You are on page 1of 17

REFERAT

PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK INFEKSI


PADA ANAK

oleh
Qory Irsan
NIM I11110028

Pembimbing:
dr. Hilmi K. Riskawa, Sp.A, M.Kes

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RS KARTIKA HUSADA
KUBU RAYA
2016
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul :

Pemeriksaan Laboratorium untuk Infeksi pada Anak

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Kesehatan Anak

Pontianak, Juni 2016


Pembimbing Referat,

dr. Hilmi K. Riskawa, Sp. A, M. Kes

Disusun oleh,

Qory Irsan,
NIM I11110028

A. PENDAHULUAN
Pemeriksaan laboratorium merupakan satu bagian penting sebagai alat
penunjang diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium bermanfaat untuk

membantu menentukan penyebab infeksi, menunjukkan apakah diagnosis dan


pengobatan sudah benar, memberikan petunjuk untuk pengobatan pasien dengan
penyebab yang sama di masa yang akan datang dan dalam upaya penanggulangan
penyakit.1
Anak bukanlah orang dewasa kecil. Perkembangannya yang unik, nutrisi,
pertumbuhan dan penyakitnya, membuat tantangan dalam bidang laboratorium
anak. Secara umum, tes laboratorium merefleksikan perubahan berkaitan dengan
penyakit dan terapinya.2
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka pada referat ini akan
dibahas beberapa pemeriksaan penunjang pada anak yang biasa dilakukan terkait
infeksi.

B. JENIS-JENIS PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK INFEKSI


PADA ANAK
B.1. HEMATOLOGI
B.1.1 Pemeriksaan Darah Lengkap
1. Hematokrit
Hematokrit menunjukan persentase sel darah merah tehadap volume darah
total. Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia. Peningkatan nilai Hct
dapat terjadi pada dehidrasi, syok.3
2. Hemoglobin
Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi
oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2). Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada
anemia, perdarahan, peningkatan asupan cairan. Peningkatan nilai Hb dapat
terjadi pada hemokonsentrasi.3
Anemia dapat pula berhubungan atau diakibatkan infeksi akut, yang
dikarenakan beberapa faktor. Pada pasien malaria, alasan adanya anemia adalah

karena destruksi eritosit oleh parasit. Pada parvorirosis, anemia terjadi sekunder
karena inhibisi medullary erythropoiesis.4
Anemia dapat berhubungan atau diakibatkan infeksi kronik. Anemia ini
dikaitkan dengan reticuloendothelial siderosis, yang dicirikan dengan penurunan
serum besi dengan penurunan kadar TIBC dan persentasi saturasi transferrin,
sedangkan serum ferritin dapat normal atau meningkat. Perbedaannya dengan
anemia akibat defisiensi besi adalah TIBC nya meningkat, ferritin menurun. Hal
ini (pada inflamasi kronis) dikarenakan adanya peningkatan konsentrasi hepcidin,
hormone yang dihasilakn sel hati, yang meningkat seiring adanya inflamasi.
Hepcidin menginduksi degradasi ferriportin yang bertanggung jawab untuk
transfer transmembran dari besi ke transferrin plasma.4
3. Eritrosit
Jika kadar oksigen menurun hormon eritropoetin akan menstimulasi
produksi eritrosit. Bila kebutuhan eritrosit tinggi, sel yang belum dewasa akan
dilepaskan ke dalam sirkulasi. Jumlah sel darah merah menurun pada hemolisis,
meningkat pada diare/dehidrasi.3 Proses infeksi akan mengganggu eritropoesis
melalui beberapa mekanisme yaitu penekanan produksi eritropoetin dan gangguan
eritropoesis akibat produksi sitokin pada proses inflamasi.5
4. Mean Corpuscular Volume (MCV)
MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : Eritrosit (10 6 sel/L). MCV menunjukkan
ukuran sel darah merah apakah sebagai normositik (ukuran normal), mikrositik
(ukuran kecil < 80 fL), atau makrositik (ukuran kecil >100 fL).3 Mikrositik
ditemukan pada inflamasi kronis, sedangkan normositik pada infeksi akut.6

5. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)


