You are on page 1of 44

REFERAT

PENYAKIT INFEKSI JAMUR PADA KULIT

Disusun Oleh :
Widya Amalia Swastika
1102011290

Pembimbing :
dr. Yenni Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
2016

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillahirabilalamin segala puji bagi Allah swt atas segala rahmat dan hidayahNya.
Terimakasih kepada dr. Yenni, Sp.KK selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Arjawinangun, atas kesediaan dan segala bantuan yang diberikan
sebagai pembimbing referat ini. Terimakasih kepada rekan-rekan kepanitraan atas motivasi dan
kerjasama yang baik dan bantuin material maupun spiritual.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepanitraan bagian ilmu penyakit kulit kelamin
RSUD Arjawinangun sebagai salah satu prasyarat kelulusan. Referat ini membahas tentang
Penyakit Infeksi Jamur Pada Kulit . Isi dari referat ini diambil dari berbagai sumber.
Kritik dan saran yang membangun diharapkan demi perbaikan laporan kasus ini. Semoga
referat ini berguna bagi semua pihak yang terkait.
Wassalamualaikum wr.wb.

Arjawinangun, Mei 2016

Penyusun

Daftar Isi
KATA PENGANTAR.............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................
Dermatofitosis..................................................................................................................5
Non Dermatofitosis..........................................................................................................28
Kandidosis........................................................................................................................35
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................44

BAB I
3

PENDAHULUAN
Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penyakit yang disebabkan oleh
jamur dapat dibagi berdasarkan penyerangannya, yaitu mikosis profunda, mikosis intermediate
dan mikosis superfisialis. Mikosis profunda menunjukkan gejala klinis tertentu di bawah kulit
misalnya traktus intestinalis, traktus respiratorius, traktus urogenital, susunan kardiovaskular,
susunan saraf sentral, otot, tulang, dan kadang kulit. Mikosis jenis ini jarang ditemukan karena
biasanya terlihat dalam klinik sebagai penyakit kronik dan residif. Manisfestasi klinis morfologik
dapat berupa tumor, infiltrasi peradangan vegetatif, fistel, ulkus, atau sinus, tersendiri maupun
bersamaan.
Mikosis intermediate adalah penyakit jamur yang mengenai lapisan kulit (stratum
korneum, rambut, dan kuku ), dan alat-alat dalam seperti vagina, kulit, kuku, bronkus, atau paru
yang disebabkan oleh jamur golongan Candida sp. Sedangkan mikosis superfisialis merupakan
infeksi yang disebakan oleh jamur yang menyerang pada daerah superfisial, yaitukulit, rambut,
kuku. Insidens mikosis superficialis cukup tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat
luas. Hal tersebut disebabkan Indonesia merupakan negara tropis beriklim panas dan lembab,
hygiene sebagian masyarakat masih kurang, adanya sumber penularan di sekitarnya, penggunaan
obat-obatan antibiotik, steroid, dan sitostatika yang meningkat, adanya penyakit kronis dan
penyakit sistemik lainnya.
Mikosis superfisialis dapat dibagi menjadi dua menurut penyebabnya, yaitu
dermatofitosis dan non dermatofitosis. Dermatofitosis adalah mikosis superfisialis yang
disebabkan oleh jamur dermatofita. Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena
mempunyai daya tarik kepada keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang
lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneurm sampai dengan stratum basalis. Ada pula
beberapa golongan jamur ini yang dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun
dan residif seperti Mikrosporon audoinii dan Trikofiton rubrum.
Manifestasi klinis dermatofitosis bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit lain
sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam penatalaksanaannya.

BAB II
PEMBAHASAN
DERMATOFITOSIS
Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum
korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.
Dermatofitosis bisa juga didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur
dermatofit yang menyerang jaringan dengan keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan
kuku pada manusia dan hewan. Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan
membentuk molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagia sumber nutrisi
untuk membentuk kolonisasi.
Epidemiologi
Faktor epidemiologi yang penting yaitu usia, jenis kelamin, dan ras. Prevalensi infeksi
Dermatofita pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Tinea kapitis yang disebabkan T.
tonsurans lebih sering pada wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering
terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan
perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran
infeksinya. Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, karena
Indonesia beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Perpindahan manusia dapat dengan cepat
mempengaruhi penyebaran endemik dari jamur. Adanya trauma, dan pemanasan dapat
meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit sehingga meningkatkan kejadian infeksi tinea.
Alas kaki yang tertutup, berjalan, adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab,
dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian Tinea pedis dan Onikomikosis
Faktor Predisposisi
1. Lembab dan panas dari lingkungan
2. Friksi atau trauma minor, misalnya gesekan pada paha orang gemuk
3. Keseimbangan flora normal tubuh terganggu karena pemakaian antibiotik atauhormonal
dalam jangka panjang

4. Kehamilan dan menstruasi (pada kedua kondisi ini terjadi ketidakseimbangan


hormondalam tubuh sehingga rentan terhadap jamur)
5. Penyakit tertentu seperti HIV/AIDS dan diabetes
6. Kebersihan tubuh tidak terjaga
7. Kontak langsung/tak langsung dengan penderita atau dermatofita
Etiologi
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi immperfecti, yang
terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton . Ketiga genus ini
mempunyai sifat keratofilik. Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara
dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenic, kebutuhan zat makanan untuk
pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies Epidermophyton, 17
spesis Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Pada tahun-tahun terakhir ditemukan bentuk
sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua koloni yang berlainan jenis kelaminnya.
Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat dimasukkan ke dalam family
Gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan Arthrodema yang masing-masing dihubungkan
dengan genus Microsporum dan Trichophyton.

Gambar 1. Microsporum dan Trichophyton

Gambar 2. Epidermophyton

Patofisiologi
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan
atau tanpa reaksi keradangan (silent carrier)
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung maupun
tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat dipakaian, atau sebagai
kontaminan pada rumah/ tempat tidurn hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi manusia dan
menimbulkan reaksi radang.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non
spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa host,
serta kemampuan untuk menembus jaringan host, dan mampu bertahan dalam lingkungan host.,
menyesuaikan diri dnegan suhu dan keadaan biokimia host untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadiya infeksi dermatofit melalui tiga langkah
utama yaitu : perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel serta pembentukan
respon host.

Perlekatan dermatofit pada keratinosit


Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 5 jam, dimediasi oleh
serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat
menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit
juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase
(urokinase dan activator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel
dalam menginvasi host. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan
pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermuda oleh adanya proses trauma atau
lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis
strainnya.
Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi proses
deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan proteinase, lipase, dan enzim musinolitik yang
menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4-6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum
korneum setelah spora melekat pada keratin.
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut jamur
pathogen menggunakan beberapa cara :
1. Penyamaran, antara lain dengan membentuk polisakarida yang tebal, memicu
pertumbuhan filament hifa, sehingga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak
terpapar oleh dectin-I dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel,
sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
2. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun host atau
secara aktif mengendalikan respon imun mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak
efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan
komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag
akan terhambat.
3. Penyerangan dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau memaski
pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur mensintesa
8

katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier
jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur dan memproduksi siderospore
(suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap
zat besi untuk kehidupan aerobic.
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh
daya tahan host yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada
stratum korneum.
Respon Imun Host
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respon cepat dan imunitas
adaptif yang memberikan respon lambat.
Pada kondisi individu dengan system imun yang lemah (immunocompromised), cenderung
mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan
transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit
non patogenik.
Mekanisme pertahanan non spesifik
Pertahanan non spesifik atau dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari :
1. Struktur, keratinisasi, dan protliferasi, epidermis bertindak sebagai barrier terhadap
masuknya dermatofit. Stratum kornem secara kontinyu diperbaui dengan keratinisasi sel
epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi
epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses
keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis secara makroskopi berupa pustule, secara
mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di
epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-makroglobulin
keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.

