Professional Documents
Culture Documents
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar belakang
1.
2.
3.
LAPORAN AKHIR
satu subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang
merupakan sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang.
5.
6.
Dengan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan analisis ini adalah untuk (i)
Mengidentifikasi permasalahan dalam mengimplementasikan SRG komoditi lada;
(ii) Menganalisis faktor kunci kesuksesan dalam SRG komoditi lada;
(iii)
Metode Penelitian
7.
LAPORAN AKHIR
ii
Namun sejak ditetapkan sebagai subyek resi gudang pada tahun 2007 hingga
saat ini belum dimanfaatkan oleh para petani. Hal ini disebabkan selain belum
tersosialisasikan dengan baik mengenai sistem resi gudang kepada para petani
lada di Provinsi Lampung, juga disebabkan sistem yang berkembang saat ini
adalah pembiayaan dengan menggunakan Collateral Management Agreement
(CMA) yang hampir serupa dengan sistem resi gudang.
10. Pelaku usaha sudah memiliki rantai pasok yang solid yang sudah terbentuk
selama bertahun-tahun. Selain itu juga, permintaan pasar yang tinggi terhadap
komoditi ini membuat komoditi tidak sempat disimpan. Selain itu juga fluktuasi
harga lada yang tinggi selama 10 tahun terakhir ini membuat para petani lada
cukup waspada terhadap perubahan pasar yang ada sehingga yang dibutuhkan
petani adalah kepastian untuk menjual komoditinya dengan harga yang layak.
11. Banyaknya lembaga yang terkait dalam implementasi sistem resi gudang yaitu
pelaku usaha baik petani, gapoktan, dll; pengelola gudang, lembaga penilai
kesesuaian,
asuransi,
pengawas
dan
lembaga
perbankan
memberikan
LAPORAN AKHIR
iii
LAPORAN AKHIR
iv
cukup lama (bisa sampai 10 tahun) tetapi jangka waktu pembiayaan relatif
singkat maksimal hanya 6 bulan. Sehingga petani memiliki kesempatan untuk
mencari pembeli atau melakukan tunda jual selama 6 bulan, setelah itu
komoditi harus dijual dalam rangka pelunasan kredit.
13. Berdasarkan analisis yang dilakukan didapat kesimpulan:
a. implementasi SRG untuk komoditi lada terutama pada daerah penelitian belum
siap baik dari sisi pelaku usaha, kelembagaan maupun sarana dan prasaran
yang digunakan.
b. Terdapat empat faktor kunci agar implementasi SRG komodti lada dapat
terwujud, yaitu adanya komitmen kepala pemerintah daerah, terintegrasinya
kelembagaan dalam satu tempat, edukasi dan sosialisasi, peningkatan
produksi dan mutu serta terdapatnya offtaker/buyer/pasar lelang.
Rekomendasi kebijakan
14. Untuk meningkatkan kesadaran petani akan manfaat SRG maka perlu dilakukan:
sosialisasi teknis pelaksanaan SRG yang melibatkan instansi terkait bukan
hanya dinas perdagangan tetapi juga dinas pertanian atau perkebunan. Selain
itu, sosialisasi perlu menghadirkan petani yang telah mendapat manfaat dari
penggunaan SRG.
penyuluhan dan pendampingan bagi petani untuk meningkatkan kualitas dan
mutu hasil produksi agar memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan untuk
masuk dalam sistem resi gudang. Hal ini juga perlu disinergikan dengan
program peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian dari lembaga
terkait.
penguatan lembaga di tingkat petani, baik dalam bentuk kelompok tani maupun
koperasi untuk mencapai skala ekonomis. Hal ini mengingat petani pada
umumnya memiliki produksi dibawah 5 ton sehingga kurang memenuhi skala
ekonomis untuk diresigudangkan.
15. Gudang-gudang SRG yang telah didirikan perlu dilengkapi sarana penunjang
umum seperti listrik, telepon, jalan dan keamanan. Gudang ini juga perlu
dilengkapi sarana penunjang khusus seperti dryer, cleaner, blower, pengayak,
yang spesifikasinya disesuaikan dengan masing-masing komoditas. Selain itu,
perlu dikoordinasikan pembangunan sarana penguji mutu barang di daerah sentra
produksi yang belum memiliki sarana tersebut.
LAPORAN AKHIR
16. Perlu adanya sinergitas antar lembaga pelaksana SRG seperti pengelola gudang,
lembaga pembiayaan, lembaga penjamin mutu, pemerintah daerah dan
pemerintah pusat dalam mengimplementasikan SRG berupa:
Pemerintah
pusat
memberikan
petunjuk
teknis
operasional
dalam
LAPORAN AKHIR
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga
laporan Analisis Implementasi Sistem Resi Gudang Komoditi Lada dapat
diselesaikan. Analisis ini dilatarbelakangi belum optimalnya pelaksanaan Sistem Resi
Gudang, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009 melalui penetapan UU
nomor 9 tahun 2006 .Hingga saat ini SRG belum terlalu dikenal oleh kalangan para
pelaku
komersial,
termasuk
kalangan
perbankan
maupun
kalangan
yang
menggunakan resi gudang itu sendiri (Induk Koperasi Unit Desa). Banyak faktor yang
menjadi penentu berkembangnya SRG antara lain: kesiapan infrastruktur, koordinasi
para stakeholder dalam sistem resi gudang dan pemilihan komoditi yang diresi
gudangkan.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sampai dengan
saat ini pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) masih terbatas pada komoditi
pangan seperti gabah, jagung dan beras serta hasil perkebunan seperti kopi dan
kakao. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, menetapkan lada sebagai salah satu
subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang merupakan
sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang.
Analisis
ini diselenggarakan
secara
swakelola
oleh
Pusat
Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim penelitian yang terdiri dari Yudha Hadian Nur
sebagai koordinator dan peneliti terdiri dari Firman Mutakin, Riffa Utama, Sri Hartini
dan Nasrun. Penelitian ini dibantu oleh tenaga ahli Indria Febriati.
Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau
dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam
kesempatan ini tim peneliti menyampaikan terima kasih terhadap semua pihak yang
membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini
dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang
sarana dan lembaga perdagangan.
LAPORAN AKHIR
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................xii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Tujuan Analisis.......................................................................................................... 4
1.3. Keluaran Analisis ...................................................................................................... 4
1.4. Dampak Analisis ....................................................................................................... 4
1.5. Ruang Lingkup .......................................................................................................... 4
1.6. Sistematika Penulisan .............................................................................................. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
2.1. Definisi dan Manfaat Sistem Resi Gudang .............................................................. 6
2.1.1. Sistem Resi Gudang Menurut Undang-Undang ............................................ 6
2.1.2. Manfaat Sistem Resi Gudang Komoditas Pertanian ..................................... 9
2.2. Deskripsi Umum dan Potensi Komoditi Lada di Indonesia .................................... 12
2.3. Kebijakan dan Sistem Tata Niaga .......................................................................... 14
2.3.1. Lembaga-Lembaga Pemasaran................................................................... 16
2.3.2. Saluran Pemasaran ...................................................................................... 17
BAB III. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 19
3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................................... 17
3.2. Kerangka Alur Kerja Analisis .................................................................................. 20
3.3. Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 21
3.4. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen ........................................................... 21
3.4.1. Studi Literatur ............................................................................................... 22
3.4.2. Kuesioner...................................................................................................... 22
3.4.3. Wawancara Mendalam ................................................................................. 23
3.4.4. Observasi Lapangan .................................................................................... 23
3.5. Metode Penentuan Sampel .................................................................................... 24
3.6. Lokasi Penelitian ..................................................................................................... 24
3.7. Metode Pengolahan Dan Analisis Data ................................................................. 24
LAPORAN AKHIR
viii
LAPORAN AKHIR
ix
LAPORAN AKHIR
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
LAPORAN AKHIR
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
LAPORAN AKHIR
xii
BAB I
PENDAHULUAN
LAPORAN AKHIR
Bab I - 1
Secara definisi Resi Gudang (Warehouse Receipt) merupakan salah satu instrument
penting, efektif dan negotiable (dapat diperdagangkan) serta swapped (dipertukarkan)
dalam sistem pembiayaan perdagangan suatu negara. Disamping itu Resi Gudang
juga dapat dipergunakan sebagai jaminan (collateral) atau diterima sebagai bukti
penyerahan barang dalam rangka pemenuhan kontrak derivative yang jatuh tempo,
sebagaimana terjadi dalam suatu Kontrak Berjangka.
Sistem Resi Gudang (SRG) yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009
melalui penetapan UU nomor 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang,
memperlihatkan bahwa SRG masih belum berkembang secara optimal. Hingga saat ini
SRG belum terlalu dikenal oleh kalangan para pelaku komersial, termasuk kalangan
perbankan maupun kalangan yang menggunakan resi gudang itu sendiri (Induk
Koperasi Unit Desa). Banyak faktor yang menjadi penentu berkembangnya SRG
antara lain: kesiapan infrastruktur, koordinasi para stakeholder dalam sistem resi
gudang dan pemilihan komoditi yang diresi gudangkan.
Menyangkut penentuan komoditi Sistem Resi Gudang, pemerintah melalui
Permendag No. 08/M-DAG/PER/2/2013 tentang Perubahan Atas Permendag No.
37/M-DAG/PER/11/2011 tentang Barang Yang Dapat Disimpan Di Gudang Dalam
Penyelengaraan Sistem Resi Gudang telah menetapkan 10 (sepuluh) komoditas yang
dapat diresigudangkan terdiri dari gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut,
jagung, rotan dan garam. Dalam Permendag tersebut dipersyaratkan komoditi yang
dapat diresigudangkan memiliki 3 (tiga) kriteria yaitu memiliki daya simpan paling
sedikit 3 (tiga) bulan, memenuhi standar mutu tertentu dan jumlah minimum komoditi
yang disimpan. Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Sistem Resi Gudang, pada
pasal 9 (1) disebutkan bahwa resi gudang dan derivatifnya dapat diperdagangkan di
bursa. Oleh karenanya kriteria barang SRG diatas perlu ditambah memiliki harga yang
berfluktuasi, tidak ada intervensi pemerintah, semata-mata atas dasar permintaan dan
pasokan, tersedia dalam jumlah yang cukup, bersifat homogen, dan tidak dimonopoli
oleh kelompok tertentu, merupakan komoditi potensial dan sangat berperan dalam
perekonomian daerah setempat dan nasional.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 sampai dengan
saat ini pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) masih terbatas pada komoditi
pangan seperti gabah, jagung dan beras serta hasil perkebunan seperti kopi dan
kakao. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, menetapkan lada sebagai salah satu
subjek sistem resi gudang, tapi sampai saat ini, tidak seluruh daerah yang merupakan
sentra produksi lada telah memanfaatkan sistem resi gudang. Berdasarkan data
LAPORAN AKHIR
Bab I - 2
Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun 2012, sebagai komoditi unggulan, lada
memiliki total produksi sebesar 75.000 metric ton pada 2012, dimana jumlah yang
diekspor mencapai 62.600 metric ton, yang terdiri dari ekspor lada hitam sebesar
49.500 metric ton, dan lada putih sebanyak 13.100 metric ton. Bukan hanya belum
memanfaatkan, bahkan Provinsi Bangka Belitung dan Lampung yang merupakan
daerah utama penghasil lada Indonesia sampai saat ini belum didirikan gudang SRG,
padahal produksi lada di kedua daerah tersebut merupakan penyumbang terbesar bagi
total produksi lada Indonesia (tabel 1,1).
