You are on page 1of 118

PERNIKAHAN DENGAN MENGGUNAKAN WALI

HAKIM DITINJAU DARI FIQIH ISLAM DAN


KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

TESIS

Oleh

MARAHALIM
057005037/HK

PA

K O L A

A S A R JA

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

PERNIKAHAN DENGAN MENGGUNAKAN WALI


HAKIM DITINJAU DARI FIQIH ISLAM DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora


dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARAHALIM
057005037/HK

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Judul Tesis

Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi

: PERNIKAHAN DENGAN MENGGUNAKAN WALI


HAKIM DITINJAU DARI FIQIH ISLAM DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
: Marahalim
: 057005037
: Ilmu Hukum

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA)


Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS)

Anggota

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Anggota

Ketua Program Studi

Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal Lulus : 10 September 2007


Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Telah diuji pada


Tanggal 10 September 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA

Anggota

: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS


2. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

ABSTRAK
Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan
rukun agar dapat dipandang syah menurut hukum. Diantara hukum islam yang selalu
menjadi persoalan pelik ditengah masyarakat adalah tentang keberadaan wali.
Bagaimana seandainya seorang wali, yaitu wali nashab berhalangan untuk
menikahkan seorang wanita yang di bawah perwaliannya, baik berhalangan itu dalam
bentuk tidak dapat menjalankan tugasnya disebabkan oleh keadaan fisiknya yang
tidak memungkinkan, seperti masih kecil (Shaghir), sakit atau gila, ataupun
disebabkan keengganannya (Adhal) untuk menjalankan tugas sebagai wali. Dilain
sisi, undang-undang perkawinan tidak memberikan ketentuan jelas terhadap masalah
ini. Bahkan pasal 6 ayat (2) undang -undang ini mengisyaratkan ketentuan izin wali
tidak lebih hanya diperlukan bagi perkawinan oleh wanita yang belum mencapai usia
dua puluh satu (21) tahun. Akan tetapi undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan yang menjadi barometer pelaksanaan perkawinan di Indonesia,
khususnya umat Islam di Indonesia, melalui dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan
bahwa hukum Islam sebagai rujukan syah atau tidaknya suatu pernikahan. Mulai
yang membolehkan perempuan menjadi wali nikah, peralihan hak perwalian di
sebabkan tidak hadirnya wali disaat pernikahan dilaksanakan baik karena ghaib atau
adhol, sampai kepada boleh atau tidak pernikahan dilangsungkan tanpa adanya wali
nikah.
Pembahasan tentang perkawinan dengan menggunakan wali hakim tidak
dijumpai sekarang mendetail dalam undang-undang, maka berdasarkan pasal 2 ayat
(1) undang-undang perkawinan yang menyatakan bahwa kedudukan wali atau wali
hakim dirujuk kepada hukum Islam. Maka hukum Islam yang telah menjadi hukum
positif di Indonesia adalah kompilasi Hukum Islam (KHI). Karena KHI banyak
mengacu pada Al-Quran dan Hadits serta kitab-kitab Fiqih dari sebahagian mazhab
yang berkembang dalam khazana Islam, terutama mazhab syafii yang merupakan
mahzab mayoritas yang diyakini oleh umat Islam di Indonesia.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha menggambarkan
fakta dan data-data bagaimana seorang perempuan yang ingin menikah dengan
menggunakan wali hakim dengan mengumpulkan data sekunder, data sekunder
didapat dari literatur-literatur kepustakaan. Dari data yang diperoleh dari lapangan
sejak Januari 2006 sampai dengan bulan Februari 2007, menujukan bahwa dikota
Medan setiap bulannya selalu ada perkawinan yang dilaksanakan dengan berwalikan
hakim, disebabkan oleh faktor-faktor yang tersebut diatas. Hasil penelitian
menunjukan bahwa, wali hakim adalah wali yang diangkat oleh pemerintah atau wali
yang ditunjuk oleh putusan pengadilan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
mempersyaratkan adanya wali secara mutlak dalam suatu perkawinan dan berfungsi
sebagai pelaksanaan ijab akad nikah dalam perkawinan, pada dasarnya wali hakim
berfungsi sebagai pengganti, bukan sebagai wakil dari wali nashab, dalam keadaan
hal-hal yang menyebabkan berpindahnya hak perwalian ketangan wali hakim yang
oleh hukum dan peraturan perundang-undangan membenarkan wali hakim sebagai
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

wali nikah. Selanjutnya disarankan, kepada masyarakat muslim agar tidak


terpengaruh dengan pengakuan seseorang yang menyatakan dirinya wali hakim,
kepada pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan agar jangan memilih jalan
pintas dengan cara memilih berwali hakim padahal wali nashab masih ada, kepada
wali nashab agar tidak mempersulit peminangan terhadap putrinya dengan
pertimbangan pribadi atau tidak sekutu, karena sikap yang demikian akan digunakan
oleh anak perempuannya untuk menikah dengan berwali hakim.
Kata kunci : Pernikahan, Wali Hakim, Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

ABSTRACT
Marriage is legal action wihch needs basic principles that make it legally
valid. Of the basic principles of marriage, the existence of guardian alwayas becomes
a complicated problem in the community. What if a lineage guardian (wali nashab)
cannot marry off a women under his guardianship because of his physical limitation
such as being underage (shagir), sick or his unwillingness (adhal) to perform his duty
as a guardian while tha law of marriage does not provide a clear stipuliton on this
problem. Even, article 6 (2) of law of marriage indication that the stipuliton under
permission of guardian is only nedded for the marriage of women under 21 year old.
But in article 2 (1) of law No. 1/1974 on marriage that becomes the barometer of the
inplementation of marriage in Indonesion, especially for the Indonesion moslems, it is
stated the Islamic law is a reference of whether or not a marriage is legal. The other
compilycated problems vary from to law a women to act as a guardian in a marriage,
to transfer the right of guardianship because of the absence of the lineage guardian
during the marriage ceremony because of his unwillingness to whether not a marriage
ceremony can be ferformed in the absence of lineage guardian.
The discussion on the marriage performed under an appointed guardian is not
found in detail in law mariage, therefore, based on the article 2 (1) of law of mariage
stating that the position of liniage guardian or appointed guardian is refered to Islamic
law and the Islamic law which has become the positive law in Indonesia is the
Compilation of Islamic laws which greataly refers to Al-Quran And Hadits as well as
the books of Figh wiretten by several mazhab (schools) especially the books written
by mazhab syafii which is widely followed by the moslems in the Indonesion.
This analytical descriptive study describes how a women who wants to get
married under an appointed guarden. The primary data were obtained through the
information given by the respondents encountered when doing the field work from
January 2006 to February 2007 in Medan while the secondary data were obtained
through library reserch.
The result of this study shows that there is a marriage performed under an
appointed guardian caused by the factors mentioned above in Medan evey month and
an appointed guardian is the one appointed by the government or appointed based on
the decision of court. Law No.1/1974 absolutely requires the presence of a guardian
in a marriage who act as the person responsible for administering an oath in a
wedding ceremony. Basically, an appointed guardian is only a substitute, not a
representative of the lineage guardian (wali nashab), in a situation where the right of
guardianship should be transferred to an appointed guardian who is approved by the
legislation.
It is suggested that moslem community be not influeenced by someone saying
that he is an appointed guardian. The couples who are getting married are suggested
not to take a short cut by choosing to employ the appointed guardian while the
lineage guardian (wali nashab) is available. The lineage guardian is hoped not to
complicate the proposal of his daughter based on his personal disagreement because
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

this kind of attitude will encourage his daughter to get married under an appointed
guardian.
Key words : Marriage, Appointed Guardian, Islamic Fiqih, Compilation of Islamic
laws

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmad dan
karuniaNYA sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya .
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister
Ilmu Hukum pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul
Pernikahan dengan menggunakan wali hakim ditinjau dari Fiqih Islam kompilasi
hukum Islam di Indonesia.
Didalam penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik
pengajaran, bimbingan, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian tesis ini, yaitu :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,
Sp.A (K) dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk dapat menjadi mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH sebagai ketua program studi
Magister Ilmu Hukum dan juga sebagai pembimbing yang telah
memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan
ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

3. Bapak Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA sebagai pembimbing yang telah


memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan
ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.
4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, sebagai pembimbing yang telah
memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan
ilmu yang bermanfaat dalam menyelesaikan studi.
5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, MH, sebagai Dosen penguji yang telah banyak
memberikan perhatian penuh dan mendorong penulis dengan ilmu yang
bermafaat dalam menyelesaikan studi.
6. Ibu Dr. sunarmi. SH. M.Hum, sebagi Dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan, perhatian penuh dan mendorong penulis dengan ilmu
yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.
7. Orang tua, Ayahanda tercinta Alm H.Abdurahman Harahap, yang mana
semasa hidupnya selalu memberi dorongan dan dukungan penuh bagi
penulis untuk melanjutkan studi di Medan, tapi sayang, detik-detik terakhir
penulis menyelesaikan perkuliahan beliau di panggil oleh yang maha kuasa,
sehingga beliaupun tidak bisa menyaksikan penulis dalam akhir-akhir
perkuliahan yang penuh kesenangan dan kegembiraan itu. Yang paling
sedihnya lagi, penulis belum sempat membahagiakan Ayahanda tercinta
beliau sudah menghadap Allah SWT, sekarang hanya doa yang bisa penulis
panjatkan semoga Almarhum ayahanda tercinta di ampunkan Allah segala
dosanya, dan diterima amal ibadahnya serta ditempatkannya ditempat yang
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

sebaik-baiknya, amin. Ibunda tercinta Dumasari Hasibuan, yang juga telah


memberikan dorongan dan dukungan serta doanya yang tiada hentihentinya sehingga saat sekrang ini, penulis sangat yakin bahwa karena doa
beliaulah sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan di sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penulis juga senantiasa berdoa
semoga kiranya Allah SWT memberikan kesehatan, umur yang panjang
serta dikabulkanNYA semua keinginan beliau khususnya keinginan untuk
menunaikan ibadah haji. Selanjutnya Istri tercinta Syahfitri Daeng Tekne,
yang telah memberikan dukungan, dorongan penuh, bahkan sampai dengan
membayar uang kuliah serta membantu, mengetik, mencari bahan, sehingga
penulis bisa menyelesaikan tesis ini.
8. kepada

teman-teman

yang

telah

banyak

memberikan

inspirasi,

meminjamkan buku, buku catatan, masukan dan semangat bagi penulis


untuk menyelesaikan tesis ini, serta para pihak yang telah membantu
penyelesaian tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir
kata kepada Allah SWT juga kita serahkan dan semoga bimbingan, arahan
yang di berikan akan menjadi amal ibadah dan akan mendapat imbalan yang
layak dariNYA, semoga tesis ini bermafaat bagi kita semua, amin.
Medan, 17 Agustus 2007

Marahalim

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Marahalim

Tempat/Tanggal Lahir

: S. Aling Madina, 14 mei 1972

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pendidikan

Sekolah Dasar Negeri 142607 Pacinaran Tahun Lulus 1986

Madrasyah Tsanawiyah Mustofawiyah Purba Baru Tahun Lulus 1990

Madrasyah Aliyah Mustofawiyah Purba Baru Tahun Lulus 1993

Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Medan Tahun Lulus


2000

Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas


Sumatera Utara Medan Tahun Lulus 2007.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...........................................................................................................

ABSTRACT .........................................................................................................

iii

KATA PENGANTAR .........................................................................................

iv

RIWAYAT HIDUP .............................................................................................

vii

DAFTAR ISI .......................................................................................................

viii

DAFTAR TABEL ...............................................................................................

xi

BAB I

PENDAHULUAN .......................................................................

A. Latar Belakang Masalah .......................................................

B. Perumusan Masalah ...............................................................

C. Tujuan Penelitian ...................................................................

D. Manfaat Penelitian .................................................................

E. Batasan Masalah ....................................................................

F. Keaslian Penelitian ................................................................

G. Kerangka Teori ......................................................................

1. Tinjauan Umum Tentang Perwalian/Wali .......................

2. Syarat-syarat perwalian/Wali ...........................................

12

3. Macam-macam Wali ........................................................

16

4. Wali Hakim ......................................................................

17

H. Metode Penelitian ...................................................................

25

1. Sifat Penelitian ..................................................................

25

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

BAB II

2. Sumber Data .....................................................................

26

3. Alat Pengumpulan Data ....................................................

26

4. Analisis Data .....................................................................

26

PENGANGKATAN WALI HAKIM DALAM UU


NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM ..................

28

A. Pengangkatan dan Fungsi Wali Hakim .....................................

28

B. Kedudukan Wali Hakim Menurut UU No. 1 Tahun 1974


dan Hukum Islam ...................................................................... 33

BAB III

C. Syarat-syarat Untuk Menjadi Wali Hakim .................................

56

FUNGSI WALI HAKIM DALAM PERKAWINAN.....................

71

A. Perwalian Dalam Perkawinan ..................................................... 71


B. Perpindahan Hak Perwalian ........................................................ 80
C. Pelaksanaan dan Tata Cara Perkawinan Berwalikan Hakim .. 86

BAB IV

KEABSAHAN SUATU PERKAWINAN MELALUI


WALI HAKIM ................................................................................... 89
A. Wali Yang Disahkan Oleh Pengadilan ........................................ 89
B. Pertimbangan Wali Hakim .......................................................... 93
C. Keabsahan Perkawinan Berwalikan Hakim ................................. 94

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 96


A. Kesimpulan .................................................................................. 96
B. Saran ............................................................................................ 98

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 99

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

DAFTAR TABEL
No
1

Judul

Halaman

Jumlah Pernikahan Perbulan Di Medan Dari Tahun 2006 s/d Feb


2007 ...............................................................................................

87

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah Sunatullh, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan
manusia, hewan dan bahkan tumbuh-tumbuhan. Allah berfirman:


(36: )
Artinya: Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka maupun dari
apa yang tidak mereka ketahui. (Yasin: 36).
Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya
aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh
dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah Swt tidak membiarkan
manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau
seperti tumbuhan yang kawin dengan perantaraan angin, sebagaimana firman Allah
dalam Al-Quran:


Artinya: dan Kami hembuskan angin untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan.
(Al-Hijr: 22)
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Allah telah memberi batas dengan peraturan-peraturan-Nya, yaitu dengan


syari`at yang terdapat dalam kitab-Nya dan Hadits Rasul-Nya dalam bentuk hukumhukum perkawinan, misalnya mengenai meminang sebagai pendahuluan perkawinan,
tentang mahar atau mas kawin, yaitu pemberian seorang suami kepada istrinya
sewaktu akad nikah atau sesudahnya. Demikian juga dengan perkawinan itu sendiri
yang mempunyai syarat-syarat dan rukun-rukun.
Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan
rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini
ialah syarat perkawinan 1 , yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu
sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram
dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang
menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak berhalangan syar`i, 2 jelas
orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya lakilaki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang melaksanakan ihram. Sedangkan
saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya adil, dapat mendengar dan melihat,
tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab-kabul.
Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut:
a. Lafadz Ijab dan Qabul
b. Calon Suami
c. Calon Istri
d. Dua Saksi

H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, terj Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989),
hlm. 30-31.
2
Yang dimaksud dengan berhalangan syar`i ialah sedang tidak bersuami, bukan mahram,
dan tidak sedang dalam masa iddah. Lihat: Ibid.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

e. Wali 3
Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai
perempuan kepada calon mempelai pria. Lafadz yang mengikat antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan
unsur yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali,

dengan yang

menerima akad. Berkaitan dengan wali, Rasulullah SAW bersabda:


Artinya: Tidak sah nikah kecuali dengan wali.
Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam:
1. Wali Nasab
2. Wali Hakim
3. Wali Tahkim
Seorang perempuan dalam keadaan tertentu,

tidak memiliki wali nasab

karena ia dilahirkan sebagai anak zina atau anak yang dilahirkan denga proses bayi
tabung dengan sistem ibu penganti atau mungkin dengan cloning, atau perempuan
yang mau menikah memiliki wali nasab tetapi wali nasab tersebut tidak mau
menikahkannya karena laki-laki calon suami tidak se-kufu dengan putrinya tersebut,
maka wanita tersebut dapat menikah tanpa berwali nasab.

