Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan uterus abnormal (PUA) merupakan suatu kelainan ginekologis
yang cukup sering ditemukan namun belum dapat diketahui secara pasti
perjalanan penyakitnya. Kesulitan dalam menegakkan diagnosis PUA disebabkan
terlalu banyaknya batasan dan terminologi yang dipakai untuk menerangkan
penyakit ini dan tidak ada satupun kriteria konsisten yang dapat menjelaskan
penyakit ini.1
Perdarahan uterus abnormal pada wanita tidak hamil di usia reproduktif
memiliki patologi yang sangat luas. Ada banyak sekali terminologi yang
digunakan baik untuk mendeskripsikan gejala maupun mengenai gangguannya
sendiri sehingga dirasa cukup membingungkan dalam manajemen klinis dan
dalam menerjemahkan sebuat riset dan uji klinis. 1,2 Perdarahan uterus abnormal
meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang
memanjang atau tidak beraturan.2
Oleh karena itu telah diambil konsensus untuk terminology PUA ini
berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh FIGO (Federation Internationale de
Gynecologie et d'sistem Obstetrique onkologi) yaitu PALM-COEIN (polip,
adenomiosis, leiomioma, malignancy and hiperplasia, coagulopathy, ovulatory
disfunction, endometrial, iatrogenik, dan not classified) yang akan secara lebih
jelas mengklasifikasi seluruh perdarahan uterus abnormal baik dengan kelainan
organik maupun tanpa ditemukannya kelainan organik. 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SIKLUS HAID NORMAL
Sampai saat ini, sebagian besar proses ovulasi masih belum seluruhnya jelas
terungkap, tetapi yang sudah pasti diketahui adalah bahwa proses dasar ovulasi
merupakan hasil dari suatu rangkaian perubahan biokimia dan morfologi yang
diatur oleh gonadotropin dan steroid seks.3
Secara berkala, fungsi seksual perempuan berada dibawah kendali hormon,
yang khas untuk siklus ini adalah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap
bulan pada seorang perempuan. Siklus menstruasi manusia dapat dibagi atas 4
fase fungsional berdasarkan struktur, morfologik dan produksi seks steroid oleh
ovarium : 1,3
1. Fase folikuler dibagi atas: dini, medial, akhir
2. fase ovulatoar (transisi antara folikuler dan sekresi)
3. Fase luteal dibagi atas:dini, medial, akhir
4. fase menstruasi (transisi antara folikuler dan sekresi)
1.
Fase Folikuler
Mulai diambilnya folikel selama 4-5 hari dari fase ini karena
meningkatnya kadar FSH bersamaan dengan kembalinya frekuensi denyut
LH dari rendah ke tinggi.
estrogen, progesteron dan. inhibin B Integritas dari produksi hormonhormon ini tergantung kepada interaksi antara sel teka dan sel granulosa,
aktifitas masing-masing dikerjakan oleh perubahan-perubahan dalam
2
2.
Fase ovulatoar
Selama 2-3 hari sebelum mulainya puncak pertengahan siklus, kadar
estradiol yang beredar paralel dengan kadar inhibin, progesteron dan
berakhir selama 14 jam dan diikuti dengan penurunan yang cepat dari
kadar estradiol yang beredar, 17-hidroksiprogesteron dan inhibin B
tetapi dalam kadar serum inhibin A meningkat. Sisi desenden lebih lama
(masa paruh 96 jam), berakhir selama 20 jam, berhubungan dengan
peningkatan kedua yang cepat dalam progesteron dan inhibin A dan
penurunan lebih lanjut dalam kadar 17-hidroksiprogesteron, estradiol
dan inhibin B, dimulai 36 jam setelah mulai puncak atau 12 jam sebelum
akhir puncak.
Sekresi inhibin selama interval preovulasi tidak terikat dengan estradiol
atau progesteron. Perubahan kadar inhibin pada waktu ini diwakili
dengan jumlah kontribusi oleh folikel preovulasi dan adanya korpus
luteum.
