You are on page 1of 16

Simulium sp.

& Culex

MAKALAH PARASIT DAN PENYAKIT IKAN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
PERIKANAN B
DISA NIRMALA

230110140088

DEWANTO BISMANTORO

230110140115

ANNISA PUTRI SEPTIANI

230110140132

HYUNANDA

230110140134

PROGRAM STUDI PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016

Simulium sp.
KLASIFIKASI Simulium sp.
Kingdom
Phyllum
Sub phyllum
Classis
Sub classis
Ordo
Sub ordo
Familia
Sub familia
Genus
Spesies

: Animalia
: Arthropoda
: Mandibulata
: Insecta
: Pterygota
: Diptera
: Nematocera
: Simuliidae
: Simuliinae
: Simulium
: Simulium sp

Simulium adalah sejenis lalat kecil (3mm- 8mm), penghisap darah seperti nyamuk
atau agas yang termasuk ke dalam Ordo Diptera, Subordo Nematocera, Famili Simuliidae.
Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah lalat punuk karena mempunyai daerah toraks
yang menonjol. Umumnya lalat ini berwarna hitam sehingga dikenal dengan istilah blackfly.
Istilah ini sebenarnya tidak cocok lagi karena ada jenis yang berwarna kuning keemasan
seperti Simulium ochraceum di Amerika latin. Di Kanada lalat ini dikenal dengan istilah no
see um karena kecil dan tidak tampak jelas dilihat dengan mata saat mereka berkerumun.
Dimanapun berada lalat ini merupakan pengganggu karena gigitannya dan dapat
menyebarkan penyakit, dan biasanya setiap wilayah lalat ini mempunyai nama khusus dalam
bahasa lokal.
Famili Simuliidae terdiri atas 1809 species (termasuk 11 spesies punah) tersusun
dalam 28 genera dengan empat di antaranya Simulium, Prosimulium, Cnephia and
Austrosimulium. Keempat genus tersebut mempunyai arti ekonomi karena merugikan
manusia atau hewan, dan semuanya tergolong dalam Subfamili Simuliinae. Subfamili
Parasimuliinae terdiri atas empat spesies hanya tercatat dari Amerika Utara bagian barat.
Genus terbesar dari famili ini adalah Simulium dengan 1200 spesies tersusun dalam 42
subgenera.

Gambar 1. Simulium sp.


Simulium terdapat di semua wilayah zoogeografis dengan jumlah terbesar (410
spesies) dilaporkan dari daerah Palaearktik. Prosimulium dengan 110 spesies digolongkan
dalam enam subgenera banyak terdapat di daerah Holoarktik seperti genus Cnephia.
Austrosimulium terbatas terdapat di Australia dan New Zealand. Genera besar lainnya adalah
Gigantodax dengan 65 spesies di daerah Neotropik dan Metacnephia dengan 51 spesies di
Holarktik. Famili Simuliidae kaya akan spesies kompleks yang kebanyakan hanya bisa
dibedakan dengan sitotaksonomi (dengan pemerikasaan kromosom kelenjar ludah larva).
Contoh yang sangat baik dari spesies kompleks adalah S. damnosum asal Afrika dengan 40
jenis sitotipe.
Di Indonesia saat ini telah dilaporkan hanya ada satu genus yaitu Simulium dengan
sekitar 100 spesies tersebar di seluruh tanah air. Di pulau Jawa sendiri monograf terkhir
menunjukkan bahwa ada 22 spesies, antara lain Simulium sigiti, S. javaense, S.
parahiyangum dan S. upikae (Takaoka & Davies 1996). Nama- nama yang mengikuti tersebut
ada nama orang dan nama daerah. Sistem penamaan ini mengikuti sistem tata nama yang
berlaku di dalam taksonomi hewan secara umum. Sebagai contoh, S. sigiti adalah bentuk
penghargaan yang diberikan oleh penemu spesies ini kepada seseorang yang berjasa di dalam
proses penemuan spesies baru tersebut yaitu Prof Dr. Singgih H. Sigit, MSc dari Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB (Takaoka & Hadi 1991).

MORFOLOGI Simulium sp.


