You are on page 1of 80

ANALISIS IMPLEMENTASI

SISTEM RESI GUDANG KOMODITI LADA

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI


BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2014

RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar belakang
1.

Pengembangan sektor pertanian merupakan salah satu pondasi utama dalam


memperkuat struktur perekonomian Indonesia. Namun demikian, daya saing
petani dan pelaku usaha pertanian sebagai aktor penting pengembangan
pertanian bangsa masih relatif lemah. Petani/pelaku usaha pertanian masih sulit
mendapatkan pembiayaan untuk kesinambungan usaha taninya karena akses
terhadap sumber pendanaan guna kesinambungan kegiatan produksinya, seperti
perbankan atau lembaga keuangan non bank terkadang memberatkan petani. Di
lain pihak, petani juga menghadapi harga produk pertanian yang fluktuatif dan
rendah pada saat panen karena pasar akan mengalami kelebihan pasokan
komoditi, sehingga petani sulit mendapatkan harga yang layak.

2.

Salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan di atas adalah penerapan


Sistem Resi Gudang (SRG). Menurut Undang-Undang No. 9 tahun 2011 tentang
Sistem Resi Gudang dijelaskan bahwa SRG bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang merupakan instrumen yang dibentuk dengan
salah satu tujuan untuk memberdayakan petani, dimana komoditi yang
dihasilkannya mampu memberikan nilai ekonomis dalam bentuk penjaminan,
yang dapat dipergunakannya untuk memperoleh kredit dan bank dan lembaga
keuangan non bank, dengan tingkat bunga yang rendah.

3.

Menurut Bappebti (2011), penerapan SRG menawarkan beberapa manfaat bagi


petani, dunia usaha, perbankan dan bagi pemerintah antara lain untuk
keterkendalian dan kestabilan harga komoditi, keterjaminan modal produksi,
keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan dan memberi kepastian nilai
minimum dari komoditi yang diagunkan.

Secara definisi Resi Gudang

(Warehouse Receipt) merupakan salah satu instrument penting, efektif dan


negotiable (dapat diperdagangkan) serta swapped (dipertukarkan) dalam sistem
pembiayaan perdagangan suatu negara. Disamping itu Resi Gudang juga dapat
dipergunakan sebagai jaminan (collateral) atau diterima sebagai bukti penyerahan
barang dalam rangka pemenuhan kontrak derivative yang jatuh tempo.
4.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sampai dengan saat


ini pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) masih terbatas pada komoditi
pangan seperti gabah, jagung dan beras serta hasil perkebunan seperti kopi dan
kakao. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, menetapkan lada sebagai salah

LAPORAN AKHIR

satu subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang
merupakan sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang.
5.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun 2012, sebagai


komoditi unggulan, lada memiliki total produksi sebesar 75.000 metric ton pada
2012, dimana jumlah yang diekspor mencapai 62.600 metric ton, yang terdiri dari
ekspor lada hitam sebesar 49.500 metric ton, dan lada putih sebanyak 13.100
metric ton. Bukan hanya belum memanfaatkan, bahkan Provinsi Bangka Belitung
dan Lampung yang merupakan daerah utama penghasil lada Indonesia sampai
saat ini belum didirikan gudang SRG, padahal produksi lada di kedua daerah
tersebut merupakan penyumbang terbesar bagi total produksi lada Indonesia

6.

Dengan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan analisis ini adalah untuk (i)
Mengidentifikasi permasalahan dalam mengimplementasikan SRG komoditi lada;
(ii) Menganalisis faktor kunci kesuksesan dalam SRG komoditi lada;

(iii)

Menyusun rumusan usulan mengimplementasikan SRG komoditi lada.

Metode Penelitian
7.

Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan analisis kualitatif


deskriptif untuk mengidentifikasi profil komoditas dan permasalahan yang terjadi.
Penelitian kualitatif sebagai pendekatan pada kajian ini sangat memanfaatkan
wawancara terbuka untuk memahami pandangan, sikap, perilaku individu atau
sekelompok orang, dan observasi.Selanjutnya melakukan analisis pelaku pasar
dan analisis harga untuk memetakan siapa saja pelaku pasar, pelaku utama,
pelaku penunjang, atau pendukung dengan fungsi dan peran masing-masing
yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada terbentuknya harga komoditas
disamping mengkaji perkembangan harga komoditas dari waktu ke waktu dan
apa faktor pemicu terjadinya perubahan harga. Terakhir melakukan analisis
kelembagaan dan kebijakan terkait dengan perdagangan komoditi dan resi
gudang

Pembahasan dan Kesimpulan


8.

Menjadikan Lada sebagai Subjek Resi Gudang didasarkan pemikiran strategik


agar nilai komoditi masih berarti dan terhindarnya petani dari kerugian akan
jatuhnya harga serta dapat menjadikan obyek sebagai agunan untuk memperoleh
modal kerja. Surat atau Resi Gudang menjadi berharga atau menjadi surat
berharga untuk melakukan transaksi dengan lembaga keuangan. Harga lada

LAPORAN AKHIR

ii

yang berfluktuasi 10 tahunan membawa ancaman tersendiri bagi petani lada.


Fluktuasi harga yang tinggi selama 20 tahun terakhir terutama periode 1999
2006 membuat minat petani untuk bertanam lada menurun bahkan hilang sama
sekali. Namun kenaikan harga lada yang stabil dari tahun 2007 hingga saat ini,
membuat minat petani untuk bertanam bangkit kembali. Di sisi lain adanya
komitmen pemerintah daerah baik Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka
Belitung untuk mengembalikan kejayaan lada baik lada hitam atau lada putih
Indonesia seperti dahulu, menjadikan komoditi lada merupakan salah satu
komoditi yang menjanjikan.
9.

Namun sejak ditetapkan sebagai subyek resi gudang pada tahun 2007 hingga
saat ini belum dimanfaatkan oleh para petani. Hal ini disebabkan selain belum
tersosialisasikan dengan baik mengenai sistem resi gudang kepada para petani
lada di Provinsi Lampung, juga disebabkan sistem yang berkembang saat ini
adalah pembiayaan dengan menggunakan Collateral Management Agreement
(CMA) yang hampir serupa dengan sistem resi gudang.

10. Pelaku usaha sudah memiliki rantai pasok yang solid yang sudah terbentuk
selama bertahun-tahun. Selain itu juga, permintaan pasar yang tinggi terhadap
komoditi ini membuat komoditi tidak sempat disimpan. Selain itu juga fluktuasi
harga lada yang tinggi selama 10 tahun terakhir ini membuat para petani lada
cukup waspada terhadap perubahan pasar yang ada sehingga yang dibutuhkan
petani adalah kepastian untuk menjual komoditinya dengan harga yang layak.
11. Banyaknya lembaga yang terkait dalam implementasi sistem resi gudang yaitu
pelaku usaha baik petani, gapoktan, dll; pengelola gudang, lembaga penilai
kesesuaian,

asuransi,

pengawas

dan

lembaga

perbankan

memberikan

kelemahan maupun kekuatan. Kelembagaan yang banyak ini di satu sisi


merupakan kelemahan tetapi di sisi lain merupakan kekuatan dari sistem resi
gudang karena memberikan kepastian hukum. Meskipun memberikan kepastian
hukum, pada tataran implementasi, ketersediaan perangkat hukum masih
dianggap belum

tersosialisasikan secara luas kepada para pemangku

kepentingan sehingga masih terdapatnya distorsi informasi sehingga belum


memahami operasionalisasi dari sistem resi gudang untuk komoditi lain selain
gabah dan beras.
12. Berdasarkan analisis kesiapan implementasi sistem resi gudang komoditi lada
dari sisi pelaku usaha yang mendapat manfaat dari implementasi sistem resi
gudang, kelembagaan dan sarana prasarana, maka agar implementasi SRG
komoditi lada dapat terwujud, harus diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut.

LAPORAN AKHIR

iii

a. Adanya Komitmen Pemerintah Daerah khususnya Kepala Daerah


Komitmen pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota untuk mempercepat
implementasi SRG di daerahnya dalam rangka meningkatkan perekonomian
lokal sangat dibutuhkan. Komitmen pemerintah daerah bukan hanya secara
lisan saja tetapi juga tertulis melalui surat keputusan.
b. Terintegrasinya kelembagaan dalam satu tempat
Seperti yang telah dijelaskan di atas, kelembagaan dalam sistem resi gudang
sangat banyak dan dan setiap lembaga pasti terdapat biaya yang harus
dikeluarkan. Hal ini menjadi tidak efisien bagi pelaku usaha khususnya skala
kecil, terlebih lagi jika kelembagaan ini terletak pada tempat yang berbeda
sehingga membutuhkan usaha lebih untuk menjangkaunya. Sistem resi
gudang menjadi kalah jika dibandingkan dengan CMA (collateral management
asset) dimana hanya tiga pihak saja yang terlibat.
c. Edukasi dan Sosialisasi kepada Pelaku Usaha Komoditi Lada
Edukasi dan sosialisasi secara khusus dilakukan di sepanjang rantai proses
komoditi lada mulai dari petani, pengumpul, pedagang, asosiasi baik secara
masing-masing maupun secara bersama-sama. Edukasi dan sosialisasi
merupakan kegiatan yang terus menerus (kontinue) sehingga terbangun
kesatuan pemikiran bagaimana menjamin keberlangsungan produksi dan
perluasan areal perkebunan lada sepanjang masa. Hal ini sekaligus menjamin
pasokan lada berkualitas dari berbagai jenis.
d. Peningkatan Produksi dan Proses Pasca Panen
Sistem resi gudang dapat terimplementasi dalam dua kondisi, pertama, harga
komoditi lada sedang mengalami penurunan harga

dan kedua, terdapat

surplus produksi yang tidak terserap. Kondisi pertama merupakan kondisi


utama yang menyebabkan sistem resi gudang di Indonesia diimplementasikan.
Sedangkan apabila harga komoditi sedang mengalami peningkatan, maka
kondisi kedua yang harus terpenuhi.
e. Terdapat Off Taker/Buyer/ Pasar Lelang untuk Menjual Komoditi yang
disimpan
Salah satu keresahan para petani ketika menunggu harga jual yang tinggi
adalah keberadaan pembeli (buyer) yang akan membeli komoditi di gudang.
Keresahan yang sama juga dialami oleh lembaga keuangan selaku yang
memberikan dana kredit. Untuk itu perlu dibuat suatu mekanisme atau
mengembangkan jejaring untuk menciptakan off taker dari komoditi yang
disimpan di dalam gudang. Meskipun jangka waktu penyimpanan komoditi lada

LAPORAN AKHIR

iv

cukup lama (bisa sampai 10 tahun) tetapi jangka waktu pembiayaan relatif
singkat maksimal hanya 6 bulan. Sehingga petani memiliki kesempatan untuk
mencari pembeli atau melakukan tunda jual selama 6 bulan, setelah itu
komoditi harus dijual dalam rangka pelunasan kredit.
13. Berdasarkan analisis yang dilakukan didapat kesimpulan:
a. implementasi SRG untuk komoditi lada terutama pada daerah penelitian belum
siap baik dari sisi pelaku usaha, kelembagaan maupun sarana dan prasaran
yang digunakan.
b. Terdapat empat faktor kunci agar implementasi SRG komodti lada dapat
terwujud, yaitu adanya komitmen kepala pemerintah daerah, terintegrasinya
kelembagaan dalam satu tempat, edukasi dan sosialisasi, peningkatan
produksi dan mutu serta terdapatnya offtaker/buyer/pasar lelang.

Rekomendasi kebijakan
14. Untuk meningkatkan kesadaran petani akan manfaat SRG maka perlu dilakukan:
sosialisasi teknis pelaksanaan SRG yang melibatkan instansi terkait bukan
hanya dinas perdagangan tetapi juga dinas pertanian atau perkebunan. Selain
itu, sosialisasi perlu menghadirkan petani yang telah mendapat manfaat dari
penggunaan SRG.
penyuluhan dan pendampingan bagi petani untuk meningkatkan kualitas dan
mutu hasil produksi agar memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan untuk
masuk dalam sistem resi gudang. Hal ini juga perlu disinergikan dengan
program peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian dari lembaga
terkait.
penguatan lembaga di tingkat petani, baik dalam bentuk kelompok tani maupun
koperasi untuk mencapai skala ekonomis. Hal ini mengingat petani pada
umumnya memiliki produksi dibawah 5 ton sehingga kurang memenuhi skala
ekonomis untuk diresigudangkan.
15. Gudang-gudang SRG yang telah didirikan perlu dilengkapi sarana penunjang
umum seperti listrik, telepon, jalan dan keamanan. Gudang ini juga perlu
dilengkapi sarana penunjang khusus seperti dryer, cleaner, blower, pengayak,
yang spesifikasinya disesuaikan dengan masing-masing komoditas. Selain itu,
perlu dikoordinasikan pembangunan sarana penguji mutu barang di daerah sentra
produksi yang belum memiliki sarana tersebut.

LAPORAN AKHIR

16. Perlu adanya sinergitas antar lembaga pelaksana SRG seperti pengelola gudang,
lembaga pembiayaan, lembaga penjamin mutu, pemerintah daerah dan
pemerintah pusat dalam mengimplementasikan SRG berupa:
Pemerintah

pusat

memberikan

petunjuk

teknis

operasional

dalam

mengimplementasikan sistem resi gudang kepada pemerintah daerah,


pengelola gudang, lembaga penjamin mutu dan lembaga pembiayaan
Pemerintah pusat atau daerah perlu menyediakan biaya operasional
pengelolaan gudang pada awal pelaksanaan minimal selama dua tahun
sampai dengan biaya operasional dapat dibebankan kepada petani.
Pemerintah daerah berperan aktif memberikan insentif berupa biaya angkut
dari sentra produksi ke gudang SRG dalam rangka efisiensi biaya angkut dan
memutus rantai pasok pedagang pengumpul.
Pengelola gudang dan lembaga penjamin mutu perlu ditunjuk secara jelas
sehingga operasional gudang dapat berjalan. Selain itu juga peranan pengelola
gudang tidak hanya secara teknis menjaga mutu produk, pengurusan
administrasi, tetapi juga harus memberikan masukan dan informasi kepada
petani mengenai kapan harus menyimpan dan kapan harus menjual.
Lembaga pembiayaan memfasilitasi petani untuk mendapatkan akses
pembiayaan dengan menggunakan sistem resi gudang. Selain itu waktu
pencairan kredit dapat dipercepat sehingga petani tidak menemukan kesulitan
untuk mengakses pembiayaan.
Lembaga pembiayaan, lembaga penjamin mutu dan gudang letaknya harus
berdekatan, sehingga tidak menimbulkan biaya ekstra bagi petani untuk
memanfaatkan SRG.
17. Perlu adanya pihak yang bertindak sebagai off taker bagi komoditas yang
diagunkan untuk memberikan kepastian bagi lembaga pembiayaan dan pengelola
gudang misalnya untuk komoditas gabah dan beras, off taker-nya adalah bulog.
18. Pengembangan sistem resi gudang di daerah dilakukan secara simultan dengan
pengembangan pasar lelang sehingga apabila tidak terdapat pihak yang bertindak
sebagai off taker, masih terdapat kepastian bahwa agunan dapat dijual dengan
harga yang layak.

LAPORAN AKHIR

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga
laporan Analisis Implementasi Sistem Resi Gudang Komoditi Lada dapat
diselesaikan. Analisis ini dilatarbelakangi belum optimalnya pelaksanaan Sistem Resi
Gudang, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009 melalui penetapan UU
nomor 9 tahun 2006 .Hingga saat ini SRG belum terlalu dikenal oleh kalangan para
pelaku

komersial,

termasuk

kalangan

perbankan

maupun

kalangan

yang

menggunakan resi gudang itu sendiri (Induk Koperasi Unit Desa). Banyak faktor yang
menjadi penentu berkembangnya SRG antara lain: kesiapan infrastruktur, koordinasi
para stakeholder dalam sistem resi gudang dan pemilihan komoditi yang diresi
gudangkan.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sampai dengan
saat ini pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) masih terbatas pada komoditi
pangan seperti gabah, jagung dan beras serta hasil perkebunan seperti kopi dan
kakao. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, menetapkan lada sebagai salah satu
subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang merupakan
sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang.
Analisis

ini diselenggarakan

secara

swakelola

oleh

Pusat

Kebijakan

Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim penelitian yang terdiri dari Yudha Hadian Nur
sebagai koordinator dan peneliti terdiri dari Firman Mutakin, Riffa Utama, Sri Hartini
dan Nasrun. Penelitian ini dibantu oleh tenaga ahli Indria Febriati.
Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau
dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam
kesempatan ini tim peneliti menyampaikan terima kasih terhadap semua pihak yang
membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini
dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang
sarana dan lembaga perdagangan.

Jakarta, Juli 2014


Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

LAPORAN AKHIR

vii

DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................xii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Tujuan Analisis.......................................................................................................... 4
1.3. Keluaran Analisis ...................................................................................................... 4
1.4. Dampak Analisis ....................................................................................................... 4
1.5. Ruang Lingkup .......................................................................................................... 4
1.6. Sistematika Penulisan .............................................................................................. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
2.1. Definisi dan Manfaat Sistem Resi Gudang .............................................................. 6
2.1.1. Sistem Resi Gudang Menurut Undang-Undang ............................................ 6
2.1.2. Manfaat Sistem Resi Gudang Komoditas Pertanian ..................................... 9
2.2. Deskripsi Umum dan Potensi Komoditi Lada di Indonesia .................................... 12
2.3. Kebijakan dan Sistem Tata Niaga .......................................................................... 14
2.3.1. Lembaga-Lembaga Pemasaran................................................................... 16
2.3.2. Saluran Pemasaran ...................................................................................... 17
BAB III. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 19
3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................................... 17
3.2. Kerangka Alur Kerja Analisis .................................................................................. 20
3.3. Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 21
3.4. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen ........................................................... 21
3.4.1. Studi Literatur ............................................................................................... 22
3.4.2. Kuesioner...................................................................................................... 22
3.4.3. Wawancara Mendalam ................................................................................. 23
3.4.4. Observasi Lapangan .................................................................................... 23
3.5. Metode Penentuan Sampel .................................................................................... 24
3.6. Lokasi Penelitian ..................................................................................................... 24
3.7. Metode Pengolahan Dan Analisis Data ................................................................. 24

LAPORAN AKHIR

viii

3.7.1. Analisis Kualitatif Deskriptif .......................................................................... 24


3.7.2. Analisis Pelaku Pasar ................................................................................... 26
3.7.3. Analisis Harga............................................................................................... 26
3.7.4. Analisis Kelembagaan Pendukung Sistem Resi Gudang Untuk Komoditi
Lada .............................................................................................................. 26
3.7.5. Analisis Kebijakan Perdagangan Yang Mendukung Resi Gudang Daerah
dan Pusat ...................................................................................................... 26
BAB IV. PROFIL KOMODITI LADA DI DAERAH.......................................................... 27
4.1. Bangka Belitung ...................................................................................................... 27
4.2. Lampung ................................................................................................................. 33
BAB V. ANALISIS KOMODITI LADA SEBAGAI SUBYEK SRG ................................. 38
5.1. Analisa Komoditi Lada Sebagai Subyek SRG ....................................................... 38
5.1.1. Analisis SWOT.............................................................................................. 38
5.1.2. Sistem Penyimpanan.................................................................................... 40
5.1.3. Kesiapan Komoditi Lada Dalam Rangka Implementasi SRG
Komoditi Lada ............................................................................................... 41
5.2. Analisis Implementasi SRG Komoditi Lada Pada Daerah Penelitian .................... 42
5.2.1. Landasan Berpikir ......................................................................................... 42
5.2.2. Analisis Implementasi SRG dari Aspek Hukum/Legalitas ........................... 44
5.3. Analisis Implementasi SRG Berdasarkan Pihak yang Membutuhkan ................... 45
5.4. Kesiapan Lembaga Terkait Dalam Implementasi SRG ......................................... 47
5.4.1. Pengelola Gudang ........................................................................................ 47
5.4.2. Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK) ............................................................ 50
5.4.3. Pusat Registrasi............................................................................................ 51
5.4.4. Lembaga Pembiayaan (Bank dan Non Bank) ............................................. 52
5.4.5. Lembaga Penjamin....................................................................................... 55
5.4.6. Asuransi ........................................................................................................ 56
5.4.7. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ........................................................... 56
5.5. Kesiapan Sarana dan Prasarana Dalam Implementasi SRG ................................ 58
5.5.1. Gudang dan Perlengkapannya .................................................................... 59
5.5.2. Infrastruktur Jalan ......................................................................................... 60
5.6. Faktor Kunci Kesuksesan Implementasi SRG Komoditi Lada............................... 60

LAPORAN AKHIR

ix

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................................. 64


6.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 64
6.2. Rekomendasi .......................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA

LAPORAN AKHIR

DAFTAR TABEL
Tabel

Halaman

1.1. Produksi Lada Indonesia, Tahun 2008 - 2012 ......................................................... 3


4.1. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Lada di Bangka
Belitung ................................................................................................................... 29
4.2. Luas Areal dan Produksi Lada di Bangka Belitung Tahun 2012 ........................... 31
4.3. Perkembangan Harga Lada di Babel Pada Tingkat Pedagang Besar .................. 33
4.4. Perkembangan Produksi Lada di Propinsi Lampung Tahun 2009 - 2012............. 34
4.5. Luas Areal Perkebunan Lada di Propinsi Lampung .............................................. 34
4.6. Perkembangan Harga Lada di Lampung Pada Tingkat Produsen
Tahun 2010, 2011 dan 2013. ................................................................................. 36
5.1. Analisis SWOT Komoditi Lada ............................................................................... 39
5.2. Perbandingan SRG dan CMA ................................................................................ 46
5.3. Kesiapan Kelembagaan Dalam Implementasi SRG Lada ..................................... 57

LAPORAN AKHIR

xi

DAFTAR GAMBAR
Gambar

Halaman

2.1. Saluran Pemasaran Komoditas Pertanian ............................................................. 15


2.2. Saluran Pemasaran Utama Dalam Agribisnis ........................................................ 18
3.1. Kerangka Alur Kerja Analisis .................................................................................. 21
4.1. Grafik Perkembangan Harga Lada di Babel Tahun 2011 - 2013 .......................... 32
4.2. Grafik Perkembangan Harga Lada di Propinsi Lampung Pada Tingkat
Peladang Besar Tahun 2010 - 2013 ...................................................................... 36
4.4. Perkembangan Produksi Lada di Propinsi Lampung Tahun 2009 - 2012............. 34
4.5. Luas Areal Perkebunan Lada di Propinsi Lampung .............................................. 34

LAPORAN AKHIR

xii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengembangan sektor pertanian merupakan salah satu pondasi utama dalam
memperkuat struktur perekonomian Indonesia. Namun demikian, daya saing petani
dan pelaku usaha pertanian sebagai aktor penting pengembangan pertanian bangsa
masih relatif lemah. Petani/pelaku usaha pertanian masih sulit mendapatkan
pembiayaan untuk kesinambungan usaha taninya karena akses terhadap sumber
pendanaan guna kesinambungan kegiatan produksinya, seperti perbankan atau
lembaga keuangan non bank terkadang memberatkan petani, misalnya perlunya petani
menyerahkan jaminan kredit bank yang berupa fixed asset (aset tetap). Di lain pihak,
petani juga menghadapi harga produk pertanian yang fluktuatif dan rendah pada saat
panen karena pasar akan mengalami kelebihan pasokan komoditi, sehingga petani
sulit mendapatkan harga yang layak.
Selama ini ketika panen, petani dihadapkan pada situasi tanpa pilihan kecuali
menjual komoditi hasil panennya kepada para pedagang tengkulak, pada saat harga
hasil komoditi cenderung turun. Harga dasar yang ditetapkan Pemerintah atas suatu
komoditi dalam prakteknya terdistorsi di tingkat pasar dan tidak optimal memberikan
manfaat kepada para petani. Nilai yang mereka terima atas hasil penjualan
komoditinya seringkali tidak memadai, baik untuk mendukung kehidupan yang layak
bagi dirinya dan keluarganya, atau lebih jauh lagi menjadi modal produksi/tanam
musim selanjutnya.
Salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan di atas adalah penerapan
Sistem Resi Gudang (SRG). Menurut Undang-Undang No. 9 tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang
dijelaskan bahwa SRG bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
merupakan instrumen yang dibentuk dengan salah satu tujuan untuk memberdayakan
petani, dimana komoditi yang dihasilkannya mampu memberikan nilai ekonomis dalam
bentuk penjaminan, yang dapat dipergunakannya untuk memperoleh kredit dan bank
dan lembaga keuangan non bank, dengan tingkat bunga yang rendah. Menurut
Bappebti (2011), penerapan SRG menawarkan beberapa manfaat bagi petani, dunia
usaha, perbankan dan bagi pemerintah antara lain untuk keterkendalian dan kestabilan
harga komoditi, keterjaminan modal produksi, keleluasaan penyaluran kredit bagi
perbankan dan memberi kepastian nilai minimum dari komoditi yang diagunkan.

