You are on page 1of 14

PERUBAHAN MATERIAL ARSITEKTUR TRADISIONAL

BETAWI
Kasus Studi Rumah Tradisional Betawi Pada Perkampungan Betawi Meruya Udik,
Meruya Selatan, Jakarta Barat

Rahmat Faiz Abdullah dan Rahil M. Hasbi


Program Studi Arsitektur, Universitas Mercu Buana, Jakarta-Indonesia
e-mail: rafaabdullah@gmail.com

ABSTRACT
Architectural development always has an impact on the architectural rules that
had previously existed. In Indonesia, which the majority of the people are
influenced by the culture, they have a strong connection with nature, the
development of traditional architecture depends on the tradition, attitudes and
values that applied in each area, including Betawi traditional architecture in
Jakarta. Nowadays, the growth of artificial materials has increased. Slowly the
behavior of people in Jakarta who used natural resources as their main material
of their house has changed and also it is caused by the lack of the land in
Jakarta, as well as the increase of many complex architectural style that have
become a big influence in developing traditional architecture style. In the past,
the natural materials used by Betawi people were jackfruit wood, gowok wood,
kecapi wood, bamboo, and etc., but because of the strength quality of these
natural materials are very limited, only decades, then the materials will rotten
and damaged because of the age and natural factors. The development of
artificial materials have many advantages and convenience especially on the
strength quality that can be used for hundred years. Its like offering something
new that can be used by Betawi people to make their house which can be used
ever after - standing for hundred years.
Keywords: changes, Betawi traditional architecture,
engineering materials, factors cause changes

natural

materials,

ABSTRAK
Perkembangan arsitektur selalu berdampak pada pakem dari langgam arsitektur
yang telah lebih dahulu ada, di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah
masyarakat kultural yang memiliki keterkaitan kuat dengan alam, arsitektur
tradisional berkembang sesuai dengan adat, perilaku dan norma yang berlaku di
setiap daerah, termasuk halnya arsitektur tradisional Betawi di Jakarta. Pada
zaman dimana perkembangan material-material buatan berkembang pesat
seperti sekarang ini, pelan-pelan kebiasaan masyarakat tradisional Jakarta yang
dahulunya banyak memanfaatkan kekayaan alam untuk material rumah
tradisionalnya mulai bergeser, ditambah lagi semakin menurunnya jumlah lahan
yang tersedia di Jakarta yang dahulunya menjadi tempat material alami bisa
diambil, serta semakin kompleksnya gaya arsitektur yang banyak bermunculan
menjadi hal yang memiliki andil besar dalam mengembangkan arsitektur lokal.
Dahulu, material alami yang biasa digunakan masyarakat Betawi adalah kayu
nangka, kayu kecapi, kayu gowok, bambu, dan lain sebagainya, namun karena
kekuatan material-material alam tersebut sangatlah terbatas berkisar hanya
puluhan tahun saja, maka material-material yang sejak lama digunakan tersebut
kemudian melapuk dan rusak utamanya karena factor usia dan factor alam.
Berkembangnya material-material rekayasa yang memberikan banyak
keunggulan dan kemudahan terutama pada sisi kekuatan untuk digunakan
1|Page

dalam jangka waktu ratusan tahun seolah menawarkan sesuatu baru yang dapat
digunakan masyarakat Betawi untuk membuat rumah mereka tetap dapat
digunakan meski telah berdiri ratusan tahun.
Kata Kunci: perubahan, arsitektur tradisional betawi, material alami, material
rekayasa, factor penyebab perubahan