Syahbuddin, Qaliubi wa Umairah, (Singapore: Maktabah wa Matba`ah, Sulaiman


Zamra`I, tt), hal. 216.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan sebagai berikut:


Pasal 20: Kompilasi Hukum Islam ( KHI )
Ayat (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah sorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh.
Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab,(b) wali hakim.
Pasal 22: Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi
syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna
rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain
menurut derajat berikutnya.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa secara hukum fiqih Islam maupun
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan secara jelas ada kemungkinan seorang
perempuan untuk memilih dengan berwali hakim. Namun apakah pemilihan wali
hakim menjadi wali nikah dapat dilaksanakan oleh calon mempelai wanita dengan
serta-merta tanpa ada faktor lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, apabila
seorang wali nasab yang enggan untuk menjadi wali dalam pernikahan tersebut,
disebabkan oleh ketidaksukaan wali kepada calon mempelai laki-laki misalnya,
apakah calon mempelai wanita langsung dapat meminta seorang petugas resmi yang
ditunjuk pemerintah untuk menjadi wali nikahnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
perumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

1. Bagaimana pengangkatan Wali hakim dalam UU Nomor 1 tahun 1974 dan


Hukum Islam
2. Bagaimana fungsi Wali hakim dalam perkawinan.
3. Bagaimana pertimbangan Wali hakim dalam menikahkan seorang perempuan
yang memiliki wali nasab serta keabsahan Wali hakim dalam pernikahan tersebut.
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana diketahui bahwa pluralisme mazhab bidang furu`iyah tidak
dapat dihindarkan sehingga tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang membenarkan seorang perempuan dapat menikah
dengan berwali hakim
2. Untuk mngetahui siapa wali hakim, dan siapa yang berhak mengangkatnya
3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan wali
hakim sebagai wali nikah, dan bagaimana keabsahan wali hakim dalam
menikahkan perempuan tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
praktis.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Secara teoritis memberi informasi tentang kedudukan dan kekuasaan wali


dan atau wali hakim dalam perwaliannya menurut para ahli hukum pada umumnya
dan hukum Islam pada khususnya.
Secara praktis menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum pada
umumnya, dan ilmu pengetahuan hukum keluarga pada khususnya tentang perwalian
bagi wali hakim dalam hukum Islam, sehingga nantinya memberikan hukum
sekunder bagi kalangan yang berminat mempelajarinya.
E. Batasan Masalah
Batasan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah membahas tentang
penyebab seorang perempuan menikah dengan berwali hakim, peran dan kekuasaan
wali atau wali hakim dalam pelaksanaan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud
dengan Wali Hakim ialah wali yang ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan Peraturan
Menteri Agama RI Nomor 2 Tahu 1987 tentang Wali Hakim. Jelasnya kedudukan
dan wewenang wali hakim dalam pelaksanaan perkawinan.
F. Keaslian Penelitian
Penelitian dengan judul perkawinan dengan menggunakan wali hakim
sepanjang yang diketahui berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian yang
sudah ada, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, belum pernah
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

dilakukan, terutama yang berkenaan dengan Penelitian perkawinan dengan


menggunakan wali hakim, penelitian yang ada hubungannya dengan wali hakim yang
pernah ada adalah kedudukan wali hakim menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974, oleh Parimpunan Matondang, Mahasiswa Universitas Sumatera Utara 2003.
G. Kerangka Teori
1. Tinjauan umum tentang perwalian/wali
Tiap orang dapat memiliki hak-hak, atau dengan perkataan lain tiap orang
menjadi pendukung hak dan ia diperbolehkan kalau memliki kecakapan sempurna
bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya. Fikih Islam menggunakan istilah
ahliyah untuk menunjuk arti kecakapan. Kecakapan mendukung hak disebut
Ahliyatul Wujub dan kecakapan menggunakan hak terhadap orang lain disebut
Ahliyatul Ada'.
Ahliyatul Ada' adalah kecakapan menggunakan hak terhadap orang lain, atau
dengan kata lain kecakapan melakukan perbuatan hukum atas nama orang lain.
Meskipun tiap orang menjadi pendukung hak, akan tetapi di dalam hukum
tidak semua orang diperbolehkan bertindak untuk melaksanakan haknya itu. Oleh

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Undang-undang berbagai golongan ada yang dinyatakan "tidak cakap" atau "kurang
cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. 4
Orang yang belum dewasa atau masih dibawah umur, harus diwakili oleh
orang tuanya atau walinya.
Kekuasaan/kewenangan seorang wali dalam bertindak untuk kepentingan
dan atas nama yang dibawah kewaliannya disebut perwalian.
Tentang perwalian, secara etimologi dalam bahasa Indonesia "Segala sesuatu
yang menjadi urusan wali". 5 Dalam bahasa Arab disebut dengan Wilayah. Perwalian
ialah: An-Nashrah (pertolongan) 6 atau tempat berlindung sesuatu dan perlindungan
terhadap sesuatu. 7
Secara terminologi (istilah) perwalian ialah: Kekuasaan melakukan akad dan
transaksi, baik akad nikah maupun akad lainnya tanpa ketergantungan kepada orang
lain. Para fuqaha (ahli hukum Islam) membagi perwalian itu menjadi perwalian atas
diri pribadi dan atas harta (kekayaan). Perwalian atas diri pribadi dimaksud adalah
kekuasaan melakukan akad (perkawinan) tanpa ketergantungan kepada orang lain,

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa,1992), hlm. 20.


WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai
Pustaka,1976), hlm. 1147.
6
Ahmad Hudri, Al-Ahwal as-Syakhshiyah, (Mesir: Maktabah Kuliiyah al-Arabiyah, 1968),
hlm. 3.
7
Zakiyuddin Sya`ban, Al-Ahkam as-Syar`iyyahli Ahwal asSyakhshiyyah, (Kairo: Dr anNahdhah al-`arabiyah, 1969), hlm. 214.
5

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

dan perwalian atas harta kekayaan ialah kekuasaan/kewenangan mengurusi akad yang
berkaitan dengan harta/kekayaan yang dimiliki oleh yang dibawah perwalian tanpa
ketergantungan kepada orang lain. 8
Subekti (1992) mengemukakan perwalian (voogdif) adalah pengawasan
terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak ada dibawah kekuasaan orang tua serta
pengawasan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang. 9
Di dalam Pasal 1 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan,
"Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melaksanakan
sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang
tidak mempunyai orang tua atau orang tua yang masih hidup, tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum".
Dengan demikian, perwalian atau wilayah dalam bahasa Arab, berarti suatu
kekuasaan/kewenangan yang berasal dari syara` untuk melakukan tindakan atau akad
yang mempunyai akibat-akibat hukum. 10 Kecuali itu, bahwa perwalian dimiliki oleh
wali, yang dalam kewaliannya memiliki kekuasaan melakukan tindakan/perbuatan
hukum atas orang lain, baik yang berkaitan dengan diri pribadi, misalnya tentang
perkawinan maupun yang berhubungan dengan pengurusan harta benda orang yang

Ibid.
Subekti, op. cit., hlm. 52.
10
A. Azhar, op. cit., hlm. 8.
9

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

dibawah kewaliannya, orang yang berkecakapan tidak sempurna sehingga ia berada


dibawah perwalian atau diwalikan.
Khusus

mengenai

perwalian

dalam

perkawinan

(Wilayah

Tazwij),

Muhammad Jawwad Mughniyah (2001) mengatakan:


"Adalah suatu kekuasaan atau wewenang syri` atas segolongan manusia,
yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada
orang lain yang dikuasai itu demi kemaslahatannya". 11
Ini berarti perwalian dalam perkawinan dipangku oleh seorang wali dan
mempunyai wewenang untuk mengakadnikahkan yang diwalikannya. Karena wali
adalah: "Pengasuh pengantin perempuan ketika nikah, yaitu yang melakukan janji
nikah dengan pengantin laki-laki". 12
Sayid Sabiq (1998) mengatakan "wali ialah suatu ketentuan hukum yang
dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya". 13
Al-Kahlani mengatakan "wali ialah kerabat terdekat dari ashabah si calon
mempelai perempuan, bukan keluarga zawil arham-nya. 14 Dalam pada itu pasal 50
ayat (1) Undang-undang perkawinan menyebutkan, " anak yang belum mencapai

11

Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab., (Jakarta: Terj Masykur AB.,
Lentera, 2000), hlm. 345.
12
WJS. Poerwadarminta, loc. cit.
13
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: terj Mahyuddin Shf., jilid VIII, PT. Al-Maarif,
1998), hlm. 11
14
Al-Kahlani, Subulussalam, (Bandung: PT. Al-Ma`arif, tt.jld,III),, hlm. 11.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang
tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan wali".
Jadi semua orang yang disebutkan di atas bila melakukan tindakan/perbuatan
hukum, dalam kedudukan mereka sebagai wali bertindak atas nama orang lain yang
berada di bawah perwaliannya, dan mereka memperoleh kekuasaan itu dari orang
lain.
Orang lain dalam bentuk perwakilan adalah orang yang mewakilkan. Dalam
hal perwalian ayah dan kakek atas nama anak atau cucu, demikian pula perwalian
pengadilan dan orang yang menerima wasiat, orang lain itu adalah syar`i (Allah dan
Rasul-Nya atau ketentuan Syara`).
Dari uraian terdahulu dapat diketahui bahwa untuk dapat terjadinya tindakan
atau akad yang mempunyai akibat hukum, orang yang melakukannya harus cakap
melakukan tindakan hukum dan mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk
melakukannya, baik berupa kekuasaan asli atas nama diri sendiri atau sebagai wali
atas nama orang lain.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

2. Syarat-syarat Perwalian/Wali
a. Menurut Hukum Islam
Terjadinya tindakan/perbuatan hukum atau akad yang mempunyai akibat
hukum, sehingga orang yang melakukannya harus cakap dan mempunyai kekuasaan
untuk melakukannya.
Menyangkut masalah perwalian dalam perkawinan, untuk sahnya perwalian
disyaratkan :
1. Berkecakapan sempurna, yaitu baligh, berakal dan merdeka. Oleh
karena itu tidaklah sah anak-anak (belum dewasa), orang gila dan
hamba sahaya memangku perwalian, karena mereka tidak
mempunyai wilayah atas diri sendiri, apalagi wilayah atas
wilayah orang lain, tentu lebih tidak layak. 15
2. Kesamaan agama antar wali dan yang diwalikan. Oleh karena
tujuan perwalian adalah untuk kebaikan orang yang dibawah
perwalian, maka kesamaan agama diantara keduanya lebih layak

15

Muhammad Salam Madkur, Ahkam al-Usrah fi al-Islam,


`Arabiyah, jld I 1968), hlm. 178.

(Beirut: an-Nahdhah al-

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

untuk kebaikannya. Oleh sebab itu tidak layak perwalian non


muslim atas oarng muslimah. 16
3. Adil. Adil menjadi syarat perwalian dikalangan mazhab Syafi`i,
namun tidak demikian bagi mazhab Hanafi. Menurut mazhab
Hanafi meskipun ada hadits:

Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, sebab hadits ini dha`if,
kalaupun hadits ini diterima sebagai dalil, kata mursyid dalam
hadits tersebut bukan bermakna adil, akan tetapi cerdik, yaitu
dapat membedakan baik dan buruk.
4. Laki-laki. Laki-laki merupakan syarat perwalian, karena ia
dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap tidak
sanggup mewakili dirinya sendiri, apalagi orang lain. 17
Dengan demikian bagi sahnya perwalian dalam hukum Islam masih terdapat
pluralistik mazhab, meskipun ada keseragaman pendapat tentang baligh, berakal,
merdeka dan Islam menjadi syarat perwalian. Mazhab Syafi`i menambahkan adil dan
laki-laki menjadi syarat menjadi wali, sementara mazhab Hanafi tidak mensyaratkan.
16

Ibid.
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: terj M. Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2001), hlm. 59.
17

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

b. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974


Pasal 47 ayat (1) Undang-undang ini menyatakan,
"Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan".
Memperhatikan bunyi kedua ayat tersebut, diketahui bahwa kedua orang tua
mempunyai kekuasaan/wewenang bertindak dalam melakukan perbuatan hukum atas
nama dan untuk kepentingan anaknya. Namun kewenangan itu dimiliki oleh mereka
jika anaknya belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, tidak pula sudah pernah
menikah, tentu termasuk janda dan tidak pula kekuasaan mereka telah dicabut.
Dalam hal kekuasaan orang tua telah dicabut, kewenangan untuk
pelaksanaan perkawinan menjadi kekuasaan wali. Pasal 50 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam (KHI) menyatakan, "Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak dibawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai
pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya".
Berdasarkan bunyi kedua pasal tersebut di atas, tidak jelas apakah yang
dimaksud kedua orang tua atau wali lak-laki atau perempuan. Ini berarti Undang-

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

undang Perkawinan memberi peluang bagi perempuan memangku perwalian, dengan


perkataan lain perempuan juga boleh menjadi wali?
Selanjutnya pasal 51 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan,
"Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang
sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik".
Undang-undang Perkawinan dalam hal wali mensyaratkan dewasa, sehat
pikiran, adil, jujur dan berkelakuan baik bagi wali, tanpa mensyaratkan laki-laki.
Khusus mengenai wali nikah Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan apakah
perempuan boleh menjadi wali. Namun demikian karena Kompilasi Hukum Islam
(KHI) juga merupakan hukum tertulis dan juga menjadi acuan bagi pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan mensyaratkan laki-laki sebagai wali nikah. Pasal 20 ayat
(1) KHI menyatakan "Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh".
Syarat perwalian/wali menurut Undang-undang Perkawinan ialah dewasa,
berpikiran sehat, adil, jujur, berkelakuan baik. Secara teoritis Undang-undang
Perkawinan tidak menyebutkan laki-laki menjadi syarat wali, akan tetapi dalam
prakteknya laki-laki menjadi syarat dalam perwalian dan dalam perkawinan, karena
demikian menurut KHI. Itu artinya haruslah laki-laki yang menjadi wali nikah.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

3. Macam-macam Wali
Adapun macam-macam wali dapat digolongkan berdasarkan sudut pandang
yang dipakai untuk itu, antara lain:
a. Melihat objek perwaliannya.
Para ulama fiqih sependapat bahawa wali dalam perkawinan (wilayah
Tazwij) ditinjau dari segi objek perwaliannya dapat digolongkan menjadi wali mujbir

[ ] dan wali ghairu mujbir [] . Adapun wali mujbir


ialah seorang wali berhak mengakadnikahkan orang yang diwalikannya tanpa
persetujuan yang bersangkutan, 18 sedangkan wali ghairu mujbir sebaliknya, yaitu
wali tidak memiliki hak untuk mengawinkan tanpa persetujuan yang diwalikannya.
Menurut Mahmud Yunus (1981) "wali mujbir artinya, wali yang boleh
memaksakan perkawinan kepada anaknya sehingga ia boleh mengawinkan anak
perempuannya dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepada anaknya". 19
Agama memang mengakui wali mujbir memiliki kewenangan memaksakan
ijab akad nikah anak perempuannya yang belum dewasa selagi masih gadis. Dalam
hal ini para fuqaha sependapat.

18

Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 21.


Mahmud Yunus, op.cit., hlm. 64.

19

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

b. Melihat jauh dekatnya hubungan kekerabatan.


Memandang kepada jauh-dekatnya hubungan pertalian darah antara yang
diwalikan dengan walinya, wali dapat dibagi menjadi wali aqrab
dan wali ab`ad

[]

[] . Misalnya kakek dengan ayah dan anak dengan cucu.

Maka dalam hal ini ayah sebagai wali aqrab dan kakek menjadi wali ab`ad, dan anak
sebagai wali aqrab sedangkan cucu menjadi wali ab`ad.
c. Melihat kedudukan pemangku perwalian.
Mereka para wali kerabat calon mempelai yang disebut sebagai wali nasab,
mempunyai kewenangan dalam perwalian, sesuai urutan kedudukanya yang tererat
dengan calon mempelai. Kewenangan yang mereka peroleh karena kedudukan
mereka sebagi keluaarga terdekat. Namun apabila mereka tidak ada, atau mereka
tidak memenuhi syarat menjadi wali, atau mereka adhal, perwalian yang seharusnya
menjadi hak mereka berpindah kepada sulthan/hakim. Kewenangan yang ia miliki
ialah berdasarkan kekuasaan yang ada padanya yaitu kedudukannya sebagai penguasa
yang disebut dengan Wilayah `Ammah.
4. Wali Hakim
Wali nasab yang merupakan kerabat dekat calon mempelai perempuan
mempunyai wewenang menikahkan sepanjang tidak terdapat hal-hal yang

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut peraturan perundangundangan.


Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali
nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah
`Ammah, sebagaimana wilayahnya yang berkaitan dengan pengurusan harta kekayaan
orang yang tidak menjadi wali, demikian pula dengan wilayahnya yang berhubungan
dengan pernikahan.
Adapun alasan bahwa sulthan boleh memangku sebagi wali nikah (wilayah
tazwij) yaitu hadits Nabi SAW., dari Aisyah ra:

.
) .
(
Artinya: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka
nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib
baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya
itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu adalah wali bagi mereka
yang tidak mempunyai wali. 20
Sulthan merupakan Imam (pemimpin, kepala Negara) atau hakim atau yang
ditugaskan untuk itu. 21 Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab akad nikah

20
21

Al-Kahlani, loc.cit.
Ibn Qudamah, 1367 H., Al-Mughni, (Mesir: Daar al-Manar, Juz VI), hlm. 461.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini juga sebagai alasan
menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya mengharuskan pembayaran
mahar. Selanjutnya menurut beliau, yang dimaksud dengan 'pertengkaran ' disini
adalah yang disebabkan oleh larangan menikah dan bukan pertengkaran karena saling
mendahului antar wali. Jadi, apabila si wali melarang menikah perempuan yang
berada di bawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim,
bukan kepada wali ab`ad. Demikian juga apabila wali aqrab ghaib (tidak ada di
tempat) atau sedang ihram, atau si calon mempelai sama sekali tidak mempunyai
wali, hakim boleh menikahkannya. 22
Tentang wali hakim ialah: "Kepala Negara yang beragama Islam yang
mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk
menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim". 23
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan
tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim
sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI) "Wali
hakim ialah wali nikah yang ditunjuuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".

22

Hasan Ayyub, Op. Cit., hal. 57.


Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam, (Medan: Universitas
Dharmawangsa, 1983), hlm. 53.
23

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim,


menyatakan:
Pasal 1 huruf (b), wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali
nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Pasal 2 ayat (1), bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah
Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra teritoria Indonesia ternyata
tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak
memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya
dapat dilangsungkan dengan wali hakim.
Melihat rumusan-rumusan wali hakim di atas, dapat dimengerti bahwa, wali
hakim memperoleh kewenangan menjadi wali nikah atas dasar penunjukan
berdasarkan jabatan yang ia pangku. Hal mana dinyatakan kata 'pejabat' pada bunyi
pasal 1 huruf (b) di atas.
Pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala
Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas
nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apabila
ternyata Ka KUA berhalangan atau tidak ada, dan pegawai yang memenuhi syarat
menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pada pasal 4 PMA Nomor: 2 tahun 1987 tersebut menyatakan demikian:
Ayat (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat
Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan
mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Ayat (2) apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama


berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas
nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa
untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai
Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Pasal 5 PMA Nomor 2 tahun 1987 :
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi
wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang
memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri sebagaimana yag dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan wali itu terbagi kepada 3
(tiga) macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari
tiga macam wali tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ad.1. Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang
terdekat dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya
sebagai berikut:


Maksudnya: yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan tentang
ashabahnya bukan zawil arhm atau orang yang berhak menikahkanya, karena suatu
pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa ada walinya. 24
Wali-wali ini jika dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi 2, yaitu:
1. Wali Mujbir: yaitu wali yang terdiri dari ayah, kakek hingga ke atas.

24

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, (Bandung, 1976), hlm. 117.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

2. Wali Ghairu Mujbir: yaitu wali yang terdiri dari selain yang disebutkan di
atas.
a. Saudara laki-laki seibu dan sebapak,
b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan sebapak,
c. Saudara laki-laki sebapak,
d. Anak laki-laki dari saudara sebapak,
e. Paman,
f. Anak Paman. 25
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 21: ayat (1), wali nasab terdiri
dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kerabatan dengan calon mempelai
wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung
atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok
kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan
laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, yaitu saudara
laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 21 : ayat (2) apabila dalam suatu
kelompok wali nikah terdapat terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi
wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah lebih dekat derajat kekerabatannya
dengan calon mempelai wanita.
25

Hamdan Abbas, Diktat Fikih Munakhat, UISU, (Medan: 1973), hlm. 15.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 21 : ayat (3) apabila dalam suatu
kelompok, derajat kekerabatannya sama yaitu sama-sama derajat kandung atau samasama derajat seayahnya, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan
mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Ad. 2. Wali hakim yaitu Kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, dan wali hakim ini bias bertindak sebagai wali nikah apabila betul-betul
tidak ada wali nasabnya, sesuai dengan hadits Nabi SAW:

( )
Artinya: Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan hakim menjadi
wali, apabila tidak ada wali untuknya. (HR. Thabrani)
Menurut Zakaria al-Bari dalam kitabnya sebagai berikut:


.

Maksudnya: Apabila tidak ada wali yang dekat semata-mata juga tidak ada
dari ashabahnya dan tidak ada pihak lainnya, maka berpindah hak wali untuk
menikahkannya ialah hakim, sesuai menurut sabda Rasulullah SAW, hakim menjadi
wali bagi orang yang tidak mempunyai wali dan berpindahlah wali tersebut kepada
hakim (Qadhi) dan juga hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa setiap orang yang
hendak menikah dengan seorang perempuan yang tidak ada walinya berarti tidak
sah. 26

26

Zakaria al-Bari, tt., hlm. 72.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Tetapi ada juga perbedaan pendapat para ulama tentang syarat-syarat adanya
wali pada pernikahan atau juga dengan seizinnya yang antara lain ialah:
Jumhur Ulama berpendapat bahwa harus adanya wali juga si perempuan itu mau
nikah dengan seorang laki-laki, mereka ini mengikutkan sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW yang maksudnya, tidak seorang perempuan mengawinkan dirinya
sendiri. Pendapat ini didukung pula oleh ibn Mundzir.
Dia tidak pernah melihat seorang sahabatpun yang menentang pendapat ini
juga diambil dari hadits-hadits Rasulullah SAW untuk memahaminya.
Malik berpendapat seorang wali harus mempunyai sifat-sifat mulia, adil dan jangan
ada padanya sifat-sifat fasik yaitu tidak melaksanakan shalat dan berbuat yang tidak
baik ketika dilihat oleh masyarakat lainnya. Andaikata sudah terdapat yang demikian
itu, maka dibenarkan bagi si perempuan itu untuk mengawinkan dirinya sendiri dan
disini tidak berpindah kepada wali hakim hanya terus kepada dirinya sendiri untuk
menjadi wali terhadap perempuan itu.
Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang perempuan yang berhak kawin dengan
seorang laki-laki harus memiliki wali, dan wali disini tidak memandang syaratsyaratnya baik ia mulia maupun hina, tetap sahnya perkawinan itu dengan adanya
wali, mereka ini mengkiaskan dengan seorang penjual barang, disini tidak

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

memandang kepada si penjual baik dia bodoh maupun itu pandai, yang lebih penting
adalah bahwa perbuatan menjual itu terlaksana.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, Penulis lebih cenderung kepada
pendapat jumhu ulama, karena mereka ini banyak pengikut-pengikutnya yang
menguatkannya serta lebih jelas argumennya dari yang lain.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 23:


Ayat (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau ghaib atau `adhal atau enggan.
Ayat (2) Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagi wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang
wali tersebut.
Ad. 3. Wali Tahkim: yaitu wali yang diminta oleh perempuan untuk menjadi
wali/menikahkannya. Wali tahkim terjadi ketika wali nasab dan wali hakim tidak ada,
ini juga terjadi pada kasus dhoruriyah.
H. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha menggambarkan
fakta dan data-data bagaimana seorang perempuan yang ingin menikah dengan
menggunakan wali hakim, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap


dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan Yuridis Normatif, yaitu untuk
mencari jawaban mengenai bagaimana seoang perempuan bisa menikah dengan
berwalikan hakim.

2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder
yang diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan yang diperoleh dari
berbagai literatur yang terdiri dari dokumen-dokumen resmi, buku, hasil penelitian
yang mempunyai hubungan erat dengan objek permasalahan yang diteliti.
3. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif, ilmiah dan dapat dibuktikan
kebenaranya serta dapat pula dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam
penelitian ini diperoleh melalui metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
menggunakan: Studi dokumen dengan melakukan Library Research (penelitian
Kepustakaan), yang dilakukan untuk menghimpun data sekunder beupa bahan buku,
baik primer, sekunder maupun tertier yang berhubungan dengan materi penelitian.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

4. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dikelompokkan, diolah dan diteliti serta
dievaliasi keabsahannya. Setelah selesai diseleksi dan diolah lalu dianalisis dengan
menggunakan metode deduktif dan induktif, hal ini dimaksudkan untuk menentukan
data yang benar-benar diperlukan dan mudah untuk dianalisis, lalu ditarik kesimpulan
sebagai jawaban dari permasalahan yang diteliti.
Pada tahap penarikan kesimpulan data sekunder dianalisis secara kualitatif
dengan menelaah semua data yang diperoleh dari responden sehingga hal ini dapat
memberikan gambaran mengenai penerapannya di lapangan.

Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

BAB II
PENGANGKATAN WALI HAKIM
DALAM UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM
A. Pengangkatan dan Fungsi Wali Hakim
Para wali adalah mereka yang terdiri dari kerabat dekat calon mempelai
perempuan yang disebut dengan wali nasab mempunyai wewenang untuk
mengawinkan calon mempelai perempuan sepanjang tidak terdapat hal-hal yang
mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut hukum.
Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali
nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah
`ammah (penguasa umum), sebagaimana kekuasaaanya yang berkaitan dengan
pengurusan harta kekayaan orang yang tidak mempunyai wali, demikian pula
kekuasaannya yang berhubungan dengan pernikahan.
Alasan yang menyatakan bahwa penguasa (sulthan) boleh memangku
jabatan perwalian dalam pernikahan (wilayah al-tazwij) adalah hadits nabi SAW dari
Aisyah:

.
) .
(
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository 2008

Artinya:

Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka
nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka
wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari
persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu
adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali. 27
Yang dimaksud dengan sulthan disini ialah Imam (pemimpin, kepala Negara)

atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu. 28 Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab
akad nikah tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini juga sebagai
alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya mengharuskan pembayaran
mahar. Selanjutnya menurutnya, yang dimaksud dengan 'pertengkaran' di sini adalah
yang disebabkan oleh larangan menikah dan bukan pertengkaran karena saling
mendahului antar wali. Jadi, apabila si wali melarang menikah perempuan yang berada di
bawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada
wali ab`ad. Demikian juga apabila wali aqrab ghaib (tidak ada di tempat) atau sedang
ihram, atau si calon mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh
menikahkannya. 29
Menyangkut wali hakim ialah: "Kepala Negara yang beragama Islam yang
mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk
menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim". 30

27

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, (Bandung: 1976), hlm. 117.


Ibn Qudamah, 1367 H. Al-Mughni, Juz VI, (Mesir: Dr al-Manar), hlm. 461.
29
Hasan Ayyub, Op. Cit., hal. 57.
30
Hasballah Thaib, 1983, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam, (Medan: Universitas
Dharmawangsa), hlm. 53.
28

Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan


tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim
sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf (b) "Wali hakim ialah wali nikah yang
ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".
Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim,
menyatakan:
Pasal 1 huruf (b), wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali
nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Pasal 2 ayat (1), bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah
Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra teritoria Indonesia ternyata
tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak
memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya
dapat dilangsungkan dengan wali hakim.
Melihat rumusan-rumusan wali hakim di atas, dapat dimengerti bahwa, wali
hakim memperoleh kewenangan menjadi wali nikah atas dasar penunjukan
berdasarkan jabatan yang ia pangku. Hal mana dinyatakan kata 'pejabat' pada bunyi
pasal 1 huruf (b) di atas.
Pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala
Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas
nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apabila

ternyata Ka KUA berhalangan atau tidak ada, dan pegawai yang memenuhi syarat
menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pada pasal 4 dan 5 PMA Nomor: 2 tahun 1987 tersebut menyatakan
demikian:
Ayat (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat
Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan
mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Ayat (2) apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama
berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas
nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa
untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai
Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Pasal 5: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang
memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri sebagaimana yag dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Dalam hukum Islam wali itu terbagi 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2.
Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari tiga macam wali tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Ad.1. Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang
terdekat dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya
sebagai berikut:


Maksudnya: "Wali yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan tentang
ashabahnya bukan zawil arhm atau orang yang berhak
menikahkanya, karena suatu pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa
ada walinya". 31
Sedangkan fungsi yang dimiliki wali hakim berdasarkan hukum Islam dan
Undang-undang pada akhirnya adalah sama, yaitu sama-sama sebagai pengganti wali
nasab atau wali aqrab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya disebabkan oleh
halangan-halangan yang bersifat pribadi dari wali-wali tersebut, seperti `adhal
(enggan untuk menikahkan calon mempelai perempuan), ataupun disebabkan oleh
kondisi eksternal yang melekat pada wali-wali itu seperti mafqud (tidak diketahui
keberadaannya), sakit, wafat, jauh dari lokasi pernikahan, belum memenuhi syarat
yang ditetapkan hukum seperti belum baligh, atau gila sebagaimana yang terdapat
dalam UU perkawinan atau mayoritas ulama yang mensyaratkan wali dalam
perkawinan.
Demikian juga dalam pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan, "Untuk
melangsungkan Perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua".

31

Al-Kahlani, op.cit., hlm. 117.

Pasal yang sama ayat (4) menyebutkan: "Dalam hal kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya
maka izin diperoleh dari wali".

B. Kedudukan Wali Hakim Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam
1. Wali Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Kedudukan sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak
dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban merupakan peranan.
Seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazim disebut pemegang
peranan. Hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan
kewajiban adalah beban atau tugas. 32 Jadi yang dimaksud dengan kedudukan wali
disini adalah hak dan atau peranan yang dimiliki oleh wali dalam suatu perkawinan.
Lebih khusus lagi adalah hak dan peran wali dalam pelaksanaan perkawinan.
Wali dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang sangat penting,
keberadaannya menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Dalam UU Perkawinan, mengadopsi mazhab Syafi`i, menyatakan bahwa
wali nikah merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan. Perkawinan tanpa wali
akan menyebabkan tidak sahnya perkawinan. Ketentuan ini dimuat secara implisit
32

Muhammad Syarbaini Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Mesir: Dr al-Fikr, Jus III, 1978), hlm.

153.

dalam pasal 2 ayat (1), yaitu "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu".
Dengan demikian tidak ada perkawinan dalam Islam apabila tidak dianggap
sah menurut hukum Islam. Dalam hukum Islam wali merupakan rukun nikah, dimana
keberadaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pernikahan itu
sendiri, sehingga ketiadaan wali, baik wali nasab atau wali hakim, menyebabkan
pernikahan atau perkawinan tidak dianggap sah secara hukum Islam.
Mengenai kedudukan wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah tidak begitu
jelas dalam UU Perkawinan. Ia hanya sebatas memberikan izin dan izinnya itu
merupakan syarat sahnya untuk melakukan perkawinan bagi orang yang dibawah
kewaliannya, itupun bagi orang belum dewasa. Namun demikian untuk pengaturan
kehidupan keluarga, dalam hal ini perkawinan, diatur menurut perundang-undangan,
yaitu UU Nomor 1 tahun 1974. Undang-undang tersebut melegalisasi pemakaian
hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, khususnya hukum perkawinan. Oleh karena
itu tentang kedudukan wali dalam pelaksanaan perkawinan merujuk kepada hukum
Islam. Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia adalah Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Wali dalam perkawinan menurut KHI menjadi salah satu rukun dan sebagai
pelaksana ijab akad nikah sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 19. "Wali nikah

dalam perkawinan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahkannya".
Jadi, oleh karena hukum Islam (KHI) mensyaratkan adanya wali dan ia juga
sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan, maka demikian pulalah UU
Perkawinan di Indonesia, karena UU Perkawinan menganggap sah perkawinan
apabila telah dianggap sah hukum agama yang bersangkutan.
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menjelaskan, apakah calon
mempelai wanita dimaksud belum dewasa atau sudah, ataukah masih gadis atau
sudah janda. Dengan demikian, UU perkawinan berlaku umum dan menganggap sah
perkawinan jika ada wali dan ia yang melaksanakan ijab akad nikah itu. Sedang wali
yang dimaksud dalam ayat tersebut meliputi wali nasab dan wali hakim. Dengan
demikian, maka setiap perkawinan harus ada wali, keberadaan wali menentukan akan
sah atau tidaknya perkawinan itu. Jadi, UU perkawinan lebih cenderung kepada
mazhab Syafi`i atau mayoritas ulama yang mensyaratkan wali dalam perkawinan.
Sementara dalam Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan, "Untuk
melangsungkan Perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua".