Mekanisme pertahanan spesifik


Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik imunitas humoral
maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed
Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan
pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat menegah
suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang.
Respons imun spesifik ini melibatka antigen dermatofit dan CMI.
Antigen dermatofit
Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan spesies tertentu. Dua kelas
utama antigen dermatofit adalah : glikopeptida dan keratinase, di mana bagian protein dari
glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida dari glikopeptida menstimulasi
imunitas humoral. Anitibodi menghambat stimulasi akivitas proteolitik yang disebabkan oleh
keratinase, yang dapat memberikan respons DTH yang kuat. pertahanan utama dalam membasmi
infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu T cell-mediated DTH. Kekurangan sel T dalam system
imun menyebabkan kegagalan dalam membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu
penyakit infeksi pada hewan dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental, berkorelasi
dengan pembentukan respons DTH. Infeksi yang persisten seringkaliterjadi karena lemahnya
respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon DTH, dan peningkatan proliferasi kulit
dalam respon DTH. Reaksi DTH di mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan
proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan
dermatofit dari kulit melalui deskuamasi kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri
pelepasan interferon gamma (IFN-), ditengarai terlibat dalam pertahanan host terhadap
dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.
Respon T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam
memunculkan respon DTH, dan IFN- dianggap sebagai factor utama dalam fase efektor dari
reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuclear memproduksi sejumlah besar
IFN- untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN- pada

10

lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis produksi IFN- secara
nyata sangat rendah yang terjadi akibat ketidakseimbangan system imun karena respon Th2.
Sel Langerhans. Infiltrate radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T CD4+ dan sel T
CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans CD1a+. sel Langerhans dapat
menginduksi respon sel T terhadap trichophytin, serta bertanggung jawab dalam pengambilan
dan pemrosesan antigan pada respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit.
Imunitas humoral. Host dapat membentuk bermacam antibody terhadap infeksi dermatofit yang
ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral tidak berperan menyingkirkan infeksi, hal
ini dibuktikan dengan level antibody tertinggi pada penderita infeksi kronis
Klasifikasi
Klasifikasi dermatofita berdasarkan morfologi penyebab
1. Genus Mikrosporom menyerang lapisan tanduk kulit dan rambut
2. Genus Epidermofiton, menyerang kulit sampai stratum spinosum dan kuku
3. Genus Trikofiton, menyerang kulit sampai stratum germinativum, kuku dan rambut
Sistematika yang banyak dipakai didasarkan pada lokasi tubuh yang terkena dengan alasan :
1. Satu spesies jamur dapat menyebabkan berbagai macam bentuk klinis.
2. Gambaran klinis yang sama dapat disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita dengan
spesies yang berlainan.
3. Penentuan spesies dengan biakan butuh waktu lama (antara 10 14 hari) sedang
pengobatan penderita tidak tergantung pada spesies atau genus penyebabnya
Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi tubuh yang terserang
1. Tinea kapitis : menyerang kepala
2. Tinea barbae ; menyerang jenggot, cambang dan kumis
3. Tinea korporis : menyerang badan
4. Tinea kruris : menyerang inguinal dan anogenital
5. Tinea pedis dan manum : menyerang kaki dan tangan
6. Tinea unguium : menyerang kuku
11

Tabel 1. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur Penyebab
Nama
Penyaki
t
Tinea
Kapitis

Tinea
favosa
Tinea
barbae

Tinea
korporis
Tinea
imbrika
ta
Tinea
kruris

Lokasi infeksi/ciri tertentu

Kulit dan rambut kepala

*secara klinis berbentuk skutula


dan berbau seperti tikus (mousy
odor)
Dagu dan jenggot

Pada permukaan kulit yang tidak


berambut kecuali telapak tangan,
telapak kaki dan bokong
*susunan skuama yang konsentris

Bokong, genitalia, area pubis,


perineal dan perianal

Tinea
pedis

Pada kaki

Tinea
manuu
m
Tinea
unguiu
m

Tangan

Kuku jari tangan dan jari kaki

Jamur penyebab

Microsporum (beberapa
spesies)
Trichophyton (beberapa
spesies kecuali
T.consentricum)
T. schoenleinii
T. violaceum (jarang)
M. gypseum (jarang)
T. mentagrophytes,
T.rubrum, T violaceum,
T.verrucosum,
T.megninii, M.canis
T.rubrum,
T.mentagropnytes,
M.audouinii, M.canis
T. concentricum

E. floccosum
T. rubrum
T. mentagrophytes
T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum
T. rubrum
E. floccosum
T. mentagrophytes
T. rubrum
T. mentagrophytes

Gejala Klinis
Tinea Kapitis
Berdasarkan bentuk yang khas Tinea Kapitis dapat dibedakan atas
1. Bentuk yang tidak meradang
a. Grey patch ringworm
12

Penyebab : Mikrosporon kanis, M. ypseum


Lesi berupa suatu bercak pada kepala berambut, berwarna kelabu. Biasanya
beberapa buah berukuran 2-4 cm.
rambut di daerah tersebut putus
beberapa millimeter di atas kulit,
tertutup oleh sisik halus berwarna
putih-kelabu sehingga menyebabkan
alopesia setempat.
Pada pemeriksaan dengan lampu
wood
rambut

akan

tampak

yang

ujung-ujung

putus

tersebut

berfluoresensi hijau
Dengan sediaan KOH 10-20% dari rambut yang dicabut terlihat tumpukan spora
diluar batan rambut (infeksi ektotriks).
b. Black dot ringworm
Penyebab : trikofiton tonsurans, trikofiton violaseum. Lesi berupa bercak kecilkecil di kepala dengan rambut yang putus tepat dipermukaan kulit pada muara
folikel rambut dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora,
sehingga terlihat sebagai bintik-bintik hitam pada bercak tersebut yang disebut
black dots.
Pada pemeriksaan dengan lampu wood tidak timbul fluoresensi dan pada sediaan
KOH menunjukkan tumpukan spora di dalam dan di luar batang rambut (infeksi
endotriks dan eksotriks).
2. Bentuk yang meradang
Kerion selsi :
Penyebab : M.kanis, M. gipseum
Terlihat bercak yang kemerahan pada kepala, kadang-kadang eksudat dan tertutup krusta,
menyerupai sarang lebah, rambut biasanya rontok karena rusaknya folikel rambut
sehingga dapat terjadi alopesia areata yang permanen. Bila reaksi radang sangat hebat
13

bisa timbul abses dibawah lesi tersebut sehingga kulit tampak menonjol, basah dan teraba
lunak. Keadaan ini disebut kerion yang biasanya sangat gatal dan nyeri. Bila ditekan
tampak pus keluar lewat beberapa fistula.
3. Bentuk Favus
Penyebab T. Schoenleini Magypseum
Timbul bercak yang tertutup oleh krusta yang tebal dan berbentuk seperti cawan (skutula)
serta berbau seperti tikus (mousy odor). Kadang-kadang meluas sampai di luar daerah
rambut, bersifat progresif dan menimbulkan banyak sikatriks. Rambut jadi tidak
bercahaya, namun biasanya tidak terputus. Dengan lampu wood terlihat fluoresensi hijau
sepanjang rambut dan bila dibuat sediaan KOH tampak gambaran khas yakni adanya
gelembung-gelembung udara di dalam batang rambut disertai miselia dari jamur.

Gambar 3 . Grey patch ringworm, kerion, black dot ringworm.