LATAR BELAKANG

Arsitektur tradisional adalah arsitektur yang berkembang bersama dengan kebiasaan, pola
hidup, adat istiadat dan norma-norma yang berlaku pada suatu komunitas tradisional,
implementasi bentuk dan coraknya beragam sesuai dengan tempat dimana ia berada,
pengaruhnya dihasilkan dari kearifan local yang diwariskan secara turun temurun oleh para
pendahulu komunitas tradisional sesuai ketentuan adat yang disepakati bersama, sebagai
Negara yang memiliki banyak etnis Indonesia memiliki beragam bentuk arsitektur tradisional
yang berkembang dari Sabang sampai merauke, di Indonesia bagian barat Aceh memiliki
Rumoh Aceh, di Indonesia bagian tengah Toraja memiliki Rumah Tongkonan, dan di
Indonesia bagian timur Papua memiliki Rumah Honai, semuanya berkembang dan menjadi
ciri khas dari daerahnya masing-masing. Setiap tempat yang menjadi lokasi sebuah karya
seni bangunan akan selalu bercerita tentang kondisi yang melatarbelakanginya. Priyo
Pratikno (2011)
Jakarta sebagai ibukota negara juga memiliki rumah adat yang menjadi ciri khas kota nya,
etnis Betawi yang hidup dan tinggal di Jakarta memiliki rumah tradisional Betawi, rumah
tradisional Betawi berkembang dari tengah kota hingga daerah pesisir, bahkan berkembang
juga pada kota-kota penunjang Ibukota, seperti Tangerang, Bekasi, dan Bogor, ini
dikarenakan etnis Betawi yang menyebar kemudian mendirikan rumah tradisionalnya pada
daerah-daerah yang didiami.
Sebagai ibukota negara, Jakarta tentunya tidak lepas dari perkembangan-perkembangan
yang terjadi, modernisasi dan gaya hidup yang semakin kompleks kemudian ikut pula
merubah arsitektur yang berkembang, arsitektur bergaya modern berkembang pesat dan
lebih banyak dijumpai saat ini dibandingkan arsitektur tradisional yang menjadi ciri khas
kotanya, arsitektur tradisional Betawi seolah hilang ditelan gedung-gedung tinggi dan mallmall yang ada, serta kalah bersaing dari perumahan-perumahan mewah dan real estate yang
mayoritas bergaya arsitektur modern.
Ketenaran arsitektur modern tidak lepas dari penggunaan bahan material yang digunakan,
bahan fabrikasi yang telah tersentuh teknologi menjadi keunggulan dari arsitektur modern,
kesan kuat, rapi, indah, dan glamor menjadi sampul yang dapat jelas terlihat oleh masyarakat
yang melihatnya, karena elastisitas dari material-material fabrikasi yang dapat dibentuk
sesuai model dan kebutuhan yang diinginkan.
Di tengah pesatnya arus modernisasi yang terjadi di Jakarta, arsitektur tradisional
Betawi masih dapat bertahan hingga saat ini, tidak dipungkiri tentu banyak perubahan yang
terjadi pada arsitekturnya untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungan yang
berkembang, hasil dari tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana rumah
tradisional Betawi yang berada di kawasan Meruya Udik, Meruya Selatan, Jakarta Barat
bertahan dan berkembang dengan perubahan material kekinian yang lebih unggul dibanding
material tradisional yang sejak turun temurun telah digunakan oleh masyarakat Betawi.

METODE PENELITIAN

Pendekatan dalam penelitian menggunakan metode kualitatif dan metode historik, dalam
penelitian ini peneliti mengamati individu atau unit secara mendalam dan mencari faktorfaktor yang dapat menjelaskan kondisi subyek dan obyek yang diteliti, sedangkan metode
historik digunakan untuk mengkaji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan
sejarah agar hasil penelitian menjadi lebih lengkap.

2|Page

2.1

Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dari sumber data yang telah didapatkan dalam penelitian ini
maka teknik pengumpulan data dijawab dengan :
1. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan yang dijabarkan dari pedoman pengumpulan data dan informasi yang
relevan. Wawancara ditujukan kepada informan yang dianggap dapat memberikan informasi
yang relevan dengan permasalahan kajian, antara lain kepala desa, pemilik rumah, atau
orang-orang yang telah lama menetap di daerah yang dijadikan lokasi penelitian.
2. Observasi Langsung
Observasi yang dilakukan ada dua macam, yaitu untuk mengamati elemen-elemen
arsitektural rumah tradisional Betawi yang menjadi ciri khas arsitekturnya. serta observasi
terhadap perubahan material yang terjadi pada rumah tradisional Betawi akibat banyaknya
rumah-rumah berarsitektur modern yang berdiri disekitarnya.
3. Mencatat Arsip dan Dokumentasi
Mencatat arsip dan dokumentasi yang dikaitkan dengan masalah dan tujuan
penelitian.
Fokus dari penelitian tentang arsitektur tradisional Betawi ini adalah pada materialnya,
peneliti akan menganalisa perubahan-perubahan akibat perkembangan zaman yang terjadi
disekitar lokasi arsitektur tradisional tersebut berada, analisanya dengan cara
membandingkan arsitektur tradisional Betawi asli, dengan perubahan-perubahan yang telah
terjadi pada rumah-rumah tradisional Betawi yang diteliti.