LAPORAN AKHIR

Bab I - 1

Secara definisi Resi Gudang (Warehouse Receipt) merupakan salah satu instrument
penting, efektif dan negotiable (dapat diperdagangkan) serta swapped (dipertukarkan)
dalam sistem pembiayaan perdagangan suatu negara. Disamping itu Resi Gudang
juga dapat dipergunakan sebagai jaminan (collateral) atau diterima sebagai bukti
penyerahan barang dalam rangka pemenuhan kontrak derivative yang jatuh tempo,
sebagaimana terjadi dalam suatu Kontrak Berjangka.
Sistem Resi Gudang (SRG) yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009
melalui penetapan UU nomor 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang,
memperlihatkan bahwa SRG masih belum berkembang secara optimal. Hingga saat ini
SRG belum terlalu dikenal oleh kalangan para pelaku komersial, termasuk kalangan
perbankan maupun kalangan yang menggunakan resi gudang itu sendiri (Induk
Koperasi Unit Desa). Banyak faktor yang menjadi penentu berkembangnya SRG
antara lain: kesiapan infrastruktur, koordinasi para stakeholder dalam sistem resi
gudang dan pemilihan komoditi yang diresi gudangkan.
Menyangkut penentuan komoditi Sistem Resi Gudang, pemerintah melalui
Permendag No. 08/M-DAG/PER/2/2013 tentang Perubahan Atas Permendag No.
37/M-DAG/PER/11/2011 tentang Barang Yang Dapat Disimpan Di Gudang Dalam
Penyelengaraan Sistem Resi Gudang telah menetapkan 10 (sepuluh) komoditas yang
dapat diresigudangkan terdiri dari gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut,
jagung, rotan dan garam. Dalam Permendag tersebut dipersyaratkan komoditi yang
dapat diresigudangkan memiliki 3 (tiga) kriteria yaitu memiliki daya simpan paling
sedikit 3 (tiga) bulan, memenuhi standar mutu tertentu dan jumlah minimum komoditi
yang disimpan. Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Sistem Resi Gudang, pada
pasal 9 (1) disebutkan bahwa resi gudang dan derivatifnya dapat diperdagangkan di
bursa. Oleh karenanya kriteria barang SRG diatas perlu ditambah memiliki harga yang
berfluktuasi, tidak ada intervensi pemerintah, semata-mata atas dasar permintaan dan
pasokan, tersedia dalam jumlah yang cukup, bersifat homogen, dan tidak dimonopoli
oleh kelompok tertentu, merupakan komoditi potensial dan sangat berperan dalam
perekonomian daerah setempat dan nasional.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sampai dengan
saat ini pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) masih terbatas pada komoditi
pangan seperti gabah, jagung dan beras serta hasil perkebunan seperti kopi dan
kakao. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, menetapkan lada sebagai salah satu
subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang merupakan
sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang. Berdasarkan data

LAPORAN AKHIR

Bab I - 2

Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun 2012, sebagai komoditi unggulan, lada
memiliki total produksi sebesar 75.000 metric ton pada 2012, dimana jumlah yang
diekspor mencapai 62.600 metric ton, yang terdiri dari ekspor lada hitam sebesar
49.500 metric ton, dan lada putih sebanyak 13.100 metric ton. Bukan hanya belum
memanfaatkan, bahkan Provinsi Bangka Belitung dan Lampung yang merupakan
daerah utama penghasil lada Indonesia sampai saat ini belum didirikan gudang SRG,
padahal produksi lada di kedua daerah tersebut merupakan penyumbang terbesar bagi
total produksi lada Indonesia (tabel 1,1).
Tabel 1.1. Produksi Lada Indonesia, Tahun 2008 2012

Provinsi
Bangka Belitung
Lampung
Indonesia

2008
15.601
22.311
80.422

2009
15.671
22.164
82.834

2010
18.383
22.236
83.663

2011
28.242
22.121
87.089

(ton)
2012
30.717
22.128
87.841

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012

Adapun pelaksanaan SRG di lapangan memiliki beberapa kendala, seperti


yang dinyatakan oleh Direktorat Pembiayaan Pertanian, Ditjen Prasarana dan Sarana
Pertanian, Kementerian Pertanian (2011), berdasarkan hasil pemantauan pelaksanaan
SRG di beberapa daerah terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan SRG di
daerah antara lain: (a) rata rata lahan yang dimiliki sempit sehingga sulit dalam
konsolidasi hasilnya; (b) lemahnya kelembagaan oleh petani maupun petugas
pendamping di lapangan; (c) keterbatasan kemampuan pemahaman SRG baik oleh
petani maupun petugas pendamping; (d) beban operasional yang memberatkan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lada merupakan satu dari
sepuluh komoditi yang dapat diresigudangkan. Namun, hingga saat ini pemanfaatan
SRG masih belum diimplementasikan secara maksimal pada komoditi lada, padahal
komoditi ini merupakan salah satu komoditi unggulan dengan jumlah produksi yang
terus meningkat setiap tahunnya serta memiliki potensi ekspor yang cukup besar. SRG
dapat bermanfaat bagi petani khususnya, serta dunia usaha pada umumnya untuk
memberikan kepastian harga serta akses untuk memperoleh tambahan modal usaha.
Oleh karena itu, analisis mengenai SRG komoditi lada perlu dilakukan untuk
mengetahui hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan SRG di Indonesia
khususnya untuk komoditi lada terutama di daerah sentra produksinya, agar
pemanfaatan SRG dapat dimaksimalkan sehingga diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan petani dan tetap meningkatkan gairah para petani lada untuk terus

LAPORAN AKHIR

Bab I - 3

menanam lada yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan perekonomian


nasional.

1.2.

Tujuan Analisis

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah :


1.

Mengidentifikasi permasalahan dalam mengimplementasikan SRG komoditi lada.

2.

Menganalisis faktor kunci kesuksesan dalam SRG komoditi lada.

3.

Menyusun rumusan usulan mengimplementasikan SRG komoditi lada.

1.3.

Keluaran Analisis

Keluaran yang diharapkan dari analisis ini adalah:


1.

Terindentifikasinya permasalahan dalam mengimplementasikan SRG komoditi


Lada.

2.

Analisis faktor kunci kesuksesan dalam SRG komoditi lada.

3.

Rumusan usulan implementasi SRG komoditi Lada.

1.4.

Dampak Analisis
Hasil analisis diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah

dalam mengimplementasikan SRG komoditi di daerah.


1.5.

Ruang Lingkup

a. Ruang lingkup analisis ini adalah sebagai berikut:


1. Komoditi yang dipetakan adalah Komoditi Lada: Lada putih dan lada hitam
2. Studi

Dokumentasi,

guna

menganalisis

permasalahan

dalam

mengimplementasikan komoditi lada sebagai SRG.


3. Studi Lapangan, melakukan survey ke beberapa daerah untuk melakukan
pemetaan permasalahan dan identifikasi faktor-faktor pendukung dalam rangka
mengimplementasikan SRG bagi komoditi lada.
4. Gambaran Keadaan Pasar Fisik Komoditi
Aspek Produksi
Kualitas Komoditi
Perdagangan Dalam Negeri
Kebijakan Nasional
5. Kajian Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan resi gudang

LAPORAN AKHIR

Bab I - 4

6. Analisis Manfaat Ekonomi Komoditi


Analisis Pelaku-Pelaku Pasar
Analisis Harga
b. Daerah kajian
Penelitian Lapangan dilakukan pada dua lokasi penghasil lada terbesar di Indonesia
yaitu Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Lampung

1.6.

Sistematika Penulisan

BAB I

Mendeskripsikan latar belakang, tujuan dan keluaran, serta ruang


lingkup penelitian yang dilakukan serta sistematika penulisan.

BAB II

Menjelaskan tinjauan literatur yang akan digunakan sebagai referensi


dalam penelitian.

BAB III

Menjelaskan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi


metode pengambilan data dan alat analisis yang digunakan.

BAB IV

Memaparkan profil komoditi lada terutama di dua daerah survey yang


merupakan daerah produsen lada terbesar.

BAB V

Menganalisis pelaksanaan SRG serta permasalahannya dan kesiapan


daerah dalam implementasi SRG komoditi lada

BAB VI

Memberikan kesimpulan dan implikasi kebijakan

LAPORAN AKHIR

Bab I - 5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Manfaat Sistem Resi Gudang


Sistem Resi Gudang SRG diciptakan dalam mendukung pemberdayaan pasar
dalam negeri menuju pasar global. Pembangunan institusi pasar lelang baik pasar
lelang di dalam satu wilayah

maupun antar daerah sudah saatnya diwujudkan

sehingga memberikan kemudahan akses pasar dan transparan kepada semua pelaku
usaha dimanapun berada.

Agar transaksi dan kegiatan perdagangan dapat

ditingkatkan, pasar lelang perlu didukung pendanaan yang lebih kompetitif melalui
pendanaan Sistem Resi Gudang. Sistem ini sesungguhnya sudah berjalan lama di
Indonesia melalui Warehouse Receipt Financing dimana PT. Sucofindo sebagai
collateral manager, dan eksportir Indonesia memperoleh kredit dari bank asing dengan
agunan komoditas. Upaya yang dilakukan adalah agar bank dalam negeri dapat
berperan dalam skema Resi Gudang.
Percontohan SRG telah diluncurkan pada bulan Maret 2003 di Makasar untuk
komoditas Kakao, melalui perjanjian tiga pihak yaitu Bank Niaga, eksportir Kakao dan
PT. Bhanda Ghara Reksa (pengelola agunan). Beberapa komoditas yang masuk
dalam percontohan Resi Gudang adalah kakao di Makasar dan kopi dan lada di
Bandar Lampung. Dalam contoh tersebut dijelaskan tentang dana kredit yang sudah
disalurkan secara akumulatif yaitu sebesar US$ 11,7 juta telah dimanfaatkan oleh
eksportir dalam sebagai modal kerja (laporan PT. Sucofindo 2010).

2.1.1 Sistem Resi Gudang Menurut Undang-Undang


Penyelenggaraan sistem resi gudang SRG menurut Peraturan menteri
perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/11/2011; adalah kegiatan yang berkaitan dengan
penerbitan, pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi resi gudang.
Sedangkan resi gudang adalah dokumen
disimpan

bukti

kepemilikan

barang

yang

dalam gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Pihak yang

melakukan usaha pergudangan

(baik gudang milik sendiri atau orang lain)

menyimpan, memelihara dan mengawasi barang yang disimpan oleh pemilik barang
disebut pengelola gudang dan berhak menerbitkan Resi Gudang. Pengelola berhak
menerbitkan resi gudang untuk setiap penyimpanan barang setelah si pemilik barang
menyerahkan barangnya kepada pengelola gudang.

LAPORAN AKHIR

Bab II - 6

Barang yang dapat diterbitkan resi gudangnya memiliki persyaratan: setiap


barang

bergerak

yang

dapat

disimpan

dalam

jangka

waktu

tertentu

dan

diperdagangkan secara umum, diutamakan barang yang memiliki nilai strategis,


komoditas unggulan, tujuan ekspor dan/atau tujuan ketahanan pangan. Pada pasal 3
Permendag

No.37/M-DAG/PER/11/2011 juga disebutkan persyaratan lain barang

yang dapat disimpan di gudang untuk diterbitkan resi gudang paling sedikit memenuhi
persyaratan : a) memiliki daya simpan paling sedikit

3 (tiga) bulan; b) memenuhi

standar mutu tertentu (Indonesia SNI); c) Jumlah minimum barang yang disimpan.
Barang yang dapat disimpan di Gudang dalam rangka Sistem Resi Gudang adalah:
a. Gabah;
b. Beras;
c. Jagung
d. Kopi
e. Kakao
f. Lada
g. Karet
h. Rumput laut
i. Rotan; dan
j. Garam
Jumlah komoditas yang ditetapkan pada permen terbaru berjumlah sepuluh
komoditas dengan memasukkan rotan sebagai subyek SRG. Pada saat peraturan
menteri No. 37/M-DAG/PER/11/2011 berlaku, maka Peraturan Menteri Perdagangan
No. 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang barang yang dapat disimpan di Gudang (delapan
komoditas) dalam penyelenggaraan SRG dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Penetapan selanjutnya tentang barang dalam rangka SRG dilakukan dengan
pertimbangan rekomendasi dari pemerintah daerah, instansi terkait, atau asosiasi
komoditas dengan tetap memperhatikan persyaratan sebagai mana disebutkan dalam
pasal 3 diatas.
Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dijelaskan secara detail yang
dimaksud dengan Resi Gudang, antara lain adalah:
1. Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,
pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.
2. Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di
Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang.

LAPORAN AKHIR

Bab II - 7

3. Derivatif Resi Gudang adalah turunan Resi Gudang yang dapat berupa kontrak
berjangka Resi Gudang, opsi atas Resi Gudang, indeks atas Resi Gudang, surat
berharga diskonto Resi Gudang, unit Resi Gudang atau derivatif lainnya dari Resi
Gudang sebagai instrumen keuangan.
4. Gudang

adalah

semua

ruangan

yang

tidak

bergerak

dan

tidak

dapat

dipindah-pindahkan dengan tujuan tidak dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai
khusus sebagai tempat penyimpanan barang yang dapat diperdagangkan secara
umum dan memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
5. Barang adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu
tertentu dan diperdagangkan secara umum.
6. Barang Bercampur adalah barang-barang yang secara alami atau kebiasaan dalam
praktik perdagangan dianggap setara serta sama satuan unitnya dan dapat disimpan
secara bercampur.
7. Pemegang Resi Gudang adalah pemilik barang atau pihak yang menerima
pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut.
8. Pengelola Gudang adalah pihak yang melakukan usaha pergudangan, baik gudang
milik sendiri maupun milik orang lain, yang melakukan penyimpanan, pemeliharaan,
dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang serta berhak
menerbitkan Resi Gudang.
9. Hak Jaminan atas Resi Gudang, yang selanjutnya disebut Hak Jaminan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang
memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap
kreditor yang lain.
10. Menteri adalah Menteri yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan.
11. Badan Pengawas Sistem Resi Gudang yang selanjutnya disebut Badan Pengawas
adalah unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan
pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan Sistem Resi Gudang.
12. Lembaga Penilaian Kesesuaian adalah lembaga terakreditasi yang melakukan
serangkaian kegiatan untuk menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu
yang berkaitan dengan produk, proses, sistem dan/atau personel terpenuhi.
13. Pusat Registrasi Resi Gudang yang selanjutnya disebut Pusat Registrasi adalah
badan usaha berbadan hukum yang mendapat persetujuan Badan Pengawas untuk
melakukan penatausahaan Resi Gudang dan Derivatif Resi Gudang yang meliputi
pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan,
pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan informasi.

LAPORAN AKHIR

Bab II - 8

14. Lembaga Jaminan Resi Gudang yang selanjutnya disebut Lembaga Jaminan
adalah badan hukum Indonesia yang menjamin hak dan kepentingan pemegang Resi
Gudang atau Penerima Hak Jaminan terhadap kegagalan, kelalaian, atau
ketidakmampuan Pengelola Gudang dalam melaksanakan kewajibannya dalam
menyimpan dan menyerahkan barang.
15. Penerima Hak Jaminan adalah pihak yang memegang atau berhak atas Hak
Jaminan atas Resi Gudang sesuai dengan Akta Pembebanan Hak Jaminan.

2.1.2 Manfaat Sistem Resi Gudang Komoditas Pertanian


Secara umum ada beberapa manfaat yang diberikan dengan mengembangkan
sistem Resi Gudang untuk komoditas pertanian, perkebunan dan rotan (Bappebti
2011), yakni :
A. Memperpanjang Masa Penjualan Hasil Produksi Petani
Petani yang menyerahkan hasil panennya ke perusahaan pergudangan yang
berhak mengeluarkan Resi Gudang, akan menerima tanda bukti berupa Resi
Gudang, yang dapat dijadikan sebagai agunan untuk memperoleh pinjaman
jangka pendek di bank. Dengan demikian, para petani tidak perlu tergesa gesa menjual hasilnya pada masa panen yang umumnya ditandai dengan
turunnya harga komoditas. Hal ini dilakukan petani, yang berkeyakinan bahwa
harga setelah panen akan naik,sehingga dengan menunda penjualan justru
akan memberikan hasil yang optimal bagi petani.

B. Sebagai Agunan Bank


Pemegang Resi Gudang dapat memperoleh sumber kredit dari bank untuk
digunakan sebagai modal kerja seperti pembelian bibit, pupuk dan keperluan
lainnya. Surat

Resi Gudang memberikan jaminan adanya persediaan

komoditas dengan kualitas tertentu kepada pemegangnya tanpa harus


melakukan pengujian secara fisik. Resi Gudang dapat dimanfaatkan petani
untuk pembiayaan proses produksi/budidaya/pemanenan, sedangkan bagi
produsen untuk membiayai persediaanya. Bila terjadi penyimpangan dalam
sistem ini, para pemegang Resi Gudang dijamin akan memperoleh prioritas
dalam penggantian sesuai dengan nilai agunnya. Terkumpulnya persediaan
komoditas dalam jumlah besar akan mempermudah memperoleh kredit dan
menurunkan biaya untuk memobilisasi sektor agrobisnis.

LAPORAN AKHIR

Bab II - 9

C. Mewujudkan Pasar Fisik dan Pasar Berjangka Yang Lebih Kompetitif


Sistem Resi Gudang dapat memberikan Informasi yang diperlukan penjual dan
pembeli dalam melakukan transaksi, yang merupakan dasar untuk melakukan
perdagangan komoditas secara luas.

Keberadaan Resi Gudang dapat

meningkatkan volume perdagangan sehingga dapat menurunkan biaya


transaksi. Hal ini dimungkinkan karena dalam bertransaksi tidak perlu lagi
dilakukan inspeksi terhadap barang yang disimpan, baik yang ada di gudang
atau di tempat transaksi dan transaksi umumnya hampir tidak pernah lagi
dilakukan di gudang.

Bila transaksi dilakukan untuk penyerahan barang di

kemudian hari (perdagangan berjangka), Resi Gudang dapat dijadikan sebagai


instrumen untuk memenuhi penyerahan komoditas bagi kontrak berjangka di
Bursa Komoditas yang jatuh tempo.
D. Mengurangi Peran Pemerintah Dalam Stabilisasi Harga Komoditas
Bila harga komoditas strategi berada dibawah harga dasar, maka pemerintah
dapat membeli Resi Gudang, sehingga tidak perlu lagi menerima penyerahan
barang secara fisik. Pemerintah dalam rangka pengelolaan cadangan strategis
cukup memegang Resi Gudang saja karena adanya jaminan kualitas dan
kuantitas komoditas di gudang - gudang penyimpanan. Bila swasta melakukan
pembelian, penyimpanan, dan penjualan komoditas melalui mekanisme Resi
Gudang dalam jumlah yang besar dan sekaligus melakukan perlindungan nilai
di pasar berjangka, maka peran pemerintah dalam stabilisasi harga dapat
dihapuskan.

