You are on page 1of 28

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

FRAKTUR FEMUR
INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD NGUDI WALUYO BLITAR
DEPARTEMEN SURGICAL

Oleh:
FARIDA LAKSITARINI
150070300011011

PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

DEFINISI FRAKTUR FEMUR


Fraktur adalah diskontinuitas atau terputusnya keutuhan tulang,
sebagian atau seluruh korteks dan struktur. Terjadinya fraktur dapat
dikarenakan oleh trauma spontan maupun adanya kelemahan dari tulang
akibat

gangguan

metabolisme

(osteoporosis),

tumor

maupun

infeksi

(Tambayong, Jan, 2000). Fraktur tulang spontan yaitu terjadinya patah tulang
akibat adanya trauma yang adekuat. Sedangkan fraktur patologis terjadi jika
tulang patah di daerah yang lemah karena mengalami osteoporosis, tumor,
baik itu jinak maupun ganas atau karena infeksi akibat trauma yang tidak
adekuat (Sjamsuhidajat, 2004).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang dan didefinisikan
berdasarkan tipe dan luas fraktur. Dan terjadi karena tulang mengalami stress
lebih besar daripada yang dapat diserap. Fraktur disebabkan oleh pukulan
langsung (direct blows), kekuatan yang bisa menghancurkan (crushing
forces), gerakan memutar tiba-tiba (sudden twisting motions), kontraksi otot
yang ekstrim (extreme muscle contractions). Ketika tulang rusak, struktur
yang berada di dekatnya juga terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan
lunak, pedarahan ke dalam otot dan sendi, dislokasi sendi, pecah tendon,
saraf terputus, dan pembuluh darah rusak. Organ tubuh juga dapat terluka
disebabkan oleh kekuatan fraktur atau oleh fragmen di fraktur (Smeltzer C. S
dan Bare Brenda, 2003).
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi
tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis (Gibson, John, 2003).
KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
Berdasarkan tempat
Fraktur humerus, tibia, clavicula, femur, dan cruris dst.
Berdasarkan luas dan garis fraktur
Fraktur dibagi menjadi dua yaitu fraktur komplit (garis patah melalui
seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang) dan
fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah:
Fraktur comminuted (garis patah lebih

dari

satu

dan

saling

berhubungan), fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan), fraktur Multipel (garis patah lebih dari satu tapi pada

tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur


femur dan sebagainya).
Berdasarkan posisi fragmen
Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen
fraktur
Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar:
Tertutup dan terbuka (adanya perlukaan dikulit).
Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma
Oblique fracture, Transvere fracture, Spiral fracture, Green stick
fracture
Berdasarkan kedudukan tulangnya :
Tidak adanya dislokasi dan adanya dislokasi
Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Penyebabnya
Fraktur Traumatik : terjadi karena trauma tiba2
Frakur Patologis : terjadi krn kelemahan tulang
Fraktur Stres : terjadi krn tekanan terus menerus (Smeltzer C. S dan
Bare Brenda (2003).

ETIOLOGI FRAKTUR FEMUR


Penyebab fraktur secara umum dapat disebabkan menjadi 2 yaitu
penyebab ekstrinsik dan intrinsik. Penyebab ekstrinsik juga dapat
dibedakan menjadi 2 bagian yaitu penyebab fraktur akibat gangguan
langsung yaitu berupa trauma yang merupakan penyebab utama
terjadinya fraktur misalnya kecelakaan, tertabrak, jatuh. Penyebab lainnya
adalah fraktur akibat gangguan tidak langsung seperti perputaran,
kompresi. Penyebab fraktur secara intrinsik dapat diakibatkan kontraksi
dari otot yang menyebabkan avulsion fraktur, seperti fraktur yang sering
terjadi pada hewan yang belum dewasa. Fraktur patologis adalah fraktur
yang diakibatkan oleh penyakit sistemik seperti neoplasia, osteoporosis,
hyperparatyroidisme. Tekanan yang berulang juga dapat menyebabkan
fraktur.

FAKTOR RISIKO FRAKTUR FEMUR


Beberapa faktor risiko yang dikaitkan meningkatkan faktor risiko
yaitu kepadatan tulang yang rendah, termasuk berapa kali mengalami
fraktur sejak usia 45 tahun dan rendahnya intake kalsium. Selain itu,
faktor faktor yang mencegah pengeluaran kalsium tulang seperti terapi
hormon menopause dan penggunaan tablet calcium carbonate diketahui
dapat mengurangi faktor risiko. Jatuh juga diketahui meningkatkan faktor
risiko, termasuk riwayat jatuh sebelumnya, diabetes mellitus, dan
kesulitan berjalan di dalam cahaya (Sarah, Jennifer, 2004).

EPIDEMIOLOGI FRAKTUR FEMUR


Insiden fraktur leher femur merupakan fraktur yang paling sering pada
lansia dan semakin meningkat sesuai dengan usia yang meningkat juga.
Penelitian terhadap fraktur leher femur di New England insiden fraktur
leher femur pada perempuan berkulit putih usia 65-69 tahun 2,2 per 1000
per tahun. Dan meningkat menjadi 31.8 per 1000 per tahun pada usia 9094 tahun. Pada laki-laki berkulit putih usia 65-69 tahun rata-rata 0,9 dan
meningkat menjadi 20,8 pada usia 90-94 (Filipov, 2014).
PATOFISIOLOGI FRAKTUR FEMUR
(Terlampir)
MANIFESTASI KLINIS FRAKTUR FEMUR
a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
b. Pergeseran tulang pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
dinamakan kontraksi otot yang melekat diatas dan di bawah tempat
fraktur
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen yang
satu dengan yang lain.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur
f.

