You are on page 1of 38

1

BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

Tn. SR

Usia

63 tahun 1 bulan

Jenis Kelamin

Laki-laki

Alamat

Kp. Gaga No. 34 RT 02/RW 10 Ciledug

Status Pernikahan

Sudah menikah

Pekerjaan

Tidak bekerja

Pendidikan

Tamat SLTP

Agama

Islam

II. ANAMNESIS
Dilakukan auto dan alloanamnesis dengan pasien dan anak pasien
pada tanggal 3 Mei 2010 pukul 06.30 WIB.
Keluhan Utama

sulit BAK sejak 4 bulan smrs

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien laki-laki usia 63 tahun datang dengan keluhan sulit BAK sejak
4 bulan smrs. Pasien sulit untuk memulai BAK dan harus mengedan bila
BAK. Pasien mengeluh kencing menetes pada akhir BAK dan sering merasa
tidak tuntas setelah BAK. Pasien mengaku sering anyang-anyangan, setiap
1-2 jam harus ke kamar mandi untuk BAK dan bila BAK pancarannya kurang
kuat. Pasien juga mengeluh sering tidak bisa menahan BAK. Pasien saat

BAK sering terputus-putus aliran kencingnya. Pasien menyangkal BAK-nya


bercabang. Pasien mengaku sering terbangun pada malam hari untuk BAK
sekitar 2-3 kali dalam semalam. Pasien bisa BAK 6-7 kali sehari. Pasien
mengaku keluhan BAK tidak lancar sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu
yang dirasakan semakin berat. Pasien berobat ke dokter dengan keluhan
sama sekali tidak bisa BAK walau dengan berubah posisi BAK dan harus
dipasang selang kencing sebanyak 4 kali. Pasien mengaku nyeri pada perut
bagian bawah saat sama sekali tidak bisa BAK. Menurut pasien bila BAK
tampak berwarna keruh seperti teh. Pasien menyangkal nyeri saat BAK.
Demam (-) nyeri pinggang (-), BAB tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi (-)
DM (-)
Alergi (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat batu ginjal (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
:
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan seperti pasien
Hipertensi (-)
DM (-)
Riwayat kencing batu (-)
Riwayat kebiasaan
:
Merokok (+)
Alkohol (-)
Konsumsi obat (-)
Kuesioner I-PSS

Jumlah skor : 28 bergejala berat


III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran
Gizi
Sikap

: Tampak sakit sedang


: Compos mentis
: Gizi cukup
: Kooperatif

Tanda vital
Tekanan darah

: 140 / 90 mmHg

Nadi

: 72 kali / menit, reguler, isi cukup

Pernapasan

: 18 kali / menit

Suhu tubuh

: 37 oC

Kepala

: normochepali

Rambut

: warna putih, distribusi tidak rata, tidak


mudah

Mata

dicabut

: konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, RCL


+/+, RCTL +/ +

Telinga

: normotia, serumen (+)

Hidung

: sekret -/-, hiperemis -/-

Mulut

: oral hygiene baik, faring tidak hiperemis

Leher

: trakea lurus di tengah, KGB tidak teraba


membesar

Paru

:
Inspeksi

: pergerakan dada simetris saat statis dan


dinamis

Palpasi

: vokal fremitus teraba sama di kedua


lapang paru

Perkusi

: sonor di kedua lapang paru

Auskultasi

: suara napas vesikuler di kedua lapang


paru, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi

: iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS V linea


midklavikula sinistra

Perkusi

Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra


Batas kiri

: ICS V linea midklavikularis sinistra

Pinggang

: ICS III linea parasternalis sinistra

jantung
Auskultasi

: bunyi jantung I, II regular, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen
Inspeksi
Palpasi

:
: datar, supel
: nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defence
muscular (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus (+) Normal

Ekstremitas
b. Status Urologi
Sudut costo vertebra
Inspeksi

: akral hangat (+), edema (-)

: benjolan (-), memar (-), jejas (-)

Palpasi
Perkusi
Supra simpisis
Inspeksi
Palpasi
Genitalia eksterna

: benjolan (-), nyeri (-)


: nyeri ketok (-)
: benjolan (-), jejas (-), skar operasi (-)
: benjolan (-), massa (-), nyeri (-)
buli-buli tidak penuh
: merah (-), bengkak (-), nyeri (-), sekret (-)
tanda radang (-), OUE letak normal
Skrotum :
pembesaran tidak ada, tanda

Rectal toucher

radang (-), benjolan (-)


:Tonus Sfingter Ani baik, ampula rekti tidak
kolaps, mukosa licin, massa (-), prostat
teraba membesar, permukaan licin, kenyal,

Sarung tangan

pool atas tidak teraba, nyeri (-)


: darah (-), lendir (-), feses (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal 23 Maret 2010:
Hematologi
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
LED

Hasil
11,6 g/dl
35%
5.300/uL
207.000/uL
20 mm

Nilai normal
13,2 17,3 gr/dl
33 45 %
5.000 10.000 uL
150.000 440.000
uL
0-10 mm/jam

Hasil
88,6 fl
29,3 pg
33,0
11,4%

Nilai normal
80 100 fl
26 34 pg
32 36 g/dL
11,5 14,3%

Hasil
0
2

Nilai normal
0-1 %
1-3 %

VER/HER/KHER/RDW
VER
HER
KHER
RDW
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil

Netrofil
Limfosit
Monosit

64
29
5

50- 70 %
20 40 %
2- 8 %

Masa perdarahan

1,5 menit

1-3 menit

Masa pembekuan

4 menit

2-6 menit

Kimia Klinik
Fungsi Hati
Hasil
20 U/l
15 U/l
6,63 g/dl
3,91 g/dl
2,71 g/dl
0,44 mg/dl
0,11 mg/dl
0,55 mg.dl

Nilai normal
0-34 U/l
0 40 U/l
6-8 g/dl
3,4-4,8 g/dl
2,5-3 g/dl
< 0,6
< 0,2
0-1

Glukosa darah puasa

93 mg/dl

80-100

Glukosa urin puasa

Negatif

Negatif

125 mg/dl

80-145

Hasil
60 mg/dl
47
71 mg/dl
174 mg/dl

Nilai normal
< 150 mg/dl
33 45 %
28-63 mg/dl
< 200 mg/dl

Hasil
26 mg/dl
0,8 mg/dl
5,9 mg/dl

Nilai normal
20-40 mg/dl
0,6-1,5 mg/dl
<7

SGOT
SGPT
Protein total
Albumin
Globulin
Bilirubin indirek
Bilirubin direk
Bilirubin total
Diabetes

Glukosa darah 2 jam PP


Lemak
Trigliserida
Kolesterol LDL
Kolesterol HDL
Kolesterol total
Fungsi ginjal
Ureum darah
Kreatinin darah
Asam urat darah
Urinalisa

Hasil

Nilai normal

Urobilinogen
Protein urine
Berat jenis
BIlirubin
Keton
Nitrit
pH
Leukosit
Darah/HB
Glukosa
Warna
Kejernihan

0,2 U.E/dl
negatif
1,025
Negatif
Negatif
Positif
5,5
1+
Trace
Negatif
Yellow
Cloudy

< 1 U.E/dl
negatif
1,003 1,030
Negatif
Negatif
Negatif
4,8 7,4
Negatif
Negatif
Negatif
Yellow
Clear

Hasil
Positif
15 20/LPB
2-4/LPB
Positif
-

Nilai normal

Sedimen urin
Epitel
Leukosit
Eritrosit
Silinder
Kristal
Bakteri
Lain-lain

0 5/LPB
0 2/LPB
Negative/LPK
Negative
Negative
Negative

Tanggal 4 Mei 2010:


Hematologi
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit

Hasil
9,6 g/dl
29%
11.600 /uL
183.000/uL

Eritrosit

3,68 juta/uL

Nilai normal
13,2 17,3 gr/dl
33 45 %
5.000 10.000 uL
150.000 440.000
uL
4,4-5,9 juta/uL

Hasil
78,0 fl
26,1 pg
33,4
13,8%

Nilai normal
80 100 fl
26 34 pg
32 36 g/dL
11,5 14,3%

VER/HER/KHER/RDW
VER
HER
KHER
RDW

Hitung Jenis
Hasil
87%
11%
2

Nilai normal
50- 70 %
20 40 %
2- 8 %

Hasil
140 mmol/L
3,79 mmol/L
108 mmol/L

Nilai normal
135-147
3,3-5,2
95-108

Netrofil
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Radiologi

Thoraks PA (22 Maret 2010):

Kesan :

Kedua sinus dan diafragma baik

Mediastinum superior tidak melebar

Jantung : ukuran dan bentuk normal, CTR < 50%, terdapat kalsifikasi
arkus aorta

Pulmo : kedua hilus tidak menebal, corakan bronkovaskuler kasar

Tulang-tulang costae dan soft tissue baik

USG (22 Maret 2010):

Kesan :

Ginjal kanan : besar dan bentuk normal, dinding rata, korteks dan
sinus ginjal baik. Sistem pelviokaslises tidak melebar. Tak tampak lesi
hiperechoik dengan PAS (+).

Ginjal kiri : besar dan bentuk normal. Dinding rata. Korteks


normoekhoik. Tampek lesi anekhoik di korteks pole tengah anterior
diameter +/- 1 cm. Sistem pelviokalises tidak melebar. Tak tampak lesi
hipereckoik dengan PAS (+).

Prostat : Besar, lobulated, echostruktur inhomogen, tampak kalsifikasi,


ukuran +/- 6,8 x 5,4 x 6,9 cm (+/- 126 gram).

10

Buli-buli : besar dan bentuk dalam batas normal, mukosa dinding buli
menebal. Tak tampak lesi hiperechoik dengan PAS (+).

Kesan :
-

HP (+/- 126 g)

Sistitis

Residu urin pasca miksi +/- 77 cc

Ginjal kanan dalam batas normal

Kista kecil (+/- 1 cm di korteks pole tengah ginjal kiri

V. RESUME
Pasien laki-laki usia 63 tahun datang dengan keluhan sulit BAK sejak
4 bulan smrs. Keluhan obstruktif : Hesitansi (+), intermitensi (+)mengedan.
Kencing menetes pada akhir BAK dan tidak tuntas.Keluhan iritatif : frekuensi
(+) urgensi (+) nokturia (+). Sulit BAK sudah dirasakan sejak 2 tahun yang
lalu yang dirasakan semakin berat. Pasien berobat ke dokter dengan retensi
urine. Urin tidak keluar walau dengan berubah posisi BAK. Os dipasang
kateter sebanyak 4 kali. nyeri suprapubik (+) saat retensi urin. BAK keruh
seperti teh (+)
RPD : riwayat operasi (-), riwayat trauma (-)
RPK : riwayat kencing batu (-)
Pemeriksaan Fisik :
KU/KS

