dan
pengajaran. Bagaimanapun, indikasi, jenis dan cara pemberian dan hasil akhir dari
resusitasi cairan, terutama harus dilakukan pada periode awal saat di rumah sakit,
kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan. Review ini memiliki bukti yang
tersedia sehingga dapat direkomendasikan, dan masih perlu untuk didiskusikan,
dan pada akhirnya perkembangan keputusan ini dilakukan terutama oleh
Australian Defence Force.
Pengenalan
Penanganan utama dari terjadinya suatu perdarahan masif adalah menghentikan
perdarahan. Tindakan yang berguna terutama memasang turniket arterial, dengan
melakukan dressing (bebat tekan) dengan atau tanpa pemberian agen hemostatic
dan melakukan tindakan bedah untuk kontrol kerusakan awal. Tidak ada studi
yang menemukan manfaat dilakukannya pemberian cairan sebelum sampai rumah
sakit (pre-hospital) pada perdarahan masif. Sebaliknya, terdapat studi yang
menyatakan bahwa tidak ada manfaat dan mungkin justru merugikan pasien
ketika dilakukan pemberian cairan prehospital. Selain itu, analisis waktu kematian
dan tanda vital saat pasien masuk rumah sakit, menyatakan bahwa resusitasi
cairan mungkin memiliki manfaat kurang dari 2% pada pasien dengan perdarahan.
Oleh karena itu, masih banyak terdapat perdebatan panjang mengenai pemberian
resusitasi cairan pada trauma militer, dan secara minim, cocok untuk sebagian
besar dengan pasien ini. Meskipun demikian, rekomendasi resusitasi cairan sering
dicari sampai saat ini dan merupakan hal wajib untuk dokter militer dalam
mempersiapkan saran terbaik yang mungkin.
Pada review ini, kami menilai bukti terbaru dengan menggunakan 4 jenis
pertanyaan pokok (indikasi optimal, cara pemberian, jenis cairan dan hasil akhir)
yang berhubungan dengan resusitasi cairan pada lingkungan trauma militer,
melalui penggabungan konsep resusitasi cairan dan kontrol kerusakan akibat
resusitasi. Kami juga menganalisis rekomendasi program dari Amerika Serikat
yaitu Tactical Combat Casualty Care (TCCC), yang menyediakan pedoman untuk
menghadapi masalah ini. Analisis kami ditetapkan oleh Australian Defence Force
(ADF) dan konsensus dokter pertahanan, namun masih terjadi perdebatan dalam
hal informasi mengenani penanganan luka pada anggota ADF.
memperhatikan
perdarahan,
tujuan
awal
dari
TCCC
adalah
trauma kepala masih terbatas. Sehingga teori fisiologi (mengenai disrupsi bekuan
darah dan koagulopati delusional), bukti dari studi dengan hewan, tapi hanya
terdapat satu trial klinis yang mendukung pendekatan ini. Pada lingkungan rumah
sakit, dengan penilaian uji koagulasi, laktat dan memonitor cardiac output,
ambang resusitasi cairan yang tepat pada pasien trauma belum dipelajari secara
adekuat.
Rekomendasi: kontrol bedah untuk perdarahan tidak boleh ditunda untuk
memenuhi resusitasi cairan.
lumen sekitar 15,5 French (4,5 mm). Kecepatan aliran cairan sekitar 1 liter/menit
dapat dicapai tanpa melakukan tekanan yang lebih besar.
Akses vena sentral, bagaimnapun, membutuhkan waktu dan keterampilan dalam
pelaksanaannya. Pendekatan yang lebih baik yaitu dengan rute intraoseus (IO).
Leidel et al membandingkan angka keberhasilan
pemasangan antara rute intraoseus (IO) dan kateter vena sentral (CVC) pada
pasien dewasa yang menjalani resusitasi cairan. Angka keberhasilan pada rute
intraosesus sekitar 90%, sedangkan 60% untuk kateter vena sentral, dengan waktu
yang dibutuhkan pada rute akses IO 2,3 0,8 menit, sedangkan dengan rute akses
CVC 9,9 3,7 menit. Rute IO lebih efektif pada lingkungan militer. Cooper et al.
melaporkan kasus serial militer pada 16 orang dewasa dan 10 orang anak-anak,
dimana 97%nya menggunakan rute IO, termasuk pada saat dalam helicopter,
menunjukkan hasil yang efektif. Kecepatan aliran dengan jarum intraosseus
ditentukan pada area insersi dan apakah kantong tekan digunakan atau tidak.
