Professional Documents
Culture Documents
Dua ayat Al-Quran memainkan peran penting dalam membangun suatu hubungan antara
astronomi dan Islam. Pertama, menyebutkan bahwa tahun terdiri dari dua belas bulan, empat di
antaranya ditetapkan sebagai bulan suci (QS. 9:36); kedua, (QS. 2:149-50) mengubah arah kiblat
dari Yerusalem ke arah Kabah di Makkah, umat Islam membutuhkan arah ini untuk doa-doa
ritual dan tindakan tertentu ibadah lainnya. Perintah Al-Quran untuk menetapkan shalat dan doadoa ritual pada waktu tertentu juga menyebabkan pengembangan cabang khusus astronomi
agama yang disebut ilm almiqat, yaitu ilmu pengetahuan yang berurusan dengan tiga aspek
berbeda yang membutuhkan solusi astronomi: arah kiblat, penentuan waktu untuk shalat, dan
visibilitas bulan baru. Kita memiliki definisi yang tepat mengenai ilmu tersebut dari seorang
sarjana Mesir abad keempat belas bernama Ibn Al-Akfani seorang penulis ensiklopedia dan
beberapa karya mengenai pengobatan. Dia menyatakan:
Ilmu ketepatan waktu astronomi adalah cabang pengetahuan untuk menentukan waktu siang dan
malam, serta lama dan variasinya. Penggunaannya dalam menentukan waktu dan arah ketika
shalat, serta mencari sudut kemiringan dari bintang-bintang. Ilmu ini juga bersangkutan dengan
panjang bayangan dan ketinggian benda langit, dan orientasi kota dari kota lainnya. (King,
2004:648)
Awalnya metode perkiraan berdasarkan astronomi umum yang digunakan untuk menentukan
arah dan waktu shalat. Metode-metode astronomi ini mengamati fenomena arah angin, posisi
bintang, dan sejenisnya dengan mata telanjang. Tapi ketika penelitian astronomi berkembang,
metode yang lebih canggih mulai ditemukan. Pada pertengahan abad kesembilan, astronomi
yang suci telah sepenuhnya mapan. Banyak ilmuwan memberikan kontribusi terhadap
perkembangan ilmu ini. Di antara mereka adalah Al-Khawarizmi (w. 847) dan Al-Battani (w.
929) yang membuat lembaga khusus untuk mengusulkan metode tabel baru berdasarkan
perbedaan busur antara Makkah dan tempat tertentu. Deskripsi Al-Battani tentang astronomi
memberikan wawasan tinggi di mana cabang ilmu ini didirikan oleh Muslim. Pada awal buku Zij
alSabi:
memungkinkan untuk menentukan lama tahun, bulan, perbedaan waktu, musim, lama siang dan
malam, posisi matahari dan bulan serta gerhana, pergerakan planet-planet dan pergantian bentuk
serta penataan lingkungan mereka; dan ia menegaskan bahwa Muslim harus memimpin
masyarakat dengan mencerminkan kedalaman pengetahuan untuk bukti ke-Maha Esa-an Tuhan,
memahami keagungan-Nya, kebijaksanaan-Nya, kekuasaan-Nya yang tak terbatas, dan dalam
usaha menangkap keunggulan tindakan-Nya (Sayili, 1960:15-16).
Perkembangan selanjutnya dalam bidang ini dipimpin oleh ilmuwan seperti Habash Al-Hasib (w.
864), Al-Nayrizi (w. 922), dan Ibn Al-Haytham (w. 1040). Al-Biruni (w. 1050) sendiri
menggunakan trigonometri sperik (bola) untuk memberikan solusi. Selama abad ketiga belas,
formulasi baru muncul atas nama karya astronom bernama Abu Ali Al-Marrakushi (1281),
metodenya digunakan oleh Muwaqqit Damaskus bernama Al-Khalili (1365) untuk menghitung
tabel kiblat yang sangat berkembang dan akurat (Samso, 2001).
Penelitian astronomi maupun disiplin ilmu yang diperlukan untuk penelitian astronomi
(matematika, trigonometri, dll) berhubungan langsung dengan Islam karena hal itu dibutuhkan
masyarakat, tetapi penelitian-penelitian ini selain bertujuan sebagai fungsi penting astronomi
juga sebagai pengembangan seluruh dunia Muslim. Sebuah hubungan tampilan peta dunia dari
bahan kuningan dengan berbagai penempatan garis horisontal dan vertikal. Ini adalah suatu seni
yang membutuhkan pengetahuan canggih pada matematika dan geometri. Penemuan dua peta
dunia untuk menemukan arah dan jarak ke Makkah telah membantu mendorong penanggalan
sebagai penurunan ilmu pengetahuan di luar perkiraan awal dalam peradaban Islam. Kedua peta
tersebut terukir pada piringan bundar dan diyakini telah dibuat pada pertengahan kedua abad
ketujuh belas (King, 1999:199).
Bidang astronomi juga menyebabkan perkembangan tabel miqat yang dihitung berdasarkan
koordinat suatu tempat tertentu. Salah satu tabel miqat paling awal adalah buah karya dari Ibn
Yunus (w. 1009) yang banyak yang digunakan di Kairo sampai abad kesembilan belas (Samso,
2001:212). Pada pertengahan abad kedua belas, sebagian besar kota memiliki tabel miqat resmi
dan di kota-kota besar khususnya. Ibn Al-Shatir (w. 1375) telah mendirikan kantor khusus di
Damaskus. Standar ketiga dari masalah miqat berupa prediksi visibilitas bentuk bulan yang
menentukan awal bulan Islam merupakan fokus perhatian astronom Muslim dan tetap menjadi
minat khusus sampai sekarang. Kita memiliki sejarah yang di dalamnya memperlihatkan
kecemerlangan para astronom Muslim dalam hal kesungguhan mendalami astronomi Islam. Hal
ini terlihat dalam surat Ghiyath Al-Din Jamshid Masud Al-Kashi kepada ayahnya yang ditulis
Al-Kashi memulai suratnya dengan bersyukur kepada Tuhan atas banyak nikmat dan berkah,
kemudian meminta maaf kepada ayahnya karena tidak memberitahu sebelumnya. Dia merasa
asyik dengan kegiatan observatorium dan memberitahukan bahwa telah diterima oleh Ulugh
Beg, seorang penguasa yang ia gambarkan sebagai sangat memahami Al-Quran, tata bahasa
Arab, logika, dan ilmu matematika. Dia menceritakan sebuah anekdot tentang Ulugh Beg; suatu
hari ketika berkuda, ia menghitung posisi matahari secara tepat. Dia kemudian menceritakan
kepada ayahnya bahwa setibanya di sana ia diuji oleh lebih dari enam puluh matematikawan dan
astronom yang sudah bekerja di Samarkand di kompleks Ulugh Beg. Dia diminta untuk
mengajukan metode menentukan proyeksi 1022 gugusan bintang tetap dalam satuan diameter
astrolabe; untuk menentukan bayangan kemiringan dinding oleh bagian paralelogram tertentu;
dan untuk menemukan jari-jari permukaan bumi dalam derajat busur dari seorang pria yang
tingginya tiga setengah hasta. Al-Kashi memberitahu ayahnya bahwa semuanya dapat
diselesaikan dengan tanpa banyak kesulitan karena saling menghormati dan menjaga
kehormatan (Kennedy, 1960:3-4).
Selain astronomi matematis dan tradisi miqat, astronomi Islam juga telah meninggalkan warisan
yang kaya mengenai observatorium dan instrumen astronomi. Observatorium, rumah sakit,
madrasah, dan perpustakaan umum merupakan empat lembaga yang menjadi karakteristik
peradaban Islam. Observatorium telah dibangun oleh kaum Muslim selama periode Umayyah
(661-750). Kita memiliki informasi yang pasti mengenai suatu program sistematis dari
pengamatan astronomi pada masa Al-Makmun yang merupakan pelindung dari penelitian ini
pada kuartal Shamsiyyah di Baghdad (828-829) dan pada Biara Dayr Murran di Gunung Qasiyun
di Damaskus (831-832) (Sayili, 1960:50-56).
