You are on page 1of 6

ISSN 1410-1939

ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI ACUAN PERENCANAAN


PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KABUPATEN SAROLANGUN PROVINSI
JAMBI
[AGROECOLOGY ZONE AS A REFERENCE FOR AGRICULTURAL
DEVELOPMENT PLANNING IN SAROLANGUN REGENCY, JAMBI
PROVINCE]
Busyra B. S. dan Salwati1
Abstract
An agricultural development planning requires data and information on land resources. Such data and
information, however, are often inadequate, and therefore an effort to provide adequate data and information
should be done. One of the methods of producing such data and information is by charaterizing and evaluating
resources and fitting them on an Agroecology Zone map. This map can be used as a guidance in planning
agricultural development. The current study was conducted by using Expert System method developed by the
Soil and Agroclimate Research Center, Bogor. The results indicated that Sarolangun Regency consisted of
four main soil orders, i.e Inceptisols, Histosols, Ultisols and Oxisols. There were five main zones and eight
subzones. Zone I recommended for agroforestry system consisted of 133,140 ha, zone II recommended for
plantation crops consisted of 39,505 ha, zone III recommended for alley cropping consisted of 110,380 ha, zone
IV recommended for wetland agriculture consisted of 44,535 ha and zone IV recommended for dryland
agriculture consisted of 219,767 ha, and zone V recommended for horticulture crops consisted of 31,932 ha. In
general, land utilization is not yet optimum since most of the area consisted of forest.
Key words: Agroecology Zone, planning, agricultural system, agricultural development.
Kata kunci: Zona Agroekologi, perencanaan, sistem pertanian, pembangunan pertanian.

PENDAHULUAN
Di Provinsi Jambi pertanian merupakan salah
satu sektor yang masih menjadi andalan dan strategis untuk dikembangkan karena sektor ini masih
mendominasi perekonomian daerah, di mana sumbangannya terhadap PDRB dari tahun 1996 2002
rata-rata 25,93% per tahun. Selain itu, luas wilayah daratan dan perairan Provinsi Jambi yang belum dimanfaatkan secara optimal masih cukup luas
(Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, 2003).
Menurut Rencana Induk Pemerintah Daerah
Provinsi Jambi, di samping Kabupaten Kerinci dan
Merangin, Kabupaten Sarolangun merupakan wilayah Kawasan Sentra Produksi (KSP) Provinsi Jambi Bagian Barat. Potensi sumberdaya pertanian wilayah ini meliputi areal seluas 203.760,5 ha yang
terdiri dari 174.316,5 ha lahan kering dan 29.444
ha lahan basah (BAPPEDA Propinsi Jambi, 2000).
Ketersediaan lahan untuk komoditas tanaman pangan, sayuran, buah-buahan dan perkebunan di
1

Kabupaten Sarolangun seluas 91.844 ha. Untuk tanaman buah tahunan di kabupaten ini tersedia lahan yang luasnya mencapai 45.608 ha.
Dalam rangka mempercepat pertumbuhan dan
pengembangan berbagai komoditas utama (andalan) maka Pemerintah Provinsi Jambi telah menyusun rencana Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (P-KSP) guna meningkatkan pemerataan
pembangunan dan sebagai acuan lokasi investasi
bagi pemerintah dan swasta, khususnya dalam upaya mencapai efisiensi, efektifitas dan nilai tambah
dari investasi di bidang pertanian (BAPPEDA Propinsi Jambi, 2000). Pengembangan KSP merupakan suatu pola pembangunan dengan pendekatan
wilayah terpadu, secara menyeluruh dan komprehensif serta menganut aspek tata ruang, mekanisme perencananan dan pola koordinasi pembangunan. KSP merupakan wadah yang menampung berbagai program kegiatan pengembangan sektor, pengembangan komoditas unggulan, kawasan strategis berikut sistem prasarana pendukungnya.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.


Jl. Samarinda, Kotabaru, Jambi.