Kepala
Penglihatan (mata) memainkan peran penting dalam perilaku Simulium. Lalat ini
mempunyai hamper seratus mata (ommatidia). Sebagi mata majemuk, mata-mata ini terletak
pada bagian atas kepalanya. Pada yang betina setiap ommatidia berukuran kecil (10-15

mikron) dan mata majemuk ini terpisah dengan baik di atas antena (dikhoptik). Pada yang
jantan mata majemuk lebih besar dan bersentuhan satu sama lain (holoptik), dan ommatidia
bagian bawah menyerupai betina tetapi yang bagian atas sangat besarbesar (25-40 mikron).
Antenanya kokoh seperti tanduk, beruas-ruas, umumnya 11 ruas, baik pada jantan maupun
betina. Meskipun demikian ada juga yang memiliki 10 ruas seperti pada jenis
Austrosimulium, dan 9 ruas pada jenis Prosimulium dari Amerika Utara. Palpinya terdiri atas
5 ruas agak lebih panjang dari pada probosisnya yang pendek. Ruas ketiga palpi memiliki alat
sensoris yang besar. Maksila dan mandibula pada yang jantan dan beberapa jenis betina yang
tidak menghisap darah tidak bergerigi. Jantan berbeda dari yang betina oleh besarnya punuk
pada toraks, merah dan besarnya mata, langsingnya abdomen dan adanya sepasang klasper
yang terlihat pada ujung abdomen.
Toraks
Sayapnya pendek (1.5-6.0 mm), lebar, tidak berwarna dan transparan, dengan lobus
anal yang besar. Venasi sangat khas dengan vena radial yang berkembang baik sepanjang sisi
anterior sayap dan vena-vena median dan kubital lemah di posterior. Karena penampilan
sayap yang lemah ini lalat Simulium mampu terbang di udara tenang berkilo-kilometer.
Sektor radial bisa tidak bercabang atau mempunyai dua cabang. Di antara vena median (M2)
dan kubital (Cu1) terdapat cabang lipatan submedian. Pada Simulium dan Austrosimulium
sektor radial pada syap tidak bercabang; kosta mempunya rambut seta sepeti duri dan rambutrambut halus, dan tungkai belakang mempunyai lobus bulat (kalsipala) pada ujung bagian
dalam ruas tarsus pertama, dan sebuah celah dorsal (pedisulkus) dekat dasar ruas tarsus
kedua.
Pada Prosimulium sektor radial bercabang (kadang-kadang hanya sedikit), kosta
hanya memiliki rambut-rambut halus, dan tungkai belakang tidak memiliki kalsipala dan
pedisulkus. Pada lalat dewasa, identifikasi spesies seringkali sulit karena membutuhkan
karakter mikroskopis seperti struktur terminalia jantan dan betina. Namun demikian, banyak
spesies dapat diidentifikasi dengan relatif mudah menggunakan karakter organ pernafasan
pada stadium pupa, dan atau karakter kepala stadium larva.
Abdomen.
Perutnya terdiri atas 8 ruas, tiga ruas terakhir terdapat alat kelamin (genitalia) dan
tidak terlihat. Ujung abdomen jantan lebih kompak dan relatif tidak tampak. Betina
mempunya satu spermateka yang bentuknya subsperikal ( agak membulat).

SIKLUS HIDUP Simulium sp.


Periode siklus hidup bervariasi pada setiap spesies dan kondisi lingkungan. Pada
spesies yang hidup di daerah beriklim sedang dalam setahun bisa terjadi hanya satu generasi,
sementara di daerah tropis sepanjang tahun bisa terjadi beberapa generasi. Stadium larva S.
damnosum dapat diselesaikan dalam waktu enam hari, dan siklus hidup dari telur hingga
dewasa dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 2 minggu. Telur, larva dan pupa hanya
ditemukan di aliran air. Setiap spesies berbeda-beda mulai dari gelombang air dekat danau
sampai aliran kecil di tengah hutan, sungai besar atau aliran air terjun. Distribusi lalat ini di
seluruh dunia, kecuali di daerah gurun atau pulau yang terisolasi tanpa aliran air.
Telur.

Gambar 2. Telur Simulium sp.