Penelitian astronomi paling maju dalam tradisi ilmiah Islam telah dilakukan pada Maragha di
Iran Barat antara pertengahan abad ketiga belas dan keempat belasperiode yang disebut
Golden Age dari astronomi Islam (Saliba, 1994:252). Pekerjaan teramat penting telah
dilakukan oleh empat astronom, yaitu Muayyad Al-Din Al-Urdi (w. 1266), Nasir Al-Din Al-Tusi
(w. 1274), Quthb Al-Din Al-Syirazi (w. 1311), dan Ibn Al-Shatir (w. 1375). Mereka mendirikan
Sekolah Maragha (Roberts, 1966) dan melanjutkan tradisi kritik terhadap karya Ptolemeus
yang dimulai pada awal abad kesebelas. Karya dari Sekolah Maragha bersifat revolusioner dalam
sejarah astronomi dan membuka jalan bagi perombakan total model Ptolemeus. Ptolemeus
menggambarkan pergerakan planet-planet termasuk matahari dan Bulan pada bidang episiklik
dalam ketebalan bidang lain yang ia sebut deferent. Dia mewakili bidang ini dengan lingkaran.
Ibn Al-Haytham (w. 1048) dan Abu Ubaid Al-Juzjani (w. 1070) melihat beberapa kontradiksi
dalam model alam semesta Ptolemeus. Ibnu Al-Haytham mencatat dalam karya monumentalnya
alShukuk ala Batlamyus (Doubts Concerning Ptolemy) bahwa kita tidak dapat mengasumsikan
ada sebuah bola dalam fisik alam semesta yang akan bergerak secara seragam di sekitar sumbu
tanpa melewati pusatnya (Saliba, 1994:251). Dia menunjukkan bahwa model Ptolemeus telah
melanggar langsung prinsip ini. Ibn Al-Haytham menyimpulkan bahwa deskripsi Ptolemeus
tidak bisa menjadi gambaran sejati dari semesta fisik dan oleh karenanya harus ditinggalkan
untuk mendapatkan model yang lebih baik.
Tradisi pemeriksaan secara kritis terhadap model Ptolemeus selanjutnya terjadi di bagian barat
dunia Islam dengan kontribusi penting dari astronom Andalusia seperti Al-Bitruji (1200), Ibn
Rusyd (w. 1198), dan Jabir bin Aflah (1200). Namun, di Maragha terjadi perubahan revolusioner
pada tahun 1957 sebagaimana ditunjukkan Victor Roberts pada tahun 1957 mengenai model
pergerakan bulan oleh Ibnu Al-Shatir (w. 1375) yang identik dengan Copernicus (1473-1543).
Banyak sejarawan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa Copernicus pada dasarnya
menggunakan karya astronom Muslim, meskipun rute transmisi ini masih belum jelas (Kennedy.
et al., 1983). Pertanyaannya itu bukan apakah, tapi kapan, di mana, dan dalam bentuk apa dia
[Copernicus] belajar teori Maragha (Saliba, 1994:255). Karya-karya sejarawan mengenai
sekolah Maragha telah merevolusi pemahaman kita tentang sifat tradisi ilmiah Islam.
Selain fungsi manfaat dalam bidang agama, astronomi juga digunakan oleh astrolog yang
umumnya dikutuk karena mereka mengklaim memiliki pengetahuan tentang peristiwa masa
depan. Klaim ini bertentangan dengan Al-Quran yang mengajarkan bahwa hanya Tuhan pemilik
pengetahuan tentang masa depan (QS.27:64). Oleh sebab itu, klaim astrolog tersebut sebagai
bentuk klaim terhadap pengetahuan Tuhan. Selain Al-Quran, banyak juga perkataan Nabi yang
mengutuk tentang ilmu perbintangan dan gerakannya sebagai sumber kekayaan atau kemalangan
seseorang, dan hal ini menyebabkan ilmuwan Muslim mengembangkan kritik terhadap astrologi.
Meskipun begitu, astrologi tetap populer di kalangan penguasa dan elit, kadang-kadang hal ini
menyebabkan ketegangan atas ilmu astronomi. Hal ini mungkin telah menjadi penyebab
penutupan observatorium Istanbul, tetapi ada juga motif politis yang lain di balik insiden itu.
Instrumen lainnya yang dikembangkan atau ditingkatkan oleh Muslim termasuk lingkup model
semesta, pertama kali dijelaskan oleh Ptolemeus namun tampaknya dibangun oleh Muslim.
Variasi pada instrumen ini dilakukan di observatorium Maragha yang memiliki lima cincin dan
instrumen pengukur sudut dari enam cincin. Hal ini meningkatkan kenyamanan pengguna tanpa
mengurangi akurasinya.
Komputer analog yang paling penting digunakan umat Islam adalah astrolabe. Berasal dari praIslam, tetapi berkelanjutan dan mendapat fokus perhatian umat Islam yang penggunaannya
disempurnakan dan membuat banyak perbaikan dalam desainnya. Kemampuan peradaban Islam
yang sempurna itu diwariskan, kata Oliver Hoare, dan sebuah berkah yang cantik diungkapkan
dari astrolabe (King, 1999:17). Sebuah deskripsi singkat dan kegunaan dari alat ini mungkin
membantu.
Astrolabe adalah sebuah representasi dua dimensi dari tiga dimensi bola langit. Jaringan
anatomis berupa fondasi berbagai bintang terang dan lingkaran yang mewakili ekliptikabagian
surgawi dari instrumenbisa memutar melalui salah satu dari serangkaian piringan lintang
spesifikini menjadi bagian darat dari instrumenditandai dengan cakrawala dan meridian
yang disertai ketinggian dan kurva azimut. Peninjauan perangkat pada belakang instrumen
memungkinkan seseorang untuk mengukur ketinggian matahari atau bintang apa pun; kemudian
menempatkan tanda yang sesuai pada jaringan anatomis di atas sesuai ketinggian lingkaran pada
plat untuk lintang tersebut. Instrumen kemudian menunjukkan konfigurasi langit sehubungan
dengan cakrawala lokal (King, 1999:18-19).
Astrolabe digunakan di dunia Muslim pada awal masa Al-Fazari yang meninggal pada tahun
777. Pada akhir abad kedelapan, pembuatan Astrolabe telah menjadi seni penting dalam dunia
Islam. Di antara para penulis terkenal yang menulis risalah tentang astrolabe adalah AlMarwarrudhi dan muridnya Ali bin Isa yang dijuluki Al-Asturlabi. Al-Khawarizmi juga telah
menghasilkan suatu ringkasan dari masalah yang dapat dikerjakan dengan astrolabe dan sebuah
risalah pengembangannya (Dizer, 2001:257). Sejarah astrolabe selanjutnya merupakan cerita
menarik dari koordinasi dan penggabungan berbagai seni dan kerajinan Islam yang sesuai
dengan kebutuhan praktis astronomi. Astrolabe yang semakin canggih banyak dibuat dari kayu,
kuningan, dan logam lain yang berada di berbagai koleksi seluruh dunia. Menunggu studi yang
tepat selanjutnya (King, 1999:17).
SUMBER : https://isepmalik.wordpress.com/2011/02/05/fase-fase-hubungan-islamdan-sains-astronomi/
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2016 pukul 21.02, di download pada tanggal 4
Oktober 2016 pukul 21.02
dikagumi. Al-Farghani merupakan salah seorang ahli astronomi pada masa Khalifah
Al-Ma'mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan mengenai teori
matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu. Kitabnya yang paling
populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Al-Zarqali (1029-1087 M)
Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan
pada setem di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap
penciptaan astrolabe yang lebih baik. Ia telah menciptakan jadwal Toledan dan juga
merupakan seorang ahli yang menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama
Safiha.
Jabir Ibn Aflah (1145 M)
Sejatinya Jabir Ibnu Aflah atau Geber adalah seorang ahli matematika Islam
berbangsa Spanyol. Namun, Jabir pun ikut memberi warna dan kontribusi dalam
pengembangan ilmu astronomi. Geber, begitu orang barat menyebutnya, adalah
ilmuwan pertama yang menciptakan sfera cakrawala mudah dipindahkan untuk
mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan objek langit. Salah satu
karyanya yang populer adalah Kitab Al-Hay'ah.
