Professional Documents
Culture Documents
oleh
Qory Irsan
NIM I11110028
Pembimbing:
dr. Hilmi K. Riskawa, Sp.A, M.Kes
Disusun oleh,
Qory Irsan,
NIM I11110028
A. PENDAHULUAN
Pemeriksaan laboratorium merupakan satu bagian penting sebagai alat
penunjang diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium bermanfaat untuk
karena destruksi eritosit oleh parasit. Pada parvorirosis, anemia terjadi sekunder
karena inhibisi medullary erythropoiesis.4
Anemia dapat berhubungan atau diakibatkan infeksi kronik. Anemia ini
dikaitkan dengan reticuloendothelial siderosis, yang dicirikan dengan penurunan
serum besi dengan penurunan kadar TIBC dan persentasi saturasi transferrin,
sedangkan serum ferritin dapat normal atau meningkat. Perbedaannya dengan
anemia akibat defisiensi besi adalah TIBC nya meningkat, ferritin menurun. Hal
ini (pada inflamasi kronis) dikarenakan adanya peningkatan konsentrasi hepcidin,
hormone yang dihasilakn sel hati, yang meningkat seiring adanya inflamasi.
Hepcidin menginduksi degradasi ferriportin yang bertanggung jawab untuk
transfer transmembran dari besi ke transferrin plasma.4
3. Eritrosit
Jika kadar oksigen menurun hormon eritropoetin akan menstimulasi
produksi eritrosit. Bila kebutuhan eritrosit tinggi, sel yang belum dewasa akan
dilepaskan ke dalam sirkulasi. Jumlah sel darah merah menurun pada hemolisis,
meningkat pada diare/dehidrasi.3 Proses infeksi akan mengganggu eritropoesis
melalui beberapa mekanisme yaitu penekanan produksi eritropoetin dan gangguan
eritropoesis akibat produksi sitokin pada proses inflamasi.5
4. Mean Corpuscular Volume (MCV)
MCV (femtoliter) = 10 x Hct (%) : Eritrosit (10 6 sel/L). MCV menunjukkan
ukuran sel darah merah apakah sebagai normositik (ukuran normal), mikrositik
(ukuran kecil < 80 fL), atau makrositik (ukuran kecil >100 fL).3 Mikrositik
ditemukan pada inflamasi kronis, sedangkan normositik pada infeksi akut.6
9. Eosinofil
Eosinofil aktif terutama pada tahap akhir inflamasi ketika terbentuk kompleks
antigen-antibodi. Eosinofil juga aktif pada reaksi alergi dan infeksi parasit.3
10. Basofil
Sel basofil mensekresi heparin dan histamin. Jika konsentrasi histamin meningkat,
maka kadar basofil biasanya tinggi. Jaringan basofil disebut juga mast sel.
Basofilia adalah peningkatan basofil berhubungan dengan reaksi alergi.3
11. Monosit
Monosit merupakan sel darah yang terbesar. Sel ini berfungsi sebagai lapis kedua
pertahanan tubuh, dapat memfagositosis dengan baik dan termasuk kelompok
makrofag.3
12. Limfosit
Merupakan sel darah putih yang kedua paling banyak jumlahnya. Merupakan
sumber imunoglobulin yang penting dalam respon imun seluler tubuh.3
14. Trombosit
Trombosit adalah elemen terkecil dalam pembuluh darah. Trombosit diaktivasi
setelah kontak dengan permukaan dinding endotelia. Penurunan trombosit di
bawah 20.000 berkaitan dengan perdarahan spontan.3
15. Laju Endap Darah (LED)
LED atau juga biasa disebut Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah ukuran
kecepatan endap eritrosit, menggambarkan komposisi plasma serta perbandingan
eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi oleh berat sel darah dan luas permukaan sel
serta gravitasi bumi. Nilai meningkat terjadi pada kondisi infeksi kronis, misalnya
tuberkulosis.3
6. Lipase
Lipase mengubah asam lemak menjadi gliserol. Peningkatan kadar lipase dapat
terjadi pada pankreatitis, kolestatis akut.3
7. Albumin
Albumin di sintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi air
dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Nilai meningkat pada keadaan dehidrasi.
