You are on page 1of 8

PENTINGNYA HALTE

Sektor transportasi sangat penting dalam menunjang kalancaran dalam dunia usaha maupun
pendidikan, terutama untuk membantu para karyawan atau pelajar untuk pergi ke kantor ataupun
kampus/ sekolah maupun membantu karyawan dalam berpergian untuk manjalankan tugas
kantor. Untuk itu maka pemerintah menyediakan jasa angkutan umum seperti bus ataupun
mikrolet. Untuk mendukung sarana umum tersebut maka salah satunya dibangun halte yang
dapat digunakan untuk menunggu datangnya bus atau mikrolet tersebut.
Halte diperlukan keberadaannya disepanjang rute angkutan umum agar gangguan terhadap lalu
lintas dapat diminimalkan. Oleh sebab itu, halte angkutan umum harus diatur penempatannya
sesuai dengan kebutuhan.
Jarak Antar Halte menyimpulkan jarak tempat henti yang direkomendasikan berdasarkan jarak
berjalan penumpang, dimana untuk daerah kota antara 200 400 meter, daerah pinggiran antara
300 500 meter. Selain oleh jarak berjalan tersebut juga ditentukan oleh kapasitas halte dan
jumlah permintaan yang dipengaruhi oleh tata guna lahan dan tingkat kepadatannya
Hasil penelitian aspek anthropometri adalah ukuran-ukuran ergonomis yang perlu diperhatikan
dalam membangun halte yang tinggi kanopi bagian depan, lebar halte, panjang halte, tinggi
tempat duduk, lebar tempat duduk, panjang tempat duduk dan tinggi sandaran tempat duduk.
Hasil penelitian aspek lingkungan fisik dan psikologis (Tingkat keyamanan) adalah adanya
atribut-atribut yang perlu diperhatikan dalam pembangunan halte yaitu kanopi pada halte
nyaman , halte bebas dari tindakan kriminal, penerangan pada halte cukup, kebersihan halte,
adanya tempat duduk pada halte, halte memiliki konstruksi yang kuat, halte nyaman digunakan,
halte tidak bocor pada saat hujan, tidak terdapat pedagang kaki lima dan pengemis di halte, halte
dapat menampung banyak orang, penempatan halte pada lokasi tepat, tidak licin pada saat hujan,
desain halte, desain tempat duduk halte.

Penanaman pentingnya penggunaan angkutan umum harus mulai dilakukan di sekolah. Salah
satunya dengan mengeluarkan kebijakan pelarangan bagi siswa untuk menggunakan kendaraan
pribadi baik mobil maupun motor saat pergi sekolah.
Pasalnya sesuai dengan Undang-Undang (UU) No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, pengguna kendaraan pribadi minimal berusia 18 tahun dan memiliki Surat Izin
Mengemudi (SIM). Logikanya anak sekolah itu belum berusia 18 tahun sehingga dipastikan

tidak memiliki SIM. Jadi sekolah bisa mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan
kendaraan pribadi bagi siswanya,.
Selain itu, alasan lainnya ialah dari survey yang dilakukan terhadap angka kecelakaan. Hampir
65 persen yaitu pengendara usia di bawah 25 tahun. Belum lagi dampak psikologi anak yang
sejak dini telah menggunakan kendaraan pribadi maka sampai dewasa sang anak akan enggan
menggunakan angkutan umum. Alhasil pertumbuhan mobilitas kendaraan pribadi tidak akan
terbendung. Kemacetanpun sampai kapan tidak dapat tertangani.
Terlebih banyak tempat tinggal siswa yang berada tidak jauh dari sekolah. belum lagi
ketersediaan bus sekolah. Sekolah harus mampu menanamkan pemikiran bagi siswanya untuk
tidak menggunakan kendaraan pribadi.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudhi Mulyanto, mengatakan pada prinsipnya
pihak sekolah telah melarang siswa untuk membawa kendaraan pribadi ke sekolah. Salah
satunya dengan tidak menyediakan ruang parker kendaraan bagi siswa.
Namun hal itu, tidak berjalan maksimal lantaran masih banyaknya siswa yang kerap kucingkucingan dengan menitipkan kendaraannya di lain tempat yang berdekatan dengan sekolah.
Kebijakan ini tidak akan optimal tanpa adanya peran orang tua untuk melarang anaknya
membawa kendaraan pribadi ke sekolah, tandas Taufik.