Tabel 1.1. Produksi Lada Indonesia, Tahun 2008 2012
Provinsi
Bangka Belitung
Lampung
Indonesia
2008
15.601
22.311
80.422
2009
15.671
22.164
82.834
2010
18.383
22.236
83.663
2011
28.242
22.121
87.089
(ton)
2012
30.717
22.128
87.841
LAPORAN AKHIR
Bab I - 3
1.2.
Tujuan Analisis
2.
3.
1.3.
Keluaran Analisis
2.
3.
1.4.
Dampak Analisis
Hasil analisis diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
Ruang Lingkup
Dokumentasi,
guna
menganalisis
permasalahan
dalam
LAPORAN AKHIR
Bab I - 4
1.6.
Sistematika Penulisan
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
LAPORAN AKHIR
Bab I - 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sehingga memberikan kemudahan akses pasar dan transparan kepada semua pelaku
usaha dimanapun berada.
ditingkatkan, pasar lelang perlu didukung pendanaan yang lebih kompetitif melalui
pendanaan Sistem Resi Gudang. Sistem ini sesungguhnya sudah berjalan lama di
Indonesia melalui Warehouse Receipt Financing dimana PT. Sucofindo sebagai
collateral manager, dan eksportir Indonesia memperoleh kredit dari bank asing dengan
agunan komoditas. Upaya yang dilakukan adalah agar bank dalam negeri dapat
berperan dalam skema Resi Gudang.
Percontohan SRG telah diluncurkan pada bulan Maret 2003 di Makasar untuk
komoditas Kakao, melalui perjanjian tiga pihak yaitu Bank Niaga, eksportir Kakao dan
PT. Bhanda Ghara Reksa (pengelola agunan). Beberapa komoditas yang masuk
dalam percontohan Resi Gudang adalah kakao di Makasar dan kopi dan lada di
Bandar Lampung. Dalam contoh tersebut dijelaskan tentang dana kredit yang sudah
disalurkan secara akumulatif yaitu sebesar US$ 11,7 juta telah dimanfaatkan oleh
eksportir dalam sebagai modal kerja (laporan PT. Sucofindo 2010).
bukti
kepemilikan
barang
yang
menyimpan, memelihara dan mengawasi barang yang disimpan oleh pemilik barang
disebut pengelola gudang dan berhak menerbitkan Resi Gudang. Pengelola berhak
menerbitkan resi gudang untuk setiap penyimpanan barang setelah si pemilik barang
menyerahkan barangnya kepada pengelola gudang.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 6
bergerak
yang
dapat
disimpan
dalam
jangka
waktu
tertentu
dan
yang dapat disimpan di gudang untuk diterbitkan resi gudang paling sedikit memenuhi
persyaratan : a) memiliki daya simpan paling sedikit
standar mutu tertentu (Indonesia SNI); c) Jumlah minimum barang yang disimpan.
Barang yang dapat disimpan di Gudang dalam rangka Sistem Resi Gudang adalah:
a. Gabah;
b. Beras;
c. Jagung
d. Kopi
e. Kakao
f. Lada
g. Karet
h. Rumput laut
i. Rotan; dan
j. Garam
Jumlah komoditas yang ditetapkan pada permen terbaru berjumlah sepuluh
komoditas dengan memasukkan rotan sebagai subyek SRG. Pada saat peraturan
menteri No. 37/M-DAG/PER/11/2011 berlaku, maka Peraturan Menteri Perdagangan
No. 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang barang yang dapat disimpan di Gudang (delapan
komoditas) dalam penyelenggaraan SRG dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Penetapan selanjutnya tentang barang dalam rangka SRG dilakukan dengan
pertimbangan rekomendasi dari pemerintah daerah, instansi terkait, atau asosiasi
komoditas dengan tetap memperhatikan persyaratan sebagai mana disebutkan dalam
pasal 3 diatas.
Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dijelaskan secara detail yang
dimaksud dengan Resi Gudang, antara lain adalah:
1. Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,
pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang.
2. Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di
Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 7
3. Derivatif Resi Gudang adalah turunan Resi Gudang yang dapat berupa kontrak
berjangka Resi Gudang, opsi atas Resi Gudang, indeks atas Resi Gudang, surat
berharga diskonto Resi Gudang, unit Resi Gudang atau derivatif lainnya dari Resi
Gudang sebagai instrumen keuangan.
4. Gudang
adalah
semua
ruangan
yang
tidak
bergerak
dan
tidak
dapat
dipindah-pindahkan dengan tujuan tidak dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai
khusus sebagai tempat penyimpanan barang yang dapat diperdagangkan secara
umum dan memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
5. Barang adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu
tertentu dan diperdagangkan secara umum.
6. Barang Bercampur adalah barang-barang yang secara alami atau kebiasaan dalam
praktik perdagangan dianggap setara serta sama satuan unitnya dan dapat disimpan
secara bercampur.
7. Pemegang Resi Gudang adalah pemilik barang atau pihak yang menerima
pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut.
8. Pengelola Gudang adalah pihak yang melakukan usaha pergudangan, baik gudang
milik sendiri maupun milik orang lain, yang melakukan penyimpanan, pemeliharaan,
dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang serta berhak
menerbitkan Resi Gudang.
9. Hak Jaminan atas Resi Gudang, yang selanjutnya disebut Hak Jaminan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang
memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap
kreditor yang lain.
10. Menteri adalah Menteri yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan.
11. Badan Pengawas Sistem Resi Gudang yang selanjutnya disebut Badan Pengawas
adalah unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan
pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan Sistem Resi Gudang.
12. Lembaga Penilaian Kesesuaian adalah lembaga terakreditasi yang melakukan
serangkaian kegiatan untuk menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu
yang berkaitan dengan produk, proses, sistem dan/atau personel terpenuhi.
13. Pusat Registrasi Resi Gudang yang selanjutnya disebut Pusat Registrasi adalah
badan usaha berbadan hukum yang mendapat persetujuan Badan Pengawas untuk
melakukan penatausahaan Resi Gudang dan Derivatif Resi Gudang yang meliputi
pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan,
pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan informasi.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 8
14. Lembaga Jaminan Resi Gudang yang selanjutnya disebut Lembaga Jaminan
adalah badan hukum Indonesia yang menjamin hak dan kepentingan pemegang Resi
Gudang atau Penerima Hak Jaminan terhadap kegagalan, kelalaian, atau
ketidakmampuan Pengelola Gudang dalam melaksanakan kewajibannya dalam
menyimpan dan menyerahkan barang.
15. Penerima Hak Jaminan adalah pihak yang memegang atau berhak atas Hak
Jaminan atas Resi Gudang sesuai dengan Akta Pembebanan Hak Jaminan.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 9
Sistem
Resi Gudang
menurut
merupakan instrumen untuk mengatasi resiko dan akses pembiayaan bagi dunia
usaha. Menurut keterangan BAPPEBTI, Sistem Resi Gudang komoditas pertanian
dan ketahanan pangan ada beberapa pihak yang mendapat manfaat dari sistem resi
gudang diantaranya adalah : Petani, Pedagang, Pengusaha industri pengolahanan
produk jadi.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 10
2.
Mengatur sistem persediaan sesuai dengan kapasitas gudang yang dimiliki dan
kebutuhan industrinya.
3.
Mendapat jaminan
5.
LAPORAN AKHIR
Bab II - 11
Lada merupakan salah satu jenis rempah yang sudah dikenal sejak jaman
dahulu kala. Theoprastus dari Yunani (372 387 SM) sudah mengenal dua jenis Lada
yaitu Piper nigrum (Lada Hitam) dan Piper longum. Tahun 600 1500 para pedagang
Arab mengangkut biji Lada dari pantai Malabar di India. Hubungan perdagang lada
antara Jawa dan Cina tercatat mulai tahun 1500, dan bangsa-bangsa Eropa antara lain
Inggris, Spanyol, Portugis dan Belanda menjajah bangsa-bangsa di Asia termasuk
Indonesia antara lain disebabkan oleh komoditi rempah dan obat termasuk Lada.
Di Indonesia pada masa penjajahan Belanda tanaman Lada pernah menjadi
komoditas ekspor utama, tercatat antara tahun 1930 1938 rata-rata ekspor Indonesia
meliputi 50.000 ton per tahun. Pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1980 s.d saat
ini rata-rata ekspor pertahun hanya sekitar 30.000 ton. Penghasil Lada di Indonesia
antara lain Lampung, Bangka dan Kalimantan Barat.
Lada (Piper nigrum Linn) merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang
berasal dari Ghat Barat, India. Kurang lebih 80% hasil lada Indonesia merupakan
komoditas ekspor. Untuk dapat bersaing di pasaran dunia, peningkatan kuantitas dan
kualitas produksi lada menjadi tuntutan utama. Usaha untuk meningkatkan kuantitas
dan kualitas produksi lada nasional antara lain dilakukan dengan strategi pemanfaatan
potensi sumber daya dan pengembangan usaha tani lada. Lada atau merica
merupakan salah satu komoditas perdagangan dunia. Lada dikenal dengan sebutan
The King of Spice (Raja Rempah-Rempah) menjadi mata dagangan antar Negara
(Rukmana, 2003).
Jenis Lada
Kementerian Pertanian telah melepas beberapa varietas lada yaitu, Petaling 1,
Petaling 2, Lampung Daun Kecil (LDL), Chunuk, Natar 1, Natar 2 dan Bengkayang
dengan deskripsi Umum sebagai berikut :
1. Petaling 1
Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau,
warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak 9 bulan, ratarata buah pertandan 60 butir, persentase buah sempurna 64,8%, rata-rata hasil
produksi 4,48 ton/ha ( 2,8 kg/pohon) lada putih kering, agak tahan terhadap
penyakit kuning, agak peka terhadap busuk pangkal batang. Dapat ditanam
LAPORAN AKHIR
Bab II - 12
ditanah-tanah yang kurang subur, pada tanah yang subur di usia tua
pertumbuhannya akan lebih baik. Pemakaian tiang panjat mati dan mulsa lebih
cocok.
2. Petaling 2
Umur mulai berbunga 11 bulan, bentuk buah bulat besar, warna buah muda hijau,
warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak 8 bulan, ratarata buah pertandan 80 butir, persentase buah sempurna 66,1%, rata-rata hasil
produksi 4,80 ton/ha ( 3,0 kg/pohon) lada putih kering, agak tahan terhadap
penyakit kuning, agak peka terhadap busuk pangkal batang. Dianjurkan tanam di
tanah yang bebas penyakit busuk pangkal batang dan penyakit kuning serta tingkat
kesuburan sedang sampai tinggi. Tiang penegak mati lebih cocok.
3. Lampung Daun Kecil
Umur mulai berbunga 7 bulan, bentuk buah lonjong, warna buah muda hijau tua,
warna buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 196 hari,
rata-rata buah pertandan 73,52 butir, persentase buah sempurna 48,46%, ratarata hasil produksi 3,86 ton/ha, agak tahan terhadap penyakit kuning, toleran
terhadap busuk pangkal batang. Dapat dianjurkan untuk ditanam di daerah yang
belum mendapat serangan penyakit kuning.