2.2
2.2.1

Tinjauan Pustaka
Arsitektur Tradisional

Sebagai Negara majemuk yang memiliki berbagai macam etnis, Indonesia juga memiliki
arsitektur tradisional yang terbentang dari sabang sampai merauke, arsitektur tersebut
menjadi perlambang dan ciri khas dari masing-masing etnis di tiap daerah. Arsitektur
tradisional merupakan implementasi dari keseharian yang diwujudkan dalam bentuk
bangunan, tradisi membangun masyarakat untuk mewujudkan rumah tinggal yang sesuai
dengan kebutuhan adat istiadat dari masing-masing daerah. Menurut Amos Rapoport (1960),
Arsitektur tradisional merupakan bentukan arsitektur yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Mempelajari bangunan tradisional berarti mempelajari tradisi masyarakat
yang lebih dari sekadar tradisi membangun secara fisik. Masyarakat tradisional terikat
dengan adat yang menjadi konsesi dalam hidup bersama. Menurut Myrtha Soeroto (2003,
Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia) Arsitektur tradisional merupakan
identitas budaya suatu suku bangsa, karena didalamnya terkandung segenap peri kehidupan
masyarakatnya. Jadi, setiap perubahan bentuk kehidupan masyarakat tradisional akan
mempengaruhi arsitekturnya. Arsitektur tradisional mementingkan keserasian antara
manusia, adat, dan alam, kearifan arsitekturnya terlihat dari penggunaan bahan material yang
berasal dari alam, namun penggunaannya tetap diatur oleh adat dan norma yang berlaku
dalam masyarakat, ini dilakukan agar kelestarian alam tetap terjaga.
Ditengah arus globalisasi arsitektur dunia yang semakin meluas serta gencarnya
pembangunan di segala sektor, menyebabkan pergeseran nilai serta filosofi dari arsitektur
tradisional yang ada, sehingga wujud dari arsitektur tradisional itu sendiri ikut berubah
mengikuti perkembangan yang terjadi, perubahan-perubahan tersebut tidak diimbangi oleh
kemampuan untuk mempertahankan ketradisionalan yang dimiliki bangsa ini, sehingga
banyak perumahan yang berkembang di suatu daerah tidak mengikuti ciri khas dari arsitektur
tradisional daerah tersebut. Eko Budihardjo dalam bukunya Arsitektur Pembangunan dan
Konservasi (1997), menganalisa secara kritis mengenai arsitektur dan konservasinya.
Globalisasi telah membuat kebudayaan setiap bangsa berada dalam proses transformasi
terus menerus sehingga masyarakat menjadi semakin heterogen. Simbol, makna, dan
3|Page

bahasa arsitektur yang dulunya disepakati bersama dalam suatu komunitas tradisional, saat
ini makin tidak tersepakati secara homogen. Pluralisme budaya memang akan menjadi ciri
setiap bangsa industrial modern yang sedang bergerak maju dan menuntut setiap profesi
agar semakin kreatif dengan penemuan dan ragam alternatif inovasi baru.

Menurut Marcus Gartiwa, Arsitektur tradisional Indonesia berdasarkan budayanya secara


umum dapat ditandai memiliki ciri atau karakter sebagai berikut :

a. Penserasian mikro kosmos dengan makro kosmos


b. Menghormati alam
c. Sebagai sarana dasar dalam membentuk jiwa penghuninya
d. Berlandaskan agama/kepercayaan

2.2.2

Modernisasi Dalam Arsitektur

Modernisasi dalam arsitektur Indonesia diawali dari Revolusi Industri pada abad ke 19,
karena adanya perubahan dalam teknologi, sosial, dan kebudayaan. Perubahan dalam
bidang teknologi bangunan, terjadi peningkatan mutu dan pengerjaan bahan bangunan
tradisional dari kayu, batu bata, genting, dan batu alam menjadi 3 bahan baru (penemuan
teknologi terbaru) yaitu kaca, baja dan beton. Perubahan dan kemajuan inilah yang
memunculkan gerakan modern yang juga ikut mempengaruhi seluruh bidang kehidupan.
Menurut Adhitya Eka Hermawan (2009) modernisme bisa dilihat dalam transformasi bentuk
bangunan, ataupun penggunaan teknologi dan material yang mencerminkan kemodern-an
sebuah bangunan.
Di Indonesia sendiri modernisasi arsitektur semakin marak terlihat pada masa orde baru,
dimana krisis kebudayaan dan kemerosotan moral bangsa tercermin pada miskinnya wajah
arsitektur dari sifat-sifat Indonesia asli. Sejarah orde baru yang berbasis ekonomi-industri
melahirkan arsitektur yang memamerkan gaya hidup materialistis-konsumtif tanpa batas.
Gejala arogansi individualisme yang terekspresi pada desain rumah semakin menonjol.
Wajah arsitektur perkotaan, terutama Jakarta, menjadi tolok ukur kesenjangan sosial-budayaekonomi yang memprihatinkan antara pusat dan daerah. Sementara arsitektur pedesaan
semakin terpuruk dan terlupakan dalam gemuruhnya derap pembangunan selama 3
dasawarsa. (Myrtha Soeroto (2003) Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia
hal 13) Senada dengan Myrtha Soeroto Menurut Atmadi (1997) perkembangan arsitektur di
Indonesia sesudah kemerdekaan menunjukkan corak perkembangan tersendiri. Ungkapan
arsitekturnya disesuaikan dengan tantangan, pengaruh perkembangan teknologi dan bahan
bangunan yang ada.

