You are on page 1of 25

PENDAHULUAN

Asites adalah penimbunan

cairan serosa secara abnormal yang menempati

rongga peritoneum, kata asites berasal dari bahasa yunani askites dan askos yang
berarti kantong dan perut. Perkembangan asites penting dalam perjalanan
alamiah sirosis karena dikaitkan dengan mortalitas 50% lebih dari dua tahun dan
menandakan kebutuhan untuk mempertimbangkan transplantasi hati sebagai
terapi pilihan. Sebagian besar (80%) dari pasien yang hadir dengan asites yang
mendasarinya adalah sirosis, dengan sisanya karena keganasan (10%), gagal
2

jantung (3%), TBC (2%), pankreatitis (1%), dan penyebab langka lainnya.

Riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh sangat


penting untuk menilai derajat asites dan etiologi yang mendasarinya. Gejala yang
sering dikeluhkan pasien adalah peningkatan ukuran lingkar perut, yang
dideskripsikan sebagai pembesaran ukuran pinggang dan lingkar celana pasien.
Pada beberapa kasus peningkatan ukuran lingkar perut pasien, justru diikuti
dengan penurunan berat padan terutama pada pasien dengan sirosis dan
keganasan. 1
Kelainan asites biasanya mulai tampak secara klinis apabila telah terjadi
penimbunan cairan paling sedikit 500 mL, cairan asites yang tertimbun dapat
mencapai berliter-liter dan menyebabkan distensi masif abdomen. Cairan asites
biasanya terdiri dari cairan serosa dengan protein 3g/dL (terutama albumin), serta
zat larut lainnya, misalnya glukosa, natrium, dan kalium. Cairan asites bisa juga
mengandung sedikit sel mesotel dan leukosit mononukleus. Influks neutrofil
menandakan adanya infeksi sekunder, sedangkan sel darah merah menandakan
kemungkinan kanker intra abdomen yang mungkin telah meluas. Pada asites
kronik, merembesnya cairan peritoneum melalui pembuluh limfa transdiafragma
dapat menyebabkan hidrotoraks.
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya asites, namun hasilnya akan relatif insensitif terutama pada pasien dengan
jumlah asites yang masih sedikit dan pada pasien yang obesitas. Jika volume

cairan >1500 ml, asites dapat diidentifikasi dengan teknik pemeriksaan shifting
dullness. Teknik ini adalah teknik pemeriksaan yang paling sensitif untuk menilai
adanya asites.1
Pendekatan klinik pada pasien dengan asites, lebih ditekankan pada keadaan
klinis pasien. Pada pasien dengan asites yang baru diketahui, prioritas utamanya
adalah menemukan etiologi asites, dan

managemen yang tepat bagi pasien.

Sedangkan pada pasien yang sudah diketahui penyakit yang mendasarinya seperti
sirosis hepatis, pendekatan klinik lebih ditujukan untuk memperbaiki kondisi
pasien dan mencegah ke arah komplikasi asites seperti hepatorenal sindrom. 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asites adalah keadaan patologis berupa terkumpulnya cairan dalam
rongga peritoneum abdomen. Istilah asites berasal dari bahasa yunani askites
dan askos yang berarti kantong dan perut. Pada laki-laki sehat, dapat
ditemukan sedikit atau tidak ada cairan didalam rongga peritoneum,
sebaliknya pada perempuan sehat dapat ditemukan sedikit (20cc) cairan
tergantung dari fase siklus menstruasi.3
2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya asites sangat bervariasi dan kasus yang paling
sering diakibatkan oleh sirosis hati, dan hepatic decompensation, 75-80%
kasusnya menunjukan adanya asites. Penyebab lainnya adalah keganasan
perioneum (metastasis peritoneum yang berasal dari tumor di saluran
gastroinstestinal, dan kanker ovarium), gagal jantung kongestif, peritoneum
tuberkulosa, dan beberapa kasus lainnya yang jarang anatara lain : perikarditis,
malnutrisi, meighs syndrom, budd chiari syndrom, dan lain-lain.2
Tabel 2.1 Etiologi Asites2
Penyebab

Persentase

Liver Disease:
Cirrhosis
Fulminant Hepatic Failure
Fatty liver of pregnancy
Neoplasms:
Hepatoma
Liver, peritoneal or lymphatic metastases
Lymphoma with Lymph Obstruction
Pseudomyxoma peritonei
Meigs Syndrome (Ovarian Fibroid)
Heart Failure:
Cor pulmonal heart disease & COPD
ASHD or VHD with biventricular CHF
Constrictive Pericarditis
Infections:

80-85%

10%

3%

Tuberculosis
Spontaneous Bacterial Peritonitis
Pelvic Inflammatory Disease (Chlamydia)
HIV
Venous occlusion:
Supradiaphragmatic IVC Occlusion
Budd-Chiari Syndrome
Veno-occlusive disease \\
Dialysis Related
Nephrotic Syndrome
Inflammatory:
Pancreatitis
Bile Peritonitis
Chronic lymphatic inflammation/fibrosis
Connective Tissue Disease
Trauma:
Ruptured Viscus
Trauma to the abdominal cysterna chyli
Nutritional:
Marasmus
Kwashiokor
Endocrine:
Myxedema
Endometriosis