MCH (picogram/sel) = hemoglobin/sel darah merah. Indeks MCH adalah nilai
yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel darah merah, dan oleh

karenanya menentukan kuantitas warna (normokromik, hipokromik, hiperkromik)


sel darah merah.3
6. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC = hemoglobin/hematokrit. Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb ratarata dalam sel darah merah; semakin kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya.3
7. Leukosit
Fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi tubuh dengan
memfagosit organism asing dan memproduksi, mengangkut atau mendistribusikan
antibodi. Ada 2 jenis, yakni granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan
agranulosit (limfosit dan monosit).3
Leukositosis adalah peningkatan jumlah leukosit. Penyebabnya dapat
berupa akibat infeksi bacterial, viral, fungal, protozoal dan spirochetal.7
Leukopenia terjadi jika jumlah leukosit kurang dari jumlah normal (< 4000
/mm3). Penyebabnya bisa dari infeksi, yakni viral (HIV, EBV, hepatitis A dan B,
respiratory syncytial virus, measles, rubella, varicella, influenza), bacterial
(typhoid, paratyphoid, tuberculosis, brucellosis).7
8. Neutrofil
Neutrofil adalah leukosit yang paling banyak. Neutrofil terutama berfungsi
sebagai pertahanan terhadap invasi mikroba melalui fagositosis. Shift to left atau
peningkatan bands (sel belum dewasa) terjadi ketika neurofil muda dilepaskan ke
dalam sirkulasi, misal pada keadaan infeksi. Shift of the right atau peningkatan
segment (sel dewasa) terjadi pada hemolisis.3,8

9. Eosinofil
Eosinofil aktif terutama pada tahap akhir inflamasi ketika terbentuk kompleks
antigen-antibodi. Eosinofil juga aktif pada reaksi alergi dan infeksi parasit.3

10. Basofil
Sel basofil mensekresi heparin dan histamin. Jika konsentrasi histamin meningkat,
maka kadar basofil biasanya tinggi. Jaringan basofil disebut juga mast sel.
Basofilia adalah peningkatan basofil berhubungan dengan reaksi alergi.3
11. Monosit
Monosit merupakan sel darah yang terbesar. Sel ini berfungsi sebagai lapis kedua
pertahanan tubuh, dapat memfagositosis dengan baik dan termasuk kelompok
makrofag.3
12. Limfosit
Merupakan sel darah putih yang kedua paling banyak jumlahnya. Merupakan
sumber imunoglobulin yang penting dalam respon imun seluler tubuh.3
14. Trombosit
Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah. Trombosit diaktivasi
setelah kontak dengan permukaan dinding endotelia. Penurunan trombosit di
bawah 20.000 berkaitan dengan perdarahan spontan.3
15. Laju Endap Darah (LED)
LED atau juga biasa disebut Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah ukuran
kecepatan endap eritrosit, menggambarkan komposisi plasma serta perbandingan
eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi oleh berat sel darah dan luas permukaan sel
serta gravitasi bumi. Nilai meningkat terjadi pada kondisi infeksi kronis, misalnya
tuberkulosis.3

B.1.2. Pemeriksaan Kimia Darah


1. Natrium (Na+)

Natrium merupakan kation yang banyak terdapat di dalam cairan ekstraseluler.


Berperan dalam memelihara tekanan osmotik, keseimbangan asam-basa dan
membantu rangkaian transmisi impuls saraf. Hipernatremia terutama terjadi pada
pasien yang tidak dapat asupan cairan secara adekuat (seperti pada pasien yang
hilang kesadaran dan bayi).3
2. Kalium (K+)
Kalium merupakan kation utama yang terdapat di dalam cairan intraseluler.
Kondisi hipokalemia akan lebih berat pada diare, muntah.3
3. Glukosa Darah
Peningkatan gula darah (hiperglikemia) atau intoleransi glukosa (nilai puasa > 120
mg/dL) dapat menyertai sepsis.3
4. Asam Urat
Asam urat terbentuk dari penguraian asam nukleat. Konsentrasi urat dalam serum
meningkat bila terdapat kelebihan produksi atau destruksi sel (contoh: psoriasis).
Hiperurisemia dapat terjadi pada metabolit asidosis.3
5. Amilase
Amilase adalah enzim yang mengubah amilum menjadi gula, dihasilkan oleh
kelenjar saliva, pankreas, hati dan tuba falopi. Banyak amilase memasuki sirkulasi
darah saat terjadi peradangan pankreas atau kelenjar saliva. Peningkatan kadar
amilase dapat terjadi pada pankreatitis akut, ulkus peptikum, inflamasi saluran
atau kelenjar saliva, kolesistitis akut.3