2.2.3

Elemen Arsitektur Alami (material alam) Beserta Fenomenanya dan


Keterkaitannya dengan Kebutuhan Arsitektur untuk Beradaptasi
Elemen arsitektur alami (material alam) adalah elemen yang menjadi komponen pengisi
wajah arsitektur tradisional, bahan yang masih banyak tersedia di alam dan kepercayaan
masyarakat tradisional bahwa alam adalah bagian dari mereka menjadikan material alam
sebagai bahan yang paling banyak dipilih untuk membangun rumah atau tempat tinggal, dari
tahun ke tahun secara turun-temurun kepercayaan ini terus dijaga dan diwariskan kepada
penerus mereka, kelestarian alam dan kebutuhan berjalan imbang, tidak ada pembangunan
yang dampaknya merusak alam karena masyarakat tradisional memiliki waktu-waktu tertentu
dimana kekayaan alam boleh diambil dan kapan tidak boleh diambil, sehingga pembangunan
tetap dapat terwujud tanpa harus mengorbankan kelestarian alam.
Kemampuan material alami dalam hal kekuatannya untuk bertahan dari kondisi alam
dinilai hanya mampu bertahan dalam jangka waktu puluhan tahun saja, dibutuhkan renovasi
berkala untuk mengganti bagian-bagian rumah yang materialnya telah rusak, meskipun
renovasi tersebut puluhan tahun hitungannya, namun keinginan-keinginan masyarakat untuk
menciptakan rumah yang tidak terlalu banyak direnovasi perlahan mulai menggeser
4|Page

popularitas material alam, apalagi dengan semakin berkurangnya ketersediaan materialmaterial tersebut di alam serta pertimbangan efisiensi waktu apabila kerusakan-kerusakan
mengharuskan masyarakat merenovasi rumahnya kemudian menimbulkan keinginan akan
material rumah yang lebih tahan lama dan mampu bertahan selama ratusan tahun.
Menurut Priyo Pratikno dalam bukunya Etika dan Estetika (2011) Kemampuan fisis dari
bahan bangunan local alami sangat terbatas, yakni hanya untuk hitungan puluhan tahun saja
bilamana tidak dilakukan perawatan secara teliti. Maka perhatian terhadap penggunaan
bahan bangunan local memerlukan teknik dan penyiasatan tertentu. Apalagi dengan adanya
pandangan yang menganggap masyarakat sebaiknya rumah dibuat sekaligus jadi dan
sesedikit mungkin perawatannya, akan berdampak besar bagi ditinggalkannya bangunan
alami. Karena bagaimanapun juga, rumah membutuhkan perawatan dan perbaikan secara
teratur.
Penggunaan bahan material dalam arsitektur kini semakin kompleks, perkembangan
dengan sentuhan teknologi kini memungkinkan sebuah material mengikuti bentuk bangunan
yang diinginkan, berbeda dengan karya-karya arsitektur tradisional yang terbatas pada alam
dan bentuk bangunannya karena material-material yang tersedia tidak memungkinkan
masyarakat tradisional menggubah arsitekturnya ke dalam bentuk yang lebih variatif.
Persis seperti apa yang dituturkan oleh Priyo Pratikno dalam bukunya etika dan estetika
(2011) Ketersediaan bahan bangunan menjadi batasan pada bentuk rumah dan bangunan
serta lingkungan binaan sebuah komunitas tradisional. Kini akurasi dan efisiensi teknologi
memungkinkan penggunaan bahan material yang dahulu tidak terbayangkan.
Banyaknya bahan fabrikasi yang dikembangkan sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman
kemudian merubah paradigma masyarakat tradisional, masyarakat tradisional yang awalnya
cenderung kaku mengikuti adat norma yang ada dengan menggantungkan kehidupan pada
kekayaan alam kini mulai bergeser, masyarakat yang tidak ingin repot-repot mengumpulkan
bahan dari alam guna membangun atau memperbaiki rumah mereka kemudian mulai melirik
bahan-bahan fabrikasi yang telah tersentuh teknologi, bahan-bahan fabrikasi yang dinilai
memiliki ketahanan terhadap cuaca, memiliki umur kerusakan yang cukup lama, praktis,
efisien, dan banyak tersedia di pasaran menjadi alasan kuat bagi masyarakat tradisional
untuk beralih, karena mereka banyak menemukan keuntungan terutama dalam hal efisiensi
waktu untuk belanja bahan bangunan dan merenovasi rumah, sehingga kini banyak
ditemukan rumah-rumah tradisional yang telah berubah materialnya meskipun keberadaan
material tersebut tidak menghilangkan kekhasan arsitektur tradisionalnya. Hal ini banyak
terjadi di kota-kota besar terutama Jakarta dengan rumah Betawinya.
Mengutip dari buku Etika dan Estetika (2011) karya Priyo Pratikno, Teknologi dan bahan
fabrikasi memberi banyak kemudahan sehingga secara pragmatis hal tersebut dipandang
akan sangat menguntungkan banyak pihak.