117

Jurnal Agronomi 9(2): 117-121

Oleh karena itu, sebagai dasar pertimbangan


perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian, maka sangat diperlukan informasi sumberdaya yang meliputi tanah, iklim, hidrologi, dan sosial
ekonomi suatu daerah. Pemahaman sumberdaya
ini sangat menentukan dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai pembangunan pertanian
yang tangguh dan berkelanjutan (Amien, 1994).
Salah satu sarana yang dapat membantu mengarahkan perencanaan pertanian yang bersifat operasional adalah peta Zona Agroekologi (ZAE).
Menurut Amien (1997), agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik
lingkungan yang hampir sama, di mana keragaan
tanaman dan hewan diharapkan tidak akan berbeda
nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim,
fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah.
Dengan analisis ZAE maka diperoleh informasi
yang terpadu dan memadai mengenai: 1) keadaan
lingkungan di suatu wilayah, 2) kesesuaian beberapa jenis tanaman/komoditas pertanian penting serta
kesesuaian teknologi di suatu wilayah, 3) berbagai
komoditas pertanian unggulan spesifik lokasi serta
kebutuhan teknologinya, dan 4) bahan masukan
dalam rangka perencanaan pembangunan daerah
dan pengembangan komoditas unggulan spesifik
lokasi.
Peta ZAE merupakan salah satu perangkat
yang dapat mengarahkan perencanaan pertanian
yang bersifat operasional, karena peta ZAE mengandung informasi yang menyeluruh mengenai
potensi biofisik wilayah. Oleh karenanya peta ZAE
dapat memberikan arahan bagi pilihan komoditas,
alternatif penggunaan lahan dan bentuk rakitan
teknologi, yang dapat disusun berdasarkan kombinasi pendekatan fisik dan pendekatan ekonomi
setempat.
Pengkajian ini bertujuan membahas keragaman
zona agroekologi dan tipe pemanfaatan lahannya
guna menyusun alternatif pengembangan komoditas pertanian di Kabupaten Sarolangun.
BAHAN DAN METODA
Kegiatan pengkajian dilakukan melalui pendekatan desk study dan verifikasi lapangan. Desk study menyusun peta ZAE dan menganalisis data ke
dalam Sistem Pakar (Expert System), sementara
verifikasi melalui survey ke lapangan bertujuan
untuk re-checking (pencocokan hasil).
Penyusunan peta ZAE
Penyusunan peta ZAE dilakukan dengan menumpangtepatkan (overlay) peta kondisi biofisik

118

wilayah sebagai peta dasar dengan peta tata guna


lahan (land use) Kabupaten Sarolangun. Peta kondisi biofisik tersebut mencakup data dan informasi
sumberdaya lahan berupa peta lahan RePPPrOT
skala 1:250.000, data informasi sumberdaya lahan
berupa peta tanah atau unit lahan dengan skala
1:100.000, data iklim yang meliputi curah hujan
dan suhu, serta data penunjang lainnya yang berkaitan dengan penyusunan peta ZAE seperti peta
Joint Operational Geographic (JOG) yang digunakan sebagai peta dasar.
Hasil tumpang tepat tersebut akan memberikan
informasi tentang pola intervensi. Dalam hal ini
terdapat tiga alternatif intervensi, yaitu rehabilitasi,
intensifikasi, dan ekstensifikasi. Apabila suatu kawasan mempunyai peruntukan yang sama berdasarkan tumpang tepat tersebut maka diperlukan intensifikasi, apabila berdasarkan penggunaan lahannya berupa hutan sedangkan berdasarkan ZAEnya
merupakan zonasi pengembangan pertanian maka
dapat digunakan untuk ekstensifikasi, dan apabila
berdasarkan penggunaan lahannya berupa kawasan
pertanian/perkebunan sedangkan berdasarkan ZAE
merupakan kawasan hutan, maka diperlukan tindakan konservasi baik berupa reboisasi maupun
rehabilitasi.
Metodologi penyusunan Zona Ageoekologi ini
mengacu pada konsep Sistem Pakar (Expert System) yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Amien, 1992 sebagaimana
dikutip oleh Sosiawan, 1997). Pada dasarnya prinsip metoda tersebut didasarkan pada pendekatan
pencocokan (matching) antara karakteristik iklim
dan sumberdaya lahan dengan persyaratan tumbuh
tanaman atau kelompok tanaman.
Interpretasi data ke dalam Sistem Pakar
Untuk mendapatkan zonasi agroekologi, sistem
pertanian dan alternatif komoditas yang dapat dikembangkan, dilakukan interpretasi data iklim dan
sumberdaya lahan ke dalam Sistem Pakar. Dengan
Sistem Pakar, pembagian zonasi agroekologi dibedakan berdasarkan perbedaan rejim iklim (suhu
dan kelembaban) dan relief (kisaran lereng).
Pembagian rejim suhu suatu wilayah diduga
berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan
laut (dpl). Rejim suhu panas (isohyperthermic) terdapat pada wilayah dengan ketinggian kurang dari
700 m dpl (dataran rendah), sedangkan rejim suhu
sejuk (isothermic) terdapat pada wilayah dengan
ketinggian 700-2000 m dpl (dataran tinggi).
Rejim kelembaban suatu wilayah dibedakan
berdasarkan jumlah bulan kering dalam satu tahun,
yaitu bulan yang mempunyai curah hujan rata-rata
kurang dari 60 mm, dimana: 1) rejim kelembaban

Busyra B.S. dan Salwati: Zona Agroekologi sebagai Acuan Perencanaan Pembangunan Pertanian.