Tinea Barbae
Adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah janggut, cambang dan kumis.
1. Bentuk superfisial
Lesi eritro-papulo-skuamosa, mula-mua kecil lalu melebar ke perifer dengan tepi
polisiklis. Bentuk ini sama dengan tinea korporis biasa.
2. Bentuk karion
Prosesnya sama dengan pembentukan kerion pada tinea
kapitis. Timbul lesi yang basah dengan perifolikkulitis
dan abses.
3. Bentuk sikosis

14

Suatu bentuk yang jarang dijumpai, secara klinik tidak dapat dibedakan dengan folikulitis
bakteri yang kronis. Lesi berupa pustule yang folikuler dengan rambut dipusatnya. Bila
menyembuh terlihat krusta, rambut mudah dicabut (pada infeksi bakteri rambut sulit
dicabut).
Tinea Korporis (T. Sirsinata, T. glabrosa)
Adalah infeksi jamur dermatofita pada klit halus (glabrous skin) di daerah muka, leher,
badan, lengan dan pantat. Penyeba oleh T.rubrum, T.mentagrofites

Gejala klinis :
-

Bentuk klasik biasanya berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis, bisa didapatkan vesikel
kecil-kecil serta skuama yang halus. Di daerah tengah biasanya mnipis dan terjadi
penyembuhan, sementara bagian tepi aktif dan malin meluas ke perifer. Kadang-kadang
bagian tengahnya tidak menyembuh tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga
menjadi bercak yang besar.

Di daerah wajah kadang-kadang disebut juga T. fasei, sedangkan di daerah paha dan
gluteal menjadi bagian dari T. kruris

Disamping bentuk yang klasik bisa didapatkan variasi seperti bentuk eksematoid,
herpetiform dan lain-lain.

15

Tinea Kruris (Eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch)


Adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus.
Gejala Klinis :
-

Biasanya sebagai lesi yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan. Mula-mula sebagai
bercak eritematosa yang gatal, kemudian dapat meluas sampai skrotum, pubis, gluteal
bahkan sampai ke paha. Tepi lesi sering aktif, berbentuk polisiklis kadang-kadang dengan
banyak vesikel-vesikel kecil.

Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.

Dengan sediaan KOH dari kerokan bagian tepi lesi mudah ditemukan elemen-elemen
jamur.

Tinea

Pedis dan Tinea

Manum
Dikenal

bentuk gejala klinis

yang sering

dijumpai :

1.

Intertriginosa
Manifestasi berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela-sela jari. Tampak berwarna
keputihan yang basah, bisa terjadi fisura yang nyeri bila disentuh. Infeksi sekunder dapat
menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki
sering dimulai pada sela jari antara jari IV-V.

2. Vesikuler yang akut


Ditandai dengan terbentuknya vesikel atau bula yang terletak agak dalam di bawah kulit
(deep seated vesiculae). Biasanya akut dan sangat gatal. Lokasi yang sering adalah
telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikelnya pecah. Infeksi sering
memperburuk keadaan ini. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel atau bula untuk
diperiksa dengan sediaan langsung atau biakan.

3. Hiperkeratotik atau skuamosa yang kronis


16

Yang menonjol adalah terjadinya pengelupasan kulit yang terus menerus, kadang-kadang
dengan eritema dan hyperkeratosis. Lokalisasi yang sering yaitu pada telapak kaki, tepi
sampai punggung kaki, terlihjat kulit menebal dan bersisik, disebut moccasin foot. Bila
hiperkeratosisnya hebat terjadi fissure yang dalam. Sering kuku terkena bersama-sama.
Penyakit berlangsung kronis, bertahun-tahun diselingi masa tenang serta eksaserbasi.
Bentuk kronis ini sering disebabkan oleh T. rubrum yang sulit diobati.

Gambar 7. Bentuk intertriginosa, bentuk vesikular akut, moccasin foot.

Tinea Unguium
1. Bentuk subungual distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke proksimal
dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh yang disebut detritus. Kalau proses
berjalan terus maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya
kuku rapuh yang menyerupai kapur.

2. Leukonika trikofita = leukonika mikotika


17

Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonika atau warna keputihan dipermukaan
kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Kelainan ini
dihubungkan dengan T. mentagrofites sebagai penyebabnya.
3. Bentuk subungal proksimalis
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan
membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal masih utuh,
sedangkan bagian proksimal rusak.
Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis ditempat lain yang sudah
sembuh atau belum. Kuku kaki lebih sering diserang dibandingkan kuku tangan.

Gambar 8.

subungual distalis , subungual proksimal, leukonikia trikofita

Diagnosis
Anamnesis
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: rasa gatal hebat pada daerah
kruris (lipat paha), lipat perineum, bokong dan dapat ke genitalia; ruam kulit berbatas tegas,
eritematosa dan bersisik, semakin hebat jika banyak berkeringat.
Pemeriksaan fisik
18

Lokalisasi : Regio inguinalis bilateral, simetris. Meluas ke perineum, sekitar anus, intergluteal
sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke suprapubis dan abdomen bagian bawah.
Effloresensi / sifat - sifatnya: Makula eritematosa numular sampai geografis, berbatas tegas
dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustul. Jika kronik macula menjadi
hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya
Pemeriksaan penujang
Lampu wood pertama kali digunakan dalam praktek dermatologi untuk mendeteksi jamur
infeksi hair oleh Margaret dan Deveze tahun 1925. Lampu Wood memancarkan radiasi UV
gelombang panjang (UVR), juga disebut cahaya hitam, yang dihasilkan oleh tinggi tekanan
busur merkuri dilengkapi dengan filter senyawa terbuat dari barium silikat dengan 9% nikel
oksida, yang Filter Wood. Filter ini terlihat buram pada semua sinar kecuali sebuah band
antara 320 dan 400 nm dengan puncak pada 365 nm. Dermatofita yang menyebabkan
fluoresens

umumnya

anggota genus

selalu mengesampingkan

tinea

capitis

Microsporum. Namun, tidak adanya fluoresensi tidak


seperti

kebanyakan spesies Trichophyton, dengan

pengecualian T. schoenleinii, yang nonfluoresens. Gambaran Tinea kruris tidak terlihat pada
pemeriksaan ini
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas pemeriksaan
langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan histopatologik,
percobaan binatang, dan imunologik tidak diperlukan.
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat
berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan unuk pemeriksaan mikologik diambil dan
dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70%,
kemudian untuk:
1. Kulit tidak berambut (glaborous skin): dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian
sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.
2. Kulit berambut: rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan; kulit di
daerah terserbut dikerok untuk mengumpulkan sisik kelit, pemeriksaan dengan lampu
Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang
19

terkena infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus-kasus tinea kapitis
tertentu.
3. Kuku: bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya
sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku diambil pula.
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan
pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran
10x100 biasanya tidak diperlukan.
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian ditambah 1 2 tetes
larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan
kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini
diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan
pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut,
pemanasansudah cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga
tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan/atau
sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar
(makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ekrotriks) atau di dalam rambut (endotriks).
Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan
basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan
bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dekstrosa Saboraoud.

Morfologi koloni

Gambaran mikroskopik

keterangan
20

Koloni :
seperti bulu datar dengan
lipatan central dan warna
kuning kehijauan, kuning
kecoklatan

Epidermophyton floccosum

Gambaran mikrosopik :
tidak ada mikrokonidia,
beberapa dinding tipis dan
tebal. Makronidia berbentuk
gada
Koloni :
datar dan berwarna putih
keabuan dengan celah radial
yang lebar. Berwarna pink
salmon pada media PDA.
Gambaran mikroskopik :
terminal klamidoko-nidia dan
hifa berbentuk seperti sisir.