(Sumber: http://cal.vet.upenn.edu/projects/paralab/labs/lab8.htm)

Telur umumnya diletakkan dalam kelompok-kelompok berjumlah 200-300 butir,


dengan kisara 30-800 butir, pada benda-benda di dalam atau dekat aliran air atau langsung ke
dalam air atau pada permukaan air. Telur dijatuhkan langsung ke dalam air dan tenggelam ke
dasar atau diletakkan pada benda-benda yang muncul dekat dengan garis air, tempat mereka
langsung bash oleh air atau daerah cipratan air. Kumpulan telur bisa dibuat oleh beberapa
betina yang bertelur di sekitar tempat yang berdekatan, dan terdapat bukti bahwa betina
bunting tertarik meletakkannya pada tumpukan telur dari spesies yang sama. Hal ini mungkin
ditimbulkan oleh kehadiran feromon. Lalat betina dari beberapa spesies berkerumun pada
ketinggian 15 cm dari permukaan air untuk meletakkan telurnya pada benda-benda yang
terendam air Telur berukuran pannjang 100 - 400 m dan bentuknya segitiga ovoid.
Permukaannya halus dan tertutup oleh lapisan gelatin. Telur diletakkan dalam gelendong
seperti rangkaian manik-manik, atau dalam kelompok tidak teratur. Telur yang baru
diletakkan berwarna krem keputihan, berubah menjadi coklat gelap atau hitam dalam waktu
24 jam. Telur lalat ini sangat sesitif terhadap kekeringan.

Larva.

Gambar 3. Larva Simulium sp


(Sumber: http://cal.vet.upenn.edu/projects/paralab/labs/lab8.htm)

Telur menetas menjadi larva yang mempunyai kepala yang keras dan jelas, sepasang
mata sederhana, bentuk tubuh yang silinder dengan toraks dan bagian posterior abdomen
lebih lebar dari pada ruas abdomen anterior. Kepala memiliki sepasang kipas sefalik (labral),
struktur homolog sikat palatal lateral nyamuk. Larva tidak menciptakan aliran tetapi
menyaring air yang melewati tubuhnya. Larva memiliki satu proleg anterior (tangan palsu)
yang dikelilingi kait-kait sirklet, dan ujung abdomen dikelilingi sirklet posterior. Anus
terbuka dan terdapat di dorsal sirklet posterior, dari situ muncul organ rektal, yang mungkin
fungsinya sama dengan anal papila pada larva nyamuk yaitu menyangkut penarikan klorida
dari air. Larvanya memintal benang sutra pada substrat, yang diteruskan menjadi benang
sutra, sebagai alat yang digunakan ketika mempertahankan diri dari aliran air deras atau saat
ada gangguan. Ketika sudah stabil dengan tempat yang dipilihnya, ia akan mencapkan sirklet
posteriornya.
Larva umumnya bertahan di dekat permukaan air, dan biasanya ditemukan pada
kedalaman kurang dari 300mm (kecuali pada spesies besar yang bisa ditemukan pada
kedalaman beberapa meter dalam air jeram (turbulent water). Larva dapat berpindah tempat
dengan menghanyutkan tubuhnya ke dalam aliran air dengan bantuan benang sutra, atau
dengan melangkahkan tubuhnya dari permukaan substrat dengan sirklet posterior dan kait
anterior proleg untuk mempertahankan cairan sutra. Beberapa spesies menyebar lebih jauh
dari tempat meletakkan telurnya. Posisi larva ketika makan adalah berdiri dengan sirklet
posterior menempel pada substrat dan mengarah ke aliran air dengan kepala menghadap ke
bawah. Tubuhnya bisa berputar 90-180 derajat sehingga rambut kipasnya menghadap
permukaan air. Aliran air terbagi oleh proleg dan mengarah ke rambut kipas. Cairan lengket
yang dikeluarkannya berasal dari kelenjar sibarial sehingga kipas mampu menangkap
partikel-partikel halus. Partikel makanan ini dibawa masuk ke sibarium oleh sikat mandibula.
Larva pada beberapa spesies mempertahankan daerah teritorialnya, dan mampu bergerak ke
daerah aliran air bagian atas milik tetangganya, sehingga terjadi kompetisi makanan.
Pertahanan daerah teritorial menurun secara dramatis ketika makanan berlimpah. Larva

famili Simuliidae menelan makanan seperti bakteri, diatom, algae dan endapan lumpur
berukuran sampai 350 m, tetapi umunya menelan partikel berukuran 10-100 m.
Larva Simuliidae banyak terdapat di aliran air deras, tempat larva dapat menyaring
sebanyak mungkin volume air dalam waktu tertentu. Konsentrasi larva dalam jumlah besar
sering ditemukan pada aliran keluar danau, tempat air yang kaya akan fitoplankton sebagai
makan larva mengalir. Gerakan air yang melewati permukaan tubuh larva menyediakan
sumber oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup untuk pernafasan larva. Panjang larva
Simuliidae mencapai 4 to 12 mm, dan mudah terlihat pada benda yang terendam. Pada
beberapa spesies larva menenpel pada tubuh kepiting di sungai dan nimfa lalat sehari
(mayfly). Larva instar terakhir (mature) dapat dikenali dengan adanya bercak insang gelap
("gill spot") pada kedua sisi toraks, dan dapat bergerak ke tempat lain sebelum proses pupasi.
Pupa

Gambar 4. Pupa Simulium sp.


