You are on page 1of 7

Postmodernisme; Fatamorgana Alam Khayal

Oleh: Muchtar Luthfi


Sejarah peradapan Barat memiliki perjalanan yang amat panjang dan berliku. Setelah
sekian lama manusia Barat terkungkung dalam kebodohan akibat ulah mayoritas
rohaniawan Kristen yang selalu mengatasnamakan agama dalam perilaku yang tidak
sesuai dengan akal dengan berdalih sakralitas yang tidak bisa diganggu gugat, mereka
mengadakan pemaksaan dogma-dogma sakralitas ke benak setiap manusia Barat.
Pemerkosaan keyakinan dan pembunuhan intelektual, itulah kata ekstrim dalam
menggambarkan situasi zaman itu. Masa kegelapan (dark ages), itulah istilah yang sering
dipakai manusia Barat ketika mengingat masa suram abad pertengahan (Midle Ages, 3251300). Tekanan demi tekanan yang dilakukan penguasa Gereja ibarat bom waktu yang
sewaktu-waktu bisa meledak dan membinasakan mereka.
Selain dogma agama yang mereka sampaikan tidak memberi jalan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, bahkan tak jarang dogma-dogma itu bertentangan dengan ilmu
pengetahuan yang berkembang. Sementara disisi lain, perilaku mereka yang tidak
konsekuen atas ajaran agama yang selama itu digembor-gemborkan semakin membuat
muak para manusia Barat. Diam-diam para intelektual Barat mengumpulkan daya dan
upaya untuk lepas dari belenggu para rohaniawan Kristen. Para ilmuwan mulai mengaisngais kembali budaya Yunani klasik di kantung-kantung peradaban yang selama ini
terlupakan. Pada akhirnya, awal abad ke-14 adalah puncak protes manusia Barat, mereka
mengadakan pergolakan besar-besaran sebagai reaksi atas prilaku Gereja dengan
mengadakan gerakan pembaharuan, perombakan budaya. Renaissance, itulah puncak
pergolakan yang selama ini mereka nantikan. Lepas dari belenggu pembodohan dan
bebas dari ikatan-ikatan dogmatis agama yang tak jarang bersifat irrasional, mereka
ibaratkan bagai terlahir kembali.[1] Namun, kenyataannya, kebebasan radikal tidak lebih
baik dari belenggu pembodohan, dua hal yang telah keluar dari garis netral.
Berbagai isme-isme bermunculan di Barat ibarat cendawan di musim hujan, membuat
semakin bingung banyak kalangan. Tidak hanya manusia Timur, bahkan manusia Barat
sendiri banyak terjebak dalam kebingungan tersebut. Belum lagi menyelesaikan kendalakendala epistemologis masa enlightenment (age of reason) yang masih bermasalah,
mereka sudah dibenturkan pada masalah batas kemampuan rasio manusia dalam konsep
humanisme. Belum lagi tuntas penentuan batas liberalitas kehendak manusia, mereka
telah dihadang dengan permasalahan baru, modernisme. Belum lagi teori modernisme
terpecahkan secara tuntas, dimunculkan ide baru, postmodernisme. Dari sini, banyak
sekali kecurigaan muncul, ada apa dengan isme-isme tersebut? Apakah gerangan di balik
dimunculkannya isme-isme tadi? Adakah manusia Barat hanya sekedar ingin bermainmain dengan isme-isme tadi, ataukah ada target di balik semua itu? Apa kaitan
postmodernisme dengan kita sebagai manusia beragama? Tulisan ringkas ini, akan
menganalisa postmodernisme yang terhitung isme terakhir dari sekian isme lain yang
dimunculkan oleh manusia Barat.