Pasal 6 ayat (4) menyebutkan: "Dalam hal kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin
diperoleh dari wali".
Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan menentukan, bagi Perkawinan yang belum
dewasa harus mendapat izin dari orang tua atau wali. Lalu bagaimana kalau si calon
mempelai sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Tidak ada
penjelasan untuk itu. Oleh karena itu, berarti UU Perkawinan menganggap boleh
dilangsungkan perkawinan tanpa wali?
Manakala dihadapkan pada bunyi Pasal 14 dan 19 KHI, yang menghendaki
adanya wali nikah, baik perkawinan gadis, janda, dewasa ataupun belum dewasa, dan
ia (wali) yang melaksanakan ijab akad nikah, dengan bunyi Pasal 6 ayat (2) dan ayat
(4) UU Perkawinan, yang menyatakan izin kedua orang tua atau wali, diperlukan jika
umur calon mempelai wanita belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun. Ini berarti
bahwa perkawinan bagi yang belum dewasa harus mendapat izin dari orang tua atau
walinya. Sedangkan Perkawinan yang dilakukan oleh wanita yang berumur 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih atau yang sudah janda tidak memerlukan adanya izin dari
orang tua atau wali?
Kalau demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi yang sudah mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tidak dapat melangsungkan perkawinan

meskipun tidak ada izin dari orang tua atau wali. Demikian juga tidak ada alasan bagi
mereka untuk kawin lari dengan alasan serupa.
Secara

lahir

kedua

peraturan

perundang-undangan

itu

tampaknya

memunculkan pertentangan, di satu pihak membolehkan melakukan perkawinan


tanpa ada izin wali bagi yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih dan
di lain pihak menyatakan semua calon mempelai wanita harus mempunyai wali
apabila ingin menikah. Namun sebenarnya bila dicermati lebih dalam, pada dasarnya
kedua peraturan perundang-undangan tersebut saling mendukung dan mengisi
kekosongan satu sama lain, dengan demikian kedudukan atau peran wali dalam
perkawinan menurut UU Perkawinan bukan hanya memberi izin saja, namun
berperan sebagai pelaksana ijab akad nikah, baik bagi yang masih gadis ataupun bagi
yang berstatus janda, dewasa maupun yang belum dewasa. Wali nikah boleh saja wali
nasab atau wali hakim.
2. Wali Menurut Hukum Islam
Seorang muslim mempunyai dua kategori kemampuan (Ahliyat) dalam
tinjauan ilmu Ushul al-Fiqh, yaitu Ahliyat al-Wujud dan Ahliyat al-Ad'. 33 Ahliyat alWujud adalah kemampuan menerima hak dan kewajiban. 34 Yang dimaksud dengan
33

A. Hanafi, MA., Usul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Wijaya, Cet. VI, 1975), hlm. 25.
Kemampuan menerima hak dan kewajiban itu dibagi kepada dua kelompok, yaitu
kemampuan menerima tidak penuh, seperti bayi yang belum dilahirkan mengingat tidak mempunyai
wujud tersendiri. Ia dapat menerima hak-hak yang tidak memerlukan penerimaan (qabul), seperti
34

kemampuan ini adalah kepatuhan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban.
Dasar dari kemampuan ini adalah kemanusiaan, selama kemanusiaan itu ada, yaitu
masih hidup, maka kemampuan tersebut tetap dimiliki. 35
Ahliyat al-Ad' adalah kemampuan berbuat, yaitu kepatutan seseorang
untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut pandang hukum, baik
yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. 36
Dasar dari kemampuan berbuat adalah berakal, artinya karena seseorang
sudah berakal maka ia diberi "kemampuan berbuat". Tetapi karena "berakal" adalah
sesuatu yang abstrak, maka kedewasaan (bulgh) yang dijadikan ukurannya, yang
dapat diketahui dari tanda-tanda yang biasa dikenal atau dari umurnya, kurang lebih
15 (lima belas) tahun. 37 Kemampuan berbuat ini dibagi kepada 2 (dua), yaitu:
Kemampuan berbuat tidak penuh, yaitu bagi anak-anak yang sudah tamyz 38 , yang
menerima waris, nasab dan lain-lain. Tetapi ia tidak mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Kalau
walinya membelikan sesuatu untuknya maka yang terakhir ini tidak diwajibkan membayar dari
hartanya, tetapi wali sendiri yang membayarnya.
Sedangkan yang kedua adalah kelompok yang mempunyai kemampuan menerima penuh,
yaitu yang dimiliki seseorang yang sudah dilahirkan. Ia dapat menerima hak-hak dan kewajiban
sepenuhnya. Kemampuan ini dimiliki selkama hidupnya. Meskipun ia kehilangan akal ataupun gila
terus menerus. Yang dimaksud dengan kewajiban yang dikenakan terhadap harta bendanya. Karena
belum sempurna akal dan badannya maka walinya yang melaksanakannya.
35

Ibid.
Sebagai contoh adalah apabila ia berpuasa (perbuatan) , puasa itu sah, Kalau ia menjual
sesuatu (perkataan), transaksi itu sah, dan ia terikat dengan kewajiban-kewajiban yang timbul
dariperbuata tersebut. Lihat: M. Hasballah Thaib, MA., Al-Ushl f Ilm al-Ushl, Penerbit Dr alArafah, 1999, hlm. 26-30.
37
Ibid.
38
Tamyz masa transisi dimana kondisi anak yang sudah melewati fase kanak-kanak tetapi
belum mencapai usia baligh.
36

dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, berguna atau tidak, tetapi
pengetahuan tersebut belum kuat. Kedua adalah kemampuan berbuat yang penuh,
yaitu bagi orang-orang yang sudah dewasa. 39
Dalam masalah perwalian dalam perkawinan, ulama fiqh sependapat bahwa
ijab dan qabul adalah termasuk rukun dalam pernikahan. Namun mereka berbeda
pendapat dalam masalah ijab dalam nikah itu apakah dapat dianggap sah suatu
perkawinan apabila diucapkan langsung oleh calon istri, atau perempuan lain sebagai
wakilnya. Tegasnya sahkah ijab akad nikah jika diucapkan langsung oleh calon istri
(tanpa wali) atau ijab diucapkan oleh perempuan lain sebagai wakilnya (wanita lain
menjadi wali nikahnya).
Mengenai hal tersebut paling tidak ada tiga pendapat di kalangan ulama
fikih.
a. Wali haruslah seorang laki-laki, tidak sah perempuan menjadi wali. Pendapat
ini diperpegangi oleh Mazhab Syafi`I, Maliki dan Hambali. 40
b. Apabila seorang perempuan dewasa melakukan akad nikah, nikahnya tanpa
wali, sedangkan calon suaminya se-kufu' (sebanding) dengannya, nikahnya itu

39

Ibid.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981),

40

hlm. 64-66.

sah/boleh. Jika tidak sebanding, walinya berhak mem-fasakh-kan perkawinan


itu. Demikian pendapat Imam Abu Hnifah, Zufar, Al-Sya`biy dan al-Zuhriy. 41
c. Disyaratkan adanya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan
janda. Demikian menurut Abu Daud. 42
Menurut ibn Rusyd, perbedaan pendapat ini terjadi karena alasan landasan
hukum (dalil) yang dipakai oleh pihak yang mensyaratkan wali untuk melaksanakan
akad nikah hanya memuat kemungkinan demikian. Begitu juga alasan yang
diperpegangi oleh yang tidak mensyaratkan wali juga hanya bersifat kemungkinan
demikian. Ringkasnya, dalil-dalil yang dipakai oleh para pihak, boleh jadi memang
menunjukkan disyaratkan adanya wali dan wali harus yang melakukan ijab akad
nikah itu, namun tidak juga tertutup kemungkinannya bukan demikian. 43
Adapun dalil-dalil pendapat pertama, mazhab yang mengatakan bahwa wali
itu harus laki-laki dan ia yang melakukan ijab akad nikah, mengungkapkan alasan
dengan dalil al-Qur'an:
a.

Q.S. an-Nur ayat (32): (...

) artinya: "Dan kawinkanlah

orang-orang yang sendirian diantara kamu 44


41

Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: terj, Maskur AB.,
Lentera, 2001), hlm. 345.
42
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (Mesir: Juz II,Dr al-Kutub al-Arabiyah, tt.), hlm. 7.
43
Ibd.
44
Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra,
1989), hlm. 549.

b.

Q.S. al-Baqarah ayat (221): (

) , artinya: "Dan

janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita


mu'minah) sehingga mereka beriman". 45
c.

Q. S. al-Baqarah ayat (232):

()
artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan calon
suaminya". 46
Ayat pertama ditujukan kepada wali agar mereka menikahkan orang-orang
yang tidak bersuami. Oleh sebab itu urusan pernikahan menjadi wewenang wali,
bukan wewenang si calon mempelai wanita. 47
Ayat kedua juga ditujukan kepada wali agar mereka tidak menikahkan
perempuan muslimah dengan non muslim. Andaikata perempuan mempunyai hak
untuk menikahkan dirinya, tentu tidak ada artinya ayat itu ditujukan kepada para wali,
sebab ia sendiri boleh melaksanakan akad nikah itu. Lagi pula kalau sekiranya ada
hak perwalian bagi perempuan, sudah pasti ayat itu ditujukan kepada perempuan.

45

Ibid., hl. 53.


Ibid., hlm. 56.
47
Mahmud Syaltt dan Ali al-Syis, Muqranah al-Mazhib f al-Fiqh, (Al-Azhar:
Mathba`ah Muhammad Ali Shabih, 1953), hlm. 58.
46

Ayat ketiga menyatakan bahwa larangan dalam ayat tersebut ditujukan


kepada wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah larangan dalam ayat tersebut tidak
ada artinya dan tidak ada gunanya melarang para wali berlaku `adhal. Untuk
menguatkan pendapat ini, ayat ini diturunkan berkenaan dengan `adhal-nya Ma`qil
ibn Yasar, untuk menikahkan saudaranya yang telah diceraikan suaminya. Lalu
keduanya ingin bersama kembali, akan tetapi Ma`qil ibn Yasar tidak mau
menikahkan saudara perempuannya tersebut. 48
Jadi andai kata saudara perempuan Ma`qil ibn Yasar berhak
menikahkan dirinya, tentu tidak turun ayat yang mencela tindakan Ma`qil,
bahkan mestinya turun ayat agar langsung menikahkan dirinya tanpa wali.
Dari sisi lain, andaikata tidak ada wewenang wali, tentunya Rasul tidak
menyuruh Ma`qil untuk menikahkan saudaranya itu.
Adapun dalil-dalil dari sunnah/hadis Rasul diantaranya:
a. Hadis dari Abu Hurayrah yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal, Dr
Quthniy dan ibn Mjah:
49

48

Al-Qurthubiy, Al-Jmi` li Ahkm al-Qur'n, (Kairo: Juz III, Dr al-Kutub al-Arabiyah,


1987), hlm. 158.
49
Al-Syawkniy, Nail al-Awthr, (Mesir: Maktabah al-Bbiy al-`Arabiy Juz VI, tt.), hlm.
134.

Artinya: Janganlah seorang perempuan itu menikahkan perempuan lain dan janganlah
perempuan itu meikahkan dirinya sendiri, bahwasanya ciri perempuan
zina itu adalah yang menikahkan dirinya sendiri.
Hadits di atas melarang perempuan mengucapkan ijab akad nikah, baik
untuk orang lain ataupun untuk dirinya sendiri. Larangan menunjukkan batalnya
pekerjaan yang dilarang. 50 Selain itu, bahwa pernikahan yang langsung dilakukan
oleh perempuan calon mempelai sama dengan perzinahan atau pelacuran. 51
b. Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh ibn Mjah:
52

Artinya: Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya maka
nikahnya batal. Dan jika laki-laki (yang menikahinya) menggaulinya,
maka wajib baginya membayar mahar.
Para sahabat Nabi mengamalkan hadis ini, yakni tidak ada pernikahan
kecuali dengan wali. 53
c. Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal dari Abu Burdah ibn Abi Musa, bahwa
nabi pernah bersabda: "

50

" tidak sah nikah tanpa adanya wali.

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), hlm. 107.
Al-Syawkniy, loc. cit.
52
Al-Kahlniy, Subul al-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan,Juz III, tt.), hlm. 117.
53
Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Terj, M. Abdul Ghaffar E.M., Pustaka alKautsar, 2001), hlm. 50.
51

Hadis ini menunjukkan tidak sah nikah tanpa adanya wali, sebab pada
dasarnya pe-nafi-an (mentidakkan) adalah pernyataan tidak sah bukan pernyataan
tidak sempurna. Dengan kata lain akad pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. 54
Disamping kedua dasar hukum tersebut di atas, masih ada pertimbangan
ratio yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa pada umumnya tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk masyarakat rumah tangga. Masyarakat rumah tangga tidak dapat
dibina sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak
suami dengan keluarga pihak istri. Perempuan dengan segala kekurangannya dalam
hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih karena
perempuan itu cepat merasa dan sering terpengaruh dengan perasaan (emosional),
tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi
kamaslahatan. Dan supaya jangan terjadi demikian, maka dilaranglah perempuan
mencampuri langsung akad nikah, menikahkan dirinya. 55
Demikianlah pendapat mazhab al-Syafi`i dan yang sependapat dengannya
mengenai masalah ijab akad nikah tanpa wali, atau ijab yang dilakukan oleh
perempuan.

54

Al-Kahlniy, loc. cit.


Ismuha, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1978), hlm. 12.
55

Alasan pendapat kedua, yang berpandangan bahwa perkawinan boleh


dilakukan tanpa wali, atau perempuan boleh melakukan ijab akad nikah dengan
alasan:
1. Al-Qur'an:
a. Q.S. Al-Baqarah: ayat (230):

( )
Artinya: "Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain ".
Perkataan tankiha (dia kawin) pada ayat ini merupakan kata kerja yang
artinya menikahi, pelaku (subyek) adalah bekas istri yang ditalak. Hakikatnya
pekerjaan itu dilaksanakan langsung oleh subyek aslinya, tidak dilakukan orang lain.
Berdasarkan ini jelaslah wali tidak menjadi syarat dalam perkawinan. 56
Selain itu mereka mengkiaskan (analog) akad nikah pada akad jual beli, hal
mana akad jual beli boleh saja dilakukan oleh orang dewasa termasuk perempuan,
demikian juga dengan akad nikah. 57

56
57

Al-Alusi, Rh al-Ma`ani, (Beirut: Idarah Matba`ah Munirah, Juz I, tt.), hlm. 141.
Hasan Ayyub, op. cit., hlm. 48.

b. Q. S. Al-Baqarah: ayat (232):

...
Artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah
kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya ". 58
Zakaria al-Bariy memandang bahwa ayat 230 dan 232 surah al-Baqarah
tersebut disandarkan (diisnadkan) nikah itu kepada perempuan. Artinya kata tankiha
dan yankiha merupakan kata kerja, subyeknya adalah perempuan bekas istri. 59
Dengan demikian maka perempuan boleh mengawinkan (menjadi wali nikah).
2. Hadits-hadits:
a. Hadits riwayat Muslim dari ibn Abbas yang berkata: "Telah bersabda
Rasulullah SAW:
60

Artinya: "Janda adalah berhak atas dirinya dari pada walinya dan perempuan gadis
diminta izin mengenai dirinya dan izinnya adalah memadai dengan
diamnya ".

58

Departemen Agama RI., loc. cit.


