You are on page 1of 5

Prosiding Semnas FAI 2012 ISBN: 978-602-18810-0-2

Program Studi Agribisnis, Fakutas Pertanian, Universitas Trunojoyo


fuad.hsn@gmail.com Telp. 081578753458

Kedelai merupakan salah satu dari lima


komoditas yang menjadi prioritas dalam swasembada
dan swasembada berkelanjutan oleh pemerintah. Empat
komoditas yang lain adalah padi, jagung, gula, dan
daging sapi (Kementan, 2012). Swasembada bertujuan
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan tetapi
juga untuk mendukung agroindustri dan menghemat
devisa serta mengurangi ketergantungan terhadap
impor.
Ketergantungan yang semakin besar pada
impor bisa menjadi musibah terutama jika harga dunia
sangat mahal akibat stok menurun. Menurut Rasahan
(1999), ketergantungan kepada bahan pangan dari luar
negeri dalam jumlah besar akan melumpuhkan
ketahanan pangan nasional dan mengganggu stabilitas
social, ekonomi dan politik. Peningkatan ketahanan
pangan merupakan program utama Departemen
Pertanian yang berdampingan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan dan peningkatan nilai
tambah dan daya saing produk pertanian (Sinulingga,
2006).
Indonesia mencapai puncak produksi tertinggi
pada tahun 1992 yaitu sebesar 1,6 juta ton dan berhasil
mencapai swasembada kedelai. Namun kondisi tersebut
tidak berlangsung lama, karena dari tahun ke tahun
produksi dalam negeri terus menurun. Hal ini terutama
dipicu oleh perubahan kebijakan tataniaga kedelai, yaitu
dengan diberlakukannya pasar bebas yang
mengakibatkan derasnya kedelai impor dengan harga
murah. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya minat
petani karena insentif yang diterima rendah (Ditjend
Tanaman Pangan 2010).
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan
tinjauan kritis terhadap besarnya impor kedelai dikaitkan
dengan peranannya dalam ketahanan pangan. Hasil
kajian diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan
pengambil kebijakan dalam mengatasi permasalahan
ketahanan pangan khususnya komoditas kedelai.
Metode penulisan dengan studi kepustakaan (review)
dari berbagai sumber.

Kedelai merupakan salah satu komoditas


pangan utama setelah padi dan jagung. Komoditas ini
memiliki kegunaan yang beragam, terutama sebagai
bahan baku industri makanan kaya protein nabati dan
sebagai bahan baku industri pakan ternak. Selain
sebagai sumber protein nabati, kedelai juga merupakan
sumber lemak, mineral, dan vitamin serta dapat diolah
menjadi berbagai makanan seperti tahu, tempe, tauco,
kecap, dan susu (Zakaria, 2010). Menurut Sastrahidajati
dan Sumarno (1991), biji-biji kedelai mengandung 30
persen protein kasar dan lemak 16-24 persen.
Kedelai sebagai sumber protein nabati
berperan sangat penting dalam rangka peningkatan gizi
masyarakat, karena selain aman bagi kesehatan juga
relatif lebih murah. Dengan kata lain kedelai mempunyai
peran dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia
yang sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa.
Ada kurang lebih 2,3 juta rumah tangga tani
menjadikan kedelai sebagai pilihan komoditas dalam
usahataniya (Ditjen Tanaman Pangan, 2009).
Kesejahteraan mereka sangat tergantung pada besar
kecilnya insentif finansial yang diperoleh dari usahatani
kedelai Hal ini memberikan alternatif kebijakan kepada
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan atau
mengentaskan
kemiskinan
petani
melalui
pengembangan agribisnis kedelai. Secara finansial,
tingkat pendapatan/penerimaan dari usahatani kedelai
lokal mencapai Rp 4,8 juta per hektar per musim tanam
di Jawa dan Rp 4,4 juta per hektar permusim tanam di
luar jawa (Sari, 2011). Rata-rata pendapatan bersihnya
adalah 2.058.500/ha/musim (Deptan, 2007)

Produksi kedelai lokal di Indonesia selama


tahun 1992-2007 terus menurun dengan rata-rata
produksi sebesar 6,26 persen per tahun. Pada tahun
1992 produksi kedelai mencapai 1,8 juta ton dengan luas
panen sebesar 1,6 juta ha dan produktivitas sebesar
1,12 ton/ha. Hingga tahun 2007 produksi kedelai lokal
terus menurun. Produksi kedelai tahun 2007 hanya