Terjadi gangguan sensasi atau kesemutan yang mengisyaratkan


kerusakan saraf. Denyut nadi dibagian distal fraktur harus utuh dan
terasa dengan bagian nonfraktur

g. Abnormal ROM.
Membutuhkan tulang yang utuh untuk otot menarik dan membuat
gerakan. Jika fraktur terjadi di dekat sendi, pembengkakan mungkin
membatasi ROM (Keogh J Jakson D dan Digulio, 2007).
Fraktur humerus paling sering pada:
a. Collumna chirugicum,

b. Corpus; pada fraktur corpus, nervus radialis yang berjalan dalam


sulcus nervi radialis dapat mengalami cedera,
c. Epicondylus lateralis dan medialis (Gybson, John, 2003).
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK FRAKTUR FEMUR
1. Pemeriksaan radiografik :
Menyatakan adanya awal cedera dan kemajuan proses penyembuhan
sebelumnya, perbandingan dengan foto ekstremitas yang lain yang sehat
sering digunakan untuk melihat adanya perubahan takterlihat pada
ekstremitas yang sakit.
2. Pemeriksaan darah :
Menyatakan perdarahan (penurunan hemoglobin dan hematokrit) dan
3.
a.
b.
c.
d.
e.

kerusakan otot peningkatan aspartat trasaminase (Muscari, 2005).


Pemeriksaan/ tes diagnostic :
X-RAY
MRI
CT SCAN
Darah lengkap
Bone scan
Akan menunjukkan penambahan aktivitas seluler pada area fraktur.
Berguna untuk daerah di mana fraktur tidak mudah terlihat atau untuk
hairline frakturyang sebelumnya tidak terdiagnosa. Selain itu, bone scan
juga dapat menunjukkan fraktur stress (Corwin, 2007).

PENATALAKSANAAN FRAKTUR
1) Penalataksanaan awal
Sebelum dilakukan pengobatan pada satu fraktur, maka diperlukan.
a. Pertolongan pertama
Menutup luka dengan verban bersih dan imobilisasi fraktur pada
anggota gerak yang terkena agar penderita merasa nyaman dan
mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan ambulans.
b. Penilaian klinis
Perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka itu tembus tulang,
adakah trauma pembuluhdarah / saraf ataukah trauma lainnya.
c. Resusitasi
Kebanyakan penderita fraktur multiple tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada
frakturnya sendiri, berupa pemberian transfuse darah dan cairan
lainnya.
d. Penatalaksanaan ortopedi / Pembedahan
Definisi Pembedahan
Pembedahan adalah penyembuhan penyakit dengan jalan
memotong, mengiris anggota tubuh yang sakit. Pembedahan

dilakukan dengan anestesi, individu dengan masalah kesehatan


yang memerlukan intervensi pembedahan mencakup pula
pemberian anestesia atau pembiusan yang meliputi anestesi
lokal, regional atau umum (Smeltzer & Bare, 2001). Proses
pembedahan memerlukan perawatan perioperatif yang terdiri
dari pra-operasi, intra-operasi, pasca-operasi sehingga dapat
memberi kenyamanan pada pasien setelah operasi dan tidak
terjadi infeksi nosokomial. Pembedahan juga memerlukan
tindakan anestesi untuk menghilangkan kesadaran dan nyeri
untuk sementara (Hidayat, 2008).
Jenis Pembedahan
Menurut Smeltzer & Bare (2001), pembedahan dibagi menjadi 3
macam

yaitu

pembedahan

menurut

faktor

resiko

yang

ditimbulkan, pembedahan menurut tujuannya dan berdasarkan


urgensinya.
a) Klasifikasi pembedahan menurut faktor resiko yang ditimbulkan

adalah sebagai berikut:


Minor
Merupakan pembedahan yang menimbulkan trauma fisik yang
minimal dengan resiko kerusakan yang minimal. Contoh dari
pembedahan minor adalah insisi dan drainase kandung kemih

atau sirkumsisi.
Mayor
Merupakan pembedahan yang dapat menimbulkan trauma fisik
yang luas, resiko kematian yang sangat serius. Contoh dari
pembedahan mayor adalah laparotomi total, bedah caesar,

mastektomi, bedah torak, bedah otak.


b) Pembedahan menurut tujuannya dibagi menjadi:
Diagnostik
Digunakan untuk mengetahui penyakit yang diderita seperti

ketika dilakukan biopsi atau laparotomi eksplorasi.


Kuratif
Dilakukan sebagai pengobatan untuk menyembuhkan penyakit
seperti ketika mengeksisi masa tumor atau mengangkat

apendiks yang mengalami inflamasi.


Reparatif
Digunakan untuk memperbaiki deformitas atau menyambung
daerah yang terpisah.
Paliatif

Digunakan untuk mengurangi gejala tetapi tidak menyembuhkan


seperti ketika menghilangkan nyeri. rekonstruksi atau kosmetik
Untuk memperbaiki bentuk tubuh seperti ketika melakukan
perbaikan wajah.
c) Klasifikasi pembedahan berdasarkan waktunya menurut Baradero
et al (2008) yaitu:
Kedaruratan
Prosedur bedah

yang

harus

segera

dilakukan

untuk

menyelamatkan nyawa atau bagian tubuh.