E. Memberikan Kepastian Nilai Minimum Dari Komoditas Yang Dijadikan


Agunan
Bank dapat memberikan kredit yang lebih besar kepada peminjam yang
melakukan lindung nilai (hedging) untuk komoditas yang dipinjamkannya
(sampai dengan 80-90 % dari nilai agunan).

Sistem

Resi Gudang

menurut

Keputusan Menteri Perdagangan 2011

merupakan instrumen untuk mengatasi resiko dan akses pembiayaan bagi dunia
usaha. Menurut keterangan BAPPEBTI, Sistem Resi Gudang komoditas pertanian
dan ketahanan pangan ada beberapa pihak yang mendapat manfaat dari sistem resi
gudang diantaranya adalah : Petani, Pedagang, Pengusaha industri pengolahanan
produk jadi.

LAPORAN AKHIR

Bab II - 10

Manfaat Sistem Resi Gudang bagi Petani adalah:


1. Peluang mendapatkan harga jual yang lebih baik, dengan menyimpan
komoditas di gudang saat panen raya dimana harga umumnya rendah, untuk
kemudian menjualnya beberapa bulan kemudian pada saat harga telah kembali
normal.
2. Mendapatkan kepastian mutu dan jumlah pada saat awal penyimpanan karena
test uji dilakukan oleh Lembaga Penguji yang berdiri sendiri.
3. Serta mendapatkan jaminan keamanan mutu dan jumlah selama masa
penyimpanan di gudang.
4. Peluang mendapatkan pinjaman dari bank untuk pembiayaan modal kerja pada
musim tanam berikutnya dengan jaminan resi gudang.
Manfaat Resi Gudang bagi Pedagang adalah:
1. Peluang mendapatkan jaminan kepastian mutu dan jumlah atas komoditas
yang diperdagangkan.
2. Peluang mendapatkan suplai komoditas yang lebih pasti, dikarenakan dapat
mengetahui secara pasti jumlah komoditas yang tersimpan di gudang.
3. Peluang mendapatkan pinjaman berulang (revolving loan) dari bank untuk
modal kerja. Dengan jumlah modal kerja yang sama, dapat diperoleh omzet
perdagangan yang lebih, dengan cara meminjam dari bank atas jaminan resi
gudang secara berulang-ulang.

Manfaat Sistem Resi Gudang bagi Industri Pengolahan Menurut Kementerian


Perdagangan
1.

Pengamanan pasokan bahan baku industri pengolahan komoditas menjadi


produk turunannya (hilirisasi lada).

2.

Mengatur sistem persediaan sesuai dengan kapasitas gudang yang dimiliki dan
kebutuhan industrinya.

3.

Mendapat jaminan

kepastian mutu yang baik sesuai SNI dan jumlah yang

dibutuhkan pada waktu yang tepat.


4.

Mendapat tambahan pinjaman berulang dari anggunan surat resi gudang


kepada Bank penjamin untuk modal kerja.

5.

Mempermudah mekanisme verifikasi lada dan mengontrol perdagangan lada


antar pulau.

LAPORAN AKHIR

Bab II - 11

2.2 Deskripsi Umum dan Potensi Komoditi Lada di Indonesia

Lada merupakan salah satu jenis rempah yang sudah dikenal sejak jaman
dahulu kala. Theoprastus dari Yunani (372 387 SM) sudah mengenal dua jenis Lada
yaitu Piper nigrum (Lada Hitam) dan Piper longum. Tahun 600 1500 para pedagang
Arab mengangkut biji Lada dari pantai Malabar di India. Hubungan perdagang lada
antara Jawa dan Cina tercatat mulai tahun 1500, dan bangsa-bangsa Eropa antara lain
Inggris, Spanyol, Portugis dan Belanda menjajah bangsa-bangsa di Asia termasuk
Indonesia antara lain disebabkan oleh komoditi rempah dan obat termasuk Lada.
Di Indonesia pada masa penjajahan Belanda tanaman Lada pernah menjadi
komoditas ekspor utama, tercatat antara tahun 1930 1938 rata-rata ekspor Indonesia
meliputi 50.000 ton per tahun. Pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1980 s.d saat
ini rata-rata ekspor pertahun hanya sekitar 30.000 ton. Penghasil Lada di Indonesia
antara lain Lampung, Bangka dan Kalimantan Barat.
Lada (Piper nigrum Linn) merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang
berasal dari Ghat Barat, India. Kurang lebih 80% hasil lada Indonesia merupakan
komoditas ekspor. Untuk dapat bersaing di pasaran dunia, peningkatan kuantitas dan
kualitas produksi lada menjadi tuntutan utama. Usaha untuk meningkatkan kuantitas
dan kualitas produksi lada nasional antara lain dilakukan dengan strategi pemanfaatan
potensi sumber daya dan pengembangan usaha tani lada. Lada atau merica
merupakan salah satu komoditas perdagangan dunia. Lada dikenal dengan sebutan
The King of Spice (Raja Rempah-Rempah) menjadi mata dagangan antar Negara
(Rukmana, 2003).

Jenis Lada
Kementerian Pertanian telah melepas beberapa varietas lada yaitu, Petaling 1,
Petaling 2, Lampung Daun Kecil (LDL), Chunuk, Natar 1, Natar 2 dan Bengkayang
dengan deskripsi Umum sebagai berikut :
1. Petaling 1
Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau,
warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak 9 bulan, ratarata buah pertandan 60 butir, persentase buah sempurna 64,8%, rata-rata hasil
produksi 4,48 ton/ha ( 2,8 kg/pohon) lada putih kering, agak tahan terhadap
penyakit kuning, agak peka terhadap busuk pangkal batang. Dapat ditanam

LAPORAN AKHIR

Bab II - 12

ditanah-tanah yang kurang subur, pada tanah yang subur di usia tua
pertumbuhannya akan lebih baik. Pemakaian tiang panjat mati dan mulsa lebih
cocok.
2. Petaling 2
Umur mulai berbunga 11 bulan, bentuk buah bulat besar, warna buah muda hijau,
warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak 8 bulan, ratarata buah pertandan 80 butir, persentase buah sempurna 66,1%, rata-rata hasil
produksi 4,80 ton/ha ( 3,0 kg/pohon) lada putih kering, agak tahan terhadap
penyakit kuning, agak peka terhadap busuk pangkal batang. Dianjurkan tanam di
tanah yang bebas penyakit busuk pangkal batang dan penyakit kuning serta tingkat
kesuburan sedang sampai tinggi. Tiang penegak mati lebih cocok.
3. Lampung Daun Kecil
Umur mulai berbunga 7 bulan, bentuk buah lonjong, warna buah muda hijau tua,
warna buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 196 hari,
rata-rata buah pertandan 73,52 butir, persentase buah sempurna 48,46%, ratarata hasil produksi 3,86 ton/ha, agak tahan terhadap penyakit kuning, toleran
terhadap busuk pangkal batang. Dapat dianjurkan untuk ditanam di daerah yang
belum mendapat serangan penyakit kuning.
4. Chunuk
Umur mulai berbunga 8 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau, warna
buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 225 hari, rata-rata
buah pertandan 66,56 butir, persentase buah sempurna 43,39%, rata-rata hasil
produksi 1,97 ton/ha, peka terhadap penyakit kuning, toleran terhadap busuk
pangkal batang. Dapat dianjurkan tana untuk dibudidayakan sebagai lada perdu.
5. Natar 1
Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau, warna
buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak 8 bulan, rata-rata buah
pertandan 57,3 butir, persentase buah sempurna 66,7%, rata-rata hasil produksi
4,00 ton/ha ( 2,5 kg/pohon) lada hitam kering, agak tahan terhadap penyakit
kuning, medium sampai agak tahan terhadap busuk pangkal batang. Dianjurkan
tanam di daerah yang tingkat penularan penyakit busuk pangkal batang belum

LAPORAN AKHIR

Bab II - 13

begitu tinggi. Varietas ini responsive terhadap pupuk dan cahaya. Pemangkasan
tiang panjat hidup 1 x 4 bulan, setinggi 3 meter diperlukan.
6. Natar 2
Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat hingga lonjong, warna buah
muda hijau muda, warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah
masak 7 bulan, rata-rata buah pertandan 56 butir, persentase buah sempurna
60%, rata-rata hasil produksi 3,53 ton/ha ( 2,5 kg/pohon) lada hitam kering, agak
tahan terhadap penyakit kuning, rendah sampai peka terhadap busuk pangkal
batang. Dianjurkan tanam di daerah yang tingkat kesuburan sedang sampai tinggi,
belum ketularan penyakit busuk pangkal batang. Untuk lampung tidak boleh tiang
penegak hidup terlalu rimbun daunnya. Tiang penegak harus dipangkas 1 x 4
bulan, setinggi 3 meter.
7. Bengkayang
Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau muda,
warna buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 189 hari,
rata-rata buah pertandan 85,22 butir, persentase buah sempurna 68,30%, rata-rata
hasil produksi 4,67 ton/ha, toleran terhadap penyakit kuning, toleran terhadap
busuk pangkal batang, dapat dianjurkan untuk ditanam di daerah yang kurang
subur. Memakai tiang panjat mati dan mulsa lebih baik
2.3 Kebijakan dan Sistem Tata Niaga
Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan ekspor lada sangat mempengaruhi
tataniaga lada ditingkat petani/pemungut, dan juga berdampak pada perkembangan
industri pengolahan lada menjadi berbagai produk siap pakai. Untuk menganalisis
tataniaga lada disentra-sentra produksi serta keterkaitan keseluruh perdagangan lada
Indonesia serta fungsi-fungsi pemasaran yang berperan terhadap pengembangan
komoditas ini digunakan pendekatan fungsi, kelembagaan dan perilaku pemasaran:
Khols dan Uhl (1985) menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis sistem
pemasaran yaitu :
A. Pendekatan Fungsi (The Fungsional Approach)
Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi pemasaran apa
saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam pemasaran lada. Fungsifungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik

LAPORAN AKHIR

Bab II - 14

(penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas (standarisasi dan


grading, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar).

B. Pendekatan Kelembagaan (The Institual Approach)


Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui beberapa macam
lembaga atau pelaku yang terlibat dalam pemasaran komoditas lada. Pelakupelaku ini adalah pedagang perantara (menchant middleman) yang terdiri dari
pedagang

pengumpul,

pedagang

pengecer,

pedagang

spekulatif,

agen,

manufaktur, dan organisasi lainya yang terlibat.

C. Pendekatan Perilaku (The Behavior System Approach)


Merupakan pelengkap dan pendekatan fungsi kelembagaan untuk mengetahui
aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses pemasaran, seperti perilaku lembaga
yang terlibat dalam pemasaran dan kombinasi dari fungsi pemasaran. Pendekatan
ini terdiri dari the input-output system, the power system, dan the communication
system.

Gambar 2.1 Saluran Pemasaran Komoditas Pertanian


Sumber : Khols dan Downey, 1985

Pemasaran pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk kegiatan dan usaha
yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan hak fisik dari barang-barang
hasil kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen, termasuk
didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari
barang untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi
kepada konsumen (Limbong dan Sitorus, 1997).

LAPORAN AKHIR

Bab II - 15

2.3.1

Lembaga-Lembaga Pemasaran

Hanafi dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa lembaga pemasaran adalah


badan-badan yang bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan atau fungsi
pemasaran dimana barang harus bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Tugas
lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi
keingainan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa
kepada lembaga pemasaran berupa margin pemasaran. Limbong dan Sitorus (1987)
dalam pemasaran barang dan jasa terlibat beberapa lembaga pemasaran mulai dari
produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen. Karena jarak antar produsen
yang menghasilkan barang dan jasa sering berjauhan dengan konsumen, maka fungsi
badan perantara sangat diharapkan kehadiranya untuk menggerakan baranga-barang
dan jasa-jasa tersebut dari titik produksi ke titik konsumsi. Lembaga pemasaran
merupakan suatu lembaga dalam bentuk perorangan, perserikatan, dan perseroan
yang akan melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berusaha untuk memperlancar
arus

barang

dari

produsen

sampai

tingkat

konsumen

melalui

beberapa

kegiatan/aktivitas. Lembaga-lembaga pemasaran tersebut juga berfungsi sebagai


sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Dalam sistem pemasaran terdapat
lembaga-lembaga pemasaran yang cukup penting yaitu :
a. Pedagang pengumpul yaitu pedagang yang membeli dan mengumpulkan barang-barang
hasil pertanian dari produsen kemudian memasarkan dalam partai besar kepada pedagang
lain. Dalam hal ini pedagang pengumpul biasanya ada di setiap desa.

b. Pedagang besar yaitu pedagang yang membeli dari pedagang pengumpul dalam
partai besar dan mendistribusikan ke setiap pedagang pengecer ataupun ke pasar.
c. Pengecer yaitu pedagang yang membeli barang dari pedagang besar dan
mendistribusikanya barang secara langsung ke konsumen akhir.
Menurut Sudiono (2001), lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap
komoditas yang diperjual belikan dapat dibedakan atas tiga :
a. Lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda, seperti agen, makelar (broker,
selling broker, buying broker).
b. Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditas-komoditas pertanian yang
diperjual-belikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir.
c. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai komoditas-komoditas
pertanian yang diperjual-belikan. Seperti perusahaan yang menyediakan fasilitasfasilitas trasnportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu kualitas produk
pertanian (surveyor).

LAPORAN AKHIR

Bab II - 16

2.3.2 Saluran Pemasaran


Saluran pemasaran usaha yang dilakukan untuk menyampaikan barang dan jasa
dari produsen ke konsumen yang didalamnya terlibat beberapa lembaga pemasaran
yang

menjelaskan

fungsi-fungsi

pemasaran.

Beberapa

faktor

yang

harus

dipertimbangkan dalam memilih aliran pemasaran yaitu a) adanya pertimbangan


pasar, yang meliputi konsumen sebagai tujuan akhir mencangkup pembeli potensial,
konsentrasi pasar secara geografis, volume pemesanan dan kebiasaan membeli ; b)
pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar dan berat barang,
tingkat kerusakan, sifat tekis barang dan apakah barang tersebut untuk memenuhi
pasaran; c) pertimbangan internal perusahaan/pengusaha yang meliputi sumber
permodalan, kemampuan dan pengalaman penjualan; d) pertimbangan terhadap
lembaga perantara, yang meliputi pelayanan lembaga perantara, kesesuaian lembaga
perantara dengan kebijakasanaan dari pertimbangan biaya.
Panjang pendeknya saluran pemasaran tergantung pada : a) jarak antar
produsen dan konsumen dimana semakin jauh jarak antar produsen dan konsumen
makin panjang saluran pemasaran yang terjadi. b) skala produksi yang meliputi
semakin kecil skala produksi, saluran yang terjadi cendrung panjang karena
memerlukan pedagang perantara dalam penyalurannya. c) capat tidaknya produk
rusak dimana produk yang mudah rusak menghendaki saluran pemasaran yang
pendek, karena harus segera diterima konsumen. d) posisi keuangan pengusaha,
dalam hal ini pedagang yang posisis keuangannya kuat cendrung dapat melakukan
lebih banyak fungsi pemasaran dan memperpendek saluran. Saluran pemasaran dapat
dilihat pada gambar 2.1 di atas dan gambar 2.2 di bawah ini.

LAPORAN AKHIR

Bab II - 17

Gambar 2.2 Saluran Pemasaran Utama dalam Agribisnis


Sumber : Downey dan Erickson, 1987

LAPORAN AKHIR

Bab II - 18

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran


Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 26/M-DAG/PER/6/2007
tentang Barang Yang Dapat Disimpan di Gudang, lada termasuk salah satu komoditi
yang dapat disimpan di gudang dalam rangka SRG karena telah memenuhi
persyaratan : a) memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan; b) memenuhi
standar mutu tertentu (Indonesia SNI); c) Jumlah minimum barang yang disimpan.
Sampai dengan penelitian dilakukan (2014) SRG untuk komoditi lada belum dilakukan,
sementara untuk beberapa komoditi lainnya (Padi, Jagung, Rumput Laut, Kopi) telah di
SRGkan.
Keberhasilan SRG ditentukan oleh banyak faktor. Secara garis besar faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan SRG ditentukan oleh faktor kelembagaan,
pasar dan komoditi. Faktor kelembagaan yang terdiri dari kesiapan pengelola gudang,
komitmen pemerintah daerah, serta lembaga penunjang lainnya seperti bank, lembaga
penguji, dan sebagainya sangat brpengaruh terhadap keberhasilan SRG. Peran
pemerintah sangat diperlukan khususnya untuk memulai ataupun megkoordinir pada
awal berjalannya SRG, untuk memsosialisasi SRG, mendanai operasional SRG dan
sebagainya. Tidak adanya dana pada awal operasi, tidak adanya sosialisasi, kurang
aktifnya koordinasi maupun komitmen dari pemerintah daerah akan menghambat
berjalannya SRG. Demikian juga peran dari lembaga lainnya memiliki peran yang
penting sesuai dengan fungsinya. Lemahnya peran dari salah satu lembaga akan
mempengaruhi kinerja SRG.
Kemudian lembaga lain yang tidak dibentuk dalam SRG yaitu hubungan petani
dan pedagang. Seberapa kuat ketergantungan petani dengan pedagang juga sangat
mempengaruhi keberhasilan keterlibatan petani dalam SRG. Hubungan petani dengan
pedagang yang kuat akan menghambat jalannya SRG dan sebaliknya. Dengan adanya
SRG diharapkan posii tawar petani menjadi kuat karena petani akan cederung
berkelompok dalam bentuk kelompok tani ataupun melalui koperasi.
Faktor pasar yang termasuk didalamnya perkembangan harga, struktur pasar
dan sebagainya. Fluktuasi harga yang terpola sepanjang tahun merupakan salah satu
faktor yang dapat menunjang berjalannya SRG, jadi tanpa adanya fluktuasi harga yang
terpola, penyimpanan barang dalam sistem SRG menimbulkan resiko yang besar
karena penyimpanan di gudang SRG memerlukan biaya-biaya tambahan seperti biaya

LAPORAN AKHIR

Bab III - 19

asuransi, pengujian mutu, bunga bank dan sebagainya. Kemudian yang tidak kalah
penting adalah struktur pasarnya. Pasar yang pembelinya dikuasai oleh segelintir
pemain, ini akan menyulitkan jalannya sistem SRG.
Untuk faktor ketepatan komoditi yang terdiri lama disimpan, penyususutan dan
mutu produk merupakan faktor penting. Kemampuan lama disimpan dan kecilnya
penyusutan merupakan faktor utama produk dapat diresigudangkan. Produk yang tidak
tahan lama dan mudah susut kemungkinan akan merugi kalau produk lama disimpan
produk akan rusak.
Bagi komoditi lada secara komoditi dapat dikatakan sudah memenuhi syarat
karena relatif tahan lama disimpan dengan penyusutan yang relatif kecil. Selain itu
kandungan kadar air yang dipersyaratkan bagi SRG realtif mudah dipenuhi petani.
Kemungkinan yang menjadi penyebab belum berjalannya SRG lada berada pada
fluktuasi harga yang tidak terpola, perilaku petani dalam memasarkan produknya dan
kesiapan kelembagaannya. Kelembagaan terkait dengan SRG dapat disiapkan dan ini
trgantung juga dari komitmen pemerintah daerah.

3.2 Kerangka Alur Kerja Analisis


Salah satu komoditas unggulan di Indonesia adalah Lada mengingat Indonesia
sebagai penghasil lada terbesar di dunia dengan pasokan sekitar 80 persen. Lada
banyak dihasilkan di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan dengan sentra produksi di
Provinsi Bangka Belitung dan Lampung. Saat ini lada merupakan salah satu komoditi
yang dapat diresi gudangkan, tetapi pada kenyataannya, kondisi ini tidak berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mendalam
mengenai permasalahan yang terdapat dalam mengimplementasikan SRG bagi
komoditi lada. Untuk itu kerangka alur studi yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut:

LAPORAN AKHIR

Bab III - 20

1. Potensi komoditi lada

2. Analisis Faktor
Penghambat dan
Pendukung
Komoditi
Lada
sebagai
subjek resi
gudang

Anggota /pelaku
distribusi
Lembaga terkait dan
penunjang
Informasi Harga

Jumlah produksi
Kualitas Komoditi
Potensi
Perdagangan

Pelaku distribusi
Jenis Produk
olahan
Struktur pasar
Lembaga terlibat
Harga

Gambaran
Kondisi
pasar fisik
komoditas

Faktor
Kunci
Sukses
Implemen
tasi SRG
Komoditi
Lada

3. Analisis manfaat
Ekonomi
pelaku-pelaku pasar
pergerakan harga
dunia
kelayakan ekonomi
penyimpanan

4. Analisis Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Lada


dan Resi Gudang

Gambar 3.1 Kerangka Alur Kerja Analisis

3.3. Jenis Dan Sumber Data


Data yang dikumpulkan dalam kajian ini dibagi menjadi data primer dan data
sekunder baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer merupakan data yang
didapat dari sumber pertama individu. Jenis data yang dikumpulkan berupa data terkait
dengan lada ditinjau dari produksi, pasar, distribusi, pohon industri, rantai nilai,
kelembagaan, dan tata niaga. Data tersebut diperoleh dari beberapa sumber yang
dipilih, diantaranya dinas terkait dan pelaku usaha terkait. Data sekunder merupakan
data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data
primer maupun pihak lain seperti dalam bentuk tabel ataupun diagram. Data sekunder
yang dikumpulkan berupa Provinsi dalam Angka, dokumen-dokumen terkait dengan
hulu dan hilir dari komoditas lada.
3.4. Metode Pengumpulan Data Dan Instrumen
Data dan informasi baik primer maupun sekunder yang telah disebutkan di atas,
dapat dikumpulkan dengan beberapa metode pengumpulan data dan menggunakan
instrumen sebagai berikut:

LAPORAN AKHIR

Bab III - 21

3.4.1. Studi Literatur


Kajian Literatur atau Studi pustaka (desk study) merupakan suatu metode
pengumpulan data berupa laporan-laporan studi terdahulu, makalah, serta data
sekunder yang dibutuhkan dalam mendesain riset, serta menganalisis hasil studi.
Studi kepustakaan dapat diartikan sebagai suatu langkah untuk memperoleh informasi
dari penelitian terdahulu yang harus dikerjakan, tanpa memperdulikan apakah sebuah
penelitian menggunakan data primer atau data sekunder, apakah penelitian tersebut
menggunakan penelitian lapangan ataupun laboratorium atau didalam museum.
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Dilaksanakan
untuk me-review berbagai regulasi dan kebijakan, tinjauan litertaur, dan pengumpulan
data sekunder terkait dengan data/informasi, kerangka teori tataniaga, rantai distribusi ,
rantai nilai, kajian komoditi lada dan kajian sistem resi gudang untuk komoditi
pertanian/perkebunan. Beberapa data dasar tentang kajian komoditi lada, kebijakan
pemerintah dan kajian sistem resi gudang, adalah:
a. Profil Komoditi Lada, Tataniaga Lada dan peta lahan penghasil lada
b. Pemahaman sistem resi gudang dan manfaatnya bagi segenap stakeholder
yang terlibat di dalam sistem perdagangan/tataniaga komoditi lada
c. Pergerakan harga karena pengaruh kebijakan
d. Undang-Undang No 10 Tahun 2011 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi
e. Undang-Undang No 9 Tahun 2011 Tentang Resi Gudang
f.