SUMBER : http://khazanah.republika.co.id/berita/duniaislam/khazanah/12/02/13/lzc8lh-astronomi-islam-menguak-rahasia-langit-3
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2016 pukul 21.05, dan di download pada tanggal 4
Oktober 2016 pukul 21.07
HUBUNGAN ANTARA ISLAM,SAINS,ASTRONOMI DAN KA'BAH
Sinkronisasi Antara Al-Qur'an dan Sains Tentang Keajaiban Mekkah danKa'bah
Firman Allah Ta'ala yang artinya: "Allah telah menjadikan Ka'bah, rumahsuci itu
sebagai pusat bagi manusia." (Surah Maa'idah: 97) "Neil Amstrong telah
membuktikan bahwa kota Mekah yang terletak Ka'bah adalah pusat ke planet
Bumi." Sebenarnya di dalam Al-Qur'an terlebih dahulu membicarakan hal ini,
sebagai hamba Allah yang diberikan akal pikiran perlu meneliti dan berpikir dibalik
rahasia-rahasia
yang terkandung didalam ayat-ayat suci Al-Quran Al-Karim. Firman
Allah:"Demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Quran dalam bahasa Arab supaya
kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan sekalian
penduduk dunia di sekelilingnya (negeri-negeri di sekitarnya)." (Asy-Syura: 7) Kata
"Ummul Qura" berarti induk bagi kota-kota lain, dan kota-kota di sekelilingnya,
menunjukkan Mekah adalah pusat untuk kota-kota lain, dan yang lain hanyalah
berada di sekelilingnya. Lebih dari itu, kata "ummu" (ibu) memiliki arti yang cukup
penting dan luas di dalam peradaban Islam. Sebagaimana seorang ibu adalah
sumber dari keturunan, maka Makkah juga merupakan sumber dari semua negeri
lain serta keunggulan di atas semua kota. Allah berfirman yang artinya: "Wahai jin
dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi,
maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (ilmu
pengetahuan)." (Ar-Rahman: 33) Kata "aqthar" adalah bentuk jamak dari kata "qutr"
yang berarti diameter, dan ia mengacu pada langit dan bumi yang memiliki banyak
diameter. Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa diameter lapisan-lapisan
langit itu di atas diameter bumi (tujuh lempengan bumi). Jika Makkah berada di
tengah-tengah bumi, dengan itu berarti bahwa Makkah juga berada di tengahtengah lapisan-lapisan langit. Selain itu ada hadits yang menjelaskan bahwa Masjidil
Haram di Mekah, tempat Ka'bah berada itu ada di tengah-tengah tujuh lapisan
langit dan tujuh lapisan yang membentuk bumi. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Wahai orang-orang Mekkah, wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian
berada di bawah pertengahan langit."
Berdasarkan penelitian di atas, bahwa Mekah berada pada tengah-tengah bumi
(pusat dunia), maka benar-benar diyakini bahwa Kota Suci Makkah, bukan
Greenwich, yang seharusnya dijadikan rujukan waktu dunia. - (Dikutip dari
Eramuslim "Makkah Sebagai Pusat Bumi" Oleh Dr. Mohamad Daudah)
Neil Amstrong membuktikan bahwa kota Mekah yang terletak Ka'bah adalah pusat
ke planet Bumi, sedangkan Al-Quran sejak 1400 tahun yang lalu telah berbicara
mengenai kota Mekah dan Ka'bah adalah pusat bumi ini. Ketika kali pertama Neil
Amstrong melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet
Bumi, dia berkata, "Planet Bumi ternyata bertumpu di area yang sangat gelap, dan
di manakah ia berbasis?." Fakta ini telah diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah.
Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan satu radiasi,
secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayangnya 21 hari
kemudian website tersebut hilang dan seperti ada alasan tersembunyi dibalik
penghapusan lama web tersebut. Setelah melakukan penelitian lebih lanjut,
ternyatalah radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, dan tepatnya berasal dari
Ka'bah. Yang
mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite (tidak berakhir). Hal ini terbukti
ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut. Para
peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan
menghubungkan antara Ka'Bah di planet Bumi dengan
Ka'bah di alam akhirat.Zero Magnetism Area Di tengah-tengah antara kutub utara
dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama 'Zero Magnetism Area', di mana
apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut
tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besar antara kedua
kutub . Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Mekah, maka dia akan hidup
lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan
gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka'bah, maka seakan-akan diri
kita diisi oleh suatu energi misterius yang
menyebabkan kita bertenaga ketika mengelilingi Ka'bah dan ini adalah fakta yang
telah dibuktikan secara ilmiah. Penelitian lainnya menyatakan bahwa batu Hajar
Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah
museum di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut (dari Ka'bah) dan
seseorang yang berniat untuk mempelajari astrologi tidak perlu mempunyai indra
keenam dan kekuatan ghoib seperti yang orang sebut kekuatan supranatural.
Di masyarakat luas, pandangan tentang astrologi umumnya selalu
dikaitkan dengan ramalan, namun para astrolog sendiri lebih suka menyebutnya
sebagai perkiraan atau prediksi. Sebagaimana ilmuwan memprediksikan cuaca atau
seorang pialang saham memperkirakan nilai saham, demikian pula para astrolog
berupaya memperkirakan peristiwa-peristiwa apa yang bakal terjadi di masa
mendatang.
Bedanya
hanya
basis
data
yang
dipergunakan.
Ilmuwan
astrolog
menggunakan
letak
benda-benda
langit
sebagai
acuan
penelaahannya.
Astrologi itu sebenarnya tidak
berhubungan
dengan
dunia mistik.
Pembuatan peta langit astrologis tidak didasari oleh ilmu ghaib, tetapi melalui
serangkaian perhitungan matematis dan astronomis yang rumit. Para astrolog
semenjak zaman ribuan tahun yang lampau telah melakukan pengamatan terhadap
posisi relatif benda-benda langit satu sama lain.
Astrologi bukanlah sains murni, tetapi ia merupakan perpaduan antara
ilmu pengetahuan, seni dan filosofi. Astrologi ini mempelajari tentang pengaruh
sitem tata surya pada beragam bentuk kehidupan dan efeknya pada manusia dan
yang berkaitan dengan bumi. Astrologi juga memberikan panduan pada semua
aspek
kehidupan,
harmonisasi
pikiran,
tubuh,
jiwa.
Astrologi
memudahkan
Astronomi juga berbeda dengan astrologi dari segi konsepsi grand theory.
Teori astrologi bernuansa geosentrisme-anthromorfisme. Di sini bumi dipandang
sebagai pusat dari alam semesta, dan benda-benda langit yang mengitari bumi
masing-masing memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang hidup di
bumi. Teori itu dalam perkembangan selanjutnya disanggah oleh Coppernicus yang
mengetengahkan konsep bahwa bumilah yang sesungguhnya mengelilingi matahari
dan mataharilah yang menjadi pusat alam semesta. Teori Copernicus yang disebut
heliosentrisme mematahkan anggapan yang bertahan selama berabad-abad.
Inilah tonggak berdirinya ilmu astronomi yang kemudian disambut oleh
masyarakat sedunia. Meskipun sebenarnya teori geosentrisme masih ada dianut
oleh berbagai kalangan secara minoritas. Yang ingi penulis kemukakan di sini adalah
bahwa Ilmu astrologi memberikan sumbangsih yang besar kepada perkembangan
ilmu alam dan menginspirasi ilmuwan besar seperti Pythagoras, Plato, Aristotle,
Galen, Paracelsus, Girolamo Cardan, Nicholas Copernicus, sehingga pada gilirannya
melahirkan para astronom besar seperti Galileo Galilei, Tycho Brahe, Johannes
Kepler, Carl Jung dan lain sebagainya.
Dewasa ini astronomi berkembang menjadi cabang sains yang bukan
hanya mengkaji posisi dan pergerakan benda-benda langit, tetapi juga fisis dan
evolusinya. Perkembangannya demikian pesat yang menimbulkan lahirnya cabangcabang baru, misalnya astrofisika (menitikberatkan pada segi struktur dan
komposisi fisis, bukan lagi posisi dan pergerakan benda langit), kosmogoni
(menitikberatkan
pada
asal-usul
dan
evolusi
tata
surya),
kosmologi
(menitikberatkan pada asal-usul dan evolusi alam semesta), dan yang baru adalah
bioastronomi (menitik beratkan kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi). Teoriteorinya senantiasa diperbarui bila ada bukti-bukti lain yang menyempurnakan atau
menggugurkan teori semula. Melalui astronomi, manusia mencoba mendeskripsikan
apa dan bagaimana proses fenomena alam bisa terjadi dalam konteks eksperimen
dan pengamatan, dengan parameter yang bisa diamati dan diukur, yang bisa benar
bisa pula salah. Agama memperluas lagi spektrum makna alam semesta bagi
manusia tentang kehadiran benda-benda alam semesta
Dengan demikian astrologi dan astronomi merupakan sebuah rangkaian
perkembangan peradaban manusia yang perlu dilihat secara utuh, meskipun
keduanya kini telah bercerai disimpang jalan. Mempelajari astrologi dan pembacaan
horoskop tidaklah selalu merugikan dan harus dituding sebagai barang haram,
sebab di balik itu semua ilmu astrologi menyimpan rahasia-rahasia dunia yang tak
terjawab oleh astronomi, yang menanti untuk dikuak oleh manusia. Terlepas dari
benar tidaknya anggapan bahwa astrologi adalah mitos, namun manusia secara
nature tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari mitos. Sejarah membuktikan
betapa mitos diperlukan oleh manusia sebagai jawaban sementara sebelum sains.