Nilai menurun pada keadaan gangguan fungsi hati, infeksi kronik, edema, asites.3
8. Alanin Aminotransferase (ALT) atau SGPT
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga terdapat pada
jantung, otot dan ginjal. ALT lebih banyak terdapat dalam hati dibandingkan
jaringan otot jantung dan lebih spesifik menunjukkan fungsi hati daripada AST.
Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada hepatitis.3
9. Aspartat Aminotransferase (AST) atau SGOT
AST adalah enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi, ditemukan di
jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfa, pankreas dan paru-paru. Penyakit
yang menyebabkan perubahan, kerusakan atau kematian sel pada jaringan tersebut
akan mengakibatkan terlepasnya enzim ini ke sirkulasi. Peningkatan kadar AST
dapat terjadi pada penyakit hati, pankreatitis akut, anemia hemolitik akut.3
10. Bilirubin
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan produk antara
dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh hati dan diekskresi ke
dalam empedu sedangkan sejumlah kecil ditemukan dalam serum.3
Terdapat dua bentuk bilirubin 3:
a) tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat dengan protein).
b) langsung atau terkonjugasi yang terdapat dalam serum.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi lebih sering terjadi akibat peningkatan
pemecahan eritrosit, sedangkan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi lebih
cenderung akibat disfungsi atau gangguan fungsi hati. Peningkatan kadar
keduanya dapat terjadi pada hepatitis.3
11. Prokalsitonin
Prokalsitonin (PCT) adalah prekursor kalsitonin yang terdiri dari 116 asam
amino yang disekresi oleh sel C dari kelenjar tiroid, kadar prokalsitonin
meningkat pada kasus septikemia, meningitis, pneumonia, dan infeksi saluran
kemih. Marker ini juga diproduksi oleh makrofag dan sel monosit pada beberapa
kasus infeksi bakteri yang berat dan sepsis.9
12. C-Reactive Protein
C-Reactive Protein merupakan protein fase akut yang dibentuk di hati
(oleh sel hepatosit) akibat adanya proses peradangan atau infeksi. Setelah terjadi
peradangan, pembentukan CRP akan meningkat dalam 4 sampai 6 jam, jumlahnya
bahkan berlipat dua dalam 8 jam setelah peradangan. Konsentrasi puncak akan
tercapai dalam 36 jam sampai 50 jam setelah inflamasi. Kadar CRP akan terus
meningkat seiring dengan proses inflamasi yang akan mengakibatkan kerusakan
jaringan. Apabila terjadi penyembuhan akan terjadi penurunan kadar CRP secara
cepat oleh karena CRP memiliki masa paruh 4 sampai 7 jam. Kinetik metabolism
CRP sejalan dengan derajat peradangan dan derajat penyembuhan yang terjadi.
Oleh karena itu CRP sangat baik untuk menilai aktivitas penyakit dalam keadaan
akut. Pemeriksaan ini relatif tidak mahal dan dapat diperoleh hasilnya dalam
waktu cepat serta tidak memerlukan volume darah yang banyak.10
B.1.3. Pemeriksaan Sel Apusan Darah Tepi
Malaria : apusan darah tepi tebal digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
Plasmodium, tipis untuk identifikasi spesies Plasmodium dan derajat
parasitemia (juga untuk memonitor terapi; oleh karena itu, pemeriksaan ini
dilakukan berkala).11
DBD : apusan darah tepi untuk menilai limfosit plasma biru, dimana peningkatan
15 % menunjang diagnosis DBD.11
Filariasis : apusan darah tepi tebal dilakukan untuk menemukan mikrofilariae.11
B.2. URINALISIS
Urinalisis
adalah
pemeriksaan
yang
biasanya
digunakan
untuk
mendiagnosa Infeksi Saluran Kemih (ISK). Cara pengambilan sampel urin, yakni
dengan urin bag (tidak stabil untuk kultur karena kontaminasi sering
menyebabkan hasil positif palsu), clean catch urine (dengan genital yang
terekspos atau anak tidak menggunakan celana, urin segera ditampung saat ia
buang air kecil; cara ini juga bisa menghasilkan positif palsu), kateter urin, pungsi
suprapubik.12
Berikut persentase kemungkinan ISK dari komponen urinalisis 13 :
Nitrite: 75 %
Protein: 19 %
