You are on page 1of 12

Makalah PBL Blok 19

Trombosis Vena Dalam pada Pasien Pascaoperasi Penggantian Sendi


Ayudhea Tannika / 10.2012.298 / E2
Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
E-mail: ngohiangyahut@gmail.com
Pendahuluan
Pada skenario 1 PBL kali ini, dikatakan bahwa seorang laki-laki berusia 65 tahun
yang sedang dirawat di ruang rawat inap dikonsulkan dengan keluhan betis kirinya sakit
disertai bengkak dan kemerahan sejak 4 jam yang lalu. Pasien tersebut sudah 2 hari dirawat
setelah menjalani operasi penggantian sendi panggul kiri 2 hari yang lalu.
Aliran balik vena (venous return) dari ekstremitas bawah mengakibatkan pergerakan
otot-otot di sekitarnya bersamaan dengan efek katup. Pasien yang tidak diimobilisasi
umumnya akan mengalami trombosis vena tungkai dalam (Deep Vein Thrombosis DVT)
karena stasis vena; hal ini dapat menyebabkan dua hal: edema vena pada kaki dan risiko
terjadinya emboli paru. Pada perjalanan penyakit yang buruk, thrombosis vena dalam dapat
berujung pada infark paru atau kematian mendadak.
Pembahasan
Anamnesis Pasien
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan kepada pasien.
Setiap jawaban dari pasien akan membantu penegakkan diagnosis, pemeriksaan fisik dan
penunjang, serta terapi dan edukasi. Pertanyaan yang ditanyakan selama anamnesis harus
meliputi keluhan utama, keluhan penyerta, penyakit saat ini, riwayat kesehatan masa lalu,
riwayat keluarga, serta riwayat pribadi dan sosial. 1 Pertanyaan yang dapat ditanyakan pada
pasien pria 65 tahun seperti pada kasus antara lain:1,2
Sejak kapan timbul gejala?
Adakah rasa nyeri pada betis?
Apakah ada bengkak dan kemerahan pada betis?
Adakah rasa sesak nafas?
Apakah pasien pernah menjalani operasi pada tungkai bawah sebelumnya?
Apakah di keluarga pasien ada yang mengalami hal yang serupa?
Bagaimana aktivitas fisik pasien, apakah sedenter atau aktif?
Bagaimana asupan nutrisi pasien, apakah mengalami kekurangan vitamin C?
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 1

Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik tunggal yang dapat menegakkan diagnosis trombosis
vena dalam. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada anak dengan keluhan seperti yang
terdapat pada skenario 1 didahului dengan pemeriksaan TTV terlebih dahulu, yang nencakup
pengukuran tekanan darah, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi, dan suhu tubuh. Lalu,
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, yang terdiri atas:
a. Inspeksi
Pasien dengan trombosis vena dalam dapat menunjukkan berbagai variasi warna pada
ekstremitas bawah. Perubahan warna abnormal yang paling umum terjadi yakni warna
ungu kemerahan dari obstruksi vena. Dalam kasus yang jarang, kaki dapat berwarna
kebiruan (sianotik) karena obstruksi masif vena ileofemoral. Bentuk iskemik oklusi vena
ini pada awalnya digambarkan sebagai phlegmasia cerulea dolens (peradangan biru
yang sangat nyeri) [Gambar 1]. Kaki biasanya ditemukan membengkak, nyeri, dan
kebiruan. Juga sering terdapat petekie. 3

Gambar 1. Phlegmasia Cerulea Dolens


Juga pada kasus yang sangat jarang, hambatan pada aliran vena akut yang ekstensif (kaki
hingga daerah iliaka) dapat mengakibatkan adanya tampilan kaki yang pucat karena
edema. Trias klinis yang meliputi nyeri, bengkak, dan pucat dinamakan phlegmasia alba
dolens (peradangan putih yang sangat nyeri), sebutan yang awalnya digunakan untuk
menggambarkan trombosis masif ileofemoral dan berhubungan dengan spasme arterial.
Hal ini juga diketahui dengan sebutan sindrom kaki susu (milk-leg syndrome) ketika
berhubungan dengan kompresi vena iliaka oleh gravid uterus. Ekstremitas yang terkena
sering berwarna pucat dengan nadi distal yang lemah atau bahkan tidak ada. Temuan
klinis yang ada mungkin menunjukkan adanya oklusi arterial akut, namun adanya
bengkak, ptekie, dan pelebaran vena superfisial lebih mengarah pada kondisi kompresi
vena.

Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014


Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 2

b. Palpasi
Palpasi sangat penting untuk menegaskan penemuan-penemuan yang ditemukan saat
inspeksi. Tanda yang biasanya ditemukan adalah nyeri tekan di betis dalam posisi
dorsofleksi (Homans sign) yang spesifik namun tidak sensitif dan terjadi pada lebih dari
50% pasien dengan trombosis vena dalam. 3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis antara lain: 4

Pemeriksaan darah
Pada trombosis vena dalam atau emboli paru, akan terjadi peningkatan kuantitatif plasma
d-dimer enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) karena adanya pemecahan fibrin
oleh plasmin. Sensitivitas d-dimer lebih dari 80% untuk trombosis vena dalam dan lebih
dari 95% untuk emboli paru. D-dimer kurang sensitif pada trombosis vena dalam

dibandingkan dengan emboli paru karena ukuran trombus lebih kecil.


Venous ultrasonography
Ultrasonografi sistem vena dalam bergantung pada hilangnya kompresibilitas
sebagaimana merupakan kriteria untuk trombosis vena dalam. Ketika vena normal
diproyeksikan pada gambaran cross-sectional, dia akan kolaps kembali sesaat setelah
ditekan oleh manual pressure dari transduser USG. Namun pada trombosis vena dalam,
vena tidak kembali ke ukuran semula setelah ditekan, hal ini karena vena sudah melebar
karena adanya trombus.

Gambar 2. Gambaran Trombosis Vena Dalam dengan Ultrasonografi Vena5


Diagnosis trombosis vena dalam akan semakin tegak dengan ditemukannya visualisasi
langsung vena yang jelas. Pada USG, pelebaran vena akan tampak seperti massa

homogen hipoekoik. [Gambar 2]


Magnetic Resonance (MR) (contrast-enhanced)
Jika pemeriksaan dengan ultrasonografi dirasa terlalu samara tau tidak memberikan
kejelasan yang memuaskan, MR venography dengan kontras gadolinium adalah modalitas
gambaran yang sempurna untuk mendiagnosis trombosis vena dalam. Gambaran MR
perlu disarankan kepada orang-orang dengan insufisiensi renal atau alergi kontras.

Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014


Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 3

Working Diagnosis
Diagnosis kerja atau working diagnosis saya untuk kasus kali ini ialah trombosis vena dalam
(Deep Vein Thrombosis/DVT).
Differential Diagnosis
Diagnosis banding atau differential diagnosis saya ialah sebagai berikut:
Peripheral Artery Disease (PAD)
Peripheral Artery Disease (PAD) didefinisikan sebagai sebuah kelainan klinis di mana
terdapat stenosis atau oklusi dalam aorta atau pada arteri pada tungkai. [Gambar 3]
Aterosklerosis merupakan penyebab utama PAD pada pasien berusia >40 tahun.
Penyebab lainnya antara lain trombosis, emboli, vaskulitis, fibromuscular dysplasia, dan
trauma. Prevalensi tertinggi PAD aterosklerotik terjadi pada dekade keenam dan ketujuh
kehidupan. Seperti pada pasien dengan aterosklerosis pendarahan koroner atau serebral,
terjadi peningkatan risiko PAD pada perokok dan pada orang-orang dengan diabetes
mellitus, hiperkolesterolemia, hipertensi, atau hiperhomosisteinemia.

Gambar 3. Peripheral Artery Disease


Lymphedema
Secara umum, lymphedema merupakan suatu kondisi di mana pembuluh limfe
tersumbat. Penyakit ini tidak menyakitkan, namun pasien dapat mengalami rasa baal,
berat pada kaki, dan yang paling sering dikeluhkan adalah tentang penampilan kaki yang
tidak enak dilihat. Limfedema dapat dikategorikan menjadi primer dan sekunder;
limfedema primer disebabkan oleh agenesis, hipoplasia, atau obstruksi pembuluh limfe.
Sedangkan limfedema sekunder merupakan suatu penyakit didapat yang dihasilkan dari
kerusakan saluran limfe yang awalnya normal. Penyebab limfedema yang paling sering
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 4

di dunia adalah cacing filariasis. [Gambar 4] Selain itu, limfedema juga bisa disebabkan
oleh tumor yang menyumbat saluran limfe, tuberkulosis, dermatitis kontak, LGV,
arthritis rheumatoid, dan kehamilan. 4