Urgen
Prosedur bedah yang tidak direncanakan dan memerlukan
intervensi tepat waktu, tetapi tidak segera membahayakan nyawa

pasien.
Elektif
Prosedur bedah yang bisa direncanakan dan tidak terlalu

penting.
Konsep General Aenesthesia
1. Definisi General Aenesthesia
Kata anestesi ditemukan oleh Oliver Wendell Holmes yang
artinya menggambarkan keadaan tidak sadar sementara karena
obat yang dimasukkan ke dalam tubuh yang bertujuan untuk
menghilangkan rasa nyeri selama pembedahan (Latief, 2002).
General Aenesthesia adalah anestesi yang dilakukan dengan
memblok pusat kesadaran otak untuk menghilangkan kesadaran,
menimbulkan relaksasi dan hilangnya rasa. Metode pemberian
anestesia umum adalah dengan inhalasi dan intravena. Semua
zat general aenesthesia menghambat susunan saraf secara
bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan
yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung
pusat vasomotor dan pusat pernapasan yang vital. General
aenesthesia dapat menekan pernapasan yang pada anestesi
dalam terutama ditimbulkan oleh halotan, enfluran dan isofluran.
Efek ini paling ringan pada N2O dan eter (Dobson, 1994).
Antikolinergik untuk menghindari hipersekresi bronkus dan
kelenjar liur terutama pada anestesia inhalasi. Obat yang dapat
digunakan misalnya sulfas atropin dan skopolamin.
2. Tahapan General Aenesthesia
Guedel (dalam Smeltzer & Bare 2001) membagi stadium general
aenesthesia menjadi 4 tahap yaitu:

a) Stadium I (analgesi), kesadaran belum hilang.


b) Stadium II (eksitasi), pasien sudah tidak

sadar

tetapi

menunjukkan kegelisahan, pernapasan menjadi kurang teratur


dan irregular. Bola mata bergerak ke kiri dan ke kanan secara
tidak teratur sedangkan pupil melebar seperti orang yang sangat
ketakutan, reaksi pupil terhadap cahaya jelas ada, reflex kelopak
mata, konjungtiva dan kornea ada. Ada hipersekresi ludah, lendir
dan mukosa mata, mungkin pasien dapat muntah.
c) Stadium III (pembedahan), pada tahap ini pembedahan bisa
dilakukan, otot lurik sudah lemas. Kelemasan otot mulai dari
kaudal di otot dinding perut, naik melalui otot interkostal hingga
ke diafragma. Reflex kelopak mata, konjungtiva, pupil, kornea,
refleks pupil terhadap cahaya berturut-turut hilang, pada kondisi
ini pupil melebar sampai maksimal. Berdasarkan tanda-tandanya

stadium III dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:


Tingkat 1: pernapasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata
yang tidak menurutkehendak, miosis, pernapasan dada dan
perut seimbang, belum tercapai relaksasi otot lurik yang

sempurna.
Tingkat 2: pernapasan teratur tapi kurang dalam dibandingkan
dengan tingkat 1, bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar
relaksasi otot sedang, refleks laring hilang sehinggadapat

dikerjakan intubasi.
Tingkat 3: pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan
dada
karena otot intercostal mulai mengalami paralisis, relaksasi otot

lurik
sempurna, pupil lebih lebar tapi belum maksimal.
Tingkat 4: pernapasan perut sempurna karena kelumpuhan otot
interkostal sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil
sangat lebar dan refleks cahaya hilang. Apabila stadium III
tingkat 4 sudah tercapai, hendaknya harus berhatihati jangan
sampai pasien masuk dalam stadium IV. Untuk dapat mengenali
keadaan ini harus diperhatikan sifat dan dalamnya pernapasan,
lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal dan mulai

menurunnya tekanan darah;


d) Stadium IV (paralisis medulla oblongata), dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III tingkat 4.

Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut


jantung berhenti dan akhirnya terjadi kematian, kelumpuhan
pernapasan pada stadium ini tidak dapat teratasi dengan
pernapasan buatan.

3.

Teknik General Aenesthesia


Teknik general aenesthesia di dunia kedokteran dapat dilakukan
1

dengan 2 cara menurut Boulton & Blogg (1994), yaitu:


Parenteral
Obat anestesi masuk ke dalam darah dengan cara suntikan IV
atau IM. Untuk selanjutnya dibawa darah ke otak dan
menimbulkan keadaan narkose. Obat anestesi yang sering

digunakan adalah:
Tiopental
Tiopental (pentothal, tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung
atau bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam
ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml=25 mg).
Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis
3-7 mg/kg dan disuntikkan perlahan-lahan dihabiskan dalam 3060 detik. Penggunaannya untuk induksi, selanjutnya diteruskan
dengan inhalasi. Dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran aliran
darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial dan diduga dapat
melindungi otak akibat kekurangan oksigen. Tiopental di dalam
darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk
bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis
harus dikurangi. Tiopental dapat di berikan secara kontinyu pada
kasus tertentu di unit perawatan intensif, tetapi jarang digunakan
untuk anestesia intravena lokal. Cara pemberian larutan
thiopental 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai
penderita tidur, pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita
dicubit tidak bereaksi, operasi dapat dimulai. Selanjutnya

suntikan dapat ditambah secukupnya apabila perlu sampai 1

gram.
Propofol
Propofol (dipprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml
= 10mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 12 mg /kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis
rumatan untuk anesthesia intravena total 4-13 mg/kg per jam,
atau 100-200 mcg/kgbb/menit dengan syringe pump dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2mg / kg atau 25- 50

mcg/kgbb/menit syringe pump.


Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis
induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1

mg/kg/menit.
Inhalasi
Anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang
mudah

menguap

sebagai

zat

anestesi

melalui

udara

pernapasan. Obat anestesi dihirup bersama udara pernapasan


ke dalam paru-paru, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak
mengakibatkan narkose. Hampir semua anestesi mengakibatkan
sejumlah efek samping misalnya, menekan pernapasan, paling
kecil pada N2O, eter dan trikloretikan, mengurangi kontraksi
jantung, merusak hati, merusak ginjal (Boulton & Blogg, 1994).
Menurut Majid et al, (2011) Obat-obat yang dipakai dalam

anestesi inhalasi adalah:


Nitrogen Monoksida (N2O)
Nirogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa, dan lebih berat daripada udara. Gas ini
tidak mudah terbakar, tetapi bila dikombinasi dengan zat
anestetik yang mudah terbakar akan memudahkan terjadinya
ledakan misalnya campuran eter dan N2O. Nitrogen monoksida
sukar larut dalam darah. Relaksasi otot kurang baik sehingga

untuk mendapatkn relaksasi yang cukup, sering ditambahkan

obat pelumpuh otot.


Eter (dietileter)
Eter merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap,
berbau tidak enak, mengiritasi saluran napas, mudah terbakar,
dan mudah meledak. Di udara terbuka eter teroksidasi menjadi
peroksida dan bereaksi dengan alkohol membentuk asetaldehid,
maka eter yang sudah terbuka beberapa hari sebaiknya tidak
digunakan lagi. Eter merupakan anestetik yang sangat kuat.
Kadar 10-15 mg% dalam darah arteri sudah terjadi analgesia
tetapi pasien masih sadar. Eter pada kadar tinggi dan sedang
menimbulkan relaksasi otot dan hambatan neuromuscular yang
tidak dapat dilawan oleh neostigmin. Zat ini meningkatkan
hambatan neuromuskular oleh antibiotik seperti neomisin,
streptomisin, polikmiksin, dan kanalmisin. Eter menyebabkan
iritasi saluran napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus.

Eter menekan kontraktilitas jantung.


Induksi halotan
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran
N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau
campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah

tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.


Induksi sevofluran
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi
sampai

vol

%.

Seperti

dengan

halotan

konsentrasi

dipertahankan sesuai kebutuhan.


3 Pengaruh General Aenesthesia pada tubuh
Pengaruh General Anesthesia pada tubuh menurut Katzung &

Berkowitz (2001) antara lain:


Pernapasan
Pasien dengan keadaan tidak sadar dapat terjadi gangguan
pernapasan dan peredaran darah. Bila hal ini terjadi pada waktu
anestesi maka pertolongan resusitasi harus segera diberikan
untuk mencegah kematian. Obat anestesi inhalasi menekan
fungsi mukosilia saluran pernapasan menyebabkan hipersekresi

ludah dan lendir sehingga terjadi penimbunan mukus di jalan

napas.
Kardiovaskuler
Keadaan anestesi, jantung dapat berhenti secara tiba-tiba.
Jantung dapat berhenti disebabkan oleh karena pemberian obat
yang berlebihan, mekanisme reflek nervus yang terganggu,
perubahan keseimbangan elektrolit dalam darah, hipoksia dan
anoksia, katekolamin darah berlebihan, keracunan obat, emboli
udara dan penyakit jantung. Perubahan tahanan vaskuler
sistemik

(misalnya

peningkatan

aliran

darah

serebral)

menyebabkan penurunan curah jantung.


Gastrointestinal
Dapat terjadi regurgitasi yaitu suatu keadaan keluarnya isi
lambung ke faring tanpa adanya tanda-tanda. Hal ini disebabkan
oleh adanya cairan atau makanan dalam lambung, tingginya
tekanan darah ke lambung dan letak lambung yang lebih tinggi
dari letak faring. General Anesthesia juga menyebabkan gerakan

peristaltik usus akan menghilang.


Ginjal
Anestesi menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal yang
dapat menurunkan filtrasi glomerulus sehingga dieresis juga

menurun.
Perdarahan
Selama pembedahan pasien dapat mengalami perdarahan,
perdarahan dapat menyebabkan menurunnya tekanan darah,
meningkatnya kecepatan denyut jantung dan pernapasan,
denyut nadi melemah, kulit dingin, lembab, pucat serta gelisah.

Terdapat 2 macam penatalaksanaan pembedahan yang sering


dilakukan yaitu ORIF dan OREF. Berikut akan dijelaskan mengenai
ORIF dan OREF.
ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi), open reduksi merupakan
suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah / fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak
asalnya. Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat,
sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahan

kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang


yang solid terjadi.
ORIF adalah Alat bantu jalan dan mobilisasi yaitu alat yang di
gunakan untuk membantu klien supaya dapat berjalan dan bergerak.

TUJUAN TINDAKAN
- Untuk membantu klien berjalan
- Untuk membantu klien bergerak
- Menjaga supaya tidak terjadi fraktur lagi
INDIKASI
- Pasien penderita dan pasca stroke
- Pasien yang menderita kelumpuhan
- Pasien yang menderita fraktur
KONTRA INDIKASI
- Pasien dengan penurunan kesadaran
- Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
- Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
JENIS ALAT YANG DIGUNAKAN
- Walker
Adalah : Suatu alat yang sangat ringan, mudah dipindahkan setinggi
pinggang, dan terbuat dari pipa logam. Mempunyai empat penyangga
-

dan kaki yang kokoh.


Tripod
Adalah : memberi songkongan yang terbesar yang digunakan pada
kaki yang mengalami sebagian atau keseluruhan paralisis atau
hemiplegia (paralisis pada satu sisi). Alat bantu yang memiliki tiga
kaki, yang biasa digunakan untuk orang yang kondisinya sudah

bagus.
Kruk
Adalah : alat bantu jalan yang berbentuk segitiga sama kaki, dalam
penggunaannya dihimpitkan di ketiak. Dalam penggunaan kruk
apabila naik tangga kaki yang sakit terlebih dahulu, jika turun

sebaliknya. Kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi.