4. Chunuk
Umur mulai berbunga 8 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau, warna
buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 225 hari, rata-rata
buah pertandan 66,56 butir, persentase buah sempurna 43,39%, rata-rata hasil
produksi 1,97 ton/ha, peka terhadap penyakit kuning, toleran terhadap busuk
pangkal batang. Dapat dianjurkan tana untuk dibudidayakan sebagai lada perdu.
5. Natar 1
Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau, warna
buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah masak 8 bulan, rata-rata buah
pertandan 57,3 butir, persentase buah sempurna 66,7%, rata-rata hasil produksi
4,00 ton/ha ( 2,5 kg/pohon) lada hitam kering, agak tahan terhadap penyakit
kuning, medium sampai agak tahan terhadap busuk pangkal batang. Dianjurkan
tanam di daerah yang tingkat penularan penyakit busuk pangkal batang belum
LAPORAN AKHIR
Bab II - 13
begitu tinggi. Varietas ini responsive terhadap pupuk dan cahaya. Pemangkasan
tiang panjat hidup 1 x 4 bulan, setinggi 3 meter diperlukan.
6. Natar 2
Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat hingga lonjong, warna buah
muda hijau muda, warna buah masak merah jingga, mulai berbunga s/d buah
masak 7 bulan, rata-rata buah pertandan 56 butir, persentase buah sempurna
60%, rata-rata hasil produksi 3,53 ton/ha ( 2,5 kg/pohon) lada hitam kering, agak
tahan terhadap penyakit kuning, rendah sampai peka terhadap busuk pangkal
batang. Dianjurkan tanam di daerah yang tingkat kesuburan sedang sampai tinggi,
belum ketularan penyakit busuk pangkal batang. Untuk lampung tidak boleh tiang
penegak hidup terlalu rimbun daunnya. Tiang penegak harus dipangkas 1 x 4
bulan, setinggi 3 meter.
7. Bengkayang
Umur mulai berbunga 10 bulan, bentuk buah bulat, warna buah muda hijau muda,
warna buah masak kuning kemerahan, mulai berbunga s/d buah masak 189 hari,
rata-rata buah pertandan 85,22 butir, persentase buah sempurna 68,30%, rata-rata
hasil produksi 4,67 ton/ha, toleran terhadap penyakit kuning, toleran terhadap
busuk pangkal batang, dapat dianjurkan untuk ditanam di daerah yang kurang
subur. Memakai tiang panjat mati dan mulsa lebih baik
2.3 Kebijakan dan Sistem Tata Niaga
Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan ekspor lada sangat mempengaruhi
tataniaga lada ditingkat petani/pemungut, dan juga berdampak pada perkembangan
industri pengolahan lada menjadi berbagai produk siap pakai. Untuk menganalisis
tataniaga lada disentra-sentra produksi serta keterkaitan keseluruh perdagangan lada
Indonesia serta fungsi-fungsi pemasaran yang berperan terhadap pengembangan
komoditas ini digunakan pendekatan fungsi, kelembagaan dan perilaku pemasaran:
Khols dan Uhl (1985) menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis sistem
pemasaran yaitu :
A. Pendekatan Fungsi (The Fungsional Approach)
Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi pemasaran apa
saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam pemasaran lada. Fungsifungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
LAPORAN AKHIR
Bab II - 14
pengumpul,
pedagang
pengecer,
pedagang
spekulatif,
agen,
Pemasaran pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk kegiatan dan usaha
yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan hak fisik dari barang-barang
hasil kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen, termasuk
didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari
barang untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi
kepada konsumen (Limbong dan Sitorus, 1997).
LAPORAN AKHIR
Bab II - 15
2.3.1
Lembaga-Lembaga Pemasaran
barang
dari
produsen
sampai
tingkat
konsumen
melalui
beberapa
b. Pedagang besar yaitu pedagang yang membeli dari pedagang pengumpul dalam
partai besar dan mendistribusikan ke setiap pedagang pengecer ataupun ke pasar.
c. Pengecer yaitu pedagang yang membeli barang dari pedagang besar dan
mendistribusikanya barang secara langsung ke konsumen akhir.
Menurut Sudiono (2001), lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap
komoditas yang diperjual belikan dapat dibedakan atas tiga :
a. Lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda, seperti agen, makelar (broker,
selling broker, buying broker).
b. Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditas-komoditas pertanian yang
diperjual-belikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir.
c. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai komoditas-komoditas
pertanian yang diperjual-belikan. Seperti perusahaan yang menyediakan fasilitasfasilitas trasnportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu kualitas produk
pertanian (surveyor).
LAPORAN AKHIR
Bab II - 16
menjelaskan
fungsi-fungsi
pemasaran.
Beberapa
faktor
yang
harus
LAPORAN AKHIR
Bab II - 17
LAPORAN AKHIR
Bab II - 18
BAB III
METODE PENELITIAN
LAPORAN AKHIR
Bab III - 19
asuransi, pengujian mutu, bunga bank dan sebagainya. Kemudian yang tidak kalah
penting adalah struktur pasarnya. Pasar yang pembelinya dikuasai oleh segelintir
pemain, ini akan menyulitkan jalannya sistem SRG.
Untuk faktor ketepatan komoditi yang terdiri lama disimpan, penyususutan dan
mutu produk merupakan faktor penting. Kemampuan lama disimpan dan kecilnya
penyusutan merupakan faktor utama produk dapat diresigudangkan. Produk yang tidak
tahan lama dan mudah susut kemungkinan akan merugi kalau produk lama disimpan
produk akan rusak.
Bagi komoditi lada secara komoditi dapat dikatakan sudah memenuhi syarat
karena relatif tahan lama disimpan dengan penyusutan yang relatif kecil. Selain itu
kandungan kadar air yang dipersyaratkan bagi SRG realtif mudah dipenuhi petani.
Kemungkinan yang menjadi penyebab belum berjalannya SRG lada berada pada
fluktuasi harga yang tidak terpola, perilaku petani dalam memasarkan produknya dan
kesiapan kelembagaannya. Kelembagaan terkait dengan SRG dapat disiapkan dan ini
trgantung juga dari komitmen pemerintah daerah.
LAPORAN AKHIR
Bab III - 20
2. Analisis Faktor
Penghambat dan
Pendukung
Komoditi
Lada
sebagai
subjek resi
gudang
Anggota /pelaku
distribusi
Lembaga terkait dan
penunjang
Informasi Harga
Jumlah produksi
Kualitas Komoditi
Potensi
Perdagangan
Pelaku distribusi
Jenis Produk
olahan
Struktur pasar
Lembaga terlibat
Harga
Gambaran
Kondisi
pasar fisik
komoditas
Faktor
Kunci
Sukses
Implemen
tasi SRG
Komoditi
Lada
3. Analisis manfaat
Ekonomi
pelaku-pelaku pasar
pergerakan harga
dunia
kelayakan ekonomi
penyimpanan
LAPORAN AKHIR
Bab III - 21
LAPORAN AKHIR
Bab III - 22
Wawancara akan dilakukan pada pelaku usaha hulu dan hilir dari
tidak
memungkinkan
LAPORAN AKHIR
Bab III - 23
pertimbangan bahwa kedua daerah ini merupakan sentra penghasil lada di Indonesia.
Dalam
penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan sisi proses dimana manusia menjadi
bagian penting.
terhadap orang yang berada pada situasi tertentu. Analisis kualitatif deskriptif adalah
LAPORAN AKHIR
Bab III - 24
analisis yang menggambarkan suatu data yang akan dibuat baik sendiri maupun
secara kelompok. Tujuan dari analisis deskriptif untuk membuat gambaran secara
sistematis data yang faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki atau diteliti (Riduwan dan Akdon, 2008). Ada empat tahap
analisis data yang diselingi dengan pengumpulan data yakni analisis domein, analisis
taksonomi, analisis komponen dan analisis tema. Analisis domein dilakukan terhadap
data yang diperoleh dari pengamatan, wawancara atau analisis deskriptif yang
terdapat dalam catatan lapangan. Analisis taksonomi dilakukan setelah selesai analisis
domein dengan pengamatan dan wawancara terfokus melalui pengajuan pertanyaan
kontras. Sedang analisis komponen adalah mengidentifikasi seluruh kontras yang telah
ditemukan, mengidentifikasikan dimensi kontras, menggabungkan dimensi kontras
yang berkaitan erat menjadi satu, menyiapkan pertanyaan kontras untuk ciri yang tidak
ada dan mengadakan pengamatan terpilih. Terdapat pula menyebutkan melakukan
proses triangulasi yakni menarik kesimpulan-kesimpulan yang sama dari informan
berbeda, dan mencari keberbedaan sehingga diperoleh kesimpulan yang menyeluruh.
Pada kajian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber data dan teknik
pengumpulan data.
Triangulasi sumber data yaitu penggunaan beragam sumber data dalam suatu
kajian. Sebagai contoh, beberapa informan ditanya pertanyaan yang sama terkait
dengan suatu permasalahan yang diteliti. Pertanyaan tersebut bertujuan untuk
mendapatkan jawaban atau pandangan yang sama terkait permasalahan yang
ditanyakan, sehingga meningkatkan pemahaman peneliti terkait dengan permasalahan
tersebut. Dalam kajian ini, setiap informan dari dinas terkait dan pelaku usaha ditanya
hal yang sama terkait berbagai kemungkinkan implementasi komoditas lada masuk
menjadi
resi
gudang
dengan
berbagai
kemungkinan
terkait
persiapan.
LAPORAN AKHIR
Bab III - 25
3.7.2.
pelaku pasar, pelaku utama, pelaku penunjang, atau pendukung dengan fungsi dan
peran masing-masing yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada terbentuknya
harga komoditas.
LAPORAN AKHIR
Bab III - 26
BAB IV
PROFIL KOMODITI LADA DI DAERAH
Lada atau dalam bahasa Latinnya Piper Nigrum, adalah sejenis tanaman
merambat yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai bumbu makanan. Lada
dipasarkan dalam dua jenis yaitu lada hitam dan lada putih. Pada dasarnya, kedua
jenis lada tersebut berasal dari tanaman yang sama, namun perbedaannya terdapat
pada prosesnya. Untuk menghasilkan lada putih, buah dipetik pada saat buah matang,
kemudian dicuci dengan menggunakan air yang mengalir. Sementara itu, untuk
menghasilkan lada hitam, pemetikan buah dilakukan pada saat buah masih hijau,
kemudian dikeringkan dengan menggunakan terik matahari sampai warnanya berubah
menjadi hitam dan setelah itu direndam dengan air sampai kulitnya mudah terkelupas.
Propinsi yang penghasil lada hitam adalah Lampung, sedangkan yang menghasilkan
lada hitam adalah Bangka Belitung.
Terkait dengan Sistem Resi Gudang Lada, keberhasilan pelaksanaannya
sangat ditentukan oleh berbagai variabel diantaranya perkembangan harga, kontinuitas
pasokan, mutu komoditi, kesiapan kelembagaan dan sebagainya. Bab ini akan
menjelaskan lebih detail mengenai profil komoditi lada termasuk perkembangan
produksi dan harga lada di dua daerah penelitian yakni Propinsi Bangka Belitung dan
Lampung.