1%

<1%

<1%

<1%
<1%
<1%

2.3 Klasifikasi Asites


1. Asites tanpa komplikasi
Asites yang tidak terinfeksi dan tidak terkait dengan perkembangan sindrom
hepatorenal. Asites dapat dinilai sebagai berikut:
a. Grade 1 (Mild), asites hanya terdeteksi dengan pemeriksaan USG
b. Grade 2 (Moderate), asites menyebabkan distensi perut simetris moderat
c. Grade 3 (Large), asites ditandai dengan distensi abdomen4
2. Asites Refrakter
Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau yang kambuh lebih awal
(yaitu, setelah terapi paracentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi
medis. Asites ini termasuk dua subkelompok yang berbeda. 4
a.

Diuretic resistant ascites, asites refrakter terhadap retriksi diet sodium


dan pengobatan diuretik intensif (spironolakton 400 mg / hari dan
frusemid 160 mg / hari selama setidaknya satu minggu, dan diet retriksi
garam kurang dari 90 mmol / hari (5,2 g garam) / hari).

b.

Diuretic intractable ascites, asites refrakter terhadap terapi karena


perkembangan komplikasi yang diinduksi diuretik yang menghalangi
penggunaan diuretik dosis efektif. 4

Tabel.1 Definisi dan kriteria diagnostik asites refrakter pada sirosis4

Asites biasanya merupakan tanda dari proses penyakit kronis, pada


dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui dua
mekanisme dasar yaitu transudasi dan eksudasi.2

Asites eksudatif memiliki kandungan protein tinggi dan terjadi pada

peradangan (biasanya infektif, misalnya TB) atau proses keganasan


Asites transudatif terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan
perubahan bersihan (clearance) natrium ginjal. Konstriksi perikardium dan
sindrom nefrotik juga bisa menyebabkan asites transudatif.
Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta

adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi
melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di
Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa
penyakit. Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi
semakin kompleks.2
2.4 Patogenesis Asites
5

Saat ini patofisiologi terbentuknya asites belum diketahui secara pasti,


namun ada beberapa teori yang dikemukakan untuk menjelaskan mekanisme
terbentuknya asites yaitu: Hipotesis underfilling, Hipotesis overfilling, dan
Hipotesis periferal vasodilatation.5
a. Teori Underfilling
Menurut teori underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma
yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi
porta

akan

meningkatkan

tekanan

hidrostatik

venosa

ditambah

hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan


intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi
air dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Akibat volume cairan
intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorsi
air dan garam melalui mekanisme neurohormonal persarafan simpatis dan
sistem renin-angiotensin-aldosteron. Sindrom hepatorenal terjadi bila
volume cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan
hasil penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis
hati terjadi vasodilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan
volume cairan intravaskular dan curah jantung. 5
b. Teori Underfilling
Hipotesis overfilling menyebutkan asites dimulai dari ekspansi
cairan plasma akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi
akibat peningkatan aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan
aktivitas hormon natriuretik karena penurunan fungsi hati. Hipotesis
overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan asites menjadi sindrom
hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan neurohormonal
yang terjadi pada sirosis hati dan asites. 5
c. Teori Vasodilatasi perifer
Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatasi perifer
(Hipotesis periferal vasodilatation). Menurut teori ini, faktor patogenesis
pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang sering
disebut sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering

disebut faktor sistemik. Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid


terjadi peningkatan resistensi sistem porta dan terjadi hipertensi porta.
Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan vasodilatasi
splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi sitem
porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi
splanchnic bed menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi
porta akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di sinusoid dan
selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum.
Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain: glukagon, nitric
oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor
natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P,
progtaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF). 5
Vasodilator endogen pada saatnya akan memengaruhi sirkulasi
arterial sistemik. Terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi
proses underfilling relatif. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan
Hipertensi Porta

aktivitas sistem saraf parasimpatik, sistem renin-angiotensin-aldosteron


dan arginin vasopresin. Akibat
selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi
Vasodilatasi
air dan garam oleh ginjalArterolaspangnikus
dan peningkatan indeks jantung.5
Tekanan Intrakapiler dan koefisien filtrasi meningkat
Volume efektif arteri menurun

Pembentukan cairan limfe lebih besar dari pada


Aktivasi
aliran balik
ADH, Sistemsimpatis, RAAS

Gambar 2.1 Bagan Patogenesis Asites menurut Teori Vasodilatasi Perifer.3

Peningkatan
epinefrin dan norepinefrin,
sertagaram
hipoalbuminemia
Terbentuk kadar
Asites
Retensi air dan
juga

berkontribusi

dalam

pembentukan

asites.