2.2.4
2.2.4.1

Betawi dan Arsitektur Tradisionalnya

Sejarah Etnis Betawi

Etnis Betawi seringkali dikatakan sebagai salah satu etnis termuda yang muncul di
Nusantara, yang keberadaannya selalu dikaitkan dengan kota Batavia dan
perkembangannya. Istilah etnis Betawi ini mulai populer terutama sejak dibentuknya
organisasi Kaoem Betawi pada tahun 1918 dan disusul dengan terpilihnya Mohammad Husni
Thamrin di tahun 1919 sebagai anggota Gemeenteraad kota Batavia, yang menyatakan
bahwa ia mewakili rakyat bumi putera Batavia atau orang Betawi. (Ensiklopedi Jakarta)
Penggunaan istilah etnis Betawi
digunakan untuk menjelaskan tentang identitas
kelompok masyarakat yang bermukim di kota Batavia dan sekitarnya. Nama Betawi muncul
akibat pelafalan lokal dari kata Batavia yang berubah menjadi Betawi (Gunawan Tjahjono
dalam tulisannya Reviving The Betawi Tradition). Sebagian dari kelompok masyarakat yang
menamakan dirinya bangsawan Betawi mengatakan nama Betawi berasal dari kata fatawi
yang berarti penasehat urusan keagamaan, gelar yang diberikan kepara penguasa kota
Jayakarta semasa masih berkuasanya kerajaan Jayakarta. (Yasmine Shahab, Bangsawan
Betawi : Tantangan Bagi Pandangan Orang Luar, di buku Kees Grijns dan Peter J.M. Nas,
5|Page

J a k a rt a

KITLV,2007 p215)

B a t a vi a

E s s a y

S o si o

K u lt u r a l,

Etnis Betawi sendiri dikatakan sebagai percampuran dari berbagai kebudayaan pendatang
yang masuk ke kota Batavia dan membentuk satu kebudayaan baru. Yang menjadi
pemersatu etnis Betawi, adalah kesamaan bahasa yang digunakan yaitu bahasa Melayu
Betawi yang mana di dalamnya terdapat berbagai kata serapan dari bahasa asal kelompok
kelompok pembentuk etnis Betawi.
Mengenai asal muasal etnis Betawi sendiri, terdapat beberapa teori yang mencoba
menjelaskan tentang proses terbentuknya etnis baru ini. Teori paling populer adalah etnis
Betawi merupakan hasil percampuran beragam etnis yang tinggal di kota Batavia dan
sekitarnya yaitu antara etnis Sunda dan Jawa sebagai penduduk mayoritas setempat dengan
pendatang dari Portugal, Cina, Timur Tengah, dan seluruh wilayah Nusantara. Pendekatan
ilmiah dalam menelusuri asal muasal etnis Betawi ini dilakukan oleh Lance Castle dengan
pendekatan demografi, yang kemudian hasil penelitiannya banyak dijadikan sebagai rujukan
oleh para ilmuan Indonesia. Castle memunculkan teori tentang asal muasal etnis Betawi
melalui pembacaan hasil sensus yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda hingga tahun
1930 yang kemudian dibandingkan dengan sensus pemerintah Republik Indonesia tahun
1961. Dari pembacaan data tersebut, Castle kemudian mengatakan bahwa etnis Betawi
terbentuk sejak abad ke - 19 dari hasil pembauran berbagai etnis yang datang ke Batavia
antara abad ke - 17 dan - 18 yang kemudian membentuk etnis baru.
2.2.4.2

Rumah Tradisional Betawi

Rumah Betawi Pesisir adalah rumah yang umumnya terdapat di pesisir pantai Jakarta.
Rumah berbentuk panggung dengan kaki kaki yang tingginya hampir sama dengan tinggi
satu lantai bangunan. Salah satu yang masih tersisa dari rumah jenis ini adalah sebuah
rumah di kawasan Marunda, yang dikenal dengan nama rumah si Pitung. Rumah ini di tahun
1970an dibeli oleh Pemerintah DKI Jakarta dan dipertahankan kelestariannya hingga
sekarang ini. Dalam situs resmi pemerintah DKI Jakarta, dikatakan bahwa rumah yang
diperkirakan dibangun di abad ke 20 ini bergaya bugis dan menyerupai bentuk perahu phinisi.
Pengaruh Bugis pada bangunan yang terletak di pesisir Jakarta ini dikarenakan pada
masa kekuasaan kolonial Belanda, banyak didatangkan orang orang dari Bugis yang
kemudian menetap dan bermukim di Batavia. Antara tahun 1620 hingga 1800 mereka
menempati kampung Bugis di utara Bacherachtgracht dan di Patuakan, yang berada di
sekitar Jalan Tubagus Angke sekarang ini.

Gambar 1 Rumah Panggung Si Pitung, representasi arsitektur betawi awal


Sumber : (www.Jakarta.Go.Id)

Masyarakat Betawi tergolong masyarakat rawa. Itu sebabnya mereka mengenal model
rumah panggung, kata Ridwan Saidi (2002) Namun, Ketua Tim Pengelola Perkampungan
Budaya Betawi (PPBB) Agus Asenie Dipl Ing, praktisi arsitektur berpendapat, masyarakat
Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, sejak pesisir hingga pedalaman. Bahkan,
sekarang juga tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah Kota Jakarta. Sehingga
rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionilnya. Arsitektur rumah Betawi
juga mengenal rumah darat. Jadi memang ada variasi pola arsitektur rumah sesuai dengan
rentang sebaran komunitas Betawi dari pesisir yang mencari nafkah sebagai nelayan hingga
pedalaman yang bercocok tanam padi sawah,
Betawi pada awalnya adalah masyarakat river basin. Mereka membangun masyarakat
berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan ini. Ada belasan sungai besar di kawasan
6|Page