Teori tataniaga, sistem resi gudang (warehouses system) dengan biaya-biaya

g. Kajian sistem resi gudang untuk produk pertanian/perkebunan


3.4.2. Kuesioner
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data melalui formulir-formulir yang
berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau
sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan yang diperlukan oleh
peneliti. Cara menjaring data dengan menggunakan kuesioner ini diantaranya ialah
dengan mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden, namun
dapat pula dilakukan dengan cara wawancara langsung dan hasilnya diisikan ke
kuesioner oleh pewawancara. Kuesioner ini digunakan untuk mendapatkan persepsi
dari instansi terkait khususnya pelaku perdagangan lada termasuk diantaranya dari
asosiasi.

LAPORAN AKHIR

Bab III - 22

3.4.3 Wawancara Mendalam (In-depth interview)


Wawancara mendalam merupakan cara menjaring data yang secara langsung
menghadapkan pewawancara dengan informan melalui serangkaian kegiatan tanya
jawab yang berkaitan dengan pelaku disepanjang rantai pasok dan industri di daerah,
termasuk juga wawancara dengan aparatur dari dinas-dinas setempat yang terkait
dengan komoditi lada. Wawancara yang dilakukan selain wawancara mendalam,
biasanya dikombinasikan dengan wawancara terstruktur dan tidak terstruktur.
Wawancara pendalamannya tergantung dari pewawancara menggunakan efek
snowbowling atas jawaban dari informan dan kejelian dari penanya serta keterbukaan
dari informan.

Wawancara akan dilakukan pada pelaku usaha hulu dan hilir dari

industri lada pada lokasi target dan asosiasi terkait.


Ada 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara :
Mampu mendeteksi kadar pengertian subyek terhadap pertanyaan yang diajukan.
Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan
penjelasan
Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu
Menjadi satu-satunya

hal yang dapat dilakukan disaat teknik lain

tidak

memungkinkan

Metode wawancara juga memiliki kelemahan, yaitu :


Rentan terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan kurang tepat
Rentan terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang sesuai
Probing yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi kurang akurat
Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar oleh
pewawancara
3.4.5. Observasi Lapangan
Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan jalan mengamati
langsung. Pengumpul data secara langsung mengamati dan mengukur kejadian yang
sedang belangsung, sehingga diperoleh data aktual dan faktual. Pengamatan
dilakukan secara sistematik dan tercatat terhadap obyek yang sedang diobservasi.
Pada kegiatan ini jenis observasi yang dilakukan ialah jenis observasi langsung ke
industri lada dan gudang pengumpul lada.

LAPORAN AKHIR

Bab III - 23

3.5. Metode Penentuan Sampel


Penentuan jumlah sampel atau responden merupakan hal yang penting dalam
suatu penelitian, karena dibutuhkan sampel yang mewakili karakteristik dari populasi
penelitian yang diwakilinya. Menurut Umar (2005), populasi merupakan sekumpulan
satuan analisis yang terdapat didalamnya terkandung informasi yang ingin diketahui.
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih untuk dilibatkan dalam penelitian,
melalui sampel diharapkan peneliti mengetahui informasi mengenai populasi, dimana
metode ini dilakukan dengan mengambil orang-orang yang dipilih langsung oleh
peneliti (justifikasi tenaga ahli). Purposive sampling adalah sampel yang dipilih dengan
cermat hingga relevan dengan desain penelitian (Nasution, 2003). Sampel dalam
kajian ini diambil dari stakeholder terkait/instansi terkait yang berperan pengembangan
Industri lada serta para pelaku usaha yang mewakili dari skala kecil, menengah dan
besar.
3.6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di daerah Lampung

dan Bangka, dengan

pertimbangan bahwa kedua daerah ini merupakan sentra penghasil lada di Indonesia.

3.7. Metode Pengolahan Dan Analisis Data


Data yang sudah dikumpulkan, baik primer maupun sekunder untuk selanjutnya
dianalisis. Metode yang digunakan melakukan analisis data, adalah :
1) Analisis Kualitatif Deskriptif

untuk mengidentifikasi profil komoditas dan

permasalahan yang terjadi


2) Analisis pelaku pasar
3) Analisis Harga
4) Analisis kelembagaan
5) Analisis kebijakan terkait dengan perdagangan komoditi dan resi gudang
6) Analisis faktor pendorong (kebijakan) dan penarik (manfaat secara ekonomis)

3.7.1. Analisis Kualitatif Deskriptif


Penelitian kualitatif sebagai pendekatan pada kajian ini sangat memanfaatkan
wawancara terbuka untuk memahami pandangan, sikap, perilaku individu atau
sekelompok orang, dan observasi. Wawacara ini dapat secara mendalam satu
pewawancara dengan informan atau melalui diskusi kelompok terfokus.

Dalam

penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan sisi proses dimana manusia menjadi
bagian penting.

Peneliti akan berusaha memahami

arti perstiwa dan kaitannya

terhadap orang yang berada pada situasi tertentu. Analisis kualitatif deskriptif adalah

LAPORAN AKHIR

Bab III - 24

analisis yang menggambarkan suatu data yang akan dibuat baik sendiri maupun
secara kelompok. Tujuan dari analisis deskriptif untuk membuat gambaran secara
sistematis data yang faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki atau diteliti (Riduwan dan Akdon, 2008). Ada empat tahap
analisis data yang diselingi dengan pengumpulan data yakni analisis domein, analisis
taksonomi, analisis komponen dan analisis tema. Analisis domein dilakukan terhadap
data yang diperoleh dari pengamatan, wawancara atau analisis deskriptif yang
terdapat dalam catatan lapangan. Analisis taksonomi dilakukan setelah selesai analisis
domein dengan pengamatan dan wawancara terfokus melalui pengajuan pertanyaan
kontras. Sedang analisis komponen adalah mengidentifikasi seluruh kontras yang telah
ditemukan, mengidentifikasikan dimensi kontras, menggabungkan dimensi kontras
yang berkaitan erat menjadi satu, menyiapkan pertanyaan kontras untuk ciri yang tidak
ada dan mengadakan pengamatan terpilih. Terdapat pula menyebutkan melakukan
proses triangulasi yakni menarik kesimpulan-kesimpulan yang sama dari informan
berbeda, dan mencari keberbedaan sehingga diperoleh kesimpulan yang menyeluruh.
Pada kajian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber data dan teknik
pengumpulan data.
Triangulasi sumber data yaitu penggunaan beragam sumber data dalam suatu
kajian. Sebagai contoh, beberapa informan ditanya pertanyaan yang sama terkait
dengan suatu permasalahan yang diteliti. Pertanyaan tersebut bertujuan untuk
mendapatkan jawaban atau pandangan yang sama terkait permasalahan yang
ditanyakan, sehingga meningkatkan pemahaman peneliti terkait dengan permasalahan
tersebut. Dalam kajian ini, setiap informan dari dinas terkait dan pelaku usaha ditanya
hal yang sama terkait berbagai kemungkinkan implementasi komoditas lada masuk
menjadi

resi

gudang

dengan

berbagai

kemungkinan

terkait

persiapan.

Responden/informan berasal dari dinas terkait (Disperindagkop, Bappeda dan instansi


lainnya) dan pelaku usaha.
Triangulasi teknik pengumpulan data merupakan usaha mengecek keabsahan
data, atau mengecek keabsahan temuan peneIitian. Trianggulasi ini dapat dilakukan
dengan menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
data yang sama. Pelaksanaannya dapat juga dengan

cek silang. Pada kajian ini

digunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu kuesioner serta pengumpulan


berbagai dokumen terkait, wawancara dan observasi. Berdasarkan data kualitatif
tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga bisa dibuat pendekatan dalam
penerapan sistem resi gudang bagi komoditas lada

LAPORAN AKHIR

Bab III - 25

3.7.2.

Analisis Pelaku Pasar


Dalam mengkaji struktur pasar, maka sekaligus akan dipetakan siapa saja

pelaku pasar, pelaku utama, pelaku penunjang, atau pendukung dengan fungsi dan
peran masing-masing yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada terbentuknya
harga komoditas.

3.7.3. Analisis Harga


Bagian ini akan mengkaji perkembangan harga komoditas dari waktu ke waktu
dan apa faktor pemicu terjadinya perubahan harga. Apakah harga berubah secara
musiman, atau stabil dari waktu ke waktu dan apakah perubahan harga dimaksud
dapat diprediksi.
3.7.4. Analisis Kelembagaan Pendukung Sistem Resi Gudang Untuk Komoditi
Lada
Bagian ini akan mengkaji kesiapan kelembagaan yang dapat mendukung
penerapan Sistem Resi Gudang di lokasi-lokasi survei. Kesiapan kelembagaan
diperlukan agar pelaksanaan Sistem Resi Gudang dapat berjalan dengan baik. Institusi
yang dianalisis termasuk: kelembagaan petani, perbankan dan lembaga keuangan,
lembaga penilai kesesuaian, dukungan pemerintah daerah, serta infrastruktur
pendukung.

3.7.5. Analisis Kebijakan Perdagangan Yang Mendukung Resi Gudang Daerah


dan Pusat
Kajian kebijakan perdagangan komoditi yang mendukung pemanfaatan resi
gudang perlu dilakukan untuk melihat peluang dan hambatan yang dapat terjadi
karena adanya kebijakan pemerintah daerah dan pemerintahan pusat yang saling
mendikung atau kebijakan yang secara tidak sengaja menghambat.

LAPORAN AKHIR

Bab III - 26

BAB IV
PROFIL KOMODITI LADA DI DAERAH

Lada atau dalam bahasa Latinnya Piper Nigrum, adalah sejenis tanaman
merambat yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai bumbu makanan. Lada
dipasarkan dalam dua jenis yaitu lada hitam dan lada putih. Pada dasarnya, kedua
jenis lada tersebut berasal dari tanaman yang sama, namun perbedaannya terdapat
pada prosesnya. Untuk menghasilkan lada putih, buah dipetik pada saat buah matang,
kemudian dicuci dengan menggunakan air yang mengalir. Sementara itu, untuk
menghasilkan lada hitam, pemetikan buah dilakukan pada saat buah masih hijau,
kemudian dikeringkan dengan menggunakan terik matahari sampai warnanya berubah
menjadi hitam dan setelah itu direndam dengan air sampai kulitnya mudah terkelupas.
Propinsi yang penghasil lada hitam adalah Lampung, sedangkan yang menghasilkan
lada hitam adalah Bangka Belitung.
Terkait dengan Sistem Resi Gudang Lada, keberhasilan pelaksanaannya
sangat ditentukan oleh berbagai variabel diantaranya perkembangan harga, kontinuitas
pasokan, mutu komoditi, kesiapan kelembagaan dan sebagainya. Bab ini akan
menjelaskan lebih detail mengenai profil komoditi lada termasuk perkembangan
produksi dan harga lada di dua daerah penelitian yakni Propinsi Bangka Belitung dan
Lampung.

4.1. Bangka Belitung


Produksi
Sebagai komoditi tradisional, perkembangan perkebunan lada di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung telah mengalami pasang surut. Meskipun demikian, bagi
masyarakat Bangka Belitung, lada merupakan salah satu produk unggulan yang
keberadaannya telah membawa sejarah panjang bagi kehidupan masyarakat Bangka
Belitung. Bahkan kegiatan bertanam lada telah dilakukan secara turun menurun dan
sudah merupakan budaya bagi masyarakat Bangka Belitung.
Sejarah telah mencatat bahwa komoditi lada di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung pernah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pertumbuhan
perekonomian daerah, hal tersebut ditandai dengan luasnya perkebunan lada pada
masa tersebut. Pada tahun 1990 luas perkebunan lada tercatat mencapai 90.000
hektar namun sepuluh tahun kemudian masa kejayaan tersebut cenderung menurun
yang ditandai dengan luas areal yang mengalami penurunan. Namun demikian

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 27

semenjak tahun 2006 budidaya lada mulai bergairah kembali, ditandai dengan
semakin meningkatnya luas areal perkebunan lada dan sampai dengan tahun 2012
luas areal perkebunan lada telah mencapai 34.379 hektar.
Masa surutnya perkebunan lada di Propinsi tersebut dipengaruhi oleh banyak
faktor baik faktor eksternal maupun faktor internal. Salah satu faktor internal penyebab
menurunnya produksi lada Bangka Belitung adalah adanya kebijakan Pemerintah
setempat melalui Perda No. 6 tahun 2001 Tentang Pengelolaan Pertambangan
Umum, dimana disebutkan bahwa usaha pertambangan dapat dikelola oleh
perorangan. Dampak dari kebijakan tersebut adalah meningkatnya pertumbuhan
usaha pertambangan perorangan yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga
petani lada khususnya buruh dan petani kecil banyak beralih menjadi buruh tambang
dikarenakan pendapatan yang diperoleh lebih besar dan upah dapat diperoleh setiap
hari. Sementara itu untuk mendapatkan penghasilan dari lada membutuhkan waktu
relatif lama. Oleh karena itu, banyak perkebunan lada yang tidak lagi dimanfaatkan
sehingga luas areal perkebunannya berkurang.
Menyusutnya areal perkebunan lada selain dikarenakan penggunaan lahan
untuk penambangan timah, juga banyak perkebunan lada yang beralih fungsi menjadi
perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola oleh perusahaan besar maupun oleh
rakyat. Berdasarkan data dari Tribun News.com, Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan
kelapa sawit di Propinsi Bangka Belitung mencapai 252.902 hektar yang tersebar di
berbagai daerah baik di Pulau Bangka maupun di Belitung. Tercatat perkebunan sawit
terbanyak berada di Kabupaten Bangka Selatan yang juga sebagai sentra perkebunan
lada sehingga secara otomatis bergesekan dengan areal perkebunan lada. Sementara
itu perkebunan sawit milik rakyat diwilayah Bangka Belitung juga cukup luas yaitu
mencapai 57.668 hektar.
Namun demikian, dalam beberapa tahun belakangan ini, tepatnya sejak tahun
2006, produksi lada di Propinsi tersebut menunjukkan kecenderungan yang
meningkat, walaupun produktivitasnya menurun. Luas lahan perkebunan lada pada
tahun 2006 tercatat seluas 11.654 hektar dengan produksi 26.369 ton, kemudian pada
tahun 2010 meningkat menjadi 18.472 hektar dengan produksi 36.569 ton dan tahun
2012 meningkat lagi menjadi 34.379 hektar dengan produksi sebesar 45.066 ton.
Peningkatan luas areal perkebunan lada tersebut kemungkinan besar
disebabkan oleh ketertarikan petani untuk meningkatkan usaha tani ladanya
sehubungan dengan adanya perkembangan harga yang meningkat secara signifikan.
Harga lada di bulan Januari tahun 2011 ditingkat konsumen sebesar Rp 70.000/kg,

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 28

kemudian pada bulan Desember tahun 2013 meningkat sekitar 70% sehingga menjadi
Rp 120.000/kg.

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Lada Di


Bangka Belitung

Tahun

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Produksi (ton)

26.369

35.842

33.739

37.041

36.569

36.165

45.060

Luas (Ha)

11.654

16.424

15.671

15.601

18.472

28.241

34.379

2,26

2,18

2,15

2,37

1,98

1,28

1,31

Produktivitas

Sumber : BPS Prov. Bangka Belitung

Perkebunan lada di Propinsi Bangka Belitung tersebar di berbagai wilayah,


Kabupaten Bangka Selatan tercatat sebagai wilayah penghasil utama dengan luas
areal 21.141 hektar (46,91%), disusul Kabupaten Belitung dengan luas 7.610 hektar
(16,88%) dan Bangka Barat seluas 7.358 hektar (16,32%). Namun demikian, kalau
dilihat dari produktivitasnya, Kabupaten Bangka Tengah tercatat sebagai wilayah yang
memiliki produktivitas tertinggi yaitu 2,56 ton/hektar, disusul Kabupaten Bangka Barat
dengan produktivitas 1,93 ton/hektar dan Kabupaten Belitung 1,44 ton/hektar.
Dengan adanya dukungan program-program yang dilakukan oleh Dinas
Perkebunan dan Peternakan Propinsi Bangka Belitung terhadap pengembangan lada,
diharapkan produksi lada di Propinsi tersebut dapat terus meningkat di waktu yang
akan datang. Program-program pengembangan lada putih di Propinsi Bangka Belitung
antara lain :
a.

Ektensifikasi yaitu dengan menambah areal pertanaman baru pada tanah yang
sesuai dengan pertanaman lada.

b.

Intensifikasi yaitu meningkatkan produktivitas tanaman yang ada melalui


penyiangan, pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit.

c.

Diversifikasi vertikal dan horizontal. Diversifikasi vertikal yaitu penganekaragaman


produk yang dihasilkan oleh setiap jenis tanaman dengan menggunakan inovasi
teknologi antara lain pengolahan lada bubuk, minyak lada dan sebagainya.
Diversifikasi horizontal yaitu melakukan penganekaragaman produk yang
dihasilkan dari usaha tani antara lain integrasi dengan ternak dan tanaman sela.

d.

Peningkatan Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu peningkatan


mutu dan kualitas lada putih dengan melakukan antara lain penyebaran unit
pengolahan, sosialisasi standar mutu dan sebagainya.

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 29

e.

Penguatan

kelembagaan

melalui

penguatan

kelompok

tani

agar

dapat

memperbaiki posisi tawar petani.

Selain upaya-upaya tersebut, di Propinsi Bangka Belitung juga telah dibentuk


suatu lembaga dalam bentuk Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran
Lada (BP3L) pada tahun 2009. Terbentuknya BP3L ini dilatar belakangi dari sejumlah
pelaku usaha Lada di Bangka Belitung yang prihatin atas kurangnya perhatian
pemerintah daerah terhadap perkembangan perkebunan lada tersebut. BP3L
mempunyai tugas untuk membangkitkan kembali masa kejayaan lada di daerah
tersebut. Lembaga tersebut berdiri sendiri dan tidak ada hubungan horizontal dengan
dinas yang bertanggungjawab terhadap pengembangan lada, sehingga pendanaan
operasionalnya selama ini berasal dari dari program Corporate Social Responsibility
(CSR) perusahaan yang terpanggil diantaranya PT. Timah.
Langkah awal yang dilakukan BP3L antara lain dengan membuka perkebunan
lada terpadu di Kabupaten Bangka Selatan. Perkebunan lada terpadu selain memiliki
areal perkebunan lada, di dalamnya juga dibangun kebun bibit lada unggul, lantai
penjemuran yang bersih, tempat pencucian/pengolahan lada dan kandang-kandang
hewan sebagai sumber pupuk organik. Pembibitan lada diperuntukkan bagi siapa saja
termasuk petani lada sehingga diharapkan produktivitas perkebunannya meningkat.
Tempat penjemuran dan pengolahan juga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja
termasuk petani sehingga dapat dijadikan sebagai sarana pelatihan bagi petani
tentang bagaimana cara memproses lada untuk menghasilkan lada dengan mutu yang
baik.
Dalam hal pemasaran, BP3L relatif tidak banyak menemui kendala, mengingat
anggotanya banyak dari kalangan pengusaha lada. Sementar itu, pasar dalam negeri
yang mulai di rintis adalah dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan besar
seperti Indofood. Dalam hal ini BP3L berencana akan memasok kebutuhan lada ke
perusahaan tersebut secara kontinu.

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 30

Tabel 4. 2. Luas Areal dan Produksi Lada di Bangka Belitung Tahun 2012

Kabupaten

Luas (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

Bangka

3.326

2.813

118

Belitung

7.610

5.255

144

Bangka Barat

7.358

6.167

193

Bangka Tengah

2.347

916

256

Bangka Selatan

21.141

16.789

123

3.282

2.441

134

45.065

34.379

151

Bangka Timur
Pangkal Pinang
Total

Sumber : BPS Bangka Belitung, 2013.