Microsporum audounii

Koloni :
datar, warna putih hingga
kuning, kasar dan berambut,
dengan celah radial yang
rapat. Berwarna kuning pada
PDA.
Gambaran mikroskopik :
beberapa mikrokonidia,
sejumlah dindint tebal dan
makrokonidia bergerigi
dengan knob pada ujungnya.
Koloni :
datar dan granuler dengan
pigmen coklat hingga
berwarna seperti kambing.

M. canis

Gambaran mikroskopik :
beberapa mikrokonidia,
sejumlah makrokonidia
berdindint tipis tanpa knob.
M.gypseum

Tabel 1. Karakteristik Dermatofit terbanyak

Diagnosis Banding

21

Diagnosis banding pada dermatofitosis tergantung dari klasifikasi lokasinya. Berikut ini
Tinea Kapitis

Psoriasis
Dermatitis seboroik
Alopesia areata
Pioderma
Bentuk-bentuk alopesia yang
menimbulkan sikatriks, misal
Lupus eritematosus,
Pseudopelade Brocq

Tinea korporis
Pitriasis rosea gilbert
Psoriasis
Lues II makulo-papuler
Dermatitis kontak
Dermatitis seboroik
Morbus Hansen tipe tuberkuloid
Tinea Kruris
Kandidiasis inguinalis
Psoriasis
Dermatitis seboroik
Pitriasis rosea

Tinea Pedis dan


Manum
Dermatitis kontak
Scabies
Pomfoliks
Pioderma
Lues
II
psoriasiform
Psoriasis
pustulosa
Kandidiasis
Tinea Unguium
Psoriasis
Kandidiasis
Paronikia
Trauma
Akrodermatitis
perstans
Tinea Barbae
Sikosis barbae
Mikosis profunda
Karbunkel

terdapat tabel yang menyebutkan diagnosis banding dari masing-masing klasifikasi


dermatofitosis berdasarkan lokasi.

22

Tabel 2. Diagnosis banding dermatofitosis berdasarkan lokasi


Tatalaksana
Penatalaksanaan pada kasus dermatofitosis dibagi menjadi penatalaksanaan umum dan
khusus, seperti berikut :
1. Penatalaksanaan umum
Pada pasien dermatofitosis penatalaksanaan umum adalah sebagai edukasi pada
pasien tentang penyakitnya, termasuk penyebab, cara pengobatan dan pencegahan dari
penyakitnya.
2. Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan khusus dengan menggunakan obat-obatan yang diberikan secara oral
(sistemik) maupun topikal. Pengobatan dermatofitosis sering tergantung pada klinis.
Sebagai contoh lesi tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan anti jamur
topikal. walaupun pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan
biasanya membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis yang kronik
atau luas, tinea dengan implamasi akut dan tipe "moccasin" atau tipe kering jenis
T.rubrum termasuk tapak kaki dan dorsum kaki biasanya juga membutuhkan terapi
sistemik. Idealnya, konfirmasi diagnosis mikologi hendaknya diperoleh sebelum terapi
sistemik anti jamur dimulai. Berikut adalah pilihan obat untuk dermatofitosis :
a. Sistemik
Jenis jenis obat anti jamur sistemik yaitu alilamin, triazol, imidazole
1. Alilamin
a. Terbinafin
Terbinafin hidroklorid adalah agen anti jamur topikal dan oral milik golongan
alilamin. Terbinafin mencapai stratum korneum pertama kali melalui sebasea,
kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi pasif ke
dermis-epidermis, tetapi terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat
ekrin.
Terbinafin menghambat enzim skualen epoksidase (enzim katalis untuk
merubah skualen-(2,3)-epokside) di membran sel jamur, sehingga menghalangi
23

biosintesis ergosterol. Terbinafin menyebabkan akumulasi dari skualen


intraseluler abnormal dan kekurangan ergosterol. Penilaian akumulasi skualen
secara in-vitro untuk aktivitas obat fungisida dengan melemahkan sel membran,
sedangkan kekurangan ergosterol dikaitkan dengan aktivitas fungistatik obat,
seperti ergosterol adalah komponen membran jamur yang diperlukan untuk
pertumbuhan normal

Onikomikosis

Tinea Kapitis

Tinea Korporis, Tinea


Kruris
Tinea Pedis

Dewasa
Kuku jari tangan : 250
mg/hari selama 6 pekan
Kuku jari kaki : 250 mg/hari
selama 12 pekan
250 mg/hari selama 2 sampai
8 pekan

250

mg/hari

selama

1-2

pekan

Anak-anak
3-6
mg/kgBB/hari
selama 6 sampai 12 pekan
< 25 kg : 125 mg/hari
selama 6 pekan
25-35 kg : 187.5
mg/hari selama 6 pekan
> 35 kg : 250mg/hari
selama 6 pekan
2-6
mg/kgBB/hari
selama 1-2 pekan

250 mg/hari selama 2 pekan

2. Triazol
Obat golongan azol merupakan obat antijamur terbanyak digunakan untuk infeksi
jamur, baik superfisial, subkutan, maupun sistemik. Azol terbagi atas dua golongan
berdasarkan jumlah atom nitrogen didalam cincin azol, yaitu imidazol yang
memiliki 2 atom nitrogen serta triazol dengan 3 atom nitrogen
a. Itrakonazol
Itrakonazol adalah agen antijamur triazol lipofilik dan hampir tidak larut dalam
air. Mekanisme kerja itrakonazol menghambat 14--demethylase, sebuah
sitokrom mikrosomal enzim P450, dalam membran jamur. Konversi lanosterol
menjadi ergosterol membutuhkan 14--demethylase, menyebabkan penurunan
permeabilitas membran dan aktivitas enzim yang terikat membran dan
menghambat pertumbuhan sel jamur. Itrakonazol mencapai epidermis melalui
difusi pasif ke dalam lapisan basal keratinosit dan meresap ke dalam matriks
rambut melalui sel matriks dan berpenetrasi melalui sebasea.
Itrakonazol tersedia dalam kapsul 100 mg, 10 mg/mL larutan oral, dan larutan
intravena. Dosis itrakonazol yaitu 5 mg/kgbb/hari selama 4-6 pekan.
b. Flukonazol

24

Flukonazol, seperti itrakonazol, menghambat 14--demethylase, mikrosomal


sebuah enzim sitokrom P450, dalam membran jamur. Flukonazol mempunyai
waktu paruh 25-30 jam, dan tingkat puncak tercapai setelah 7 hari tiap kali
diberi.
Flukonazol tersedia dalam tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200 mg, tersedia
10 mg/mL dan 40 mg/mL larutan oral, dan intravena
Tabel 4. Dosis Flukonazol Oral1
Tinea Pedis, kruris,
atau korporis
Tinea Kapitis

Dewasa
150 mg/pekan sampai
3-4 pekan

Anak-anak
6mg/kgBB/hari
sampai 2 6 pekan

3. Imidazole
a.
Ketokonazol
Ketokonazol adalah turunan imidazol pertama digunakan untuk pengobatan oral
mikosis sistemik. Pasien dengan kandidiasis mukokutan kronis merespon baik
untuk dosis sekali sehari 200 mg, dengan waktu rata-rata 16 pekan.
Dosis ketokonazol diberikan pada dewasa 200 mg/hari atau 400 mg/dosis
tunggal atau diulang setiap bulan sedangkan dosis anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB
dosis tunggal.
4. Griseofulvin
Griseofulvin berasal dari Penicillium griseovulvum. Griseofulvin digunakan untuk
pengobatan infeksi dermatofit Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton.
Griseofulvin bekerja pada inti sel jamur dan menghambat mitosis sel jamur
sehingga tetap dalam fase metafase. Griseofulvin tidak efektif untuk kandidiasis
atau pitiriasis versikolor.
Griseofulvin tersedia dalam tablet ultramicrosize dan microsize. Sediaan
griseofulvin tablet ultramicrosize adalah dosis 125-mg, 165 mg, 250 mg, dan 330
mg. Griseofulvin microsize tersedia 250mg, dan tablet 500 mg dan dalam 125 mg/5
mL suspensi. Produsen merekomendasikan 5-10 mg/kgBB/hari (ultramicrosize)
atau 10-20 mg/kgBB/hari (microsize).