TSS/CM

72x/menit, reguler, isi cukup

TD

140/90 mmHg

RR

18x/menit

afebris

TV

Status generalis:

dalam batas normal

11

Status urologis:
Sudut costo vertebra
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Supra simpisis
Inspeksi
Palpasi
Genitalia eksterna

: benjolan (-), memar (-), jejas (-)


: benjolan (-), nyeri (-)
: nyeri ketok (-)
: benjolan (-), jejas (-), skar operasi (-)
: benjolan (-), massa (-), nyeri (-)
buli-buli tidak penuh
: merah (-), bengkak (-), nyeri (-), sekret (-)
tanda radang (-), OUE letak normal
Skrotum :
pembesaran tidak ada, tanda

Rectal toucher

radang (-), benjolan (-)


:Tonus Sfingter Ani baik, ampula rekti tidak
kolaps, mukosa licin, massa (-), prostat
teraba membesar, permukaan licin, kenyal,
pool atas tidak teraba, nyeri (-)
: darah (-), lendir (-), feses (-)

Sarung tangan
Pemeriksaan penunjang :
Lab :
23-3-2010
Anemia normositik normokrom
leukosituria
hematuria
bakteriuria
4-5-2010
Anemia mikrositik
leukositosis
neutrofilia
limfositosis
Rontgen Thoraks:

Kedua sinus dan diafragma baik

Mediastinum superior tidak melebar

Jantung : ukuran dan bentuk normal, CTR < 50%, terdapat kalsifikasi
arkus aorta

Pulmo : kedua hilus tidak menebal, corakan bronkovaskuler kasar

12

Tulang-tulang costae dan soft tissue baik

USG Abdomen :

Hipertrofi prostat (+/- 126 g)

Sistitis

Residu urin pasca miksi +/- 77 cc

Ginjal kanan dalam batas normal

Kista kecil (+/- 1 cm di korteks pole tengah ginjal kiri

VI. DIAGNOSIS KERJA


Retensio urine ec Benign Prostat Hyperplasia
ISK
VII. DIAGNOSIS BANDING
Prostatitis
Karsinoma Prostat
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN
PSA
Kultur urine
IX. PENATALAKSANAAN
Pembedahan :
-

Trans Urethral Resection of Prostat / TURP (a/i BPH)

LAPORAN OPERASI (4 Mei 2010):


-

Pasien dalam posisi litotomi

A dan antisepsi genital dan sekitarnya

Dilakukan uretrosistoskopi, terlihat uretra normal, tidak ada striktur,


verumontanum normal, prostat sangat besar kissing loop +/+, panjang
bladder neck tinggi, buli-buli trabekulasi (+), muara ureter tertutup
dengan bladder neck, batu (-), tumor (-)

13

Dilakukan reseksi prostat

Dipasang kateter no. 24 three-way

Drip NaCl 0,9%

Operasi selesai

Diagnosa post op : BPH


X. PROGNOSIS
Quo ad vitam

bonam

Quo ad sanactionam:

dubia

Quo ad functionam :

dubia ad bonam

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR PROSTAT


Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular, yang terletak
persis dibawah kandung kemih. Berat prostat pada orang dewasa normal
kira-kira 20 gram, didalamnya terdapat uretra posterior dengan panjangnya
2,5 3 cm. Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika
yang melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat
terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum.
Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini
cukup keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke
rectum sampai suatu stadium lanjut.1

15

Gambar 2.1. Anatomi prostat


Pada bagian posterior, prostat dimasuki oleh duktus ejakulatorius yang
berjalan secara oblique dan bermuara pada veromontanum didasar uretra
prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan
superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan
dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh
lapisan kuat fasia pelvis dan perineal membungkus otot levator ani yang
tebal. Diafragma urogenital pada wanita lebih lemah oleh karena otot dan
fasianya lebih sedikit.2
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal,
prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen
anterior dan zona sfingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus
kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara
terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum,
kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal
terdapat sel-sel kuboid.3

16

Gambar 2.2. Pembagian zona pada prostat


Pembuluh Darah, Limfe Dan Saraf
Arteri prostat berasal dari arteri vesika inferior, arteri pudendalis
interna arteri hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada
bagian infero-lateral persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau
didiatermi pada waktu operasi prostatektomi. Darah vena prostat dialirkan
kedalam fleksus vena periprostatika yang berhubungan dengan vena dorsalis
penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang juga berhubungan
dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur inilah sering dijumpai
metastase karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan
vertebra lumbalis.3
Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih
bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis.
Aliran lymph dari prostat dialirkan kedalam lymph node iliaka interna
(hipogastrika), sacral, vesikal dan iliaka aksterna.3
Fisiologi
Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama
ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti
cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma.
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat
dianggap imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita. Prostat
dipengaruhi oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitif terhadap
androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitif terhadap estrogen
adalah bagian tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang

17

mengalami hiperplasia oleh karena sekresi androgen yang berkurang


sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut. 4

2.2. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)