Tabel 1. Zonasi iklim suatu wilayah berdasarkan


elevasi dan rejim kelembaban.
Zonasi
iklim
ax
bx
ay
by
az
ay

Elevasi (m dpl)
700
700 - 2000
700
700 - 2000
700
700 - 2000

Rejim
kelembaban
lembab
lembab
agak kering
agak kering
kering
kering

Parameter lingkungan yang digunakan sebagai


pembeda zonasi utama dalam Sistem Pakar ialah
relief yang terlihat di dalam kisaran kelerengannya. Berdasarkan pembeda zonasi utama tersebut,
wilayah dapat dikelompokkan menjadi 4 zona, yaitu Zona I, II, III dan IV seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengelompokan zonasi dan tipe pemanfaatan lahan berdasarkan kelas lereng.
Zonasi
I
II
III

Lereng (%)
> 40
16 - 40
8 - 15

IV

<8

Tipe pemanfaatan lahan


Sistem kehutanan
Sistem perkebunan
Sistem wanatani/budidaya lorong
Tanaman pangan

kandungan garam atau sulfat yang tinggi atau jenis


tanah yang berkembang dari pasir kwarsa atau jenis tanah dengan kedalaman sangat dangkal dan
berbatu, dikelompokkan kedalam zonasi tersendiri
yaitu zona V, VI, VII dan VIII.
Verifikasi lapangan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan
evaluasi ulang (re-checking) terhadap hasil penyusunan peta ZAE yang telah dikerjakan, dengan melakukan kunjungan lapangan ke daerah yang mempunyai data dan tingkat kehandalan rendah guna
melengkapai data yang sudah ada. Di samping itu,
perlu juga dilakukan pengecekan lapangan terhadap daerah sentra produksi komoditas tertentu
yang kemudian dicocokkan dengan hasil yang telah dikerjakan. Daerah-daerah sentra produksi tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman untuk ekstrapolasi daerah lain yang mempunyai kondisi
sumberdaya lahan yang hampir sama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Iklim
Curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten
Sarolangun adalah 263,28 mm dengan jumlah hari
hujan 13 hari per tahun. Curah hujan bulanan tertinggi di atas 300 mm per bulan terjadi pada bulan
April dan Mei serta September dan Oktober, sedangkan terendah di bawah 150 mm per bulan, terjadi pada bulan Juli. Berdasarkan zona agroklimat
(Oldeman, 1979) daerah ini termasuk tipe iklim
utama C3 dengan bulan basah (> 200 mm) berturutturut selama 5 bulan, dengan sub divisi 2 dengan
bulan kering (< 200 mm) berturut-turut selama 3
bulan. Gambar 1 memperlihatkan pola curah hujan
di Kabupaten Sarolangun selama 10 tahun (1990
1999).
Ch (mm)

Hh (jam)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

400
350
Curah hujan (mm)

Pada zona IV untuk pengembangan tanaman


pangan dilakukan pembagian lebih detil dari sub
zone berdasarkan sifat-sifat tanah, terutama drainase tanahnya yaitu: zone IVax1 dengan drainase tanah buruk untuk pengembangan padi sawah, dan
zona IVax2 dengan drainase tanah baik untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering. Di dalam Sistem Pakar apabila hasil penilaian zonasinya
berupa zone IVax2, Sistem Pakar mengisyaratkan
apabila terdapat sumber air irigasi yang cukup,
maka zona tersebut sebaiknya diprioritaskan untuk
tanaman padi sawah.
Sedangkan pada daerah dengan lereng < 8%
dengan jenis tanah gambut atau jenis tanah dengan

300
250
200
150
100
50
0
J

F M A

M J

S O

Hari hujan (jam)

lembab apabila mempunyai jumlah bulan kering


dalam 1 tahun kurang dari 3 bulan, 2) rejim kelembaban agak kering apabila mempunyai jumlah bulan kering dalam 1 tahun antara 4 sampai 7 bulan,
dan 3) rejim kelembaban kering apabila dalam satu
tahun terdapat jumlah bulan kering kurang dari 7
bulan.
Berdasarkan pembeda rejim iklim tersebut suatu wilayah dibagi menjadi 6 zonasi iklim seperti
disajikan pada Tabel 1.