Mitos pula yang menggugah rasa ingin tahu manusia dengan hasrat yang begitu
besar.
Ilmu Falak
Falak merupakan istilah arab ( )yang diserap dari bahasa Babilonia
yaitu fulukku yang berarti edar. Dalam berbagai literatur objek kajian falak
sebenarnya sama dengan objek kajian astronomi, yakni benda-benda langit,
termasuk dalam pembahasannya adalah keadaan benda langit, ukuran, jarak,
posisi, gerak edar dan berbagai efek yang diakibatkan dari pola hubungan antar
benda-benda langit tersebut, seperti gerhana. Dengan demikian menurut hemat
penulis kajian ilmu falak pada dasarnya amat luas, sehingga dapat disamakan
dengan kajian astronomi dan idealnya tidak perlu ada dikotomi antara astronomi
dan ilmu falak, hanya saja dewasa ini di dunia Islam terminologi ilmu falak
dipergunakan terbatas untuk keperluan ibadah seperti menentukan arah kiblat,
waktu salat, puasa dan hari raya. Mengacu pada kenyataan dan praktik yang
demikian maka dapat dimaknai bahwa falak merupakan astronomi spesifik dalam
ruang lingkup kajian yang lebih sempit.
Dewasa ini, ruang lingkup kajian falak yang sempit perlu dikembalikan
pada kedudukannya sebagai disiplin keilmuan yang sejajar dengan astronomi
dengan obyek kajian dan terminologi tidak terbatas seperti sekarang ini. Para
astronom muslim di masa lalu tidak membatasi ruang lingkup kajiannya pada bumi,
matahari dan bulan yang tujuannya untuk kepentingan ibadah semata, tetapi
mereka melakukan pengamatan dan penelitian benda-benda angkasa luar yang
lebih luas lagi, berkaitan juga dengan teori-teori eksak dan alat-alat teknologi ruang
angkasa. Salah seorang tokoh ilmu falak yang sangat berpengaruh di dunia Islam
adalah al-Khawarizmi dengan karyanya al-Mughtashar fi Hisab al-jabr Wa al-
http://gardabala.blogspot.co.id/2013/01/hubungan-antara-astronomi-
astrologi-dan.html
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2016 pukul 21.28, dan di download pada tanggal 4
Oktober 2016 pukul 21.29
Peradaban (bangsa) Sumeria yang telah muncul sekitar tahun 4500 SM diduga
sebagai cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan terkhusus kajian Astronomi-Astrologi
bagi peradaban sesudahnya. Peradaban Babilonia (Iraq Selatan) adalah lanjutan
peradaban Sumeria tersebut yang punya pengaruh yang sangat kuat. Orang-orang
Babilonia dikenal hobi dengan ilmu eksperimental, membuat peradaban ini
bertahan dan berkembang dalam sejarah. Sumbangsih besar, sekaligus masalah
besar Babilonia yang telah mengakar hingga saat ini adalah Astrologi. Astrologi lahir
sekitar 2000 tahun SM di Lembah Mesopotamia (diantara sungai Eufrat dan Tigris).
Dapat dibayangkan, langit yang begemerlapan oleh ribuan bintang-bintang dengan
ketiadaan lampu taman dan kota ketika itu, tentunya sangat inspiratif untuk para
Astrolog dan pendeta Babilonia, mereka mengamati dan memandang sekaligus
meramal kejadian dilangit, mereka beranggapan bahwa setiap gerak benda-benda
dilangit adalah pesan dari penguasa alam yang harus diterjemahkan. Ramalan yang
pada mulanya diperuntukkan untuk raja dan negara, tetapi juga merembes untuk
meramal kehidupan sehari-hari orang biasa. Kenapa demikian? Karena Astrologi
bicara tentang manusia sehari-hari dengan segala kemungkinan suka dan dukanya.
Namun, sejauh mana kita merelakan peruntungan pada benda-benda angkasa
tersebut?, atau, apakah Islam melegalisir aktifitas ini !
Astronomi dengan Astrologi sangatlah berbeda, meski kedua-duanya sama, sama
dalam menerjemahkan alam raya (langit), keduanya memang tidak lepas dari
pemaknaaan benda-benda langit. Astrologi mempelajari hubungan kedudukan rasi
bintang (zodiak), planet, matahari dan bulan terhadap karakter dan nasib
seseorang. Sementara Astronomi tidak hanya mempelajari planet, matahari, bulan,
bintang, tapi juga galaksi, black hole, pulsar, dan benda-benda angkasa lainnya.
Astronomi mempelajari alam secara fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya.
Sehingga kesimpulannya bahwa benda-benda di atas sana adalah benda langit,
bukan dewa-dewi atau makhluk luar biasa.
Dimasa peradaban Babilonia, telah muncul tabel-tabel peredaran benda-benda
langit, penyiapan kalender pergantian musim dan perubahan wajah bulan,
pemetaaan langit, dan peramalan terjadinya Gerhana yang merupakan embrio
Astronomi modern. Sumbangsih penting lain dari peradaban ini adalah, bangsa
Babilonia menetapkan sebuah lingkaran menjadi 360 derajat, berdasarkan itu juga,
Babilonia menjadikan keadaan bumi (muhith al ardh/muhith al falak) 360 derajat.
Dan lagi, Babilonia telah menetapkan satu hari = 24 jam, satu jam = 60 menit dan
satu menit = 60 detik.
Sementara itu, peradaban Mesir kuno punya segudang talenta sejarah yang
panjang nan banyak memenuhi halaman buku-buku sejarah. Khusus dalam kaitan
kajian perbintangan, Mesir kuno memang tidak punya begitu banyak perhatian
terhadap observasi Gerhana dan gerakan bulan dan planet-planet lainnya, namun
peradaban Mesir kuno punya kepercayaan yang mengakar dalam penanggalan.
Melalui rutinitas banjir sungai Nil setiap tahun yang selalu bertepatan dengan
munculnya bintang Sirius (najm syi'ry yamany) dibagian timur pada malam bulan
musim panas sekitar tanggal 19 Tamuz / ( Juli) dan mulai bersinar diakhir bulan
Ab / ( Agustus). Karena munculnya bintang ini selalu bersamaan dengan
datangnya banjir sungai Nil setiap tahun, Mesir kuno menjadikan fenomena alam ini
sebagai dasar penanggalan yang terus digunakan hingga saat ini. Diperadaban ini
juga, Mesir kuno telah mengenal dan menciptakan jam matahari (mizwalah) yang
muncul lebih kurang tahun 1500 SM.
Peradaban China, tak kalah besar pengaruhya dengan peradaban lainnya,
diperadaban ini telah ada perhitungan gerak benda-benda angkasa seperti
menghitung terjadinya gerhana seperti dipelopori oleh Konfusius (w. abad V SM).
Dimasa ini telah ada pula sistem penanggalan dengan segala plus-minusnya,
diduga pula, bangsa China kuno telah dan pernah melakukan pengkajianperhitungan terhadap Nova dan Supernova. Astronom China silam, Shi Shen, konon
sudah berhasil menyususn katalog bintang-bintang yang sangat boleh jadi sebagai
katalog 'tertua' yang terdiri 800 entri pada tahun 350 SM.
Peradaban Persia, berada pada urutan kedua setelah India dalam pengaruhnya
dalam Islam, peradaban ini juga mengambil (belajar) dari peradaban India
disamping peradaban lainnya. Namun demikian, pengaruh peradaban Persia
tetaplah signifikan, terbukti dipemerintahan Abbasiyah masa Al Manshur ia
mengumpulkan pembesar-pembesar ahli perbintangan Persia untuk berdiskusi
seperti Nubekht al Farisy (w.326 H), Umar bin al Farkhan (w. 200 H), Ibrahim al
Fazzary (w...?), dll.