JUMLAH KECELAKAAN LALIN


Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu faktor penyebab kematian tertinggi ketiga dunia
setelah penyakit jantung koroner dan tubercolosis (TBC). Setiap tahunnya, kecelakaan lalu lintas
menewaskan 1,2 juta jiwa di seluruh dunia dan menyebabkan cidera jutaan orang.
Berdasarkan data badan WHO 2011, sebanyak 67 persen kecelakaan lalu lintas berada pada usia
produktif antara usia 22 50 tahun. Terdapat sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun
yang meninggal di jalan raya, dengan angka kematian 1.000 anak setiap harinya. Bahkan
kecelakaan menjadi penyebab kematian anak-anak di dunia dengan rentang usia 10-24 tahun.
Kepala Cabang Jasa Raharja (Persero) Kalimantan Barat Eko Setyanto dalam sambutannya
mengatakan, untuk mencapai sinergi oleh semua pihak yang terkait, perlu peningkatan jejaring
kemitraan lintas program dan lintas sektor dengan berperan sesuai dengan tupoksi masingmasing.

HALTE SEKOLAH

Bus Sekolah berbeda dengan halte bus umum lain. Halte ini merupakan suatu bentuk terminal
dalam skala kecil. Bus Sekolah tidak mempunyai terminal besar dan hanya menaikkan dan
menurunkan penumpang pada halte-halte khusus yang hanya digunakan oleh Bus Sekolah.
Penentuan jumlah dan lokasi halte memiliki peran yang penting dalam penggunaan moda Bus.
Pembangunan halte yang tidak baik akan mengakibatkan bertambahnya permasalahan
transportasi, sebab banyak masyarakat yang seharusnya menjadi target pengguna menjadi malas
untuk menggunakan moda ini karena kesulitan disaat akan memanfaatkan fasilitas yang ada.
Penumpang dalam pemilihan lokasi perhentian bus dominan dilakukan di sekitar persimpangan
dan di sembarang tempat yang tidak dilengkapi rambu atau fasilitas tempat henti seperti di depan
pertokoan, perkantoran dan sekolah/kampus karena alasan jarak yang lebih dekat dengan tujuan,
keamanan dan secara fisik tidak melelahkan [3].
Uraian di atas menunjukkan pentingnya aksesibilitas (kemudahan untuk mendapatkan) Bus
Sekolah. Dengan semakin banyaknya jumlah halte yang dibangun, berarti semakin meningkatnya
tingkat aksesibilitas pelayanan Bus. Tetapi, di sisi lain pembangunan halte yang terlalu banyak
dapat menyebabkan biaya pembangunan dan perawatan yang semakin besar. Oleh karena itu,
lokasi perencanaan pembangunan halte harus diusahakan seoptimal mungkin.
Disamping itu menurut Vuchic aspek - aspek yang mempengaruhi sebagai kriteria umum yang
perlu diperhatikan dalam menentukan lokasi halte adalah sebagai berikut [4] :
1. Lampu lalu lintas
Untuk daerah pusat kota faktor lampu lalu lintas merupakan faktor utama yang dapat
mempengaruhi kecepatan perjalanan bus.
2. Akses penumpang
Halte sebaiknya ditempatkan di lokasi tempat penumpang menunggu yang dilindungi dari
gangguan lalu lintas, harus mempunyai ruang yang cukup untuk sirkulasi, dan tidak mengganggu
kenyamanan pejalan kaki di trotoar. Pada persimpangan sebaiknya ditempatkan halte untuk
mengurangi jalan berjalan kaki penumpang yang akan beralih moda.
3. Kondisi lalu lintas
Pembahasan kondisi lalu lintas diperlukan dengan tujuan agar penempatan lokasi halte tidak
mengakibatkan atau memperburuk gangguan lalu lintas
4. Geometri jalan
Geometri jalan mempengaruhi lokasi halte. Pembahasan Geometri jalan diperlukan dengan
tujuan agar penempatan lokasi halte tidak mengakibatkan atau memperburuk gangguan lalu
lintas
AKSESBILITAS
Dalam Kamus Bahasa Inggris Wojowasito (1991:2) mengatakan bahwa accessibility
adalah hal yang mudah dicapai. Artinya aksesibilitas tidak hanya sekedar kesediaan segala
sesuatu, namun juga kesediaan yang mudah dicapai.