Postmodernisme
Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939.[2]
Kendatisampai saat inibelum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah
tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat.[3] Pada tahun 1960, untuk
pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir
Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J. Francois Lyotard, salah satu contoh
pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang
berjudul The Post-Modern Condition sebagai kritikan atas karya The Grand
Narrative yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas.
Ketidakjelasan definisisebagai mana yang telah disinggungmenjadi penyebab
munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep
akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berpikir dan menjadi ambigu.
Sedang kekacauan akibat konsep berpikirakibat ketidakjelasanakan membingungkan
pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan,
sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari
modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang
sebagian lagiseperti Jamesonberanggapan, postmodernisme adalah pengembangan
dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and
Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok
tadi tentang memahami Post-modernisme. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat
berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks, sedang yang lain
menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang
mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan
modernisme. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi menjadi
beberapa bagian, antara lain: Post-Modernism Ressistace, Post-Modernism Reaction,
Opposition Post-Modernisme dan Affirmative Post-Modernism.[4]
Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang
ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi. Zygmunt Bauman dalam
karyanya yang Post-Modern Ethics berpendapat, kata Post dalam istilah tadi bukan
berarti setelah (masa berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti
di atas tadi. Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari
kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab
dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari
prasangka (insting,wahm) belaka.
Asas Pemikiran Postmodernisme
Berbagai isme dan aliran pemikiran lain di Barat selalu bertumpu dan berakhir pada
empat pola pemikiran; epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme dan
sekularisme. Tidak terkecuali dengan postmodernisme. Dikarenakan manusia Barat
berpikir atas dasar epistemologi materialis sehingga berakhir pada anggapan bahwa
(jenis) manusia adalah simbol kesempurnaan. Dikarenakan manusia adalah eksistensi

sempurna, maka ia dianggap tolok ukur dan kutub semua eksistensi dan sebagai microcosmos. Dari sinilah muncul pemikiran Humanisme. Ungkapan aku berpikir, maka aku
ada adalah perwujudan dari pemikiran di atas. Karena manusia memiliki rasio, maka ia
bisa menjadi poros alam. Jadi Rasiolah yang menjadi pusat kesempurnaan manusia.
Selain itu, manusia juga memiliki kebebasan berkehendak (free will) yang tidak boleh
dihalangi, demi kemajuan manusia. Maka berdasarkan rasio dan kebebasan inilah muncul
pemikiran liberalisme yang berarti meminimilir secara optimal batas gerak manusia.
Pembatas gerak manusia dapat terwujud dalam berbagai bentuk; adat istiadat, kebiasaan
maupun norma agama. Dari situ dimunculkan Sekularisme yang berarti pembatasan dan
meminimilir campur tangan agama pada kehidupan manusia.
Walaupun muncul berbagai persepsi yang berbeda-beda tentang postmodernisme, namun
ada satu kesamaan di antara semua persepsi tadi, asas-asas pemikiran postmodernisme.
Selain bertumpu pada empat hal di atas, aliran ini juga bertumpu pada enam hal dibawah
ini, yang mana antara satu dengan yang lain terdapat kaitan yang amat erat:
Pertama,penafian atas ke-universal-an suatu pemikiran (totalism). Para penganut
postmodernisme beranggapan, tidak ada realita yang bernama rasio universal. Yang ada
adalah relativitas dari eksistensi plural. Oleh karenanya, mereka berusaha merubah cara
berpikir dari totalizing menuju pluralistic and open democracy dalam segala aspek
kehidupan, termasuk berkaitan dengan agama. Dari sini dapat diketahui, betapa
postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme sehingga dari situlah
muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis.
Kedua,penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial
secara terus-menerus, sebagai ganti dari permanen (tsabat) yang amat mereka tentang.
Manusia postmodernis beranggapan, hanya melalui proses berpikir yang dapat
membedakan manusia dengan makhluk lain. Oleh karena itu, jika pemikiran manusia
selalu terjadi perubahan, maka perubahan tadi secara otomatis akan dapat menjadi
penggerak untuk perubahan dalam disiplin lain. Dari sini jelas sekali bahwa
postmodernisme menolak segala bentuk konsep fundamentalbersifat universalyang
memiliki nilai sakralitas dan yang menjadi tumpuan konsep-konsep lainnya. Manusia
postmodernis diharuskan selalu kritis dalam menghadapi semua permasalahan, termasuk
dalam mengkritisi prinsip-prinsip dasar agama.
Ketiga,pengingkaran atas semua jenis ideologi. Selayaknya dalam konsep berideologi,
ruang lingkup dan gerak manusia akan selalu dibatasi dengan mata rantai keyakinan
prinsip yang permanen. Sedang setiap prinsip permanen dengan tegas ditolak oleh
kalangan postmodernis. Oleh karenanya, manusia postmodernis tidak boleh terikat pada
ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama.
Keempat,pengingkaran atas setiap eksistensi obyektif dan permanen. Atas dasar
pemikiran relativisme yang mereka yakini, manusia postmodernis berusaha meyakinkan
bahwa tidak ada tolok ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran.
Tuhan yang dianggap sakral oleh manusia agamis pun mereka ingkari. Ungkapan
Nietzsche God is Dead atau ungkapan lain seperti The Christian God has ceased to be