Diantara istilah falak Persia yang terus dipakai dalam Islam hingga saat ini antara
lain; zayj (zig), awj (Aphelion), dll. Sementara buku-buku falak bahasa Persia yang
banyak mendapat perhatian Arab Islam antara lain; dan yang
merupakan ephemiris (Zig) yang cukup masyhur ketika itu. Berikutnya Al
Khawarizmi (w.232 H) juga membuat Zig-nya (Ta'adil al Kawakib) dalam corak
mazhab Persia, demikian lagi Abu Ma'syar al Falaky (w.272 H), dll. Buku-buku falak
Persia yang dinukil kedalam bahasa Arab antara lain buku " " yang
dinisbahkan pada , dan "Shuwar al Wujuh" karya .
Peradaban Yunani
Seperti disebut diatas, pengamatan fenomena jagad raya telah dilakukan sejak
dahulu kala oleh orang-orang peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, dll. Namun
Astronomi sebagai ilmu pengetahuan baru berkembang pada peradaban Yunani
pada abad ke-6 SM. Adalah Thales diduga sebagai yang memelopori ilmu Astronomi
klasik di Yunani. Ia berpendapat bahwa Bumi merupakan sebuah dataran yang luas.
Di waktu yang sama, Phytagoras melontarkan pendapat yang berbeda dengan
Thales, menurut Phytagoras, bentuk bumi adalah bulat, meski belum didukung
banyak bukti.
Terobosan Astronomi lainnya dilakukan oleh Aristarchus (w.250 SM) di abad 3 SM.
Ia berpendapat, Bumi bukan pusat alam semesta. Ia mengungkap bahwa bumi
berputar dan beredar mengelilingi matahari (Heliosentris). Walaupun teori tersebut
akhirnya terbukti benar, tapi saat itu tidak banyak yang mendukungnya. Justeru
yang didukung adalah teori yang dilontarkan oleh Hiparchus ( tahun 190 125
SM.). Ia menyatakan bahwa Bumi itu diam, dan matahari, bulan, serta planet-planet
lain mengelilingi bumi (Geosentris). Sistem Geosentris ini disempurnakan sekaligus
populerkan lagi oleh Cladius Ptolomeus (w.160 M) dan lebih dikenal sebagai Sistem
Ptolomeus yang terekam dalam maha karyanya Almagest, yang menjadi buku
pedoman Astronomi hingga dimasa awal abad pertengahan selama berabad-abad.
Sekitar tiga belas abad kemudian, sistem Geosentris runtuh oleh Nicholas
Copernicus (w.1543 M) di tahun 1512. Ia menuturkan, planet dan bintang bergerak
mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da'iry). Johanes Kepler (w.1630 M)
mendukung gagasan itu di tahun 1609 melalui teorinya bahwa matahari adalah
pusat tata surya, Kepler juga memperbaiki orbit planet menjadi bentuk elips (ihlijy)
yang dikenal dengan tiga hukum Kepler-nya. Di tahun yang sama, Galileo Galilei
Rekonstruksi Fakta
Setiap kali bicara tentang orbit benda-benda langit, kita pasti akan bersentuhan
dengan hukum Kepler. Hukum ini digagas oleh Johannes Kepler pada awal abad ke15 M. Kepler mendasarkan hukumnya berdasarkan data yang dikumpulkan oleh
Astronom Denmark, Tycho Brahe. Hukum ini memang telah diakui sebagai terbenar
dalam abad ini. Hukum Kepler terdiri dari tiga postulat yang menjelaskan tentang
orbit planet. Secara singkat, Hukum Kepler pertama menjelaskan bahwa planetplanet mengorbit (mengelilingi) matahari dengan lintasan berbentuk elips (ihlijy)
dengan Matahari pada salah satu fokusnya. Hukum kedua Kepler menjelaskan
tentang pergerakan planet. Dalam satu rentang waktu yang sama, planet bergerak
menyapu daerah yang sama panjangnya. Karena orbit planet berbentuk elips, maka
konsekuensinya makin dekat jarak planet ke Matahari, makin cepat pula gerak
orbitnya. Terakhir, hukum ketiga Kepler menyatakan bahwa kuadrat dari periode
planet (waktu yang diperlukan untuk menempuh satu orbit) adalah sebanding
dengan pangkat tiga jarak rata-rata planet itu dari matahari. Pernyataan ini
dituangkan dalam persamaan matematis: P2 = a3, dimana P adalah periode planet
mengelilingi Matahari (dihitung dalam tahun) dan a adalah jarak planet ke Matahari
(dalam Satuan Astronomi). Konsekuensi dari hukum ini adalah semakin jauh jarak
planet, makin lambat pula pergerakannya.
Terhadap tiga hukum Kepler diatas, Prof.Dr.Muhammad Shalih an-Nawawy (Guru
Besar Falak Universitas Kairo) menyatakan (menulis) dalam makalahnya berjudul
Di abad pertengahan ( abad IX H) ilmu ini lebih dikenal dengan nama 'ilm al
hay'ah atau 'ilm al hay'ah al aflak. Sementara itu penggunaan kata 'ilm al falak
tidak begitu masyhur, pula tidak banyak beredar, meski kata ini tetap ada
menghiasi buku-buku klasik dengan maksud dan tujuan yang sama. Antara lain, Ibn
an-Nadim (w.388 H) dalam Al Fihrist-nya, ketika menjelaskan biografi Ya'qub bin
Thariq menyebut kata ini (baca: falak/ilmu falak) sebagai cabang ilmu yang
dimaksud. Kata 'falak', dengan makna 'edar' sebagai dimaksud dalam disiplin 'Ilmu
Falak' banyak tertera dalam Al Qur'an, antara lain QS.Yasin ayat 40:
Carlo Nillino, Guru Besar Ilmu Falak Universitas Fu'ad Awwal (Jami'ah al Misriyyah)
sekarang Jami'ah al Qahirah dan Universitas Pallermo Italia menyatakan; kata falak
yang banyak beredar dalam Al Qur'an bukan berasal dari bahasa Arab, akan tetapi
teradopsi dari bahasa Babilonia yaitu 'Pulukku' yang berarti 'edar'. Wallah a'lam
Perkembangan selanjutnya, ilmu falak terus berkembang dengan berbagai elaborasi
dan akselerasi ilmiah hingga akhirnya ilmu ini dengan khas nama 'Ilmu Falak'
mengakar diperadaban Islam sampai detik ini. Terlihat, diperguruan-perguruan
tinggi, instansi-instansi pemerintah, organisasi keislaman muncul kajian-kajian dan
mata kuliah Ilmu Falak dalam teori dan praktek. Secara lebih khusus, Ilmu Falak
berperan secara detil dalam kepentingan umat Islam dalam empat hal, yaitu: [1].
Menentukan awal bulan Qamariyah, [2]. Menentukan jadwal shalat, [3]. Menentukan
bayang (arah) kiblat, [4]. Menentukan kapan dan dimana terjadinya gerhana.
Astronomi, falak dan astrologi merupakan istilah yang memiliki kedekatan
dari aspek objek kajian, yakni mengkaji masalah yang berhubungan dengan benda
langit meskipun terdapat perbedaan dalam orientasi, tujuan dan ruang lingkup
kajiannya. Tulisan ini lebih lanjut akan menyoroti perbedaan dan hubungan
ketiganya.
Astronomi adalah studi ilmiah terhadap benda-benda langit seperti
bintang-bintang, bulan, planet, galaksi, materi gelap dan lain-lain yang dilakukan
menggunakan metode scientific. Objeknya adalah fisik benda langit, proses
terjadinya suatu benda langit, gerak, ukuran dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya. Basis ilmu yang mendukung studi astronomi antara lain matematika,
fisika dan kimia. Di era modern ini astronomi didukung oleh berbagai sarana
pengamatan seperti teleskop (optik dan radio) dan pesawat antariksa.
Berbeda dengan astronomi, astrologi memiliki keunikan tersendiri, yang
karena keunikannya disiplin ini sering mendapatkan sorotan tajam dari dunia sains.