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 27
semenjak tahun 2006 budidaya lada mulai bergairah kembali, ditandai dengan
semakin meningkatnya luas areal perkebunan lada dan sampai dengan tahun 2012
luas areal perkebunan lada telah mencapai 34.379 hektar.
Masa surutnya perkebunan lada di Propinsi tersebut dipengaruhi oleh banyak
faktor baik faktor eksternal maupun faktor internal. Salah satu faktor internal penyebab
menurunnya produksi lada Bangka Belitung adalah adanya kebijakan Pemerintah
setempat melalui Perda No. 6 tahun 2001 Tentang Pengelolaan Pertambangan
Umum, dimana disebutkan bahwa usaha pertambangan dapat dikelola oleh
perorangan. Dampak dari kebijakan tersebut adalah meningkatnya pertumbuhan
usaha pertambangan perorangan yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga
petani lada khususnya buruh dan petani kecil banyak beralih menjadi buruh tambang
dikarenakan pendapatan yang diperoleh lebih besar dan upah dapat diperoleh setiap
hari. Sementara itu untuk mendapatkan penghasilan dari lada membutuhkan waktu
relatif lama. Oleh karena itu, banyak perkebunan lada yang tidak lagi dimanfaatkan
sehingga luas areal perkebunannya berkurang.
Menyusutnya areal perkebunan lada selain dikarenakan penggunaan lahan
untuk penambangan timah, juga banyak perkebunan lada yang beralih fungsi menjadi
perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola oleh perusahaan besar maupun oleh
rakyat. Berdasarkan data dari Tribun News.com, Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan
kelapa sawit di Propinsi Bangka Belitung mencapai 252.902 hektar yang tersebar di
berbagai daerah baik di Pulau Bangka maupun di Belitung. Tercatat perkebunan sawit
terbanyak berada di Kabupaten Bangka Selatan yang juga sebagai sentra perkebunan
lada sehingga secara otomatis bergesekan dengan areal perkebunan lada. Sementara
itu perkebunan sawit milik rakyat diwilayah Bangka Belitung juga cukup luas yaitu
mencapai 57.668 hektar.
Namun demikian, dalam beberapa tahun belakangan ini, tepatnya sejak tahun
2006, produksi lada di Propinsi tersebut menunjukkan kecenderungan yang
meningkat, walaupun produktivitasnya menurun. Luas lahan perkebunan lada pada
tahun 2006 tercatat seluas 11.654 hektar dengan produksi 26.369 ton, kemudian pada
tahun 2010 meningkat menjadi 18.472 hektar dengan produksi 36.569 ton dan tahun
2012 meningkat lagi menjadi 34.379 hektar dengan produksi sebesar 45.066 ton.
Peningkatan luas areal perkebunan lada tersebut kemungkinan besar
disebabkan oleh ketertarikan petani untuk meningkatkan usaha tani ladanya
sehubungan dengan adanya perkembangan harga yang meningkat secara signifikan.
Harga lada di bulan Januari tahun 2011 ditingkat konsumen sebesar Rp 70.000/kg,
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 28
kemudian pada bulan Desember tahun 2013 meningkat sekitar 70% sehingga menjadi
Rp 120.000/kg.
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Produksi (ton)
26.369
35.842
33.739
37.041
36.569
36.165
45.060
Luas (Ha)
11.654
16.424
15.671
15.601
18.472
28.241
34.379
2,26
2,18
2,15
2,37
1,98
1,28
1,31
Produktivitas
Ektensifikasi yaitu dengan menambah areal pertanaman baru pada tanah yang
sesuai dengan pertanaman lada.
b.
c.
d.
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 29
e.
Penguatan
kelembagaan
melalui
penguatan
kelompok
tani
agar
dapat
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 30
Tabel 4. 2. Luas Areal dan Produksi Lada di Bangka Belitung Tahun 2012
Kabupaten
Luas (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
Bangka
3.326
2.813
118
Belitung
7.610
5.255
144
Bangka Barat
7.358
6.167
193
Bangka Tengah
2.347
916
256
Bangka Selatan
21.141
16.789
123
3.282
2.441
134
45.065
34.379
151
Bangka Timur
Pangkal Pinang
Total
Perkembangan Harga
Perkembangan harga lada di Propinsi Bangka Belitung selalu berfluktuasi.
Fluktuasi harga tersebut menunjukkan pola yang tidak menentu sebagaimana pola
fluktuasi pada harga tanaman pangan/padi. Biasanya, harga padi pada musim panen
cenderung lebih rendah dan sebaliknya pada musim paceklik harga padi meningkat,
dan hal ini terjadi hampir di sepanjang tahun. Sementara itu, fluktuasi harga untuk
komoditi lada tidak terpola sehingga pada saat musim panen belum tentu harganya
menurun.
Musim panen lada biasanya terjadi di bulan Juli sampai dengan September.
Logikanya pada periode tersebut harga lada akan menurun secara signifikan, namun
yang terjadi harga lada justru meningkat pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 relatif
stabil (Lihat gambar 4.1). Sementara itu pada tahun 2013 pada saat musim panen
harga menunjukkan sedikit penurunan.
Dengan pola fluktuasi harga yang relatif tidak terpola sepanjang tahun,
menjadikan komoditi tersebut kurang menarik untuk diresigudangkan bagi petani
apalagi berdasarkan informasi dari BP3L untuk saat ini produk lada relatif langka
sehingga pemasarannya menjadi mudah dengan harga yang relatif tinggi. Budaya
untuk menyimpan komoditi lada sebenarnya sudah dilakukan oleh sebagian petani,
namun penyimpanannya digudang milik sendiri/di rumah sehingga tidak mengeluarkan
biaya, sementara itu untuk menyimpan lada di gudang SRG membutuhkan biaya.
Fluktuasi harga lada relatif sulit diprediksi karena sebagian besar hasil produksi
lada Indonesia (lebih dari 50%) diekspor ke luar negeri, sehingga harga di dalam
negeri sangat dipengaruhi oleh harga lada di pasar internasional. Sebagaimana
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 31
diketahui bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara penghasil lada di dunia, akan
tetapi banyak negara lainnya yang menghasilkan lada seperti China, Vietnam, Brazil
dan Malaysia.
Disisi lain, petani lada di Bangka Belitung memiliki budaya untuk tidak langsung
menjual hasil panennya. Pada saat panen dan harganya tidak menarik, mereka
cenderung menyimpan produknya dan mereka akan menjual produk yang disimpan
jika harganya sudah meningkat. Petani yang biasa melakukan penyimpanan hasil
panen ladanya biasanya adalah petani yang memiliki diversifikasi usaha atau yang
memilliki usaha dengan skala.
Gambar 4.1. Grafik Perkembangan Harga Lada Di Babel Tahun 2011 - 2013
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 32
SRG kalau selisih penurunan dan kenaikan harga lada dalam 1-2 bulan di atas biaya
penyimpanan tersebut dan sebaliknya.
Tabel 4.3. Perkembangan Harga Lada Di Babel Pada Tingkat Pedagang Besar
Tahun 2011-2013
Bulan
2011
2012
2013
Januari
Februari
50.350 ( + ) 83.160 ( - )
Maret
April
Mei
Juni
58.012 ( + ) 83.910 ( - )
87.411 ( + )
Juli
57.887 ( - ) 83.770 ( - )
84.759 ( - )
Agustus
September
Oktober
November
72.700 ( + ) 84.750 ( - )
Desember
98.600 ( + )
85.000 ( - )
4.2. Lampung
Seperti halnya lada putih di Propinsi Bangka Belitung, produksi lada hitam di
Propinsi Lampung juga mengalami perkembangan yang pasang surut. Surutnya
perkebunan lada biasanya disebabkan oleh jatuhnya harga komoditi tersebut sehingga
petani sudah enggan untuk meremajakan tanamannya, produksi lada yang ada hanya
dihasilkan dari tanaman yang umurnya sudah tua dengan produktivitas rendah.
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil lada hitam terbesar di
Indonesia dengan area potensial tanaman lada terletak di berbagai wilayah.
Dalam lima tahun terakhir, produksi lada di Lampung terlihat masih mengalami
naik turun, namun semenjak tahun 2011 mengalami peningkatan yang diakibatkan
oleh meningkatnya gairah petani untuk menanam lada seiring dengan meningkatnya
harga lada secara signifikan. Produksi lada selama lima tahun terakhir mengalami
penigkatan yang terjadi pada tahun 2009 dan 2013.
Seiring dengan perkembangan harga yang membaik dan didukung oleh
kebijakan Pemerintah Daerah yang dituangkan melalui Program Kejayaan Lada
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 33
Lampung, diharapkan pada beberapa tahun kedepan produksi lada Lampung terus
meningkat apalagi lada Lampung dikenal memiliki keunikan aroma dan rasa yang tidak
dimiliki oleh daerah lain. Program yang dikembangkan oleh pemerintah daerah antara
lain mengembangkan cagar budaya lada lampung yang dilakukan di Kabupaten
Lampung Timur. Melalui program tersebut diharapkan lada lampung menjadi terkenal
di berbagai daerah. Program pengembangan lada lainnya yang cukup dikenal adalah
Model Economic Circle. Pengembangan model ini bertujuan untuk memandirikan
petani dari hulu sampai hilir, dari produksi sampai pengolahan hasil dan pemasaran.
Dalam hal ini petani lada juga mendapat bantuan ternak sapi, hasil sampingannya
berupa kotoran sapi dapat digunakan sebagai pupuk organik. Bantuan ternak sapi
tersebut dikenal sebagai program diversifikasi produk petani lada.
Tabel 4.4. Perkembangan Produksi Lada Propinsi Lampung Tahun 2009-2012
Tahun
Produksi (ton)
2008
22.164
2009
23.343
2010
22.725
2011
21.905
2012
23.005
Kabupaten
Lampung Barat
9.447
14,8
Lampung Selatan
223
0,35
Lampung Tengah
610
0,95
Lampung Timur
LAPORAN AKHIR
8.266
12,95
Bab IV - 34
Lampung Utara
Pesawara
23.752
37,23
687
1,07
Tanggamus
6.246
9,79
Pring Sewu
2.312
3,62
Tulang Bawang
166
0,26
10
Way kanan
12.081
18,94
Total
63.790
100
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 35
Bulan
2010
2011
2013
Januari
Februari
22.250 ( + ) 35.000 ( - )
Maret
April
22.400 ( - ) 36.188 ( - )
Mei
Juni
LAPORAN AKHIR
54.000 ( + )
54.000 ( + )
Bab IV - 36
Juli
23.500 ( t )
41.362 ( + )
54.150 ( + )
Agustus
24.000 ( + ) 27.375 ( - )
57.700 ( + )
September
Oktober
Nopember
23.500 ( t )
60.250 ( - )
72.000 ( + )
Desember
23.330 ( - ) 50.850 ( - )
76.150 ( + )
LAPORAN AKHIR
Bab IV - 37
BAB V
ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG
5.1
sub bab ini akan dibahas kesiapan komoditi lada sebagai subyek SRG. Kesiapan
komoditi lada sebagai subyek SRG dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT
dan sistem penyimpanan.