believable, terus merebak dan semakin digemari oleh banyak kalangan di banyak negara
Barat, sebagai bukti atas usaha propaganda mereka.[5] Ingat, ungkapan mereka tidak
hanya berkaitan dengan agama Kristen, namun akan mereka generalisasi kesemua agama,
termasuk Islam.
Kelima,kritik tajam atas semua jenis epistemologi. Kritik tajam secara terbuka
merupakan asas pemikiran filsafat postmodernisme. Pemikiran ataupun setiap postulat
yang bersifat prinsipyang berkaitan dengan keuniversalan, kausalitas, kepastian dam
sejenisnya akan diingkari. Berbeda halnya pada zaman Modernis, semua itu dapat
diterima oleh manusia modernis. Tentu, hal itu bukan berarti bahwa semua pemikiran
yang dulu terdapat pada masa modernisme ditolak mentah-mentah oleh postmodernisme.
Rencana postmodernisme pada kasus tersebut adalah dalam rangka mengevaluasi
kembali segala pemikiran yang pernah diterima pada masa modernisme, dengan cara
mengkritisi dan menguji ulang. Henry Girao, seorang interpretator postmodernisme
mengatakan, Tugas filsafat adalah untuk meminimilir kedekatan jarak antara
modernisme dan postmodernisme, terutama dalam bidang tujuan maupun target
pendidikan dan pengajaran.[6]
Keenam, pengingkaran akan penggunaan metode permanen dan paten dalam menilai
maupun berargumen. Dengan kata lain, para manusia postmodernis cenderung
menggunakan metodologi berpikir asal comot tanpa dasar standar logika yang jelas.
Konsep berfilsafat dalam era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai
jenis pondasi pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk
pondasi pemikiran filsafat tertentu. Hal ini mereka lakukan demi menentang kaum
tradisional yang selama ini mereka anggap tidak memiliki pemikiran maju karena
mengacu pada satu asas pemikiran saja. Padahal tanpa mereka sadari, pengadopsian
berbagai pondasi pemikiran sangat rawan dalam kesalahan berpikir. Berapa banyak
paradok terjadi antara pemikiran filsafat satu dengan yang lain. Itulah yang sekarang ini
dihadapi oleh para pendukung postmodernisme, paradoksi pemikiran. Untuk menutupi
rasa malunya, para pendukung postmodernisme seperti Rorty- menganggap bahwa apa
yang mereka dapati sekarang ini adalah apa yang disebut dengan post philosophy, puncak
perbedaan dengan filsafat modernis. Dengan jenis filsafat inilah, mereka ingin
meyakinkan masyarakat Barat bahwa dengan berpegangan dengan konsep dan ideologi
tersebut mereka akan dapat meraih berbagai hal yang menjadi impian dalam
kehidupannya.[7] Namun, mereka tetap tidak dapat lari dan bersembunyi dari segala
bentuk paradoksi pemikiran yang selalu menghantui dan menghadangnya.
Analisa atas Dasar-Dasar Pemikiran Postmodernisme
Dari enam asas utama postmodenisme di atas dapat diketahui, betapa manusia
postmodernis memandang sesuatu selalu melalui sudut pandang idealis, bukan realis.
Tentu, pada tataran realita tidak mungkin akan kita dapati praksis yang sesuai dengan
teori yang berasas hal-hal di atas. Jika setiap orang tetap akan memaksakan
pengaplikasian di alam realita, niscaya kehancuran yang bakal terwujud, bukan
perdamaian. Bagaimana mungkin seseorang tidak boleh dibatasi oleh suatu hal prinsip
yang permanen, atau berpikir benar tanpa landasan standar logika yang pasti. Sedang