Secara umum, astrologi adalah bahasa, seni dan ilmu pengetahuan yang
mempelajari keterkaitan antara siklus benda-benda langit dan kehidupan manusia
di muka bumi. Inti astrologi adalah berawal dari wawasan kosmologi manusia yang
memandang adanya pengaruh peredaran benda langit terhadap kehidupan manusia
di bumi. Pada tahapan ini wawasan kosmologi manusia masih diselimuti kabut
mitos.
Mitos kosmologi ini telah berjasa membangkitkan perhatian yang besar
manusia di masa lalu terhadap alam semesta khususnya benda-benda langit yang
diyakini memberi pengaruh pada kehidupan manusia. Dari sini pengamatan secara
terstruktur terus dilakukan hingga ribuan tahun. Hasil pengamatan astrologi ini
pada gilirannya berhasil memetakan benda-benda langit yang dengan sentuhan
metode dan pendekatan baru akhirnya melahirkan disiplin astronomi. Dengan
demikian astrologi telah berjasa besar dalam meletakan fondasi astronomi.
Landasan astrologi sama seperti astronomi yang juga didasarkan pada
observasi atau pengamatan. Itulah sebabnya astrologi di kalangan pendukungnya
dinyatakan sesuatu yang memiliki landasan ilmiah yang sama dengan sains.
Astrologi tidak ada hubungannya dengan dunia klenik dan mistik, sehingga
seseorang yang berniat untuk mempelajari astrologi tidak perlu mempunyai indra
keenam dan kekuatan ghoib seperti yang orang sebut kekuatan supranatural.
Di masyarakat luas, pandangan tentang astrologi umumnya selalu
dikaitkan dengan ramalan, namun para astrolog sendiri lebih suka menyebutnya
sebagai perkiraan atau prediksi. Sebagaimana ilmuwan memprediksikan cuaca atau
seorang pialang saham memperkirakan nilai saham, demikian pula para astrolog
berupaya memperkirakan peristiwa-peristiwa apa yang bakal terjadi di masa
mendatang.
Bedanya
hanya
basis
data
yang
dipergunakan.
Ilmuwan
astrolog
menggunakan
letak
benda-benda
langit
sebagai
acuan
penelaahannya.
Astrologi itu sebenarnya tidak
berhubungan
dengan
dunia mistik.
Pembuatan peta langit astrologis tidak didasari oleh ilmu ghaib, tetapi melalui
serangkaian perhitungan matematis dan astronomis yang rumit. Para astrolog
semenjak zaman ribuan tahun yang lampau telah melakukan pengamatan terhadap
posisi relatif benda-benda langit satu sama lain.
kehidupan,
harmonisasi
pikiran,
tubuh,
jiwa.
Astrologi
memudahkan
pada
asal-usul
dan
evolusi
tata
surya),
kosmologi
(menitikberatkan pada asal-usul dan evolusi alam semesta), dan yang baru adalah
bioastronomi (menitik beratkan kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi). Teoriteorinya senantiasa diperbarui bila ada bukti-bukti lain yang menyempurnakan atau
menggugurkan teori semula. Melalui astronomi, manusia mencoba mendeskripsikan
apa dan bagaimana proses fenomena alam bisa terjadi dalam konteks eksperimen
dan pengamatan, dengan parameter yang bisa diamati dan diukur, yang bisa benar
bisa pula salah. Agama memperluas lagi spektrum makna alam semesta bagi
manusia tentang kehadiran benda-benda alam semesta
Dengan demikian astrologi dan astronomi merupakan sebuah rangkaian
perkembangan peradaban manusia yang perlu dilihat secara utuh, meskipun
keduanya kini telah bercerai disimpang jalan. Mempelajari astrologi dan pembacaan
horoskop tidaklah selalu merugikan dan harus dituding sebagai barang haram,
sebab di balik itu semua ilmu astrologi menyimpan rahasia-rahasia dunia yang tak
terjawab oleh astronomi, yang menanti untuk dikuak oleh manusia. Terlepas dari
benar tidaknya anggapan bahwa astrologi adalah mitos, namun manusia secara
nature tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari mitos. Sejarah membuktikan
betapa mitos diperlukan oleh manusia sebagai jawaban sementara sebelum sains.
Mitos pula yang menggugah rasa ingin tahu manusia dengan hasrat yang begitu
besar.
Ilmu Falak
Falak merupakan istilah arab ( )yang diserap dari bahasa Babilonia
yaitu fulukku yang berarti edar. Dalam berbagai literatur objek kajian falak
sebenarnya sama dengan objek kajian astronomi, yakni benda-benda langit,
termasuk dalam pembahasannya adalah keadaan benda langit, ukuran, jarak,
posisi, gerak edar dan berbagai efek yang diakibatkan dari pola hubungan antar
benda-benda langit tersebut, seperti gerhana. Dengan demikian menurut hemat
penulis kajian ilmu falak pada dasarnya amat luas, sehingga dapat disamakan
dengan kajian astronomi dan idealnya tidak perlu ada dikotomi antara astronomi
dan ilmu falak, hanya saja dewasa ini di dunia Islam terminologi ilmu falak
dipergunakan terbatas untuk keperluan ibadah seperti menentukan arah kiblat,
waktu salat, puasa dan hari raya. Mengacu pada kenyataan dan praktik yang
demikian maka dapat dimaknai bahwa falak merupakan astronomi spesifik dalam
ruang lingkup kajian yang lebih sempit.
Dewasa ini, ruang lingkup kajian falak yang sempit perlu dikembalikan
pada kedudukannya sebagai disiplin keilmuan yang sejajar dengan astronomi
dengan obyek kajian dan terminologi tidak terbatas seperti sekarang ini. Para
astronom muslim di masa lalu tidak membatasi ruang lingkup kajiannya pada bumi,
matahari dan bulan yang tujuannya untuk kepentingan ibadah semata, tetapi
mereka melakukan pengamatan dan penelitian benda-benda angkasa luar yang
lebih luas lagi, berkaitan juga dengan teori-teori eksak dan alat-alat teknologi ruang
angkasa. Salah seorang tokoh ilmu falak yang sangat berpengaruh di dunia Islam
adalah al-Khawarizmi dengan karyanya al-Mughtashar fi Hisab al-jabr Wa almuqabalah, sangat berpengaruh terhadap cendekiawan-cendikiawan Eropa. Buku
tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Robert Chester pada tahun 1140
M dengan judul Algebras et almucabala. Kemudian pada tahun 1831 M, buku itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Federic Rasen.
Selain Khawarizmi, tokoh astronom muslim lainnya adalah Abu Raihan alBiruni, karyanya yang berjudul al-Qanun al-Masudi merupakan buku terlengkap
mengenai astronomi pada masanya, karena menerangkan gerak planet-planet di
angkasa raya. Karyanya yang lain berjudul al-Atsar al-Baqiyah, secara khusus
membahas tentang rotasi bumi (yang pada waktu itu masih diperdebatkan) dan
menetapkan dengan teliti garis-garis lintang dan garis bujur. Satu lagi tokoh yang
terkenal adalah al-Haitsam dengan julukan bapak optik, salah satu karyanya adalah
buku yang berjudul al-Muntakhab fi Ilal Ain, buku ini mengupas mengenai petunjuk
perawatan mata, selain itu banyak artikel-artikel yang mengenai matematika,
astronomi, fisika dan kedokteran.
Berdasarkan sumbangan ilmu pengetahuan para tokoh tersebut, sudah semestinya
ilmu falak sekarang tidak membatasi luang lingkupnya pada kajian bumi, bulan dan
matahari saja tetapi lebih diarahkan lagi kepada upaya pengembangan lebih jauh
untuk melakukan observasi dan usaha-usaha yang lebih serius berkaitan dengan
kajian ruang angkasa. Kajian falak harus sejajar dengan astronomi dalam objek dan
ruang lingkupnya. Falak hanyalah adalah pintu masuk untuk memahami dimensi
alam semesta yang lebih luas lagi.