Gambar 4. Lymphedema pada Penderita Filariasis

Etiologi
Ada banyak faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya trombosis vena
dalam. Faktor-faktor ini dapat dikategorikan sebagai faktor didapat (obat-obatan, penyakit
penyerta) dan faktor congenital (variasi anatomis, defisiensi enzim, mutasi). Pengkategorian
berguna untuk membedakan kondisi akut dan kronik, yang akan berpengaruh pada durasi
pengobatan. Penyebab yang sering dari trombosis vena dalam yakni stasis vena karena
imobilisasi atau obstruksi vena sentral. Imobilisasi dapat terjadi sementara seperti pada
perjalanan di pesawat terbang atau dalam kondisi teranestesi sebagai bagian dari prosedur
pembedahan. Namun imobilisasi juga dapat terjadi dalam waktu yang lama, seperti pada
perawatan rumah sakit bagi orang yang menjalani operasi panggul, pinggang, atau spinal,
atau karena stroke serta paraplegia.3,4

Kurangnya aliran darah karena meningkatnya viskositas darah atau tekanan vena
sentral
Meningkatnya viskositas atau kekentalan darah dapat menurunkan aliran darah
vena. Perubahan ini dapat terjadi akibat adanya peningkatan komponen selular dalam
darah pada polisitemia rubra vera atau trombositosis; atau adanya penurunan dalam
komponen cairan karena dehidrasi.

Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014


Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 5

Meningkatnya tekanan vena sentral, baik secara mekanik maupun fungsional,


dapat mengurangi aliran vena di kaki. Efek massa di vena iliaka atau vena cava inferior
karena adanya neoplasma, kehamilan, stenosis, atau anomali congenital dapat
meningkatkan tahanan aliran vena (outflow resistance).3

Kontribusi variasi anatomis terhadap stasis vena


Variasi anatomi berupa pengurangan bagian atau bahkan hilangnya vena cava
inferior atau vena iliaka dapat berkontribusi terhadap stasis vena. Pada trombosis
iliocaval, kontributor anatomis yang mendasari ternyata teridentifikasi dalam 60-80%
pasien. Anomali yang paling dikenal adalah kompresi vena iliaka komunis kiri pada
persilangan arteri iliaka komunis kanan. Vena tersebut pada normalnya lewat di bawah
arteri iliaka komunis kanan. Pada beberapa orang, struktur anatomi seperti ini berujung
pada kompresi vena iliaka kiri dan dapat berakibat pada pembentukan pita atau jarring,
stasis berkelanjutan, dan trombosis vena dalam pada kaki kiri. Kompresi pada vena iliaka
juga biasa disebut sebagai May-Thurner syndrome atau Cockett syndrome.
Varian pada vena cava inferior sangat jarang. Perkembangan yang anomali
biasanya terdeteksi dengan cross-sectional imaging atau venografi. Evolusi embriologi
dari vena cava inferior adalah dari pembesaran atau atrofi dari sepasang vena supra- dan
subcardinal. Variasi seperti ini dapat meningkatkan risiko gejala-gejala trombosis karena
pembuluh yang sangat sempit sangat rentan terjadi obstruksi. Pada pasien di bawah 50
tahun yang mengalami trombosis vena dalam, insiden dari anomali vena cava ini sebesar
5%.3

Kerusakan mekanis pada vena


Kerusakan mekanis pada dinding vena dapat menjadi stimulus trombosis. Pasien
yang menjalani hip arthroplasty yang berhubungan dengan manipulasi vena femoralis
menjadi kelompok pasien yang berisiko tinggi yang tidak dapat dijelaskan hanya dari
sudut imobilisasi, dengan 57% trombus berasal dari vena yang terkena daripada tempat
stasis yang biasa ada di betis. Kerusakan endotel dapat mengkonversi agen
antitrombogenik endotel yang normal menjadi agen protrombotik dengan menstimulasi
produksi faktor jaringan, faktor von Willebrand, dan fibronektin.
Kerusakan juga dapat sangat nyata, seperti kerusakan karena trauma, intervensi
pembedahan, dan kerusakan iatrogenik. Peningkatan insiden trombosis vena yang terjadi
di traktus urinarius atau infeksi respiratori bisa disebabkan oleh perubahan yang diinduksi
oleh peradangan pada fungsi endotel. 3

Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014


Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 6

Faktor risiko umum penyebab trombosis vena dalam


Faktor risiko umum penyebab trombosis vena dalam yakni adanya penyakit
infeksi akut, usia di atas 75 tahun, keganasan, riwayat penyakit trombosis vena
sebelumnya, obesitas, pembedahan, dan imobilitas. Trombosis yang berulang biasanya
disebabkan oleh keadaan hiperkoagulasi primer. Abnormalitas dalam jaras pembekuan
merupakan hasil langsung dari mutasi genetic pada kaskad koagulasi (coagulation
cascade). Defisiensi vitamin C, protein S, atau antitrombin III berpengaruh pada 5-10%
dari seluruh kasus trombosis vena dalam.

Pada kasus dikatakan bahwa pasien tersebut sudah dirawat 2 hari setelah menjalani operasi
penggantian sendi panggul. Trombosis vena dalam pada pasien pascaoperasi bervariasi
bergantung pada banyak faktor dari pasien, termasuk di dalamnya jenis operasi yang
dijalankan. Tanpa pencegahan/profilaksis, pembedahan umum biasanya memiliki insiden
terjadinya trombosis vena dalam sekitar 20%, di mana operasi ortopedi panggul dapat terjadi
pada lebih dari 50% pasien. Komplikasi ini sebenarnya dapat dideteksi dini dan sebagai hasil
dari perubahan mekanisme keseimbangan beberapa kondisi dalam tubuh.

Patogenesis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena aliran yang cepat,
terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis; sedangkan trombus vena terutama
terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan
sedikit trombosit.
Ketika trombus vena terlepas dari tempat terbentuknya, mereka terbawa ke sirkulasi
arteri pulmonal, atau kebalikannya, ke sirkulasi arterial melalui sebuah patent foramen ovale
atau atrial septal defect. Sekitar satu setengah pasien dengan trombosis vena pelvis atau kaki
proksimal mengalami perburukan penyakit berupa emboli paru, yang sering asimtomatik.
Trombus vena betis yang terisolasi memiliki risiko lebih rendah untuk menjadi emboli paru,
namun merupakan penyebab utama terjadinya emboli paradox (paradoxical embolism). 4
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi
akan membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Virchow
mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar terbentuknya trombus, yang dikenal
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 7

sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari: 1. Gangguan pada aliran darah yang
mengakibatkan stasis; 2. Gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan
yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan; 3. Gangguan pada dinding pembuluh darah
(endotel) yang menyebabkan prokoagulan. 6
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme
protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi gangguan sel endotel, terpaparnya
subendotel akibat hilangnya sel endotel, aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen
subendotel atau faktor von Willebrand, aktivasi koagulasi, terganggunya fibrinolisis, dan
stasis. Sedangkan mekanisme protektif antara lain faktor antitrombotik yang dilepaskan
oleh sel endotel yang utuh, netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel
endotel, hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor, pemecahan faktor pembekuan
oleh protease, pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trombosit yang beragregasi oleh
aliran darah, serta lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis.6
Gejala Klinis
Akibat dari trombosis akan muncul bila trombus cukup besar untuk dapat
mempengaruhi aliran darah secara signifikan. Trombosis arterial akan berakibat pada
hilangnya nadi di distal trombus dan semua tanda-tanda kekurangan pasokan darah: area yang
terpengaruh menjadi dingin, pucat, nyeri, dan biasanya jaringan akan mati dan timbullah
gangren. Sedangkan pada trombosis vena, yang 95% terjadi pada vena kaki, area yang
terpengaruh akan menjadi lunak, bengkak, dan merah; karena darah masih dibawa ke daerah
itu oleh arteri namun tidak bisa dialirkan oleh vena. Lunak terjadi karena awalnya terdapat
proses iskemi pada dinding vena, namun kemudian ada juga nyeri iskemik umum seiring
dengan memburuknya sirkulasi darah. 7
Diagnosis pembanding untuk penyakit ini sangat penting karena tidak semua nyeri
pada kaki disebabkan oleh trombosis vena dalam. Rasa tidak nyaman pada daerah betis yang
mendadak dan berat dapat mengarah pada kista Baker. Demam dan menggigil biasanya lebih
mengarah pada selulitis dibandingkan trombosis vena dalam. Bila ditemukan semua gejala
fisik, mungkin hanya berupa ketidaknyamanan ringan pada palpasi betis bawah. Trombosis
vena dalam yang berat lebih mudah dikenali. Betis pasien akan terlihat sangat membengkak
dan pada palpasi vena femoralis komunis akan terasa lunak. Pada kasus yang mencolok,
pasien tidak dapat berjalan atau bahkan membutuhkan alat bantu jalan. 4
Edema yang difus pada kaki pasien tidak menandakan trombosis vena dalam.
Penyakit yang lebih mungkin adalah insufisiensi vena eksaserbasi akut karena sindrom
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 8