Waktu interval yang tepat antara mulainya puncak LH dan ovulasi pada
wanita adalah 1-2 jam sebelum fase akhir dari kenaikan progesteron atau
menstruasi.
Kadar FSH ditekan selama fase luteal dan mencapai kadar yang paling
rendah selama keseluruhan siklus, FSH tidak diperlukan untuk
mempertahankan korpus luteum. Kombinasi inhibin dengan estrogen dan
progesteron secara sinergis menekan sekresi FSH sehingga mencegah
mulainya haid oleh karena itu dimulai pengambilan folikel untuk siklus
berikutnya.
Transisi folikuler-sekresi menggambarkan suatu rangkaian perubahan
dinamis meliputi terminasi dari fungsi luteal dan perpindahan dari denyut
frekuensi rendah dan denyut amplitudo tinggi LH ke denyut amplitudo
rendah.
Diikuti oleh peningkatan FSH dan langsung merangsang produksi inhibin
B oleh folikel yang sedang berkembang.perubahan-perubahan dinamis ini
adalah akibat dari penarikan kembali efek-efek penghambat dari steroid
korpus luteum, inhibin dan peptida opioid hipotalamus.
Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon. Tanda
yang khas suatu siklus haid ialah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap
bulan pada seorang wanita. Perdarahan haid lamanya kurang lebih 2 sampai 6
hari. Hari ke 5 sampai 14 adalah fase folikuler atau proliferasi mulai setelah
perdarahan berakhir dan berlangsung sampai saat ovulasi. Fase ini berguna untuk
menumbuhkan endometrium agar siap menerima ovum yang telah dibuahi,
sebagai persiapan suatu kehamilan. Pada fase ini dalam ovarium terjadi
pematangan folikel akibat pengaruh FSH. Folikel ini akan menghasilkan estradiol
dalam jumlah banyak. Mulut serviks kecil dan tertutup, getahnya dapat ditarik
seperti benang (spinnbarkeit). 1,3,4
Pembentukan estradiol akan terus meningkat pada kira-kira hari ke 13,
sehingga terjadi ovulasi yang terjadi pada hari ke 14. Dalam waktu yang sama
suhu basal badan (SBB) juga meningkat kira-kira 0,005 C. Selama ovulasi getah
serviks encer dan bening, mulut serviks sedikit terbuka, yang memungkinkan
masuknya sperma. 1,3
Hari ke 14 sampai 28 adalah fase lutelal atau fase sekresi yang mempunyai
ciri khas, yaitu terbentuknya korpus luteum dan perubahan-perubahan pada
kelenjar endometrium. Pengaruh progesteron terhadap endometrium paling
terlihat pada hari ke 22, yaitu pada saat nidasi seharusnya terjadi. Bila tidak terjadi
nidasi, estradiol dan progesteron akan menghambat FSH dan LH, sehingga korpus
luteum tidak dapat berkembang lagi. Akibat pengaruh estradiol dan progesteron
Kira-kira kehamilan 6-8 minggu, placenta mulai dibentuk dan mulai mengambil
alih sekresi progesterone.
Jika sel telur tidak dibuahi, korpus luteum mulai menciut sehingga
menyebabkan kadar estrogen dan progesterone turun drastis, akibatnya tidak ada
yang mempertahankan endometrium dan terjadi pelepasan endometrium
(menstruasi). Tanpa estrogen dan progesterone yang menekan, kadar FSH kembali
meningkat sehingga dimulai lagi siklus berikutnya . 1,3,4
dan
manajemen
untuk
perdarahan
uterus
abnormal
(PUA) atau Abnormal Uterine Bleeding (AUB), untuk wanita yang tidak hamil
dalam usia reproduksi banyak
ini
menghalangi
kemampuan
peneliti
untuk
komponen neoplastik polip. Meskipun dapat terjadi pada semua usia namun polip
endometrium lebih sering terjadi saat menopause.7
B. Gejala
Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan
perdarahan uterus, serta lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau
ganas.8,9
C. Diagnostik
Polip didiagnosis dengan satu atau kombinasi dari USG (termasuk sonografi
infus salin) dan pencitraan histeroskopi dengan atau tanpa histopatologi.