5.1.1
Analisis SWOT
Analisis situasi industri Lada pada provinsi Lampung dan provinsi Bangka
LAPORAN AKHIR
Bab V - 38
Kelemahan
Faktor
Pasokan
Keterangan
1. Indonesia masih termasuk 5 besar negara penghasil lada
terbesar di dunia. Peringkat dua setelah Vietnam.
2. Kontribusi lada Indonesia terhadap kebutuhan lada dunia
berkisar 23 36% per tahunnya
3. Provinsi Bangka Belitung sebagai provinsi penghasil lada putih
terbesar di Indonesia dengan hasil produksi 31.195 ton per
tahun pada tahun 2013.
4. Provinsi Lampung sebagai penghasil lada hitam terbesar di
Indonesia dengan jumlah produksi sebsar 22.244 ton per tahun
pada tahun 2013.
5. Telah memiliki jejaring petani pemungut hingga pengumpul
untuk masing-masing perusahaan pengolahan bahan baku atau
eksportir
6. Lada Indonesia memiliki keunggulan dalam hal rasa yang tidak
dimiliki oleh negara lain
Sumber
Daya dan
SDM
Lembaga
Fasilitas
Pasokan
LAPORAN AKHIR
Bab V - 39
SWOT
Ancaman
Peluang
Faktor
Keterangan
lainnya khususnya tambang dan perkebunan.
4. Modal kerja, mengingat semua kebutuhan pemungutan Lada
oleh pemungut harus dipenuhi dan hasil pemungutan dibayar
kontan.
5. Tanaman lada baru dapat dipanen setelah 2-3 tahun dan hanya
terjadi panen raya satu kali dalam setahun yaitu antara bulan
Juli September.
6. Karena 100% merupakan perkebunan rakyat, maka seringkali
tidak terjadi peremajaan tanaman lada.
Sumber
Daya
Manusia/
SDM
Fasilitas
Pesaing
Produsen dan eksportir lada hitam terbesar saat ini adalah Vietnam
dengan biaya produksi yang lebih rendah daripada Indonesia
Penyakit
dan Hama
Penyakit dan hama menjadi musuh utama bagi tanaman lada yang
dapat menyebabkan gagal panen
Alih fungsi
Pasar
5.1.2
SISTEM PENYIMPANAN
Baik lada putih maupun lada hitam, memerlukan perlakuan yang baik untuk
menjaga mutu dan kualitas lada. Untuk itu, penyimpanan lada harus dilakukan dengan
baik dan benar sebagai berikut (Deptan, 2009):
LAPORAN AKHIR
Bab V - 40
1. Lada harus disimpan di tempat yang bersih, kering dengan ventilasi udarayang cukup,
diatas bale-bale atau lantai yang di tinggikan, ditempat yangbebas dari hama seperti
tikus dan serangga.
2. Lada tidak boleh disimpan bersama dengan bahan kimia pertanian atau pupukyang
mungkin dapat menimbulkan kontaminasi. Tempat penyimpanan ladaharus mempunyai
ventilasi yang cukup tetapi bebas dari kelembaban yangtinggi.
3. Lada yang disimpan harus diperiksa secara berkala untuk mendeteksi adanyagejala
kerusakan karena hama atau kontaminasi.
Syarat-Syarat Penyimpanan
Lada sangat membutuhkan ketepatan proses pengeringan. Lada harus memenuhi kadar air di
bawah 12% atau bila digigit dapat pecah menjadi 6. Lada yang sudah kering dapat dikemas di
dalam kantong yang dilapisipolythene untuk mencegah penyerapan air. Atau lada kering yang
sudah bersih dapat dikemas dalam kantong yang bersih dan kering atau kemasan lain yang
cocok untuk penyimpanan dan pengangkutan seperti karung goni atau sejenisnya. Kantong
untuk lada harus diperhatikan kebersihannya agar lada tidak terkontaminasi, khususnya yang
disebabkan
Penyimpanan lada yang kurang baik mengakibatkan mutu dan kualitas lada menurun.
Dengan demikian, manajemen gudang dan pengetahuan mengenai komoditi lada perlu
dikuasai oleh Perusahaan Pengelola Gudang.
5.1.3
10 tahun terakhir (2004 2014) yang disebabkan karena terjadinya penurunan harga secara
drastis pada tahun 1999 2006 meskipun pada tahun 2007 2008 sempat mengalami
peningkatan, tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan kembali membuat banyak petani
lada baik lada putih maupun lada hitam mengalihkan areal perkebunannya menjadi areal
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Bangka Belitung dan areal perkebunan kopi, coklat,
singkong di Provinsi Lampung. Bahkan di Provinsi Bangka, sebagian besar petani lada
meninggalkan mata pencaharian sebagai petani dan memutuskan untuk melakukan
penambangan timah.
Penurunan areal perkebunan juga diperburuk dengan adanya penurunan produktivitas
yang disebabkan tanaman lada yang sudah tua dan juga penggunaan pupuk non organik. Hal
ini membuat kontribusi ekspor lada Indonesia terhadap pasar dunia mengalami penurunan,
kalah dengan negara tetangga Vietnam. Penurunan ini juga disebabkan mutu lada yang
LAPORAN AKHIR
Bab V - 41
dihasilkan di tingkat petani cenderung rendah bahkan tidak memenuhi mutu yang disyaratkan
negara importir. Tinggi kadar kotoran dan terkontaminasi mikroorganisme yang disebabkan
proses perendaman dan pengeringan masih dilakukan secara tradisional membuat lada
Indonesia kalah secara mutu dibandingkan dengan Vietnam dan Brazil, meskipun demikian
lada Indonesia masih memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh negara lain dalam hal rasa dan
aroma.
Meskipun demikian, sejak tahun 2009, komitmen pemerintah daerah baik pemerintah
daerah Provinsi Lampung maupun Bangka Belitung untuk mengembalikan kejayaan lada di
daerahnya baik lada hitam di Provinsi Lampung maupun lada putih munthok di Provinsi Bangka
Belitung. Selain itu harga lada yang meningkat terus sejak tahun 2010 hingga saat ini membuat
petani lada kembali berminat untuk menanam lada yang diharapkan dapat meningkatkan hasil
produksi. Areal perkebunan yang sebelumnya digunakan untuk tanaman perkebunan lainnya,
sedikit demi sedikit mulai tergantikan oleh lada terutama di Kabupaten Lampung Timur sebagai
daerah penghasil lada di Provinsi Lampung. Sedangkan untuk Provinsi Bangka Belitung,
karena sebagian besar areal sudah digunakan untuk penambangan timah, maka penambahan
luas areal perkebunan sangat sulit dilakukan. Tetapi dengan adanya penelitian dan BP3L di
Provinsi Bangka Belitung membuat proses produksi dan pasca panen semakin baik sehingga
produktivitas semakin tahun semakin meningkat dengan mutu yang memenuhi standar.
Meskipun kalah dengan Vietnam, Indonesia masih menjadi negara eksportir kedua
terbesar dengan peningkatan ekspor pada tahun 2012 sebesar 75% secara kuantitas dan
101% secara nilai ekspor. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan produksi yang tajam pada
tahun 2012 sebesar 83% untuk lada hitam dan 18% untuk lada putih.
Berdasarkan analisis kesiapan dari sisi komoditi maka komoditi lada dinyatakan siap
untuk diimplementasikan untuk resi gudang di Indonesia. Selain fluktuasi harga yang tinggi
untuk periode 8 10 tahunan, komoditi lada Indonesia yang sebagian besar diekspor
membutuhkan resi gudang untuk memberikan modal kerja kembali kepada petani karena lada
baru dapat dipanen setelah 2-3 tahun dan hanya mengalami panen raya selama satu kali yaitu
pada bulan Juli September setiap tahunnya.
5.2
ANALISIS
IMPLEMENTASI
SRG
KOMODITI
LADA
PADA
DAERAH
PENELITIAN
5.2.1
Landasan Berpikir
Menjadikan Lada sebagai Subjek Resi Gudang didasarkan pemikiran strategik
agar nilai komoditi masih berarti dan terhindarnya petani dari kerugian akan jatuhnya
harga serta dapat menjadikan obyek sebagai agunan untuk memperoleh modal kerja.
Surat atau Resi Gudang menjadi berharga atau menjadi surat berharga untuk
melakukan transaksi dengan lembaga keuangan. Harga lada yang berfluktuasi 10
tahunan membawa ancaman tersendiri bagi petani lada. Fluktuasi harga yang tinggi
LAPORAN AKHIR
Bab V - 42
selama 20 tahun terakhir terutama periode 1999 2006 membuat minat petani untuk
bertanam lada menurun bahkan hilang sama sekali. Namun kenaikan harga lada yang
stabil dari tahun 2007 hingga saat ini, membuat minat petani untuk bertanam bangkit
kembali. Di sisi lain adanya komitmen pemerintah daerah baik Provinsi Lampung
maupun Provinsi Bangka Belitung untuk mengembalikan kejayaan lada baik lada hitam
atau lada putih Indonesia seperti dahulu, menjadikan komoditi lada merupakan salah
satu komoditi yang menjanjikan.
BerdasarkanPeraturan Menteri Perdagangan No. 26/M-DAG/PER/6/2007,Lada
telah dinyatakan sebagai Subyek dalam Resi Gudang. Dengan demikian, lada yang
disimpan dalam gudang SRG dapat dijadikan sebagai agunan dengan menggunakan
resi gudang.Resi gudang komoditi lada memungkinkan terwujudnya pasar komoditi
berjangka lada dan sekaligus memberikan manfaat bagi petani.
Namun sejak ditetapkan sebagai subyek resi gudang pada tahun 2007 hingga
saat ini belum dimanfaatkan oleh para petani. Hal ini disebabkan selain belum
tersosialisasikan dengan baik mengenai sistem resi gudang kepada para petani lada di
Provinsi Lampung, juga disebabkan sistem yang berkembang saat ini adalah
pembiayaan dengan menggunakan Collateral Management Agreement (CMA) yang
hampir serupa dengan sistem resi gudang. Berikut ini adalah ada analisis berpikir dari
sudut pandang pelaku usaha.
Komoditi Lada sebagai komoditi usaha masih dipandang tepat untuk pasar fisik
konvensional dimana terjadi transaksi langsung pembeli dan penjual. Ketika dijadikan
produk berjangka dengan memenuhi syarat minimum 3 bulan masa simpan di gudang,
kondisi tersebut dinilai :
1) Opportunity lost
2) Short term based (produk tidak sempat disimpan), jumlah produksi yang ada saat ini
langsung terserap pasar.
3) Ketidaksesuaian permintaan danpenawaran dimana permintaan bahan baku lebih tinggi
daripada penawaran bahan baku
4) Belum adanya role model dari petani lainnya yang merasakan manfaat penggunaan sistem
resi gudang untuk komoditi lada.
5) Meskipun komoditi lada sudah memiliki SNI Lada, namun dalam prakteknya penilaian mutu
komoditi sesuai dengan permintaan buyer.