posflebitik (postphlebitic syndrome). Trombosis vena pada ekstremitas atas mungkin dapat
bermanifestasi pada adanya asimetri pada fossa supraklavikula atau pada pergelangan lengan
atas. Corak vena superfisial yang jelas dan nyata dapat terlihat pada dinding dada anterior,
gejala ini antara lain terdapat pada Mondors disease. 4
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut antara lain untuk menghentikan
bertambahnya trombus, membatasi bengkak yang progresif pada tungkai, melisiskan atau
membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah disfungsi vena atau sindrom
pascatrombosis (post-thrombotic syndrome) di kemudian hari, serta untuk mencegah emboli.
Terapi Medikamentosa
1. Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan
darah. Atas dasar ini antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan
meluasnya trombus dan emboli, maupun untuk mencegah bekunya darah in vitro pada
pemeriksaan laboratorium atau transfusi. Antikoagulan oral dan heparin menghambat
pembentukan fibrin dan digunakan secara profilaktik untuk mengurangi insidens
tromboemboli terutama pada vena. Kedua macam antikoagulan ini juga bermanfaat
untuk pemgobatan trombosis arteri karena mempengaruhi pembentukan fibrin yang
diperlukan untuk mempertahankan gumpalan trombosit. pada trombus yang sudah
terbentuk, antikoagulan hanya mencegah membesarnya trombus dan mengurangi
kemungkinan terjadinya emboli, tetapi tidak memperkecil trombus.8
Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang sudah lama
digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja utama
heparin adalah: 1. Meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor
pembekuan, 2. Melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IU/kgbb IV dilanjutkan dengan
infuse 18 IU/kgbb/jam dengan pemantauan nilai Activated Partial Thromboplastin
Time (APTT) sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali
nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap hari. Sebelum memulai terapi
heparin, APTT, masa protrombin (prothrombin time PT) dan jumlah trombosit harus
diperiksa, terutama pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi atau dengan
gangguan hati atau ginjal. 4
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 9

Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin/LMWH) dapat


diberikan satu atau dua kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik.
Keuntungan LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang lebih kecil dan tidak
memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibandingkan dengan UFH,
kecuali pada pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat gemuk. 4
Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan
antikoagulan oral yang bekerja dengan menghambat faktor pembekuan yang
memerlukan vitamin K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah warfarin
atau coumarin/derivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama saat awal terapi heparin
dengan pemantauan (International Normalized Ratio INR). Heparin diberikan
selama minimal 5 hari dan dapat dihentikan bila antikoagulan oral ini mencapai target
INR yaitu 2,0-3,0 selama dua hari berturut-turut. 4,8
Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi, tetapi pada umumnya
bergantung pada faktor risiko DVT tersebut. Pasien yang yang mengalami DVT harus
mendapat antikoagulan selama 6 minggu hingga 3 bulan jika mempunyai faktor risiko
yang reversibel, atau sedikitnya 6 bulan jika faktor risikonya tidak diketahui
(idiopatik). Sedangkan pada pasien yang mempunyai faktor risiko molecular yang
diturunkan seperti defisiensi antitrombin III, protein C atau S, activated protein C
resistance atau dengan lupus anticoagulant/antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral
diberikan lebih lama, bahkan dapat seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur
hidup ini juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode
trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker yang aktif. 6
2. Trombolitik
Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnya hanya efektif pada
fase awal dan penggunaannya harus benar-benar dipertimbangkan secara baik karena
mempunyai risiko pendarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan
saja. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pada DVT dengan oklusi total,
terutama pada iliofemoral.
Terapi Nonmedikamentosa
1. Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena sementara, harus dipertimbangkan
pada trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari dengan harapan hidup
lebih dari 10 tahun.
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 10