80

Prosiding Semnas FAI 2012 ISBN: 978-602-18810-0-2

sebesar 592.534 ton dengan luas panen 459.116 ha dan


produktivitas 1,3 ton/ha (Tabel 1). Namun sejak tahun
2008-2009 produksi kedelai lokal mulai mengalami
peningkatan dengan persentase produksi masingmasing tahun sebesar 30,91 persen dan 24,59 persen.
Kenaikan ini antara lain didorong dengan membaiknya
harga kedelai dunia dan berbagai insentif yang dilakukan
pemerintah untuk tercapainya swasembada kedelai
tahun 2014 (Dirjen Tanaman Pangan, 2010).
Rendahnya luas lahan kedelai beberapa tahun
terahir karena berkurangnya minat petani karena
pendapatan yang diterima rendah.
Antara tiga
komoditas pangan padi, jagung, dan kedelai
menunjukkan bahwa padi masih menjadi pilihan utama
petani dibandingkan jagung dan kedelai dikarenakan
nilai B/C ratio komoditas padi lebih tinggi dibandingkan
dengan rasio B/C jagung dan kedelai untuk lahan sawah
(Dermoredjo, 2012).
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan
Produksi Kedelai Tahun 1985-2009

1995

1,476,284

1.13

1,679,092

1996

1,277,736

1.18

1,515,937

1997

1,118,140

1.21

1,356,108

1998

1,094,262

1.19

1,304,950

1999

1,151,079

1.20

1,382,848

2000

824,484

1.23

1,017,634

2001

678,484

1.21

826,932

2002

544,522

1.23

673,056

2003

526,796

1.27

671,600

2004

565,155

1.28

723,483

2005

621,541

1.30

808,353

2006

580,534

1.28

747,611

2007

459,116

1.29

592,534

2008

590,956

1.31

775,710

2009

722,791

1.34

974,710

2010

660,823

1.37

907,031

Pert(%)

-10,42

-10,66

Sumber: Pusat Data & Informasi Pertanian


(diolah)

81

Prosiding Semnas FAI 2012 ISBN: 978-602-18810-0-2

Produksi kedelai belum bisa memenuhi kebutuhan


kedelai yang terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan
industri olahan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai,
taucho, snack, dan sebagainya. Kedelai lokal baru
memenuhi 48 persen dari total kebutuhan kedelai dalam
negeri yang selebihnya dipenuhi oleh kedelai yang
berasal dari impor (Tabel 2).
Tabel 2 meunjukkan bahwa ketergantungan
Indoneisa terhadap impor cukup besar antara 55-70%.
Menurut pulungan (2008), ketahanan pangan dalam arti
kemandirian pangan akan tercapai apabila produksi
dalam negeri bisa menyediakan 90% dari konsumsi total.
Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai: 595
juta dollar AS atau setara dengan Rp.5,95 trilyun (Alam,
2009) yang semestinya dapat digunakan untuk kegiatan
ekonomi petani di pedesaan.
Tabel 2. Konsumsi dan Impor Kedelai di
Indonesia Tahun 2000-2009

2000

2,295.2

1,277.7

55.67

2001

1,960.0

1,136.4

57.98

2002

2,038.1

1,365.2

66.98

2003

2,016.0

1,193.7

59.21

2004

1,841.0

1,117.8

60.72

2005

1,894.0

1,086.2

57.35

2006

1,837.2

1,132.1

61.62

2007

2,004.1

1,411.6

70.44

2008

1,945.5

1,173.1

60.30

2009

1,974.7

1,314.6

66.57

Sumber: BPS (2010) diolah

Dengan mekanisme pasar bebas, produksi


kedelai petani lokal tidak mampu bersaing dengan
produksi kedelai negara lain karena mereka lebih efisien
berproduksi dan proteksi terhadap petaninya begitu kuat.
Sejak tahun 1998, hampir semua bentuk subsidi dan
jaminan harga output untuk sub sektor pangan di hapus.
Penghapusan meliputi subsidi kredit, subsidi pupuk, dan
pestisida, irigasi, dan lain sebagainya sehingga biaya
produksi naik, menekan tingkat keuntungan usahatani
subsektor tanaman pangan termasuk kedelai. Hal ini
berpengaruh terhadap insentif berusahatani dan
mempersulit introduksi teknologi baru seperti benih
bermutu, alsintan dan lain-lain (Supadi, 2009).
Berbeda dengan negara lain, Jepang
memberikan subsidi paling besar mencapai 104 persen
untuk subsidi output kedelai dan Amerika memiliki tarif
impor kedelai terbesar yaitu 75.1 persen (Dermoredjo,
2012). Eropa dan Jepang juga menerapkan kebijakan
yaitu pembayaran tunai