Perkembangan Harga
Perkembangan harga lada di Propinsi Bangka Belitung selalu berfluktuasi.
Fluktuasi harga tersebut menunjukkan pola yang tidak menentu sebagaimana pola
fluktuasi pada harga tanaman pangan/padi. Biasanya, harga padi pada musim panen
cenderung lebih rendah dan sebaliknya pada musim paceklik harga padi meningkat,
dan hal ini terjadi hampir di sepanjang tahun. Sementara itu, fluktuasi harga untuk
komoditi lada tidak terpola sehingga pada saat musim panen belum tentu harganya
menurun.
Musim panen lada biasanya terjadi di bulan Juli sampai dengan September.
Logikanya pada periode tersebut harga lada akan menurun secara signifikan, namun
yang terjadi harga lada justru meningkat pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 relatif
stabil (Lihat gambar 4.1). Sementara itu pada tahun 2013 pada saat musim panen
harga menunjukkan sedikit penurunan.
Dengan pola fluktuasi harga yang relatif tidak terpola sepanjang tahun,
menjadikan komoditi tersebut kurang menarik untuk diresigudangkan bagi petani
apalagi berdasarkan informasi dari BP3L untuk saat ini produk lada relatif langka
sehingga pemasarannya menjadi mudah dengan harga yang relatif tinggi. Budaya
untuk menyimpan komoditi lada sebenarnya sudah dilakukan oleh sebagian petani,
namun penyimpanannya digudang milik sendiri/di rumah sehingga tidak mengeluarkan
biaya, sementara itu untuk menyimpan lada di gudang SRG membutuhkan biaya.
Fluktuasi harga lada relatif sulit diprediksi karena sebagian besar hasil produksi
lada Indonesia (lebih dari 50%) diekspor ke luar negeri, sehingga harga di dalam
negeri sangat dipengaruhi oleh harga lada di pasar internasional. Sebagaimana

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 31

diketahui bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara penghasil lada di dunia, akan
tetapi banyak negara lainnya yang menghasilkan lada seperti China, Vietnam, Brazil
dan Malaysia.
Disisi lain, petani lada di Bangka Belitung memiliki budaya untuk tidak langsung
menjual hasil panennya. Pada saat panen dan harganya tidak menarik, mereka
cenderung menyimpan produknya dan mereka akan menjual produk yang disimpan
jika harganya sudah meningkat. Petani yang biasa melakukan penyimpanan hasil
panen ladanya biasanya adalah petani yang memiliki diversifikasi usaha atau yang
memilliki usaha dengan skala.

Gambar 4.1. Grafik Perkembangan Harga Lada Di Babel Tahun 2011 - 2013

Sumber : BPS Bangka Belitung, 2014.

Berdasarkan perkembangan harga bulanan selama tiga tahun terakhir, tercatat


bahwa harga lada dari bulan Januari sampai dengan Desember selalu berfluktuasi atau
naik turun. Namun demikian, khusus pada bulan Juli selama tiga tahun tersebut selalu
mengalami penurunan dan meningkat kembali pada 1 atau 2 bulan berikutnya dengan
selisih harga (kenaikan dengan penurunan harga) Rp 49/kg sampai dengan Rp10.241/Kg.
Penurunan harga yang terpola tersebut (terjadi sepanjang tahun pada bulan Juli)
merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan petani untuk memanfaatkan program SRG.
Berdasarkan pengalaman petani padi yang memanfaatkan SRG, biaya penyimpanannya
selama 3 bulan berkisar Rp 145/kg untuk 1.500 ton, Rp 158/kg untuk 1.000 ton dan Rp
195/kg per 500 ton (biaya pengelolaan gudang dikelola pemerintah). Dengan asumsi biaya
penyimpanan gabah sama dengan lada, maka petani lada akan beruntung memanfaatkan

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 32

SRG kalau selisih penurunan dan kenaikan harga lada dalam 1-2 bulan di atas biaya
penyimpanan tersebut dan sebaliknya.

Tabel 4.3. Perkembangan Harga Lada Di Babel Pada Tingkat Pedagang Besar
Tahun 2011-2013

Bulan

2011

2012

2013

Januari

47.162 ( t ) 83.090 ( + ) 96.207 ( + )

Februari

50.350 ( + ) 83.160 ( - )

Maret

50.175 ( - ) 83.180 ( + ) 98.600 ( t )

April

51.675 ( + ) 84.050 ( + ) 98.600 ( t )

Mei

56.825 ( + ) 84.000 ( + ) 83.344 ( - )

Juni

58.012 ( + ) 83.910 ( - )

87.411 ( + )

Juli

57.887 ( - ) 83.770 ( - )

84.759 ( - )

Agustus

58.450 ( + ) 84.360 ( + ) 84.759 ( t )

September

59.387 ( + ) 84.680 ( + ) 95.000 ( + )

Oktober

71.762 ( + ) 84.860 ( + ) 95.000 ( t )

November

72.700 ( + ) 84.750 ( - )

Desember

75.537 ( + ) 84.770 ( + ) 85.000 ( t )

98.600 ( + )

85.000 ( - )

Sumber : BPS Bangka Belitung (diolah).

4.2. Lampung
Seperti halnya lada putih di Propinsi Bangka Belitung, produksi lada hitam di
Propinsi Lampung juga mengalami perkembangan yang pasang surut. Surutnya
perkebunan lada biasanya disebabkan oleh jatuhnya harga komoditi tersebut sehingga
petani sudah enggan untuk meremajakan tanamannya, produksi lada yang ada hanya
dihasilkan dari tanaman yang umurnya sudah tua dengan produktivitas rendah.
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil lada hitam terbesar di
Indonesia dengan area potensial tanaman lada terletak di berbagai wilayah.
Dalam lima tahun terakhir, produksi lada di Lampung terlihat masih mengalami
naik turun, namun semenjak tahun 2011 mengalami peningkatan yang diakibatkan
oleh meningkatnya gairah petani untuk menanam lada seiring dengan meningkatnya
harga lada secara signifikan. Produksi lada selama lima tahun terakhir mengalami
penigkatan yang terjadi pada tahun 2009 dan 2013.
Seiring dengan perkembangan harga yang membaik dan didukung oleh
kebijakan Pemerintah Daerah yang dituangkan melalui Program Kejayaan Lada

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 33

Lampung, diharapkan pada beberapa tahun kedepan produksi lada Lampung terus
meningkat apalagi lada Lampung dikenal memiliki keunikan aroma dan rasa yang tidak
dimiliki oleh daerah lain. Program yang dikembangkan oleh pemerintah daerah antara
lain mengembangkan cagar budaya lada lampung yang dilakukan di Kabupaten
Lampung Timur. Melalui program tersebut diharapkan lada lampung menjadi terkenal
di berbagai daerah. Program pengembangan lada lainnya yang cukup dikenal adalah
Model Economic Circle. Pengembangan model ini bertujuan untuk memandirikan
petani dari hulu sampai hilir, dari produksi sampai pengolahan hasil dan pemasaran.
Dalam hal ini petani lada juga mendapat bantuan ternak sapi, hasil sampingannya
berupa kotoran sapi dapat digunakan sebagai pupuk organik. Bantuan ternak sapi
tersebut dikenal sebagai program diversifikasi produk petani lada.
Tabel 4.4. Perkembangan Produksi Lada Propinsi Lampung Tahun 2009-2012

Tahun

Produksi (ton)

2008

22.164

2009

23.343

2010

22.725

2011

21.905

2012

23.005

Hampir semua wilayah di Propinsi Lampung menghasilkan lada dengan


produksi yang bervariasi disesuaikan dengan luas lahannya. Propinsi yang memiliki
perkebunan lada terluas berada di Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten
Lampung Barat masing-masing memiliki luas areal sebesar 23.752 hektar dan 9.447
hektar. Sementara luas areal perkebunan lada di wilayah lainnya pada umumnya
masih dibawah 10 ribu hektar dan yang luas arealnya terkecil adalah Kabupaten
Lampung Selatan dan Kabupaten Tulang Bawang.

Tabel 4.5. Luas Areal Perkebunan Lada Di Propinsi Lampung


No

Kabupaten

Lampung Barat

Luas Areal (Ha)

9.447

14,8

Lampung Selatan

223

0,35

Lampung Tengah

610

0,95

Lampung Timur

LAPORAN AKHIR

8.266

12,95

Bab IV - 34

Lampung Utara

Pesawara

23.752

37,23

687

1,07

Tanggamus

6.246

9,79

Pring Sewu

2.312

3,62

Tulang Bawang

166

0,26

10

Way kanan

12.081

18,94

Total

63.790

100

Perkembangan Harga Lada


Sama halnya dengan harga lada di Bangka Belitung, harga lada di Propinsi
Lampung mengalami perkembangan yang pasang surut. Namun demikian dalam
beberapa tahun terakhir tercatat bahwa perkembangan lada di Propinsi Lampung
mengalami perkembangan yang cenderung meningkat.
Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Propinsi Lampung, tercatat bahwa
harga lada di daerah tersebut pada tingkat produsen mengalami peningkatan. Pada
bulan Desember tahun 2010 harga lada sebesar Rp 23.330/kg, kemudian meningkat
pada bulan Desember 2013 sebesar Rp 76.150/kg. Peningkatan tersebut tentunya
berdampak pada gairah para petani lada untuk kembali menanam perkebunan
ladanya.
Pergerakan harga lada di Propinsi Lampung ternyata tidak jauh berbeda
dengan pola pergerakan harga lada di Propinsi Bangka Belitung. Berdasarkan data
selama dua sampai tiga tahun terakhir, terdapat pola pergerakan harga yang tidak
menentu di setiap tahunnya. Pada tahun 2011 terlihat bahwa mulai bulan Januari
sampai dengan Mei harga mengalami naik turun setiap bulannya, kemudian meningkat
pada periode bulan Juni hingga Juli, pada bulan Agustus menurun kembali, pada
periode bulan September sampai dengan Oktober kembali meningkat dan bulan
Nopember sampai dengan Desember harganya menurun kembali.
Harga lada di tahun 2013 dari bulan Januari sampai dengan bulan Juli
cenderung stabil, kemudian bulan selanjutnya terus meningkat. Pola pergerakan harga
yang demikian akan menyulitkan petani/pelaku usaha untuk meresigudangkan ladanya
karena sulitnya memprediksi kapan harga lada akan mengalami penurunan dan
peningkatan.

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 35

Gambar 4.2. Grafik Perkembangan Harga Lada Di Propinsi Lampung Pada


Tingkat Peladang Besar Tahun 2010-2013

Berdasarkan perkembangan harga bulanan, selama tiga tahun terakhir tercatat


bahwa harga lada dari bulan Januari sampai dengan Desember selalu berfluktuasi atau
naik turun. Pada masa panen raya yang umumnya terjadi pada bulan Mei Juli ternyata
harga lada mengalami peningkatan kecuali harga lada di bulan Juli tahun 2013. Hal ini
mennjukkan bahwa pola naik turunnya harga tidak terpola dan sulit untuk diprediksi. Pola
naik turunnya harga lada tersebut akan menimbulkan resiko yang besar apabila sistem resi
gudang diterapkan di Propinsi Lampung. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa secara
ekonomi komoditi lada belum layak diterapkan di Propinsi Lampung walaupun dalam
Pemendag Nomor 26/M-DAG/PER/6/2007 lada merupakan salah satu komoditi yang dapat
diresigudangkan.

Tabel 4.6. Perkembangan Harga Lada Di Lampung Pada Tingkat Produsen


Tahun 2010, 2011 dan 2013

Bulan

2010

2011

2013

Januari

21.000 ( t ) 35.313 ( + ) 53.300 ( .. )

Februari

22.250 ( + ) 35.000 ( - )

Maret

23.000 ( + ) 37.750 ( + ) 53.100 ( - )

April

22.400 ( - ) 36.188 ( - )

Mei

22.500 ( + ) 39.250 ( + ) 53.150 ( - )

Juni

23.500 ( + ) 40.075 ( + ) 54.000 ( + )

LAPORAN AKHIR

54.000 ( + )

54.000 ( + )

Bab IV - 36

Juli

23.500 ( t )

41.362 ( + )

54.150 ( + )

Agustus

24.000 ( + ) 27.375 ( - )

57.700 ( + )

September

26.000 ( + ) 39.450 ( + ) 58.200 ( + )

Oktober

23.500 ( - ) 61.900 ( + ) 69.850 ( + )

Nopember

23.500 ( t )

60.250 ( - )

72.000 ( + )

Desember

23.330 ( - ) 50.850 ( - )

76.150 ( + )

Sumber : Dinas Perkebunan (diolah).

LAPORAN AKHIR

Bab IV - 37

BAB V
ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG

5.1

ANALISIS KOMODITI LADA SEBAGAI SUBYEK SRG


Setelah pada bab IV telah dikemukakan profil dan tata niaga komoditi lada, pada

sub bab ini akan dibahas kesiapan komoditi lada sebagai subyek SRG. Kesiapan
komoditi lada sebagai subyek SRG dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT
dan sistem penyimpanan.

5.1.1

Analisis SWOT
Analisis situasi industri Lada pada provinsi Lampung dan provinsi Bangka

dilakukan dengan mengkaji kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dengan


tujuan pemetaan secara tajam guna membuat perencanaan di masa depan dalam
penyusunan perencanaan, khususnya terkait dengan Resi Gudang Lada. Seperti yang
telah dijelaskan dalam bab IV, sejak turunnya harga ladasecara drastis dari tahun 1999
hingga tahun 2006 yang merupakan titik terendah harga lada putih di Provinsi Bangka
yaitu Rp. 22.000/kg di tingkat konsumen, dengan asumsi harga di tingkat petani
sebesar 70% dari harga di tingkat konsumen maka harga jual petani hanya sebesar
Rp. 15.400/kg. Hal ini yang menyebabkan beralih fungsinya areal perkebunan lada
menjadi kelapa sawit. Bahkan di Provinsi Bangka, sejak harga lada putih jatuh drastis,
hampir sebagian besar petani lada memutuskan untuk menjadi penambang timah
ilegal. Hal ini yang membuat produksi lada putih di provinsi Bangka semakin lama
semakin menurun, meskipun tetap menjadi provinsi penghasil lada putih terbesar di
Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada lada hitam di Provinsi Lampung. Pada tahun
2006, lada hitam Lampung mencapai angka tertinggi Rp. 40.000/kg, namun pada
tahun 2007 2008 turun kembali menjadi 25.000 35.000/kg dan harga ini turun
kembali menjadi Rp. 20.000/kg pada tahun 2009. Kondisi ini yang menyebabkan
banyaknya petani lada di Provinsi Lampung juga mengalihfungsikan sebagian atau
seluruh lahannya dengan tanaman lain seperti kopi dan kelapa sawit.
Atas kondisi tersebut di atas terjadi penurunan bahkan penutupan areal
perkebunan. Areal perkebunan lada 100% dimiliki oleh perkebunan rakyat, tidak ada
perkebunan besar baik swasta maupun negara yang mengelola perkebunan ini. Untuk
menganalisis komoditi lada secara menyeluruh dilakukan dengan pendekatan SWOT
seperti yang terdapat pada tabel di bawah.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 38

Tabel 5.1. Analisis SWOT Komoditi Lada


SWOT
Kekuatan

Kelemahan

Faktor
Pasokan

Keterangan
1. Indonesia masih termasuk 5 besar negara penghasil lada
terbesar di dunia. Peringkat dua setelah Vietnam.
2. Kontribusi lada Indonesia terhadap kebutuhan lada dunia
berkisar 23 36% per tahunnya
3. Provinsi Bangka Belitung sebagai provinsi penghasil lada putih
terbesar di Indonesia dengan hasil produksi 31.195 ton per
tahun pada tahun 2013.
4. Provinsi Lampung sebagai penghasil lada hitam terbesar di
Indonesia dengan jumlah produksi sebsar 22.244 ton per tahun
pada tahun 2013.
5. Telah memiliki jejaring petani pemungut hingga pengumpul
untuk masing-masing perusahaan pengolahan bahan baku atau
eksportir
6. Lada Indonesia memiliki keunggulan dalam hal rasa yang tidak
dimiliki oleh negara lain

Sumber
Daya dan
SDM

1. Memiliki tenaga kerja petani dan pemungut Lada, dengan


produktivitas 776 kg/Ha.
2. Khusus untuk di wilayah Provinsi Sulatera selatan dan Bangka
Belitung, produktivitas di atas 1.000 kg/Ha
3. Terdapat Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran
Lada (BP3L) di Bangka sehingga dihasilkan hasil yang baik dari
Lada.
4. Terdapat industri lada yang mengembangkan menjadi tepung
lada, minyak lada dan lada segar dalam kalengan yang menjadi
industri hilir dari lada.

Lembaga

Terdapat kelembagaan yang saling terkait dari hulu hingga hilir


terdiri dari :
1. Industri pengolah/pembuatan bahan baku menjadi tepung lada,
minyak lada maupun lada segar kalengan.
2. Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada
(BP3L) di Provinsi Bangka Belitung yang berusaha
mengembalikan kejayan lada putih di Bangka Belitung
3. Industri penunjang seperti teknologi dan perbankan selaku
penyedia dana kredit.
4. Asosiasi terkait seperti: AELI, Kompali (Koperasi Masyarakat
Lada Putih Indonesia), APLI (Asosiasi Petani Lada Indonesia)

Fasilitas

Terdapat beberapa fasilitas yang dapat mendukung perkembangan


lkomoditi lada di Indonesia, seperti:
1. Fasilitas penyimpanan berupa gudang maupun silo. Pada
Provinsi Lampung, beberapa gudang sudah dibangun oleh
pemerintah daerah. Di Provinsi Bangka Belitung, gudang yang
ada adalah milik pribadi atau swasta.
2. Fasilitas BP3L di Provinsi Bangka yang mengkhususkan untuk
lada putih dan SMK Negeri 1 Pangkalan Lada yang akan
menghasilkan tenga-tenaga di bidang pengolahan tanaman
perkebunan.
1. Ketersediaan pasokan dipengaruhi oleh harga lada, dimana
untuk mengurangi risiko turunnya harga lada, banyak petani
yang melakukan tumpang sari dengan karet, coklat, kopi
maupun singkong.
2. Baik lada putih maupun lada hitam rentan terhadap penyakit
dan hama.
3. Persaingan petani pemungut Lada dengan peluang dari sektor

Pasokan

LAPORAN AKHIR

Bab V - 39

SWOT

Ancaman

Peluang

Faktor

Keterangan
lainnya khususnya tambang dan perkebunan.
4. Modal kerja, mengingat semua kebutuhan pemungutan Lada
oleh pemungut harus dipenuhi dan hasil pemungutan dibayar
kontan.
5. Tanaman lada baru dapat dipanen setelah 2-3 tahun dan hanya
terjadi panen raya satu kali dalam setahun yaitu antara bulan
Juli September.
6. Karena 100% merupakan perkebunan rakyat, maka seringkali
tidak terjadi peremajaan tanaman lada.

Sumber
Daya
Manusia/
SDM

1. Pengolahan lada dari mulai dari perontokon hingga


Pembersihan memerlukan sumber daya yang baik seperti air
yang mengalir untuk pembersihan yang merupakan masalah di
Provinsi Bangka.
2. Tanaman lada memerlukan pupuk organik untuk meningkatkan
produktivitasnya, sedangkan saat ini pupuk yang digunakan
adalah pupuk kimia atau non organik pada pohon yang sudah
tua.
3. Upah rendah petani pemungut Lada dari waktu ke waktu belum
mampu memberikan kesejahteraan.
4. Industri hulu lebih mengandalkan fisik orang sehingga
diperlukan tenaga prima.
5. Kesadaran dari pelaku usaha di penyiapan bahan baku untuk
secara konsisten memelihara mutu.

Fasilitas

Fasilitas yang ada belum sepenuhnya dipergunakan oleh petani


lada.

Pesaing

Produsen dan eksportir lada hitam terbesar saat ini adalah Vietnam
dengan biaya produksi yang lebih rendah daripada Indonesia

Penyakit
dan Hama

Penyakit dan hama menjadi musuh utama bagi tanaman lada yang
dapat menyebabkan gagal panen

Alih fungsi

Areal perkebunan dialihfungsikan menjadi areal pertambangan


pada beberapa provinsi di Indonesia, misalnya di Provinsi Bangka
dan Pulau Kalimantan.

Pasar

1. USA, Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, dan


Singapura.

2. Selain pasar internasional juga terdapat pasar domestik


3. Banyaknya resep makanan yang berbahan dasar lada
4. Selain dibutuhkan untuk makanan juga dibutuhkan sebagai
5.

5.1.2

campuran kosmetik dan obat-obatan tradisional


Terdapatnya
intervensi
pemerintah
daerahuntuk
menghidupkan kejayaan lada kembali baik di Provinsi
Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung.

SISTEM PENYIMPANAN
Baik lada putih maupun lada hitam, memerlukan perlakuan yang baik untuk

menjaga mutu dan kualitas lada. Untuk itu, penyimpanan lada harus dilakukan dengan
baik dan benar sebagai berikut (Deptan, 2009):

LAPORAN AKHIR

Bab V - 40

1. Lada harus disimpan di tempat yang bersih, kering dengan ventilasi udarayang cukup,
diatas bale-bale atau lantai yang di tinggikan, ditempat yangbebas dari hama seperti
tikus dan serangga.
2. Lada tidak boleh disimpan bersama dengan bahan kimia pertanian atau pupukyang
mungkin dapat menimbulkan kontaminasi. Tempat penyimpanan ladaharus mempunyai
ventilasi yang cukup tetapi bebas dari kelembaban yangtinggi.
3. Lada yang disimpan harus diperiksa secara berkala untuk mendeteksi adanyagejala
kerusakan karena hama atau kontaminasi.

Syarat-Syarat Penyimpanan
Lada sangat membutuhkan ketepatan proses pengeringan. Lada harus memenuhi kadar air di
bawah 12% atau bila digigit dapat pecah menjadi 6. Lada yang sudah kering dapat dikemas di
dalam kantong yang dilapisipolythene untuk mencegah penyerapan air. Atau lada kering yang
sudah bersih dapat dikemas dalam kantong yang bersih dan kering atau kemasan lain yang
cocok untuk penyimpanan dan pengangkutan seperti karung goni atau sejenisnya. Kantong
untuk lada harus diperhatikan kebersihannya agar lada tidak terkontaminasi, khususnya yang
disebabkan

karena kantong yang digunakan adalah kantong yang sebelumnya telah

dipergunakan untuk pupuk, bahankimia pertanian atau bahan-bahan lainnya.Kantong harus


benar-benar bersih dan bila perlu dilakukan pemeriksaan secaraseksama untuk memastikan
bahwa kantong tersebut bebas dari debu atau benda-benda asing.