(Sumber: http://cal.vet.upenn.edu/projects/paralab/labs/lab8.htm)

Umumnya pupa Simuliidae memintal kokon. Bentuk kokon bervariasi ada yang
sandal (slipper-shaped) dan sepatu (shoe-shaped). Kokon ujungnya yang tertutup mengarah
ke hulu (upstream) dan yang terbuka mengarah ke hilir (down stream). Hal ini mencegah
kokon terkoyak oleh aliran air. Pembentukan kokon memerlukan waktu sekitar satu jam dan
kemudian kulit larva dilepas. Pada pupa, kepala dan torak punya bergabung menjadi
sefalotoraks, dan terdapat ruas-ruas abdomen. Ujungnya memiliki spina dan kait-kait yang
mengikat benang-benangkokon dan menenpelkan pupa pada substrat. Sefalotoraks memiliki
sepasang insang pupa (pupal gills) yang jumlahnya, panjangnya, dan percabangannya
berbeda-beda pada setiap spesies.
Pupal gill ini serupa dengan corong pernafasan pada Culicidae dan Ceratopogonidae,
tetapi tidak mempunyai spirakel terbuka. Pupa ini tidak makan, dan berubah warna menjadi
gelap saat lalat dewasa sedang berkembang. Ketika lalat dewasa muncul, kulit pupa
membelah, lalat dewasa muncul ke permukaan dalam gelembung udara, dan segera terbang,
atau yang baru saja muncul tersebut bertengger pada benda dekat permukaan air.

Dewasa.
Lalat dewasa biasanya muncul pada siang hari tergantung cahaya dan suhu. S.
damnosum 60-90% muncul menjadi lalat dewasa di siang tengah hari dan tidak ada yang
muncul pada malam hari.

GEJALA KLINIS
Sebagai Vektor pada Penyakit Leukositozoonosis
Penularan penyakit Leukositozoonosis, melalui media Iornithiphilous yang terinfeksi.
Simulium sp dan Culicoides sp yang berperan sebagai vektor. Hanya Leucocytozoon caullervi
Leucocytozoon caullervi yang disebarkan oleh Culicoides sp., sedangkan leucocytozoon
lainnya disebarluaskan oleh Simulium sp. Perkembangan seksual dari protozoa ini terjadi
dalam vektor dan menjadi lengkap minimal pada hari keempat.
Gejala klinis ayam yang terserang penyakit Leukositozoonis adalah ayam menderita
demam, lemah, nafsu makan menurun, pincang, bahkan sering terjadi kelumpuhan kaki.
Gejala-gejala ini datang secara tiba-tiba. Sedangkan tanda-tanda yang mencolok adalah
muntah dan feses berwarna kehijau-hijauan. Tapi umumnya tanda-tanda seperti itu baru
diketahui sesaat sebelum ayam tersebut mati akibat pendarahan.
Kematian akibat penyakit ini terjadi seminggu setelah ayam terinfeksi. Sedangkan
serangan pernyakit itu sendiri datangnya secara bertahap. Kematian biasanya disebabkan oleh
kerusakan sel-sel darah putih (leukosit) limpha. Ayam yang menderita anemi parah akan
tampak sulit bernafas. Hal ini disebabkan oleh jumlah parasit di dalam dinding kapiler paruparu meningkat. Bila peradangan sudah mencapai otak, ayam akan menunjukkan gerakan
yang tidak terarah.
PENGENDALIAN
Pengendalian lalat hitam tergolong sulit karena serangga tersebut berkembang di
dalam air, yang kerapkali letaknya jauh dari peternakan ayam dan jika dilakukan pemberian
insektisida dapat membunuh ikan yang hidup di lingkungan tersebut. Beberapa ahli
melaporkan bahwa pemberian 2% temefos dalam bentuk granul dapat menekan jumlah larva
dan lalat hitam dewasa. Pengendalian lalat tersebut dapat juga dilakukan dengan agen
biologik, misalnya Bacillus thuringiensis varietas israelenis. Metode pengendalian tersebut
biasanya dilakukan setiap minggu pada daerah yang menjadi tempat perkembangbiakan lalat
hitam.