Hipoalbuminemia

mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi


ekstravasasi cairan plasma ke rongga peritoneum. Hipertensi porta juga
menyebabkan peningkatan kadar nitrat oksida Nitrat oksida merupakan
mediator kimia yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik
dan perifer(Hyperdinamic circulatory). Kadar NO pada arteri hepatika pasien

asites lebih besar daripada pasien tanpa asites. Dengan demikian, asites jarang
terjadi pada pasien sirosis tanpa hipertensi porta dan hipoalbuminemia.6

Gambar 2.2. Hipotesis Terjadinya Vasodilatasi Perifer (Peripheral


Vasodilation Hypothesis).5

2.5 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis asites, dapat dinilai dari beberapa hal,
antara lain dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Tahap awal untuk menegakkan diagnosis asites adalah dengan
melakukan anamnesis menyeluruh pada pasien, dan lebih mencari tahu
mengenai perjalanan penyakit pasien. Ascites bisa timbul mendadak atau
perlahan-lahan tergantung pada penyebabnya. Ascites ringan mungkin tidak
bergejala, moderate ascites mungkin memberi gejala peningkatan berat badan
dan rasa berat di perut, ascites dalam jumlah besar juga memberi gejala rasa
tidak nyaman di perut, dapat menimbulkan hernia umbilicalis, serta
menyebabkan elevasi dari diafragma yang akan menimbulkan gejala sesak
napas.5
Pada penderita ascites harus ditanyakan gejala penyakit atau faktor
risiko dari penyakit yang dipikirkan merupakan penyebab timbulnya ascites.
Pada penyakit hati, harus ditanyakan kebiasaan mengkonsumsi alkohol,
penggunaan jarum suntik bergantian, riwayat transfusi, konsumsi obatobatan, riwayat hepatitis serta penyakit hati dalam dalam keluarga. Pada
pasien dengan sirosis hepatis dapat ditemukan gejala umum yang terjadi
8

antara lain ikterus, asites dan edema perifer, hematemesis melena atau
ensefalopati (baik tanda gejala minimal hingga perubahan status mental.9
Untuk cardiac ascites harus ditanyakan gejala nyeri dada, sesak napas,
palpitasi, kelelahan, dan kecemasan. Selain itu untuk faktor risiko penyakit
kardiovaskuler seperti, riwayat merokok, alkohol, dan riwayat penyakit
jantung dikeluarga.10 Untuk ascites karena keganasan perlu diketahui riwayat
keganasan pada pasien terutama keganasan payudara, saluran pencernaan,
ovarium, atau lymphoma, serta harus ditanyakan gejala distensi abdominal,
nyeri abdomen difus, sesak (elevasi diafragma) ataupun gejala gangguan
pencernaan dan rasa terbaka didada yang dapat berkaitan dengan peningkatan
tekanan intraabdominal.11 Untuk negara berkembang, harus juga dipikirkan
kemungkinan asites yang disebabkan oleh tuberculosis, sehingga perlu
ditanyakan riwayat penyakit tuberculosis dan gejala konstitusi dari
tuberculosis berupa demam, penurunan berat badan ataupun keluhan nyeri
abdomen pada peritonitis TB.12 Mungkin juga terjadi pancreatic ascites, pada
pasien dengan riwayat pancreatitis kronis. Harus diingat bahwa pada seorang
pasien mungkin ditemukan lebih dari satu faktor predisposisi. 5

b. Pemeriksaan Fisik
Penderita dengan asites yang sudah pada tahap lanjut akan lebih mudah
untuk dikenali, pada inspeksi akan tampak perut yang membuncit, seperti
pada perut katak, selain itu umbilikus seolah bergerak ke arah kaudal
mendekati simpisis os pubis. Sering juga dijumpai hernia umbilikalis akibat
tekanan intraabdomen yang meningkat. Pada pemeriksaan perkusi, pekak
samping akan meningkat dan akan terjadi shifting dullness. Cairan asites yang
masih sedikit akan lebih susah untuk dideteksi, pada keadaan ini pemeriksaan
dengan teknik pudle sign akan lebih mudah mendeteksi adanya asites. Untuk
menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Ultrasonografi memiliki ketelitian yang tinggi untuk mendeteksi adanya
cairan asites. Selain itu pemeriksaan dengan menggunakan ultrasonografi
9