Kelenjar prostat merupakan organ pada laki-laki yang paling sering
terkena neoplasma jinak maupun ganas. Secara anatomis, prostat terletak
pada pelvis, yang dipisahkan dengan simfisis pubis di bagian anterior oleh
ruang retropubik (rongga Retzius). Permukaan posterior dari prostat
dipisahkan dari ampula rekti oleh fasia Denonvillier. Basis dari prostat
tersambung dengan leher vesika urinaria, dan apeksnya terletak di
permukaan bagian atas dari diafragma urogenital. Prostat diperdarahi
pembuluh darah arteri cabang dari arteri iliaka interna. Drainase vena prostat
melalui kompleks vena dorsalis, yang menerima vena profunda di bagian
dorsal penis dan cabang dari vesika sebelum mengalir ke vena iliaka interna.
Persarafan prostat berasal dari pleksus pelvis. Ukuran normal prostat sekitar
3-4 cm pada basis, 4-6 cm di sefalokaudal, dan 2-3 cm di bagian
anteroposterior. Benign prostatic hyperplasia (BPH) secara keseluruhan
berasal dari zona transisi. 5
2.2.1. Epidemiologi
BPH merupakan tumor jinak paling sering pada laki-laki, dan
insidensinya berhubungan dengan bertambahnya usia. Faktor risiko BPH
masih belum jelas. Beberapa penelitian menunjukkan adanya predisposisi
genetik, dan beberapa kasus dipengaruhi oleh ras. Prevalensi BPH secara
histologi pada otopsi didapatkan peningkatan dari sekitar 20% pada pria usia

18

41-50 tahun, menjadi 50% pada pria usia 51-60 tahun, dan >90% pada pria
usia lebih dari 80 tahun. 5
2.2.2. Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi
konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. Karena proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan, efek perubahan juga terjadi
secara perlahan.6
Etiologi dari BPH belum dimengerti sepenuhnya, tetapi kemungkinan
multifaktor dan hormonal. Prostat tersusun oleh bagian stroma dan epitel,
dan masing-masing maupun keduanya, dapat menjadi nodul hiperplastik dan
keluhan-keluhan yang berhubungan dengan BPH.
Beberapa penelitian menemukan adanya bukti bahwa BPH diatur oleh
sistem endokrin. Penelitian lanjutan menunjukkan adanya korelasi positif
antara kadar testosteron dan estrogen bebas dengan volume dari BPH.
Hubungan antara pertambahan usia dengan BPH mungkin akibat dari
peningkatan kadar estrogen yang merangsang reseptor androgen, yang
selanjutnya meningkatkan sensitivitas kelenjar prostat terhadap testosteron
bebas. 6
2.2.3. Patologi
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, BPH berawal dari zona
transisi yang mengalami proses hiperplasia akibat peningkatan jumlah sel.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan adanya pola pertumbuhan nodular
yang tersusun oleh stroma dan epitel. Stroma disusun oleh jaringan kolagen
dan otot polos. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat,

19

resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih
dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi.
Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor. Tonjolan mukosa
yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar disebut divertikulum.
Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila
keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya

mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi


retensi urin. 5
2.2.4. Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan
hipersensitivitas otot detrusor yang berarti bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi
cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh. 6
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung
kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita
tidak mampu lagi miksi. Produksi urin yang terus terjadi, pada suatu saat
vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus
meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dibanding tekanan
sfingter dan obstruksi akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik

20

menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal


ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria.

Obstruksi akibat BPH dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan


dinamik. Saat terjadi pembesaran prostat, obstruksi mekanik mungkin
merupakan akibat adanya penekanan ke lumen uretra atau leher vesika
urinaria, yang menyebabkan tahanan pelepasan kandung kemih yang lebih
tinggi. Sebelum adanya pembagian zona prostat, ahli urologi sering membagi
prostat menjadi 3 lobus yaitu lobus median dan 2 lobus lateral. Ukuran
prostat pada pemeriksaan rectal touche (RT) kurang begitu berhubungan
dengan keluhan yang dirasakan pasien.

Komponen dinamik dari obstruksi prostat menjelaskan sifat dari


keluhan yang dirasakan pasien. Stroma prostat, terdiri dari otot polos dan
kolagen, yang kaya dengan persarafan adrenergik. Penggunaan penghambat
-adrenergik

menurunkan

tonus

dari

uretra

pars

prostatika,

yang

menurunkan tahanan pada kandung kemih.5


Obstruksi saluran kandung kemih menyebabkan hipertrofi muskulus
detrusor, hiperplasia serta penumpukan kolagen. Penebalan muskulus
detrusor dapat menjadi trabekulasi pada pemeriksaan sistoskopi. Jika
dibiarkan, terjadi herniasi mukosa antara muskulus detrusor, selanjutnya
terrbentuk divertikula (yang tersusun oleh lapisan mukosa dan serosa). 5,6
2.2.5. Gejala dan Tanda Klinis
2.2.5.1. Keluhan Klinis
Keluhan BPH dapat dibagi menjadi keluhan obstruktif dan iritatif.
Keluhan obstruktif meliputi hesitansi, penurunan kekuatan pancaran, dan
kaliber aliran urin, sensasi inkomplit dari pengosongan kandung kemih,
intermiten, kencing mengedan dan kencing menetes. Keluhan iritatif meliputi

21

urgensi, frekuensi dan nokturia. Anamnesis yang lengkap mengenai keluhan


traktus urinaria juga bertujuan untuk menyingkirkan etiologi selain prostat,
seperti infeksi saluran kemih, neurogenik bladder, striktur uretra, atau kanker
prostat.5