Penggunaannya dapat temporer, seperti pada setelah kerusakan
ligamen dilutut. Kruk dapat digunakan permanen (klien paralisis
ekstremitas bawah). Kruk terbuat dari kayu atau logam. Ada dua tipe
kruk :
Strand memilki sebuah pegangan tangan dan pembalut logam
yang pas memgelilingi lengan bawah, kedua-duanya harus diatur
sesuai dengan tinggi klien.
Kruk Aksila terbuat dari kayu. Kruk Aksila mempunyai garis
permukaan yang seperti bantalan pada bagian atas, dimana berada
tepat dibawah aksila. Pegangan tangan berbentuk batang yang
dipegang setinggi telapak tgangan untuk menyokong tubuh. Ukuran
panjang kruk harus diatur yang sesuai, dan klien harus diajarkan
menggunakan kruk mereka dengan aman, mencapai kestabilan gaya
-

berjalan naik turun tangga dan bangkit dari duduk.


Kursi Roda
Adalah : alat bantu yang digunakan untuk pasien
Kaki palsu
Adalah : alat bantu jalan yang menyerupai kaki yang terbuat dari fiber
dan aluminium.
Tongkat
Adalah : alat yang ringan, dapat dipindahkan, setinggi pinggang dan
terbuat dari kayu atau logam.

PROSEDUR TINDAKAN
- Walker
Klien memgang pemegang tangan pada batang di bagian atas,
-

melangkah, memindahkan walker lebih lanjut dan melangkah lagi.


Tripod
Tripod diletakan dekat kaki yang fraktur, kemudin kaki yang sehat

melangkah dan kaki sakit yang melangkah.


Kruk
Dalam penggunaan kruk apabila naik tangga kaki yang sakit terlebih

dahulu melangkah, jika turun kaki yang sehat.


Kursi Roda
Posisi kursi 45 derajat dari tempat tidur, rem terkunci, memindahkan

kaki istirahat.
Kaki Palsu
Memasukkan Stockinett pelapis puntung dulu lalu membantu pasien
memasukkannya ke dalam socket.
Kemudian pasien harus dilatih mengencangkan menggunakan
suspensi kemudian dilatih untuk berjalan dengan menggunakan kaki

barunya.
Proses ini memang memakan waktu dan beaya sehingga prosthesis
kaki yang baik.
Tongkat
Tongkat ini harus dipakai di sisi tubuh yang terkuat. Untuk sokongan

maksimum ketika berjalan, klien menempatkan tongkat berada di


depan sejauh 1 sampai 25 cm, mennjaga berat badan pada kedua
kaki klien. Kaki yang terlemah bergerak maju dengan tongkat
sehingga berat badan dibagi antara tongkat dan kaki yang terkuat.
Kaki yang terkuat maju setelah tongkat szehingga kaki terlemah dan
berat badan disokong oleh tongkat dan kaki terlemah.
PERSIAPAN ATAU PROSEDUR DI RUANG OPERASI\
a. Persiapan alat dan Ruangan
- Alat tidak steril : Lampu operasi, Cuter unit, Meja operasi, Suction,
Hepafik, Gunting
- Alat Steril : Duk besar 3, Baju operasi 4, Selang suction steril, Selang
cuter Steril,side 2/0, palain 2/0,berbagai macam ukuran jarum
- Set Orif :
Koker panjang 2
Klem bengkok 6
Bengkok panjang 1
Pinset cirugis 2
Gunting jaringan 1
Kom 2
Pisturi 1
Hand mest
Platina 1 set
Kassa steril
Gunting benang 2
Penjepit kasa 1
Bor 1
Hak Pacul 1
Hak Sedang 1
Hak Duk 3
b.
-

Prosedur Operasi :
Pasien sudah teranastesi GA
Tim bedah melakukan cuci tangan (Scrub)
Tim bedah telah memakai baju operasi (Gloving)
Lakukan disinfeksi pada area yang akan dilakukan sayatan dengan

arah dari dalam keluar, alkohol 2x, betadine 2x


- Pasang duk pada area yang telah di disinfeksi (Drapping)
- Hidupkan cuter unit
- Lakukan sayatan dengan hand mest dengan arah paramedian

- Robek subkutis dengan menggunakan cuter hingga terlihat tulang


-

yang fraktur
Lakukan pengeboran pada tulang
Pasang platina
Lakukan pembersihan bagian yang kotor dengan cairan NaCl
Jahit subkutis dengan plain 2/0
Jahit bagian kulit dengan side 2/0
Tutup luka dengan kassa betadine, setelah itu diberi hepafik
OREF
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana
prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur ,
sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian
dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain.
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang
stabil untuk fraktur kominutif ( hancur atau remuk ) . Pin yang telah
terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya , kemudian dikaitkan
pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien
yang mengalami kerusakan fragmen tulang.

INDIKASI
- Fraktur terbuka grade II dan III
- Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang
parah.

Fraktur yang sangat kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.


Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok.

Misal : infeksi pseudoartrosis ( sendi palsu ).


- Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.
- Kadang kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus.
KEUNTUNGAN DAN KOMPLIKASI
Keuntungan eksternal fiksasi adalah :
Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien , mobilisasi
awal da latihan awal untuk sendi di sekitarnya sehingga komplikasi
karena disuse dan imobilisasi dapat diminimalkan
Sedangkan komplikasinya adalah :.
- Infeksi di tempat pen ( osteomyelitis ).
- Kekakuan pembuluh darah dan saraf.
- Kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi delayed union atau
non union .
- Emboli lemak.
- Overdistraksi fragmen.