N D

Bulan

Gambar 1. Pola curah hujan di Kabupaten Sarolangun tahun 1990-1999.

119

Jurnal Agronomi 9(2): 117-121

Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 27,5 oC


hingga 28 oC atau lebih besar dari 22 oC. Perbedaan suhu rata-rata bulan terpanas dan terdingin kurang dari 5 oC. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Sarolangun tergolong
ke dalam rejim suhu panas (isohyperthermic). Di
beberapa tempat dengan ketinggian lebih dari 700
m dpl yang perbedaan suhu rata-rata bulan terpanas dan terdingin lebih dari 5 oC tergolong ke dalam rejim suhu sejuk (isothermic).
Tanah
Menurut kondisi fisiografi, secara umum wilayah Kabupaten Sarolangun dibedakan ke dalam 3
grup fisiografi utama yaitu aluvial, tektonik/struktural, dan vulkanik. Dari 3 grup fisiografi tersebut
ditemukan 4 ordo tanah yaitu Inceptisol, Histosol,
Ultisol, dan Oxisol.
Inceptisol di wilayah penelitian terbentuk dari
bahan induk tanah yang bersumber dari berbagai
macam bahan, yaitu dari bahan aluvial, volkan, batuan sedimen, dan batu kapur, yang menyebar di
berbagai landform dengan sifat kimia dan fisik
yang sangat beragam. Inceptisol di daerah ini terdiri atas 2 sub ordo dan 3 great group tanah yakni
Dystropepts dan Endoaquepts.
Histosol merupakan tanah-tanah yang berkembang dari endapan organik, yang dikenal dengan
tanah gambut. Tanah gambut di Kecamatan Sarolangun dan Pauh tergolong gambut topogen. Bahan
organik tersebut telah mengalami dekomposisi (hemist dan saprist). Tanah mineral (substratum dari
gambut) terdiri dari liat dan pasir.
Ultisol merupakan tanah yang telah mengalami
perkembangan lanjut, miskin unsur hara dan kesuburan tanah tergolong rendah. Tanah ini umumnya
terbentuk dari bahan induk sedimen, metamorf dan
volkan tua. Kedalaman tanah bervariasi antara sedang sampai sangat dalam, tekstur sedang sampai
halus, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa
rendah, dan reaksi tanah masam sampai sangat masam. Ultisol yang ditemukan di daerah penelitian
terdiri atas 2 great group tanah, yakni Kandiudults
dan Hapludults.
Oxisols yang ditemukan di daerah penelitian
ini adalah grup Hapludox. Hapludox merupakan
tipikal tanah Oxisol tanpa penciri khusus. Penyebarannya mendominasi seluruh landform dataran
volkan dengan bahan induk tufa masam dengan
bentuk wilayah datar sampai berombak.
Alternatif pengembangan komoditas pertanian
Berdasarkan kondisi sumberdaya lahan dan
iklimnya, Kabupaten Sarolangun memiliki 5 zona
agroekologi yang terdiri atas 8 sub zona.