1
25

Efek samping griseofulvin paling umum berhubungan dengan gangguan saluran


pencernaan dan sistem saraf pusat, seperti nyeri kepala, pusing, insomnia, reaksi
hipersensitivitas berupa urtikaria dan erupsi obat, dan granulositopenia. Pasien
harus diperingatkan tentang potensi fotosensitisasi yang diinduksi oleh griseofulvin
dan kemungkinan lupus eritematosus atau sindrom seperti lupus. Leukopenia dan
proteinuria pernah dilaporkan

b. Topikal
Jenis obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu :
1. azol-imidazol:

ketokonazol,

klotrimazol,

mikonazol,

ekonazol,

sulkonazol,

oksikonazol, terkonazol, tiokonazol, sertakonazol


2. alilamin dan benzilamin: naftifin, terbinafin, butenafin
3. polien: nystatin
Infeksi
Tinea unguium
(Onychomycosis
)

Tinea capitis

Tinea corporis

Tinea cruris

Tinea pedis

Rekomendasi
Terbinafine 250 mg/hr
6 minggu untuk kuku
jari tangan, 12 minggu
untuk kuku jari kaki

Alternatif
Itraconazole 200 mg/hr /3-5 bulan atau 400 mg/hr
seminggu per bulan selama 3-4 bulan berturutturut.
Fluconazole 150-300 mg/ mgg s.d sembuh (6-12
bln) Griseofulvin 500-1000 mg/hr s.d sembuh
(12-18 bulan)
Griseofulvin
Terbinafine
250
mg/hr/4
mgg
500mg/day
Itraconazole
100
mg/hr/4mgg
(
10mg/kgBB/hari) Fluconazole 100 mg/hr/4 mgg
sampai sembuh (6-8
minggu)
Griseofulvin 500 mg/hr Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 minggu
sampai sembuh (4-6 Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau
minggu),
sering 200mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300
dikombinasikan
mg/mggu selama 4 mgg.
dengan imidazol.
Griseofulvin 500 mg/hr Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 mgg
sampai sembuh (4-6 Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau 200
minggu)
mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300 mg/hr
selama 4 mgg.
Griseofulvin 500mg/hr Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 mgg
sampai sembuh (4-6 Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau
26

minggu)

200mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300


mg/mgg selama 4 mgg.
Chronic and/or Terbinafine 250 mg/hr Itraconazole 200 mg/hr selama 4-6 mgg.
widespread
selama 4-6 minggu
Griseofulvin 500-1000 mg/hr sampai sembuh (3non-responsive
6 bulan).
tinea.

Pencegahan
1. Selalu menjaga kebersihan diri, terutama kebersihan kulit dan kaki.
2. Membiasakan mandi sekurang-kurangnya sekali sehari. Mencuci kaki dua kali sehari dan
keringkan dengan cara menekan-nekan (jangan digosok) dengan handuk
3. Mengeringkan kulit secara menyeluruh setelah mandi, hingga sampai lipatan-lipatan.
4. Membiasakan agar masing-masing individu menyimpan dan menggunakan handuknya
sendiri agar tidak tercemar jamur atau kuman penyakit.
5. Menggunakan kaos kaki dan pakaian dalam dari bahan katun, gantilah secara rutin
(sekurang-kurangnya sekali sehari)
6. Gunakan bedak anti jamur pada sepatu atau kaos kaki untuk mencegah proliferasi spora
jamur
7. Untuk pengidap diabetes, jaga agar kadar gula darah tetap dalam batas normal.
Prognosis
Prognosis pada dermatofitosis pada umumnya baik, namun pengobatan perlu
diperhatikan apabila terdapat faktor predisposisi sebagai berikut :
1. Bentuk klinik tertentu :

Diabetes mellitus

Hipertiroid, menyebabkan banyak keringat / hyperhidrosis

Keganasan

Pemakaian obat-obatan : antibiotika, kortikosteroid, sitostatika


27

Infeksi berat : AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)

Kehamilan

Iritasi setempat pada tubuh misalnya urine, keringat, air

2. Lingkungan : iklim tropis banyak keringat, jamur akan tumbuh dengan subur
3. Pekerjaan yang berhubungan dengan air : ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga.
Pada tinea pedis air yang berlebihan akan menyebabkan pembengkakan stratum
korneum, hifa jamur tumbuh dengan subur.
4. Pemakaian pakaian dalam /celana ketat dari bahan sintetis
5. Kebiasaan pinjam meminjam alat, misal sepatu, sisir
6. Adanya sumber infeksi lain, misal binatang piaraan : anjing, kucing, kelinci
menyebabkan infeksi ping-pong
Faktor factor di atas menjadipenyulit dalam penyembuhan dermatofitosis. Sehingga
perlu diperhatikan untuk menghindari atau mengontrol factor-faktor tersebut.
NONDERMATOFITOSIS
Ptiriasis Vesikolor
Definisi
Pitiriasis versikolor merupakan infeksi jamur kulit superfisial yang umum, tidak berbahaya bagi
kesehatan alias jinak (benign) biasanya ditandai oleh makula hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi dan patches di dada dan punggung. Kelainan ini umumnya menyerang badan
dan kadang- kadang terlihat di ketiak, sela paha, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala. Pada
pasien dengan kecenderungan (predisposition), keadaan penyakit dapat berulang atau kambuh
lagi. Penyakit infeksi jamur ini berlokasi di stratum korneum.
Sinonim
Tinea vesikolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spot, tinea falva, ptiriasis versikolor flava
dan panu.
Epidemiologi
1. Frekuensi

28

Di Amerika serikat, panu lebih sering terjadi di daerah dengan temperatur lebih tinggi dan
kelembaban yang relatif lebih tinggi. Prevalensi nasional panu sekitar 2-8% dari
populasi. Insiden yang pasti di Amerika Serikat sulit diperkirakan karena banyak orang
yang terkena panu tidak berobat ke dokter. Sedangkan di dunia internasional, panu
terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan sebanyak 50% di
lingkungan yang panas dan lembab di kepulauan Samoa Barat dan hanya 1,1% di
temperatur yang lebih dingin di Swedia.
2. Mortalitas/Morbiditas
Belum ada laporan/data yang menyebutkan mortalitas/morbiditas pada penderita panu.
3. Ras
Insiden panu sama pada semua ras, meskipun perubahan pigmentasi kulit tampak lebih
jelas pada orang yang berkulit lebih gelap.
4. Jenis Kelamin
Berdasarkan beberapa riset, disimpulkan bahwa tidak ada jenis kelamin yang lebih
dominan pada penderita panu.
5. Usia
Di Amerika Serikat, panu sering dijumpai pada usia 15-24 tahun, saat kelenjar sebasea
(sebaceous glands) bekerja aktif. Angka kejadian sebelum pubertas atau setelah usia 65
tahun jarang ditemukan.
Di negara-negara tropis, frekuensi usia bervariasi. Sebagian besar kasus dijumpai pada
usia 10-19 tahun di negara-negara yang lembab dan lebih hangat, seperti: Liberia dan
India. Menurut Prof.Dr.R.S.Siregar, Sp.KK(K), panu dapat menyerang hampir semua
umur, hampir di seluruh dunia.
6. Lingkungan
Keadaan basah atau berkeringat banyak, menyebabkan stratum korneum melunak
sehingga mudah dimasuki Malassezia furfur.
7. Kebersihan (hygiene)
Kurangnya kebersihan memudahkan penyebaran panu.
Etiologi