Kecepatan aliran rata-rata sebesar 68-204 ml/menit pada tibial (tidak atau dengan
menggunakan kantong tekan), dan 82-148 ml/menit pada humerus, dimana
keduanya merupakan area ekstremitas inferior dengan menggunakan jarum besar
akses vena sentral. Bagaimanapun, semua obat yang diberikan secara intravena
dapat diberikan juga secara IO, dan juga dapat dilakukan crossmatch darah dan
untuk mengambil sampel darah dalam rangka pemeriksaan penunjang
laboratorium. Teknik ini aman dengan komplikasi yang sedikit jika kondisi aseptic
tetap dipertahankan dan waktu infus diperpanjang sehingga insersi multiple pada
tulang yang sama dapat dihindari. Kasus serial yang lebih banyak (4270 kasus)
melaporkan insidensi osteomyelitis sekitar 0,6%. Oleh karena itu, kebutuhan
untuk akses IO dapat dilakukan pada situasi ketika akses IV perifer tidak dapat
dilakukan, sehingga dapat memfasilitasi pemberian obat dan cairan terutama
untuk kontrol perdarahan, seperti saat pemberian infus dengan volume yang besar.
Rekomendasi: akses vascular darurat sebelum sampai di rumah sakit dapat
dilakukan dengan jarum intraoseus ketika pemasangan kanul intravena tidak dapat
dilakukan, terutama jika terapi cairan intravena diindikasikan. Di rumah sakit,
akses vena sentral dengan jarum besar harus tersedia dan dipertimbangkan dalam
penggunaannya.
kristaloid)
yang
dibutuhkan
untuk
menghasilkan
efek
Mahler et al. melakukan uji trial dengan metode double blinded randomized
kontrol, membandingkan asidosis metabolic pada resusitasi 52 pasien dengan
ketoasidosis diabetic dengan NaCl atau Plasma-lyte. Resusitasi dengan plasmalyte menghasilkan kadar serum klorida yang lebih rendah, dan kadar bikarbonat
yang tinggi. McFarlane et al. menemukan hasil yang sama pada pasien yang
menjalani operasi hepatobilier dan pancreas. Rizoli menyimpukan bahwa tidak
ada bukti yang mendunkung Plasma-lyte lebih baik dibandingkan cairan kristaloid
laiinya pada manajemen prehospital pada pasien dengan hipovolemia traumatic.
Untuk mendapatkan keadaan seimbang, resusitasi dengan kristaloid harus
dilakukan, misalnya Hartmaan atau plasma-lyte lebih baik sebagai pilihan
daripada NaCl 0,9%. Bagaimanapun, rumah sakit militer dengan akses
uji
Koloid
Pada praktik di Australia, sediaan koloid yang dipilih antara lain Haemaccel
(poligeline) (AFT Pharmaceuticals, NSW), dan Gelofusine (B.Braun, NSW),
albumin (CSL Bioplasma,VIC), dan Voluven (hidroxyetil starch) (Fresenius Kabi,
NSW). Hextend dan Voluven merupakan jenis starch (zat tepung) hidroxyetil,
dimana struktur molekulnya berbeda, sehingga memiliki efek samping yang
berbeda pula.