Pengendalian yang efektif terhadap penyakit Leukositozoonosis adalah mengusahakan


sanitasi perkandangan yang baik. Sumber-sumber lalat harus dibasmi, supaya tidak menjadi
vektor yang membawa parasit penyebab penyakit Leukositozoonosis. Menjelang musim
mangga (sekitar bulan September dan Oktober), secara berkala ayam diberi obat Neo Sulfa,
dengan dosis 2 sendok makan dicampur 3,8 liter air minum selama 3 hari berturut-turut.

Culex
KLASIFIKASI Culex
Menurut Clement (1963) dan Dharmawan (1993) klasifikasi dari nyamuk Culex
quinquefasciatus Say. adalah :
Kingdom
Phyllum
Sub phyllum
Classis
Sub classis
Ordo
Sub ordo
Familia
Sub familia
Tribus
Genus
Spesies

: Animalia
: Arthropoda
: Mandibulata
: Insecta
: Pterygota
: Diptera
: Nematocera
: Culicidae
: Culicinae
: Culicini
: Culex
: Culex quinquefasciatus Say.

MORFOLOGI Culex
Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit yang
penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis.
Nyamuk dewasa dapat berukuran 4 10 mm (0,16 0,4 inci). Dan dalam morfologinya
nyamuk memiliki tiga bagian tubuh umum: kepala, dada, dan perut. Nyamuk Culex yang
banyak di temukan di Indonesia yaitu jenis Culex quinquefasciatus.
Nyamuk Culex sp. merupakan golongan serangga penular (vektor). Nyamuk Culex sp.
merupakan jenis nyamuk yang menggigit pada malam hari dan menjadi pengganggu bagi
manusia. Nyamuk ini berkembang biak di dalam air yang permanen dan tersebar luas di kota
maupun di desa. Nyamuk dari genus Culex sp. dapat menyebarkan penyakit Japanese
Encephalitis atau radang otak dan sebagai vektor penyakit Filariasis. Nyamuk Culex sp.
sebagai penyebab penyakit Japanese Encephalitis dan Filariasis dapat dikendalikan dengan
menghambat populasi vektor yaitu dengan pemberian insektisida atau larvasida.

SIKLUS HIDUP Culex


Daur hidup nyamuk Cx. quinquefasciatus Say. terdiri atas stadium telur, larva
(jentik), pupa (kepompong), dan nyamuk dewasa.

a. Telur
Nyamuk Culex biasa bertelur dan menetaskan telur di perairan tawar yang relatif
kotor, seperti di got saluran air dan di pembuangan air limbah rumah tangga. Telur Culex
diletakkan dalam bentuk rakit-rakit di atas permukaan air (Borror et al, 1992). Pada
waktu dikeluarkan oleh induk, telur berwarna putih, setelah beberapa menit telur berubah
menjadi berwarna abu-abu, dan setelah kurang lebih 30 menit telur berwarna hitam.
b. Larva
Dalam waktu 1 3 hari telur menetas menjadi larva yang disebut larva instar 1,
selanjutnya berkembang menjadi larva instar 2, 3, dan 4. Setiap akhir instar, larva
melakukan pergantian kulit atau ekdisis (moulting). Larva Culex terdiri atas kepala,
thorax, dan abdomen (Borror et al, 1992). Larva nyamuk bergerak sangat lincah dan aktif
(mobil), dengan memperlihatkan gerakan naik ke permukaan dan turun ke dasar tempat
perindukan.
Sebagian besar larva nyamuk adalah filter feeder atau memakan mikroorganisme
lainnya

dalam

air,

algae

dan

kotoran

organik

(Borror

et

al,

1992;

www.geocities.com/kuliah_farm/parasitologi/insecta.doc). Selain itu larva sangat aktif