dapat membantu membedakan asites yang disebabkan karena sirosis hepatis


atau gagal jantung kongestif (Congestive heart failure/CHF).7
Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan diagnosis penyebab
asites, adanya eritema palmaris, spider angioma, splenomegali, kaput medusa
periumbilikalis, dan jaundice mengarahkan ke diagnosis gangguan hati.
Pembesaran vena didaerah panggul dan punggung pasien, mengarahkan pada
adanya tahanan pada vena cafa inferior misalnya pada tumor, atau
kegaanasan. Peningkatan vena jugular, kardiomegali, dan adanya bunyi
tambahan S3 saat auskultasi, dan buyi tambahan perikardial, mengarahkan
adanya asites karena gagal jantung, sedagakan apabila ditemukan adanya
edema anasarka mengarahkan pada sindroma nefrotik.
Pada pasien yang kurus, sebanyak 1500 mL cairan harus terakumulasi
terlebih dahulu, sebelum asites dapat diketahui secara klinik. Sedangkan pada
pasien yang gemuk, jauh lebih banyak cairan yang harus terakumulasi
terlebih dahulu, sebelum dapat dideteksi secara klinik dengan pemeriksaan.7
Teknik pemeriksaan asites :
1. Teknik Pekak Pindah (Shifting dullness)
Setelah membuat tanda yang memperlihatkan batas antara bunyi timpani
dan redup, minta pasien untuk memutar tubuhnya ke salah satu sisi,
lakukan perkusi dan tandai batas tersebut sekali lagi. Pada pasien yang
tidak mengalami asites, biasanya batas antara bunyi timpani dan redup
relatif tidak berubah. 11

10

Gambar 2.3 Teknik Pekak Pindah (Shifting dullness).11

Gambar 2.4 Teknik Pekak Pindah (Shifting dullness). 11

Gambar 2.5 Teknik Pemeriksaan Shifting Dullness, Gambar Berwarna


Hitam Menunjukkan Timpani. 11
2. Teknik Gelombang Cairan (Fluid Wave)
Minta pasien atau asisten untuk menekan dengan kuat kearah bawah pada
garis tengah abdomen menggunakan permukaan ulnar, kedua tangan
mereka. Tekanan ini akan membantu menghentikan transmisi gelombang
melalui jaringan lunak. Sementara itu, pemeriksa menggunakan ujung jari-

11

jari tangan untuk mengetuk dengan cepat pada salah satu pinggang pasien,
raba sisi pinggang yang lain untuk merasakan impuls yang ditansmisikan
melalui cairan asites. 11

Gambar 2.6 Teknik Gelombang Cairan (Fluid Wave) 11

3. Teknik Puddle Sign


Pemeriksaan ini dapat mendeteksi pada tahap awal asites. Pasien
diposisikan dalam posisi tengkurap dan menungging (knee chest position),
diatas tempat tidur periksa. Posisi ini bertujuan agar cairan asites dapat
berakumulasi dibagian bawah abdomen, cairan akan terakumulasi didaerah
umbilikus. Kemudian ketuk daerah tersebut, dengan menggunakan
stetoskop dengarkan apakah terdengar suara cairan (Splasing sound). Teknik
ini dapat mendeteksi adanya cairan asites pada jumlah yang masih sedikit
(120 mL).3

12

Gambar 2.7 Teknik Gelombang puddle sign3

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Structural Testing
Computed Tomography (CT Scan ) dan Ultrasonografi abdomen
sangat berguna untuk menilai ukuran, dan menentukan adanya
pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda-tanda hipertensi portal
(splenomegali), serta menilai lebarnya vena portal, dan vena hepatika
untuk menyingkirkan dugaan trombosis vena hepatika dan sindrom
Budd Chiari. Namun pemeriksaan menggunakan USG memiliki
keterbatasan untuk menilai asites pada pasien obesitas, karena
gelombang asites akan terhalang oleh jaringan lemak dan gas yang ada
di abdomen.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas dapat menilai
adanya varises esofagus dan portal gastropathy yang mengarahkan ke
hipertensi portal. Sedangkan pada pemeriksaan Radiografi thoraks
dapat menunjukaan tanda-tanda infeksi tuberculosa yang mengarahkan
pada diagnosa peritoneum tuberculosa. 3
2. Parasentesis Diagnostik
Parasentesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien
baru. Pemeriksaan cairan asites akan sangat membantu dan memberikan
informasi

yang

sangat

penting

untuk

pengelolan

selanjutnya.

Parasentesis adalah tindakan memasukkan suatu kanula kedalam rongga


peritoneum untuk mengeluarkan cairan asites.
Tindakan

parasentesis

sebaiknya

rutin

digunakan

untuk

menegakkan diagnosis pada pasien dengan asites, cairan asites yang


diambil 50-100 mL. Pemeriksaannya meliputi makroskopis, dan
mikroskopis anatara lain: kandungan protein, jumlah sel dan hitung

13

jenis sel, pemeriksaan bakteri, pemeriksaan BTA (Basil Tahan Asam),


dan pemeriksaan kultur bakteri. Selain itu dapat diperiksa sitologi dan
cell block jika dicurigai adanya keganasan.
Parasentesis abdomen diperlukan untuk pemeriksaan cairan
asites, dengan anestesi lokal jarum atau kateter dimasukkan melalui
dinding anterior abdomen. Lengkung-lengkung usus yang ada di
bawahnya tidak akan rusak, karena usus bersifat mobile dan didorong
oleh kanula. Jika kanula dimasukkan pada garis tengah, maka kanula
akan melalui struktur anatomi berikut : cutis, fascia superficialis, fascia
profunda,

linea

albaa,

fascia

transversalis,

jaringan

ikat

extraperitoneal, dan peritoneum parietale.