Leukocyte esterase: 30 %
Blood: 19 %
Leukocytes on microscopy: 30 %
Bacteria on microscopy: 35 %
Disebutkan pula bahwa pada urinalisis untuk kecurigaan ISK, dapat
ditemukan proteinuria (protein +2 = 300 mg/dl per hari), leukosituria (leukosit > 5
/LPB), hematuria (eritrosit > 5/LPB). ISK dapat pula dicurigai bila ditemukan
bakteriuria (105 organisms/ml).12,14
B.3. PEMERIKSAAN FESES RUTIN
Konsistensi
tinja cair (watery diarrhea) tanpa lendir dan darah
Rotavirus, microsporidia, staphylococcal, bacillus cereus, E coli (EPEC, ETEC),
giardia lamblia 11
tinja cair (watery diarrhea) dengan lendir dan dengan/tanpa darah
Shigella, clostridium difficile 11
tinja cair (watery diarrhea) tanpa lender dan dengan/tanpa darah
E coli (STEC, EIEC) 11
tinja cair (watery diarrhea) dengan lender dan tanpa darah, seperti cucian beras
(tanpa warna)
Vibrio cholerae 11
Bau
Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak
dicerna dan dirombak oleh kuman.15,16
Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak
dicerna seperti pada diare.15,16
Parasit
Pemeriksaan parasit diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan spesies
cacing lainnya yang mungkin didapatkan dalam feses.15,16
Bilirubin, Urobilin dan Urobilinogen
Pemeriksaan bilirubin akan beraksi negatif pada tinja normal karena bilirubin
dalam usus akan berubah menjadi urobilinogen dan kemudian oleh udara akan
teroksidasi menjadi urobilin. Reaksi mungkin menjadi positif pada diare dan pada
keadaan yang menghalangi perubahan bilirubin menjadi urobilinogen, seperti
pengobatan jangka panjang dengan antibiotik yang diberikan peroral, mungkin
memusnakan flora usus yang menyelenggarakan perubahan tadi.15,16
Pemeriksaan mikroskopi
Protozoa. Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru
didapatkan bentuk trofozoit.15,16
Telur cacing. Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides
stercoralis dan sebagainya.15,16
Leukosit. Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh
sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan
peningkatan jumlah leukosit. Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang
berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencenaan.15,16
Eritrosit hanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus.
Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit
dalam tinja selalu berarti abnormal.15,16
10
Makrofag. Sel besar berinti satu dengan daya fagositosis, dalam sitoplasmanya
sering dapat dilihat bakteri selain eritrosit, lekosit .Bentuknya menyerupai amuba
tetapi tidak bergerak.15,16
B.4. PEMERIKSAAN HISTOLOGI
1. Pewarnaan Gram. Dengan menggunakan mikroskop dapat dilihat morfologi
bakteri dan reaksi dari pewamaan Gram (warna biru keunguan menunjukkan
reaksi Gram-positif dan warna merah menunjukkan Gram-negatif). Hasil yang
didapat tidaklah memastikan spesies bakteri, tetapi dengan diketahui reaksi Gram
maka para klinisi sangat terbantu dalam pemilihan antimikroba yang sesuai.
Pemeriksaan ini biasanya digunakan bersamaan dengan pemeriksaan biakan,
kecurigaan ke arah penyebab berdasarkan hasil pemeriksaan Gram diharapkan
membantu pemilihan jenis biakan.1
2. Selain pewarnaan Gram, pewamaan lain yang juga sering digunakan adalah
pewamaan Ziehl-Nielsen untuk mencari bakteri tuberkulosis, pewarnaan Albert
untuk bakteri difteria, pewarnaan Giernsa untuk parasit, dsb.1
3. Penyakit infeksi lain yang dapat diketahui dari pemeriksaan histologik antara
lain rabies (ditemukan Negri bodies), infeksi virus Sitomegalo (ditemukan
intranuclear inclusions), dan sebagainya.1
B.5. PEMERIKSAAN BIAKAN
Pemeriksaan biakan merupakan prosedur laboratorium yang sering
digunakan untuk mencari penyebab infeksi. Pada tahap awal, pemeriksaan ini
ditujukan untuk mendeteksi atau mengisolasi kuman. Untuk bakteri dan jamur
akan tampak koloni pada lempeng atau kekeruhan pada bulyon, sedangkan untuk
deteksi virus dilakukan dengan cytopathic efect, interference, hemadsorption.