makan dengan sifat bottom feeder, karena mengambil makanan di dasar tempat
perindukan. Partikel-partikel organik yang berada di dalam air, merupakan salah satu
makanan bagi larva nyamuk.
Larva menyerap oksigen melalui seluruh permukaan tubuh, dan menghirup udara
dari permukaan air melalui corong pernapasan atau sifon (Anonim, 1988). Posisi larva
Culex quinquefasciatus Say. pada permukaan air adalah menyudut. Hal ini dikarenakan
hanya ujung sifon saja yang menempel pada permukaan air (Borror et al, 1992).
c. Pupa
Pupa Cx. quinquefasciatus Say. bergerak sangat aktif dan seringkali disebut akrobat
(tumblers), yang bernapas pada permukaan air melalui perantaraan corong pernapasan
yang berpasangan berbentuk seperti terompet kecil pada toraks (Borror et al, 1992;
Anonim, 1988).
Pupa berbentuk seperti koma. Pada bagian distal abdomen terdapat sepasang
pengayuh yang lurus dan runcing. Jika terkena gangguan oleh gerakan atau tempat
perindukannya tersentuh, pupa akan bergerak cepat masuk ke dalam air selama beberapa
detik kemudian muncul kembali ke permukaan air (Christopers, 1960).
d. Nyamuk dewasa
Setelah 2-3 hari, dari pupa akan muncul nyamuk dewasa melalui proses robeknya

kulit pada bagian thorax (www.geocities.com/kuliah_farm/parasitologi/insecta.doc).


Nyamuk jantan muncul lebih dahulu daripada nyamuk betina. Tubuh nyamuk Culex
dewasa terdiri dari bagian kepala, thoraks, dan abdomen. Nyamuk berwarna hitam coklat
baik tubuh maupun kakinya (Borror et al, 1992).
Nyamuk dewasa betina dapat tahan hidup selama 4-5 bulan, terutama pada periode
hibernasi (musim dingin). Pada musim panas (kemarau) merupakan masa aktif dan
nyamuk betina hanya hidup selama 2 minggu. Nyamuk jantan hanya hidup sekitar 1
minggu, tetapi
pada kondisi optimal (cukup makan dan kelembaban), dapat hidup lebih dari 1 bulan
(www.geocities.com).

Gambar 5. Daur hidup nyamuk Cx. quinquefasciatus Say.


(Sumber : www.geocities.com)

GEJALA KLINIS
Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit yang
penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis.
Gejala klisnis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan cacing dewasa baik yang
hidup maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam
keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing
dewasa menyebabkan limfadenitis dan limfagitis retrograd dalam stadium akut, disusul
dengan okstruktif menahun 10 sampai 15 tahun kemudiam. Perjalanan filariasis dapat dibagi
beberapa stadium: stadium mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium
menahun. Ketiga stadium tumpang tindih, tanpa ada batasan yang nyata. Gejala klinis

filariasis bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan dengan yang
terdapat di daerah lain (Parasitologi Kedokteran, 2008).
Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan limfosintigrafi
menunjukkan adanya kerusakan limfe. Cacing dewasa hidup dapat menyumbat saluran limfe
dan terjadi dilatasi pada saluran limfe, disebutlymphangiektasia. Jika jumlah cacing dewasa
banyak dan lymphangietaksia terjadi secara intensif menyebabkan disfungsi system limfatik.
Cacing yang mati menimbulkan reaksi imflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif,
lumen tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan sirkulasi limfatik terus berlanjut
pada individu yang terinfeksi berat sampai semua saluran limfatik tertutup menyebabkan
limfedema di daerah yang terkena. Selain itu, juga terjadi hipertrofi otot polos di sekitar
daerah yang terkena (Pathology Basic of Disease, 2005).
Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe, berupa
limfaadenitis dan limfagitis retrograd yang disertai demam dan malaise. Gejala peradangan
tersebut hilang timbul beberapa kali setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu atau
dua minggu lamanya. Peradangan pada system limfatik alat kelamin laki-laki seperti
funikulitis, epididimitis dan orkitis sering dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak
menyerupai tali dan sangat nyeri pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang
meradang tersebut menyerupai hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang
paling sering dijumpai adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan
elephantiasis yang mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva.
Kadang-kadanag terjadi kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena
dilatasi pembuluh limfe pada system ekskretori dan urinary. Umumnya penduduk yang
tinggal di daerah endemis tidak menunjukan peradangan yang berat walaupun mereka
mengandung mikrofilaria (Parasitologi Kedokteran, 2008).
Japanese B. enchepalitis
Japanese encephalitis merupakan penyakit akut yang ditularkan melalui nyamuk
terinfeksi. Virus Japanese encephalitis termasuk famili Flavivirus. Penyakit ini pertama
dikenal pada tahun 1871 di Jepang; diketahui menginfeksi sekitar 6000 orang pada tahun
1924, kemudian terjadi KLB besar pada tahun 1935; hampirsetiap tahun terjadi KLB dari
tahun 1946-1950. Virus Japanese encephalitispertama diisolasi pada tahun 1934 dari jaringan
otak penderitaensefalitis yang meninggal.
Vektor