Zakaria al-Bari, Al-Ahkam al-Assiyahli al-Usrah al-Islmiyah, (Mesir: Ma`had alDirasah al-Islamiyah, tt.), hlm. 78.
60
Al-Kahlani, op.cit., hlm. 119.
59

b. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari al-Nasai:


61

Artinya: "Wali tidak mempunyai urusan dengan perempuan janda (tsayyib) dan
yatimah (perempuan yatim) dimintai pendapatnya".
Perempuan janda memiliki kewenangan sempurna mengenai dirinya dan
hartanya. Kalau terhadap hartanya ia mempunyai kewenangan karena kecakapannya,
maka demikian pulalah kewenangannya mengenai pernikahannya. 62
3. Pertimbangan Ratio
Perkawinan bukan hanya mempunyai tujuan sekunder, dimana wali juga
ikut serta merasakan akibat dari perkawinan itu, seperti terikatnya tali kekerabatan
antara dua keluarga. Akan tetapi yang utama adalah tujuan primer yang hanya
dimiliki perempuan yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali, seperti
urusan istimta` (persebadanan), belanja (nafkah) rumah tempat tinggal, pakaian
(kiswah) dan hak-hak serta kewajiban lainnya yang dimiliki perempuan. Akad yang
bertujuan seperti tersebut di atas adalah wajar apabila yang memegang peranan dan
menentukan adalah orang yang bersangkutan yang mempunyai tujuan primer
tersebut. Selain dari itu, akad nikah serupa dengan akad jual beli, kalau seorang

61
62

Ibid.
Zakaria al-Bari, loc.cit.

perempuan diperbolehkan menjual hartanya yang dimilikinya, maka wajar pula lah ia
dibolehkan langsung melaksanakan akad nikahnya karena ini langsung mengenai
kemaslahatan dirinya.
Alasan pendapat ketiga yang berpendapat dengan disyaratkannya wali pada
perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan janda adalah berdasarkan hadits Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh ibn Abbas sebagai berikut:


Artinya: "Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan gadis diminta
izinnya dan izinnya adalah diamnya".
Hadits ibn Abbas ini membedakan antara status janda dan gadis. Janda dapat
menikah tanpa wali karena ia lebih berhak dari pada walinya. Malahan dari suatu
riwayat, ibn Abbas menerangkan bahwa si wali tidak mempunyai hak sedikitpun
terhadap janda. Si gadis tidak boleh langsung menikahkan dirinya karena akad
nikahnya harus dilangsungkan oleh orang ketiga atas izinnya. Orang ketiga itu tidak
lain adalah walinya. 63
Selanjutnya terhadap pendapat pertama, imam al-Syafi`i dan yang sepaham
dengannya, yang berpendirian bahwa wali menjadi syarat sah dalam melakukan ijab

63

Ibrahim Hosen, op.cit., hlm. 102.

akad nikah dalam perkawinan, dikomentari oleh pihak lain terhadap dalil-dalil
mereka sebagai berikut.
Adapun pengambilan dalil tentang harus ada wali dari ayat 32 QS an-Nur
dan ayat 221 QS al-Baqarah, bahwa objek pada ayat tersebut kemungkinan besar
ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, bukan khusus untuk para wali, dan bukan
untuk memerintahkan mereka mencampuri akad nikah. Itu termasuk kategori
pembuatan hukum yang umum, dan semua kaum muslimin diperintahkan untuk
beramal dalam rangka memelihara para janda dalam tindakan melarang mereka untuk
menikah seperti halnya pada masa jahiliyah. Hal ini didukung oleh hadits nabi SAW:

Artinya: "Apabila datang melamar kepadamu orang yang kamu suka mengenai agama
dan akhlaknya, maka kawinkanlah ia. Jika kamu tidak melakukannya,
akan terjadi suatu fitnah di muka bumi dan kerusakan besar".
Jelas bahwa yang dimaksud dengan hadits itu, yaitu memelihara janda
dengan mempermudah jalan untuk kawin dan tidak membatasi mereka dalam
melaksanakan perkawinan. 64 Lagi pula shigat amar yang ada pada kata ankih ayat
32 QS An-Nur bukan menunjukkan kepada kewajiban, tetapi lebih kepada ibahah.
64

Ismuha, op.cit., hlm. 127.

Karena kalau sekiranya menunjukkan wajib, maka berarti wali boleh mengawinkan
janda yang dewasa tanpa seizinnya. 65
Sedangkan ayat 232 QS al-Baqarah, adalah suatu kalimat yang tersusun dari
syarat dan jaz'. Tidak ada keraguan bahwa syarat adalah khitab kepada suami,
dengan demikian maka jawabnya pun harus khitab kepada suami. Kalau tidak maka
rusaklah susunan kalimat yang mulia itu. 66
Adapun pengambilan dalil dari sunnah Nabi

hadits itu

adalah dha`if muttharib pada sanadnya. 67 Ada yang meriwayatkan secara mungqathi`
(terputus jalur periwayatannya) dan diriwayatkan oleh Syu`bah secara mursal. Hadits
ini masih diperselisihkan ke-shahih-annya, karenanya masih diperselisihkan tentang
keharusan mengamalkannya. Oleh karena itu hadits ini tidak dapat diterima sebagai
hujjah (dalil). Andaikata dapat diterima, paling jauh hadits ini hanya sampai ke
derajat hasan, sedangkan hadits hasan tidak dapat melawan hadits shahih yang
mengatakan

(janda itu lebih berhak terhadap dirinya).

Selanjutnya alasan yang dikemukakan berdasarkan hadits:

65

Ibrahim Hosen, op.cit. hlm. 81.


Mahmud Syaltut, op.cit., hlm. 62.
67
Kamaluddin, Fath al-Qdir, (Mesir: Dr al-Fikr, Juz III,tt.), hlm. 259.
66

Menurut ibn Katsir hadits ini mauquf pada Abu Hurayrah. Kalaupun hadits ini marfu`
maka paling jauh maksudnya menghindari kesewenang-wenangan perempuan
mengenai dirinya dalam masalah perkawinan dan tidak ada disitu sesuatu yang
menunjukkan fasidnya akad apabila dilaksanakan oleh perempuan. 68
Seandainya hadits ini shahih sesuai dengan Mazhab Hanafi, kata la nafiyah
yang terdapat pada kata la tuzawwiju yang ditiadakannya adalah sempurnanya bukan
menafikan sahnya. Jadi larangan itu bukan menunjukkan batalnya perbuatan yang
dilarang, melainkan sebaliknya membuktikan sahnya perbuatan itu. Larangan dalam
hadits menunjukkan kepada sahnya nikah itu, karena nikah disyari`atkan oleh agama,
namun pelakunya berdosa karena ijab akad nikah yang diucapkan oleh perempuan,
yang mana dilarang oleh agama menurut hadits tersebut. 69
Mengenai disamakannya nikah tanpa wali dengan zina adalah kurang tepat,
"sebab zina adalah akad tanpa saksi dan bersifat rahasia, sedangkan akad nikah tanpa
wali yang disaksikan dua saksi tidak bersifat rahasia". 70
Sedangkan dalil secara ratio yang dikemukakan oleh Mazhab Syafi`i yang
mengatakan untuk menghasilkan tujuan-tujuan perkawinan, tujuan itu tidak
tergantung kepada keharusan si wali melaksanakan ijab akad nikah, tetapi cukuplah

68

Al-Syawkani, op.cit., hlm. 135.


Ibrahim Hosen, op.cit., hlm. 113.
70
Hasbullah Bakry, op.cit., hlm. 165.
69

bagi wali mengizinkan atau merestuinya/rela, kemudian nikah itu dilaksanakan oleh
siapa saja. Sebab kehilangan kemaslahatan bukan terletak kepada kewanitaannya,
melainkan kerena belum dewasanya (shaghir). Ole sebab itu tidak cukup alasan untuk
membuktikan bahwa ijab akad nikah tidak sah kalau dilaksanakan oleh perempuan.
Terhadap pendapat kedua yang menyatakan bahwa perempuan sah
melaksanakan ijab akad nikah, terhadap dalil mereka dikatakan sebagai berikut:
Khitab Q.S. Al-Baqarah ayat 230 dan 232 ditujukan kepada para wali.
Mereka dilarang berlaku adhal terhadap perempuan yang dibawah kewaliannya untuk
menikah dengan lelaki pilihannya. Adanya larangan adhal bagi wali menunjukkan
bahwa perwalian ada di tangan wali. Andaikata tidak ada perwalian bagi wali,
tentunya tidak turun ayat yang melarang adhalnya wali. 71
Sebagai bahan tambahan disini dapat dikemukakan bahwa andaikata hak
mengawinkan itu ada pada perempuan maka kata wa ankih pada ayat 32 QS al-Nur
dibaca wankih tanpa hamzah muqattha`ah atau menjadi huruf alif washal, demikian
menurut mayoritas ulama. 72

71

Sebab turunnya ayat 232 surah al-Baqarah di atas berkenaan dengan peristiwa Ma`qil ibn
Yasar yang enggan untuk menikahkan adik perempuannya dengan mantan suaminya. Lihat: Zakaria alBariy, op.cit., hlm. 79.
72
Al-Qurthubiy, op.cit., hl. 239.

Mengenai hadits Nabi SAW:


Dan hadits Nabi SAW:


Kedua hadits ini memang menunjuk tsayyib (janda) lebih berhak tentang
dirinya dari pada walinya. Maksudnya disini adalah kekuasaan atau kewenangan
tentang kerelaannya dalam memilih jodoh, yakni menentukan setuju atau tidaknya
perkawinan itu adalah hak si janda, bukan hak tentang pelaksanaan yang menyangkut
dengan ijab akad nikah. 73
Mengenai analog akad nikah disamakan dengan akad jual beli, hal ini
merupakan analog (qiyas) fasid. Sebab mengqiyaskan yang sudah terang ada
hukumnya. 74
Selanjutnya mengenai pendapat ketiga yang berpendirian bahwa perempuan
boleh menajdi wali jika perkawinan janda, dan disyaratkan adanya wali pada
perkawinan gadis, maka terhadap pendapat ini diajukan keberatan sebagai berikut:
Sifat perawan (bikarah) tidak mempunyai pengaruh dalam kehilangan hak
yang adanya karena berakal dan baligh. Sifat perawan tidak lebih hanya kebiasaan
73
74

Al-Syawkani, op.cit., hlm. 136.


Kamaluddin, op.cit., hlm. 257.

mengakibatkan adanya rasa malu mengenai kerelaannya untuk menyatakan


persetuuannya, sebagaimana diugkapkan dalam beberapa hadits, bahwa diamnya
gadis menunjukkan kerelaannya. Andaikata si gadis tidak menurut kebiasaannya yang
dipengaruhai oleh rasa malu, tentulah tidak dapat menggambarkan adanya perbedaan
antara janda dengan gadis dalam masalah pernyataan persetujuan nikah. Oleh sebab
itu tentunya tidak menggambarkan boleh diberi hukum batal mengenai ijab akad
nikah yang dilaksanakannya.
Demikianlah pendapat para pakar hukum Islam tentang boleh atau tidaknya
perempuan menjadi wali dalam pernikahan. Mazhab Hanafi membolehkan secara
mutlak dan tidak membedakan antara seoarang gadis atau janda yang sudah dewasa;
sedangkan Mazhab Syafi`I tidak membolehkannya secar mutlak, sementara Abu daud
membolehkannya pada perkawinan janda dan tidak pada perkawinan gadis.
Dalil-dali yang tidak sependapat dengan Mazhab Hanafi tidak dapat
membuktikan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk boleh melaksanakan
ijab akad nikah kalau mendapat izin dari wali, sesuai dengan hadits Nabi dari Aisyah
ra., berkata Nabi SAW:

)
75

75

Al-Kahlani, op.cit., hlm. 117.

Artinya: "Perempuan manapun manikah tanpa izin walinya, maka nikahnya


batalHR. Arba`ah kecuali Nasa'i.
Hadits tersebut memberi pengertian bahwa tidak ada nikah tanpa ada izin
wali. Artinya kalau ada izin wali pernikahan tersebut tidak batal. Sejalan dengan
hadits di atas ialah sabda Nabi SAW: "L nikha ill bi waliyyin" yang pada riwayat
Baihaqi berbunyi: "L nikha ill bi izni waliyyin" 76 izin bukan berarti harus wali
yang melaksanakan akad.
Dengan demikian maka pendapat yang menjadi pilihan penulis adalah
dengan menggabungkan antara dua pendirian di atas. Adapun alasan pemilihan
pendapat ini didasarkan kepada:
a. Meskipun Mazhab Hanafi memandang perempuan boleh menjadi wali dalam
perkawinan, namun mereka berpendirian bahwa lebih baik perempuan
mewakilkan kepada walinya dalam urusan perkawinan. Hal mana lebih
menjaga adat dan adab yang diakui agama.
b. Demi kemaslahatan, bahwa dalam akad perkawinan semestinya lah ada
persetujuan calon istri dan izin wali, dan tidak dilakukan oleh sepihak, yakni
oleh calon istri tanpa izin wali; atau oleh wali tanpa izin calon istri. Jika hal
seperti ini dilakukan tidak satu mazhabpun membantah perkawinan itu sah.
76

Zakiyuddin, op.cit., hlm. 218.

Sebab

tidak

dijumpai

dalam

syari`at

bahwa

perempuan

terlarang

melaksanakan akad. Bahkan syari`at tidak membedakan antara perempuan


dan laki-laki dalam bertindak melakukan akad. Namun demikian adalah
mustahab (lebih disukai) apabila wali melaksanakan ijab akad nikah, demi
menjaga celaan dan rasa malu si wanita
c. Jika masalah wali ini merupakan suatu aturan yang telah dikenal, tentu hal itu
sudah diriwayatkan kepada kita secara tawatur ataupun yang mendekati
tawatur. Karena masalah perkawinan ini merupakan suatu hal yang banyak
dibutuhkan. Pada hal ternyata baik alasan dari ayat al-Qur'an maupun hadist
nabi

SAW

secara

lahirnya,

yang

dipakai

sebagai

alasan

yang

mempersayaratkan wali hanya bersifat ihtimal untuk itu. Demikian juga ayatayat dan hadits-hadits yang dipakai oleh yang tidak mempersyaratkan wali
juga ihtimal untuk itu. 77
C. Syarat-syarat Untuk Menjadi Wali Hakim
1. Menurut Hukum Islam
Di muka telah dijelaskan bahwa untuk dapat terjadinya tindakan/perbuatan
hukum atau akad yang mempunyai akibat hukum, orang yang melakukannya harus
cakap dan mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.
77

Ibn Rusyd, op.cit., hlm. 7.

Akan halnya perwalian dalam perkawinan, bagi sahnya perwalian


disyaratkan:
a.

Berkecakapan sempurna, yaitu baligh, berakal dan merdeka. Oleh karena itu
tidaklah sah anak-anak (belum dewasa), orang gila dan hamba sahaya
memangku perwalian, karena mereka tidak mempunyai wilayah atas diri
sendiri, apalagi wilayah atas wilayah orang lain, tentu lebih tidak layak. 78

b.

Kesamaan agama antar wali dan yang diwalikan. Oleh karena tujuan
perwalian adalah untuk kebaikan orang yang dibawah perwalian, maka
kesamaan agama diantara keduanya lebih layak untuk kebaikannya. Oleh
sebab itu tidak layak perwalian non muslim atas orang muslimah. 79

c.

Adil. Adil menjadi syarat perwalian di kalangan mazhab Syafi`i, namun tidak
demikian bagi mazhab Hanafi. Menurut mazhab Hanafi meskipun ada hadits:


Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, sebab hadits ini dha`if, kalaupun
hadits ini diterima sebagai dalil, kata mursyid dalam hadits tersebut bukan bermakna
adil, akan tetapi cerdik, yaitu dapat membedakan baik dan buruk.

78

Muhammad Salam Madkur, Ahkam al-Usrah fi al-Islam, (Beirut: an-Nahdhah al`Arabiyah, Jld I, 1968), hlm. 178.
79
Ibid.

d.