PERSIAPAN OREF
- Persiapan psikologis
Penting sekali mempersiapkan pasien secara psikologis sebelum
dipasang fiksator eksternal Alat ini sangat mengerikan dan terlihat
asing bagi pasien. Harus diyakinkan bahwa ketidaknyamanan karena
alat ini sangat ringan dan bahwa mobilisasi awal dapat diantisipasi
untuk menambah penerimaan alat ini, begitu juga keterlibatan pasien
pada perawatan terhadap perawatan fiksator ini.
- Pemantauan terhadap kulit, darah, atau pembuluh saraf.
Setelah pemasangan fiksator eksternal , bagian tajam dari fiksator atau
pin harus ditutupi untuk mencegah adanya cedera akibat alat ini. Tiap
tempat pemasangan pin dikaji mengenai adanya kemerahan ,
keluarnya cairan, nyeri tekan, nyeri dan longgarnya pin.Perawat harus
waspada terhadap potensial masalah karena tekanan terhadap alat ini
terhadap kulit, saraf, atau pembuluh darah.
- Pencegahan infeksi
Perawatan pin untuk mencegah infeksi lubang pin harus dilakukan
secara rutin. Tidak boleh ada kerak pada tempat penusukan pin,

fiksator harus dijaga kebersihannya. Bila pin atau klem mengalami


pelonggaran , dokter harus diberitahu. Klem pada fiksator eksternal
tidak boleh diubah posisi dan ukurannya.
- Latihan isometrik
Latihan isometrik dan aktif dianjurkan dalam batas kerusakan jaringan
bisa menahan. Bila bengkak sudah hilang, pasien dapat dimobilisasi
sampai batas cedera di tempat lain. Pembatasan pembebanan berat
badan diberikan untuk meminimalkan pelonggaran puin ketika terjadi
tekanan antara interface pin dan tulang. (Ramadhan: 2008)
2) Fase Penyembuhan Fraktur
Secara ringkas fase penyembuhan fraktur dibagi menjadi 5 tahap sebagai
berikut :
1. Stadium Pembentukan Hematom :

Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari


pembuluh darah yang robek

Hematom dibungkus jaringan lunak sekitar (periosteum & otot)

Terjadi sekitar 1-2 x 24 jam (48-72 jam)

2. Stadium Proliferasi Sel / Inflamasi :

Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi


fraktur

Sel-sel ini menjadi precursor osteoblast

Sel-sel ini aktif tumbuh ke arah fragmen tulang

Proliferasi juga terjadi di jaringan sumsum tulang

Terjadi setelah hari ke-2 kecelakaan terjadi (2-24 hari)

3. Stadium Pembentukan Kallus :

Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus)

Kallus memberikan rigiditas pada fraktur

Jika terlihat massa kallus pada X-ray berarti fraktur telah menyatu

Terjadi setelah 6-10 hari setelah kecelakaan terjadi

4. Stadium Konsolidasi :

Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi. Fraktur teraba telah


menyatu

Secara bertahap menjadi tulang mature

Terjadi pada minggu ke 3-10 setelah kecelakaan

5. Stadium Remodeling :

Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks fraktur

Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklast

Pada anak-anak remodeling dapat sempurna, pada dewasa masih ada


tanda penebalan tulang.

Proses penyembuhan tulang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,


mencakup: usia, lokasi dan jenis fraktur, kerusakan jaringan sekitar fraktur,
banyaknya gerakan pada fragmen fraktur, pengobatan, adanya infeksi atau
penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus), derajat trauma, gap
antara ujung fragmen dan pendarahan pada lokasi fraktur (Rasjad, 2007).
3) Prinsip pengobatan ada 4R
a. Recognition : diagnosis dan penilaian fraktur
Menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan
radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan, lokalisasi
fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan, dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan
sesudah pengobatan.
b. Reduction
Reduksi fraktur berarti

mengembalikan

fragmen

tulang

pada

kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah


reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka.
- Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang
-

ke posisinya
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang

terjadi.
Reduksi terbuka, dengan pendekatan pembedahan, fragmen
tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, sekrup,
plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan

fragmen

tulang

dalam

posisinya

sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi.


c. Retention : Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau
internal
- Fikasasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
-

pin, dan teknik gips


Fiksasi internal dapat dilakukan implant logam yang berperan
sebagai bidai internal untuk mengimobilisasi fraktur

Indikasi fiksasi internal sering menjadi bentuk terapi yang paling di


perlukan. Indikasi utamanya adalah:
1.Fraktur yang tidak dapat di reduksi kecuali dengan operasi
2. Fraktur yang tak stabil secara bawaan dan cenderung
mengalami pergeseran kembali setelah reduksi (misalnya fraktur
pertengahan batang pada lengan bawah dan fraktur pergelangan
kaki yang bergeser); selain itu, juga fraktur yang cenderung perlu
di tarik terpisah oleh kerja otot (misalnya fraktur melintang pada
patella atau olecranon)
3. Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan-lahan,
terutama fraktur pada leher femur.
4. Fraktur patologik, di mana penyakit tulang dapat mencegah
penyembuhan.
5. Fraktur multiple, bila fiksasi dini (dengan fiksasi internal atau
luar) mengurani resiko komplikasi umum dan kegagalan organ
pada berbagai sistem.
6. Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (penderita
paraplegia, pasien dengan cedera multiple) dan sangat lansia).
d. Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal
mungkin, yaitu dengan
- Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
- Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
- Memantau status neurologi
- Mengontrol kecemasan dengan nyeri
- Tarikan isometric dan setting otot
- Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
- Kembali ke aktivitas secara bertahap
4) Prinsip pembidaian
Pembidaian adalah tindakan untuk mempertahankan sebagian/ seluruh
bagian anggota gerak dalam posisi tertentu dengan alat. Pembidaian
lazim dilakukan untuk mobilisasi patah tulang, dislokasi (sendi yang
bergasar) dan juga cedera jaringan lunak di sekitar sendi. Pembidaian
sendiri bisa dilakukan dengan alat-alat sederhana yang ada di sekitar
seperti kain ,selendang, jarik, bantal, kayu, atau alat bidai khusus bila
berada di fasilitas kesehatan. Tujuan dari pembidaian adalah
a. Mengurangi / menghilangkan nyeri dengan cara

mencegah

pergerakan fragmen tulang.