29

Malassezia furfur (dahulu dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale)


merupakan jamur lipofilik yang normalnya hidup di keratin kulit dan folikel rambut manusia saat
masa pubertas dan di luar masa itu. Alasan mengapa organisme ini menyebabkan panu, pada
beberapa orang sementara tetap sebagai flora normal pada beberapa orang lainnya, belumlah
diketahui. Beberapa faktor, seperti kebutuhan nutrisi organisme dan respon kekebalan tubuh
inang (host's immune response) terhadap organisme sangatlah signifikan.
Sebagai organisme yang lipofilik, Malassezia furfur memerlukan lemak (lipid) untuk
pertumbuhan in vitro dan in vivo. Lebih lanjut, tahap miselium dapat dirangsang in vitro dengan
penambahan kolesterol dan ester kolesterol pada medium yang tepat. Karena organisme ini lebih
cepat berkoloni/mendiami kulit manusia saat pubertas dimana lemak kulit meningkat lebih
banyak dibandingkan pada masa remaja (adolescent) dan panu bermanifestasi di area yang "kaya
minyak" atau sebum-rich areas (misalnya: di dada, punggung), variasi lemak di permukaan kulit
individu dipercaya berperan utama dalam patogenesis penyakit.
Bagaimanapun juga, penderita panu dan subjek kontrol tidak memperlihatkan perbedaan
kuantitatif atau kualitatif pada lemak di permukaan kulit. Lemak di permukaan kulit penting
untuk kelangsungan hidup M furfur pada kulit manusia normal, namun M furfur mungkin sedikit
berperan pada perkembangan (pathogenesis) panu. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
dibandingkan lemak, asam amino lebih berperan di dalam kondisi sakit (diseased state) atau
dengan kata lain sedang terkena panu. Secara in vitro, asam amino asparagin menstimulasi
pertumbuhan organisme, sedangkan asam amino lainnya, glisin, menginduksi (menyebabkan)
pembentukan hifa. Pada dua riset yang terpisah, tampak bahwa secara in vivo, kadar asam amino
meningkat pada kulit pasien yang tidak terkena panu.
Faktor kausatif lainnya yang juga signifikan adalah sistem kekebalan tubuh/imun penderita.
Meskipun sensitization melawan antigen M furfur biasa terlihat pada populasi umum
(sebagaimana dibuktikan oleh studi/riset transformasi limfosit), fungsi limfosit pada stimulasi
organisme terbukti lemah (impaired) pada penderita yang terserang panu. Hasil (outcome) ini
sama dengan situasi sensitization dengan Candida albicans. Singkatnya, kekebalan tubuh yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity) berperan pada penyebab (timbulnya) penyakit.

30

Patofisiologi
Panu disebabkan oleh organisme lipofilik dimorfik, Malassezia furfur, yang hanya dapat dikultur
pada media yang diperkaya dengan asam lemak berukuran C12- sampai C14. Malassezia furfur
atau yang juga dikenal dengan nama singkat M furfur, merupakan salah satu anggota dari flora
kulit manusia normal (normal human cutaneous flora) dan ditemukan pada bayi (infant) sebesar
18% sedangkan pada orang dewasa mencapai 90-100%. Pityrosporon orbiculare, Pityrosporon
ovale, dan Malassezia ovalis merupakan nama lain (sinonim) dari Malassezia furfur. Sebelas
spesies M furfur telah teridentifikasi, dan Malassezia globosa merupakan salah satu organisme
yang biasa ditemukan pada penderita panu. Organisme ini dapat ditemukan pada kulit yang sehat
dan pada area kulit yang terkena penyakit kulit (cutaneous disease). Pada penderita dengan
penyakit klinis, organisme ini ditemukan baik pada tingkat spora/ragi (yeast/spore stage) dan
bentuk filamentosa (hyphal).
Sebagian besar kasus panu dialami oleh orang yang sehat tanpa disertai penurunan sistem
kekebalan tubuh (immunologic deficiencies). Meskipun demikian, beberapa faktor dapat
memengaruhi beberapa orang terkena panu sekaligus memicu berubahnya bentuk (conversion)
dari ragi saprofit (saprophytic yeast) menjadi bentuk morfologis miselium, parasitik. Faktorfaktor tersebut antara lain:
1. Kecenderungan (predisposition) genetik.
2. Lingkungan yang lembab, hangat.
3. Immunosuppression.
4. Malnutrition.
5. Cushing disease.
Human

peptide

cathelicidin

LL-37

berperan

dalam

pertahanan

kulit

melawan

Malasseziaglobosa. Meskipun merupakan bagian dari flora normal, M furfur dapat juga menjadi
patogen yang oportunistik. Organisme ini dipercaya juga berperan pada penyakit kulit lainnya,
termasuk Pityrosporum folliculitis, confluent and reticulate papillomatosis, seborrheic
dermatitis, dan beberapa bentuk dermatitis atopik.

31

Sebagai tambahan, panu merupakan penyakit kulit yang tidak berbahaya (benign skin disease)
yang menyebabkan papula atau makula bersisik pada kulit. Sebagaimana namanya, tinea
versikolor, (versi berarti beberapa) kondisi yang ada dapat memicu terjadinya perubahan warna
(discoloration) pada kulit, berkisar dari putih menjadi merah menjadi coklat. Keadaan ini tidak
menular karena patogen jamur kausatif (causative fungal pathogen) merupakan penghuni normal
pada kulit.
Kulit penderita panu dapat mengalami hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Pada kasus
hipopigmentasi, inhibitor tyrosinase [hasil dari aksi/kerja inhibitor tyrosinase dari asam
dicarboxylic yang terbentuk melalui oksidasi beberapa asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty
acids) pada lemak di permukaan kulit] secara kompetitif menghambat enzim yang diperlukan
dari pembentukan pigmen melanocyte. Pada kasus panu dengan makula hiperpigmentasi,
organisme memicu pembesaran melanosom yang dibuat oleh melanosit di lapisan basal
epidermis.
Patogenesis
Perubahan bentuk Malassezia dari blastospora menjadi miselium dipengaruhi oleh berbagai
faktor predisposisi. Asam dikarboksilat, yang dibentuk oleh oksidasi enzimatis asam lemak pada
lemak di permukaan kulit, menghambat tyrosinase pada melanosit epidermis dan dengan
demikian memicu hipomelanosis. Enzim ini terdapat pada organisme (Malassezia).
Gejala Klinis
Kelainan kulit ptiriasis vesikolor sangat superfisialis dan di temukan terutama di badan. Kelainan
terlihat sebagai makula dalam berbagai ukuran dan warna, dengan kata lain terlihat sebagai
bercak-bercak berwarna-warni, berbentuk tidak teratur sampai teratur, berbatas jelas sampai
difus, ditutupi sisik halus dengan rasa gatal (ringan), atau asimtomatik (tanpa gejala atau tanpa
keluhan), dan hanya gangguan kosmetik saja.
Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksis jamur
terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita. Keluhan gatal, meskipun ringan,
merupakan salah satu alasan penderita datang berobat.
32

Panu dapat terjadi di mana saja di permukaan kulit manusia, seperti: tubuh bagian atas, lengan
atas, leher, kulit kepala yang berambut, muka/wajah, punggung, dada, perut (abdomen), ketiak
(axillae), tungkai atas, lipat paha, paha, alat kelamin (genitalia), dan bagian tubuh yang tak
tertutup pakaian.
Bentuk Panu
Bentuk 1
Gambaran atau penampilan paling umum panu adalah banyak (numerous), berbatas jelas (wellmarginated), bersisik "kecil/sempurna" (finely scaly), makula oval-bulat menyebar di batang
tubuh (trunk) dan/atau di dada, dan sesekali ada juga di bagian bawah perut, leher, dan
ekstremitas (anggota gerak) bagian proximal (dekat sumbu tubuh). Makula-makula cenderung
bergabung/menyatu, membentuk perubahan pigmen (pigmentary alteration) patches yang tidak
teratur. Sebagaimana arti istilah versicolor (versi=beberapa), maka panu memiliki karakteristik
adanya variasi warna kulit. Area kulit yang terinfeksi panu dapat menjadi lebih gelap atau lebih
terang dibandingkan dengan kulit di sekitarnya. Kondisi ini mudah dan jelas terlihat terutama
saat bulan-bulan di musim panas. Metode light scraping kulit yang terinfeksi panu dengan alat
scalpel blade akan menunjukkan banyak sekali keratin.