Jika kanula dimasukkan pada pinggang, lateral terhadap arteria
epigastrica inferior, dan diatas arteria cimcumflexa ileum profunda,
maka kanula akan melalui struktur berikut : cutis, fascia superficialis,
fascia profunda, aponeurosis atau muscvulus obliqus internus
abdominis,
transversum

musculus

obliqus

abdominis,

internus

fascia

abdominis,

transversalis,

musculus

jaringan

ikat

ekstraperitoneal, dan peritoneum parieatale. 12

Gambar 2.7 Parasentesis Cavitas Abdominalis pada Garis Tengah (A),


dan Lateral (B)12
Pemeriksaan Cairan Hasil Parasentesis:
Gambaran Makroskopis
Cairan asites hemoragik sering dihubungkan dengann keganasan. Warna
kemerahan dapat juga dijumpai pada asites akibat sirosis hepatis akibat
ruptur kapiler peritoneum. Chillous asites merupakan tanda ruptur
pembuluh limfe, sehingga cairan limfe berakumulasi di peritoneum.
14

1.

Perbandingan Nilai Albumin Serum dan Asites (Serum- Asites


Albumine Gradien).
Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada
hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Nilai gradien
dikatakan tinggi apabila >1,1 gram/dL, apabila kurang dari nilai
tersebut dikatakan rendah. Gradien tinggi terdapat pada asites
transudasi dan berhubungan dengan hipertensi porta, sedangkan nilai
gradien rendah lebih sering terdapat pada asites eksudat.
Tabel 2.3 Klasifikasi Asites dihubungkan dengan Albumin SerumAsites (Asites Albumin Gradient).3,5

Gradien Tinggi (>1,1 g/dL)


Sirosis hati
Gagal hati akut
Metastasis hati masif
Gagal jantung kongestif
Sindrom Budd-Chiari
Penyakit Veno-oklusif
Miksedema

Gradien Rendah (<1,1 g/dL)


Karsinomatosis peritoneum
Peritonitis tuberkulosa
Asites surgical
Asites biliaris
Penyakit jaringan ikat(Connective tissue disease)
Sindroma nefrotik
Asites pankreatik

2. Konsentrasi Protein (Protein Concentration)


Konsentrasi

Protein

dapat

digunakan

untuk

membantu

menegakkan diagnosis penyebab terjadinya asites. konsentrasi protein


cairan asites dibedakan menjadi dua, yakni transudat (<2,5g/ L) dan
eksudat (>2,5g/L). Pengunaan konsentrasi protein untuk membuat
diagnosis banding dari asites cukup sulit, dan terkadang justru
misinterpreted.
Tabel 2.4 Konsentrasi Protein pada Cairan Asites.
Eksudat (Protein >2,5g/dL)
Keganasan (80% kasus)
Tuberculosis (70% kasus)
Sirosis (15% kasus)
Gagal jantung kongestif
Pankretitis
Budd Chiari syndrome
Pericarditis
Syndrome nephrotic

Transudat (Protein
<2,5g/dL)
Keganasan (20% kasus)
Tuberculosis (30% kasus)
Sirosis (85% kasus)
Protein-losing enteropathy
Penyakit jaringan ikat
Sindroma nefrotik
Asites pankreatik

15

Tabel 2.5 Pendekatan Diagnosis dihubungkan dengan Albumin Serum-Asites


(Asites Albumin Gradient)
Kondisi

Albumin Serum-Asites (Asites


Albumin Gradient)*
Tinggi
Rendah

Sirosishepatis
Asites yang disebabkan
keganasan
Asites yang disebabkan
Tinggi
gangguan jantung
Keterangan.
*Tinggi = >1,1g/dL Rendah <1,1g/dL
**Tinggi = >2,5g/dL, Rendah <2,5g/dL

Asites Total Protein


level**
Rendah
Tinggi
Tinggi

3. Hitung Sel
Peningkatan jumlah sel leukosit menunjukan adanya proses
inflamasi. Untuk menilai asal infeksi, akan lebih tepat dengan
menggunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang meningkat lebih dari
250/mm

menunjukan

peritonitis

bakteri

spontan,

sedangkan

peningkatan MN lebih sering terjadi pada peritonitis tuberkulosa, atau


karsinomatosis.
4. Biakan Kuman
Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang
dicurigai akibat adanya infeksi. Asites yang terinfeksi akibat perforasi
usus akan menghasilkan kuman polimikroba, sedangkan periktonitis
bakteri spontan, yakni monomikroba. Metode pengambilan sampel
untuk biakan kuman asites sebaiknya disamakan dengan sampel untuk
biakan kuman dari darah yakni bed side innoculation blood cultur
botle.
5. Pemeriksaan Sitologi.
Pada kasus-kasus

karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan

sitologi asites dengan cara yang baik akan memberikan hasil true
positive hampir 100%. Sampel untuk pemeriksaan sitologi harus cukup
banyak 200 ml untuk meningkatkan sensitivity. Tumor penghasil
asites tidak melalui mekanisme karsinomatosis peritoneum sehingga
tidak dapat dipastikan melalui sitologi asites. tumor-tumor tersebut

16

anatara lain: karsinoma hepatoseluler masif, tumor hati metastasis,


limfoma yang menekan aliran limfe.