Ogilvie et al. memeriksa keamanan dan efikasi dari penggunaan Hextend pada
pusat trauma tingkat I, dengan focus pada risiko koagulopati. Lebih dari 6 bulan
penggunaan Hextend tersedia untuk seluruh pasien non-luka bakar. Ahli Bedah
memberikan 500-1000 mL Hextend pada awal resusitasi cairan. Resusitasi awal
Kristaloid vs Koloid
Studi yang dilakukan pada 6997 pasien dengan membandingkan Saline dan
larutan albumin (SAFE), menemukan tidak ada perbedaan mortalitas dalam 28
hari pasien yang dirawat di ICU yang membutuhkan resusitasi cairan dengan
albumin 4% atau normal saline. Pada analisis selanjutnya, terdapat kecenderungan
peningkatan mortalitas pada pasien trauma kepala yang menerima albumin,
dimana penulis memiliki hipotesis bahwa dapat terjadi eksaserbasi vasogenik atau
edema serebral sitotoksik. Studi SAFE merupakan studi terbesar dalam
membandingkan antara penggunaan kristaloid dan koloid sebagai cairan
resusitasi.
mendapatkan infus jenis cairan ini. Oleh karenanya, penemuan mungkin lebih
spesifik pada albumin dan dan tidak memperhitungkan gelatin atau starches.
Review Cochrane dengan 63 uji menyimpulkan tidak ada bukti bahwa resusitasi
dengan koloid menurunkan risiko kematian, dibandingkan dengan resusitasi
dengan kristaloid. Sama halnya, review oleh Grocott et al. dengan data klinis yang
tersedia menemukan tidak ada bukti untuk keuntungan relative terapi kristaloid
dan koloid, atau perbedaan dari jenis koloid.
Kurangnya bukti yang jelas mengenai keunggulan kristaloid atau koloid
menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, bahwa tidak ada perbedaan hasil
klinis dari kedua pemberian cairan ini yang dilakukan pada populasi heterogen.
Kedua, jika pertimbangan logis dijadikan hal yang tertinggi, kebutuhan cairan
yang mungkin pada kasus defisiensi cairan untuk mendapatkan efek hemodinamik
(berdasarkan pemahaman fisiologi dan juga dari hasil studi SAFE), menyarankan
koloid mungkin menjadi pilihan yang lebih baik. Bagaimanapun, perhatian logis
mengenai penggunaan kristaloid terlalu dalam, sehingga penggunaannya tetap
dilanjutkan berdasarkan rekomendasi TCCC.
Cairan hipertonik
Cairan hipertonik secara teori memiliki kemampuan lebih besar (pada volume
infus) untuk meningkatkan volume darah yaitu dengan menarik cairan
ekstraseluler ke dalam sirkulasi. Volume yang lebih kecil dibutuhkan pada
beberapa periode waktu. Efek yang sama dapat dicapat pada defisiensi cairan oleh
komite TCCC dengan merokomendasikan bolus 250 ml saline hipertonik 7,5%
(ditambah dengan 500ml Hextend). Bagaimanapun, rekomendasi ini tidak
disetujui, karena cairan tidak secara komersil tersedia di AS. Efektivitas cairan
hipertonik diungkap oleh Bunn et al. pada reviewnya di 14 uji dengan 956 pasien.
Adanya keseragaman kelompok pada studi metaanalisis ini menyebabkan
ketidaksesuaian. Bagaimanapun, studi ini belum secara jelas mendemonstrasikan
keuntungan dengan penggunaan cairan hipertonis. Hipertonik saline dianggap
memiliki keuntungan pada pasien dengan trauma kepala, dengan hipotesis edema
otak dapat dikurangi. Studi definitive pada konsep ini dilakukan pada 229 pasien
di Melbourne, dimana ditemukan bahwa tidak ada peningkatan pada fungsi
neurologis setelah 6 bulan terapi, jika dibandingkan dengan resusitasi cairan
konvensional.
Rekomendasi: cairan hipertonik tidak boleh digunakan untuk resusitasi cairan.