Laki-laki. Laki-laki merupakan syarat perwalian, karena ia dianggap lebih


sempurna, sedangkan wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya
sendiri, apalagi orang lain. 80
Dengan demikian sahnya perwalian dalam hukum Islam masih terdapat

pluralistik mazhab, meskipun ada keseragaman pendapat tentang baligh, berakal,


merdeka dan Islam menjadi syarat perwalian. Mazhab Syafi`i menambahkan adil dan
laki-laki menjadi syarat menjadi wali, sementara mazhab Hanafi tidak mensyaratkan.
2. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
Pasal 47 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan,
"Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan".
Sebagaimana

diketahui

pelaksanaan

perkawinan

merupakan

perbuatan/peristiwa hukum. Menyimak bunyi kedua ayat tersebut, diketahui bahwa


kedua orang tua mempunyai kekuasaan/wewenang bertindak dalam melakukan
perbuatan hukum atas nama dan untuk kepentingan anaknya. Namun kewenangan itu
dimiliki oleh mereka jika anaknya belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun,

80

Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Kautsar, terj, M. Abdul Ghaffar, 2001),

hlm. 59.

tidak pula sudah pernah menikah, tentu termasuk janda dan tidak pula kekuasaan
mereka telah dicabut.
Dalam hal kekuasaan orang tua telah dicabut maka kewenangan itu menjadi
kekuasaan wali. Pasal 50 ayat (1) menyatakan, "Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak di
bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu
mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya".
Sejauh bunyi Pasal 50 Ayat 1 dan 2 tersebut di atas, tidak dijelaskan apakah
kedua orang tua atau wali yang dimaksud laki-laki atau perempuan. Ini berarti
Undang-undang Perkawinan memberi peluang bagi perempuan memangku perwalian,
dengan perkataan lain perempuan juga boleh menjadi wali?
Selanjutnya pasal 51 ayat (2) menyatakan, "Wali sedapat-dapatnya diambil
dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil,
jujur dan berkelakuan baik".
Undang-undang Perkawinan mensyaratkan dewasa, sehat pikiran, adil, jujur
dan berkelakuan baik bagi wali, tanpa mensyaratkan laki-laki. Khusus mengenai wali
nikah Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan apakah perempuan boleh
menjadi wali. Namun demikian karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga

merupakan hukum tertulis dan juga menjadi acuan bagi pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan mensyaratkan laki-laki sebagai wali nikah. Pasal 20 ayat (1) KHI
menyatakan "Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh".
Berdasarkan hal tersebut di atas, syarat perwalian/wali menurut Undangundang Perkawinan ialah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, berkelakuan baik.
Secara teoritis Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan laki-laki menjadi
syarat wali, akan tetapi dalam praktiknya laki-laki menjadi syarat dalam perwalian
dan dalam perkawinan, karena demikian menurut KHI. Itu artinya haruslah laki-laki
yang menjadi wali nikah.
3. Wali Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang
Adapun macam-macam wali dapat digolongkan berdasarkan sudut pandang
yang dipakai untuk itu, antara lain:
a. Dari Sisi objek perwaliannya.
Para ulama fikih sependapat bahwa wali dalam perkawinan (wilayah Tazwij)
ditinjau dari segi objek perwaliannya dapat digolongkan menjadi wali mujbir

[ dan wali ghairu mujbir [] . Adapun wali mujbir ialah


seorang wali berhak mengakadnikahkan orang yang diwalikannya tanpa persetujuan

Menurut Mahmud Yunus (1981) "wali mujbir artinya, wali yang boleh
memaksakan perkawinan kepada anaknya sehingga ia boleh mengawinkan anak
perempuannya dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepada anaknya". 82
Agama memang mengakui wali mujbir memiliki kewenangan memaksakan
ijab akad nikah anak perempuannya yang belum dewasa selagi masih gadis. Dalam
hal ini para fuqaha sependapat.
b. Dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Memandang kepada jauh-dekatnya hubungan pertalian darah antara yang
diwalikan dengan walinya, wali dapat dibagi menjadi wali aqrab [
dan wali ab`ad [

]. Misalnya kakek dengan ayah dan anak dengan cucu.

Maka dalam hal ini ayah sebagai wali aqrab dan kakek menjadi wali ab`ad, dan anak
sebagai wali aqrab sedangkan cucu menjadi wali ab`ad.
c. Dari kedudukan pemangku perwalian.
Mereka para wali kerabat calon mempelai yang disebut sebagai wali nasab,
mempunyai kewenangan dalam perwalian, sesuai urutan kedudukannya yang tererat
81

Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 21.


Mahmud Yunus, op.cit., hlm. 64.

82

dengan calon mempelai. Kewenangan yang mereka peroleh karena kedudukan


mereka sebagai keluarga terdekat. Namun apabila mereka tidak ada, atau mereka
tidak memenuhi syarat menjadi wali, atau mereka adhal, perwalian yang seharusnya
menjadi hak mereka berpindah kepada sulthan/hakim. Kewenangan yang ia miliki
ialah berdasarkan kekuasaan yang ada padanya yaitu kedudukannya sebagai penguasa
yang disebut dengan Wilayah `Ammah.
4. Wali Hakim
Mereka para wali, kerabat dekat calon mempelai perempuan yang disebut
dengan wali nasab mempunyai wewenang menikahkannya sepanjang tidak terdapat
hal-hal yang mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut peraturan
perundang-undangan.
Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali
nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah
`Ammah, sebagaimana wilayahnya yang berkaitan dengan pengurusan harta kekayaan
orang yang tidak menjadi wali, demikian pula dengan wilayahnya yang berhubungan
dengan pernikahan.
Adapun alasan bahwa sulthan boleh memangku sebagai wali nikah (wilayah
tazwij) yaitu hadits Nabi SAW., dari Aisyah ra:

.
) .
(
Artinya: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka
nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya,
maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh
dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka
sulthan itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali. 83
Yang dimaksud dengan sulthan disini ialah Imam (pemimpin, kepala
Negara) atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu. 84 Hadits di atas merupakan dalil
bahwa ijab akad nikah tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini
juga sebagai alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya
mengharuskan pembayaran mahar. Selanjutnya menurut beliau, yang dimaksud
dengan 'pertengkaran ' disini adalah yang disebabkan oleh larangan menikah dan
bukan pertengkaran karena saling mendahului antar wali. Jadi, apabila si wali
melarang menikah perempuan yang berada di bawah perwaliannya, maka
pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada wali ab`ad. Demikian
juga apabila wali aqrab ghaib (tidak ada di tempat) atau sedang ihram, atau si calon
mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh menikahkannya. 85

83

Al-Kahlani, loc.cit.
Ibn Qudamah, 1367 H., Al-Mughni, (Mesir: Daar al-Manar, Juz VI), hlm. 461.
85
Hasan Ayyub, Op. Cit., hal. 57.
84

Tentang wali hakim ialah: "Kepala Negara yang beragama Islam yang
mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk
menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim". 86
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan
tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim
sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf (b) "Wali hakim ialah wali nikah yang
ditunjuuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak
dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".
Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim,
menyatakan:
Pasal 1 huruf (b), wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali
nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Pasal 2 ayat (1), bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah
Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra teritoria Indonesia ternyata
tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak
memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya
dapat dilangsungkan dengan wali hakim.
Melihat rumusan-rumusan wali hakim di atas, dapat dimengerti bahwa, wali
hakim memperoleh kewenangan menjadi wali nikah atas dasar penunjukan

86

Hasballah Thaib, 1983, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam, (Medan: Universitas
Dharmawangsa), hlm. 53.

berdasarkan jabatan yang ia pangku. Hal mana dinyatakan kata 'pejabat' pada bunyi
pasal 1 huruf (b) di atas.
Pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala
Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas
nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apabila
ternyata Ka KUA berhalangan atau tidak ada, dan pegawai yang memenuhi syarat
menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pada pasal 4 dan 5 PMA Nomor: 2 tahun 1987 tersebut menyatakan
demikian:
Ayat (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat
Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan
mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Ayat (2) apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama
berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas
nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa
untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai
Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Pasal 5: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang
memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri sebagaimana yag dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada Latar Belakang Masalah, bahwa


dalam pembahasan hukum Islam sesungguhnya wali itu terbagi kepada 3 (tiga)
macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari tiga
macam wali tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ad.1. Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang
terdekat dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya
sebagai berikut:


Maksudnya: yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan tentang
ashabahnya bukan zawil arhm atau orang yang berhak menikahkanya, karena suatu
pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa ada walinya. 87
Wali-wali ini jika dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi 2, yaitu:
1 Wali Mujbir: yaitu wali yang terdiri dari ayah, kakek hingga ke atas.
2. Wali Ghairu Mujbir: yaitu wali yang terdiri dari selain yang disebutkan di atas.
a. Saudara laki-laki seibu dan sebapak,
b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan sebapak,
c. Saudara laki-laki sebapak,
d. Anak laki-laki dari saudara sebapak,
e. Paman,
87

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, (Bandung, 1976), hlm. 117.

f. Anak Paman. 88
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 21: ayat (!), wali nasab terdiri
dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kerabatan dengan calon mempelai
wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung
atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok
kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan
laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, yaitu saudara
laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Ayat (2) apabila dalam suatu kelompok wali nikah terdapat terdapat
beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi
wali ialah lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
Ayat (3) apabila dalam suatu kelompok, derajat kekerabatannya sama yaitu
sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat se-ayahnya, mereka sama-sama
berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi
syarat-syarat wali.

88

Hamdan Abbas, Diktat Fikih Munakhat,UISU, (Medan: 1973),hlm. 15.

Ad. 2. Wali hakim yaitu Kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, dan wali hakim ini bias bertindak sebagai wali nikah apabila betul-betul
tidak ada wali nasabnya, sesuai dengan hadits Nabi SAW:

( )
Artinya: Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan hakim menjadi
wali, apabila tidak ada wali untuknya. (HR. Thabrani)
Menurut Zakaria al-Bari dalam kitabnya sebagai berikut:


.

Maksudnya: Apabila tidak ada wali yang dekat semata-mata juga tidak ada dari
ashabahnya dan tidak ada pihak lainnya, maka berpindah hak wali
untuk menikahkannya ialah hakim, sesuai menurut sabda Rasulullah
SAW, hakim menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali
dan berpindahlah wali tersebut kepada hakim (Qadhi) dan juga
hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa setiap orang yang
hendak menikah dengan seorang perempuan yang tidak ada walinya
berarti tidak sah. 89
Tetapi ada juga perbedaan pendapat para ulama tentang syarat-syarat adanya
wali pada pernikahan atau juga dengan seizinnya yang antara lain ialah:

89

Zakaria al-Bari, tt., hlm. 72.

Jumhur Ulama berpendapat bahwa harus adanya wali juga si perempuan itu
mau nikah dengan seorang laki-laki, mereka ini mengikutkan sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW yang maksudnya, tidak seorang perempuan mengawinkan dirinya
sendiri. Pendapat ini didukung pula oleh ibn Mundzir.
Dia tidak pernah melihat seorang sahabatpun yang menentang pendapat ini
juga diambil dari hadits-hadits Rasulullah SAW untuk memahaminya.
Malik berpendapat seorang wali harus mempunyai sifat-sifat mulia, adil dan
jangan ada padanya sifat-sifat fasik yaitu tidak melaksanakan shalat dan berbuat yang
tidak baik ketika dilihat oleh masyarakat lainnya. Andaikata sudah terdapat yang
demikian itu, maka dibenarkan bagi si perempuan itu untuk mengawinkan dirinya
sendiri dan disini tidak berpindah kepada wali hakim hanya terus kepada dirinya
sendiri untuk menjadi wali terhadap perempuan itu.
Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang perempuan yang berhak kawin
dengan seorang laki-laki harus memiliki wali, dan wali disini tidak memandang
syarat-syaratnya baik ia mulia maupun hina, tetap sahnya perkawinan itu dengan
adanya wali, mereka ini mengkiaskan dengan seorang penjual barang, disini tidak
memandang kepada si penjual baik dia bodoh maupun itu pandai, yang lebih penting
adalah bahwa perbuatan menjual itu terlaksana.

Penulis memperhatikan kepada pendapat-pendapat di atas dan juga dengan


alasan-alasannya masing-masing, maka lebih cenderung kepada pendapat jumhur
ulama, karena mereka ini banyak pengikut-pengikutnya yang menguatkannya serta
lebih jelas argumennya dari yang lain.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 23:
Ayat (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau ghaib atau `adhal atau enggan.
Ayat (2) Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagi wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang
wali tersebut.
Ad. 3. Wali Tahkim: yaitu wali yang diminta oleh perempuan untuk menjadi
wali/menikahkannya. Wali tahkim terjadi ketika wali nasab dan wali hakim tidak ada,
ini juga terjadi pada kasus dhoruriyah.

BAB III
FUNGSI WALI HAKIM DALAM PERKAWINAN
A. Perwalian Dalam Perkawinan
Paling tidak ada tiga pendapat di kalangan ulama fikih Islam tentang wali
dalam perkawinan ini, yaitu:
1. Wali haruslah seorang laki-laki, tidak sah perempuan menjadi wali. Pendapat
ini diperpegangi oleh Mazhab Syafi`i, Maliki dan Hambali. 90
2. Apabila seorang perempuan dewasa melakukan akad nikah, nikahnya tanpa
wali, sedangkan calon suaminya se-kufu' (sebanding) dengannya, nikahnya itu
sah/boleh. Jika tidak sebanding, walinya berhak mem-fasakh-kan perkawinan
itu. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya`biy dan alZuhriy. 91
3. Disyaratkan adanya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan
janda. Demikian menurut Abu Daud. 92
Menurut ibn Rusyd, perbedaan pendapat ini terjadi karena alasan landasan
hukum (dalil) yang dipakai oleh pihak yang mensyaratkan wali untuk melaksanakan
akad nikah hanya memuat kemungkinan demikian. Begitu juga alasan yang
diperpegangi oleh yang tidak mensyaratkan wali juga hanya bersifat kemungkinan

90

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981),

hlm. 64-66.

91

Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: terj, Maskur AB.,
Lentera, 2001), hlm. 345.
92
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (Mesir: Juz II, Dr al-Kutub al-Arabiyah,tt.), hlm. 7.

demikian. Ringkasnya, dalil-dalil yang dipakai oleh para pihak, boleh jadi memang
menunjukkan disyaratkan adanya wali dan wali harus yang melakukan ijab akad
nikah itu, namun tidak juga tertutup kemungkinannya bukan demikian. 93
Adapun dalil-dalil pendapat pertama, mazhab yang mengatakan bahwa wali
itu harus laki-laki dan ia yang melakukan ijab akad nikah, mengungkapkan alasan
dengan dalil al-Qur'an:
a.

Q.S. an-Nur ayat (32): (...

) artinya: "Dan kawinkanlah

orang-orang yang sendirian diantara kamu 94


b.

Q.S. al-Baqarah ayat (221): (

) , artinya: "Dan

janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita


mu'minah) sehingga mereka beriman". 95
c.

Q. S. al-Baqarah ayat (232):

()
Artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan calon
suaminya". 96

93

Ibid.
Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra,
1989), hlm. 549.
95
Ibid., hl. 53.
96
Ibid., hlm. 56.
94

Ayat pertama ditujukan kepada wali agar mereka menikahkan orang-orang


yang tidak bersuami. Oleh sebab itu urusan pernikahan menjadi wewenang wali,
bukan wewenang si calon mempelai wanita. 97
Ayat kedua juga ditujukan kepada wali agar mereka tidak menikahkan
perempuan muslimah dengan non muslim. Andaikata perempuan mempunyai hak
untuk menikahkan dirinya, tentu tidak ada artinya ayat itu ditujukan kepada para wali,
sebab ia sendiri boleh melaksanakan akad nikah itu. Lagi pula kalau sekiranya ada
hak perwalian bagi perempuan, sudah pasti ayat itu ditujukan kepada perempuan.
Ayat ketiga menyatakan bahwa larangan dalam ayat tersebut ditujukan
kepada wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah larangan dalam ayat tersebut tidak
ada artinya dan tidak ada gunanya melarang para wali berlaku `adhal. 98
Adapun dalil-dalil dari sunnah/hadis Rasul diantaranya:
d.

Hadis dari Abu Hurayrah yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal, Dr
Quthniy dan ibn Mjah:

97

Mahmud Syaltt dan Ali al-Syis, Muqranah al-Mazhib f al-Fiqh, Mathba`ah


Muhammad Ali Shabih, (Al-Azhar: 1953), hlm. 58.
98
Untuk menguatkan pendapat ini, ayat ini diturunkan berkenaan dengan `adhal-nya Ma`qil
ibn Yasar, untuk menikahkan saudaranya yang telah diceraikan suaminya. Lalu keduanya ingin
bersama kembali, akan tetapi Ma`qil ibn Yasar tidak mau menikahkan saudara perempuannya tersebut.
Jadi andaikata saudara perempuan Ma`qil ibn Yasar berhak menikahkan dirinya, tentu tidak turun ayat
yang mencela tindakan Ma`qil, bahkan mestinya turun ayat agar langsung menikahkan dirinya tanpa
wali. Dari sisi lain, andaikata tidak ada wewenang wali, tentunya Rasul tidak menyuruh Ma`qil untuk
menikahkan saudaranya itu. Al-Qurthubiy, Al-Jmi` li Ahkm al-Qur'n, Juz III, Dr al-Kutub alArabiyah, Kairo: 1987, hlm. 158.