Tabel. 2.6 Karakteristik Cairan Asites pada Berbagai Penyakit. 13


Keadaan

TandaMakroskopis

Berat
Jenis

Protein
g/L

Sirosis

Bewarna seperti
jerami atau
mengandung bercak
getah empedu
Berwarna seperti
jerami, hemoragik,
mucinous atau chylous
Cairan jernih, keruh,
hemoragik, chylous

< 1,016
(95%)

< 25
(95%)

Bervariasi
> 1,016
(45%)
Bervariasi
>1,016
(50%)

> 25
(75%)

20%

> 1000 (50%) tipe


sel bervariasi

> 25
(50%)

7%

> 1000 (70%)


biasanya 70%
berupa limfosit

Jika
purulen
>1,016
Bervarias,
<1,016
(60%)
<1,016

Jika
purulen
>2,5
Bervariasi
15-33

Tidak biasa

Terutama leukosit
polimorfonuklear

10%

<25
(100%)

Tidak biasa

<1000 (90%)
Biasanya mesotel
mononuklear
<250, mesotelial,
mononuklear

Bervariasi
sering,
>1,016

Bervariasi
sering>25

Bervariasi
Mungkinde
ngan
bercakdarah

Neoplasma

Peritonitis
Tuberculosa

Peritonitis
Piogenik

Keruh, ataupurulent

Gagal
Jantung
Kongestif
Nefrosis

Berwarna seperti
jerami

Asites
Pankreatik
(Pankreatitis,
pseudokista)

Berwarna seperti
jerami atau chylous

Keruh, hemoragik,
atau chylous

Jumlah sel
Eritrosit>1
Leukosit per L
0.000 /L
1%
< 250 (90%) *
terutama sel
mesotelial

Bervariasi

Tes Lainnya

Sitologi, cell
block, biopsi
peritoneal
Biopsi
peritoneal,
pewarnaan dan
kultur untuk
basil tahanasam
(BTA)
Kultur,
pewarnaan gram
+

Jika chylous,
ektraksiieter,
pewarnaansuda
n
Peningkatan
kadar
Amylase dalam
cairan asitesdan
serum

Keterangan * : Karena keadaan pada saat pemeriksaan cairan asites dan memilih pasien tidak
identik untuk setiap seri, angka angka presentasi (dalam tanda kurung) harus
dipertimbangkan sebagai indikasi yang menunjukan urutan besarnya insidensi dan bukan
menunjukkan insidensi yang tepat untuk setiap hasil pemeriksaan yang abnormal.

17

2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan asites sebaiknya dilaksanakan secara komperhensif, meliputi :
1. Nonfarmakologi
a. Tirah Baring
Tirah baring dapat memperbaiki efektivitas diuretika, pada pasien
asites transudat yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan
efek diuretik tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal
dan filtrasi glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan
menyebabkan aktivitas simpatis dan sistem renin angiotensinaldosteron menurun. Yang dimaksud dengan tirah baring adalah bukan
istirahat total di tempat tidur, tanpa melakukan aktivitas. Tetapi tidur
telentang, dan kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah
minum obat diuretik.3
b. Diet Rendah Garam
Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis.
Konsumsi garam (NaCL) perhari sebaiknya dibatasi hingga 4060meq/hari. Hiponatremia ringan sampai sedang bukan merupakan
kontraindikasi untuk memberikan diet rendah garam, mengingat
hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif. Jumlah total
Na dalam tubuh sebenarnya diatas normal. Konsentrasi NaCl yang amat
rendah justru dapat menganggu fungsi ginjal.3
2. Farmakologi
a. Diuretika
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja secara
antialdosteron, misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan
diuretik hemat kalium, yang bekerja di tubulus distal dan menahan
reabsorsi Na. Efektivitas obat ini bergantung pada konsentrasinya di
plasma, semakin tinggi semakin efektif. Dosis yang dianjurkan antara
100-600mg/hari. Spironolakton berperan sebagai antagonis aldoseron
yang bekerja di tubulus distal, pengunaanya efektif pada pasien asites
dengan etiologi sirosis hepatis.3