Bambang sutantono (2004:1) menyatakan bahwa aksesibilitas adalah hak atas akses
yang merupakan layanan kebutuhan melakukan perjalanan yang mendasar. Dalam hal ini
aksesibilitas harus disediakan oleh pemerintah terlepas dari digunakannya moda transportasi
yang disediakan tersebut oleh masyarakat.
Kemudian Bambang Susantono (2004:24) menambahkan bahwa Aksessibilitas
merupakan suatu ukuran potensial atau kemudahan orang untuk mencapai tujuan dalam suatu
perjalanan. Karekteristik sistem transportasi ditentukan oleh aksesibilitas. Aksesibilitas
memberikan pengaruh pada beberapa lokasi kegiatan atau tata guna lahan. Lokasi kegiatan juga
memberikan pengaruh pada pola perjalanan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Pola
perjalanan ini kemudian mempengaruhi jaringan transportasi dan akan pula memberikan
pengaruh pada sistem transportasi secara keseluruhan.
Blunden dan Black (1984) seperti dikutip Tamin (1997: 52) menyatakan bahwa
Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara
geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah
suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi
satu sama lain dan mudah atau susah nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan
transportasi.
Ada yang menyatakan bahwa aksesibilitas dapat dinyatakan dengan jarak. Jika suatu
tempat berdekatan dengan tempat lain, dikatakan aksesibilitas antara kedua tempat itu tinggi.
Sebaliknya, jika kedua tempat itu sangat berjauhan, aksesibilitas antara keduanya rendah. Jadi,
tata guna lahan yang berbeda pasti mempunyai aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas
tata guna lahan tersebut tersebar dalam ruang secara tidak merata (heterogen).
Akan tetapi, peruntukan lahan tertentu seperti bandara, lokasinya tidak bisa sembarangan
dan biasanya terletak jauh di luar kota. Dikatakan aksesibilitas ke bandara tersebut pasti selalu
rendah karena letaknya yang jauh di luar kota. Namun, meskipun letaknya jauh, aksesibilitas ke
bandara dapat ditingkatkan dengan menyediakan sistem jaringan transportasi yang dapat dilalui
dengan kecepatan tinggi sehingga waktu tempuhnya menjadi pendek. Oleh sebab itu,
penggunaan jarak sebagai ukuran aksesibilitas mulai diragukan orang dan mulai dirasakan
bahwa penggunaan waktu tempuh merupakan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan
jarak dalam menyatakan aksesibilitas.

Beberapa jenis tata guna lahan mungkin tersebar secara meluas (perumahan) dan jenis
lainnya mungkin berkelompok (pusat pertokoan). Beberapa jenis tata guna lahan mungkin ada di
satu atau dua lokasi saja dalam suatu kota seperti rumah sakit dan bandara. Dari sisi jaringan
transportasi, kualitas pelayanan transportasi pasti juga berbeda-beda; sistem jaringan transportasi
di suatu daerah mungkin lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya baik dari segi kuantitas
(kapasitas) maupun kualitas (frekuensi dan pelayanan). Contohnya, pelayanan angkutan umum
biasanya lebih baik di pusat perkotaan dan beberapa jalan utama transportasi dibandingkan
dengan di daerah pinggiran kota.

Jarak
Kondisi prasarana
Sumber : Black (1981)

Tabel 2.1 klasifikasi tingkat aksesibilitas


Jauh
Aksesibilitas rendah
Dekat
Aksesibilitas menengah
Sangat jelek

Aksesibilitas menengah
Aksesibilitas tinggi
Sangat baik

Skema sederhana yang memperlihatkan kaitan antara berbagai hal yang diterangkan
mengenai aksesibilitas dapat dilihat pada tabel 2.1. Apabila tata guna lahan saling berdekatan dan
hubungan transportasi antar tata guna lahan tersebut mempunyai kondisi baik, maka aksesibilitas
tinggi. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut saling terpisah jauh dan hubungan transportasinya
jelek, maka aksesibilitasnya rendah. Beberapa kombinasi diantaranya mempunyai aksesibilitas
menengah.
Aksesibilitas sebenarnya banyak memiliki aneka macam ragam istilah, (Frenk, 1992 :
842), berpendapat bahwa aksesibilitas adalah sinonim dengan availibilitas (ketersediaan).
Sehingga antara akses (aksesibilitas) dan ketersediaan (availibilitas) sebenarnya tidak dapat
dibedakan. Aksesibilitas dalam hal ketersediaan berarti moda transportasi yang digunakan siswa
ke sekolah.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diketahui bahwa aksesibilitas terkait erat dengan
ketersediaan dan kemudahan. Ketersediaan dalam hal ini berhubungan dengan kondisi ekonomi
orang tua siswa, jika siswa tergolong ekonomi tinggi maka ia pergi ke sekolah dengan kendaraan
yang tersedia (kendaraan pribadi). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas

siswa merupakan perpaduan antara jarak rumah siswa ke sekolah, moda transportasi yang
digunakan siswa ke sekolah, waktu tempuh siswa untuk sampai di sekolah, kenyamanan siswa
selama perjalanan ke sekolah, dan uang yang dikeluarkan siswa untuk sampai di sekolah.