120

Zona I terdiri dari (ax1, ax2 dan bx1), umumnya


terdapat di daerah pegunungan dan perbukitan dengan kelerengan dominan > 60%, ketinggian tempat 0-700 m dpl, dan sejumlah wilayah di atas 700
m dpl. Rejim kelembaban lembab (udic) dan rejim
suhu panas (isohyperthermic). Karena lereng relatif curam, maka lahan hanya dianjurkan untuk kehutanan (hutan lindung) dan sebagian kecil untuk
hutan produksi dengan komoditas tanaman meranti, kruing, kapuk, damar, benuang, rotan, bengkirai
dan ramin. Luas penyebaran zona I di Kabupaten
Sarolangun adalah 133.140 ha atau 22,98%. Subzona Ibx1 dengan ketinggian tempat di atas 700 m
dpl ditemui di kecamatan Batang Asai, sedangkan
sub-zona Iax1 dan Iax2 terdapat di Kecamatan Batang Asai, Limun, Pauh dan Sarolangun.
Zona IIax merupakan daerah dengan lereng 1540% dengan ketinggian 0-700 m dpl. Luas penyebaran zona IIax di Kabupaten Sarolangun sekitar
39.505 ha atau 6,82%. Zona ini sesuai untuk perkebunan (budidaya tanaman tahunan) dengan komoditas utama kopi robusta, kakao, kelapa, karet,
kelapa sawit, rambutan dan nangka, dan tersebar di
Kecamatan Batang Asai, Mandiangin, Pauh dan
Limun.
Zona IIIax merupakan daerah dataran dan perbukitan yang mempunyai kelerengan dominan 815%, sebagian besar dengan ketinggian 0-700 m
dpl. Rejim kelembaban udic dan rejim suhu isohyperthermic. Luas penyebaran zona ini di Kabupaten Sarolangun adalah 110.380 ha atau 19,06%,
terdapat di Kecamatan Mandiangin, Limun, dan
Singkut. Zona ini sesuai untuk sistem pertanian
wanatani (sistem budidaya lorong) dengan komoditas kelapa sawit, karet, kelapa, palawija (kacang
tanah, kedelai, jagung).
Zona IVax1 merupakan daerah dataran aluvial
dengan drainase buruk. Sebagian besar wilayah
terdapat pada ketinggian 0-700 m dpl dan lereng <
8%. Rejim kelembaban basah dan rejim suhu isohyperthermic. Zona ini meliputi luasan 44.535 ha
atau 7,69%. Daerah ini cocok untuk sistem pertanian lahan basah dengan komoditas padi sawah intensifikasi dan kangkung. Zona ini terdapat cukup
luas di Kecamatan Pauh dan Sarolangun, terutama
di sepanjang aliran Sungai Batang Asai, Batang
Tembesi, dan Batang Merangin. Sedangkan Zona
IVax2 merupakan daerah dataran dengan drainase
baik, ketinggian tempat 0-700 m dpl dan lereng <
3%. Rejim kelembaban udic dan rejim suhu panas.
Zona ini sesuai untuk sistem pertanian lahan kering dengan komoditas padi gogo, jagung, kedelai,
kacang tanah dan cabe. Luas zona IVax2 adalah
97.529 ha atau 20,93%, dan terdapat di Kecamatan
Limun, Sarolangun, Pelawan Singkut dan Pauh.

Busyra B.S. dan Salwati: Zona Agroekologi sebagai Acuan Perencanaan Pembangunan Pertanian.

Zona V1 ditemui di daerah dengan lereng < 8%


dengan jenis tanah gambut. Luas wilayah ini meliputi 31.932 ha atau 5,51%. Zona ini cocok untuk
budidaya tanaman buah-buahan dan sayur-sayuran
dengan komoditas utama rambutan, duku, mangga,
nenas, sawi, bayam dan lidah buaya. Zona ini terdapat di Kecamatan Sarolangun, Pelawan Singkut
dan Pauh.
KESIMPULAN
Dari hasil kajian ini dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1). Kabupaten Sarolangun memiliki potensi lahan
relatif luas, dan menurut agroekologinya dapat
dibagi atas 5 zona agroekologi dan 8 sub zona.
2). Iklim Kabupaten Sarolangun termasuk dalam
tipe hujan tropika basah dengan tipe iklim utama C3. Keadaan iklim demikian cukup mendukung bagi pengembangan usaha pertanian.
3) Daerah yang potensial untuk pengembangan
perkebunan dan tanaman pangan terdapat pada
zona II, III dan IV. Namun demikian, pemanfaatan lahannya belum optimal karena masih
merupakan hutan.
4). Disarankan agar kegiatan pembukaan hutan di
masa mendatang diarahkan pada zona-zona

yang potensial untuk pengembangan tanaman


perkebunan dan tanaman pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, I. 1994. Agroekologi dan alternatif
pengembangan pertanian di Sumatera. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 13: 1-8.
Amien, L. I. 1997. Karakterisasi dan Analisis Zone
Agroekologi. Proyek Pembinaan Kelembagaan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
BAPPEDA
Propinsi
Jambi.
2000.
Rencana
Induk/Master Plan Pengembagan Kawasan Sentra
Produksi Propinsi Jambi Bagian Tengah 2000-2010.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tk I
Jambi, Jambi.
Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. 2003. Statistik
Perkebunan Provinsi Jambi Tahun 2003. Dinas
Perkebunan Provinsi Jambi, Jambi.
Oldeman, L. R. 1979. An Agroclimatic Map of Sumatra.
CRIA, Bogor.
Sosiawan, H. 1997. Metodologi Penyusunan Peta Zona
Agroekologi. Dalam Apresiasi Metodologi Analisis
Zona
Agroekologi
untuk
Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.

121

122

You might also like