Pada tahap berikutnya, pemeriksaan biakan ditujukan untuk identifikasi kuman.
Pada identifikasi akhir biasanya dilakukan pemeriksaan biokimia atau reaksi
serologik.1
Adapun indikasi dilakukan kultur darah, yakni 17:
11
12
kolera.
Mengidentifikasi dan menentukan serotipe kuman patogen yang telah
Reaksi serologik dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor pejamu dan
aspek teknis.1
1. Faktor yang berhubungan dengan pejamu
Faktor yang menghambat pembentukan antibodi, antara lain umur,
malnutrisi, dan penggunaan obat imunosupresan. Saat pemeriksaan, antibodi atau
aglutinin umurnnya baru ada dalam darah setelah pasien sakit satu minggu dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
Pada uji Widal, kadar antibodi anti H mencapai puncaknya pada satu bulan
setelah vaksinasi dan tampak menetap sampai usia satu tahun, sedangkan antibodi
anti 0 puncaknya pada rninggu pertama dan hanya bertahan sampai 6 bulan.
Infeksi subklinis atau klinis pada orang yang terinfeksi Salmonella typhl
sebelumnya akan didapat reaksi Widal yang positif walaupun dengan titer rendah,
oleh karena itu di daerah endernis tifoid dapat dijumpai aglutinasi pada orang
sehat.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan antimikroba
akan menghambat respons imunologik. Hal ini tidak diketahui pasti, namun
diduga antimikroba menyebabkan antigen lebih sensitif sehingga hanya dengan
sedikit antibodilaglutinin sudah terjadi aglutinasi. Reaksi anamnestik adalah
keadaan terjadinya peningkatan titer aglutinin terhadap Salmonella typhi yang
disebabkan penyakit infeksi yang bukan tifoid pada seseorang yang telah
divaksinasi atau infeksi subklinis di masa lalu. Hal ini tejadi oleh karena ada
13
14
jam; positif/ tidaknya dilihat dari luas indurasi pada daerah suntikan, eritema yang
timbul tidaklah bermakna bila tidak disertai indurasi.1
DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2002.
2. Coffin et al. Pediatric Laboratory Medicine : Current Challenges and
Future Opportunities. American Society for Clinical Pathology. 2002; 117:
683-690.
3. KEMENKES RI. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta; 2011.
4. Viana, Marcos Borato. Anemia and Infection: A Complex Relationship.
(Scientific Comments). Rev Bras Hematol Hemoter. 2011; 33 (2): 90-95.
5. Rosdiana, et al. Gambaran Hematologis pada Anemia Akibat Infeksi
Kronis di Daerah Endemis Malaria. Sari Pediatri. 2007; 8 (3)57-61.
6. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oskis
Hematology of Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders;
2008.
7. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2005.
8. Budhiarso, Hery. Rasio Imatur/Total Neutrofil (I/T) pada Sediaan Apus
Darah Tepi sebagai Petanda Dini Sepsis Bakterial pada Anak. (Tesis).
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1, Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, 2000.
9. Lubis et al. 2013. Hubungan Kultur Darah Pasien Tersangka Sepsis dengan
Nilai Prokalsitonin dan C-Reactive Protein. Sari Pediatri. 2013; 15 (1): 58.
10. Utama. 2012. Uji Diagnostik C-Reactive Protein, Leukosit, Nilai Total
Neutrofil dan Suhu pada Anak Demam dengan Penyebab yang Tidak
Diketahui. Sari Pediatri. 2012; 13 (6): 412-419.
11. Baker, CJ. Red Book Atlas of Pediatric Infectious Disease. 2 nd Editon.
USA: American Academy of Pediatrics; 2013.
15
16