banyak hal-hal prinsip dan paten (permanen) yang secara necessary preponderances
(badihiaat-awwaliyaat) harus diterima oleh manusia yang berakal sehat. Karena segala
prinsip logika untuk menjadi kebenaran pasti harus kembali kepada tata cara penerapan
silogisem (qiyas) dengan bentuk demonstratif (burhan), sedang silogy demonstratif itu
sendiri premis-premisnya (mayor-minor) harus dari sesuatu yang pasti (necessary,
badihiaat)sehingga hal tersebut bisa dijamin kebenarannya, dimana premis pasti ini
bertumpu pada kemustahilan bertemunya dua hal paradok (ijtima an-naqidzain) yang
masuk kategori necessary preponderances (badihiaat-awwaliyaat). Semua itu telah
dibahas secara rinci dalam ilmu logika.
Jika dilihat dari sisi epistemologis, skala berpikir yang disodorkan oleh teori
postmodernis sangatlah dangkal. Banyak paradoksi yang akan kita dapati dari teori
tersebut, jika dipaksakan pada dataran praksis akan terjadi apa yang disebut dengan
nihilisme, kekosongan. Kosong dari prinsip, ideologi, argumentasi rasional, logika
sehat, pemahaman teks, konsep beragama dsb. Menurut keyakinan postmodernisme,
tidak ada satu hal pun yang bersifat universal dan permanen. Sedang disisi lain, doktrin
mereka, manusia selalu dituntut untuk selalu mengadakan pergolakan. Lantas, bagaimana
mungkin manusia akan selalu mengadakan pergolakan, sementara tidak ada tolok ukur
jelas dalam penentuan kebenaran akan pergolakan? Bagaimana mungkin manusia selalu
mengkritisi segala argumentasi yang muncul, sedang tidak ada tolok ukur kebenaran
berpikir? Bagaimana mungkin manusia bisa beragama, sedang konsep beragama harus
dibarengi dengan keimanan, sementara menurut postmodernis tidak ada keimanan dan
keyakinan universal dan permanen? dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang bisa
dimunculkan dari asas-asas dasar postmodernisme.
Salah satu masalah prinsip yang bisa dilontarbalikkan kepada para pendukung aliran ini
adalah; adakah asas-asas postmmodernisme di atas pun bersifat universal atau permanen?
Pastiberdasar pondasi pemikiran merekajawabannya negatif, berarti postmodernisme
tidak memiliki asas-asas yang jelas (baca: universal dan permanen). Bagaimana mungkin
akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya? Jika
jawaban mereka positif, jelas sekali, hal itu bertentangan dengan statemen mereka
sendiri. Sebagaimana postmodernis selalu menekankan untuk mengingkari bahkan
menentang hal-hal yang bersifat universal dan permanen. Maka atas dasar
postmodernisme pula seseorang dapat menggugat ke-universal-an dan ke-permanen-an
asas-asasnya yang telah mereka sepakati. Jadi, atas dasar pemikiran postmodernisme
seorang individu dapat menolak postmodernisme, hal itu dikarenakan postmodernisme
tidak meyakini adanya prinsip logika yang jelas dalam menentukan tolok ukur kebenaran
berpikir, relativitas kebenaran. Ini salah satu buktidari sekian banyakkerancuan
berpikir dalam konsep postmodernisme.
Lantas, apakah mungkin sebagai manusia beragama kita dapat menerima konsep
tersebut? Para pengikut postmodernisme meyakini pengetahuan agama tidak berbeda
dengan pengetahuan-pengetahuan lainyang dihasilkan dari pikiran manusiayang
tidak akan lepas dari perubahan. Kritisi atas semua ajaran agamaapapun bentuknya
merupakan titik kesamaan antara budaya modernis dan postmodernis. Oleh karena
postmodernisme lebih radikal dalam menilai agama dibanding dengan modernisme, maka