99

Artinya: Janganlah seorang perempuan itu menikahkan perempuan lain dan janganlah
perempuan itu meikahkan dirinya sendiri, bahwasanya ciri perempuan
zina itu adalah yang menikahkan dirinya sendiri.
Hadits di atas melarang perempuan mengucapkan ijab akad nikah, baik
untuk orang lain ataupun untuk dirinya sendiri. Larangan menunjukkan batalnya
pekerjaan yang dilarang. 100 Selain itu, bahwa pernikahan yang langsung dilakukan
oleh perempuan calon mempelai sama dengan perzinahan atau pelacuran. 101
e. Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh ibn Mjah:
102

Artinya: Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya maka
nikahnya batal. Dan jika laki-laki (yang menikahinya) menggaulinya,
maka wajib baginya membayar mahar.
Para sahabat Nabi mengamalkan hadis ini, yakni tidak ada pernikahan
kecuali dengan wali. 103

99

Al-Syawkniy, Nail al-Awthr, Juz VI, (Mesir: Maktabah al-Bbiy al-`Arabiy, Mesir: tt.),

hlm. 134.
107.

100
101

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), hlm.

Al-Syawkniy, loc. cit.


Al-Kahlniy, Subul al-Salam, Juz III, (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.), hlm. 117.
103
Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Terj: M. Abdul Ghaffar E.M., (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001), hlm. 50.
102

f.

Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal dari Abu Burdah ibn Abi Musa, bahwa nabi
pernah bersabda: "

" tidak sah nikah tanpa adanya wali.

Hadis ini menunjukkan tidak sah nikah tanpa adanya wali, sebab pada
dasarnya pe-nafi-an (mentidakkan) adalah pernyataan tidak sah bukan pernyataan
tidak sempurna. Dengan kata lain akad pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. 104
Disamping kedua dasar hukum tersebut di atas, masih ada pertimbangan
ratio yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa pada umumnya tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk masyarakat rumah tangga. Masyarakat rumah tangga tidak dapat
dibina sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak
suami dengan keluarga pihak istri. Perempuan dengan segala kekurangannya dalam
hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih karena
perempuan itu cepat merasa dan sering terpengaruh dengan perasaan (emosional),
tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi
kamaslahatan. Dan supaya jangan terjadi demikian, maka dilaranglah perempuan
mencampuri langsung akad nikah, menikahkan dirinya. 105

104

Al-Kahlniy, loc. cit.


Ismuha, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1978), hlm. 12.
105

Demikianlah pendapat mazhab al-Syafi`i dan yang sependapat dengannya


mengenai masalah ijab akad nikah tanpa wali, atau ijab yang dilakukan oleh
perempuan.
Alasan pendapat kedua, yang berpandangan bahwa perkawinan boleh
dilakukan tanpa wali, atau perempuan boleh melakukan ijab akad nikah dengan
alasan:
g.

Al-Qur'an:
2.

Q.S. Al-Baqarah: ayat (230):

( )
Artinya: "Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain ".
Perkataan tankiha (dia kawin) pada ayat ini merupakan kata kerja yang
artinya menikahi, pelaku (subyek) adalah bekas istri yang ditalak. Hakikatnya
pekerjaan itu dilaksanakan langsung oleh subyek aslinya, tidak dilakukan orang lain.
Berdasarkan ini jelaslah wali tidak menjadi syarat dalam perkawinan. 106

106

Al-Alusi, Rh al-Ma`ani, Juz I, (Beirut: Idarah Matba`ah Munirah, tt.), hlm. 141.

Selain itu mereka mengkiaskan (analog) akad nikah pada akad jual beli, hal
mana akad jual beli boleh saja dilakukan oleh orang dewasa termasuk perempuan,
demikian juga dengan akad nikah. 107
3. Q. S. Al-Baqarah: ayat (232):

...
Artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah
kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya ". 108
Zakaria al-Bariy memandang bahwa ayat 230 dan 232 surah al-Baqarah
tersebut disandarkan (diisnadkan) nikah itu kepada perempuan. Artinya kata tankiha
dan yankiha merupakan kata kerja, subyeknya adalah perempuan bekas istri.109
Dengan demikian maka perempuan boleh mengawinkan (menjadi wali nikah).
h.

Hadits-hadits:
a. Hadits riwayat Muslim dari ibn Abbas yang berkata: "Telah bersabda
Rasulullah SAW:
110

107

Hasan Ayyub, op. cit., hlm. 48.


Departemen Agama RI., loc. cit.
109
Zakaria al-Bari, Al-Ahkam al-Assiyahli al-Usrah al-Islmiyah, (Mesir: Ma`had alDirasah al-Islamiyah, tt.), hlm. 78.
110
Al-Kahlani, op. cit., hlm. 119.
108

Artinya: "Janda adalah berhak atas dirinya dari pada walinya dan perempuan gadis
diminta izin mengenai dirinya dan izinnya adalah memadai dengan
diamnya ".
b. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari al-Nasai:
111

Artinya: "Wali tidak mempunyai urusan dengan perempuan janda (tsayyib) dan
yatimah (perempuan yatim) dimintai pendapatnya".
Mereka mengatakan bahwa perempuan dewasa dan berakal memiliki
kecakapan sempurna, sebab itu ia memiliki kewenangan sempurna mengenai dirinya
dan hartanya. Kalau terhadap hartanya ia mempunyai kewenangan karena
kecakapannya, maka demikian pulalah kewenangannya mengenai pernikahannya. 112
i.

Pertimbangan Ratio
Perkawinan bukan hanya mempunyai tujuan sekunder, dimana wali juga

ikut serta merasakan akibat dari perkawinan itu, seperti terikatnya tali kekerabatan
antara dua keluarga. Akan tetapi yang utama adalah tujuan primer yang hanya
dimiliki perempuan yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali, seperti
urusan istimta` (persebadanan), belanja (nafkah) rumah tempat tinggal, pakaian
111
112

Ibid.
Zakaria al-Bari, loc. cit.

(kiswah) dan hak-hak serta kewajiban lainnya yang dimiliki perempuan. Akad yang
bertujuan seperti tersebut di atas adalah wajar apabila yang memegang peranan dan
menentukan adalah orang yang bersangkutan yang mempunyai tujuan primer
tersebut. Selain dari itu, akad nikah serupa dengan akad jual beli, kalau seorang
perempuan diperbolehkan menjual hartanya yang dimilikinya, maka wajar pulalah ia
dibolehkan langsung melaksanakan akad nikahnya karena ini langsung mengenai
kemaslahatan dirinya.
Alasan pendapat ketiga yang berpendapat dengan disyaratkannya wali pada
perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan janda adalah berdasarkan hadits Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh ibn Abbas sebagai berikut:


Artinya: "Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan gadis diminta
izinnya dan izinnya adalah diamnya".
Hadits ibn Abbas ini membedakan antara status janda dan gadis. Janda
dapat menikah tanpa wali karena ia lebih berhak dari pada walinya. Malahan dari
suatu riwayat, ibn Abbas menerangkan bahwa si wali tidak mempunyai hak
sedikitpun terhadap janda. Si gadis tidak boleh langsung menikahkan dirinya karena

akad nikahnya harus dilangsungkan oleh orang ketiga atas izinnya. Orang ketiga itu
tidak lain adalah walinya. 113

B. Perpindahan Hak Perwalian


Pada bab terdahulu telah dijelaskan urutan perwalian dan merupakan urutan
prioritas, yaitu prioritas pertama untuk menjadi wali adalah mereka yang berada
dalam kelompok wali aqrob. Namun demikian bagaimana apabila seorang wanita
dinikahkan oleh wali yang jauh (wali ab`ad) sedangkan wali aqrob-nya ada, para
fuqaha berbeda pendapat tentang hal ini.
Menurut Imam al-Syafi`i, wali ab`ad tidak boleh mengawinkan perempuan
selma adsa wali aqrob-nya yang memenuhi syarat untuk menjadi wali. 114 Menurut
mazhab Hanafi, jikawali ab`ad mengawinkan seorang anak perempuan padahal wali
aqrob-nya masih ada, maka perkawinan itu sah jika disetujui oleh wali aqrob itu.
Kalau tidak disetujui maka perkawinan itu tidak sah. 115
Mazhab Malik berpendapat tertib antara wali-wali itu bukan merupakan
syarat. Oleh karena itu wali ab`ad bleh mengawinkan perempuan, walaupun wali

113

Ibrahim Hosen, op. cit., hlm. 102.


Ibn Rusyd, op. cit., hlm. 13.
115
Abd al-Rahman Al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh `Ala Mazahib al-Arba`ah, (Kairo: Dr alNahdhah, Juz IV, 1986), hlm. 40.
114

aqrob-nya masih ada, kecuali wali mujbir, wshi, dan tuan. Misalnya antara saudara
(aqrob) dengan paman (ab`ad), lalu paman bertindak menjadi wali. 116
Menurut ibn Rusyd, silang pendapat ini disebabkan apakah urutan wali
tersebut merupakan hukum syara`, yaitu ditetapkan oleh syara` untuk urusan
perwalian, ataukah bukan hukum syara`, lalu apakah perwalian itu merupakan hak
wali dekat (aqrob) ataukah hak Allah. Dikalangan fuqaha yang tidak menganggap
tertib wali itu sebagai hukum syara` mereka berpendapat wali jauh (ab`ad) boleh
mengawinkan walaupun ada wali aqrob. Sementara bagi fuqha yang berpandangan
bahwa tertib wali tersebut sebagai hukum syara`, disamping menganggapnya sebagai
hak wali (aqrob), mereka mengatakan apabila wali aqrob membolehkan, maka akad
nikah sah dan boleh diteruskan. Akan tetapi jika wali aqrob tidak membolehkan,
maka perkawinan itu dibatalkan. Fuqaha yang berpandangan bahwa perwalian itu hak
Allah maka perkawinan itu tidak terjadi. 117
Selanjutnya, mengenai perpindahan perwalian dapat terjadi disebabkn
kematian dan tidak terpenuhi syarat menjadi wali. Para ulama sependapat bahwa hak
perwalian dapat berpindah dari wali aqrob kepada wali ab`ad disebabkan wali aqrobnya tidak ada (meninggal dunia), atau tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali.

116
117

Ibid., hlm. 37.


Ibn Rusyd, loc. cit.

Misalnya sakit keras, gila, idiot, atau masih anak-anak pada saat dilaksanakannya
pernikahan.
Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai penyebab lainnya,
antara lain:
a. Ghaibnya wali (wali tidak berada di tempat)
Pengikut mazhab Hanafi berpendirian bahwa, jika wali aqrob ghaib, maka
perwalian itu berpindah kepada wali ab`ad. 118 Menurut mereka ghaib yang jauh itu
tidak diukur dengan masafah qashar shalat yang biasa disebut dalam kitab fikih dua
marhalah, yaitu sejauh perjalanan unta sehari semalam, seperti pendapat mazhab alSyafi`iyyah, atau dengan perjalanan empat bulan seperti pendapat mazhab Maliki,
melainkan mengingat sulitnya perhubungan. Kalau sekiranya ditunggu kedatangan
wali yang ghaib itu atau diminta pertimbangannya, kemungkinan besar akan
menggagalkan pernikahan tersebut, maka yang demikian itu dikategorikan ghaib
juga. Katika itu, hak perwalian tidak berpindah kepada wali hakim melainkan kepada
wali ab`ad. 119
Selanjutnya menurut mazhab Maliki, jika wali mujbir ghaib jauh, perwalian
berpindah kepada hakim. Hanya saja menurut mazhab ini ghaib jauh itu sama

118
119

Hasan Ayyub, op. cit., hlm. 51.


Al-Jaziri, op. cit., hlm. 41.

dengan empat bulan perjalanan unta. Pendapat ini juga mempertimbangkan kondisi
calon mempelai itu. Jika dikhawatirkan ia tidak akan dapat menjaga diri, atau
berkenan dengan keinginan orang tersebut untuk menikah, karena biaya hidup
misalnya, meskipun wali itu dekat, tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya, maka
sama dengan wlai ghaib jauh, hakim dapat mengawinkannya. Namun jika wali mujbir
itu ditahan atau berpenyakit gila temporal maka tidak boleh mengawinkannya tanpa
seizinnya. Jika gilanya permanen, perwalian berpindah kepada wali ab`ad, demikian
juga jika wali itu masih kecil, pikun dan atau seorang hamba. 120
Mazhab Syafi`i berpandangan bahwa jika wali aqrob ghaib maka hak
perwalian itu diserahkan kepada hakim, sedang wali ab`ad tidak berhak
mengawinkannya. 121 Sedangkan ghaib yang dikatakan jauh adalah sesuai dengan
masafah al-qashar 122 menurut mazhab Hambali, wali aqrob ghaib jauh, masafah
qashar, atau tidak diketahui keberadaannya, maka perwalian berpindah kepada wali
ab`ad. 123
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Mazhab Syafi`i dan
Maliki berpendapat tidak hadirnya wali disebabkan ghaib jauh tidak menggugurkan

120

Ibid., hlm. 38.


Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj: Mahyuddin Shaf, jld. VII, PT. Al-Maarif, Bandung:
1998, hlm. 25.
122
Mahmud Yunsu, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hidakarya Agung, Jakarta: 1981,
hlm. 61.
123
Ibid.
121

perwalian. Wali tetap berhak, namun karena sukar melaksanakan tugasnya maka
kedudukannya diganti oleh hakim. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Hambali
yang memendang bahwa ghaib jauhnya wali disamakan dengan wal tidak memenuhi
syarat untuk menjadi wali. Tidak hadirnya wali aqrob dipandang sama sebagai wali
tidak ada. Sedang kedua hal ini menyebabkan beralihnya perwalian kepada wali
ab`ad.
b. Enggannya wali untuk menikahkan (`Adhal)
Yang dimaksud dengan enggan disini ialah keengganan wali dalam
mengawinkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Yaitu mereka yang
mempunyai wewenang yang sangat jelas menjadi wali tidak mau melaksanakan
tugasnya sebagai wali nikah.
Terdapat dua pendapat yang mencuat dalam masalah ini, yaitu kelompok
pertama dari Mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa apabila wali aqrab enggan
untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya (`adhal), perwalian
akan jatuh kepada wali ab`ad bukan kepada hakim. Karena masih terdapatnya urutan
wali setelah wali aqrab dalam susunan keluarga, tetapi bila wali ab`ad adhal juga
maka hakimlah yang akan menjadi wali.

Kelompok kedua adalah Mazhab Syafi`i, Maliki dan Hambali berpendapat


bahwa dalam kasus ini perwalian berpindah kepada Sulthan/Hakim, berdasarkan
hadits Nabi SAW:


)
124

(
Artinya: Perempuan mana saja jika menikah tanpa seizin walinya maka

nikahnya batal. Jika (laki-laki yang menikahinya) mencampurinya, maka wajib


baginya membayar mahar untuk kehormatan yang telah ia peroleh dari
kehormatannya. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka hakim adalah wali bagi
mereka yang tidak mempunyai wali. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibn Hibban dari
`Aisyah).
Pengertian pertengkaran pada penggalan hadits di atas adalah larangan
untuk menikah. Jika wali aqrob sebagai wali yang utama melarang perempuan yang
berada di bawah perwaliannya untuk menikah dan ia tidak meu untuk menikahkannya
maka perkawinan diserahkan kepada hakim, bukan kepada wali ab`ad.
Dari redaksi hadits tersebut di atas dapat juga diambil pengertian bahwa
pertengkaran di antara wali membatalkan perwalian mereka dan menjadikan mereka
124

Al-Kahlani, op.cit., hlm. 118

tidak berfungsi. Artinya perpindahan perwalian dalam hal ini didasarkan karena
masih adanya wali aqrob yang menghalangi hak perwalian bagi wali ab`ad.
Terhalangnya wali ab`ad dan menolaknya wali aqrob untuk menikahkan
menyebabkan perwalian jatuh kepada wali hakim.