b. Mencegah kerusakan lebih lanjut jaringan lunak akibat pergerakan
ujung fragmen tulang.

c. Mencegah laserasi kulit oleh ujung fragmen tulang (fraktur tertutup


jadi terbuka)
d. Mencegah gangguan aliran darah akibat penekanan ujung fragmen
tulang pada pembuluh darah
e. Mengurangi / menghentikan pendarahan akibat kerusakan jaringan
lunak.
Prinsip pembidaian adalah, sebagai berikut:
a. Buka pakaian yang menutup bagian anggota tubuh yang akan di bidai
b. Lakukan pemeriksaan status vascular (denyut nadi dan pengisian
kapiler) serta status motorik dan sensorik pada distal trauma
c. Tutup semua luka dengan kasa steril atau dengan kain yang bersih
d. Pembidaian harus mencakup 2 sendi dibagian proksimal dan distal
dari fraktur tersebut
e. Semua bidai harus diberi bantalan lunak agar tidak merusak jaringan
f. Selama pembidaian anggota gerak harus ditopang dengan tangan
untuk menghindari trauma lebih lanjut
5) Pemberian edukasi untuk pemantauan neurovaskuler
a. Pasien diminta untuk sering memantau ekstremitas yang terkena,
mengenai

adanya

nyeri,

pembengkakan,

perubahan

warna

(pucat/kebiruan), parastesia (kesemutan dan kebas) denyut nadi yang


menurun atau hilang, paralisis, dan dingin. Segera hubungi dokter
b. Membandingkan ekstrimitas yang terpasang gips dengan ekstremitas
normal lainnya
c. Memberi tahu pada pasien, bahwa kondisi yang normal ketika
dipasang gips adalah adanya ketidaknyamanan, warna merah muda,
hangat bila diraba, respon pengisian kapiler cepat, kemampuan
menggerakkan jari tangan dan kaki dan perabaan yang normal
d. Pasien didorong untuk menggerakkan jari tangan dan kakinya setiap
jam untuk merangsang peredaran darah
e. Memberi tahu pasien bahwa sangat penting untuk mengetahui secara
dini gangguan peredaran darah atau fungsi syaraf untuk mencegah
kehilangan fungsi dan kemungkinan amputasi
Pengkajian teratur dan sering memantau status neurovaskuler harus
dilakukan. Bila data menunjukkan adanya potensi terjadinya kompartemen
sindrom, perawat menyesuaikan ekstremitas sedemikian rupa sehingga tidak
melebihi tinggi jantung untuk memperbaiki perfusi arterial, segera memberi
tahu dokter, dan mengantisipasi penanganan seperti melonggarkan balutan
yang terlalu ketat.

TINDAKAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF


1. Keperawatan Preoperatif
Adapun tindakan keperawatan yang perlu diberikan pada pasien preoperatif
menurut Potter & Perry ( 2005 ), pada hari pembedahan diantaranya:
a. Memeriksa isi rekam medis dan melengkapi pencatatan, seperti
b.
c.
d.
e.
f.
g.

pemeriksaan penunjang dan inform consent


Melakukan pengukuran tanda tanda vital
Melakukan pembersihan pasien
Melakukan pemeriksaan rambut dan kosmetik
Melakukan pemeriksaan prostese
Mempersiapkan usus dan kandung kemih
Melakukan pemasangan stoking anti emboli atau alat kompresi

sekuensial
h. Meningkatkan martabat pasien dengan memberikan privasi terhadap
klien
i. Melakukan prosedur khusus seperti pemasangan NGT
j. Menyimpan barang barang berharga pasien
2. Keperawatan Intraoperasi
Tahap intra-operasi dimulai dengan pemindahan pasien ke tempat tidur
di kamar operasi sampai pasien dipindahkan ke unit pasca-anestesia.
Pembedahan harus dilakukan dengan teknik aseptik di kamar operasi
karena pembedahan rentan untuk terjadinya infeksi nosokomial.
Koordinasi di antara tim bedah sangat perlu agar asuhan pasien intraoperasi

dapat

diberikan

dengan

aman

dan

efektif.

Sebelum

pembedahan, diberikan obat anestesi untuk menghilangkan nyeri


sementara (Baradero et al, 2008).
3. Keperawatan Pascaoperasi
Tahap pasca-operasi dimulai dari memindahkan pasien dari ruangan
bedah ke unit pasca-operasi dan berakhir saat pasien pulang. Pada
tahap ini perawat berusaha untuk memulihkan fungsi pasien seoptimal
dan secepat mungkin (Baradero et al, 2008). Pasca-operasi adalah
masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya

(Wibowo,

2001).