2. Filter vena kava inferior, digunakan pada trombosis di atas lutut pada kasus di mana
antikoagulan merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli berulang.6
Komplikasi
Gejala klinis lebih spesifik yang dapat menjadi komplikasi dari trombosis vena dalam
tergantung pada jaringan mana yang terkena:

Infark miokard sering berhubungan dengan pembentukan trombus pada arteri koroner dan

berperan dalam banyak kematian mendadak.


Stroke mungkin terjadi oleh adanya trombus dalam pembuluh serebral, walaupun selain

stroke bisa terjadi pendarahan atau emboli.


Thrombophlebitis migrans dapat terjadi pada pembuluh vena yang sehat di berbagai area
tubuh. Trombosisnya hilang timbul, berpindah tempat setiap waktu, dan kondisi tersebut
dapat bertahan selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun. Hal ini biasanya sama
sekali tidak bergejala dan dapat mengindikasikan adanya kanker viseralis, umumnya
pankreas. Mekanismenya masih kurang jelas.7

Pencegahan
Pencegahan trombosis atau tromboprofilaksis harus dipertimbangkan pada kasuskasus yang mempunyai risiko terjadinya tromboemboli vena. Untuk mencegah tromboemboli
vena, dapat diberikan Low Dose Unfractionated Heparin (LDUH), yaitu UFH 5.000 IU
subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai 1-2 jam sebelum operasi; ADH yaitu UFH subkutan
setiap 8 jam, mulai sekitar 3.500 IU subkutan dan disesuaikan 500 IU dengan target nilai
aPTT normal tinggi, atau LMWH/heparinoid yang dapat diberi sesuai dengan jenis operasi
dan risiko tromboemboli prosedur tersebut.6
Kesimpulan
Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah. Trombus atau
bekuan darah ini dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung, atau mikrosirkulasi dan
menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli. Trombosis vena (dan emboli paru)
berkaitan dengan berbagai kondisi medis atau prosedur bedah tertentu. Presentasi klinisnya
berupa bengkak, nyeri, dan kemerahan pada kaki. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
prevalesni trombosis vena dalam selain menjalani prosedur bedah tertentu. Trombosis vena
dalam dapat diterapi dengan pemberian agen antikoagulan maupun trombolitik. Selain itu
dapat pula dilaksanakan penatalaksanaan secara nonfarmakalogik dengan trombektomi serta
filter vena kava inferior.
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 11

Daftar Pustaka
1. Bickley LS. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi ke-5. Jakarta:
EGC; 2008.p.3-4,64.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005.
h. 155.
3. Patel

K.

Deep

venous

thrombosis.

Medscape

2014.

Tersedia

dari

URL:

http://emedicine.medscape.com/article/1911303-clinical#aw2aab6b3b2. Diakses pada 18


September 2014.
4. Goldhaber SZ. Deep venous thrombosis and pulmonary thromboembolism. Dalam:
Longo DL, et al. Harrisons principle of internal medicine. Edisi 18. USA: The McGrawHill Companies; 2012. h.2170-5.
5. Grimm LJ. Bedside ultrasonography in deep venous thrombosis. Medscape 2014.
Tersedia dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/1362989-overview. Diakses
pada 18 September 2014.
6. Sukrisman L. Trombosis vena dalam dan emboli paru. Dalam: Sudoyo AW, dkk. Buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2009. h. 1354,6-7.
7. Underwood JCE, Cross SS. Thrombo-embolic vascular occlusion. Dalam: General and
systemic pathology. 5th Ed. Philadelphia: Elsevier; 2009. p. 150-1.
8. Dewoto HR. Antikoagulan, antirombotik, trombolitik, dan hemostatik. Dalam:
Farmakologi dan terapi . Edisi ke 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. h. 806.

Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014


Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 12

You might also like