You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tentu tidak semua
kepentingan warga Negara dapat terakomodir secara penuh, ini disebabkan oleh
berbagai factor dan dinamika yang ada dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut. Sejatinya setiap peraturan peraturan perundangundangan dapat mewakili dan menjadi sebuah aturan yang dapat menjadi sarana
pembangunan dan melindungi berbagai kepentingan-kepentingan yang di
dalamnya memuat berbagai hal yang bersifat bonafideterhadap kelangsungan
hidup berbagai elemen masyarakat Indonesia.
Ketika Peraturan perundang-undangan itu dibuat, disahkan lalu
diberlakukan, bukan tidak mungkin ada beberapa kepentingan-kepentingan politik
yang menyertainya. Bukan hanya itu saja, namun terkadang peraturan perundangundangan tersebut hanya menguntungkan kepada satu atau beebrapa golongan
saja, tidak untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak
sedikit di Indonesia sering terjadi penyimpangan-penyimpangan peraturan yang
menjadi hambatan dan factor yang memperlambat urgensi laju Pembangunan.
Maka untuk menjamin, agar segala kepentingan-kepentingan suatu
birokrasi tersebut dapat terkendali, harus ada pengawasan yang efektif dan efisien.
Ini bertujuan untuk menyeimbangkan segala bentuk kehidupan demokrasi yang
ada di Negara tersebut, pengawasan ini hendaknya menjadi suatu upaya untuk
melindungi warga Negara Indonesia dari berbagai ketimpangan-ketimpangan
yang dapat merusak tatanan kehidupan demokrasi di Indonesia. Selain itu
pengawasan ini juga harus memiliki sikap yang tegas dan transparan, demi
terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menindaklanjuti hal ini, dikenal dengan istilah Judicial
Reviewatau uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan dimana dalam
sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.
Sebelumnya, tidak dikenal uji materiil sebuah peraturan perundang-udangan
terhadap konstitusi.

B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan membahas satu persatu masalah, berikut beberapa
pertanyaan yang akan dibahas dalam makalah ini :
1.
Pengertian Pengujian Peraturan Perundang-undangan.
2.
Pengujian Peraturan Perundang-undangan.
C. Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu untuk
mengetahui dan mempelajari tentang pengujian norma hukum dan objek
pengujian undang undang.
2.
1.
2.

Tujuan Khusus
Dapat mengetahui Pengertian Pengujian Peraturan Perundang-undangan.
Dapat memahami Pengujian undang undang

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku
Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan
melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly
Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing),
dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut
biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin
(undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang
dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undangundang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undangundang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya
adalah pengujian formil. Jadi judicial review mencakup pengujian terhadap suatu
norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun
secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji
materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak
konstitusional warga Negara (Artikel Judicial Review,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257)
Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar
tentang judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang
di dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD
1945.[ Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu
Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78]. Judicial
Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan
oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undangundang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).[ Artikel
Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktiklegislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia, diakses tgl 29 September

2016] Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai


apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[ Sri Soemantri, 1986]
Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan
salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU
Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat
mengajukan pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu
undang-undang kepada MK. Sedangkan, pengujian peraturan perundangundangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan
Peraturan Daerah kewenangan menguji baik secara materiil maupun formil
peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung.
Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam
ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian ini
untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat,
pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD. Undangundang merupakan sebuah produk politik. Membentuk undang-undang adalah
sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik. Ketika proses
membentuk Undang-undang ini berada di dalam ruang politik, maka akan muncul
potensi undang-undang yang sarat akan muatan politik. Dampaknya undangundang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu melanggar hak-hak dasar
warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undang-undang
mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa. Oleh karena itu perlu adanya
mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak konstitusional adalah
hak yang diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara formil maupun
materiil merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak konstitusional
warga Negara
Judicial review merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji
kesahihan dan daya laku peruduk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengajuan oleh
hakim terhadap produk-produk cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif adalah
konsekuensi dari dianutnya prinsip check and balance berdasarkan pada doktrin