utama

dari

virus

ensefalitis

Jepang

di

Asia

Tenggara

adalah

Culextritaeniorhynchus, Cx. gelidus dan Cx. vishnu. Nyamuk-nyamuk ini berbiak di sawah,

tempat-tempat genangan air dan tempat-tempat permandian. Jenis-jenis nyamuk Culicinae


yang lain seperti Aedes spp., Armigeres spp. dan Anopheles spp juga dapat menjadi vektor
dari penyakit ini. Nyamuk, Culex tritaeniorrhynchus banyak ditemukan pada persawahan di
Sulawesi Utara. Berbeda dengan nyamuk demam berdarah yaitu Aedes aegypti yang aktif
pada waktu siang maka nyamuk Culex spp. Ada yang aktif pada waktu siang dan ada yang
aktif waktu malam.
Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi
nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia (diperkirakan
sporadik, terutama di daerah pertanian). Pengendalian vektor penyakit ini yaitu
mengendalikan nyamuk vektor (Culex, Aedes dan Anopheles) bentuk dewasa dengan cara
pengasapan (fogging) secara masal dapat menurunkan infeksi virus Japenese enchepalitis
dansekaligus virus penyebab demam berdarah dan penyakit malaria.
PENGENDALIAN
Pengendalian nyamuk dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Pengendalian secara mekanik
Cara ini dapat di lakukan dengan mengubur kaleng-kaleng atau tempat-tempat sejenis
yang dapat menampung air hujan dan membersihkan lingkungan yang berpotensial di
jadikan sebagai sarang nyamuk Culex sp misalnya got dan potongan bambu. Pengendalian
mekanis lain yang dapat dilakukan adalah pemasangan kelambu dan pemasangan
perangkap nyamuk baik menggunakan cahaya lampu dan raket pemukul.

[11]

2. Pengendalian secara biologi


Intervensi yang di dasarkan pada pengenalan organisme pemangsa, parasit, pesaing
untuk menurunkan jumlah Culex sp. Ikan pemangsa larva misalnya ikan kepala timah,
gambusia ikan mujaer dan nila di bak dan tempat yang tidak bisa ditembus sinar matahari
misalnya tumbuhan bakau sehingga larva itu dapat di makan oleh ikan tersebut dan
merupakan dua organisme yang paling sering di gunakan. Keuntungan dari tindakan
pengendalian secara biologis mencakup tidak adanya kontaminasi kimiawi terhadap
lingkungan.

[8]

Selain dengan penggunaan organisme pemangsa dan pemakan larva

nyamuk pengendalian dapat di lakukan dengan pembersihan tanaman air dan rawa-rawa
yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan
genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk dan membersihkan semak-semak di
sekitar rumah dan dengan adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi
jumlah gigitan nyamuk pada manusia apabila kandang ternak di letakkan jauh dari rumah.

3. Pengendalian secara kimiawi


Penggunaan insektisida secara tidak tepat untuk pencegahan dan pengendalian infeksi
dengue harus dihindarkan. Selama periode sedikit atau tidak ada aktifitas virus dengue,
tindakan reduksi sumber larva secara rutin, pada lingkungan dapat dipadukan dengan
penggunaan larvasida dalam wadah yang tidak dapat dibuang, ditutup, diisi atau ditangani
dengan cara lain.

DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bambang Murtidjo. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Yogyakarta:
Kanisius (Anggota IKAPI)
Budiman dan Suyono. 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Kesehatan
Lingkungan. Jakarta : EGC
http://cal.vet.upenn.edu/projects/paralab/labs/lab8.htmi
Kesumawati, Upik Hadi. Apakah Simulium Itu?. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Melasari. 2015. Deteksi dan Faktor Risiko Leucocytozoonosis pada Tingkat Peternakan
Ayam Pedaging di Kelurahan Maccope Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone.
[Skripsi]. Makasar : Fakultas Kedokteran UNHAS
Soemirat Slamet, Juli. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press

You might also like