Pengaruh Transportasi pada Perilaku Manusia


C. Jotin Khisty (2005:11) mengidentifikasikan sembilan kategori perilaku manusia yang
dipengaruhi oleh transportasi:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)

Kemampuan berpindah tempat (penumpang, pejalan kaki)


Aktivitas (pengendalian kendaraan, pemeliharaan, kehidupan sosial)
Perasaan (kenyamanan, kemudahan, kesenangan, stres, suka, tidak suka)
Pengaturan (pemilihan sarana, pemilihan rute, pembelian kendaraan)
Kesehatan dan keamanan (kecelakaan, ketidakmampuan, kelelahan)
Interaksi sosial (keleluasaan pribadi, kepemilikan lahan, konflik, peniruan)
Motivasi (konsekuensi positif atau negatif, menggerakan potensi)
Belajar (pelatihan operator, pendidikan mengemudi, pengadaan barang)
Persepsi (kesan, pemetaan, batasan perasaan)
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Moda Transportasi
Tamin (1997: 189) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi
dikelompokkan menjadi tiga, sebagaimana dijelaskan berikut.

a)

Ciri pengguna jalan


Beberapa faktor ini diyakini sangat mempengaruhi pemilihan moda:

Ketersediaan atau kepemilikan kendaraan pribadi


Pemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM)
Struktur rumah tangga (pasangan muda, keluarga dengan anak, pensiun, bujangan, dan lain-lain)
Pendapatan
Faktor lain misalnya keharusan menngunakan mobil ke tempat bekerja dengan keperluan
mengantar anak ke sekolah

b)

Ciri pergerakan

o Tujuan pergerakan, contohnya pergerakan ke tempat kerja di negara maju biasanya lebih mudah
dengan pemakaian angkutan umum karena ketepatan waktu dan tingkat pelayanan yang sangat
baik dan ongkosnya lebih murah dibandingkan dengan mobil. Akan tetapi hal yang sebaliknay
terjadi di negara berkembang; orang masih tetap menggunakan mobil pribadi ke tempat kerja,
meskipun lebih mahal, karena ketepatan waktu, kenyamanan, dan lain-lainnya tidak dapat
dipenuhi oleh angkutan umum.
o Waktu terjadinya pergerakan, kalau kita ingin bergerak pada tengah malam, kita pasti
membutuhkan kendaraan pribadi karena pada saat ini angkutan umum tidak atau jarang
beroperasi.
o Jarak perjalanan, semakin jauh perjalanan, kita semakin cenderung memilih angkutan umum
dibandingkan dengan pribadi. Contohnya bepergian dari Jakarta ke Surabaya, kita lebih memilih
angkutan umum (bus, pesawat, atau kereta api) meskipun memiliki kendaraan pribadi karena
jaraknya yang jauh.
c)

Ciri fasilitas moda transportasi


Hal ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, faktor kuantitatif seperti:
Waktu perjalanan: waktu menunggu di pemberhentian bus, waktu berjalan kaki ke
pemberhentian bus, waktu selama bergerak, dan lain-lain.
Biaya transportasi (tarif, biaya bahan bakar, dan lain-lain)
Ketersediaan ruang dan tarif parkir.
Faktor kedua bersifat kualitatif yang sangat sukar menghitungnya, meliputi kenyamanan dan
keamanan, keandalan dan keteraturan, dan lain-lain.
2.1.5 Kesenjangan Transportasi
C. Jotin Khisty (2005:15) menyatakan para ahli perencanaan sangat menyadari jarak
penolakan dari rata-rata pejalan kaki yang menggunakan sistem jalan raya, yaitu umumnya
400 meter atau mil. Lebih dari 400 meter, kebanyakan pejalan kaki membutuhkan semacam
sistem mekanis untuk membawa mereka ke tempat tujuan. Sebagai contoh, jika seorang pejalan
kaki hendak menempuh jarak 10 kali lebih besar dari 400 meter (yaitu 4 km atau 2,5 mil), orang
tersebut biasanya tidak akan mau menghabiskan waktu selama 50 menit untuk berjalan,
meskipun orang tersebut memiliki banyak waktu luang. Dia pasti akan mencari alternatif
transportasi lainnya yang lebih cepat. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang
memilih moda transportasi tidak hanya berdasarkan pertimbangan biaya saja tetapi juga

berdasarkan pertimbangan waktu perjalanan. Tanpa kita sadari, jarak tempuh berhubungan
dengan waktu tempuh.

Jarak
(km)
0,4
1
4
10

Waktu (menit)
5
6,6,
10
13,2

Tabel 2.2 Kesenjangan Transportasi


Kecepatan transpor
Alternatif transportasi
teoritis (km/jam)
4,8
Berjalan
9,1
Bis (pusat kota)
24
Mobil atau sepeda
45,5
Mobil
(kota
atau
perkotaan)
Sumber: (Kolbuszewski, 1979)

You might also like