6. Lipase
Lipase mengubah asam lemak menjadi gliserol. Peningkatan kadar lipase dapat
terjadi pada pankreatitis, kolestatis akut.3

7. Albumin
Albumin di sintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi air
dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Nilai meningkat pada keadaan dehidrasi.
Nilai menurun pada keadaan gangguan fungsi hati, infeksi kronik, edema, asites.3
8. Alanin Aminotransferase (ALT) atau SGPT
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga terdapat pada
jantung, otot dan ginjal. ALT lebih banyak terdapat dalam hati dibandingkan
jaringan otot jantung dan lebih spesifik menunjukkan fungsi hati daripada AST.
Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada hepatitis.3
9. Aspartat Aminotransferase (AST) atau SGOT
AST adalah enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi, ditemukan di
jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfa, pankreas dan paru-paru. Penyakit
yang menyebabkan perubahan, kerusakan atau kematian sel pada jaringan tersebut
akan mengakibatkan terlepasnya enzim ini ke sirkulasi. Peningkatan kadar AST
dapat terjadi pada penyakit hati, pankreatitis akut, anemia hemolitik akut.3
10. Bilirubin
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan produk antara
dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh hati dan diekskresi ke
dalam empedu sedangkan sejumlah kecil ditemukan dalam serum.3
Terdapat dua bentuk bilirubin 3:
a) tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat dengan protein).
b) langsung atau terkonjugasi yang terdapat dalam serum.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi lebih sering terjadi akibat peningkatan
pemecahan eritrosit, sedangkan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi lebih
cenderung akibat disfungsi atau gangguan fungsi hati. Peningkatan kadar
keduanya dapat terjadi pada hepatitis.3

11. Prokalsitonin
Prokalsitonin (PCT) adalah prekursor kalsitonin yang terdiri dari 116 asam
amino yang disekresi oleh sel C dari kelenjar tiroid, kadar prokalsitonin
meningkat pada kasus septikemia, meningitis, pneumonia, dan infeksi saluran
kemih. Marker ini juga diproduksi oleh makrofag dan sel monosit pada beberapa
kasus infeksi bakteri yang berat dan sepsis.9
12. C-Reactive Protein
C-Reactive Protein merupakan protein fase akut yang dibentuk di hati
(oleh sel hepatosit) akibat adanya proses peradangan atau infeksi. Setelah terjadi
peradangan, pembentukan CRP akan meningkat dalam 4 sampai 6 jam, jumlahnya
bahkan berlipat dua dalam 8 jam setelah peradangan. Konsentrasi puncak akan
tercapai dalam 36 jam sampai 50 jam setelah inflamasi. Kadar CRP akan terus
meningkat seiring dengan proses inflamasi yang akan mengakibatkan kerusakan
jaringan. Apabila terjadi penyembuhan akan terjadi penurunan kadar CRP secara
cepat oleh karena CRP memiliki masa paruh 4 sampai 7 jam. Kinetik metabolism
CRP sejalan dengan derajat peradangan dan derajat penyembuhan yang terjadi.
Oleh karena itu CRP sangat baik untuk menilai aktivitas penyakit dalam keadaan
akut. Pemeriksaan ini relatif tidak mahal dan dapat diperoleh hasilnya dalam
waktu cepat serta tidak memerlukan volume darah yang banyak.10
B.1.3. Pemeriksaan Sel Apusan Darah Tepi
Malaria : apusan darah tepi tebal digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
Plasmodium, tipis untuk identifikasi spesies Plasmodium dan derajat
parasitemia (juga untuk memonitor terapi; oleh karena itu, pemeriksaan ini
dilakukan berkala).11
DBD : apusan darah tepi untuk menilai limfosit plasma biru, dimana peningkatan
15 % menunjang diagnosis DBD.11
Filariasis : apusan darah tepi tebal dilakukan untuk menemukan mikrofilariae.11
B.2. URINALISIS

Urinalisis

adalah

pemeriksaan

yang

biasanya

digunakan

untuk

mendiagnosa Infeksi Saluran Kemih (ISK). Cara pengambilan sampel urin, yakni
dengan urin bag (tidak stabil untuk kultur karena kontaminasi sering
menyebabkan hasil positif palsu), clean catch urine (dengan genital yang
terekspos atau anak tidak menggunakan celana, urin segera ditampung saat ia
buang air kecil; cara ini juga bisa menghasilkan positif palsu), kateter urin, pungsi
suprapubik.12
Berikut persentase kemungkinan ISK dari komponen urinalisis 13 :