Gambar 2.3. Keluhan pada BPH


WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan beratnya gangguan
miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptoms Score). Skor ini
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi
satu bulan terakhir (lihat tabel 2.1).7
Tabel 2.1. Skoring IPSS

22

Penilaian :
Skor 0-7

: bergejala ringan

Skor 8-19

: bergejala sedang

Skor 20-35

: bergejala berat

2.2.5.2. Tanda Klinis


Pada pemeriksaan fisik, RT, dan pemeriksaan neurologis dilakukan
pada pasien. Ukuran dan konsistensi dari prostat dijelaskan, walaupun
ukuran prostat dari hasil RT belum tentu berhubungan dengan keluhan dan
derajat obstruksi. BPH biasanya menyebabkan pembesaran prostat yang
permukaannya licin, berbatas tegas dan elastis. Indurasi, bila ditemukan
merupakan peringatan bagi pemeriksa untuk kemungkinan kanker dan
diperlukan pemeriksaan lanjutan (misal : prostate spesific antigen (PSA),
transrectal ultrasound (TRUS), dan biopsi).5
2.2.5.3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis menyingkirkan adanya infeksi atau hematuria
dan pengukuran kadar serum ureum kreatinin untuk menilai fungsi ginjal dari
pasien. Insufisiensi ginjal dapat ditemukan pada 10% pasien dengan
prostatism dan memerlukan pemeriksaan radiologi saluran kemih bagian
atas. Pasien dengan insufisiensi ginjal mempunyai risiko yang tinggi
mengalami komplikasi post-operasi setelah pembedahan BPH. Kadar PSA
serum biasanya dapat dilakukan, namun sebagian besar ahli memasukkan

23

pemeriksaan PSA ke dalam pemeriksaan awal, dibandingkan dengan


pemeriksaan RT saja.5
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specifik tetapi
bukan kanker specifik.8 Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan
perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a)
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju
pancaran urine lebih buruk, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar
PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA
makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat
rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun,
sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar
PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. 9 Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat
(biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan
prostat, dan usia yang makin tua.10
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah: 10

40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml

50-59 tahun:0-3,5 ng/ml

60-69 tahun:0-4,5 ng/ml

70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml


Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma

prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma


prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior
daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma
prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat
penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat. 11
Sebagian

besar

pedoman

yang

disusun

di

berbagai

negara

merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal

24

pada BPH, meskipun dengan syarat yang berhubungan dengan usia pasien
atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun
atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang
terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya 11, 12.

2.2.5.4. Pemeriksaan Radiologi


Pielogram intravena (IVP) atau USG ginjal dianjurkan bila ditemukan
adanya kelainan saluran kemih atau komplikasi dari BPH (misal: hematuria,
ISK, insufisensi ginjal, dan riwayat batu saluran kemih). Sistoskopi tidak
dianjurkan untuk menentukan perlunya dilakukan terapi pada pasien.
Sistoskopi membantu pemilihan terapi bedah pada pasien yang akan
dilakukan terapi invasif. Sistometrogram dan urodinamik diperlukan pada
pasien yang diduga mengalami kelainan neurologis atau pada pasien dengan
riwayat kegagalan operasi prostat.

Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses


miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri
dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum
(Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
pancaran maksimum, dan lama pancaran. 11,12 Pemeriksaan ini sangat mudah,
non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi
infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil
uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan
pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena
BOO atau kelemahan otot detrusor. Demikian pula Qmax (pancaran) yang
normal belum tentu tidak ada BOO. Namun demikian sebagai patokan, pada

25

IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax dengan derajat BOO
sebagai berikut:

Qmax < 10 ml/detik 90% BOO

Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO

Qmax >15 ml/detik 30% BOO


Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan.

Pasien tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan
disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah
pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya
disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik.
Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax saja,
tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut Steele et al
(2000) kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup
akurat dalam menentukan adanya BOO. 13
Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan,
serta terdapat variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil
uroflometri menjadi bermakna jika volume urine >150 mL dan diperiksa
berulangkali pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi
positif Qmax untuk menentukan BOO harus diukur beberapa kali. Reynard et
al (1996) dan Jepsen et al (1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada
tidak-nya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali. 13
Bila pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien
mempunyai pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan
penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure flow study) dapat
membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi
leher

buli-buli

dan

uretra

(BOO)

atau

kelemahan

kontraksi

otot

detrusor5,9,13,14. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak


menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien
bukan disebabkan oleh obstruksi prostat (BPO) melainkan disebabkan oleh

26

kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan


desobstruksi tidak akan bermanfaat.