Panu pada dada

Bentuk 2
Bentuk kebalikan (inverse form) dari panu juga ada, dimana kondisi ini memiliki distribusi yang
berbeda sepenuhnya, melibatkan daerah lipatan kulit (flexure), wajah, atau area ekstremitas
(anggota gerak, yaitu tangan dan kaki) yang terpisah (isolated). Bentuk panu ini lebih sering
terlihat pada hosts yang immunocompromised (mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh).
Bentuk ini dapat dikacaukan dengan kandidiasis, seborrheic dermatitis, psoriasis, erythrasma,
dan infeksi dermatofita.

33

Panu pada wajah

Bentuk 3
Bentuk ketiga infeksi M furfur pada kulit melibatkan folikel rambut. Kondisi ini secara khas
berlokasi di punggung, dada, dan extremities (anggota gerak tubuh, meliputi tangan dan kaki).
Bentuk ini secara klinis sulit dibedakan dengan bacterial folliculitis. Gambaran Pityrosporum
folliculitis adalah perifollicular, pustul atau papula eritematosa. Faktor predisposisi meliputi:
diabetes, kelembaban yang tinggi, terapi antibiotik atau steroid, dan terapi immunosuppressant.
Sebagai tambahan, beberapa riset melaporkan bahwa M furfur juga berperan di dalam seborrheic
dermatitis.

Panu pada punggung

Diagnosis
Diagnosis di tegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi kulit dengan
lampu wood dan sedian langsung

Efloresensi (Gambaran Ruam atau Lesi Kulit atau Ujud Kelainan Kulit)
Makula, berbatas tegas (sharply marginated), berbentuk bundar atau oval, dan ukurannya
bervariasi. Beberapa pasien disertai Malassezia folliculitis dan dermatitis seboroik. Pada kulit
yang tidak berwarna coklat (untanned skin), lesi berwarna coklat terang. Pada kulit coklat

34

(tanned skin), lesi berwarna putih. Pada orang yang berkulit gelap, terdapat makula coklat gelap.
Beberapa lesi panu berwarna merah.
Selain itu, panu merupakan makula yang dapat hipopigmentasi, kecoklatan, keabuan, atau
kehitam-hitaman dalam berbagai ukuran, dengan skuama halus di atasnya.
Lampu wood
Sinar ultraviolet hitam (Wood) dapat digunakan untuk menunjukkan pendar (fluorescence) warna
keemasan (coppery-orange) dari panu. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus, lesi panu
terlihat lebih gelap daripada kulit yang tidak terkena panu di bawah sinar Wood, hanya saja tidak
berpendar.
Sedian langsung ( KOH )
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan potassium hydroxide (KOH), yang
menunjukkan gambaran hifa dengan cigar-butt yang pendek. Penemuan KOH tentang spora
dengan miselium pendek telah dianggap serupa dengan gambaran spaghetti and meatballs atau
bacon and eggs sebagai tanda khas panu. Untuk visualisasi yang lebih baik, gunakan pewarnaan
dengan tinta biru, tinta Parker, methylene blue stain, atau Swartz-Medrik stain dapat ditambahkan
pada persiapan atau preparat KOH.
Jadi, ciri khas panu yang ditemukan pada pemeriksaan KOH adalah gambaran hifa filamentosa
dan bentuk globose yeast, yang sering disebut: spaghetti dan meat balls, yaitu kelompok hifa
pendek yang tebalnya 3-8 mikron, dikelilingi spora berkelompok yang berukuran 1-2 mikron.
Sedangkan pada pemeriksaan dengan lampu Wood, tampak fluoresensi kuning keemasan atau
blue-green fluorescence of scales.
Pengobatan
Pasien sebaiknya diberi informasi bahwa panu disebabkan oleh jamur yang secara normal sudah
ada di permukaan kulit dan oleh karenanya tidak menular. Kondisi ini tidak meninggalkan bekas
luka (scar) permanen apapun atau perubahan pigmen, dan perubahan warna kulit akan berakhir
dalam waktu 1-2 bulan setelah perawatan dimulai. Kambuh (recurrence) biasa terjadi, dan terapi
profilaksis dapat membantu mengurangi tingginya angka kekambuhan.
35

Agen topikal yang efektif untuk mengobati panu misalnya:


1. selenium sulfide lotion, diberikan pada kulit yang terkena panu setiap hari selama
2 minggu. Biarkan obat ini di kulit selama setidaknya 10 menit sebelum dicuci. Pada
kasus yang resisten, pemberian malam hari dapat membantu.
2. sodium sulfacetamide,
3. ciclopiroxolamine,
4. azole
Topical

azole

antifungals

dapat

diaplikasikan

setiap

malam

selama

minggu

5. allylamine antifungals
Topical allylamines efektif secara mikologis dan klinis.
Terapi oral yang juga efektif untuk panu:
1. Ketoconazole
Dosis: 200-mg setiap hari selama 10 hari dan sebagai dosis tunggal 400 mg.
2. Fluconazole
Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu selama 2-4 minggu.
3. Itraconazole
Dosis: 200 mg/hari selama 7 hari.
Profilaksis
Regimen 1 tablet satu bulan ketoconazole, fluconazole, dan itraconazole telah sukses sebagai
profilaksis yang mencegah kambuh lagi.

KANDIDOSIS
Definisi
Kandidiasis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh spesies
Candida, biasanya oleh spesies Candida albicans.Dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit,
kuku, bronki, atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septikemia, endokarditis, atau
meningitis.
Sinonim
Nama lain dari Candidiasis adalah kandidosis, dan moniliasis.
36

Epidemiologi
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur terutama bayi dan orang
tua, baik laki laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai
saprofit. Gambaran klinisnya bermacam macam sehingga tidak diketahui data data
penyebarannya dengan tepat.
Etiologi
Yang tersering sebagai penyebab ialah Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut,
selaput mukosa vagina, dan feses orang normal. Sebagai penyebab endokarditis kandidosis ialah
Candida parapsilosis dan penyebab kandidosis septikemia adalah Candida tropicalis.
Klasifikasi
Berdasarkan tempat yang terkena CONANT dkk. (1971), membaginya menjadi:
-KANDIDIASIS MUKOSA meliputi:
1).kandidiasis oral (thrush)
2).perlche
3).vulvovaginitis
4).balanitis atau balanopostitis
5).kandidiasis mukokutan kronik
6).kandidiasis bronkopulmonar dan paru

-KANDIDIASIS KUTIS meliputi:


1).lokalisata yaitu daerah intertriginosa dan daerah perianal
2).generalisata
3).paronikia dan onikomikosis

37

4).kandidiasis kutis granulomatosa

-KANDIDIASIS SISTEMIK meliputi:


1).endokarditis
2).meningitis
3).pielonefritis
4).septikemia.

