Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Tito Wiga Tri Indrayatno
(10700172)
Pembimbing:
dr. Dini Irawati, Sp.M
dr. Nur Atina
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................... 4
2.1 ANATOMI ........................................................................ 4
2.2 EPIDEMIOLOGI .............................................................. 8
2.3 ETIOLOGI ........................................................................ 9
2.4 PATOFISIOLOGI ............................................................ 10
2.5 GEJALA KLINIS ............................................................. 11
2.6 PEMERIKSAAN FISIK ................................................... 11
2.7 DIAGNOSA ..................................................................... 13
2.8 DIAGNOSA BANDING .................................................. 13
2.9 TERAPI ............................................................................ 15
2.10 KOMPLIKASI ............................................................... 18
BAB III KESIMPULAN ................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium
cukup sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya matahari atau
penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar
matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan alergen, iritasi
berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering terdapat pada orang
yang sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan berangin, penuh sinar
matahari, berdebu dan berpasir. 13
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral
di sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea
digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas
sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil
kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva
dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva inimengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet.2
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
dibawahnya.
Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. 2
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1.
Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
endotel
melekat pada
membrane
descement
melalui
I. Pterigium
Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan mirip sayap,
khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam fisura
interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian puncak
(apeks) lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak dapat digerakkan
sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera, dan kemudian bagian
dasarnya menyatu dengan konjungtiva. 12
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari
2% untuk daerah diatas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah
yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
2.
2.3 Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari,
dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan
suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.2
Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan
pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain
yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini. 12
2.4 Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet,
debu,
kekeringan
mengakibatkan
terjadinya
penebalan
dan
10
11
A.
Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast,
menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea
B.
C.
Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea
dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian
kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4
(Gradasi klinis menurut Youngson ):
Derajat 1
Derajat 2
2.7 Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau
kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin
telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada
akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan
12
dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih
kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan
terhadap sinar matahari atau partikel debu.11
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus
terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan
pterygium tersebut.11 Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada
pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.10
2.8 Diagnosa Banding
1. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan.6
13
2.
Pseudopterigium
Sebab
Pterigium
Pseudopterigium
Proses degeneratif
Reaksi tubuh
penyembuhan dari luka
bakar, GO, difteri, dll.
Sonde
Dapat dimasukkan
bawahnya
dibawahnya
14
Kekambuha
Residif
Tidak
Dewasa
Anak
n
Usia
2.9 Terapi
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 12 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan
pada kornea.10
2.
Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6
B. Teknik Pembedahan
15
Tantangan
utama
dari
terapi
pembedahan
pterigium
adalah
2.
minimal
jaringan
LawrenceW.
dan
Hirst,
orientasi
MBBS,
akurat
dari
dari
Australia
16
pterygia
primer
dan
setinggi
37,5
persen
autograft
konjungtiva
adalah
pelestarian
bulbar
sekarang
menganjurkan
penggunaan
MMC
hanya
17
2.
3.
4.
2.10 Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut
Gangguan penglihatan-Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Dry Eye sindrom. 3
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
Infeksi
Ulkus kornea
Graft konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea. 3
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka
ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva
atau transplant membran amnion pada saat eksisi.3
3.
Pencegahan
18
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan,
petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai
kacamata pelindung sinar matahari.6
4.
Follow up
Menilai adanya komplikasi post operasi, seperti diplopia akibat terpotongnya
Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata
atau beta radiasi.6
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur
yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi
pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi
pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat
mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva / limbal
autografts atau transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.3
BAB III
KESIMPULAN
19
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di
karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari pterigium.
Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih
banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor
degeneratif. Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala
apapun(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah,
sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari
stadiumnnya.
Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan
pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan. Terdapat periode klinis yang
tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat
lambat. Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea
sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada fase awal yang berjalan lambat
tidak diperlukan pembedahan. Dengan pengecualian pasien meminta pembedahan
dengan alasan kosmetik. Pada tipe yang progresif pasien akan mengeluh tentang
irtitasi atau penglihatan yang terganggu akibat pertumbuhan pterigium tersebut.
Bila pterigium telah menjalar mendekati pupil, tindakan pembedahan harus
dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
20
of Pterygium
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 117
3. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
5. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill
Livingstone ;1996. p.142
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
7. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P.
Whitcher edisi 17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
8. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorlands Illistrated Medical
Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
9. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
10. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012.
Management
of
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm
21
Pterygium.