Pada

perawatan

pasca-operasi

diperlukan dukungan untuk pasien, menghilangkan rasa sakit,


antisipasi dan mengatasi segera komplikasi, memelihara komunikasi
yang baik dengan tim, rencana perawatan disesuaikan dengan
kebutuhan pasien (Lestari, 2008). Sebelum pasien dipindahkan ke
ruangan

(bangsal)

setelah

dilakukan

operasi

terutama

yang

menggunakan general aenesthesia, maka kita perlu melakukan

penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah


dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
pemulihan (recovery room).
4. Tahapan Keperawatan Pascaoperasi
Majid et al, (2011) membagi perawatan pasca-operasi meliputi
beberapa tahapan, diantaranya adalah:
a) Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau
unit perawatan pasca-operasi (RR: Recovery Room) memerlukan
pertimbanganpertimbangan khusus. Pertimbangan itu diantaranya
adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan.
Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien
pasca operatif dipidahkan. Selain itu pasien diposisikan sehingga
ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang
drainase. Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien
digerakkan dari satu posisi ke posisi lainnya. Posisi litotomi ke
posisi horizontal atau dari posisi lateral ke posisi terlentang.
Pemindahan pasien yang telah dianastesi ke brankard dapat
menimbulkan

masalah

gangguan

vaskuler.

Pasien

harus

dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien


dipindahkan ke barankard atau tempat tidur, gaun pasien yang
basah (karena darah atau cairan lainnnya) harus segera diganti
dengan gaun yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama
perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan
pengikatan diatas lutut dan siku serta side-rail harus dipasang
untuk mencegah terjadi resiko injuri, untuk mempertahankan
keamanan dan kenyamanan pasien. Selang dan peralatan
drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat berfungsi
dengan optimal. Proses transportasi ini merupakan tanggung
jawab perawat sirkuler dan perawat anastesia dengan koordinasi
dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.
b) Perawatan pasca-operasi di ruang pemulihan.
Pasien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar (recovery
room: RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami
komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke
ruang perawatan (bangsal perawatan). Perbandingan perawatpasien saat pasien dimasukkan ke RR adalah 1:1 (Baradero et al,

2008) Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk


memberikan penilaian terhadap kondisi pasien. Jenis peralatan
yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan : oksigen,
laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal,
ventilator mekanik dan peralatan suction. Selain itu, di ruang ini
juga harus terdapat alat yang digunakan untuk memantau status
hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan
hemodinamika, seperti: apparatus tekanan darah, peralatan
parenteral, plasma ekspander, set intravena, set pembuka jahitan,
defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-bahan balutan bedah,
narkotika dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan
peralatan drainase. Pasien pasca-operasi juga harus ditempatkan
pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta
memudahkan akses bagi pasien, seperti: pemindahan darurat.
Kelengkapan yang digunakan untuk mempermudah perawatan,
seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak
penyimpanan catatan medis dan perawatan. Kriteria penilaian
yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk
dikeluarkan dari RR adalah: fungsi pulmonal yang tidak terganggu,
hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat,
tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah, orientasi pasien
terhadap tempat, waktu dan orang, haluaran urine tidak kurang
dari 30 ml/jam, mual dan muntah dalam kontrol, nyeri minimal
(majid

et

al,

2011).

Penilaian

saat

di

ruang

pemulihan

menggunakan penilaian Aldrete Score dapat di lihat di tabel.

Catatan:

nilai 9 atau lebih boleh dibawa ke rumah dengan kondisi

pembedahan/tindakan mungkinkan;
nilai 7 ke ruang perawatan bila nilai pernapasan 2.
nilai 5 ke ICU.
Pasien tetap berada dalam RR sampai pulih sepenuhnya dari
pengaruh
anestesi, yaitu pasien telah mempunyai tekanan darah yang stabil,
fungsi pernapasan adekuat, saturasi O2 minimum 95%, dan
tingkat kesadaran yang baik.
Beberapa petunjuk tentang

keadaan

yang

memungkinkan

terjadinya situasi krisis antara lain: TD : tekanan sistolik < 90 100


mmHg atau > 150 - 160 mmHg, diastolik < 50 mmHg atau > dari
90 mmHg; heart rate (HR) : < 60 x /menit atau > 10 x/menit; suhu :
suhu > 38,3 o C atau kurang < 35 oC; meningkatnya kegelisahan
pasien dan pasien tidak BAK lebih dari 8 jam pasca-operasi
(Gruendemann & Billie, 2005). Penilaian saat di ruang pemulihan
menggunakan penilaian Steward Score (anak-anak) dapat dilihat
di tabel.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi E3. Jakarta: EGC.
Keogh J Jackson D dan Digulio M. 2007. Medical Surgical Nursing Demystified a
self Teaching Guide. Mc Graw: flill.
Muscari Mary E. 2005.panduan belajar : keperawatan pediatric. Jakarta :EGC
Padilla, B dkk. 2012. American Journal Of Transplantation. Volume 12, issue 7.
page;1956
Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone.
Makassar: 2007. pp. 352-489
Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah ed 2. Jakarta: EGC. 2004.
p; 866-7.
Smeltzer C. S dan Bare Brenda. 2003. Brunner & Suddath Textbook of Medical
Surgical Nursing 10th edition. Philadelpia: Lippicont.
Tambayong, Jan. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Gibson, John. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Ed 2. Jakarta:
EGC.
Sarah, Jennifer.

2004. Risk Factors For Proximal Humerus Fracture.

http://aje.oxfordjournals.org/content/160/4/360.full. Diakses tanggal 07


Juni 2015.
Filipov,Orlin, 2014. Epidemiology and Social Burden of the Femoral Neck
Fractures. Journal of IMAB- Annual Proceeding (Scientific Papers) vol
20 issue 4.

You might also like