pemisahan kekuasaan (Separation of power). Karena itu kewenanagan untuk


melakukan judicial review melekat pada fungsi hakim sebagi subyeknya, bukan
pada pejabat lain. Jika pengujian dilakukan bukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga
parlemen, maka pengujian seperti itu dapat disebut dengan legislative review. Jika
dilakukan oleh pemerintahan yang berada pada struktur yang lebih tinggi terhadap
produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh pemerintahan yang
berada pada struktur lebih rendah, maka pengujian itu disebut administrative
review.[ Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu
Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78] Baik
judicial review, legislatif review, maupun administrative review, pada dasarnya
merupakan kegiatan pengujian peraturan perundang-undangan, yang melahirkan
konsekuensinya keberlakuan dan atau perubahan sebuah undang-undang.
Amandemen UUD 1945 dan reformasi perundang-udangan di bidang
peradilan telah memetakan secara jelas pengaturan tentang judicial review ini.
Sementara dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun
2008 tentang pemerintah daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008
juga menyebutkan kewenangan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk
melakukan pembatalan sebuah peraturan daerah yang dianggap tidak
berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di
parlemen, mekanisme peninjauan dan perubahan perundang-undangan juga
tersedia.Secara ringkas dapat dirumuskan, kewenangan judicial review di
Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Sementara kewenangan administratfi review melekat pada Departemen Dalam
Negeri, sebagai departemen yang secara administrative menanggungjawabi
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan kewenangan legislatif review
dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang
kekuasaan kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan
diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009, disebut kewenangan uji materiil peraturan
perundang-undangan di bawah dan terhadap Undang-undang.[ Ismail Hasani &
Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.]

Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan
pembedaan yang tegas antara undang-undang dengan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengatur
sebagai berikut : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar . Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD
1945 mengatur sebagai berikut : Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang [Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006. H.45]
Dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 mengatur sebagai berikut :
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan Hierarki peraturan
peraturan perundang-undangan yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan mengenai apa saja bentuk-

bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia


berdsarkan UUD 1945 dan bentuk-bentuk peraturan mana saja yang lebih tinggi
dan man yang lebih rendah tingkatannya satu sama lain. berkaitan dengan itu
dapat pula diketahui dengan pasti mana saja bentuk peraturan perundangundangan yang disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang, mana saja
yang setingkat dan mana yang lebih tinggi dari pada undang-undang.
B.

Latar Belakang Terjadinya Judicial Review


Adanya Judicial Review dilatarbelakangi oleh
1. Historis Ketatanegaraan

Dahulu banyak produk perundang-undangan yang bertentangan


dengan undang-undang dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sudah
terreduksi dan disalah artikan oleh pemerintah demi mempertahankan
kekuasaan. Sehingga pasca reformasi masyarakat menginginkan adanya suatu
sistem pengujian agar undang-undang diterapkan sesuai dengan UUD 1945.[
http://fatahilla.blogspot.co.id/2009/11/pengujian-undang-undang-terhadapundang.html di unduh Pada Rabu, 28 September 2016 Pukul 18.30 WIB]
2. Konsep Supremasi Konstitusi
Indonesia menganut supremasi konstitusi pada masa orde baru.
Undang-undang dasar tidak boleh diganggu-gugat dan ditafsirkan. Sehingga
ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 banyak usulan untuk
membentuk sebuah lembaga yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal
konstitusi.
C. Pelaksanaan Judicial Review Dalam Lingkungan Kekuasaan Kehakiman
Pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh dua lembaga
yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam UUD 1945 diatur
bahwa Mahkamah Konstitusi berhak menguji undang-undang terhadap undangundang dasar. Sedangkan Mahkamah Agung berhak menguji produk perundangundangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Dari ketentuan ini
muncul permasalahan apakah jika Mahkamah Konstitusi membatalkan atau
menyatakan suatu undang-undang tidak berlaku lagi maka bagaimanakah
peraturan yang berada di bawah undang-undang tersebut. Apakah akan batal
secara otomatis atau tetap berlaku. Disinilah letak kekurangan sistem pengujian.
Seharusnya kita menganut sistem sentarlisasi. Dimana pengujian seluruhnya
dipegang oleh satu badan. Sehingga putusan yang dikeluarkan tidak akan
mengakibatkan pertentangan. Lingkup Judicial Review/Toetsingrecht di
Indonesia :
a. Peraturan Perundang-undangan (regeling)
1. Menguji undang-undang terhadap UUD dilakukan oleh MK (constitutional
review)
2. Menguji peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap
undang-undang oleh MA
b. Pengujian keputusan (beschikking) dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha
Negara
7

Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap undang-undang ada


dua macam yakni :
1. Pengujian materiil
Adalah pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan. Bagian
tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu
pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang. Pada dasarnya pengujian
materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan
dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususankekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma
yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip lex specialis derogate lex
generalis, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap
berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan
yang bersifat umum.
2. Pengujian formil
Adalah pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek
formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum
tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga
substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum.
Dengan kata lain Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal
prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan
dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang
bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak
ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk
membentuknya.[ Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit
Alumni, Bandung: 1997]
Sementara Sri Sumantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini

berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan
yang lebih tinggi derajatnya.
D. Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujian Peraturan Perundangundangan.
1. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu
lembaga Negara yang lahir pascaamandemen UUD 1945, yang termasuk
rumpun lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif. Berdasarkan UUD 1945
Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan salah satunya
adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945. Lebih
lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam UU. 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU yang dapat
dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan
UUD 1945, yaitu perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober
1999. Kewenangan memutus permhonan judicial review yang dimiliki
Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir,
keputusannya bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta tidak
ada upaya hukum lain. Pasal 10 UU No. 24 tahun 2003 menyebutkan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji UU terhadap UUD dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
c. Memutus pembubaran partai politik dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pemohon dari pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan /
atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah UU,
yaitu:
a.
b.

Perorangan WNI
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam
UU

c.
d.

Badan hukum public


Lembaga negara
Yang dimaksud hak konstitusional menurut penjelasan pasal 51

UU No. 24 tahun 2003 adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945, sedangkan yang dimaksud dengan orang
perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang
sama.
2. Mahkamah Agung
Hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UU
dapat dilakukan teradap materi muatan ayat, pasal dan/ atau bagian dari
peraturan perundang-undangan yang bertengan dengan peraturan perundangundangan yang lebuh tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 31 A UU No. 5 tahun
2004 Mahkamah Agung sebagai berikut:
1. Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU
terhadap UU diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada
Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama dan alamat pemohon
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
1) Materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian peraturan
perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undagan yang lebuh tinggi. Dan / atau
2) Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku.
c. Hal-hal yang diminta untuk dihapus
3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau
permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan
permohonan tidak diterima.
4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan
5. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4,
amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan /
atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi.
10

6. Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan


peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi dan/ atau tidak
bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan peraturan perundangundangan dibawah UU diatur oleh Mahkamah Agung.[
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmuperundang-undangan.htmldi unduh pada 28 September 2016 Pukul 18.50
WIB]
3. Dewan Perwakilan Rakyat
Tidak ada mekanisme yang baku mengenai bagaimana, kapan dan
terhadap UU seperti apa DPR melakukan peninjauan dan revisi UU.
Kewenangan melakukan peninjauan terhadap UU melekat dan berpijak pada
kewenangan yang dimiliki DPR sebagai lembaga legislasi. Mengenai praktik
selama ini, DPR bersama pemerintah melakukan berbagai perubahan UU, jika
menemukan ketidaksesuaian UU dengan UU yang lain. Bisa juga karena
factor ketertinggalan sebuah UU dengan situasi terbaru yang muncul
belakangan, atau juga karena peristiwa hukum yang lahir belakangan tidak
cukup terwadahi penyelesaiannya dalam UU yang sudah ada. Sebagai contoh,
di tahun 2006 DPR bersama pemerintah melakukan peninjauan dan
membahas perubahan UU tentang kesehatan. Juga UU pemilu, partai politik,
yang selalu hampir berubah-ubah pada setiap periode pemilu.
4. Departemen Dalam Negeri
Kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan
peraturan daerah jika tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi ini
merupakan konsekuensi dari keberdaan Departemen Dalam Negeri sebagai
pihak yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya
penyelenggaraan pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 bagian
pendahuluan angka 7 (tujuh) menyebutkan pembinaan atas penyelenggraan
pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan pusat
dan atau Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan
11

tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka


pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing yang dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri untuk
pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh Gubernur untuk pembinaan
dan pengawasan Kabupaten atau kota. Dalam hal pengawasan terhadap
rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah malakukan
dengan 2 cara :
1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu
terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah,
retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah
terlebih dahulu dievaluasi oleh MENDAGRI untuk RAPERDA Provinsi,
dan oleh Gubernur terhadap RAPERDA Kabupaten/Kota.
2) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk
dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerahwajib disampaikan kepada
MENDAGRI untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk
memperoleh klarifikasi.
Mekanisme pembatalan peraturan Daerah, disebutkan dalam pasal 145 UU
No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, sebagai berikut :
a. Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
b. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
c. Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
d. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan
pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
rnencabut Perda dimaksud.
e. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan

12

yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala


daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
f. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan
;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
g. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda
dimaksud dinyatakan berlaku.
[http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmuperundang-undangan.html]
E.