SUMBER : http://rosanakmakassar.blogspot.co.id/2010/12/sejarah-peradaban-danhubungan.html
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2016 pukul 21.32, di download pada tanggal 4
Oktober 2016 pukul 21.32
Artinya :
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman? (Surat Al-Anbiy ayat 30)
Artinya :
Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masingmasing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (Surat Al-Anbiy ayat
30)
Artinya : "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (QS Yasin : 38)
Artinya : "Demi langit yang mempunyai jalan-jalan." (QS Adz-Dzariat : 7)
3. Penciptaan Alam Semesta
Artinya :
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak
mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala
sesuatu. (Surat Al-An'am ayat 101)
Artinya :
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan
malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari
dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Az-Zumar ayat 5)
Artinya :
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan
(makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini
pertemuan(mu) dengan Tuhanmu.(QS: Ar-Ra'd Ayat: 2)
Artinya :
Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa
Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui
bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?(Surat Al Mulk ayat 17)
Artinya
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit)
dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya). (Qs.
Al Hijr : 16)
Artinya :
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang (Qs. Al Buruuj ayat 1)
Maha suci Allah Yang menguasai langit dan Bumi
SUMBER : http://astronesia.blogspot.co.id/2013/07/inilah-beberapa-ayat-sucialquran-yang.html
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2016 pukul 21.35, di download pada tanggal 4
Oktober 2016 pukul 21.36
Astronomi islam
Pada masa sebelum Islam, orang-orang arab jahiliah telah memiliki pengetahuan pengetahuan dasar
tentang ilmu astronomi. Namun pengetahuan yang mereka miliki belum berbentuk rumusan-rumusan
ilmiah sehingga tidak pantas untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu astronomi dalam islam dapat
dikatakan muncul dengan gemilang pada masa pemerintahan Khalifah Abbasiah. Hal itu terjadi berkat
hubungan mereka dengan berbagai macam kebudayaan dunia yang mereka salin dari kitab-kitab klasik
karangan orang-orang India dan orang-orang Yunani.
Besarnya perhatian orang-orang arab terhadap ilmu astronomi didorong oleh kebutuhan mereka
terhadap air hujan. Sebagai bangsa pengembala mereka membutuhkan rumput yang segar. Maka untuk
mengetahui di mana letak tanah yang telah dituruni hujan, mereka mencatat perputaran musim. Ahmad
Ali al Ma'la mengatakan di dalam bukunya Atsarul Ulamail Muslimin Fil Hadlarah Al Auribuah, Orangorang senang menyaksikan keindahan bintang gemintang. Dia menyaksikan geraknya kemudian meneliti
pertambahan dan kurangnya bulan hari demi hari. Selanjutnya bulan demi bulan dia menyaksikan
miringnya matahari. Maka mereka pun membuat petunjuk-petunjuk dari matahari, bulan, dan bintang,
untuk menghitung hari dan bulan, musim dan tahun, tanda-tanda waktu mengembara berpindah dari
satu tempat ke tempat yang lain.
Para ilmuan muslim mulai terjun ke dalam penelitian astronomis semenjak turunnya ayat suci al-Quran
surat Yasin/36 ayat 38-40 dan surat Yunus/10 ayat 5 sebagai berikut.
Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa Lagi Maha
Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah ia sampai ke
manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada
garis edarnya (falak). (QS. Yasin/36: 38-40).
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilahmanzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus/10: 5).
Hisab
Secara harfiyah bermakna 'perhitungan'. Hisab adalah melakukan perhitungan untuk mengetahui posisi
bulan secara matematis dan astronomis dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriah.
Hisab merupakan alat bantu untuk mengetahui kapan dan di mana hilal (bulan sabit pertama setelah
bulan baru) dapat terlihat. Hisab seringkali dilakukan untuk membantu sebelum melakukan rukyat.
Pentingnya penentuan posisi matahari karena umat Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi
matahari sebagai patokannya. Sedangkan penentuan posisi bulan untuk mengetahui terjadinya hilal
sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam Kalender Hijriyah. Ini penting terutama untuk
menentukan awal Ramadhan saat orang mulai berpuasa, awal Syawwal saat orang mangakhiri puasa dan
merayakan Idul Fithri, serta awal Dzul-Hijjah saat orang akan wukuf haji di Arafah (9 Dzul-Hijjah) dan
ber-Idul Adha (10 Dzul-Hijjah).
Dalam al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari
dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya.
Juga dalam surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut
perhitungan.
"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan." (QS. Ar-Rahman/55: 5)
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda astronomis (khususnya
matahari dan bulan) maka umat Islam sudah sejak awal mula muncul peradaban Islam menaruh
perhatian besar terhadap ilmu astronomi (disebut Ilmu Falak).
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak
pertama kali setelah terjadinya ijtimak (bulan baru). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau
dengan alat bantu optik seperti teleskop. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu
setempat telah memasuki bulan (kalender) baru hijriah. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau
gagal terlihat), maka bulan (kalender) digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini berpegangan
pada Hadits Nabi Muhammad SAW :
Berpuasalah kamu sekalian jika melihat hilal dan berbukalah kamu jika melihat hilal. Jika terhalang
maka sempurnakanlah bilangan bulan syaban menjadi 30 hari (istikmal)." (HR. Imam Bukhori Muslim,
dari Sahabat Abu Hurairah).
Tim Rukyat Lajnah Falakiyah Al-Husiniyah melakukan cara yang agak berbeda dan kemungkinan besar
tidak dilakukan oleh Lajnah Falakiyah yang lain. Secara rutinitas bulanan, tim rukyat juga selalu
memperhatikan kedudukan bulan pada tanggal 25 dan seterusnya sampai akhir tanggal pada waktu pagi
hari atau setelah sholat subuh, karena menurut pengalaman, munculnya hilal/ bulan baru tidak akan
berbeda kedudukannya pada akhir bulan.
Rukyatul hilal adalah proses perpaduan antara kemampuan manusia dengan kekuasaan Allah SWT,
walau hilal setinggi berapa derajat pun ketika Allah tidak memperkenankan kita untuk melihat hilal,
maka mustahil hilal dapat dilihat. Kita pun tetap akan kesulitan melihat hilal walaupun dibantu dengan
alat teknologi canggih, sementara mata kita tidak awas. Apalagi ilmu falak, hisab, dan rukyat-nya belum
paham. Intinya, mata dan ilmu adalah modal utama.
Kemampuan teleskop/ teropong hanya dapat menjangkau sekitar satu bulatan bulan dan ketinggian hilal
minimal 4 derajat. Berbeda dengan menggunakan mata telanjang, yang penting kita set patok kita
berdasarkan perhitungan, lalu pantau hilal dengan mata awas. Kemungkinan besar rukyatul hilal akan
berhasil. Untuk itu, walaupun sudah ada teknologi canggih seperti teropong, perlu dilestarikan metode
rukyat secara tradisional. Semua metode hisab adalah buatan manusia yang berupa data perkiraan hasil
penelitian manusia, jadi semua hasil hisab hanyalah sebuah patokan dalam melakukan rukyatul hilal.
Apalagi dengan menggunakan teleskop yang hanya menjangkau sekitar satu bulatan bulan dan
berkemampuan meneropong hilal di atas 3 derajat, kemungkinan berhasilnya me-rukyat dengan
teropong lebih kecil daripada dengan mata telanjang.
SUMBER : http://hanyakawan.blogspot.com/2011/11/astronomi-islam.html
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2016 pukul 21.35, di download pada tanggal 4
Oktober 2016 pukul 21.38
(NU). Maklum mereka sudah terbiasa menggunakan teropong bintang dan memiliki alat canggih
tersebut yang berharga ratusan juta rupiah..
Di bawah bimbingan tim ahli BHR dan pondok pesantren NU, umat lintas agama dilatih melihat
keindahan jagad raya misalkan dilibatkan penentuan hilal. Dari interaksi ini diharapkan muncul
pemahaman ada peristiwa penting di luar keyakinan umat lain. Dari kerjasama ini diharapkan
muncul benih-benih pemahaman antarpemeluk agama lain.
Praktek kerukunan agama melalui astronomi bisa dijadikan model pembinaan untuk
meningkatkan semangat pluralisme. Perekatan hubungan antarpribadi mudah dikembangkan
melalui pendekatan dan sentuhan hubungan melalui sebuah media tertentu terutama ilmu
pengetahuan.
Meski sama-sama mengakui keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa, seringkali kekakuan dan ego
individu mengalahkan hubungan umat beragama. Dibutuhkan kearifan dan kebijakan semua
pihak supaya kerukunan umat beragama selalu terpelihara di bumi Pancasila ini.