ini. Pintu depan rumah menghadap ke arah sungai. Akibatnya, setelah perlahan-lahan rumah
Betawi masuk ke pedalaman, arah hadap rumah Betawi tidak teratur seperti rumah di Jawa
yang berjajar menghadap jalan. Tetapi, sisa-sisa budaya DAS-nya masih tertinggal, biasanya
dalam bentuk adanya sumur gali di depan rumah.
Menurut Jan J.J.M. Wuisman (2007), rumah Betawi termasuk dalam Arsitektur tradisional
yang mengalami transformasi, yang bertransformasi dari rumah berbentuk panggung ke
rumah yang menempel dengan tanah.
Rumah Betawi daerah dataran dalam merupakan model yang mungkin paling banyak
dikenali oleh masyarakat terutama bagi mereka yang mengikuti tayangan acara acara di
televisi. Salah satu sinetron yang sangat fenomenal di paruh tahun 1990an yaitu sinetron Si
Doel Anak Sekolahan mengambil setting utama di sebuah rumah Betawi. Rumah dengan
beranda lebar tempat menerima tamu yang terletak di tengah lahan yang luas dan dikelilingi
dengan banyak pohon buah buahan. Rumah keluarga Si Doel adalah rumah yang
dibangun di atas permukaan tanah atau rumah depok. Ratu Arum Kusumawardhani (2012) .
Rumah Betawi daerah dataran dalam memiliki tampilan yang sangat berbeda dengan
rumah Betawi pesisir. Umumnya merupakan bangunan yang didirikan langsung diatas
permukaan tanah. Rumah tersebut merupakan bangunan bermassa tunggal dengan
pembagian ruang yang dapat dikelompokan menjadi ruang depan sebagai ruang publik,
ruang tengah yang menjadi area tinggal atau area pribadi, dan dapur sebagai area service.
(Dinas Kebudayaan DKI Jakarta)
Pada rumah yang beralas tanah, pengaruh Belanda dapat dilihat dari penggunaan Rorag
(terbuat dari bata) sebagai penghubung antara struktur tegak (baik setengah tembok maupun
dinding kayu/bambu) dengan lantai. Pada rumah yang bukan panggung dipergunakan tanah
sebagai lantai atau menggunakan ubin tembikar (pada orang kaya setempat), kemudian pada
perkembangannya dipergunakan ubin semen. Penggunaan ubin tembikar dan semen ini
merupakan pengaruh Belanda. Ensiklopedi Jakarta (2009)

Gambar 2 Rumah P.W.A van Spall di Rijswijk, kawasan elite kota Batavia tahun 1880
(Koleksi KITLV, Leiden)

Secara garis besar, bentuk rumah tradisional Betawi dapat dikelompokkan menjadi tiga
jenis tipe bangunan, yaitu :

(a)

(b)

(c)

Gambar 3 (a) Rumah Gudang, (b) Rumah Bapang/ Kebaya, (c) Rumah Joglo
Sumber : Ismet B Harun, dkk, Rumah Tradisional Betawi, 1991

7|Page

(a)

Rumah Gudang, memiliki denah empat persegi panjang, yang


memanjang dari depan ke belakang. Atapnya berbentuk pelana atau
perisai, yang tersusun dari kerangka kuda-kuda dan untuk perisai
ditambah denga jurai.

(b)

Menurut Ismet B Harun (1991) Rumah Bapang/Kebaya, memiliki


daerah empat persegi panjang, atapnya juga berbentuk pelana namun
berbeda dengan atap rumah Gudang, atap rumah Bapang tidak
merupakan pelana yang penuh sampai ke tepi, sebagian atap rumah
Bapang terbentuk oleh atap pelana yang ditekuk, biasa disebut
sorondoy, sedangkan atap pelananya berada ditengah-tengah ruang.
Sedangkan menurut Ensiklopedi Jakarta (2009) Rumah Kebaya
merupakan rumah adat betawi dengan bentuk atap perisai landai yang
diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai, terutama pada
bagian teras. Bangunannya ada yang berbentuk rumah panggung dan
ada pula yang menapak di atas tanah dengan lantai yang ditinggikan.
Masyarakat betawi lama memiliki adat untuk membuat sumur di
halaman depan rumah dan mengebumikan keluarga yang meninggal
di halaman samping kanan rumah.
Lisplank rumah kebaya berupa papan yang diukir dengan ornamen
segitiga berjajar yang diberi nama gigi balang. Di bagian tengah
sebagai ruang tinggal dibatasi dinding tertutup, di luarnya merupakan
teras-teras terbuka yang dikelilingi pagar karawang rendah. Dinding
bagian depan biasanya dibuat dari panil-panil yang dapat dilepas saat
pemilik rumah menyelenggarakan acara yang membutuhkan ruang
lebih luas. Tiang-tiang rumah lebih tampak jelas di bagian teras,
berdiri di atas lantai yang agak naik dari ketinggian tanah di halaman.
Terdapat tangga pendek dari batu-bata atau kayu untuk mencapai
teras rumah.
Ruang-ruang terbagi dengan hirarki dari sifat publik di bagian depan
menuju sifat privat dan service di bagian belakang. Beranda depan
adalah tempat untuk menerima tamu dan bersantai bagi keluarga
yang diberi nama amben. Lantai teras depan yang bernama gejogan
selalu dibersihkan dan siap digunakan untuk menerima dan
menghormati tamu. Gejogan dihubungkan tangga yang disakralkan
oleh masyarakat betawi dengan nama balaksuji, sebagai satusatunya lokasi penting untuk mencapai rumah. Ruang berikutnya
adalah kamar tamu yang dinamakan paseban. Setelah ruang tamu
terdapat ruang keluarga yang berhubungan dengan dinding-dinding
kamar, ruang ini dinamakan pangkeng. Selanjutnya ruang-ruang
berfungsi sebagai kamar-kamar tidur dan terakhir adalah dapur yang
diberi nama srondoyan