18

Pada

pasien

yang

tidak

berespon

dengan

penggunaan

spironolakton, dapat juga dikombinasikan dengan Diuretik loop, seperti


misalnya furosemide. Pada beberapa pasien diuretika ini lebih
berpotensi daripada diuretik distal. Dosis awal yang direkomendasikan
sebesar 20-40mg/hari (max 160mg/hari).3
Komplikasi diuretik, pada pasien dengan sirosis hepatis harus
diwaspadai. Komplikasi seperti: gagal ginjal fungsional, gangguan
elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan enselopati
diabetikum. Spironolakton dapat menyebabkan hiperkalemia, libido
menurun, ginekomastia, dan gangguan menstruasi pada perempuan.
Target yang sebaiknya dicapai dengan tirah baring, diet rendah
garam, dan terapi diuretika adalah peningkatan diuresis, sehingga berat
badan turun 400-800g/hari, sedangkan pada pasien dengan edema
perifer penurunan berat badan diharapkan sampai 1500g/hari. Sebagian
besar pasien berhasil baik dengan tirah baring, diet rendah garam dan
diuretik. Setelah cairan asites dapat dimobilisasi dosis diuretik dapat
disesuaikan. Biasanya diet rendah garam dan spironolakton akan tetap
dipertahakan, hal ini berguna untuk mempertahankan diuresis dan
natriuresis sehingga asites tidak terbentuk lagi.3
b. Large Volume Paracentesis (LVP)
Pada masa lalu teknik parasentesis adalah suatu bentuk
pengobatan rutin yang dilakukan pada penderita asites, namun sesuai
perkembangannya teknik ini sudah mulai ditinggalkan karena dapat
memiliki efek yang merugikan. Teknik parasentesis dapat mencetuskan
terjadinya hipovolemia, hipokalemia, hiponatremia, enselopati hepatika,
dan gagal ginjal.

19

Gambar 2.8 Perubahan Hemodinamik Akut Setelah Dilakukan Teknik


Parasentesis 10L, tanpa Pengantian Serum Albumin.(PCWP: Pulmonary
Capillary Wedge Pressure).
Cairan asites dapat mengandung 10-30g protein/L, sehingga hal ini
dapat menyebabkan deplesi albumin serum, mencetuskan hipotensi dan
tertimbunnya kembali cairan asites, oleh karena itu pengobatan
penggantian albumin melalui IV rutin dilakukan apabila dilakukan teknik
ini. Indikasi dilakukan parasentesis adalah jika asites menyebabkan
kesulitan bernapas yang berat bagi pasien. 99
Pada pasien dengan jumlah asites >5L, di indikasi juga dilakukan
Large Volume Paracentesis (LVP) hal ini dapat membantu mengurangi
gejala yang dimilki pasien dengan cepat. Namun teknik ini dapat
menyebabkan postparacentesis circulatory dysfunction (PPCD), pada 20%
kasus, peningkatan risiko gagal ginjal dan mortalitas setelah 30 hari
dilakukan LVP. Sebaiknya sebelum dilakukan teknik ini dilakukan
penggantian albumin serum. Biasanya dilakukan penggantian 6-8g/liter
setiap cairan asites yang dikeluarkan. Pada kenyataanya Albumin serum
yang mahal, dapat disubtitusi dengan terlipressin IV yang hampir
equivalent dengan albumin serum. 9
Parasentesis dengan volume 4-6 Liter/hari akan lebih efektif
dilakukan pada pasien dengan asites dengan jumlah cairan yang besar, dan
biasanya tidak ditemukan perubahan signifikan pada elektrolit tubuh dan
fungsi ginjal. Tidak ada komplikasi absolut untuk dilakukan parasentesis,
terutama jika keadaan pasien sudah tidak nyaman, dan membuat keadaan
pasien sesak. 9
c. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
Peningkatan tekanan portal adalah salah satu faktor utama yang
berkontribusi terhadap patogenesis asites, tidak mengherankan bahwa
TIPS adalah perawatan yang sangat efektif untuk asites refrakter. Ini
berfungsi sebagai sisi pada sisi portocaval shunt yang dipasang dengan
anestesi lokal dan sedasi intravena, dan menggantikan penggunaan
pembedahan yang ditempatkan di portocaval atau mesocaval shunts.
20

Sejumlah studi uncontrolled telah diterbitkan menilai efektivitas TIPS


pada pasien dengan asites refrakter. Dalam kebanyakan studi keberhasilan
teknis dicapai pada 93-100% kasus, dengan kontrol dari asites dicapai
dalam 27-92% dan resolusi lengkap sampai dengan 75% kasus. TIPS
menghasilkan penurunan sekunder aktivasi sistem renin-angiotensinaldosteron, dan meningkatkan ekskresi natrium.
Percobaan acak prospektif telah menunjukkan TIPS lebih efektif
dalam mengendalikan asites dibandingkan dengan paracentesis volume
besar. Namun, tidak ada konsesus mengenai dampak TIPS pada
kelangsungan hidup bebas transplantasi pada pasien dengan asites
refraktori. Dalam satu studi TIPS tidak berpengaruh pada survival
sementara yang lain telah melaporkan peningkatan survival baik
dibandingkan dengan terapeutik paracentesis. 10

21

Asites

esis dan pemeriksaan fisik

nilai volume darah, dan CV status, konfimasi dengan pemeriksaan USG

tesis diagnostic hitung jenis sel, diff count, serum asites albumin ratio, kultur kuman
Serum Asites <1,1 g/dl (tidak ada hipertensi porta)

Serum Asites1,1 g/dl

(Hipertensi porta)
Pengobatan berdasarkan penyebabnya (Etiologi)

