You are on page 1of 2

Orde lama adalah masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia.

Orde lama
berlangsung dari tahun 1945 sampai dengan 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia
menggunakan sistem ekonomi komando. Orde baru lahir Karena adanya orde lama, orde baru
sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi kemunculan orde reformasi. Demikian
juga setelah orde reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan
ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama. Dalam
kenyataannya, bangsa Indonesia telah salah mengartikan makna dari sebuah kata Reformasi,
yang saat ini menimbulkan gerakan yang mengatasnamakan Reformasi, padahal gerakan tersebut
tidak sesuai dengan pengertian dari Reformasi. Oleh karena itu dalam melakukan gerakan
reformasi, masyarakat harus tahu dan paham akan pengertian dari reformasi itu sendiri, agar
proses menjalankan reformasi sesuai dengan tujuan reformasi tersebut.
Pada era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-1967,
pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang menetapkan sedikitnya tiga
ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional:

TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai


Garis-Garis Besar Haluan Negara

TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional


Semesta Berencana 1961-1969,

Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan GarisGaris Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

2.Orde Baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia
(G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1
Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang
memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu
untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang
kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu
diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh. Pada masa
Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya
dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut
dengan konsensus nasional.

Pada era Orde Baru ini, pemerintahan Soeharto menegaskan bahwa kerdaulatan dalam
politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang sosial budaya.
Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan upaya-upaya restrukturisasi di
bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat, menghapus feodalisme, menjaga
keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan politik bebas aktif), restrukturisasi di
bidang ekonomi (menghilangkan ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi
kolonial, menghindarkan neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang
canggih, menegakkan sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi
global) dan restrukturisasi sosial budaya (nation and character building, berdasar

Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander).


3. MASA REFORMASI
1. Pengertian Reformasi
Makna Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dari akar kata reform,
sedangkan secara harfiah reformasi mempunyai pengertian suatu gerakan yang
memformat ulang, menata ulang, menata kembali hal-hal yang menyimpang, untuk
dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang di citacitakan rakyat. Reformasi juga di artikan pembaharuan dari paradigma, pola lama ke

paradigma, pola baru untuk memenuju ke kondisi yang lebih baik sesuai dengan harapan.
4.1 Gerakan Reformasi
Pada pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini, bangsa Indonesia
menghadapi krisis ekonomi yang hebat, sehingga menyebabkan stabilitas ekonomi makin
ambruk dan menyebar luasnya tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada hampir
semua instansi pemerintahan serta penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang para
petinggi negara yang membuat rakyat semakin menderita. Pancasila yang pada dasarnya
sebagai sumber nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana negara digunakan
sebagai alat legitimasi politik, semua tindakan dan kebijakan mengatasnamakan
Pancasila, kenyataannya tindakan dan kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan
Pancasila.

You might also like