C. Pelaksanaan dan Tata Cara Perkawinan Berwalikan Hakim


Perlu dijelaskan disini bahwa yang dimaksud dengan pelaksanaan adalah
pelaksanan perkawinan

dengan berwalikan hakim di Kota Medan. Data yang

dikumpulkan adalah data dari Kantor Departemen Agama Kota Medan sejak bulan
Januari tahun 2006 sampai dengan bulan Februari 2007.
Data yang dikumpulkan adalah berasal dari 21 Kecamatan di Kota Medan
dan masing-masing kecamatan telah mempunyai Kantor Urusan Agama.

Tabel 1 : Jumlah Pernikahan Per Bulan Di Medan Dari Tahun 2006 s/d Feb 2007

NO

BULAN

WALI

WALI HAKIM

NASAB

ADHAL

N.
ADHAL

W. HKM

TAHUN

JUMLAH

JLH/
BLN

WALI
HAKIM

ADHAL

NON
ADHAL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AGT
SEP
OKT
NOP
DES
JAN

2006
2006
2006
2006
2006
2006
2006
2006
2006
2006
2006
2006
2007

1661
879
870
1321
1119
1134
1194
1216
896
115
1268
914
1627

10
13
9
7
0
1
5
2
2
0
8
6
1

86
54
49
85
77
57
67
69
79
17
73
63
91

96
67
58
92
77
58
72
71
81
17
81
69
92

1757
946
928
1413
1196
1192
1266
1287
977
132
1349
983
1719

5.46
7.08
6.25
6.51
6.44
4.87
5.69
5.52
8.29
12.88
6.00
7.02
5.35

0.57
1.37
0.97
0.50
0.00
0.08
0.39
0.16
0.20
0.00
0.59
0.61
0.06

4.89
5.71
5.28
6.02
6.44
4.78
5.29
5.36
8.09
12.88
5.41
6.41
5.29

14

FEB

2007

730

58

60

790

7.59

0.25

7.34

14944

66

925

991

15935

9.58

8.73

9.64

JUMLAH

Apabila suatu pernikahan akan dilaksanakan namun wali nasab (wali aqrab
atau wali ab`ad) tidak dapat melaksanakan tugasnya disebabkan oleh faktor-faktor
yang telah disebutkan di atas maka hak perwalian akan jatuh kepada wali hakim yang
resmi ditunjuk oleh penguasa, dalam hal ini adalah Menteri agama Republik
Indonesia yang selanjutnya mendelegasikan tugas tersebut kepada Kepala Kanwil
Departemen Agama dan seterusnya ke bawah.
Pelaksanaan dan tata cara perkawinan dengan berwalikan hakim dapat
dilakukan antara lain dengan permintaan calon mempelai wanita. Hal ini dilakukan

karena ketiadaan wali yang akan menikahkannya, baik hal itu disebabkan ghaib jauh,
atau sakit, ihram, atau karena calon mempelai wanita merupakan anak hasil hubungan
zina dan lain sebagainya. Dapat pula dilakukan karena keengganan (`adhal)nya wali
aqrab dan keengganan disini bukan disebabkan oleh faktor yang dibanarkan oleh
syara`, sehingga perannya dapat digantikan oleh wali hakim.
Pelaksanaan dan tata cara pernikahan dengan berwalikan hakim adalah
meminta kepada pejabat yang ditunjuk oleh negara dengan surat resmi serta
mencantumkan nama, binti, umur, pekerjaan dan alamat. Selanjutnya dicantumkan
pula nama, bin, umur, pekerjaan dan alamat orang yang akan ditunjuk sebagai wali
hakim si calon mempelai wanita serta disebutkan jumlah mahar dan alasan tidak
dapatnya wali nasab atau aqrob menjalankan fungsinya sebagai wali. Pada bagian kiri
bawah surat dicantumkan pula nama dan tanda tangan dua orang saksi. Selanjutnya
wali hakim mengucapkan ijab dengan menyatakan dengan jelas kedudukannya
sebagai wali hakim.
Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada perbedaan tata cara pelaksanaan
pernikahan yang dilaksanakan oleh wali aqrab, ab`ad dengan wali hakim. Perbedaan
hanya terletak pada redaksi yang diucapkan oleh para pihak.

BAB IV
KEABSAHAN SUATU PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM
A. Wali yang Disahkan oleh Pengadilan
Mereka para wali, kerabat dekat calon mempelai perempuan yang disebut
dengan wali nasab mempunyai wewenang menikahkannya sepanjang tidak terdapat
hal-hal yang mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut peraturan
perundang-undangan.
Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali
nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah
`Ammah, sebagaimana wilayahnya yang berkaitan dengan pengurusan harta kekayaan
orang yang tidak menjadi wali, demikian pula dengan wilayahnya yang berhubungan
dengan pernikahan.
Adapun alasan bahwa sulthan boleh memangku sebagai wali nikah (wilayah
tazwij) yaitu hadits Nabi SAW., dari Aisyah ra:

.
) .
(
Artinya: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka
nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya,
maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh

dari persebadanannya itu. Jika merek(para wali) bertengkar, maka sulthan


itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.125

Yang dimaksud dengan sulthan disini ialah Imam (pemimpin, kepala


Negara) atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu. 126 Hadits di atas merupakan dalil
bahwa ijab akad nikah tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini
juga sebagai alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya
mengharuskan pembayaran mahar. Selanjutnya menurut beliau, yang dimaksud
dengan 'pertengkaran ' disini adalah yang disebabkan oleh larangan menikah dan
bukan pertengkaran karena saling mendahului antar wali. Jadi, apabila si wali
melarang menikah perempuan yang berada di bawah perwaliannya, maka
pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada wali ab`ad. Demikian
juga apabila wali aqrab ghaib (tidak ada di tempat) atau sedang ihram, atau si calon
mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh menikahkannya. 127
Tentang wali hakim ialah: "Kepala Negara yang beragama Islam yang
mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk
menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim". 128

125

Al-Kahlani, loc.cit.
Ibn Qudamah, 1367 H., Al-Mughni,(Mesir: Daar al-Manar,Juz VI.), hlm. 461.
127
Hasan Ayyub, Op. Cit., hal. 57.
128
Hasballah Thaib, 1983, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam, (Medan: Universitas
Dharmawangsa), hlm. 53.
126

Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan


tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim
sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf (b) "Wali hakim ialah wali nikah yang
ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak
dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".
Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim,
menyatakan:
Pasal 1 huruf (b), wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali
nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Pasal 2 ayat (1), bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah
Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra teritoria Indonesia ternyata
tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak
memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya
dapat dilangsungkan dengan wali hakim.
Melihat rumusan-rumusan wali hakim di atas, dapat dimengerti bahwa, wali
hakim memperoleh kewenangan menjadi wali nikah atas dasar penunjukan
berdasarkan jabatan yang ia pangku. Hal mana dinyatakan kata 'pejabat' pada bunyi
pasal 1 huruf (b) di atas.
Pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala
Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas
nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apabila

ternyata Ka KUA berhalangan atau tidak ada, dan pegawai yang memenuhi syarat
menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pada pasal 4 dan 5 PMA Nomor: 2 tahun 1987 tersebut menyatakan
demikian:
Ayat (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat
Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan
mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Ayat (2) apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama
berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas
nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa
untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai
Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Pasal 5: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang
memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri sebagaimana yag dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Dengan demikian, pemahaman yang dapat diambil adalah tidak semua
pejabat dapat memposisikan dirinya sebagai wali hakim dalam pernikahan, karena
hanya pejabat yang disahkan oleh Menteri Agama dan pejabat struktural di bawahnya
saja yang dapat memangku jabatan tersebut.

B.

Pertimbangan Wali Hakim


Sesungguhnya

yang

dimaksud

dengan

pertimbangan

disini

ialah

pertimbangan mengapa seorang wali hakim dipergunakan dan menjalankan


fungsinya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan wali hakim dapat menjalankan
fungsinya sebagai wali. Pada dasarnya wali hakim berfungsi sebagai pengganti,
bukan sebagai wakil dari wali nasab, dalam keadaan hal-hal yang menyebabkan
berpindahnya hak perwalian ke tangan wali hakim yang oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan membenarkannya.
Adapun sebab berpindahnya hak perwalian dari wali nasab ke tangan wali
hakim adalah sebagai berikut:
1. Sudah tidak ada garis wali nasab;
2. Wali Mafqud;
3. Wali sendiri yang hendak menikahi si terwali
4. Wali ba`id jauh (masafah qashar, sekurang-kurangnya 92 km);
5. Wali sedang sakit pitam/ayan;
6. Wali tidak boleh dihubungi (di penjara);

7. Wali dicabut haknya oleh negara;


8. Wali sedang melakukan ihram (haji dan umrah)
9. Wali tawro (bersembunyi);
10. Wali adhal/mogok. 129
Berdasarkan penyebab terjadinya perpindahan hak perwalian tersebut
memberi engertian bahwa, wali hakim mempunyai wewenang menikahkan
perempuan yang walinya terdapat hal-hal tersebut di atas. Kewenangan itu adalah
demi hukum dan bukan sebagai wakil. Seandainya sebagai wakil maka ia tidak
berwenang menikahkan perempuan yang walinya sedang melakukan ihram. Sebab
orang sedang ihram tidak boleh menikah dan menikahkan. Kalau ia sebagai wakil,
kedudukan wakil sama dengan yang berwakil, tentu ia tidak boleh menikahkan
karena yang diwakilinya itu itu sedang ihram.
C.

Keabsahan perkawinan Berwalikan Hakim


Pernikahan yang dilaksanakan dengan berwalikan hakim, dipandang sah

oleh Undang-undang dan KHI, sepanjang perpindahan perwalian tersebut sesuai


dengan ketentuan dan per undang-undangan. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW
yang artinya: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya,
129

1999.

Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, (Pedoman para Ka KUA sebagai Wali Hakim),

maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka
wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari
persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu adalah
wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali Jika mereka (para wali) bertengkar,
maka sulthan itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pembahasan tentang perkawinan dengan menggunakan wali hakim yang telah di
uraikan pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan dan sran-sran
sebagai berikut;
A.

Kesimpulan
1. Wali hakim adalah, wali yang diangkat oleh pemerintah atau wali yang
ditunjuk oleh putusan pengadilan, pasal 1 huruf (b) Kompilasi Hukum
Islam menerangkan bahwa, "Wali hakim ialah wali nikah yang
ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang
diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".
2. Keberadaan wali, baik wali nasab atau wali hakim dalam setiap
perkawinan menurut Kompilasi hukum Islam (KHI) mutlak diperlukan
dan sekaligus sebagai pelaksana ijab akad nikah. Sehingga secara
faktual,

penerapan

Undang-undang

Nomor

tahun

1974,

mempersyaratkan adanya wali secara mutlak dalam suatu perkawinan


dan berpungsi sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan.

3. Ada beberapa faktor pertimbangan yang menyebabkan wali hakim


dapat menjalankan fungsinya sebagai wali. Pada dasarnya wali hakim
berfungsi sebagai pengganti, bukan sebagai wakil dari wali nasab,
dalam keadaan hal-hal yang menyebabkan berpindahnya hak
perwalian ke tangan wali hakim yang oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan membenarkannya, faktor pertimbangan tersebut
antara lain;
a. Wali nasab yang berhak untuk menikahkan berhalangan untuk
melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya, seperti ghaib
(tidak berada di tempat), tidak memnuhi syarat menjadi wali
nikah seperti masih kecil, gila, atau sakit dan sebagainya.
b. Keengganan wali nasab untuk menikahkan orang yang berada
dibawah perwaliannya. Keengganan tersebut bukan didasarkan
atas pertimbangan hukum agama, namun lebih disebabkan oleh
pertimbangan keduniaan, seperti materi dan bentuk biologis
dari calon mempelai laki-laki.
Pernikahan yang dilaksanakan dengan berwalikan hakim padahal wali
nasabnya masih ada dipandang sah oleh Undang-undang dan Kompilasi
Hukum Islam, sepanjang wali hakim tersebut telah terlebih dahulu

mempertimbangkan boleh tidaknya perpindahan kewalian sebagaimana


tersebut diatas.

B.

Saran
Beberapa saran yang dapat di ajukan disini antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Wali hakim adalah, wali yang diangkat oleh pemerintah atau wali yang
ditunjuk oleh putusan pengadilan, untuk itu masyarakat muslim
disarankan agar tidak terpengaruh dengan pengakuan seseorang yang
menyatakan dirinya wali hakim.
2. Disarankan kepada pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan
agar jangan memilih jalan pintas dengan cara memilah berwali hakim
padahal wali nasab masih ada, karena yang demikian dapat
memutuskan silaturrahmi dengan orang tua dan keluarga.
3. Disarankan kepada wali nasab, agar tidak mempersulit peminangan
terhadap putrinya dengan pertimbangan peribadi, tidak sekupu, karena
sikap yang demikian akan digunakan oleh anak perempuannya utnuk
menikah dengan berwali hakim.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahanya, Semarang :Departemen Agama RI, CV.Toha Putra,


1989.
Ahmad hudri, Al-Ahwal as-syakhshiyah, Mesir : Maktabah Kuliiyah al-Arabiyah,
1968.
Al-Alusi, Ruh al-Maani, Juz I, Beirut: Idarah Matbaah Munirah, tt.
Al-Bari, Zakaria, Al-Ahkam al-Asasiyahli al-Usrah al-Islamiyah, Mesir: Ma had al
Dirasah al-Islamiyah, tt.
Alhamdani, H.S.A., Risalah Nikah, Terj, Drs. Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani,
1989.
Al-Jaziriy, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh Ala Mazahib al-Arbaah, Juz IV, Kairo:
Dar al- Nahdhah, 1986.
Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail, Bandung: Subussalam, 1976.
Al-Qurthuby, Al-Jami li Ahkam al_quran, Juz III, Kairo: Dar al-Kutub alArabiyah, 1987.
Al-Syawkaniy, Nail al-Awthar, Juz IV, Mesir: Maktabah al-Babiy al-Arabiy, tt.
Departemen Agama Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan, Daftar Laporan

Perincian NTCR se-Kota Medan jajaran Kandepag Kota Medan Januari


2006 s/dFebruari 2007.
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (Pedoman para Ka KUA sebagai Wali Hakim),
1999.
Hamdan Abbas, Diktat Fikih Munakahat, Medan: UISU, 1973.
Hanafi, A, MA, Usul Fiqh, Jakarta: Penerbit Wijaya, Cet IV, 1975.
Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Terj. M.Abdul Ghaffar E.M, Jakarta: Pustaka al
Kautsar,2001.
Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih Keluarga, Terj: M. Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2001.
Hasballah Thaib, M, MA, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Medan:
Universitas Darmawangsa.
Hasballah Thaib, M. MA, Al-Ushul fi Ilm al- Ushul, Medan: Penerbit Dar al-Arafah,
1999.
Ibn Qudamah, Al-Mughni,Juz VI, Mesir: Daar al- Manar, 1367 H.
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Juz II, Mesir: Dar al_kutub al-Arabiyah, tt.
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971.
Ismuha, Perbandingan MazhabDalam Masalah Fiqih, Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1978.

Kamaluddin, Fath al-Qadir,Juz III, Mesir: Dar al-Fikr,tt.


Khatib, Muhammad Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Juz III, Mesir: Dar al- Fikr, 1978.
Madkur, Muhammad Salam, Ahkam al-Usrah fi al-Islam, Jilid I, Beirut: An
Nahdhah al-Arabiyah, 1968.
Mahmud Syaltut dan Ali al-Sayis, Muqaranah al-Mazahib fi al-Fiqh, Al
Azhar:Mathbaah Muhammad Ali Shabih, 1953.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung,
1981.
Mughniyah, Muhammad Jawwad, Fiqh Lima Mazhab, terj, Maskur AB, Jakarta:
Lentera, 2001.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai
Pustaka, 1976.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, terj : Mahyuddin Shf,Jilid VIII, Bandung:PT. Al-Maarif,
1998.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1992.
Syaban, Zakiyuddin, Al-Ahkam asSyariyyah li Ahwal al Syakhshiyyah, Kairo:
Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, 1969.
Syahbuddin, Qaliubi wa Umairah, Singapore: Maktabah wa Matbaah, sulaiman
ZamraI, tt.

You might also like