Meskipun tidak ada perbedaan saat ini mengenai ukuran atau jumlah polip, namun
penting untuk mengecualikan polypoid yang muncul dari endometrium, yang
mungkin menjadi varian dari normal. 2,8
Kategori P memungkinkan untuk pengembangan lebih jauh subklasifikasi
untuk penggunaan klinis atau investigasi yang mencakup kombinasi variabel
termasuk dimensi polip, lokasi, jumlah, morfologi, dan histologi. 2 Polip
endometrium dapat berkembang sebagai polip tunggal ataupun multiple, lunak,
menyatu ataupun pedunkulasi dengan ditemukannya hyperplasia endometrium.
Secara klinis dapat asimptomatik atau muncul dengan gejala seperti infertilitas,
perdarahan, infeksi, endometritis atau nyeri. Gambaran USG polip endometrium
paling baik bila dilakukan pemeriksaan saat fase proliferasi atau fase sekretorik
setelah dilakukan injeksi kontras negatif kedalam kavum uteri. Vaskularisasi polip
berasal dari cabang terminal arteri uterina yang dapat digambarkan dengan
pemeriksaan
USG
Doppler
warna
transvaginal.
Dimungkinkan
untuk
10
D. Tatalaksana8
Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan :
o Reseksi secara histeroskopi
o Dilatasi dan kuretase
o Kuret hisap
o Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi
2.3.2.2 Adenomiosis (AUB-A)
A. Definisi
Adenomiosis adalah pertumbuhan lapisan basal endometrium yang turun ke
dalam miometrium. Sarang stroma atau kelenjar endometrium, atau keduanya
ditemukan jauh didalam miometrium diantara berkas-berkas otot. Pada
pemeriksaan mikroskopik dapat dibuktikan adanya kontinuitas di antara kumpulan
stroma dan endometrium di atasnya. Dinding uterus menebal karena adanya
jaringan endometrium dan hipertrofi reaktif miometrium. Perdarahan siklik ke
dalam sarang tersebut, yang menimbulkan pigmentasi hemosiderin sangat jarang
terjadi karena stratum basal endometrium tempat asal penetrasi sarang tersebut
nonfungsional. Kelainan tahap lanjut dapat menimbulkan keluhan menoragia,
dismenore dan nyeri panggul sebelum haid.7
B. Gejala2
11
Nyeri haid, nyeri saat senggama, nyeri menjelang atau sesudah haid, nyeri
C. Diagnostik
Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan endometrium
pada hasil histopatologi. Adenomiosis dimasukkan ke dalam sistem klasifikasi
berdasarkan pemeriksaan MRI dan USG. Mengingat terbatasnya fasilitas MRI,
pemeriksaan USG cukup untuk mendiagnosis adenomiosis. Hasil USG
menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium dan sebagian
berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium. Hasil histopatologi
menunjukkan dijumpainya kelenjar dan stroma endometrium ektopik pada
jaringan miometrium. 4,8
Gambaran USG dua dimensi termasuk adanya gambaran Swiss cheese pada
miometrium karena adanya daerah perdarahan dan bekuan darah diantara otot.
Perubahan ekogenisitas pada lapisan tengah miometrium dapat ditemukan pada
beberapa kasus. Terkadang uterus ditemukan gambaran hipoechoic, dengan kista
yang besar sangat jarang ditemukan. Pemeriksaan Doppler menunjukan adanya
peningkatan vaskularitas dengan resistensi yang sedang (RI= 0,560,12),
sementara RI arteri uterina ditemukan sedikit menurun.10
D. Tatalaksana
12
B. Morfologi
13
14
Sistem
klasifikasi
primer
hanya
mencerminkan
ada
atau
sistem
klasifikasi
tersier
adalah
untuk
leiomioma
D. Diagnostik
Dengan USG hitam putih sederhana liomioma uterus akan tampak berupa
gambaran pembesaran uterus, perubahan kontur uterus dan ekogenositas yang
bervariasi tergantung pada jumlah jaringan ikat atau jaringan otot polosnya.10
Dengan USG Doppler transvaginal akan tampak vaskularisasi di daerah
perifer tempat berasalnya mioma, dengan RI 0,540,08, yang lebih mudah untuk
menelusuri batas tumor. Vaskularisasi di bagian tengah mioma bila terjadi
nekrosis, inflamasi atau perubahan degenerasi lainnya menunjukan penurunan
resistensi. Arteri uterina akan menunjukan impedensi yang rendah yaitu RI
0,740,09 dibandingkan dengan uterus normal RI 0,840,09. 10
15
E. Tatalaksana8
Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG
a.
Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan
b. Histeroskopi reseksi mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila
c.
d.
e.
16
akan
diklasifikasikan
sebagai
AUB-M
dan
kemudian
17
Diagnostik :
18
19
b.
c.
Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogenprogestin dan LNG-IUS pada kasus ini meberikan hasil yang sama bila
dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan koagulasi
d.
e.
20
21
tindakan
kuretase
untuk
menyingkirkan
keganasan
22
23
24
k. Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma submukosum
segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi
l. Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm,
lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan kemungkinan
hiperplasia
m. Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan
progestin, LNG IUS, GnRH atau histerektomi
n. Jika hasil pemeriksaan USG TV atau SIS menunjukkan hasil normal atau
terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka
dilakukan evaluasi terhadap funsi reproduksinya
o. Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan ablasi
endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin mempertahankuan
fungsi reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus haidnya dengan baik
dan memantau kadar HB
25
26
Ketika
AUB
dianggap
sekunder
akibat
antikoagulan
seperti
warfarin atau heparin, atau agen sistemik yang berkontribusi terhadap gangguan
ovulasi seperti yang mengganggu metabolisme dopamin, ini dikategorikan
sebagai AUB-C atau AUB-O. 9
Tahap tatalaksana yang dilakukan pada individu yang mengalami perdarahan
uterus abnormal disebabkan AUB-I ialah :8
a. Penanganan karena efek samping PKK
b. Penanganan efek sampaing PUA-E disesuaikan dengan algoritma PUA-E
c. Breakthrough bleeding dapat terjadi dalam 3 bulan pertama atau setelah 3
bulan penggunaan PKK
d. Jika perdarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama makan penggunaan PKK
dilanjutkan dengan mencatat siklus haid
e. Jika pasien tidak ingin melanjutkan PKK atau perdarahan menetap selama > 3
bulan lanjutkan ke point 5
f. Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila positif
berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien minum PKK
secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis estrogen jika usia pasien
lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi endometrium
g. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi untuk
menyingkirkan kelainan saluran reproduksi
h. Jika perdarahan sela terjadi setelah 3 bulan pertama penggunaan PKK,
lanjutkan ke point 5
i. Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke point 9
j. Singkirkan kehamilan : Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan
pil yang sama
27
28
29
siklus haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan uterus. Pada
perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat kepatuhan dan obatobat lain yang diperkirakan menggangu koagulasi
Penilaian jumlah darah haid dapat dinilai menggunakan piktograf atau skor
perdarahan. Data ini juga dapat digunakan untuk diagnosis dan menilai kemajuan
pengobatan PUA. Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis
gangguan hemostasis dengan sensitifitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut pada perempuan dengan hasil penapisan positif
2.4.2 Pemeriksaan8
a. Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan
hemodinamik. Pastikan bahwa perdarahan berasala dari kanalis servikalis dan
tidak berhubungan dengan kehamilan. Pemeriksaan IMT, tanda-tanda
hiperandrogen,
pembesaran
kelenjar
tiroid
atau
manifestsi
c.
d.
30
SIS,
histeroskopi
atau
MRI.
Pemeriksaan
adenomiosis
31
perdarahan.
Lakukan
pemeriksaan
USG
transvaginal/
dilakukan
terapi
pembedahan
seperti
ablasi
endometrium,
32
sintesa
prostaglandin
pada
endometrium.