(c)

Menurut Ismet B Harun, Rumah Joglo umumnya memiliki denah bujur


sangkar. Ditinjau dari namanya rumah Joglo ini tentulah bentuk yang
dipengaruhi Arsitektur Jawa, namun beda dengan Joglo pada
arsitektur jawa. Pada arsitektur Betawi, integrasi antara denah, kolom
dan atapnya tidak begitu nyata.

8|Page

3
(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rumah tradisional Betawi milik bapak Haji Mukhtar (74 th)

Gambar 4 Rumah Tradisional Betawi Bapak Haji Mukhtar


Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 1 Perubahan Material Rumah Tradisional Betawi Bapak Haji Mukhtar

9|Page

(2)

Rumah tradisional Betawi milik bapak Ali (42 th)

Gambar 5 Rumah Tradisional Betawi Bapak Ali


Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 2 Perubahan Material Rumah Tradisional Betawi Bapak Ali

10 | P a g e

(3)

Rumah tradisional Betawi milik bapak Nasim (62 th)

Gambar 6 Rumah Tradisional Betawi Bapak Nasim


Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 3 Perubahan Material Rumah Tradisional Betawi Bapak Nasim

11 | P a g e

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1

Kesimpulan

Berdasarkan analisa 3 rumah pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
adaptasi arsitektur betawi terhadap perkembangan zaman, sebagian besarnya terkait dengan
perubahan material yang digunakan.

(1)

Lantai tanah tidak lagi populer karena perawatannya yang sulit. Pemilik
rumah menginginkan bagian teras menjadi lebih rapi dan nyaman karena
teras adalah ruang tamu dan tempat untuk sosialisasi. Material yang
digunakan adalah keramik, teraso atau sekedar plester semen.

(2)

Bagian yang paling banyak berubah adalah dinding samping dan dinding
teras, hal ini disebabkan karena pengaruh iklim sehingga material tersebut
(kayu nangka atau kayu kecapi) lebih cepat melapuk, material pengganti yang
dipilih adalah batu bata karena lebih kuat, tahan lama, dan mudah untuk
dicari.

(3)

Faktor budaya masyarakat Betawi yang senang bersosialisasi menyebabkan


jaro kayu nangka dan kawat berubah menjadi tempat duduk dari bata dengan
finishing keramik atau teraso

(4)

Sulitnya mencari material kayu nangka atau kayu kecapi yang digunakan
semenjak pembangunan rumah menyebabkan pemilik rumah memilih
material modern yang lebih mudah dicari, kuat, praktis, dan efisien waktu
renovasi.

(5)

Pergeseran budaya dari budaya gotong royong menjadi budaya individualis,


yang menyebabkan masyarakat lebih memilih menggunakan material
rekayasa karena lebih praktis. Penggunaan material alam membutuhkan
gotong royong masyarakat dalam membangun sebuah rumah, sedangkan
penggunaan material buatan/ rekayasa hanya membutuhkan beberapa orang
tukang (lebih individual).

(6)

Penempatan material khususnya kayu juga menjadi penyebab material


berubah dan diganti, material kayu nangka pada interior dapat lebih lama
bertahan dibanding material kayu nangka pada dinding luar, ia lebih cepat
lapuk karena lebih sering terkena air hujan dan panas.

12 | P a g e

Tetapi terdapat perbedaaan perubahan dari masing-masing rumah tersebut, yaitu :

(1)

(2)

(3)

Rumah Betawi Bapak Haji Mukhtar (74 th)


(a)

Pengaruh budaya modern yang mengutamakan privasi pengguna


turut merubah budaya bapak Haji Mukhtar sebagai masyarakat Betawi
yang terbiasa praktis kepada aplikasi penggunaan sekat, material
yang digunakan adalah dinding bata.