Nitrite: 75 %

Protein: 19 %

Leukocyte esterase: 30 %

Leukocyte esterase or nitrite: 27 %

Blood: 19 %

Leukocytes on microscopy: 30 %

Bacteria on microscopy: 35 %
Disebutkan pula bahwa pada urinalisis untuk kecurigaan ISK, dapat

ditemukan proteinuria (protein +2 = 300 mg/dl per hari), leukosituria (leukosit > 5
/LPB), hematuria (eritrosit > 5/LPB). ISK dapat pula dicurigai bila ditemukan
bakteriuria (105 organisms/ml).12,14
B.3. PEMERIKSAAN FESES RUTIN
Konsistensi
tinja cair (watery diarrhea) tanpa lendir dan darah
Rotavirus, microsporidia, staphylococcal, bacillus cereus, E coli (EPEC, ETEC),
giardia lamblia 11
tinja cair (watery diarrhea) dengan lendir dan dengan/tanpa darah
Shigella, clostridium difficile 11
tinja cair (watery diarrhea) tanpa lender dan dengan/tanpa darah
E coli (STEC, EIEC) 11

tinja cair (watery diarrhea) dengan lender dan tanpa darah, seperti cucian beras
(tanpa warna)
Vibrio cholerae 11
Bau
Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak
dicerna dan dirombak oleh kuman.15,16
Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak
dicerna seperti pada diare.15,16
Parasit
Pemeriksaan parasit diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan spesies
cacing lainnya yang mungkin didapatkan dalam feses.15,16
Bilirubin, Urobilin dan Urobilinogen
Pemeriksaan bilirubin akan beraksi negatif pada tinja normal karena bilirubin
dalam usus akan berubah menjadi urobilinogen dan kemudian oleh udara akan
teroksidasi menjadi urobilin. Reaksi mungkin menjadi positif pada diare dan pada
keadaan yang menghalangi perubahan bilirubin menjadi urobilinogen, seperti
pengobatan jangka panjang dengan antibiotik yang diberikan peroral, mungkin
memusnakan flora usus yang menyelenggarakan perubahan tadi.15,16
Pemeriksaan mikroskopi
Protozoa. Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru
didapatkan bentuk trofozoit.15,16
Telur cacing. Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides
stercoralis dan sebagainya.15,16
Leukosit. Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh
sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan
peningkatan jumlah leukosit. Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang
berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencenaan.15,16
Eritrosit hanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus.
Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit
dalam tinja selalu berarti abnormal.15,16

10

Makrofag. Sel besar berinti satu dengan daya fagositosis, dalam sitoplasmanya
sering dapat dilihat bakteri selain eritrosit, lekosit .Bentuknya menyerupai amuba
tetapi tidak bergerak.15,16
B.4. PEMERIKSAAN HISTOLOGI
1. Pewarnaan Gram. Dengan menggunakan mikroskop dapat dilihat morfologi
bakteri dan reaksi dari pewamaan Gram (warna biru keunguan menunjukkan
reaksi Gram-positif dan warna merah menunjukkan Gram-negatif). Hasil yang
didapat tidaklah memastikan spesies bakteri, tetapi dengan diketahui reaksi Gram
maka para klinisi sangat terbantu dalam pemilihan antimikroba yang sesuai.
Pemeriksaan ini biasanya digunakan bersamaan dengan pemeriksaan biakan,
kecurigaan ke arah penyebab berdasarkan hasil pemeriksaan Gram diharapkan
membantu pemilihan jenis biakan.1
2. Selain pewarnaan Gram, pewamaan lain yang juga sering digunakan adalah
pewamaan Ziehl-Nielsen untuk mencari bakteri tuberkulosis, pewarnaan Albert
untuk bakteri difteria, pewarnaan Giernsa untuk parasit, dsb.1
3. Penyakit infeksi lain yang dapat diketahui dari pemeriksaan histologik antara
lain rabies (ditemukan Negri bodies), infeksi virus Sitomegalo (ditemukan
intranuclear inclusions), dan sebagainya.1
B.5. PEMERIKSAAN BIAKAN
Pemeriksaan biakan merupakan prosedur laboratorium yang sering
digunakan untuk mencari penyebab infeksi. Pada tahap awal, pemeriksaan ini
ditujukan untuk mendeteksi atau mengisolasi kuman. Untuk bakteri dan jamur
akan tampak koloni pada lempeng atau kekeruhan pada bulyon, sedangkan untuk
deteksi virus dilakukan dengan cytopathic efect, interference, hemadsorption.
Pada tahap berikutnya, pemeriksaan biakan ditujukan untuk identifikasi kuman.
Pada identifikasi akhir biasanya dilakukan pemeriksaan biokimia atau reaksi
serologik.1
Adapun indikasi dilakukan kultur darah, yakni 17:

11

Klinis dan/atau laboratories mengarah ke infeksi bakteri seperti sepsis,


meningitis, meningococcaemia, pyelonephritis, osteomyelitis, septic arthritis,

infective endocarditis, mastoiditis atau cellulitis


Demam tanpa sebab jelas >38C dengan :
Usia kurang dari 2 bulan
Usia lebih dari 2 bulan dan tampak sakit (toxic/ill looking)
Terinfeksi HIV
Malnutrisi berat
Dalam immunosuppressive therapy, chemotherapy, malignancy, or primary
immunodeficiencies.

Idealnya, kultur ini dilakukan sebelum pemberian antimikroba.17


Bila hasil pemeriksaan menunjukkan positif untuk bakteri tertentu, maka
selanjutnya diperlukan pemeriksaan biakan darah ulangan untuk mengetahui
apakah respons pengobatan antimikroba baik dan apakah kuman yang diisolasi
merupakan kontaminan atau bukan.1
Untuk biakan urin, biasanya dilakukan pada kecurigaan untuk ISK. Adapun
interpretasinya, dapat dilihat pada tabel berikut.14
Tabel 1. Hubungan urinalisis dengan kemungkinan ISK

B.6. PEMERIKSAAN SEROLOGIK


Dasar pemeriksaan serologi adalah adanya reaksi antigen dengan antibodi yang
bertujuan 1 :

12

Membantu diagnosis penyakit infeksi bila pemeriksaan bahan secara rutin


atau dengan tehnik yang ada kuman sulit diisolasi atau diidentifikasi,

misalnya riketsiosis, leptospirosis, hepatitis virus, infeksi rotavirus.


Menentukan diagnosis dini pada keadaan endemis, misalnya meningitis,

kolera.
Mengidentifikasi dan menentukan serotipe kuman patogen yang telah

diisolasi daribiakan, misalnya Salmonela, Shigela, Vibrio cholerae.


Untuk mengetahui kenaikan titer antistreptolisin 0 pada diagnosis demam

reumatik, glomerulonefritis akut.


Mengukur kadar antibodi serta peningkatannya dalam penentuan
prevalensi, penyebaran serta mengontrol penyakit.

Reaksi serologik dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor pejamu dan
aspek teknis.1
1. Faktor yang berhubungan dengan pejamu
Faktor yang menghambat pembentukan antibodi, antara lain umur,
malnutrisi, dan penggunaan obat imunosupresan. Saat pemeriksaan, antibodi atau
aglutinin umurnnya baru ada dalam darah setelah pasien sakit satu minggu dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
Pada uji Widal, kadar antibodi anti H mencapai puncaknya pada satu bulan
setelah vaksinasi dan tampak menetap sampai usia satu tahun, sedangkan antibodi
anti 0 puncaknya pada rninggu pertama dan hanya bertahan sampai 6 bulan.
Infeksi subklinis atau klinis pada orang yang terinfeksi Salmonella typhl
sebelumnya akan didapat reaksi Widal yang positif walaupun dengan titer rendah,
oleh karena itu di daerah endernis tifoid dapat dijumpai aglutinasi pada orang
sehat.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan antimikroba
akan menghambat respons imunologik. Hal ini tidak diketahui pasti, namun
diduga antimikroba menyebabkan antigen lebih sensitif sehingga hanya dengan
sedikit antibodilaglutinin sudah terjadi aglutinasi. Reaksi anamnestik adalah
keadaan terjadinya peningkatan titer aglutinin terhadap Salmonella typhi yang
disebabkan penyakit infeksi yang bukan tifoid pada seseorang yang telah
divaksinasi atau infeksi subklinis di masa lalu. Hal ini tejadi oleh karena ada