Mekanisme Pengujian Peraturan Peraturan Perundang-Undangan di


Mahkamah Konstitusi.
Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan
hingga sidang putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan
pemeriksaan permohonan uji materil meliputi:
1)

Pengajuan Permohonan
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan
ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini
dilakukan pada panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil,
permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau kewenangan
konstitusionalnya yang dilanggar. Dalam pengujian formil, Pemohon
wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan
UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang
akan digunakan dalam persidangan. Pemohon dalam pengujian UU
terhadap UUD 1945 adalah:

13

a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang


mempunyai kepentingan sama.
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

2)

Republik Indonesia yang diatur dalam UU;


c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;
d. Lembaga negara.
Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan
pemeriksaan atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan
tersebut syarat-syarat administrasi masih kurang, maka pemohon diberi
kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari setelah
pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh
pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi
kelengkapan permohonannya, maka panitera membuat akta yang
menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan kepaa

3)

pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.


Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
(BRPK);
Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling
lambat tujuh hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden. Selain
itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan
pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA
meberhentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah

4)

undang-undang yang sedang diuji.


Pembentukan Panel Hakim
Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada
Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan
memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut.

5)

Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam
BRPK, MK menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan

14

permohonan. Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan


diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada papan
pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs
www.mahkamah konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media
cetak dan elektronik. Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh
pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat tiga hari
sebelum hari persidangan.
6)

Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;


Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim
melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum
(legal standing) pemohon dan pokok permohonan. Dalam pemeriksaan
ini, hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya
untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan. Pemohon diberi
waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau
memperbaiki permohonan tersebut. Nasihat yang diberikan kepada
pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan tertib persidangan.
Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas,
dan/atau telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan
tersebut kepada Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.

7)

Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;


Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang
terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap
permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan. Untuk
kepentingan persidangan, majelis hakim wajib memanggil para pihak
yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau
meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait
dengan permohonan.

8)

Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim

15

wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis.


Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka musyawarah
ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya. Selanjutnya
apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan secara
musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan suara
terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila
mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian
undang-undang dapat berupa:
a. Dikabulkan;
Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang
melanggar UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan
UUD;
b. Ditolak;
Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang
yang oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun
materinya tidak bertentangan dengan UUD;
c. Tidak diterima;
d. Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak
dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan,
maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undangundang yang diajukan tersebut menjadi tidak berlaku. MK
merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final. Tidak ada upaya
hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak puas dengan
putusan MK.

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku
Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang
dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu
norma. Judicial ReviewAdalah pengujian yang dilakukan melalui
mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. yakni
menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi,
dan peraturan UU dengan UU yang lebih tinggi. Sementara Sri
Soemantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah suatu
wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu
peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu
peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya.
2. Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut dimana Permohonan diajukan secara
tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau
kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK, kemudian
Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan

17

pemeriksaan atas kelengkapan administrasi, ditindaklanjuti Pencatatan


permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK); Panitera
melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), lalu Panitera menyampaikan berkas
perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan
susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undangundang tersebut dan dilanjutkan dengan penjadwalan persidangan,
selanjutnya diadakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dimana Sebelum
memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan
pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal
standing) pemohon dan pokok permohonan, selanjutnya diadakan Sidang
pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti Dalam sidang pleno dan
terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim
MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa buktibukti yang sudah diajukan, dan yang terakhir adalah Putusan, dimana
putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim
wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis.

18

DAFTAR PUSTAKA
Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu
Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian UndangUndang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006.
Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung:
1997
http://tehangatsekali.blogspot.co.id/2011/11/pengujian-undang-undang.htm l
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislativereview-dan-judicial-review-di-indonesia,
http://gumilar69.blogspot.co.id/2013/11/makalah-lengkap-ilmu-perundangundangan.html
http://fatahilla.blogspot.co.id/2009/11/pengujian-undang-undang-terhadapundang.html

19

PENGUJIAN NORMA HUKUM DAN OBJEK PENGUJIAN


UNDANG UNDANG
ILMU HUKUM

OLEH:
KELOMPOK 1
1.
2.
3.
4.

ANISA PUTRI RAHAYU


DWI MEGA OKTOVIONA
JERI PERMANA PUTRA
HADE YUSUF

20

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT


BUKITTINGGI
2016

21

You might also like