pemerintah kepada petani kecil yang mau menanam


komoditas anjuran pemerintah.
Kedelai sebagai komoditas pangan yang
strategis mungkin terlalu berisiko bila diserahkan
sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pertimbangan
pokoknya adalah komoditas ini memegang peranan
sentral dalam seluruh kebijakan pangan nasional karena
sangat penting dalam menu pangan penduduk
(Sumarno, et.al,1989).
Adanya gejolak seperti berkurangnya pasokan
yang diikuti dengan lonjakan harga akan membuat susah
banyak orang. Bukan hanya pengrajin tahu dan tempe
yang terancap gulung tikar, tetapi juga pihak-pihak yang
ada didalam mata rantai perdagangan seperti pedagang
makanan dan juga konsumen tahu dan tempe serta
produk olahan yang lain. Rentetan lebih panjang dari
adanya gejolak ini berimbas ke peternak dan
pembudidaya ikan terkait meningkatnya harga pakan
sehingga kenaikan harga kedelai dapat berpengaruh
pada produksi dan harga telur, daging dan ikan
(Samhadi, cit. Supadi, 2010).
Kebijakan impor pemerintah untuk memenuhi
konsumsi dalam negeri sangat dirasakan pahitnya pada
tahun ini dimana harga kedelai internasional karena
kurangnya pasokan kedelai di pasar dunia. Hal ini terjadi
setelah produksi kedelai Amerika Serikat sebagai
eksportir terbesar dunia berkurang karena musim panas
berkepanjangan.

Pada dasarnya Indonesia telah mencanangkan


pelaksanaan program swasembada kedelai sejak
pertengahan tahun enampuluhan dan terus berlanjut
hingga kini. Swasembada kedelai belum berhasil dicapai
karena dihadapkan pada berbagai kendala dalam
pelasanaannya Swasembada kedelai belum berhasil
dicapai karena dihadapkan pada berbagai kendala
dalam pelaksanaanya sebagai akibat dari: a) rendahnya
minat petani, b) belum berkembangnya penerapan
teknologi anjuran di tingkat usahatani khususnya
pemakaian benih unggul bermutu dan pemakaian pupuk
berimbang; c) meningkatnya impor kedelai karena
adanya kemudahan tataniaga impor; dan d) terjadinya
persaingan penggunaan sumberdaya lahan dengan
komoditas lain, khususnya jagung (Zakaria, 2010).
Dengan kondisi tersebut kinerja pengembangan kedelai
menunjukkan rapuhnya sistem agribisnis kedelai
sehingga tidak berkembangnya luas tanam dan panen
serta rendahnya tingkat produktivitas yang dicapai dan
menjadikan produksi kedelai doestik tidak mampu
mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Swasembada kedelai mutlak harus terus
diupayakan untuk mengurangi beban pengurangan
devisa dan meningkatkan kesejahteraan petani. Ada
bebrapa alternatif upaya sebagai startegi pencapaian
swasembada kedelai, yaitu:
1. Dari segi
persaingan harga pasar sebelum tahun 2012
ketika pasokan kedelai dunia turun, ternyata harga

82

Prosiding Semnas FAI 2012 ISBN: 978-602-18810-0-2

2.

3.