Dengan kata lain landasan berpikir konseptual Resi Gudang untuk Lada belum
sesuai simetris dengan landasan berpikir pelaku. Pelaku usaha sudah memiliki rantai
pasok yang solid yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Selain itu juga,
permintaan pasar yang tinggi terhadap komoditi ini membuat komoditi tidak sempat
LAPORAN AKHIR
Bab V - 43
disimpan. Selain itu juga fluktuasi harga lada yang tinggi selama 10 tahun terakhir ini
membuat para petani lada cukup waspada terhadap perubahan pasar yang ada
sehingga yang dibutuhkan petani adalah kepastian untuk menjual komoditinya dengan
harga yang layak.
5.2.2
Peraturan Menteri
Aspek legalitas telah kuat terdiri dari Undang-Undang No.9 Tahun 2006 tentang Sistem
Resi Gudang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. Tahun 2011,
Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan, Peraturan Menteri
PerdaganganNo. 37/M-DAG/PER/11/2011 tentang barang yang dapat disimpan di gudang
dalam penyelenggaraan sistem Resi Gudang.
2.
Berdasarkan butir 1 dimaksud, sejumlah pelaku usaha memandang apa yang dilakukan
pemerintah sebagai pemikiran strategik dalam:
a. Melindungi komoditi Lada dan diperolehnya nilai tambah bagi Negara.
b. Kesatuan antara industri dan perdagangan dalam menguatkan Industri Nasional.
c. Penatakelolaan perdagangan yang memberikan manfaat bagi petani yang selama ini
termarginalisasikan.
d. Terdapatnya landasan hukum bagi perdagangan komoditi berjangka.
e. Terpelilharanya kepemilikan kompetensi dan komoditi dalam hal perkebunan lada yang
dalam hal tertentu hanya terdapat di Indonesia.
3.
Aspek legalitas tersebut telah mencakup peran dan fungsi masing-masing lembaga yakni
pelaku, pengelola gudang, penjamin, pengawas dan mekanismenya.
4.
Kelemahan dari aspek legalitas adalah banyaknya lembaga yang terkait dalam
implementasi sistem resi gudang yaitu pelaku usaha baik petani, gapoktan, dll; pengelola
gudang, lembaga penilai kesesuaian, asuransi, pengawas dan lembaga perbankan.
Kelembagaan yang banyak ini di satu sisi merupakan kelemahan tetapi di sisi lain
merupakan kekuatan dari sistem resi gudang karena memberikan kepastian hukum.
5.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 44
memahami operasionalisasi dari sistem resi gudang untuk komoditi lain selain gabah dan
beras.
5.3
pada pihak yang termarginalkan agar diperoleh manfaat ketika produk ditahan untuk dijual
kemudian, dengan peluang mendapatkan dana. Ditinjau dari kepemilikan, lada pada dasarnya
miliki petani. Jadi petani dipandang sebagai pihak yang tepat untuk melakukan Resi Gudang,
dengan catatan ia adalah pemilik Lada tersebut. Pengumpul perorangan atau kelompok usaha
bisa sebagai pihak yang diberi izin, dan karenanya menjadi pemilik Lada.
Namun, menurut Undang-undang No. 9 Tahun 2011, tidak hanya dapat digunakan
oleh skala kecil saja (petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi) saja tetapi
juga dapat digunakan oleh pelaku usaha skala menengah dan besar (pedagang, prosesor,
eksportir dan perusahaan perkebunan). Meskipun diprioritaskan bagi pada petani dengan
tujuan agar dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan oleh para
petani, serta menetapkan strategi jadwal tanam dan pemasarannya.
Hal ini terbukti dari hasil lapangan yang menyatakan bahwa kredit resi gudang yang
selama ini berjalan adalah berdasarkan Collateral Management Agreement (CMA) yang banyak
dilakukan oleh para eksportir dan pelaku usaha skala besar. Perbedaan kredit resi gudang
berdasarkan UU Resi Gudang No. 9 Tahun 2006 (SRG) dengan CMA dapat dilihat pada tabel
5.2 berikut.
Kredit resi gudang yang diberikan kepada petani atau pelaku usaha skala kecil
mendapatkan fasilitas subsidi bunga. Sedangkan kredit resi gudang yang berikan kepada
pelaku usaha skala menengah dan besar tidak mendapatkan subsidi bunga. Manfaat yang
diperoleh adalah para pelaku usaha dapat menjadikan komoditi yang disimpan dalam gudang
SRG menjadi agunan demi kebutuhan modal kerja.
Dengan demikian, berdasarkan dari pihak yang memerlukan kredit resi gudang, maka
baik pelaku usaha skala kecil (petani, kelompok tani, gapoktan) maupun skala menengah
(pengumpul desa, pengumpul kabupaten) bahkan skala besar (eksportir dan pengusaha besar)
menyambut baik adanya sistem resi gudang ini. Namun dalam implementasinya, tentunya
pelaku usaha berhitung permasalahan biaya dengan membandingkan sistem resi gudang
dengan CMA yang selama ini telah berjalan ataupun sistem nota titip yang selama ini berjalan.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 45
Kelembagaan
Pemilik
barang,
Pengelola
gudang,
Lembaga
penilai
kesesuaian, Asuransi, Pengawas
dan Lembaga Pembiayaan
Proses Pembiayaan
LAPORAN AKHIR
CMA
Suatu skim kredit dimana bank
memberikan
fasilitas
kredit
modal kerja kepada debitur
berdasarkan agunan yanng
berada pada suatu gudang
yang
terkontrol
secara
independen oleh pengelola
gudang.
Bersifat tripartit yaitu bank,
debitur dan pengelola gudang.
Bab V - 46
Aspek
5.4
CMA
sejumlah perangkat organisasi yakni pemilik barang, pengelola gudang, lembaga penilaian
kesesuaian mutu, lembaga keuangan, lembaga penjamin ,asuransi dan pemerintah daerah
agar sistem resi gudang khususnya komoditi lada dapat terimplementasi. Berikut adalah
kesiapan lembaga yang terkait dalam Implementasi SRG.
5.4.1
Pengelola Gudang
Pengelola gudang adalah pihak yang melakukan usaha pergudangan, baik
gudang milik sendiri maupun milik orang lain, yang melakukan penyimpanan,
pemeliharaan, dan pengawasan barang yang disimpan oleh pemilik barang serta
berhak menerbitkan resi gudang. Pengelola gudang ditunjuk dan diawasi oleh Badan
Pengawas. Dalam hal penunjukkan, pengelola gudang harus memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan dalam UU No. 9 Tahun 2006 pasal 23 tentang Sistem Resi
Gudang. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi antara lain:
1. Pengelola gudang harus berbadan hukum dan telah mendapat persetujuan Badan
Pengawas dalam hal ini adalah Bappebti
2. Pengelola gudang dilarang menerbitkan lebih dari satu Resi Gudang untuk barang yang
sama yang disimpan di Gudang.
Ketentuan pertama adalah pengelola gudang harus berbadan hukum, dalam hal ini
yang dapat menjadi pengelola gudang yang memiliki badan hukum berbentuk
Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Persyaratan untuk PT dan koperasi diatur
dalam
Peraturan
KepalaBappebti No.
01/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007
tentang
LAPORAN AKHIR
Bab V - 47
2. Koperasi
Pengelola gudang yang berbentuk koperasi wajib:
a. Memenuhi persyaratan modal sendiri paling sedikit Rp 250.000.000 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
b. Mempertahankan kekayaan bersih paling sedikit Rp 200.000.000 (dua
ratus juta rupiah) atau sebesar 15% dari nilai komoditi yang dikelola
c. Memiliki pengurus dengan integritas moral dan reputasi bisnis yang
baik.
d. Menguasai paling sedikit 1 (satu) gudang yang telah mendapat
persetujuan dari Bappebti.
e. Memiliki Pedoman Operasional Baku yang mendukung kegiatan
operasional sebagai Pengelola Gudang.
f.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 48
4. Kebenaran jumlah, nilai, kepemilikan barang yang tercantumdalam Resi Gudang, Resi
Gudang Pengganti dan SRG-Online
5. Kebenaran petugas penandatanganan Resi Gudang/ResiGudang Pengganti sesuai
spesimen tanda tangan
6. Pengeluaran barang kepada pemilik sah dengan jumlah sesuaidengan Resi
Gudang/Resi Gudang Pengganti
7. Kebenaran rekap administrasi kegiatan Sistem Resi Gudangdan SRG-Online
8. Kehilangan/kerugian yang disebabkan karena kelalaianPengelola Gudang
9. Mempertahankan kekayaan bersih minimal
Saat ini, pengelola gudang yang telah mendapatkan persetujuan dari Bappebti untuk
mengelola gudang SRG antara lain PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero), PT. Petindo Daya
Mandiri, Koptan Bidara Tani, PT. Pertani (Persero), PT. Sucofindo (Persero), PT. Reksa Guna
Interservice dan PT. Pos Indonesia. Pengelola gudang ini masih akan terus bertambah tidak
hanya dari BUMN saja, melainkan dari BUMD dan Kelompok Tani dapat menjadi pengelola
gudang.
Terkait dengan implementasi SRG untuk komoditi lada di daerah penelitian, untuk
Provinsi Lampung, pengelola gudang yang ditunjuk oleh Bappebti pada awal implementasi
SRG adalah PT. Pertani pada tahun 2010. Namun dalam implementasinya, PT. Pertani tidak
dapat menjalankan pengelolaan gudang SRG di Provinsi Lampung. Sehingga pada tahun 2014
ini, dimana SRG direncanakan akan diimplementasikan di Kabupaten Lampung Selatan pada
bulan Mei 2014, pengelola gudang diganti oleh PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero). Meskipun
demikian, hal ini masih dalam tahap penjajakan dan belum implementasi.
Sementara itu, PT. BGR sejak tahun 2008 telah melakukan kerjasama pengelolaan
gudang lada milik PT. Pancabinamas Ekamuda dengan sistem CMA. Kerjasama yang terjadi
antara PT. BGR- PT Pancabinamas Ekamuda dan PT. Rabobank International Indonesia.
Adapun komoditi yang dijadikan agunan dalam perjanjian ini adalah biji lada mentah dan biji
lada siap ekspor. Jika dilihat dari sisi pengelola gudang di Provinsi Lampung, dengan
pengalamanan dan kompetensi dalam hal manajemen agunan komoditi lada, PT. BGR mampu
menjadi pengelola gudang SRG komoditi lada.
Hal yang berbeda terjadi di Provinsi Bangka Belitung, dimana belum terdapat pengelola
gudang untuk SRG. Gudang yang terdapat di provinsi tersebut sebagian besar milik swasta,
dalam hal ini pemilik lahan perkebunan. Dengan demikian belum terdapat pengelola gudang
untuk implementasi SRG.
Melihat hal ini, sebagai salah satu perangkat utama dalam implementasi SRG komoditi
lada belum terpenuhi baik di Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung. Belum
adanya pengelola gudang yang bertanggung jawab atas gudang SRG, disebabkan karena
adanya kendala pembiayaan awal bagi para pengelola gudang yang seharusnya diberikan oleh
pemerintah daerah sebagai stimulus baik bagi pengelola gudang maupun pada para petani
lada.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 49
Pembiayaan pengelolaan gudang SRG yang diajukan oleh PT. BGR kepada Pemda
Lampung Selatan sebesar Rp. 17.500.000 per bulan. Pembiayaan ini meliputi penyimpanan,
pensortiran, pencatatan dan pelaporan serta penerbitan resi gudang untuk pemilik barang.