-REAKSI id (kandidid)

Patogenesis
Infeksi candida dapat terjadi, apabila ada factor predisposisi baik endogen maupun eksogen
Faktor endogen meliputi:
1. Perubahanfisiologikseperti:kehamilan,kegemukan,debilitas,latrogenik,endokrinopati,.pen
yakit kronik seperti:tuberkulosis,lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk.
2. Umur contohnya: orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status
imunologiknya tidak sempurna.
3. Imunologik contohnya penyakit genetik.

Faktor eksogen meliputi:


iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan respirasi meningkat, kebersihan kulit, kebiasaan
berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya
jamur, dan kontak dengan penderita misalnya pada thrush, dan balanopostitis.
38

Gejala Klinis
I kandidiasis mukosa.
A. Thrush;sering terjadi pada bayi, merupakan infeksi jamur di dalam mulut. Bercak
berwarna putih seperti membran menempel pada lidah dan pinggiran mulut. Bila
membrane tersebut diangkat tampak dasar kemerahan dan erosif.
B. Perlche:merupakan suatu infeksi Candida di sudut mulut yang menyebabkan retakan dan
sayatan kecil.lesi ini mengalami maserasi, erosi, basah dan dasar eritematosa.
C. Vulvovaginitis; sering ditemukan pada wanita hamil, penderita diabetes atau pemakai
antibiotik. Gejala utama adalah gatal di daerah vulva.untuk gejala yang berat berupa
keluarnya cairan putih atau kuning dari vagina disertai rasa panas,nyeri setelah
miksi.kelainan ini berupa bercak putih di atas mukosa yang eritematosa erosive,mulai
dari serviks sampai interoitus vagina.
D. Balanitis atau Balanopostitis: penderita mendapat infeksi karena kontak seksual dengan
wanita yang menderita vulvovaginitis.bisa juga pada pria yang tidak disunat ,dengan
glans penis selalu tertutup prepucium.lesi berupa erosi ,pustule,dengan dinding tipis
terdapat pada glans penis dan sulkus koronarius glandis.
II kandidiasis kutis
A. Kandidiasis intertriginosa: lesi di daerah lipatan tubuh,biasanya sering terjadi pada orang
yang gemuk. menyebabkan bercak kemerahan berbatas tegas,bersisik ,basah,dan
eritematosa,dengan gambaran korimbiformis.Di tengah lesi yang lebar sering terjadi
erosi.
B. Kandidiasis kuku:Sering terjadi pada orang-orang yang pekerjaannya berhubungan
dengan air.lesi berupa kemerahan,oedem,kuku menjadi tebal, keras dan berlekuklekuk.kadang berwarna kecoklatan.lesi biasanya dimulai dari bagian proksimal.

39

C. Kandidiasis gralunomatosa;kelainan yang jarang dijumpai manisfestasi klinis berupa


pembentukan granuloma yang terjadi akibat pembentukan krusta serta hipertrofi
setempat.krusta tebal warna kuning kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya.
III kandidiasis sistemik
A. Endokarditis;sering diderita oleh penderita setelah operasi jantung,juga pada penderita
morfinis akibat komplikasi penggunaan penyuntikan sendiri.
B. Meningitis;terjadi karena penyebaran hematogen jamur,gejalanya sama seperti meningitis
tuberculosis atau karena bakteri lain.

Kandidiasis kutis pada sela-sela jari

Kandidiasis mukosa

http://ashi.myweb.uga.edu

http://www.scielo.org.ve

40

Kandidiasis kutis pada lipat paha

Kandidiasis kutis pada axilla

http://www.visualdxhealth.com

http://www.med.ncku.edu.tw

Diagnosis
1. Pemeriksaan langsung: kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan
KOH 10% atau dengan pewarnaan gram, terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu.
2. Pemeriksaan biakan: bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dektrosa glukosa
Sabouraud, dapat pula agar ini dibubuhi antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37 C,
koloni tumbuh setelah 24-48 jam, berupa yeast like colony. Identifikasi Candida albicans
dilakukan dengan membiakkan tumbuhan tersebut pada corn meal agar.

Diagnosis Banding
Kandidiasis kutis dengan:
1). Eritrasma: lesi di lipatan, lesi lebih merah, batas tegas, kering tidak ada satelit, pemeriksaan
dengan sinar Wood positif berwarna merah bata.
41

2). Dermatitis kontak alergi;terdapat eritema,skuama,batas tidak tegas ada papul,vesikel


berkelompok.pada kerokan kulit dengan KOH jamur negatif.
3). Tinea kruris:eritema,dengan skuama dengan batas tegas dan tepi lebih aktif.
4).Tinea unguium:kuku rusak,rapuh,dan berwarna suram,biasa kelainannya dimulai dari distal.

Kandidiasis vulvovaginitis dengan:


1). trikomonas vaginalis,
2). gonore akut,
3). Leukoplakia,
4). liken planus.
Pengobatan
1. Topikal meliputi:
1. larutan gentian violet -1% untuk mukosa, 1-2% untuk kulit. dioleskan sehari 2 kali
selama 3 hari,
2. nistatin: berupa krim, salap, emulsi,
3. amfoterisin B,
4. grup azol antara lain:
a. Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
b. Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim
c. Tiokonazol, bufonazol, isokonazol
d. Siklopiroksolamin 1% larutan, krim.
2. Sistemik meliputi:
42

1. Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran cerna, obat ini tidak
diserap oleh usus,
2. Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidiasis sistemik.
3. Untuk kandidosis vaginalis dapat di berikan kotrimazol 500 mg per vaginam dosis
tunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol 2 x 200 mg selama 5 hari atau dengan
itrakonazol 2 x 200 mg dopsis tunggal atau dengan flukonazol 150 mg dosis tunggal.
4. Itrakonazol : bila dipakai untuk kandidosis vulvovaginalis dosis untuk orang dewasa 2 x
100 mg seharu selama 3 hari.
Prognosis
Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi.

BAB III
Kesimpulan

Dermatofitosis merupakan kelompok penyakit yang disebabkan oleh jamur dermatofit


dari tiga genus, Epidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum, yang bersifat keratinofilik
mengenai stratum korneum pada kulit, rambut dan kukuj dengan cara transmisi melalui zoofilik,
antropofilik dan geofilik.
Klasifikasi penyakit ini digolongkan berdasarkan lokasi atau ciri khusus tertentu, dan
jenis struktur keratin yang terlibat yaitu kulit, kuku dan rambut.
Terjadinya dermatofitosis melalui 3 tahap utama, yaitu perlekatan, dengan keratinosit,
penetrasi melewati dalam sel dan pembentukan respon imun. Adanya virulensi jamur,
mekanisme penghindaran, kondisi imunitas host yang lemah memudahkan infeksi dermatofit.
Mekanisme pertahanan host terhadap infeksi dermatofit terediri dari pertahanan non spesifik dan
spesifik yang melibatkan surveilan system imun.

43

Terapi yang diberikan secara umum dan khusus, umum yaitu edukasi pada pasien untuk
menghindari factor predisposisi. Pengobatan secara khusus dengan obat-obatan anti jamur baik
secara sistemik maupun topikal

DAFTAR PUSTAKA
1. Adiguna, MS. 2001. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Dermatomikosis
superfisialis. Jakarta: Balai Pustaka FKUI.
2. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kealmin. Edisi kelima. Jakarta Balai Penerbit FKUI;2007.h.89-105.
3. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam: Budimulya U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis Superfisialis.
Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004 h.7-18.
4. Kurniati, Rosita C. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin.

Vol.

20

No.

Desember

2008;

243-50.

Available

at:

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/BIKKK_vol%2020%20no%203_des
%202008_Acc_3.pdf . Accessed on 23th May 2016.

44

You might also like