13

beberapa kuman pada famili Enterobacteriaceae yang mempunyai antigen mirip


dengan Salmonela.
2. Faktor teknis
Aglutinasi silang, beberapa spesies Salmonela mengandung antigen 0 dan
H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat terjadi pada spesies
lain, oleh karena itu spesies Salrnonela penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan reaksi Widal. Selain itu, faktor teknis didapat dari konsentrasi suspensi
antigen Salmonela yang dipergunakan
Jenis pemeriksaan serologi 1 :
1. Uji antibodi
Uji ini menggunakan suspensi antigen yang telah diketahui untuk mendeteksi dan
mengukur kenaikan titer antibodi spesifik pada serum pasien antara periode akut
dan konvalesens. Secara umum seseorang dikatakan terinfeksi apabila terdapat
kenaikan titer sebanyak 4 kali lipat atau lebih. Saat ini diketahui bahwa dengan
menggunakan deteksi imunoglobulin M yang spesifik, suatu infeksi yang baru te
qadi dapat diketahui hanya dengan satu kali pemeriksaan serum.
2. Uji antigen
Uji ini menggunakan antisera yang spesifik yang telah diidentifikasi untuk
mendeteksi antigen dari bahan pemeriksaan. Dengan pemeriksaan ini dapat
dideteksi antigen spesifik dari kuman, rnisalnya antigen Pneumokokus, antigen
Haemophilus influenzae.
B.7. UJI KULIT
Uji kulit biasanya dilakukan dengan cara menyuntikan antigen
intradermal, hasilnya dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas yang
lambat. Adanya reaksi hipersensitivitas yang lambat terhadap suatu kuman
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa kuman tersebut merupakan penyebab
infeksi yang timbul saat ini. Kelemahan uji ini adalah bila pasien berdaya-imun
rendah, reaksi terhadap uji kulit mungkin akan negatif sehingga tidak
menggambarkan keadaan sebenamya. Hasil uji kulit biasanya ditentukan dalam 48

14

jam; positif/ tidaknya dilihat dari luas indurasi pada daerah suntikan, eritema yang
timbul tidaklah bermakna bila tidak disertai indurasi.1

DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2002.
2. Coffin et al. Pediatric Laboratory Medicine : Current Challenges and
Future Opportunities. American Society for Clinical Pathology. 2002; 117:
683-690.
3. KEMENKES RI. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta; 2011.
4. Viana, Marcos Borato. Anemia and Infection: A Complex Relationship.
(Scientific Comments). Rev Bras Hematol Hemoter. 2011; 33 (2): 90-95.
5. Rosdiana, et al. Gambaran Hematologis pada Anemia Akibat Infeksi
Kronis di Daerah Endemis Malaria. Sari Pediatri. 2007; 8 (3)57-61.
6. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oskis
Hematology of Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders;
2008.
7. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2005.
8. Budhiarso, Hery. Rasio Imatur/Total Neutrofil (I/T) pada Sediaan Apus
Darah Tepi sebagai Petanda Dini Sepsis Bakterial pada Anak. (Tesis).
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1, Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, 2000.
9. Lubis et al. 2013. Hubungan Kultur Darah Pasien Tersangka Sepsis dengan
Nilai Prokalsitonin dan C-Reactive Protein. Sari Pediatri. 2013; 15 (1): 58.
10. Utama. 2012. Uji Diagnostik C-Reactive Protein, Leukosit, Nilai Total
Neutrofil dan Suhu pada Anak Demam dengan Penyebab yang Tidak
Diketahui. Sari Pediatri. 2012; 13 (6): 412-419.
11. Baker, CJ. Red Book Atlas of Pediatric Infectious Disease. 2 nd Editon.
USA: American Academy of Pediatrics; 2013.

15

12. Utsch B dan Klaus G. Urinalysis in Children and Adolescents. (Continuing


Medical Education). Deutsches rzteblatt International. 2014; 111: 617
26.
13. White, Brett. Diagnosis and Treatment of Urinary Tract Infections in
Children. American Family Physician. 2011; 83 (4): 409-415.
14. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jakarta: IDAI; 2010
15. Fischbach FT. Stool Examination, In A of Laboratory and Diagnostic Test.
Ed V, New York: Lippincott; 1998.
16. Herry J.B. et al. Examination of feces, in Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Methods. Nine Ed, Philadelphia: WB Saunder
Co; 1996.
17. Lochan, Harsha. Blood Culture Guidline for Red Cross War Memorial
Childrens Hospital. Blood Culture Guide; 2014.

16

You might also like