(b)

Faktor usia dan kondisi alam merubah seluruh material atap teras
menjadi kayu kamper dan triplek yang dilapisi mika

(c)

Efisiensi perubahan yang tidak ingin berulang-ulang turut merubah


jendela bujang yang kayunya melapuk menjadi roster dengan material
bata

Rumah Betawi Bapak Ali (42 th)


(a)

Faktor budaya masyarakat Betawi yang senang bersosialisasi


menyebabkan teras yang awalnya terbuka berubah menjadi tempat
duduk dari bata dengan finishing teraso

(b)

Faktor pencegahan bencana kebakaran merubah dinding dapur


menjadi dinding bata

(c)

Faktor ekonomi merubah jendela bujang menjadi sekat warung yang


menggunakan kayu meranti

Rumah Betawi Bapak Samin (62 th)


(a)

Topografi rumah yang terletak di dataran rendah menyebabkan


material kayu yang digunakan pada rumah melapuk ketika banjir,
sehingga memaksa pemilik rumah untuk beradaptasi dengan materialmaterial baru guna meningkatkan kenyamanan

(b)

Panas dan hujan menyebabkan kayu nangka pada eksterior yang


digunakan pada dinding samping diganti menggunakan dinding bata
setinggi 1 meter

4.2

Rekomendasi

(1)

Penggunaan material rekayasa adalah hal yang sah-sah saja, namun tidak
boleh menghilangkan ciri dari arsitektur tradisional Betawi yang telah
diwariskan secara turun temurun.

(2)

Dengan berkembangnya teknologi, semestinya penggunaan material alam


tetap dapat dilestarikan, dengan cara membuat bahan pelapis yang dapat
meminimalisir kerusakan material akibat cuaca ataupun rendaman air akibat
bencana banjir, sehingga material yang digunakan tidak mudah lapuk.

(3)

Mengadakan program rumah konservasi yang dimotori oleh pemerintah agar


kelestarian arsitektur tradisional tetap terjaga.

13 | P a g e

(4)

Merekayasa teknologi yang dapat mempercepat proses renovasi namun


dengan tetap menggunakan material alam sebagai pengganti bagian rumah
yang terkena renovasi.

(5)

Memadukan lokalitas material alami dengan material rekayasa saat


mendirikan rumah tradisional Betawi, dengan persentase material local yang
lebih besar, dan menempatkan penggunaan material rekayasa pada bagianbagian rumah yang paling cepat mengalami kerusakan.

4.3

Referensi

Ensiklopedi
Jakarta.
(2009),
Rumah
encyclopedia/detail/2598/Rumah-Betawi

Betawi.

http://www.jakarta.go.id/web/

Fathony, Budi. (2012). Perkembangan Arsitektur, Tanggung-jawab Arsitek dan Masyarakat.


http://iplbi.or.id/2012/02/perkembangan-arsitektur-tanggung-jawab-arsitek- dan-masyarakat/
Harun, Ismed B. (1991), Rumah Tradisional Betawi. (Jakarta : Dinas Kebudayaan Daerah
Khusus Ibukota Jakarta).
Hermawan, Adhitya Eka. (2009). Perpustakaan Hybrid Di Yogyakarta. Tugas Akhir S1 Teknik
Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Indradi, Dani dan Irene Noviana. (2011). Rumah Etnik Modern di Lahan 60 100 m.
(Jakarta: Griya Kreasi)
Kania, Tjandra. (2000). Eksistensi Rumah Betawi Keturunan, Kajian Kebudayaan dan Iklim
tropis Lembab pada Rumah Betawi Keturunan di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten
Bogor. Tesis Magister Teknik Arsitektur (online).
Kusumawardhani, Ratu Arum. (2012). Liyan dalam Arsitektur Betawi, Studi Kasus pada
Rumah Betawi Ora di Tangerang Selatan. Tesis Magister Teknik Arsitektur (online).
Mulyawan, Deddy. (2012). Rumah Asli Betawi. http://materialrumah.com/artikel/73-rumahasli-betawi
Pratikno, Priyo. (2011). Etika & Estetika. (Surabaya: Andi)
Rambe, Katarina Basaulina. (2006). Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan
Budaya Betawi Situ Babakan, Jakarta Selatan. Skripsi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian
IPB.
Sasmita, Rosa. (2007). Arsitektur Tradisional dalam Himpitan Modernisasi. Tugas Akhir MK
Teknik Penulisan Ilmiah (online).
Segantang, Doel Selawang. (2012). Pengertian Metodologi Sejarah dan Jenis-Jenis
Penelitian Sejarah. http://triseptyo.blogspot.com/2012/03/pengertian-metodologi-sejarah-danjenis.html
Soeroto, Myrtha. (2003). Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia. (Jakarta:
Ghalia Indonesia)
Tabloid Rumah. (2005). Keunikan Rumah Tradisional Betawi. http://lib.archiplan.ugm
.ac.id/rumah/Edisi%2039.pdf
Wahyudi, Agung. (2007). Peran Serta Masyarakat dalam Menciptakan Perumahan
Berarsitektur Betawi di Setu Babakan. Journal Teknik Arsitektur Universitas Gunadarma,
Depok

14 | P a g e

You might also like