13

Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada


evaluasi pasien BPH bergejala. 11,12 Meskipun merupakan pemeriksaan
invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam
menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan
keberhasilan suatu tindakan pembedahan. Menurut Javle et al (1998)30,
pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai
prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan urodinamika pada BPH
adalah:

berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume
residual urine>300 mL

Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada


daerah pelvis

setelah gagal dengan terapi invasif, atau

kecurigaan adanya buli-buli neurogenik


Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine

yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Tujuh puluh delapan persen
pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria
normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL 9. Pemeriksaan residual
urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran
langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih,
maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau
bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan
dengan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan cedera
uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia. 11,12
Peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya
gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi 9. Watchful waiting
biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak (Wasson

27

et al 1995), demikian pula pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali
telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya
tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.
Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan
PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor
setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi,
pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan
melalui melalui USG transabdominal.11

2.3. Diagnosis Banding


Kelainan obstruktif lain pada saluran kemih bagian bawah, seperti
striktur uretra, kontraktur leher kandung kemih, batu buli, atau kanker prostat
yang harus dipikirkan pada pasien yang diduga menderita BPH. Riwayat
pemasangan alat pada uretra, uretritis, atau trauma harus ditanyakan untuk
menyingkirkan striktur uretra atau kontraktur dari leher kandung kemih.
Hematuria dan nyeri sering berhubungan dengan batu buli. Kanker prostat
dapat dideteksi dengan adanya kelainan pada pemeriksaan RT atau dari
peningkatan kadar PSA. 5
Infeksi saluran kemih, yang dapat menyerupai keluhan iritatif dari BPH,
dapat ditentukan dengan pemeriksaan urinalisis dan kultur; namun ISK juga
dapat merupakan komplikasi dari BPH. Walaupun keluhan BAK iritatif juga
berhubungan dengan karsinoma vesika urinaria, terutama karsinoma in situ,
pemeriksaan urinalisis biasanya menunjukkan adanya hematuria. Demikian
juga, pasien dengan neurogenik bladder dapat ditemukan keluhan dan tanda
dari BPH, namun riwayat kelainan neurologik, stroke, diabetes mellitus, atau
trauma punggung juga didapatkan pada pasien. Sebagai tambahan,
pemeriksaan RT didapatkan perubahan tonus sfingter rektal atau refleks

28

bulbokavernosus. Keluhan konstipasi mungkin disebabkan oleh kelainan


neurologis.5
2.4. Penatalaksanaan
Rekomendasi terapi spesifik dapat diberikan pada kelompok pasien
tertentu. Pada pasien dengan keluhan ringan (skor IPSS < 7), disarankan
untuk pengamatan lebih lanjut. Indikasi operasi absolut meliputi retensi urin
refrakter, infeksi saluran kemih berulang, gross hematuria berulang, batu buli,
dan insufisiensi ginjal akibat BPH, atau adanya divertikula kandung kemih
yang cukup besar (McConnell et al. 1994).

2.4.1. Watchful waiting


Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun
tetapi perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. 14
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari.
Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH
bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang
hingga berat (skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12
mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak banyak
memberikan respon terhadap watchful waiting. 15
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun
dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan
mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau
cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang

29

kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang


dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual
urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin
perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain. 14

Gambar 2.4. Algoritma penatalaksanaan BPH


2.4.2. Terapi Medikamentosa
2.4.2.1. Penghambat alfa-adrenergik
Pada

prostat

dan

basis

vesika

urinaria

mengandung

alfa-1-

adrenoreseptor, dan prostat menunjukkan respon kontraksi pada pemberian

30

agonis alfa adrenergik.

Fungsi kontraksi dari prostat dan leher kandung

kemih dimediasi oleh reseptor subtipe alfa-1a. Penghambat alfa-adrenergik


menunjukkan adanya perbaikan keluhan objektif maupun subjektif pada
pasien BPH. 5

Tabel 2.2. Klasifikasi penghambat alfa dan 5-alfa- reduktase inhibitor

2.4.2.2. 5--reduktase inhibitor


Finasteride merupakan penghambat 5--reduktase yang mencegah
perubahan

testosteron

mempengaruhi

menjadi

komponen

epitel

dihidrotestosteron.
dari

prostat,

Obat

yang

jenis

ini

menyebabkan

berkurangnya ukuran kelenjar prostat dan perbaikan gejala. Terapi selama 6


bulan diperlukan untuk mendapatkan efek maksimal obat terhadap ukuran
prostat (berkurang 20%) dan perbaikan keluhan. Namun, perbaikan keluhan
hanya terlihat pada pasien dengan ukuran prostat > 40 cm 3. Efek samping
obat antara lain penurunan libido, penurunan volume ejakulasi, dan
impotensi. Kadar serum PSA berkurang menjadi sekitar 50% pada pasien
yang diterapi dengan finasteride (bervariasi pada masing-masing individu).

Dutasteride berbeda dari finasteride karena menghambat isoenzim


dari 5--reduktase. Mirip dengan finasteride, dutasteride mengurangi kadar

31

serum PSA dan ukuran prostat. Efek samping utamanya antara lain disfungsi
ereksi, penurunan libido, ginekomastia, dan kelainan ejakulasi. 5
2.4.2.3. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik
tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi
sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja
sebagai: anti-estrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone
binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan
epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin,
efek anti-inflam-masi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil
volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum
africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak
lainnya.5,6
2.4.3. Terapi Pembedahan
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, diantaranya adalah:16
(1) retensi urine karena BPO
(2) infeksi saluran kemih berulang karena obstruksi prostat
(3) hematuria makroskopik
(4) batu buli-buli karena obstruksi prostat
(5) gagal ginjal yang disebabkan obstruksi prosta, dan
(6) divertikulum buli buli yang cukup besar karena obstruksi
1. Transurethral resection of the prostate (TURP)
Sembilan puluh lima persen prostatektomi sederhana dapat dilakukan
secara endoskopi. Sebagian besar prosedur ini menggunakan teknik anestesi
spinal dan memerlukan 1-2 hari perawatan di rumah sakit. Skor keluhan dan

32

perbaikan laju aliran urine lebih baik dibandingkan terapi lain yang bersifat
minimal invasive. Risiko TURP meliputi ejakulasi retrograd (75%), impotensi
(5-10%), dan inkontinensia (<1%).

TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah


terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum
TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju
pancaran urine hingga 100%.17

Gambar 2.5. Transurethral resection of the prostate (TURP)


Komplikasi operasi antara lain perdarahan, striktur uretra, atau
kontraktur pada leher kandung kemih, perforasi dari kapsul prostat dengan
ekstravasasi, dan pada kondisi berat terjadi sindroma TUR yang disebabkan
oleh keadaan hipervolemik dan hipernatremia akibat absorbsi cairan irigasi
yang bersifat hipotonis. Manifestasi klinis sindroma TUR antara lain nausea,
muntah, hipertensi, bradikardi, confusing, dan gangguan penglihatan. Risiko
terjadinya sindroma TUR meningkat pada reseksi yang lebih dari 90 menit.
Penatalaksanaan meliputi diuresis dan pada kondisi berat diberikan larutan
hipertonis. 5
2. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang
kecil sering didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior (terangkatnya
leher kandung kemih). Pasien tersebut biasanya lebih baik dilakukan insisi
prostat. 5

33

Gambar 2.6. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)


Prosedur

TUIP

lebih

cepat

dan

morbiditasnya

lebih

rendah

dibandingkan TURP. Teknik TUIP meliputi insisi dengan pisau Collin pada
posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai di arah distal menuju orifisium ureter dan
meluas ke arah verumontanum. 5
3. Prostatektomi Terbuka Sederhana
Ketika ukuran prostat terlalu besar untuk direseksi secara endoskopi,
enukleasi terbuka dapat dilakukan. Kelenjar prostat yang lebih dari 100 g
biasanya merupakan indikasi enukleasi terbuka. Prostatektomi terbuka juga
dilakukan pada pasien dengan disertai divertikulum atau batu buli atau jika
posisi litotomi tidak mungkin dilakukan.

Terapi Minimal Invasif


1. Transurethral needle ablation of the prostate (TUNA)
TUNA termasuk dalam teknik minimal invasif yang biasa digunakan
pada pasien yang gagal dengan pengobatan medikamentosa, pasien yang
tidak tertarik pada pengobatan medikamentosa, atau tidak bersedia untuk
tindakan TURP. Teknik ini menggunakan kateter uretra yang didesain khusus
dengan jarum yang menghantarkan gelombang radio yang panas sampai
mencapai 100oC di ujungnya sehingga dapat menyebabkan kematian
jaringan prostat.6

34

Pasien dengan gejala sumbatan dan pembesaran prostat kurang dari


60 gram adalah pasien yang ideal untuk tindakan TUNA ini. Kelebihan teknik
TUNA dibanding dengan TURP antara lain pasien hanya perlu diberi anestesi
lokal. Selain itu angka kekambuhan dan kematian TUNA lebih rendah dari
TURP.17

2. Transurethral electrovaporization of the prostate


Teknik ini menggunakan rectoskop (seperti teropong yang dimasukkan
melalui anus) standar dan loop konvensional. Arus listrik yang dihantarkan
menimbulkan

panas

yang

dapat

menguapkan

jaringan

sehingga

menghasilkan timbulnya rongga di dalam uretra.17


3. Termoterapi
Metode ini menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan melalui
kateter transuretral (melalui saluran kemih bagian bawah). Namun terapi ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat
keefektivitasannya.17
4. Intraurethral stents
Alat ini dapat bertujuan untuk membuat saluran kemih tetap terbuka.
Setelah 4-6 bulan alat ini biasanya akan tertutup sel epitel. Biasanya
digunakan pada pasien dengan usia harapan hidup yang minimum dan
pasien yang tidak cocok untuk menjalani operasi pembedahan maupun
anestesi. Saat ini metode ini sudah jarang dipakai. 17
5. Transurethral balloon dilation of the prostate
Pada tehnik ini, dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang
berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui
kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40
cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek
ini hanya sementara sehingga cara ini sekarang jarang digunakan. 17

35

BAB III
ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan adanya keluhan sulit BAK


sejak 4 bulan smrs. Pada anamnesis ditanyakan mengenai Lower Urinary
Tract Syndrome (LUTS) yaitu keluhan obstruktif dan iritatif. Keluhan
obstruktif yang didapatkan pada pasien antara lain kesulitan memulai BAK
(hesitansi), penurunan kekuatan pancaran, sering tidak tuntas, terputusputus (intermiten), mengedan dan kencing menetes. Keluhan iritatif pada
pasien yaitu sering tidak bisa menahan BAK (urgensi), frekuensi, dan sering
kencing pada malam hari hingga 2-3 kali semalam. Keluhan LUTS
disebabkan oleh striktur uretra, kontraktur dari leher kandung kemih, batu
buli, BPH, dan karsinoma prostat.
Diagnosis striktur uretra dan kontraktur leher vesika disingkirkan dari
anamnesis tidak ditemukan adanya riwayat trauma pada genital dan
pemasangan kateter sebelum keluhan 4 bulan smrs. Batu buli disingkirkan
dengan anamnesis yaitu retensi urin yang menetap walaupun sudah berubah
posisi BAK dan nyeri kolik sebelumnya. Pasien didiagnosis Benign Prostat
Hiperplasia (BPH) berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
dibantu

dengan

pemeriksaan

penunjang.