Asites tense

Ya : 4-6L paracentesis

Tidak :
Hentikan pemakain ethanol.
Batasi garam 2g/hari (86 meq)
Fluid restriction not necessary if NaRespontidakbaik:
>120
Paracentesis jikadibutuhkan, jika pengunaan diuretik sudah resistent pe
Pengunaan diuretik :
Transplantasi Hati
Ringan :spironolakton : 25-50 mg/hari
TIPSspironolakton
:Transjugular/hari
intrahepatic portosystemic shunting untuk keadaan k
Berat : 40 mg furosemid atau 100 mg
Bisaditingkatkan sampai 160 mg furosemid atau 400 mg spironolakton / hari
Untuk pasien Hiperkalemia :Gunakan hanya furosemid
Untuk pasien hipokalemia : Gunakan hanya Spironolakton

Gambar 2.9 Algoritma Tatalaksana pada Pasien Asites13


d. Pengobatan Terhadap Penyakit yang Mendasari
Asites adalah komplikasi dari penyakit, untuk itu perlu diobati
penyakit yang mendasarinya sesuai tatalaksana yang tepat. Dengan
menyembuhkan

penyakit

yang

mendasarinya

maka

asites

dapat

dihilangkan. Sebagai contoh adalah asites pada peritonitis tuberkulosa.


Asites

yang

merupakan

komplikasi

penyakit

yang

tidak

dapat

disembuhkan memerlukan pengobatan tersendiri, misalnya asites yang


22

disebabkan karsinomatosis peritoneum maka dilakukan pengobatan


paliatif berulang dengan cara parasentesis.3
2.7 Prognosis
Asites yang berulang pada pasien sirosis menunjukkan prognosis yang
buruk. Survival rate 50% di tahun pertama dan kedua, dan akan meningkat
apabila pasien sirosis yang disebabkan alkoholik, tidak berhenti dari
kebiasaanya. Sedangkan asites yang disebabkan oleh peritonitis bakterial,
akan meningkat angka mortalitasnya 75% pada tahun pertama. 10
BAB III
KESIMPULAN

Asites merupakan akumulasi cairan pada rongga peritoneum yang


terbentuk karena adanya ketidak seimbangan air dan garam. Asites harus dicari
tahu penyebabnya karena berhubungan dengan prognosis buruk, terutama pada
pasien sirosis hepatis.
Evaluasi awal pada penderita dengan peningkatan lingkar abdomen,
berfokus pada penentuan adanya asites. pemeriksaan fisik abdomen dengan teknik
pekak pindah (Shifting dullness), teknikgelombang cairan (Fluid wave), dan
teknik pudle sign dapat membantu dalam menegakkan diagnosis asites. Selain itu
pemeriksaan parasentesis diagnostik sebaiknya rutin dilakukan pada pasien
dengan gejala asites, untuk mencari tahu penyebab terjadinya asites.
Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang tepat dan menyeluruh untuk menemukan

penyebab adanya asites dan

memberikan terapi dan managemen yang tepat untuk menurunkan angka


mortalitas pasien.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah S. Sirosishati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmupenyakitdalam. Jilid 1. Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009: 668-72.
2. Moore, K P, G P Athal. Guidelines on management of ascites in
cirrhosis. Gut 2006; 55; 1-12.
3. Hirlan. Asites. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009: 674-6.
4. Gines MD, Pere, Andres Cardenas. The management of ascites and cirrhosis
and hyponatremia in cirrhosis. Seminar in liver disease 2008;28;1.43-54.
5. Moore CM, Thiel DHV. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis
and management. World J Hepatol. May 27, 2013; 5(5): 251263.
6. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J.
Harrisons principles of internal medicine. 18 th edition. New York: McGraw
Hill; 2012.
7.

Tierney, Lawrence M, McPhee, Stephen J. Papadaski, Maxine A. Current


Medical Diagnosis & Treatment. 45th Ed. United States of America. McGraw
Hill. 2006. P 559-61.

8. Wong, Florence. Advance in clinical practice: Management of ascites in


cirrhosis. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2012;27:1120.
9. Moller, S, Henriksen J, H. Bendtsen F. Ascites : Pathogenesis and Therapeutic
Principles. Scandinavian Journal of Gastroenterology.2009. 44. P. 902-11.
10. American Association for Study of the Liver. AASL clinical practice
guidelines Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis:
Update 2012.Hal. 6467.

24

11. Bickley L,S, Szilagyi P,G. Bates' Guide to Physical Examination and History
Taking, 10th Edition. United States of America. Lippincott Williams & Wilkin.
2009. P.449-50
12. Snell, R, S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed. 6. Jakarta.
EGC. 2006. P.193-4.
13. Glickman R, M. Abdominal Swelling and Ascites. In: Kasper L, D, Fauci, A,
S, Long, D, L, Braunwald E, Hauser S, L, Jameson J, L. Harrisons Principles
Of Internal Medicine. Ed. 16th. United States of America. Mc-Graw Hill.
2005. P. 243-6.

25

You might also like