Produk darah
Cairan resusitasi yang paling sesuai pada kehilangan darah yang masif adalah
whole blood (darah lengkap). Pernyataan ini didukung sejak tahun 1960, ketika
terdapat beebrapa alternative, tetapi sudah ditinggalkan karena pemasok darah
mulai
memisahkan
darah
menjadi
komponen,
sebagai
usaha
untuk
dengan rasio tinggi, secara signifikan memiliki mortalitas yang rendah (65%
untuk rasio rendah, 34% untuk rasio medium, 19% untuk rasio tinggi, dengan
nilai P < 0,001). Kematian terjadi lebih dini pada kelompok dengan rasio rendah
dan medium, daripada kelompok rasio tinggi (masing-masing 2,4 jam dan 38
jam). Walau demikian, semua penelitian observasional, tidak membuktikan
penyebabnya. Jumlah kematian yang lebih besar pada kelompok rasio rendah
mungkin dikarenakan mereka menerima plasma dalam jumlah yang rendah, walau
demikian, penjelasan mungkin yang lain yaitu bahwa kematian lebih awal dapat
terjadi pada pasien dengan kelompok rasio rendah, karena mereka memiliki waktu
yang sedikit waktu untuk menerima plasma. Meskipun demikian, hasil ini juga
ditemukan pada 467 pasien pada 16 pusat trauma di AS dan 2746 pasien pada
pusat trauma di AS. Untuk mendukung penelitian ini, dengan metode yang
berbeda, terutama dengan metode randomized kontrol tidak dapat lakukan.
Tantangannya adalah mengidentifikasi pasien yang akan membutuhkan transfuse
masif dan memulai pemberian resusitasi rasio tinggi antara plasma dan sel darah
merah sesegera mungkin. Pemberian sebelum cairan sebelum masuk rumah sakit,
diberikan cairan non-darah dalam volume yang minimal, yang direkomendasikan
oleh TCCC.
Berdasarkan penelitian kohort observasional, umur sel darah merah telah diakui
dapat mempengaruhi outcome pasien. Sebagai contoh pada penelitian kohort,
pasien yang mengalami trauma sekitar 1813 orang, yang menerima minimal 6 unit
PRC, dengan durasi penyimpanan yang lebih lama merupakan prediktor yang
tidak bergantung terhadap mortalitas yang lebih tinggi. Mekanisme dapat
menurunkan kadar 2,3 DPG, menurunkan produksi NO, meningkatkan rigirditas
sel, transfer oksigen dari resipien ke donor dan faktor pendukung lainnya. Walau
demikian, tidak adanya bukti uji randomized kontrol, ini tidak mungkin diambil
sebagai hipotesis yang pasti.
Rekomendasi: pasien-pasien dengan perdarahan masif (yang diharapkan
membutuhkan >10 unit PRC) seharusnya menerima resusitasi minimal cairan non
blood dan sel darah awal, plasma dan platelet (whole blood) sebagai bagian dari
Hasil Resusitasi
Dengan seluruh intervensi farmakologi, mendapatkan dosis yang benar mengenai
resusitasi cairan merupakan hal yang pentng dilakukan dalam resusitasi cairan.
Konsep ini diterima pada operasi elektif. Misalnya, Nisanevich et al.
membandingkan pasien-pasien yang menjalani operasi abdomen secara elektif
secara acak yang menerima cairan lebih banyak (bolus 10 ml/kg cairan diikuti
dengan 12 ml/kg/jam) maupun yang menerima cairan yang dibatasi (4
ml/kg/hari). Komplikasi yang timbul lebih sedikit pada kelompok yang menerima
cairan yang dibatasi dengan nilai P = 0,046. Pasien yang menerima cairan lebih
banyak, mengalami perubahan pola defekasi dan waktu rawat inap di rumah sakit
lebih lama. Review sistematik pada studi yang sama telah dibatasi dengan definisi
variable yang lebih luas mengenai strategi restriktif dan liberal mengenai
resusitasi cairan dan pertanyaan ini belum dipelajari melalui analisis meta-regresi.
Tidak terdapat penelitian yang sama pada pasien trauma, yang umumnya memiliki
riwayat hipoperfusi sebelum resusitasi.
Resusitasi yang dilakukan di rumah sakit tidak hanya memperhatikan tekanan
darah sebagai tolak ukur adekuatnya sirkulasi. Delapan puluh lima persen pasien
yang mengalami trauma berat masih memiliki asidosis setelah tekanan darah
dinormalkan. Laktat arteri dan output urine lebih baik mengindikasikan perfusi
organ. Studi manajemen resusitasi cairan oleh Gan et al. pada 100 pasien yang
menjalani operasi major elektif. Pasien secara acak diukur dengan menggunakan
dopler esophageal, yang mengukur ekspansi volume plasma intraoperative yang