Berdasarkan

anamnesis

didapatkan keluhan LUTS yaitu obstruktif dan iritatif. Dilihat dari usia pasien
yaitu 63 tahun sesuai dengan prevalensi BPH pada usia 51-60 tahun yaitu

36

lebih dari 50% kasus. Berdasarkan pemeriksaan fisik yaitu colok dubur/
rectal toucher teraba pembesaran prostat dengan permukaan rata, kenyal,
nyeri (-), dengan pool atas prostat tidak teraba. Berdasarkan USG
didapatkan hasil adanya pembesaran prostat ( 126 g).
Pasien juga didiagnosis ISK, dari anamnesis tidak didapatkan keluhan
atau riwayat demam sebelumnya serta pada pemeriksaan fisik tidak ada
nyeri ketok pada sudut kostovertebra. Namun dari pemeriksaan urinalisa
didapatkan adanya leukosituria, eritrosituria, dan ditemukannya bakteri pada
urin yang menunjukkan adanya infeksi pada saluran kemih. ISK dapat
menyerupai keluhan iritatif pada BPH, yang bias ditemukan dari pemeriksaan
urinalisa dan kultur urin, namun ISK juga bias merupakan komplikasi BPH
dan sebagai akibat pemasangan kateter urin pada pasien.
Pada pasien dilakukan skoring berdasarkan skor IPSS, didapatkan
total skornya adalah 28. Scoring IPSS dapat digunakan menentukan jenis
serta sebagai evaluasi terapi. Bila nila IPSS < 7 direkomendasikan watchfull
waiting, sedangkan bila sudah > 7 dipakai terapi medikamentosa atau terapi
lainnya. Pada pasien ini sudah terdapat indikasi pembedahan yaitu adanya
retensi urin yang berulang serta diduga adanya ISK sebagai komplikasi dari
BPH. Tindakan pembedahan yang dipilih adalah Transurethral Resection of
the Prostate (TURP). Tindakan ini dipilih karena TURP lebih sedikit
menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan
masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga
100% dibandingkan terapi minimal invasif yang lain.

37

DAFTAR PUSTAKA

1.

Purnomo B.B ; Dasar-dasar Urologi. 2000. Jakarta : CV.Infomedika.


200-214.

2.

Weinerth J.L : The Male Genital System in Texbook of Surgery, Pocket


Companion, Edited by: Sabiston DC and Liverly HK. 1992. Wb
Saunders Company: 670-680

3.

Nasar I.M ; Saluran Kemih Bagian Distal dan Alat Kelamin Pria dalam
Patologi Anatomi, Editor Himawan S. 1985. Bagian Patologi Anatomi
FK-UI, : 285-307.

4.

Bahnson R.R ; Physiology Of the Kidney, Ureter and Bladder, in Basic


cience Review For Surgeous, Edited by Simmons R.L and Steed D.L,
W.B.Saundrs Company, 1992: 270-287.

5.

C. Joseph, J. Christopher. 2008. Neoplasm of the prostate gland in


Smiths General Urology. McGraw Hill. Chapter 22. p. 348-69

6.

Jong WD, Sjamsuhidayat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
hal 782-6.

7.

Recommendations of the International Scientific Committee. The


evaluation and treatment of lower urinary tract symptoms (LUTS)
suggestive of benign prostatic obstruction. Proceedings of the 4th
International Consultation on BPH. Paris; July 2-5, 1997: 3-6.

8.

Laguna P dan Alivizatos G. Prostate specific antigen and benign


prostatic hyperplasia. 2000 . Curr Oppin urol 10: 3-8

38

9.

Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J,Rosenblatt S, Hudson PB, Malek


GM, et al. Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future
prostate growth in men with benign prostatic hyperplasia. 2000. J Urol
163: 13-20

10.

Dawson C dan Whitfield H. ABC urology: Bladder outflow obstruction.


1996. BMJ, 312:767-770

11. McConnell. Guidelines for diagnosis and management of BPH.


http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/chp43.asp
12. Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgical management of
benign prostatic hyperplasia. Dalam: Campbells urology, edisi ke 7.
editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. 2002.
Philadelphia: WB Saunders Co.,1337-1378
13. Steele G, Sullivan MP, Sleep DJ, and Yalla SP. Combination of
symptoms score, flow rate, and prostate volume for predicting bladder
outflow obstruction in men with lower urinary tract symptoms. 2000. J
Urol, 164: 344-348.
14. Roehrborn CG, Bartsch G, Kirby R et al. Guidelines for the diagnosis
and

treatment of

benign

prostatic hyperplasia:

comparative,

international review. 2001. Urology 58: 642-650


15. Jacobsen SJ, Jacobsen DJ, Girman CJ, et al. Treatment for benign
prostatic hyperplasia among community dwelling men: the Olmsted
County study of urinary symptoms and healths status. 1999. J Urol 162:
1301-1306.
16. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Konsensus sementara benign prostatic
hyperplasia di Indonesia, 2000
17. Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally
invasive treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are
the relevant differences in randomized controlled trials?. 2000. Eur Urol.
38(suppl): 7-17,

You might also like