Penyimpanan lada yang kurang baik mengakibatkan mutu dan kualitas lada menurun.
Dengan demikian, manajemen gudang dan pengetahuan mengenai komoditi lada perlu
dikuasai oleh Perusahaan Pengelola Gudang.
5.1.3

Kesiapan Komoditi Lada Dalam Rangka Implementasi SRG Komoditi Lada


Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, penurunan produksi lada selama

10 tahun terakhir (2004 2014) yang disebabkan karena terjadinya penurunan harga secara
drastis pada tahun 1999 2006 meskipun pada tahun 2007 2008 sempat mengalami
peningkatan, tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan kembali membuat banyak petani
lada baik lada putih maupun lada hitam mengalihkan areal perkebunannya menjadi areal
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Bangka Belitung dan areal perkebunan kopi, coklat,
singkong di Provinsi Lampung. Bahkan di Provinsi Bangka, sebagian besar petani lada
meninggalkan mata pencaharian sebagai petani dan memutuskan untuk melakukan
penambangan timah.
Penurunan areal perkebunan juga diperburuk dengan adanya penurunan produktivitas
yang disebabkan tanaman lada yang sudah tua dan juga penggunaan pupuk non organik. Hal
ini membuat kontribusi ekspor lada Indonesia terhadap pasar dunia mengalami penurunan,
kalah dengan negara tetangga Vietnam. Penurunan ini juga disebabkan mutu lada yang

LAPORAN AKHIR

Bab V - 41

dihasilkan di tingkat petani cenderung rendah bahkan tidak memenuhi mutu yang disyaratkan
negara importir. Tinggi kadar kotoran dan terkontaminasi mikroorganisme yang disebabkan
proses perendaman dan pengeringan masih dilakukan secara tradisional membuat lada
Indonesia kalah secara mutu dibandingkan dengan Vietnam dan Brazil, meskipun demikian
lada Indonesia masih memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh negara lain dalam hal rasa dan
aroma.
Meskipun demikian, sejak tahun 2009, komitmen pemerintah daerah baik pemerintah
daerah Provinsi Lampung maupun Bangka Belitung untuk mengembalikan kejayaan lada di
daerahnya baik lada hitam di Provinsi Lampung maupun lada putih munthok di Provinsi Bangka
Belitung. Selain itu harga lada yang meningkat terus sejak tahun 2010 hingga saat ini membuat
petani lada kembali berminat untuk menanam lada yang diharapkan dapat meningkatkan hasil
produksi. Areal perkebunan yang sebelumnya digunakan untuk tanaman perkebunan lainnya,
sedikit demi sedikit mulai tergantikan oleh lada terutama di Kabupaten Lampung Timur sebagai
daerah penghasil lada di Provinsi Lampung. Sedangkan untuk Provinsi Bangka Belitung,
karena sebagian besar areal sudah digunakan untuk penambangan timah, maka penambahan
luas areal perkebunan sangat sulit dilakukan. Tetapi dengan adanya penelitian dan BP3L di
Provinsi Bangka Belitung membuat proses produksi dan pasca panen semakin baik sehingga
produktivitas semakin tahun semakin meningkat dengan mutu yang memenuhi standar.
Meskipun kalah dengan Vietnam, Indonesia masih menjadi negara eksportir kedua
terbesar dengan peningkatan ekspor pada tahun 2012 sebesar 75% secara kuantitas dan
101% secara nilai ekspor. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan produksi yang tajam pada
tahun 2012 sebesar 83% untuk lada hitam dan 18% untuk lada putih.
Berdasarkan analisis kesiapan dari sisi komoditi maka komoditi lada dinyatakan siap
untuk diimplementasikan untuk resi gudang di Indonesia. Selain fluktuasi harga yang tinggi
untuk periode 8 10 tahunan, komoditi lada Indonesia yang sebagian besar diekspor
membutuhkan resi gudang untuk memberikan modal kerja kembali kepada petani karena lada
baru dapat dipanen setelah 2-3 tahun dan hanya mengalami panen raya selama satu kali yaitu
pada bulan Juli September setiap tahunnya.

5.2

ANALISIS

IMPLEMENTASI

SRG

KOMODITI

LADA

PADA

DAERAH

PENELITIAN
5.2.1

Landasan Berpikir
Menjadikan Lada sebagai Subjek Resi Gudang didasarkan pemikiran strategik

agar nilai komoditi masih berarti dan terhindarnya petani dari kerugian akan jatuhnya
harga serta dapat menjadikan obyek sebagai agunan untuk memperoleh modal kerja.
Surat atau Resi Gudang menjadi berharga atau menjadi surat berharga untuk
melakukan transaksi dengan lembaga keuangan. Harga lada yang berfluktuasi 10
tahunan membawa ancaman tersendiri bagi petani lada. Fluktuasi harga yang tinggi

LAPORAN AKHIR

Bab V - 42

selama 20 tahun terakhir terutama periode 1999 2006 membuat minat petani untuk
bertanam lada menurun bahkan hilang sama sekali. Namun kenaikan harga lada yang
stabil dari tahun 2007 hingga saat ini, membuat minat petani untuk bertanam bangkit
kembali. Di sisi lain adanya komitmen pemerintah daerah baik Provinsi Lampung
maupun Provinsi Bangka Belitung untuk mengembalikan kejayaan lada baik lada hitam
atau lada putih Indonesia seperti dahulu, menjadikan komoditi lada merupakan salah
satu komoditi yang menjanjikan.
BerdasarkanPeraturan Menteri Perdagangan No. 26/M-DAG/PER/6/2007,Lada
telah dinyatakan sebagai Subyek dalam Resi Gudang. Dengan demikian, lada yang
disimpan dalam gudang SRG dapat dijadikan sebagai agunan dengan menggunakan
resi gudang.Resi gudang komoditi lada memungkinkan terwujudnya pasar komoditi
berjangka lada dan sekaligus memberikan manfaat bagi petani.
Namun sejak ditetapkan sebagai subyek resi gudang pada tahun 2007 hingga
saat ini belum dimanfaatkan oleh para petani. Hal ini disebabkan selain belum
tersosialisasikan dengan baik mengenai sistem resi gudang kepada para petani lada di
Provinsi Lampung, juga disebabkan sistem yang berkembang saat ini adalah
pembiayaan dengan menggunakan Collateral Management Agreement (CMA) yang
hampir serupa dengan sistem resi gudang. Berikut ini adalah ada analisis berpikir dari
sudut pandang pelaku usaha.
Komoditi Lada sebagai komoditi usaha masih dipandang tepat untuk pasar fisik
konvensional dimana terjadi transaksi langsung pembeli dan penjual. Ketika dijadikan
produk berjangka dengan memenuhi syarat minimum 3 bulan masa simpan di gudang,
kondisi tersebut dinilai :
1) Opportunity lost
2) Short term based (produk tidak sempat disimpan), jumlah produksi yang ada saat ini
langsung terserap pasar.
3) Ketidaksesuaian permintaan danpenawaran dimana permintaan bahan baku lebih tinggi
daripada penawaran bahan baku
4) Belum adanya role model dari petani lainnya yang merasakan manfaat penggunaan sistem
resi gudang untuk komoditi lada.
5) Meskipun komoditi lada sudah memiliki SNI Lada, namun dalam prakteknya penilaian mutu
komoditi sesuai dengan permintaan buyer.

Dengan kata lain landasan berpikir konseptual Resi Gudang untuk Lada belum
sesuai simetris dengan landasan berpikir pelaku. Pelaku usaha sudah memiliki rantai
pasok yang solid yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Selain itu juga,
permintaan pasar yang tinggi terhadap komoditi ini membuat komoditi tidak sempat

LAPORAN AKHIR

Bab V - 43

disimpan. Selain itu juga fluktuasi harga lada yang tinggi selama 10 tahun terakhir ini
membuat para petani lada cukup waspada terhadap perubahan pasar yang ada
sehingga yang dibutuhkan petani adalah kepastian untuk menjual komoditinya dengan
harga yang layak.
5.2.2

Analisis Implementasi SRG dari Aspek Hukum/Legalitas


Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang sesuai dengan

PerdaganganNo. 37/M-DAG/PER/11/2011 yakni

Peraturan Menteri

kegiatan yang berkaitan dengan

penerbitan, pengalihan, penjaminan dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.


Berdasarkan peraturan menteri dimaksud, manfaat Sistem Resi Gudang Komoditi
Pertanian adalah a) memperpanjang produk hasil pertanian dari Petani, b) sebagai
agunan bank, c) mewujudkan Pasar Fisik dan Pasar Berjangka yang lebih kompetitif
dan d) mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga komoditi.
Berdasarkan aspek legalitas dan digabungkan dengan landasan berpikir
dipandang bahwa:
1.

Aspek legalitas telah kuat terdiri dari Undang-Undang No.9 Tahun 2006 tentang Sistem
Resi Gudang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. Tahun 2011,
Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan, Peraturan Menteri
PerdaganganNo. 37/M-DAG/PER/11/2011 tentang barang yang dapat disimpan di gudang
dalam penyelenggaraan sistem Resi Gudang.

2.

Berdasarkan butir 1 dimaksud, sejumlah pelaku usaha memandang apa yang dilakukan
pemerintah sebagai pemikiran strategik dalam:
a. Melindungi komoditi Lada dan diperolehnya nilai tambah bagi Negara.
b. Kesatuan antara industri dan perdagangan dalam menguatkan Industri Nasional.
c. Penatakelolaan perdagangan yang memberikan manfaat bagi petani yang selama ini
termarginalisasikan.
d. Terdapatnya landasan hukum bagi perdagangan komoditi berjangka.
e. Terpelilharanya kepemilikan kompetensi dan komoditi dalam hal perkebunan lada yang
dalam hal tertentu hanya terdapat di Indonesia.

3.

Aspek legalitas tersebut telah mencakup peran dan fungsi masing-masing lembaga yakni
pelaku, pengelola gudang, penjamin, pengawas dan mekanismenya.

4.

Kelemahan dari aspek legalitas adalah banyaknya lembaga yang terkait dalam
implementasi sistem resi gudang yaitu pelaku usaha baik petani, gapoktan, dll; pengelola
gudang, lembaga penilai kesesuaian, asuransi, pengawas dan lembaga perbankan.
Kelembagaan yang banyak ini di satu sisi merupakan kelemahan tetapi di sisi lain
merupakan kekuatan dari sistem resi gudang karena memberikan kepastian hukum.

5.

Meskipun memberikan kepastian hukum, pada tataran implementasi, ketersediaan


perangkat hukum masih dianggap belum

tersosialisasikan secara luas kepada para

pemangku kepentingan sehingga masih terdapatnya distorsi informasi sehingga belum

LAPORAN AKHIR

Bab V - 44

memahami operasionalisasi dari sistem resi gudang untuk komoditi lain selain gabah dan
beras.

5.3

Analisis Implementasi SRG berdasarkan pihak yang membutuhkan


Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan, manfaat SRG sesungguhnya ditujukan

pada pihak yang termarginalkan agar diperoleh manfaat ketika produk ditahan untuk dijual
kemudian, dengan peluang mendapatkan dana. Ditinjau dari kepemilikan, lada pada dasarnya
miliki petani. Jadi petani dipandang sebagai pihak yang tepat untuk melakukan Resi Gudang,
dengan catatan ia adalah pemilik Lada tersebut. Pengumpul perorangan atau kelompok usaha
bisa sebagai pihak yang diberi izin, dan karenanya menjadi pemilik Lada.
Namun, menurut Undang-undang No. 9 Tahun 2011, tidak hanya dapat digunakan
oleh skala kecil saja (petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi) saja tetapi
juga dapat digunakan oleh pelaku usaha skala menengah dan besar (pedagang, prosesor,
eksportir dan perusahaan perkebunan). Meskipun diprioritaskan bagi pada petani dengan
tujuan agar dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan oleh para
petani, serta menetapkan strategi jadwal tanam dan pemasarannya.
Hal ini terbukti dari hasil lapangan yang menyatakan bahwa kredit resi gudang yang
selama ini berjalan adalah berdasarkan Collateral Management Agreement (CMA) yang banyak
dilakukan oleh para eksportir dan pelaku usaha skala besar. Perbedaan kredit resi gudang
berdasarkan UU Resi Gudang No. 9 Tahun 2006 (SRG) dengan CMA dapat dilihat pada tabel
5.2 berikut.
Kredit resi gudang yang diberikan kepada petani atau pelaku usaha skala kecil
mendapatkan fasilitas subsidi bunga. Sedangkan kredit resi gudang yang berikan kepada
pelaku usaha skala menengah dan besar tidak mendapatkan subsidi bunga. Manfaat yang
diperoleh adalah para pelaku usaha dapat menjadikan komoditi yang disimpan dalam gudang
SRG menjadi agunan demi kebutuhan modal kerja.
Dengan demikian, berdasarkan dari pihak yang memerlukan kredit resi gudang, maka
baik pelaku usaha skala kecil (petani, kelompok tani, gapoktan) maupun skala menengah
(pengumpul desa, pengumpul kabupaten) bahkan skala besar (eksportir dan pengusaha besar)
menyambut baik adanya sistem resi gudang ini. Namun dalam implementasinya, tentunya
pelaku usaha berhitung permasalahan biaya dengan membandingkan sistem resi gudang
dengan CMA yang selama ini telah berjalan ataupun sistem nota titip yang selama ini berjalan.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 45

Tabel 5.2. Perbandingan SRG dengan CMA


Aspek
Definisi

Sistem Resi Gudang


Pemberian kredit kepada para
pemegang resi gudang yang
merupakan pemilik barang atau
pihak yang menerima peralihan
dari pemilik barang

Kelembagaan

Pemilik
barang,
Pengelola
gudang,
Lembaga
penilai
kesesuaian, Asuransi, Pengawas
dan Lembaga Pembiayaan

Proses Pembiayaan

1. Pemilik barang menyimpan


barang di gudang SRG yang
terdapat pengelola gudang
2. Barang
yang
disimpan
dianalisis sertifikasi mutu
3. Barang
yang
disimpan
diasuransikan
(asuransi
kerugian dan fidelity)
4. Pengelola
gudang
mendaftarkan barang yang
disimpan ke pusat registrasi
resi gudang
5. Pengelola
gudang
menerbitkan resi gudang (atas
barang yang disimpan)
6. Pemilik brang mengajikan
kredit di bank dengan Jaminan
Resi Gudang
7. Bank melakukan cross check
keabsahan dan konfirmasi resi
gudang ke pusat registrasi
8. Apabila sertifikat resi gudang
telah sesuai dan terdaftar
kredit dapat diproses lebih
lanjut dan dicairkan maksimal
plafond kredit adalah 70% dari
Nilai Resi Gudang
9. Pengikatan Resi Gudang dan
Pencairan Kredit
10.Penurunan/pelunasan plafond
kredit dapat dilakukan apabila
terjadi pembayaran ke pihak
bank (kreditur)
11.Calon pembeli barang milik
debitur
(pemegang
resi
gudang)
melakukan

LAPORAN AKHIR

CMA
Suatu skim kredit dimana bank
memberikan
fasilitas
kredit
modal kerja kepada debitur
berdasarkan agunan yanng
berada pada suatu gudang
yang
terkontrol
secara
independen oleh pengelola
gudang.
Bersifat tripartit yaitu bank,
debitur dan pengelola gudang.

1. Pemilik barang menyimpan


barang di Pengelola Gudang
2. Pengelola
Gudang
menerbitkan resi gudang
3. Pemilik barang mengajikan
kredit ke bank dengan
agunan resi gudang
4. Bank
melakukan
cross
check resi gudang yang
dijaminkan ke pengelola
gudang
5. Pencairan kredit maksimal
70% dari nilai resi gudang
6. Apabila
pemilik
barang
melakukan
pembayaran/
penurunan plafond kredit
maka bank menerbitkan
Release Instruction (RI)
kepada pengelola gudang.

Bab V - 46

Aspek

5.4

Sistem Resi Gudang


pembayaran ke bank/kreditur
12.Selanjutnya pihak pembeli
menerima Release Instruction
(RI)
dari
bank
untuk
mengambil
barang
di
pengelola gudang
13.Melakukan
penghapusan
pengikatan resi gudang.

CMA

Kesiapan Lembaga Terkait Dalam Implementasi SRG


Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/11/2011 dibutuhkan

sejumlah perangkat organisasi yakni pemilik barang, pengelola gudang, lembaga penilaian
kesesuaian mutu, lembaga keuangan, lembaga penjamin ,asuransi dan pemerintah daerah
agar sistem resi gudang khususnya komoditi lada dapat terimplementasi. Berikut adalah
kesiapan lembaga yang terkait dalam Implementasi SRG.

5.4.1

Pengelola Gudang
Pengelola gudang adalah pihak yang melakukan usaha pergudangan, baik

gudang milik sendiri maupun milik orang lain, yang melakukan penyimpanan,
pemeliharaan, dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang serta
berhak menerbitkan resi gudang. Pengelola gudang ditunjuk dan diawasi oleh Badan
Pengawas. Dalam hal penunjukkan, pengelola gudang harus memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan dalam UU No. 9 Tahun 2006 pasal 23 tentang Sistem Resi
Gudang. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi antara lain:
1. Pengelola gudang harus berbadan hukum dan telah mendapat persetujuan Badan
Pengawas dalam hal ini adalah Bappebti
2. Pengelola gudang dilarang menerbitkan lebih dari satu Resi Gudang untuk barang yang
sama yang disimpan di Gudang.

Ketentuan pertama adalah pengelola gudang harus berbadan hukum, dalam hal ini
yang dapat menjadi pengelola gudang yang memiliki badan hukum berbentuk
Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Persyaratan untuk PT dan koperasi diatur
dalam

Peraturan

KepalaBappebti No.

01/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007

tentang

Penunjukkan Pengelola Gudang, antara lain:


1. Perseroan Terbatas (PT)
Pengelola gudang yanng berbentuk PT wajib:
a. Memenuhi persyaratan modal dasar paling sedikit Rp 1.500.000.000
(satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan modal disetor paling sedikit
Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

LAPORAN AKHIR

Bab V - 47

b. Mempertahankan kekayaan bersih paling sedikit Rp 500.000 (lima ratus


juta rupiah) atau 15% dari nilai komoditi yang dikelola
c. Memiliki pengurus dengan integritas moral dan reputasi bisnis yang
baik.
d. Menguasai paling sedikit 1 (satu) gudang yang telah mendapat
Persetujuan dari Bappebti.
e. Memiliki Sertifikat Manajemen Mutu.
f.

Memiliki tenaga dengan kompetensi yang diperlukan dalam pengelolaan


gudang barang.

2. Koperasi
Pengelola gudang yang berbentuk koperasi wajib:
a. Memenuhi persyaratan modal sendiri paling sedikit Rp 250.000.000 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
b. Mempertahankan kekayaan bersih paling sedikit Rp 200.000.000 (dua
ratus juta rupiah) atau sebesar 15% dari nilai komoditi yang dikelola
c. Memiliki pengurus dengan integritas moral dan reputasi bisnis yang
baik.
d. Menguasai paling sedikit 1 (satu) gudang yang telah mendapat
persetujuan dari Bappebti.
e. Memiliki Pedoman Operasional Baku yang mendukung kegiatan
operasional sebagai Pengelola Gudang.
f.

Memiliki tenaga dengan kompetensi yang diperlukan dalam pengelolaan


gudang dan barang.

g. Memiliki rekomendasi dari pejabat yang berwenang dalam menilai


kredibilitas koperasi di tempat kedudukan (domisili) koperasi.
Selanjutnya, secara umum, tenaga pengelola gudang baik PT ataupun
Koperasi harus memiliki kompetensi sebagai berikut; 1) Memahami peraturan
perundang-undangan di bidang SRG; 2) Memiliki keahlian mengenai karakteristik
barang yang disimpan; 3) Memiliki keahlian mengenai pemeliharaan barang; 4)Memiliki
keahlian mengenai administrasi pengelolaan gudang.
Persyaratan ini berhubungan dengan tanggung jawab yang diemban oleh
Pengelola gudang, dimana pengelola gudang harus bertanggung jawab atas:
1. Kelayakan gudang untuk penyimpanan komoditas
2. Keabsahan kepemilikan barang
3. Barang diterima sesuai persyaratan (SNI atau SK Bappebti)

LAPORAN AKHIR

Bab V - 48

4. Kebenaran jumlah, nilai, kepemilikan barang yang tercantumdalam Resi Gudang, Resi
Gudang Pengganti dan SRG-Online
5. Kebenaran petugas penandatanganan Resi Gudang/ResiGudang Pengganti sesuai
spesimen tanda tangan
6. Pengeluaran barang kepada pemilik sah dengan jumlah sesuaidengan Resi
Gudang/Resi Gudang Pengganti
7. Kebenaran rekap administrasi kegiatan Sistem Resi Gudangdan SRG-Online
8. Kehilangan/kerugian yang disebabkan karena kelalaianPengelola Gudang
9. Mempertahankan kekayaan bersih minimal

Saat ini, pengelola gudang yang telah mendapatkan persetujuan dari Bappebti untuk
mengelola gudang SRG antara lain PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero), PT. Petindo Daya
Mandiri, Koptan Bidara Tani, PT. Pertani (Persero), PT. Sucofindo (Persero), PT. Reksa Guna
Interservice dan PT. Pos Indonesia. Pengelola gudang ini masih akan terus bertambah tidak
hanya dari BUMN saja, melainkan dari BUMD dan Kelompok Tani dapat menjadi pengelola
gudang.
Terkait dengan implementasi SRG untuk komoditi lada di daerah penelitian, untuk
Provinsi Lampung, pengelola gudang yang ditunjuk oleh Bappebti pada awal implementasi
SRG adalah PT. Pertani pada tahun 2010. Namun dalam implementasinya, PT. Pertani tidak
dapat menjalankan pengelolaan gudang SRG di Provinsi Lampung. Sehingga pada tahun 2014
ini, dimana SRG direncanakan akan diimplementasikan di Kabupaten Lampung Selatan pada
bulan Mei 2014, pengelola gudang diganti oleh PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero). Meskipun
demikian, hal ini masih dalam tahap penjajakan dan belum implementasi.
Sementara itu, PT. BGR sejak tahun 2008 telah melakukan kerjasama pengelolaan
gudang lada milik PT. Pancabinamas Ekamuda dengan sistem CMA. Kerjasama yang terjadi
antara PT. BGR- PT Pancabinamas Ekamuda dan PT. Rabobank International Indonesia.
Adapun komoditi yang dijadikan agunan dalam perjanjian ini adalah biji lada mentah dan biji
lada siap ekspor. Jika dilihat dari sisi pengelola gudang di Provinsi Lampung, dengan
pengalamanan dan kompetensi dalam hal manajemen agunan komoditi lada, PT. BGR mampu
menjadi pengelola gudang SRG komoditi lada.
Hal yang berbeda terjadi di Provinsi Bangka Belitung, dimana belum terdapat pengelola
gudang untuk SRG. Gudang yang terdapat di provinsi tersebut sebagian besar milik swasta,
dalam hal ini pemilik lahan perkebunan. Dengan demikian belum terdapat pengelola gudang
untuk implementasi SRG.
Melihat hal ini, sebagai salah satu perangkat utama dalam implementasi SRG komoditi
lada belum terpenuhi baik di Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung. Belum
adanya pengelola gudang yang bertanggung jawab atas gudang SRG, disebabkan karena
adanya kendala pembiayaan awal bagi para pengelola gudang yang seharusnya diberikan oleh
pemerintah daerah sebagai stimulus baik bagi pengelola gudang maupun pada para petani
lada.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 49

Pembiayaan pengelolaan gudang SRG yang diajukan oleh PT. BGR kepada Pemda
Lampung Selatan sebesar Rp. 17.500.000 per bulan. Pembiayaan ini meliputi penyimpanan,
pensortiran, pencatatan dan pelaporan serta penerbitan resi gudang untuk pemilik barang.
Selain itu juga terdapat biaya handling barang in & out/ biaya bongkar muat barang dari truk ke
gudang sebesar Rp. 35/kg dengan ketentuan minimal 600 ton per tahun.