Selain itu juga terdapat biaya handling barang in & out/ biaya bongkar muat barang dari truk ke
gudang sebesar Rp. 35/kg dengan ketentuan minimal 600 ton per tahun.
5.4.2
serangkaian kegiatan untuk menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang
berkaitan dengan produk, proses, sistem dan/atau personel terpenuhi. LPK bertanggung jawab
atas segala keterangan yang tercantum dalam sertifikat untuk barang. LPK ini terbagi dua
menjadi LPK Inspeksi Gudang dan LPK Mutu Barang.
1. LPK Inspeksi Gudang
Dalam hal menilai kelayakan gudang, memeriksa kebenaran informasi yang tercantum
dalam sertifikat untuk gudang, kebenaran petugas penandatangan sertifikat untuk gudang
sesuai spesimen tanda tangan, kebenaran rekap administrasi kegiatan SRG dan SRGonline dilakukan oleh LPK Inspeksi Gudang. LPK yang sudah mendapatkan persetujuan
adalah PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero), PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Sawu
Indonesia.
PT. Bhanda Ghara Reksa (BGR) yang saat ini ditunjuk oleh pemda sebagai pengelola
gudang, tidak dapat sekaligus menjadi LPK Inspeksi gudang di Provinsi Lampung. Oleh
sebab itu, LPK inspeksi gudang di Provinsi Lampung dilakukan oleh PT. Sucofindo
(Persero). PT. Sucofindo melakukan kelayakan gudang yang ada di Provinsi Lampung
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Bappebti untuk menjadi gudang SRG. Biaya
untuk uji kelayakan gudang belum diketahui besaran yang harus dikeluarkan karena
sesuai dengan anggaran yang diajukan oleh LPK Inspeksi gudang.
Pada Provinsi Bangka Belitung juga sudah terdapat LPK inspeksi gudang dengan PT
yang sama. Tapi saat ini hanya terbatas pada komoditi timah saja dan bukan lada. Karena
gudang yang dikhususkan untuk SRG belum ada.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 50
Paryaweksana wilayah Bandar Lampung untuk komoditi Lada Hitam dan BPSMB Medan.
Selain LPK mutu barang yang mengajukan diri untuk menjadi LPK uji mutu komoditi,
terdapat juga LPK uji mutu komoditi yang ditunjuk oleh Ka. Bappebti. Tetapi untuk LPK uji
mutu komoditi yang ditunjuk, hanya untuk komoditi gabah, beras, jagung dan rumput laut.
Biaya untuk melakukan uji mutu komoditi sebesar Rp. 20/kg untuk gudang SRG yang
diajukan oleh PT. BGR. Angka ini masih dengan asumsi bahwa uji mutu komoditi dilakukan
oleh PT. Sucofindo yang berada di wilayah Bandar Lampung. Uji mutu ini dilakukan di
gudang SRG oleh laboratorium PT. Sucofindo dan hasilnya disampaikan kemudian harinya
pada pengelola gudang.
3. LPK Sertifikasi Sistem Mutu Gudang
LPK Sertifikasi Sistem mutu diperuntukkan bagi pengelola gudang. Hal ini untuk
menjamin bahwa pengelola gudang menjalankan kegiatan operasionalnya sesuai standar
manajemen mutu sesuai dengan ISO 9001:2000.. Dalam hal ini, LPK sertifikasi sistem
mutu bertanggung jawab atas pemastian proses kegiatan pengelola gudang sesuai,
penerbitan Sertifikat Manajemen Mutu berdasarkanstandar ISO 9001:2000 atau SOB,
kebenaran hasil sertifikasi yang tercantum dalamSertifikat Manajemen Mutu sesuai
spesimen tanda tangan, kebenaran petugas penandatanganan SertifikatManajemen Mutu,
kebenaran rekap administrasi kegiatan Sistem ResiGudang dan kehilangan/kerugian yang
disebabkan karena kelalaianLPK Sertifikasi Manajemen Mutu.
LPK sertifikasi sistem mutu yang telah mendapatkan persetujuan Bappebti adalah PT.
Sucofindo. Kelemahannya, PT. Sucofindo hanya terdapat di ibukota provinsi saja, untuk
mencapai kabupaten/kota yang berada di pedalaman masih terkendala masalah
transportasi dan geografis dari masing-masing wilayah.
5.4.3
Pusat Registrasi
Pusat registrasi adaPusat registrasi memiliki peran dalam hal pencatatan,
penyimpanan dan pelaporan dan catatan kegiatan yang berkaitan dengan sistem resi
gudang. Pusat registrasi menyampaikan laporan secara berkala dan/atau sewaktuwaktu kepada Badan Pengawas. Pusat registrasi menurut ketentuan dalam UU No. 9
Tahun 2006 Pasal 34 ayat (1) harus badan usaha berbadan hukum dan mendapat
persetujuan Badan Pengawas. Pusat registrasi resi gudang saat ini adalah PT. Kliring
Berjangka Indonesia (PT. KBI).
Registrasi yang dilakukan oleh pengelola gudang saat ini dapat dilakukan
secara online. Dengan demikian, resi gudang yang telah mendapat persetujuan dari
Badan Pengawas dapat diterbitkan lebih cepat. Kendala yang terjadi adalah apabila
daerah terkait jauh dari ibukota dan tidak mendapat akses internet, sehingga hal ini
menjadi permasalahan bagi pengelola gudang untuk menerbitkan resi gudang.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 51
Pusat registrasi ini juga menarik biaya pemeliharaan dari pemilik barang
sebesar 0,01% x nilai barang x volume. Biaya ini berarti menambah beban bagi pemilik
barang.
5.4.4
adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
dana atau barang modal (ojk.go.id, Mei 2014). Lembaga Pembiayaan meliputi:
1. Perusahaan Pembiayaan, adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan
Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu
Kredit.
2. Perusahaan
Modal
Ventura,
adalah
badan
usaha
yang
melakukan
usaha
agunan
yang
dapat
diperhitungkan
sebagai
pengurang
dalam
pembentukan PPA. Pasal 48 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa nilai agunan yang
dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA bagi resi gudang
ditetapkan paling tinggi sebesar:
a. 70% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan dalam 12 bulan terakhir
b. 50% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan telah melampaui 12 bulan
namun belim melampaui 18 bulan
c.
30% dari penilaian, apabila penilaian dilakukan telah melampaui jangka waktu
18 bulan namun belum melampaui 24 bulan
LAPORAN AKHIR
Bab V - 52
Kredit resi gudang terdapat dua skema yaitu skema subsidi resi gudang dan
skema resi gudang. Skema Subsidi Resi Gudang (selanjutnya disebut S-SRG) adalah
kredityang mendapat subsidi bunga dari pemerintah dengan jaminan Resi Gudang
yangdiberikan
oleh
bank
pelaksana/Lembaga
Keuangan
Non
Bank
kepada
petani,kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi. S-SRG ini diatur
dalamPeraturan Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 tentang Skema Subsidi
ResiGudang.
Untuk
pelaksanaan
MenteriPerdagangan
S-SRG
Republik
tersebut,
Indonesia
telah
No.
diterbitkan
Peraturan
66/M-DAG/PER/12/2009
tentangPelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.Beban bunga kepada peserta SSRG ditetapkan sebesar 6%. Selisihtingkat bunga S-SRG dengan beban bunga
peserta S-SRG merupakan subsidipemerintah. Besarnya plafond kredit S-SRG adalah
70% dari nilai resi gudang atau maksimal maksimal Rp. 75.000.000. Jangka waktu
kredit maksimal 6 (enam) bulan dan dapat dilakukan perpanjangan waktu dengan
analisis dari pihak bank.
Bukan hanya bank saja yang dapat memberikan pembiayaan dengan sistem
resi gudang, tetapi lembaga non bank juga dapat memanfaatkan sistem ini. Adapun
bank dan lembaga keuangan non bank yang telah bekerjasama dengan KBI adalah
Bank BRI, Bank Jatim, Bank Kalsel, Bank Jabar & Banten, Bank Yogyakarta, Bank
Jateng, Bank CIMB Niaga, PKBL KBI, LPDB dan BPRS Bina Amanah..
Untuk implementasi sistem resi gudang di Provinsi Lampung, khususnya
Kabupaten Lampung Selatan menggunakan lembaga pembiayaan Bank BRI.
Meskipun perjanjian kredit dengan jaminan Resi gudang bank BRI telah dilaksanakan
berdasarkan Surat Edaran Nose: S.2-DIR/ADK/01/2008 yang mengatur tentang Kredit
Modal Kerja Dengan Jaminan Resi Gudang, dan telah diberikan oleh BRI sejak tahun
2010, namun untuk BRI cabang Kabupaten Lampung Selatan belum memahami
operasional secara keseluruhnya, khususnya terkait dengan subsidi bunga yang
diberikan kepada para debitur nantinya dan mitigasi risiko pasar yang akan ditanggung
oleh bank.
Dalam ketentuannya, divisi ADK Kantor Pusat BRI, mengharuskan cabang
melakukan mitigasi risiko pasar apabila komoditi tidak terjual atau harga turun terus
menerus. Dalam hal ini resi gudang akan dilikuidasi untuk pelunasan kredit jika nilai
barang turun sampai dengan jumlah tertentu dari nilai barang yanng tercantum dalam
resi gudang apabila pemilik barang tidak menambah jumlah komoditas atau
menurunkan baki debet pinjamannya (menurunkan jumlah pinjaman dengan
melakukan pembayaran sebagian).
LAPORAN AKHIR
Bab V - 53
Dalam pemberian kredit subsidi resi gudang, terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh petani antara lain:
a. Surat pernyataan bermaterai yang menyatakan sebagai petani dan diketahui oleh
Kepala Desa/Lurah Setempat
b. Berusia paling rendah 21 tahun atau sudah menikah
c.
d. Tidak memiliki tunggakan kartu kredit, kredit program dan/atau kredit komersil baik di
BRI maupun di bank/lembaga keuangan lain.
Sedangkan untuk kelompok tani, syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:
a. Tidak memiliki tunggakan kartu kredit,kredit program dan/atau kredit komersilbaik di
BRI maupun di bank/lembaga keuangan lain
b. Tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah
c.
d. Susunan pengurus kelompok tani yang aktif paling sedikit terdiri dariketua dan
sekretaris/bendahara
e. Surat kuasa dari anggota kelompok tani yang menunjuk ketuakelompok dari anggota
f.
Syarat untuk memperoleh kredit bagi gabungan kelompok tani adalah sebagai berikut:
a. Tidak memiliki tunggakan kredit program dan/atau kredit komersil baik diBRI maupun di
bank/lembaga keuangan lain
b. Tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah
c.
d.
Susunan pengurus gabungan kelompok tani yang aktif paling sedikitterdiri dari ketua
dan sekretaris/bendahara
e. Surat kuasa dari anggota gabungan kelompok tani yang menunjuk ketuakelompok
f.