penekanannya atas sekularisme terhadap beragama lebih besar. Walaupun sebagian


pengikut postmodernismeseperti John Milbankberusaha untuk mencari
pembenaran berkaitan dengan hubungan antara agama dan konsep postmodernisme,
namun berdasarkan asas-asas postmodernisme yang telah disepakati mereka akan banyak
mendapati berbagai benturan.[8] Semakin kuat tertanam asas-asas postmodernisme pada
diri seseorang, menyebabkan ia semakin jauh dari konsep beragama. Belum lagi ideologi
liberalisme radikal mereka yang terus berusaha untuk meminimilasi semua pembatas,
termasuk batas-batas yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam agama.
Dalam konsep etika menurut kacamata postmodernisme pun akan dapat ditemui banyak
sekali kejanggalan. Penganut postmodernisme meyakini, kesepakatan etika yang obyektif
dan bersifat universal adalah sesuatu yang mustahil diraih. Hanya kesepakatan kelompok
tertentu saja yang mungkin saja terjadi. Kesepakatan jenis itu saja yang dapat menjadi
sumber dan legalitas hukum. Jadi, sumber dan legalitas hukum bersumber pada
demokrasi, yang berubah-ubah (tidak permanen) sesuai dengan perubahan situasi dan
kondisi. Dikarenakan penentuan norma etika ditentukan oleh masing-masing individu
sementara tidak jarang antara setiap individu terjadi perbedaan persepsi atas dasar latar
belakang masing-masing yang mengakibatkan pergesekan, maka konsep etika merupakan
hal subyektif yang bersifat relatif. Jadi, konsep etika menjadi lebih rumit dan tidak dapat
dikenal karena masing-masing individu bisa mengaku bahwa prilaku dirinya sesuai
dengan konsep etika yang sesuai dengan dirinya. Jika itu diterapkan, dapat diperkirakan
apa yang bakal terjadi di tengah-tengah komunitas manusia yang heterogen.
Singkat kata, terlampau banyak konsekuensi-konsekuensi pahit yang harus diterima saat
menerima konsep postmodernisme. Yang kasat mata adalah kerancuan berpikir.
Kesimpulan
Banyak pemikiran budaya Barat yang dimunculkan sebagai reaksi akan ketertindasan
mereka pada abad pertengahan. Mereka tidak mau pengalaman pahit itu terulang
kembali. Demi kebebasan berpikir, mereka korbankan jiwa religiusitas yang terpendam
dalam kalbu mereka. Mereka anggap, dengan memberi peluang besar terhadap kebebasan
berpikir untuk meneguk nikmatnya air kebebasan akan secara otomatis menghilangkan
dahaga jiwa religius yang terdapat dalam diri mereka. Memang, sekilas isme-isme yang
mereka bikin akan memberi angin segar bagi kebebasan berpikir. Namun hakekatnya,
kemarau panjang akan menghantui pikiran religius mereka. Kecenderungan agamis
adalah suatu yang fitri, tidak dapat ditutup-tutupi.
Banyak masyarakat Barat pada akhir-akhir mulai kembali merindukan ajaran-ajaran
agama. Survei akhir-akhir ini menunjukkan, kecenderungan manusia Amerika dan Eropa
terhadap agama kian meningkat. Hal itu dikarenakan mereka telah melihat, mendengar,
bahkan merasakan merasakan, betapa Liberlisme, Humanisme, Feminisme, Scintisisme
dan isme-isme lain tidak dapat memberikan ketenangan batin buat mereka, bahkan
menyengsarakannya. Isme-isme itu hanya dipakai oleh kalangan tertentu yang merasa
kuat untuk menindas kalangan lain yang lemah atau dianggap lemah. Mereka merindukan

agama yang selain memberi kesejukan buat jiwa religi mereka, yang juga menjanjikan
kebebasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Bagaimana dengan Islam? Agama Islam bisa menjadi alternatif ataukah sama saja dengan
sisa-sisa warisan agama di Barat? Dengan tanpa ragu hanya Islam yang mewakili hal
tersebut yang berani dengan sumber-sumber otentiknya meladeni kepuasan rasional dan
spiritual manusia. Al-Quran sebagai sumber utama Islamyang universal dan permanen
menyebutkan tidak kurang dari lima ratus ayat yang menekankan penggunaan dan
penghargaan atas rasio (akal), belum lagi ditambah dengan riwayat-riwayat dari Rasul
saw dan Ahlulbait Nabi as. Itu semua sebagai bukti bahwa betapa Islam sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Sejarah juga telah
mencatat, berapa banyak ilmuwan Islam muncul yang mengusai banyak disiplin ilmuilmu pengetahuan sehingga manusia Barat banyak berhutang budi kepada mereka
sebagaimana diakui oleh Will Durrant dan William M. Watt. Hal inilah yang kemudian
akan menimbulkan kecemburuan Barat terhadap Islam. Puncak kecemburuan tersebut
akan berakhir dengan apa yang telah diramalkan oleh Samuel Huntingtom, The Clash of
Sivilication. Pertikaian antar kebudayaan, Barat dan Islam. [ISLAT]
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan
agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama (ideologipen.),
walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai (at-Taubah:33 dan as-Shaf:9)
Pustaka:
[1]Selengkapnya lihat karya Will Durant, Lucas yang mengupas sejarah peradaban Barat.
[2]Thomas Docherty, Post-Modernism: A Reader.
[3]Neil J. Flinders, A Restorationist Views the Modernis/Post-Modernist Debate.
[4]Barry Smart, Modernty, Post-Modernity and the Present.
[5]Lihat Michael Luntley, Reason, Truth and Self, The Post-modern Reconditioned.
[6]Lihat Howard Ozmon and Samuel Craver, Philosophical Foundations of Education.
[7]Lawrence E Cahoone, From Modernis to Post-Modernis.
[8]Lihat John Milbank, Problematizing the Secular the Post Postmedern Agenda in
Shadow of Spirit Postmodern.

You might also like