Prostaglandin
mempengaruhi reaktivitas jaringan lokal dan terlibat dalam respon inflamasi, jalur
nyeri, perdarahan uterus, dan kram uterus. AINS dapat mengurangi jumlah darah
haid hingga 20-50 persen Pemberian AINS dapat dimulai sejak perdarahan hari
pertama astau sebelumnya hingga perdarahan yang banyak berhenti. Efek
samping : gangguan pencernaan, diare, perburukan asma pada penderita yang
sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan terjadinya perdarahan dan
peritonitis.
2.7 Pemilihan Obat Pada Perdarahan Uterus Abnormal (Hormonal)
a. Estrogen
33
jelas,
kemungkinan
aktivitasnya
tidak
terkait
langsung
dengan
meningkat
sehingga
diharapkan
pengobatan
selanjutnya
dengan
menggunakan progestin akan lebih baik. Efek samping berupa gejala akibat defek
estrogen yang berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan
PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi
akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut
adalah 4x1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3x1 tablet selama 3 hari,
dilanjutkan dengan 2x1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1x1 tablet selama 3
minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila
pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat
diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat
perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood, sakit kepala, mual,
retensi cairan, payudara tegang, deep vein trombosis, stroke dan serangan jantung.
b. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta
akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehodrogenase pada sel-sel
endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek
biologisnya lebih rendah dibandingkan estradiol. Meski demikian penggunaan
progestin yang lama dapat memicu efek mitotik yang menyebabkan terjadinya
atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan secara siklik maupun kontinyu.
34
Pemberian siklik diberikan selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu
berulang-ulang tanpa memperhatikan pola perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin,
makan dosis obat progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama
perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum sampai
14 hari. Pemberian progestin secara siklik dapat menggantikan pemberian pil
kontrasepsi
kombinasi
apabila
terdapat
kontraindikasi
(misalkan
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah, payudara
tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi
c. Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasala dari turunan 17aetinil tetosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk
menekan produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap
reseptor estrogewn di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis
tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan
menstrual hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya darah dalam menstruasi
kurang lebih 50% bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif
35
dibanding dengan AINS atau progestin oral. Dengan dosis lebih dari 400 mg per
hari dapat menyebabkan amenorea. Efek sampingya dialami oleh 75% pasien
yakni : penigkatan berat badan, kulit berminyak,jerawat, perubahan suara.
d. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi reseptor GnRH pada hipofisis
melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca reseptor,
yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan hormon gonadotropin.
Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada wanita dengan kontraindikasi untuk
operasi. Obat ini dapat membuat penderita menjadi amenorea. Dapat diberikan
luprolid acetate 3.75 mg intramuskular setiap 4 minggu, namun pemberiannya
dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan demielinisasi tulang.
Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikan tambahan terapi
estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy). Efek samping biasanya
muncul pada penggunaan jangka panjang, yakni : keluhan-keluhan mirip wanita
menopause (misalkan hot flushes, keringat yang bertambah, kekeringan vagina),
osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular apabila penggunaan GnRH agonis
lebih dari 6 bulan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
PUA merupakan suatu kelainan ginekologis yang cukup sering ditemukan
namun belum dapat diketahui secara pasti perjalanan penyakitnya. Kesulitan
dalam menegakkan diagnosis PUA disebabkan terlalu banyaknya batasan dan
terminologi yang dipakai untuk menerangkan penyakit ini dan tidak ada satupun
kriteria konsisten yang dapat menjelaskan penyakit ini
PALM COEIN adalah suatu sistem klasifikasi untuk etiologi dari
perdarahan uterus abnormal. PALM COEIN terdiri dari Polip, Adenomiosis,
Leiomyoma, Maligancy and Hyperplasia, Coagulopathy, Ovulatory dysfunction,
Endometrial, Iatrogenik, dan Not yet classified. Perdarahan uterus Abnormal
36
terbagi menjadi 3 yaitu akut, kronik, dan intermenstrual bleeding yang digunakan
untuk menggantikan terminologi metroragia.
37