5.4.2

Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK)


Lembaga penilai kesesuaian adalah lembaga terakreditasi yang melakukan

serangkaian kegiatan untuk menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang
berkaitan dengan produk, proses, sistem dan/atau personel terpenuhi. LPK bertanggung jawab
atas segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat untuk barang. LPK ini terbagi dua
menjadi LPK Inspeksi Gudang dan LPK Mutu Barang.
1. LPK Inspeksi Gudang
Dalam hal menilai kelayakan gudang, memeriksa kebenaran informasi yang tercantum
dalam sertifikat untuk gudang, kebenaran petugas penandatangan sertifikat untuk gudang
sesuai spesimen tanda tangan, kebenaran rekap administrasi kegiatan SRG dan SRGonline dilakukan oleh LPK Inspeksi Gudang. LPK yang sudah mendapatkan persetujuan
adalah PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero), PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Sawu
Indonesia.
PT. Bhanda Ghara Reksa (BGR) yang saat ini ditunjuk oleh pemda sebagai pengelola
gudang, tidak dapat sekaligus menjadi LPK Inspeksi gudang di Provinsi Lampung. Oleh
sebab itu, LPK inspeksi gudang di Provinsi Lampung dilakukan oleh PT. Sucofindo
(Persero). PT. Sucofindo melakukan kelayakan gudang yang ada di Provinsi Lampung
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Bappebti untuk menjadi gudang SRG. Biaya
untuk uji kelayakan gudang belum diketahui besaran yang harus dikeluarkan karena
sesuai dengan anggaran yang diajukan oleh LPK Inspeksi gudang.
Pada Provinsi Bangka Belitung juga sudah terdapat LPK inspeksi gudang dengan PT
yang sama. Tapi saat ini hanya terbatas pada komoditi timah saja dan bukan lada. Karena
gudang yang dikhususkan untuk SRG belum ada.

2. LPK Uji Mutu Komoditi


LPKuji mutu komoditi bertanggungjawab untuk memastikan mutu barang yang diterima
di gudang, kebenaran hasil analisis mutu yang tercantum dalam sertifikat untuk barang dan
SRG-Online, kebenaran petugas penandatangan sertifikat untuk barang sesuai spesimen
tanda tangan, kebenaran rekap administrasi kegiatan sistem resi gudang dan SRG-Online
dan kehilangan/kerugian yang disebabkan karena kelalaian LPK. LPK mutu barang ini
harus mendapatkan persetujuan dari Bappebti. Khusus untuk komoditi lada, LPK yang
sudah mendapatkan persetujuan untuk uji mutu komoditi lada putih adalah PT. Sucofindo
di wilayah Makasar dan di wilayah Bandar lampung untuk lada hitam. Selain PT.
Sucofindo, terdapat BPSMB & Tembakau Surabaya, BPSMB Makssar, PT. Beckjorindo

LAPORAN AKHIR

Bab V - 50

Paryaweksana wilayah Bandar Lampung untuk komoditi Lada Hitam dan BPSMB Medan.
Selain LPK mutu barang yang mengajukan diri untuk menjadi LPK uji mutu komoditi,
terdapat juga LPK uji mutu komoditi yang ditunjuk oleh Ka. Bappebti. Tetapi untuk LPK uji
mutu komoditi yang ditunjuk, hanya untuk komoditi gabah, beras, jagung dan rumput laut.
Biaya untuk melakukan uji mutu komoditi sebesar Rp. 20/kg untuk gudang SRG yang
diajukan oleh PT. BGR. Angka ini masih dengan asumsi bahwa uji mutu komoditi dilakukan
oleh PT. Sucofindo yang berada di wilayah Bandar Lampung. Uji mutu ini dilakukan di
gudang SRG oleh laboratorium PT. Sucofindo dan hasilnya disampaikan kemudian harinya
pada pengelola gudang.
3. LPK Sertifikasi Sistem Mutu Gudang
LPK Sertifikasi Sistem mutu diperuntukkan bagi pengelola gudang. Hal ini untuk
menjamin bahwa pengelola gudang menjalankan kegiatan operasionalnya sesuai standar
manajemen mutu sesuai dengan ISO 9001:2000.. Dalam hal ini, LPK sertifikasi sistem
mutu bertanggung jawab atas pemastian proses kegiatan pengelola gudang sesuai,
penerbitan Sertifikat Manajemen Mutu berdasarkanstandar ISO 9001:2000 atau SOB,
kebenaran hasil sertifikasi yang tercantum dalamSertifikat Manajemen Mutu sesuai
spesimen tanda tangan, kebenaran petugas penandatanganan SertifikatManajemen Mutu,
kebenaran rekap administrasi kegiatan Sistem ResiGudang dan kehilangan/kerugian yang
disebabkan karena kelalaianLPK Sertifikasi Manajemen Mutu.
LPK sertifikasi sistem mutu yang telah mendapatkan persetujuan Bappebti adalah PT.
Sucofindo. Kelemahannya, PT. Sucofindo hanya terdapat di ibukota provinsi saja, untuk
mencapai kabupaten/kota yang berada di pedalaman masih terkendala masalah
transportasi dan geografis dari masing-masing wilayah.

5.4.3

Pusat Registrasi
Pusat registrasi adaPusat registrasi memiliki peran dalam hal pencatatan,

penyimpanan dan pelaporan dan catatan kegiatan yang berkaitan dengan sistem resi
gudang. Pusat registrasi menyampaikan laporan secara berkala dan/atau sewaktuwaktu kepada Badan Pengawas. Pusat registrasi menurut ketentuan dalam UU No. 9
Tahun 2006 Pasal 34 ayat (1) harus badan usaha berbadan hukum dan mendapat
persetujuan Badan Pengawas. Pusat registrasi resi gudang saat ini adalah PT. Kliring
Berjangka Indonesia (PT. KBI).
Registrasi yang dilakukan oleh pengelola gudang saat ini dapat dilakukan
secara online. Dengan demikian, resi gudang yang telah mendapat persetujuan dari
Badan Pengawas dapat diterbitkan lebih cepat. Kendala yang terjadi adalah apabila
daerah terkait jauh dari ibukota dan tidak mendapat akses internet, sehingga hal ini
menjadi permasalahan bagi pengelola gudang untuk menerbitkan resi gudang.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 51

Pusat registrasi ini juga menarik biaya pemeliharaan dari pemilik barang
sebesar 0,01% x nilai barang x volume. Biaya ini berarti menambah beban bagi pemilik
barang.
5.4.4

Lembaga Pembiayaan (Bank dan Nonbank)


Berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lembaga pembiayaan

adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
dana atau barang modal (ojk.go.id, Mei 2014). Lembaga Pembiayaan meliputi:
1. Perusahaan Pembiayaan, adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan
Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu
Kredit.
2. Perusahaan

Modal

Ventura,

adalah

badan

usaha

yang

melakukan

usaha

pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan


pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan
saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan atau pembiayaan
berdasarkan pembagian atas hasil usaha, dan
3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, adalah badan usaha yang didirikan khusus
untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek
infrastruktur.

Lembaga pembiayaan yang menyediakan dana dapat berbentuk lembaga bank


maupun non bank (BUMN 7 BUMD). Khusus untuk lembaga keuangan bank,
penggunaan resi gudang sebagai jaminan kredit diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia
No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Pada Pasal 46
dinyatakan bahwa resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang
merupakan

agunan

yang

dapat

diperhitungkan

sebagai

pengurang

dalam

pembentukan PPA. Pasal 48 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa nilai agunan yang
dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA bagi resi gudang
ditetapkan paling tinggi sebesar:
a. 70% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan dalam 12 bulan terakhir
b. 50% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan telah melampaui 12 bulan
namun belim melampaui 18 bulan
c.

30% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan telah melampaui jangka waktu
18 bulan namun belum melampaui 24 bulan

d. 0% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan telah melampau jangka waktu 24


bulan.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 52

Kredit resi gudang terdapat dua skema yaitu skema subsidi resi gudang dan
skema resi gudang. Skema Subsidi Resi Gudang (selanjutnya disebut S-SRG) adalah
kredityang mendapat subsidi bunga dari pemerintah dengan jaminan Resi Gudang
yangdiberikan

oleh

bank

pelaksana/Lembaga

Keuangan

Non

Bank

kepada

petani,kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi. S-SRG ini diatur
dalamPeraturan Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 tentang Skema Subsidi
ResiGudang.
Untuk

pelaksanaan

MenteriPerdagangan

S-SRG

Republik

tersebut,

Indonesia

telah
No.

diterbitkan

Peraturan

66/M-DAG/PER/12/2009

tentangPelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.Beban bunga kepada peserta SSRG ditetapkan sebesar 6%. Selisihtingkat bunga S-SRG dengan beban bunga
peserta S-SRG merupakan subsidipemerintah. Besarnya plafond kredit S-SRG adalah
70% dari nilai resi gudang atau maksimal maksimal Rp. 75.000.000. Jangka waktu
kredit maksimal 6 (enam) bulan dan dapat dilakukan perpanjangan waktu dengan
analisis dari pihak bank.
Bukan hanya bank saja yang dapat memberikan pembiayaan dengan sistem
resi gudang, tetapi lembaga non bank juga dapat memanfaatkan sistem ini. Adapun
bank dan lembaga keuangan non bank yang telah bekerjasama dengan KBI adalah
Bank BRI, Bank Jatim, Bank Kalsel, Bank Jabar & Banten, Bank Yogyakarta, Bank
Jateng, Bank CIMB Niaga, PKBL KBI, LPDB dan BPRS Bina Amanah..
Untuk implementasi sistem resi gudang di Provinsi Lampung, khususnya
Kabupaten Lampung Selatan menggunakan lembaga pembiayaan Bank BRI.
Meskipun perjanjian kredit dengan jaminan Resi gudang bank BRI telah dilaksanakan
berdasarkan Surat Edaran Nose: S.2-DIR/ADK/01/2008 yang mengatur tentang Kredit
Modal Kerja Dengan Jaminan Resi Gudang, dan telah diberikan oleh BRI sejak tahun
2010, namun untuk BRI cabang Kabupaten Lampung Selatan belum memahami
operasional secara keseluruhnya, khususnya terkait dengan subsidi bunga yang
diberikan kepada para debitur nantinya dan mitigasi risiko pasar yang akan ditanggung
oleh bank.
Dalam ketentuannya, divisi ADK Kantor Pusat BRI, mengharuskan cabang
melakukan mitigasi risiko pasar apabila komoditi tidak terjual atau harga turun terus
menerus. Dalam hal ini resi gudang akan dilikuidasi untuk pelunasan kredit jika nilai
barang turun sampai dengan jumlah tertentu dari nilai barang yanng tercantum dalam
resi gudang apabila pemilik barang tidak menambah jumlah komoditas atau
menurunkan baki debet pinjamannya (menurunkan jumlah pinjaman dengan
melakukan pembayaran sebagian).

LAPORAN AKHIR

Bab V - 53

Dalam pemberian kredit subsidi resi gudang, terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh petani antara lain:
a. Surat pernyataan bermaterai yang menyatakan sebagai petani dan diketahui oleh
Kepala Desa/Lurah Setempat
b. Berusia paling rendah 21 tahun atau sudah menikah
c.

Tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah

d. Tidak memiliki tunggakan kartu kredit, kredit program dan/atau kredit komersil baik di
BRI maupun di bank/lembaga keuangan lain.

Sedangkan untuk kelompok tani, syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:
a. Tidak memiliki tunggakan kartu kredit,kredit program dan/atau kredit komersilbaik di
BRI maupun di bank/lembaga keuangan lain
b. Tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah
c.

Melalui ketua yang ditunjuk harus menyerahkan kepada BRI persyaratan:Surat


pernyataan bermaterai yang menyatakan sebagai kelompok tanidan diketahui oleh
Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang berwenang

d. Susunan pengurus kelompok tani yang aktif paling sedikit terdiri dariketua dan
sekretaris/bendahara
e. Surat kuasa dari anggota kelompok tani yang menunjuk ketuakelompok dari anggota
f.

Peraturan kelompok tani yang disepakati oleh seluruh anggota

Syarat untuk memperoleh kredit bagi gabungan kelompok tani adalah sebagai berikut:
a. Tidak memiliki tunggakan kredit program dan/atau kredit komersil baik diBRI maupun di
bank/lembaga keuangan lain
b. Tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah
c.

Melalui ketua yang ditunjuk harus menyerahkan kepada BRI persyaratan:Surat


pernyataan bermaterai yang menyatakan sebagai gabungankelompok tani dan
diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat yangberwenang

d.

Susunan pengurus gabungan kelompok tani yang aktif paling sedikitterdiri dari ketua
dan sekretaris/bendahara

e. Surat kuasa dari anggota gabungan kelompok tani yang menunjuk ketuakelompok
f.

Peraturan gabungan kelompok tani yang disepakati oleh seluruhanggota

Dari persyaratan yang ditetapkan di atas, syarat yang paling berat adalah tidak sedang
memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar subsidi
dapat dinikmati oleh semua orang secara merata. Tetapi hal ini berat untuk dilaksanakan,
karena sebagian besar petani lada sudah atau sedang mengambil kredit program sebagai
modal kerja, sehingga untuk mendapatkan kredit dengan skema S-SRG tidak mungkin.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 54

Meskipun demikian, petani, kelompok tani dan gabungan petani masih dapat memperoleh
kredit resi gudang yang tidak ada subsidi bunga.
Sosialisasi dari perbankan mengenai bagaimana cara mendapatkan kredit resi gudang
belum dilakukan secara maksimal bagi petani lada, sehingga banyak petani lada baik yang
berada di Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung belum memahami dan
memanfaatkannya. Selain itu juga pihak perbankan tidak hanya perlu mensosialisasikan
dengan membandingkan kredit modal kerja lainnya, kelebihan dan kekurangan menggunakan
kredit resi gudang secara transparan kepada para pemanfaat.
Pemberian kredit yang diberikan kepada para pemilik barang tidak terkena biaya
provisi, biaya administrasi dan biaya komitmen untuk skema resi gudang subsidi SRG. Untuk
kredit resi gudang tanpa subsidi, maka terkena biaya provisi, administrasi, appraisal dan
komitmen yang ditanggung oleh debitur.

5.4.5

Lembaga Penjamin
Lembaga jaminanmerupakan lembaga independen, transparan dan akuntabel.

Lembaga penjamin merupakan perusahaan yang ditunjuk sebagai penjamin dalam


SRG ketika terjadi kegagalan (default) pengelola gudang dalam penyelesaian transaksi
resi gudang. Kedudukan lembaga jaminan diatur dalam UU No. 9 Tahun 2011, dimana
lembaga jaminan memiliki fungsi untuk melindungi hak pemegang Resi Gudang
dan/atau Penerima Hak Jaminan apabila terjadi kegagalan, ketidakmampuan, dan/atau
kebangkrutan Pengelola Gudang dalam menjalankan kewajibannya. Lembaga
penjamin juga memiliki fungsi untuk memelihara stabilitas dan integritas Sistem Resi
Gudang sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun
2011 Pasal 37F.
Untuk memenuhi amanah yang terdapat dalam UU No. 9 Tahun 2011 akan
dilakukan dengan mendirikan Lembaga Dana Jaminan Ganti Rugi (LDJGR). Lembaga
ini nantinya akan melindungi baik petani sebagai debitur, pengelola gudang dan bank
sebagai kreditur dari risiko-risiko yang disebabkan bukan karena kelalaian pengelola
gudang seperti kebakaran, kebanjiran; dan juga risiko yang disebabkan karena
pengelola gudang mengalami pailit.
Namun sampai dengan saat ini, lembaga dana jaminan ganti rugi belum
didirikan. Sehingga sampai saat ini, risiko yang terdapat dalam implementasi sistem
resi gudang ditanggung sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat yaitu oleh petani,
pengelola gudang dan bank. Padahal keberadaan lembaga penjamin ini sangat
diperlukan untuk meningkatkan implementasi SRG di daerah-daerah.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 55

5.4.6

Asuransi
Asuransi dalam sistem resi gudang dibebankan pada pemilik barang dan

pengelola gudang. Asuransi yang diwajibkan kepada pemilik barang adalah asuransi
kerugian. Asuransi kerugian ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan bagi
pemilik barang ketika menyimpan barangnya di gudang SRG.
Asuransi fidelity (Fidelity Guarantee) adalah suatu jaminan yang diberikan
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam resi gudang khususnya lembaga pembiayaan
atas

kemungkinan

adanya

kerugian

yang

dideritanya

sebagai

akibat

ketidakjujuran/kecurangan yang dilakukan oleh pengelola gudang. Asuransi ini bersifat


optional diminta oleh lembaga perbankan sebagai upaya penghindaran risiko kerugian
yang akan terjadi akibat kelalaian pengelola gudang.
Saat ini, asuransi kerugian ditutup oleh PT. Jasindo untuk pengelola gudang
dari PT. Banda Ghara Reksa yang akan menjadi pengelola gudang di Provinsi
Lampung. Produk asuransi yang digunakan adalah asuransi aneka Fidelity Guarantee.
Biaya asuransi yang dibebankan kepada para pemilik barang (petani, kelompok tani
maupun gapoktan) adalah sebesar 15,5/kg dengan ketentuan minimal penyimpanan
300 ton atau per 300 ton, atau jika setahunkan 600 ton pertahun. Bila penyimpanannya
tidak sampai 300 ton maka premi yang harus dibayarkan akan lebih tinggi.
5.4.7

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota


Peran pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota sangat penting dalam

mempercepat pengembangan sistem resi gudang. Dalam UU No. 9 Tahun 2011 Pasal
33 mencantumkan bahwa di bidang pembinaan sistem resi gudang, pemerintah daerah
melakukan pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan Sistem
Resi Gudang, mengembangkan komoditas unggulan di daerag, penguatan peran
pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan sistem resi
gudang

dan

pemfasilitasi

pengembangan

pasar

leleng

komoditas.

Dalam

pembianaannya dikoordinasikan dengan Bappebti


Beberapa pemerintah daerah yang telah dibangunkan gudang SRG sejak tahun
2009 telah menjalankan tugas yang diamanatkan, tetapi beberapa pemerintah daerah
lainnya khususnya pemerintah daerah yang berada di Provinsi Lampung belum
menjalankan tugasnya.
Terdapat beberapa alasan pemerintah daerah tidak/belum menjalankan amanat
yang terdapat dalam UU No. 9 Tahun 2011:
a. SDM yang memahami SRG kurang/tidak ada
b. Mutasi jabatan yang cepat

LAPORAN AKHIR

Bab V - 56

c. Tidak ada pembiayaan dari APBD


d. Tidak adanya komitmen kepala daerah untuk mempercepat implementasi SRG.