riil kedelai impor jauh lebih murah daripada kedelai


produksi dalam negeri. Hal ini merupakan
disinsentif bagi petani dalam menanam kedelai.
Selama tidak ada pengendalian impor melalui
kebijakan proteksi maka arus impor akan makin
deras, dan harga kedelai produksi dalam negeri
akan turun, Pada sisi lain harga kedelai hampir
tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah, karena
lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar,
yang tentu saja terkait dengan permintaan dan
persediaan ( ) sehingga petani
tidak bergairah menanam kedelai dan beralih ke
komoditas lain.
Indonesia dalam kontek perdagangan
internasional adalah salah satu negara yang paling
patuh dalam tataniaga perdagangan dunia,
khususnya menyangkut perdagangan komoditas
pertaniannya. Sejak krisis ekonomi tahun 1998,
Indonesia telah mengurangi tarif bea masuk untuk
komoditas pertanian dan semua subsidi kecuali
harga dasar pembelian pemerintah sehingga
Indonesia dapat diibaratkan sebagai a
. Sikap ini ternyata tidak adil bagi petani
Indonesia karena petani dihadapkan pada
persaingan yang tidal fair dengan petani dari
negara lain yang dengan mudah mendapatkan
perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi
langsung dan tidak langsung (Mardianto dan
Ariani, 2004). Peran Bulog sudah seharusnya
dikembalikan seperti semula sebagai stabilisator
harga untuk komoditas pangan utama.
., Upaya ini dilakukan untuk
memingkatkan produktivitas kedelai. Rendahnya
produktivitas kedelai petani (rata-rata 1,29 ton/ha)
disebabkan sebagian besar petani belum
menggunakan benih unggul dan teknik
pengelolaan tanaman masih belum optimal (DP3
Deptantan, 2007). Potensi benih unggul kedelai
adalah >2 ton/ha.
Proses produksi yang mampu memberikan
produktivitas tinggi, efisien, dan berkelanjutan
yakni melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT). Menurut Balitkabi (2008), PTT
adalah salah satu pendekatan dalam usahatani
yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
dan pendapatan petani serta melestarikan
lingkungan produksi. Dalam implementasinya, PTT
mengintegrasikan
komponen
teknologi
pengelolaan lahan, air, tanaman, dan organisme
pengganggu tanaman (LATO) secara terpadu.
Peningkatan produksi
dengan melakukan penambahan areal panen telah
sukses
dilaksanakan
di
India
dengan
perbandingan 60% merupakan lahan bukaan baru
dan 40% mengganti tanaman, sedangkan di Brasil
hampir 100% tambahan areal merupakan lahan
bukaan hutan. Pada saat ini, kedua negara
tersebut telah menjadi negara penghasil utama
kedelai di dunia (Adisarwanto, 2010).

Perluasan areal tanam dilakukan melalui


peningkatan indeks pertanaman (IP) pada lahan
sawah irigasi sederhana, lahan sawah tadah hujan
atau lahan kering. Deptan menetapkan wilayah
sasaran perluasan areal adalah Nusa Tenggara
Barat, Jawa, Lampung, Sumatera Utara, Aceh dan
Sulawesi Selatan (BP3 Deptan, 2007). Dalam
perluasan tanam, kedelai bisa dijadikan tanaman
sela atau tumpangsari, misalnya dengan kelapa
sawit, kelapa, ubi kayu atau tanaman tua lainnya

Ketidakseimbangan
produksi
dibanding
kebutuhan kedelai dalam negeri mengancam sistem
ketahanan pangan dan menguras banyak devisa negara.
Swasembada kedelai adalah solusi yang harus
diupayakan dengan kebijakan proteksi dan insentif dan
strategi peningkatan produksi dengan intensifikasi dan
ekstensifikasi. Kebijakan dan strategi akan jalan bila ada
konsistensi program dan kesungguhan aparat terkait.

Adisarwanto, 2010. Strategi Peningkatan Produksi


Kedelai Sebagai Upaya untuk Memenuhi
Kebutuhan di Dalam Negeri dan Mengurangi
Impor. Pengembangan Inovasi Pertanian Vol.3
No.4: 319-331
Alam, R. 2009. Bagaimana Kebijakan Pangan Kita.
http://www.pdii.lipi.go.id/wpcontent/uploads/2011/09/rahmat-alamkebijakan-pangan.pdf. diakses 15 Agustus
2012
Atman, 2009.Strategi Peningkatan Produksi Kedelai di
Indonesia Vol VIII No.1:
39-45
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Deptan,
2007. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Kedelai. Jakarta
Balitkabi. 2008 Teknologi produksi kedelai: Arah dan
pendekatan pengembangan. Warta Litbang
Pertanian. Vol. 30. No. 1. Tahun 2008. Badan
Litbang Pertanian Jakarta. Hlm.5-6.
Dermorejdo,S.K., 2012.

.
Disertasi. Fakultas Pertanian UGM.
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2010

Jakarta: Kementrian
Pertanian.
Kementan, 2012.
. Jakarta
Mardianto, S. dan Ariani,W., 2004.Kebijakan Proteksi
dan Promosi Komoditas Beras di Asia dan
Prospek Pengembangannya di Indonesia.
Vol.2 No.4: 340353.
Sari, F.D, 2011.

. Skripsi.IPB.

83

Prosiding Semnas FAI 2012 ISBN: 978-602-18810-0-2

Sumarno, F. Daupphin, A.Rachim, N.Sunarlim,


B.Santoso, H.Kunstyastuti, dan Harnoto, 1989.
.
Pusat Palawija. Bogor.

Supadi, 2009. Dampak Impor Kedelai Berkelanjutan


Terhadap Ketahanan Pangan.
Vol. 7 No.1: 87-102.
Zakaria,K.A.,2010. Kebijakan Pengembangan Budidaya
Kedelai Menuju Swasembada Melalui
Partisipasi Petani.
Vol.8 No.3:259-272

84

You might also like