Sebagai contoh nyata beberapa tahun silam kecintaan olahraga tenis bisa meruntuhkan sekatsekat permusuhan antarnegara. Siapa yang tidak kenal pasangan ganda putra Aisam-Ul-Haq
Qureshi dan Rohan Bopanna, satu orang Pakistan dan satunya warga India. Mereka tidak pernah
berpikir negara-negara yang mereka wakili selalu bermusuhan sampai sekarang. Keduanya selalu
berusaha menjauhkan politik dari dunia tenis yang mereka cintai.
Kerukunan antarumat beragama melalui pendekatan ilmu pengetahuan seperti Astronomi
memberi sejumlah manfaat khususnya para pelajar. Pertama sebagai pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang tengah gencar digalakkan pemerintah. Maklum selama
ini ilmu perbintangan hanya selintas dipelajari di mata pelajaran IPS dan IPA terpadu.
Manfaat kedua, lebih mengoptimalkan fungsi dan kegunaan peralatan astronomi yang harganya
bisa mencapai ratusan juta rupiah. Selama ini peralatan yang mahal harganya ini hanya dipunyai
instansi resmi pemerintah seperti Badan Hisab Rukyat Kabupaten atau Provinsi serta pondok
pesantren yang mengembangkan ilmu falak.
Serta manfaat ketiga, meningkatkan kecintaan Astronomi di kalangan masyarakat luas terutama
pelajar sekolah. Astronomi sebagai ilmu pengetahuan kuno hanya terbatas ditindaklanjuti dan
dipelajari mendalam kalangan tertentu saja utamanya terkait masalah keagamaan seperti melihat
peristiwa hilal untuk menentukan jatuhnya 1 Ramadhan dan Idul Fitri.
Untuk mengoptimalkan kerukunan agama di kalangan pelajar perlu dibentuk klub Astronomi
tingkat kabupaten. Motor penggerak klub ini adalah pondok pesantren pengembang ilmu falak
dan tim ahli Badan Hisab Rukyat karena merekalah yang punya perlengkapan astronomi canggih
dan mahal harganya.
Tinggal bagaimana mengemas kerja sama Astronomi ini menjadi lebih menarik dan bermanfaat
bagi semua pihak. Bagaimanapun ilmu pengetahuan-termasuk Astronomi-menjadi milik
bersama.
Bagaimanapun Astronomi sudah muncul ribuan tahun silam dan menjadi pegangan bersama
umat manusia. Keragaman dan perbedaan keyakinan seyogyanga menguat iman mereka terhadap
Sang Khalik. Keragaman bukan untuk dipertentangkan namun dijadikan acuan bersama menuju
ke arah kehidupan lebih baik. Siapa yang mau jadi motor penggerak kerukunan agama melalui
Astronomi? (*)
SUMBER : http://www.koranmuria.com/2016/08/15/43235/kerukunan-agama-danastronomi.html
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2016 pukul 22.18, di download pada tanggal 4
Oktober 2016 pukul 22.19
Dewasa ini astronomi berkembang menjadi cabang sains yang bukan hanya
mengkaji posisi dan pergerakan benda-benda langit, tetapi juga fisis dan
evolusinya. Perkembangannya demikian pesat yang menimbulkan lahirnya cabangcabang baru, misalnya astrofisika (menitikberatkan pada segi struktur dan
komposisi fisis, bukan lagi posisi dan pergerakan benda langit), kosmogoni
(menitikberatkan pada asal-usul dan evolusi tata surya), kosmologi
(menitikberatkan pada asal-usul dan evolusi alam semesta), dan yang baru adalah
bioastronomi (menitik beratkan kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi). Teoriteorinya senantiasa diperbarui bila ada bukti-bukti lain yang menyempurnakan atau
menggugurkan teori semula. Melalui astronomi, manusia mencoba mendeskripsikan
apa dan bagaimana proses fenomena alam bisa terjadi dalam konteks eksperimen
dan pengamatan, dengan parameter yang bisa diamati dan diukur, yang bisa benar
bisa pula salah.[2]
Dalam astronomi Islam, ahli sejarah sains, Donald Routledge Hill membagi
sejarah astronomi islam dalam empat priode. Periode pertama (700-825), masa
asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi Yunani, India, dan Sasanid. Periode
kedua(825-1025), masa investigasi besar-besaran dan penerimaan serta modifikasi
sistem Ptolemaeus. Periode ketiga (1025-1450), masa kemajuan sistem astronomi
Islam. Periode keempat ( 1450-1900), masa stagnasi, hanya sedikit konstribusi yang
dihasilkan.[3]
Adapun tokoh- tokoh astronomi dalam Islam antara lain:
Muhammad bin al-Khawarizmi (830) memperkenalkan konsep astronomi India dan
ptolemaeus ke dalam ilmu pengetahuan Islam
As-Sufi (903-986) berkonstribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi
Matahari,bulan, planet serta pergerakan matahari.
Ali bin Ridwan (988-1061) mengamati SN 1006, supernova(bintang meledak)
yang terekam sejarah
Jafar bin Muhammad Abu Mashar al-Bakhri (787-886) mengembangkan model
planet yang ditafsirkan sebagai model heliosentris.
Al-Battani (853-929) menentukan perkiran awal bulan baru, perkiraan panjang
matahari, dan mengoreksi hasil kerja Ptolemeus mengenai orbit bulan dan planet
tertentu, serta mengembangkan metode untuk menghitung gerak dan orbit planet
yang dijadikan rujukan astronomi barat
Abu Rayhan al-Biruni (973-1050) menemukan galaksi bima sakti sebagai koleksi
bintang samar yang sangat banyak.[4]
Dalam Al-Quran sendiri terdapat banyak ayat-ayat yang menyinggung tentang
alam semesta beserta unsur-unsur yang terkandung di langit dan bumi, termasuk
penghuninya dan fenomena yang terjadidi dalam lebih dari seribu ayat. Tujuan
ayat-ayat Alquran yang bersinggungan dengan masalah alam dan alam semesta ini
tidak bertujuan untuk memberikan data ilmiah. Allah SWT menginginkan agar
proses pencarian/ penyerapan ilmu pengetahuan dilakukan dengan mekanisme
almanac, denab, zenit, nadir, dan vega. Kumpulan tulisan dari astronomi Islam
hingga kini masih tetap tersimpan dan jumlahnya mencapaii 10 ribu manuskrip.
Yang paling membuat saya terkagum kagum (entah kalian sudah mengetahui atau
belum) adalah tentang Ahli astronomi yang menjadi inspirasi bagi para ilmuwan
ilmuwan Eropa.
Keajaiban Al-Qur`an
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman?" (Al Qur'an, 21:30)
Kawan! Sejenak kita kaji ayat ini kembali berdasarkan pengetahuan ini. Dalam ayat
tersebut, langit dan bumi adalah subyek dari kata sifat "fatq". Keduanya lalu
terpisah ("fataqa") satu sama lain. Menariknya, ketika mengingat kembali tahaptahap awal peristiwa Big Bang, kita pahami bahwa satu titik tunggal berisi seluruh
materi di alam semesta. Dengan kata lain, segala sesuatu, termasuk "langit dan
bumi" yang saat itu belumlah diciptakan, juga terkandung dalam titik tunggal yang
masih berada pada keadaan "ratq" ini. Titik tunggal ini meledak sangat dahsyat,
sehingga menyebabkan materi-materi yang dikandungnya untuk "fataqa"
(terpisah), dan dalam rangkaian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan
keseluruhan alam semesta terbentuk.
Ketika kita bandingkan penjelasan ayat tersebut dengan berbagai penemuan ilmiah,
akan kita pahami bahwa keduanya benar-benar bersesuaian satu sama lain. Yang
sungguh menarik lagi, penemuan-penemuan ini belumlah terjadi sebelum abad ke20
"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka
berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada padanya." (Al Qur'an,
21:32)
Atmosfir yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi berlangsungnya
kehidupan. Dengan menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun kecil ketika
mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah mereka jatuh ke bumi dan
membahayakan makhluk hidup
Masih banyak kawan ayat ayat ilmiah yang berhubungan dengan astronomi ini!
Marilah kita mengkaji lagi kitab AL-Qur`an. Karena ketika anda membaca beberapa
tebal buku ensiklopedia itu, semuanya telah terangkum berabad abad tahun lalu di
dalam Al Qur`an
SUMBER : http://fittaemikesari-tellmenosecret.blogspot.co.id/2011/07/islam-danastronomi.html
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2016 pukul 22.26, di download pada tanggal 4
Oktober 2016 pukul 22.27