Selain

keempat

alasan

di

atas,

pemerintah

daerah

tidak

dapat

mengimplementasikan karena tidak adanya petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis


secara tertulis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal apa yang
harus dilakukan oleh pemerintah daerah khususnya terkait dengan pembiayaan awal
biaya pengelolaan gudang. Selain itu juga pemerintah daerah merasa program yang
dijalankan bukan merupakan program daerah dan merupakan program pusat,
sehingga dalam hal pendanaannya masih diharapkan berasal dari pusat.
Berdasarkan analisis kesiapan kelembagaan diatas, dalam hal implementasi SRG
khususnya komoditi lada di Provinsi Lampung, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.3. Kesiapan Kelembagaan dalam Implementasi SRG Lada


Lembaga
Pengelola Gudang

Lembaga yang
ditunjuk/disetujui
PT Bhandra Ghara
Reksa (BGR) sebagai
pengganti PT. Pertani

Kesiapan

Alasan

Siap selama
terdapat
pembiayaan
awal

Pengelola gudang awal


membutuhkan investasi
awal yang dibiayai oleh
APBD pemerintah daerah

LPK Inspeksi
Gudang

Belum ditunjuk

Belum siap

Penunjukan LPK Inspeksi


Gudang masih menunggu
kepastian adanya
Pengelola Gudang

LPK Uji Mutu


Komoditi

PT. Sucofindo

Siap

PT. Sucofindo disetujui


untuk melakukan uji mutu
lada dan memiliki alat-alat
pengujian yang sesuai
dengan standar yang
ditentukan

Pusat Registrasi

PT. KBI

Siap

Registrasi resi gudang saat


ini sudah dapat dilakukan
secara online melalui SRGOnline

Lembaga
Pembiayaan

PT. BRI

Belum siap

Meskipun sudah terdapat


panduan dari kantor pusat,
tetapi dalam
implementasinya masih
mempelajari proses bisnis
dari SRG

Lembaga Penjamin

Belum ada

Belum siap

Asuransi

PT. Jasindo

Belum siap

LPDGR belum didirikan


oleh Bappebti
Tergantung pada pengelola
gudang

Pemerintah Daerah

Dinas Perdagangan
dan Perindustrian

Belum siap

LAPORAN AKHIR

Kurangnya SDM yang


memahami mengenai

Bab V - 57

Lembaga

Lembaga yang
ditunjuk/disetujui

Kesiapan

Alasan
proses bisnis dari SRG
dan terlalu cepat mutasi
yang dilakukan oleh
pemda.
Kurangnya komitmen dari
Pemda untuk
mengimplementasikan
SRG

Jika dilihat dari aspek kesiapan kelembagaan yang terdapat pada SRG komoditi
lada seperti yang ditunjukkan dalam tabel 5.3 di atas, maka dapat dikatakan bahwa
kelembagaan utama seperti pemerintah daerah, pengelola gudang, lembaga penjamin,
lembaga penilaian kesesuaian (LPK) dan lembaga keuangan yang berada di daerah
penelitian Provinsi Lampung belum siap untuk menjalannya. Demikian pula halnya
dengan Provinsi Bangka Belitung yang baru pada tahap sosialisasi SRG di provinsi.
Selain itu juga keterlibatan lembaga yang demikian banyak menyebabkan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pemilik komoditas menjadi lebih besar dibandingkan
dengan skema CMA. Hal ini menjadi kendala utama ketika implementasi sistem resi
gudang dilakukan pada daerah-daerah terpencil yang berpotensi tetapi kelembagaan
yang dipersyaratkan tidak dapat dipenuhi di tempat tersebut.
Dalam hal komoditi lada, produksi yang dihasilkan oleh petani lada secara
kuantitas masih belum mencukupi kebutuhan lada di dunia, sehingga apabila
diresigudangkan maka tidak akan efisien karena kuantitas lada yang disimpan oleh
petani relatif kecil dan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan,
Belum terimplementasinya sistem resi gudang di Provinsi Lampung baik untuk
komoditi lada maupun komoditi lainnya disebabkan pemerintah daerah belum
memahami manfaat resi gudang sebagai upaya untuk mengatasi scarcity of cash di
tingkat lokal. Hal ini menyebabkan sistem resi gudang masih belum termasuk program
prioritas di tingkat lokal.
5.5

Kesiapan Sarana dan Prasarana Dalam Implementasi SRG


Kesiapan sarana dan prasarana dalam implementasi SRG juga merupakan hal

penting untuk dianalisis selain kelembaan yang terkait. Sarana dan prasarana yang
diperlukan untuk implementasi sistem resi gudang antara lain gudang dan
perlengkapannya dan infrastruktur jalan.
5.5.1

Gudang dan Perlengkapannya


Gudang merupakan sarana utama dalam implementasi SRG. Menyadari hal ini,

ketika implementasi SRG dilakukan, maka yang dibangun pertama kali adalah gudang.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 58

Pada tahun 2009, melalui dana stimulus fiskal, Kementerian Perdagangan dalam hal
ini Bappebti membangun 41 gudang di 34 kabupaten. Pada tahun 2010, melalui DAK
bidang sarana perdagangan, Bappebti mendirikan 11 gudang di 11 kabupaten/kota,
sedangkan tahun 2011 mendirikan 14 gudang di 14 kabupaten, pada tahun 2012
mendirikan 14 gudang dan pada tahun 2014 ini direncanakan akan didirikan 23
gudang. Gudang-gudang yang dibangun dilengkapi dengan mesin pengering (dryer)
untuk gabah dan dapat digunakan untuk jagung. Dari 78 kabupaten/kota yang terdapat
gudang SRG yang dibangun pada tahun 2009 2013, baru 60% kabupaten/kota yang
telah memanfaatkan fasilitas gudang tersebut dan menerbitkan resi gudang. Kurang
termanfaatkannya gudang-gudang ini disebabkan karena beberapa hal:
a. Belum adanya penyerahan aset dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk dikelola pemerintah daerah
Kondisi ini terjadi pada gudang-gudang yang didirikan pada tahun 2009 dengan
menggunakan dana stimulus daerah. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan
gudang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Untuk mengatasi hal ini,
pemerintah pusat masih dalam proses untuk dihibahkan kepada pemerintah
daerah yang bersangkutan. Agar tidak menyalahi UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dalam kaitannya dengan pengelolaan barang milik
negara.
b. Gudang yang dibangun dengan dana DAK tidak dengan fasilitas
Terdapat gudang-gudang yang dibangun tidak memiliki fasilitas sesuai dengan
standar yang ditetapkan untuk gudang komoditas. Ketidaksesuaian ini
disebabkan karena adanya perencanaan yang kurang matang dari pemerintah
daerah ketika membangun gudang.
Fasilitas yang belum ada misalnya listrik, air, palet dan lainnya. Fasilitas
pengadaan listrik di beberapa daerah seringkali menjadi kendala karena
keterbatasan daya dan kapasitas PLN yang berbeda di masing-masing daerah.
Demikian juga dengan fasilitas air bersih.
Terkait dengan pembangunan gudang di daerah penelitian, Provinsi Lampung,
selama tahun 2010 2011 telah didirikan enam gudang komoditas pertanian yang
nantinya diperuntukkan untuk gudang SRG. Keenam gudang komoditas tersebut
terdapat pada kabupaten lampung selatan, lampung barat, lampung tengah,
tanggamus, tulang bawang, lampung timur. Kabupaten penghasil lada di Provinsi
lampung terdapat di Kabupaten Lampung Barat, Lampung Selatan, Lampung Utara,
Lampung Timur, Way Kanan, Tanggamus dan Lampung Tengah. Dari ketujuh

LAPORAN AKHIR

Bab V - 59

kabupaten tersebut, lampung timur merupakan daerah penghasil lada terbesar di


Indonesia khusus untuk lada hitam.
Keenam gudang yang telah dibangun dengan menggunakan dana DAK dimana
90% pembangunan dibiayai oleh APBN dan 10% didanai oleh APBD belum berjalan.
Selain karena ketidaksiapan dari kelembagaan dan pemerintah daerah yang ada,
keenam gudang tersebut belum dilengkapi fasilitas listrik dan peruntukannya masih
bercampur, sedangkan untuk komoditi lada, sebaiknya dalam penyimpanan di gudang
tidak dicampur dengan komoditi lainnya karena standar mutunya akan mengalami
penurunan kualitas.
Gudang yang dibangun tersebut adalag gudang komoditas pertanian yang akan
digunakan untuk gudang SRG. Untuk menjadi gudang SRG harus mendapatkan
persetujuan terlebih dahulu dan gudang-gudang tersebut harus diuji kelayakan gudang
oleh LPK Inspeksi gudang. Hal ini tentunya menimbulkan pembiayaan lagi bagi
pemerintah daerah untuk melakukan uji kelayakan gudang, sehingga dianggap dalam
pengimplementasiannya tidak mudah dilakukan.
Akibat tidak terpakainya gudang menjadi gudang SRG, sebagian gudang ada
yang mengalami kerusakan seperti misalnya terdapat burung gereja yang menjadi
hama bagi komoditas gabah. Selain itu juga, beberapa gudang yang dibangun memiliki
letak yang kurang strategis dan jauh dari sentra produksi.
5.5.2

Infrastruktur Jalan
Infrastruktur berupa akses jalan ke gudang merupakan komponen penting

dalam rangka efisiensi biaya transportasi dari sentra produksi ke gudang. Pada daerag
penelitian di Provinsi Lampung, akses menuju gudang di Kabupaten Lampung Selatan
cukup baik, tetapi terdapat gudang yang belum memiliki akses jalan menuju gudang
sehingga jika digunakan akan menimbulkan biaya tambahan baik bagi petani maupun
bagi pemerintah daerah.
Melihat dua sarana dan prasarana di atas, maka dapat dikatakan bahwa
meskipun telah terdapat gudang komoditas pertanian di Provinsi Lampung, tetapi
belum tentu dapat digunakan menjadi gudang SRG karena harus melalui persetujuan
Bappebti dan dilakukan uji kelayakan gudang. Sedangkan dari sisi prasarana seperti
jalan, listrik, perlengkapan penangkal hama, perlengkapan gudang lainnya belum
dapat dipenuhi. Oleh sebab itu maka dapat dikatakan provinsi Lampung belum siap
mengimplementasikan sistem resi gudang khususnya untuk komoditi lada.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 60

5.6

Faktor Kunci Kesuksesan Implementasi SRG Komoditi Lada


Berdasarkan analisis kesiapan implementasi sistem resi gudang komoditi lada

dari sisi pelaku usaha yang mendapat manfaat dari implementasi sistem resi gudang,
kelembagaan dan sarana prasarana, maka agar implementasi SRG komoditi lada
dapat terwujud, harus diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut.
1. Adanya Komitmen Pemerintah Daerah khususnya Kepala Daerah
Komitmen pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota untuk mempercepat
implementasi SRG di daerahnya dalam rangka meningkatkan perekonomian lokal
sangat dibutuhkan. Komitmen pemerintah daerah bukan hanya secara lisan saja
tetapi juga tertulis melalui surat keputusan.
Faktor ini menjadi faktor kunci utama dalam implementasi SRG di daerah baik
untuk komoditi lada maupun komoditi lainnya, karena daerah-daerah yang sudah
terimplementasi

SRGnya

adalah

daerah

yang

memiliki

komitmen

untuk

menjalankan. Komitmen yang dibutuhkan dalam rangka implementasi SRG


khususnya komoditi lada adalah untuk:
a. Menyediakan dana yang berasal dari APBD sebagai pembiayaan awal SRG
yang digunakan untuk biaya penilaian kelayakan gudang, biaya pengelolaan
gudang SRG, biaya handling barang in & out, biaya pemeliharaan barang,
biaya uji mutu komoditi, biaya asuransi dan biaya pusat registrasi resi gudang
minimal selama dua tahun awal. Hal ini digunakan untuk menarik minat para
petani khususnya petani lada dan merasakan manfaat penggunaan resi
gudang. Pendanaan ini juga ditujukan agar terdapat pengelola gudang yang
dapat menjalankan gudang yang sudah ada sehingga para petani yang akan
menyimpan dapat dengan mudah menemukan penanggungjawabnya.
b. Mengurangi biaya transportasi dari petani ke gudang dengan melakukan jemput
bola komoditi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus rantai pasok yang sudah
solid dan pembiayaan dengan menggunakan sistem nota titip yang tidak
memiliki jaminan hukum bagi para petani.
c. Menyediakan SDM yang kompeten dan tidak melakukan mutasi pegawai
dengan cepat sehingga implementasi SRG dapat terlaksana. Apabila mutasi
pegawai dilakukan dengan cepat, maka SDM yang kompeten dan memahami
proses bisnis akan hilang dan harus memulai dari awal kembali.
d. Menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan operasional
gudang SRG.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 61

2. Terintegrasinya kelembagaan dalam satu tempat


Seperti yang telah dijelaskan di atas, kelembagaan dalam sistem resi gudang
sangat banyak dan dan setiap lembaga pasti terdapat biaya yang harus
dikeluarkan. Hal ini menjadi tidak efisien bagi pelaku usaha khususnya skala kecil,
terlebih lagi jika kelembagaan ini terletak pada tempat yang berbeda sehingga
membutuhkan usaha lebih untuk menjangkaunya. Sistem resi gudang menjadi
kalah jika dibandingkan dengan CMA (collateral management asset) dimana hanya
tiga pihak saja yang terlibat.
Banyaknya lembaga dalam SRG ini dimaksudkan agar terdapat jaminan
keamanan bagi para pelaku-pelaku yang terlibat. Untuk meniadakan kelembagaan
tidak dimungkinkan karena menyangkut keamanan, tetapi bila menyederhanakan
dan mengintegrasikan dalam satu tempat, hal ini yang mungkin dilakukan.
Pengintegrasian terletak pada gudang SRG, dimana pada gudang yang sudah
disetujui terdapat juga lembaga pembiayaan, LPK uji mutu, asuransi. Untuk
efisiensi lembaga, dapat dengan melakukan penggabungan fungsi lembaga
tersebut dengan tidak meninggalkan sifat independen dan transparansi. Misalnya
lembaga pembiayaan dengan asuransi, LPK uji mutu dengan pengelolaan barang,
dsb sehingga meskipun banyak, tetapi tidak terlihat banyak.
Kredit resi gudang ini khususnya yang bersubsidi, bersaing dengan kredit
program modal kerja lainnya yang juga merupakan program pemerintah untuk
pelaku usaha skala kecil seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE),
KUR, kredit program pemda seperti kredit cinta rakyat di Jawa Barat yang samasama memberikan fasilitas dan subsidi bunga seperti kredit SRG. Oleh sebab itu
biaya yang ditimbulkan karena menggunakan kredit SRG harus lebih rendah bila
dibandingkan dengan kredit modal kerja lainnya.

3. Edukasi dan Sosialisasi kepada Pelaku Usaha Komoditi Lada


Edukasi dan sosialisasi secara khusus dilakukan di sepanjang rantai proses
komoditi lada mulai dari petani, pengumpul, pedagang, asosiasi baik secara
masing-masing

maupun

secara

bersama-sama.

Edukasi

dan

sosialisasi

merupakan kegiatan yang terus menerus (kontinue) sehingga terbangun kesatuan


pemikiran bagaimana menjamin keberlangsungan produksi dan perluasan areal
perkebunan lada sepanjang masa. Hal ini sekaligus menjamin pasokan lada
berkualitas dari berbagai jenis.
Materi edukasi dan sosialisasi yang diberikan adalah materi yang sifatnya
bukan merupakan teori tetapi langkah-langkah kongkrit untuk memanfaatkan

LAPORAN AKHIR

Bab V - 62

sistem

resi

gudang.

Selain

itu

juga

melakukan

perbandingan

manfaat

menggunakan sistem resi gudang dengan menggunakan sistem modal kerja


lainnya.
4. Peningkatan Produksi dan Proses Pasca Panen
Sistem resi gudang dapat terimplementasi dalam dua kondisi, pertama, harga
komoditi lada sedang mengalami penurunan harga dan kedua, terdapat surplus
produksi yang tidak terserap. Kondisi pertama merupakan kondisi utama yang
menyebabkan sistem resi gudang di Indonesia diimplementasikan. Sedangkan
apabila harga komoditi sedang mengalami peningkatan, maka kondisi kedua yang
harus terpenuhi.
Dalam hal implementasi komoditi lada, harus terdapat surplus produksi
terutama untuk saat ini dimana sebagian besar hasil produksi diekspor dan hanya
sedikit yang dikonsumsi secara domestik. Agar terdaoat surplus produksi, maka
harus dilakukan perbaikan dan peningkatan proses produksi dan pasca panen
yang dilakukan oleh petani dengan bantuan dari lembaga-lembaga penelitian dan
pendidikan sekitar.

5. Terdapat Off Taker/Buyer/ Pasar Lelang untuk Menjual Komoditi yang


disimpan
Salah satu keresahan para petani ketika menunggu harga jual yang tinggi
adalah keberadaan pembeli (buyer) yang akan membeli komoditi di gudang.
Keresahan yang sama juga dialami oleh lembaga keuangan selaku yang
memberikan dana kredit. Untuk itu perlu dibuat suatu mekanisme atau
mengembangkan jejaring untuk menciptakan off taker dari komoditi yang disimpan
di dalam gudang. Meskipun jangka waktu penyimpanan komoditi lada cukup lama
(bisa sampai 10 tahun) tetapi jangka waktu pembiayaan relatif singkat maksimal
hanya 6 bulan. Sehingga petani memiliki kesempatan untuk mencari pembeli atau
melakukan tunda jual selama 6 bulan, setelah itu komoditi harus dijual dalam
rangka pelunasan kredit.
Selain off taker, diperlukan mekanisme lainnya untuk mendapatkan harga yang
wajar dan diinginkan oleh petani salah satunya dengan membangun dan
mempercepat implementasi pasar lelang di daerah. Pasar lelang ini selain dapat
digunakan untuk penyerahan saat ini (spot) juga bisa digunakan untuk penyerahan
pada masa yang datang (forward). Dengan adanya pasar lelang ini, diharapkan
komoditi yang disimpan mendapatkan harga yang tinggi di pasaran.

LAPORAN AKHIR

Bab V - 63

BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada bab sebelumnya maka dapat

disimpulkan bahwa:
1. implementasi SRG untuk komoditi lada terutama pada daerah penelitian belum
siap baik dari sisi pelaku usaha, kelembagaan maupun sarana dan prasaran
yang digunakan.
2. Terdapat empat faktor kunci agar implementasi SRG komodti lada dapat
terwujud, yaitu adanya komitmen kepala pemerintah daerah, terintegrasinya
kelembagaan dalam satu tempat, edukasi dan sosialisasi, peningkatan produksi
dan mutu serta terdapatnya offtaker/buyer/pasar lelang.
6.2

Rekomendasi
Melihat permasalahan implementasi SRG untuk komoditi lada berasal dari

seluruh sisi maka rekomendasi yang diusulkan agar SRG dapat berjalan sebagai
berikut:
1.

Untuk meningkatkan kesadaran petani akan manfaat SRG maka perlu dilakukan:

sosialisasi teknis pelaksanaan SRG yang melibatkan instansi terkait bukan


hanya dinas perdagangan tetapi juga dinas pertanian atau perkebunan.
Selain itu, sosialisasi perlu menghadirkan petani yang telah mendapat
manfaat dari penggunaan SRG.

penyuluhan dan pendampingan bagi petani untuk meningkatkan kualitas


dan mutu hasil produksi agar memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan
untuk masuk dalam sistem resi gudang. Hal ini juga perlu disinergikan
dengan program peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian dari
lembaga terkait.

penguatan lembaga di tingkat petani, baik dalam bentuk kelompok tani


maupun koperasi untuk mencapai skala ekonomis. Hal ini mengingat petani
pada umumnya memiliki produksi dibawah 5 ton sehingga kurang
memenuhi skala ekonomis untuk diresigudangkan.

2.

Gudang-gudang SRG yang telah didirikan perlu dilengkapi sarana penunjang


umum seperti listrik, telepon, jalan dan keamanan. Gudang ini juga perlu

LAPORAN AKHIR

Bab VI -64

dilengkapi sarana penunjang khusus seperti dryer, cleaner, blower, pengayak,


yang spesifikasinya disesuaikan dengan masing-masing komoditas. Selain itu,
perlu dikoordinasikan pembangunan sarana penguji mutu barang di daerah sentra
produksi yang belum memiliki sarana tersebut.
3.

Perlu adanya sinergitas antar lembaga pelaksana SRG seperti pengelola gudang,
lembaga pembiayaan, lembaga penjamin

mutu, pemerintah

daerah dan

pemerintah pusat dalam mengimplementasikan SRG berupa:

Pemerintah

pusat memberikan

petunjuk

teknis

operasional dalam

mengimplementasikan sistem resi gudang kepada pemerintah daerah,


pengelola gudang, lembaga penjamin mutu dan lembaga pembiayaan

Pemerintah pusat atau daerah perlu menyediakan biaya operasional


pengelolaan gudang pada awal pelaksanaan minimal selama dua tahun
sampai dengan biaya operasional dapat dibebankan kepada petani.

Pemerintah daerah berperan aktif memberikan insentif berupa biaya angkut


dari sentra produksi ke gudang SRG dalam rangka efisiensi biaya angkut
dan memutus rantai pasok pedagang pengumpul.

Pengelola gudang dan lembaga penjamin mutu perlu ditunjuk secara jelas
sehingga operasional gudang dapat berjalan. Selain itu juga peranan
pengelola gudang tidak hanya secara teknis menjaga mutu produk,
pengurusan administrasi, tetapi juga harus memberikan masukan dan
informasi kepada petani mengenai kapan harus menyimpan dan kapan
harus menjual.

Lembaga pembiayaan memfasilitasi petani untuk mendapatkan akses


pembiayaan dengan menggunakan sistem resi gudang. Selain itu waktu
pencairan kredit dapat dipercepat sehingga petani tidak menemukan
kesulitan untuk mengakses pembiayaan.

Lembaga pembiayaan, lembaga penjamin mutu dan gudang letaknya harus


berdekatan, sehingga tidak menimbulkan biaya ekstra bagi petani untuk
memanfaatkan SRG.

4.

Perlu adanya pihak yang bertindak sebagai off taker bagi komoditas yang
diagunkan untuk memberikan kepastian bagi lembaga pembiayaan dan pengelola
gudang misalnya untuk komoditas gabah dan beras, off taker-nya adalah bulog.

5.

Pengembangan sistem resi gudang di daerah dilakukan secara simultan dengan


pengembangan pasar lelang sehingga apabila tidak terdapat pihak yang bertindak

LAPORAN AKHIR

Bab VI -65

sebagai off taker, masih terdapat kepastian bahwa agunan dapat dijual dengan
harga yang layak.

LAPORAN AKHIR

Bab VI -66

DAFTAR PUSTAKA

Downey dan Erickson. 1987. Manajemen Agribisnis. Terjemahan oleh Ganda,


Rochidayat dan Sirait, Alfonsus. Jakarta: Erlangga
Hanafiah dan Saefuddin. 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia.
Jakarta
Kohls, R. L. dan J, N. Uhl. 1985. Marketing of Agricultural products. MacMilan
Publishing Company. New York
Kohls, R. L. dan W. D. Downey. 1985. Marketing of Agricultural Products. Macmilan
Publishing Company. New York
Limbong, W.M. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah
Jurusan Ilmu Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Bogor IPB
Nasution. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT Bumi Aksara
Rukmana, Rahmat. 2003. Tanaman Perkebunan: Usaha Tani Lada Perdu.Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Edisi Pertama. UUM Press. Penerbitan
Universitas Brawijaya Malang. Malang.

LAPORAN AKHIR

You might also like