Dari persyaratan yang ditetapkan di atas, syarat yang paling berat adalah tidak sedang
memperoleh fasilitas kredit program lainnya dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar subsidi
dapat dinikmati oleh semua orang secara merata. Tetapi hal ini berat untuk dilaksanakan,
karena sebagian besar petani lada sudah atau sedang mengambil kredit program sebagai
modal kerja, sehingga untuk mendapatkan kredit dengan skema S-SRG tidak mungkin.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 54
Meskipun demikian, petani, kelompok tani dan gabungan petani masih dapat memperoleh
kredit resi gudang yang tidak ada subsidi bunga.
Sosialisasi dari perbankan mengenai bagaimana cara mendapatkan kredit resi gudang
belum dilakukan secara maksimal bagi petani lada, sehingga banyak petani lada baik yang
berada di Provinsi Lampung maupun Provinsi Bangka Belitung belum memahami dan
memanfaatkannya. Selain itu juga pihak perbankan tidak hanya perlu mensosialisasikan
dengan membandingkan kredit modal kerja lainnya, kelebihan dan kekurangan menggunakan
kredit resi gudang secara transparan kepada para pemanfaat.
Pemberian kredit yang diberikan kepada para pemilik barang tidak terkena biaya
provisi, biaya administrasi dan biaya komitmen untuk skema resi gudang subsidi SRG. Untuk
kredit resi gudang tanpa subsidi, maka terkena biaya provisi, administrasi, appraisal dan
komitmen yang ditanggung oleh debitur.
5.4.5
Lembaga Penjamin
Lembaga jaminanmerupakan lembaga independen, transparan dan akuntabel.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 55
5.4.6
Asuransi
Asuransi dalam sistem resi gudang dibebankan pada pemilik barang dan
pengelola gudang. Asuransi yang diwajibkan kepada pemilik barang adalah asuransi
kerugian. Asuransi kerugian ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan bagi
pemilik barang ketika menyimpan barangnya di gudang SRG.
Asuransi fidelity (Fidelity Guarantee) adalah suatu jaminan yang diberikan
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam resi gudang khususnya lembaga pembiayaan
atas
kemungkinan
adanya
kerugian
yang
dideritanya
sebagai
akibat
mempercepat pengembangan sistem resi gudang. Dalam UU No. 9 Tahun 2011 Pasal
33 mencantumkan bahwa di bidang pembinaan sistem resi gudang, pemerintah daerah
melakukan pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan Sistem
Resi Gudang, mengembangkan komoditas unggulan di daerag, penguatan peran
pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan sistem resi
gudang
dan
pemfasilitasi
pengembangan
pasar
leleng
komoditas.
Dalam
LAPORAN AKHIR
Bab V - 56
Selain
keempat
alasan
di
atas,
pemerintah
daerah
tidak
dapat
Lembaga yang
ditunjuk/disetujui
PT Bhandra Ghara
Reksa (BGR) sebagai
pengganti PT. Pertani
Kesiapan
Alasan
Siap selama
terdapat
pembiayaan
awal
LPK Inspeksi
Gudang
Belum ditunjuk
Belum siap
PT. Sucofindo
Siap
Pusat Registrasi
PT. KBI
Siap
Lembaga
Pembiayaan
PT. BRI
Belum siap
Lembaga Penjamin
Belum ada
Belum siap
Asuransi
PT. Jasindo
Belum siap
Pemerintah Daerah
Dinas Perdagangan
dan Perindustrian
Belum siap
LAPORAN AKHIR
Bab V - 57
Lembaga
Lembaga yang
ditunjuk/disetujui
Kesiapan
Alasan
proses bisnis dari SRG
dan terlalu cepat mutasi
yang dilakukan oleh
pemda.
Kurangnya komitmen dari
Pemda untuk
mengimplementasikan
SRG
Jika dilihat dari aspek kesiapan kelembagaan yang terdapat pada SRG komoditi
lada seperti yang ditunjukkan dalam tabel 5.3 di atas, maka dapat dikatakan bahwa
kelembagaan utama seperti pemerintah daerah, pengelola gudang, lembaga penjamin,
lembaga penilaian kesesuaian (LPK) dan lembaga keuangan yang berada di daerah
penelitian Provinsi Lampung belum siap untuk menjalannya. Demikian pula halnya
dengan Provinsi Bangka Belitung yang baru pada tahap sosialisasi SRG di provinsi.
Selain itu juga keterlibatan lembaga yang demikian banyak menyebabkan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pemilik komoditas menjadi lebih besar dibandingkan
dengan skema CMA. Hal ini menjadi kendala utama ketika implementasi sistem resi
gudang dilakukan pada daerah-daerah terpencil yang berpotensi tetapi kelembagaan
yang dipersyaratkan tidak dapat dipenuhi di tempat tersebut.
Dalam hal komoditi lada, produksi yang dihasilkan oleh petani lada secara
kuantitas masih belum mencukupi kebutuhan lada di dunia, sehingga apabila
diresigudangkan maka tidak akan efisien karena kuantitas lada yang disimpan oleh
petani relatif kecil dan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan,
Belum terimplementasinya sistem resi gudang di Provinsi Lampung baik untuk
komoditi lada maupun komoditi lainnya disebabkan pemerintah daerah belum
memahami manfaat resi gudang sebagai upaya untuk mengatasi scarcity of cash di
tingkat lokal. Hal ini menyebabkan sistem resi gudang masih belum termasuk program
prioritas di tingkat lokal.
5.5
penting untuk dianalisis selain kelembaan yang terkait. Sarana dan prasarana yang
diperlukan untuk implementasi sistem resi gudang antara lain gudang dan
perlengkapannya dan infrastruktur jalan.
5.5.1
ketika implementasi SRG dilakukan, maka yang dibangun pertama kali adalah gudang.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 58
Pada tahun 2009, melalui dana stimulus fiskal, Kementerian Perdagangan dalam hal
ini Bappebti membangun 41 gudang di 34 kabupaten. Pada tahun 2010, melalui DAK
bidang sarana perdagangan, Bappebti mendirikan 11 gudang di 11 kabupaten/kota,
sedangkan tahun 2011 mendirikan 14 gudang di 14 kabupaten, pada tahun 2012
mendirikan 14 gudang dan pada tahun 2014 ini direncanakan akan didirikan 23
gudang. Gudang-gudang yang dibangun dilengkapi dengan mesin pengering (dryer)
untuk gabah dan dapat digunakan untuk jagung. Dari 78 kabupaten/kota yang terdapat
gudang SRG yang dibangun pada tahun 2009 2013, baru 60% kabupaten/kota yang
telah memanfaatkan fasilitas gudang tersebut dan menerbitkan resi gudang. Kurang
termanfaatkannya gudang-gudang ini disebabkan karena beberapa hal:
a. Belum adanya penyerahan aset dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk dikelola pemerintah daerah
Kondisi ini terjadi pada gudang-gudang yang didirikan pada tahun 2009 dengan
menggunakan dana stimulus daerah. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan
gudang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Untuk mengatasi hal ini,
pemerintah pusat masih dalam proses untuk dihibahkan kepada pemerintah
daerah yang bersangkutan. Agar tidak menyalahi UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dalam kaitannya dengan pengelolaan barang milik
negara.
b. Gudang yang dibangun dengan dana DAK tidak dengan fasilitas
Terdapat gudang-gudang yang dibangun tidak memiliki fasilitas sesuai dengan
standar yang ditetapkan untuk gudang komoditas. Ketidaksesuaian ini
disebabkan karena adanya perencanaan yang kurang matang dari pemerintah
daerah ketika membangun gudang.
Fasilitas yang belum ada misalnya listrik, air, palet dan lainnya. Fasilitas
pengadaan listrik di beberapa daerah seringkali menjadi kendala karena
keterbatasan daya dan kapasitas PLN yang berbeda di masing-masing daerah.
Demikian juga dengan fasilitas air bersih.
Terkait dengan pembangunan gudang di daerah penelitian, Provinsi Lampung,
selama tahun 2010 2011 telah didirikan enam gudang komoditas pertanian yang
nantinya diperuntukkan untuk gudang SRG. Keenam gudang komoditas tersebut
terdapat pada kabupaten lampung selatan, lampung barat, lampung tengah,
tanggamus, tulang bawang, lampung timur. Kabupaten penghasil lada di Provinsi
lampung terdapat di Kabupaten Lampung Barat, Lampung Selatan, Lampung Utara,
Lampung Timur, Way Kanan, Tanggamus dan Lampung Tengah. Dari ketujuh
LAPORAN AKHIR
Bab V - 59
Infrastruktur Jalan
Infrastruktur berupa akses jalan ke gudang merupakan komponen penting
dalam rangka efisiensi biaya transportasi dari sentra produksi ke gudang. Pada daerag
penelitian di Provinsi Lampung, akses menuju gudang di Kabupaten Lampung Selatan
cukup baik, tetapi terdapat gudang yang belum memiliki akses jalan menuju gudang
sehingga jika digunakan akan menimbulkan biaya tambahan baik bagi petani maupun
bagi pemerintah daerah.
Melihat dua sarana dan prasarana di atas, maka dapat dikatakan bahwa
meskipun telah terdapat gudang komoditas pertanian di Provinsi Lampung, tetapi
belum tentu dapat digunakan menjadi gudang SRG karena harus melalui persetujuan
Bappebti dan dilakukan uji kelayakan gudang. Sedangkan dari sisi prasarana seperti
jalan, listrik, perlengkapan penangkal hama, perlengkapan gudang lainnya belum
dapat dipenuhi. Oleh sebab itu maka dapat dikatakan provinsi Lampung belum siap
mengimplementasikan sistem resi gudang khususnya untuk komoditi lada.
LAPORAN AKHIR
Bab V - 60
5.6
dari sisi pelaku usaha yang mendapat manfaat dari implementasi sistem resi gudang,
kelembagaan dan sarana prasarana, maka agar implementasi SRG komoditi lada
dapat terwujud, harus diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut.
1. Adanya Komitmen Pemerintah Daerah khususnya Kepala Daerah
Komitmen pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota untuk mempercepat
implementasi SRG di daerahnya dalam rangka meningkatkan perekonomian lokal
sangat dibutuhkan. Komitmen pemerintah daerah bukan hanya secara lisan saja
tetapi juga tertulis melalui surat keputusan.
Faktor ini menjadi faktor kunci utama dalam implementasi SRG di daerah baik
untuk komoditi lada maupun komoditi lainnya, karena daerah-daerah yang sudah
terimplementasi
SRGnya
adalah
daerah
yang
memiliki
komitmen
untuk
LAPORAN AKHIR
Bab V - 61
maupun
secara
bersama-sama.
Edukasi
dan
sosialisasi
LAPORAN AKHIR
Bab V - 62
sistem
resi
gudang.
Selain
itu
juga
melakukan
perbandingan
manfaat
LAPORAN AKHIR
Bab V - 63
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. implementasi SRG untuk komoditi lada terutama pada daerah penelitian belum
siap baik dari sisi pelaku usaha, kelembagaan maupun sarana dan prasaran
yang digunakan.
2. Terdapat empat faktor kunci agar implementasi SRG komodti lada dapat
terwujud, yaitu adanya komitmen kepala pemerintah daerah, terintegrasinya
kelembagaan dalam satu tempat, edukasi dan sosialisasi, peningkatan produksi
dan mutu serta terdapatnya offtaker/buyer/pasar lelang.
6.2
Rekomendasi
Melihat permasalahan implementasi SRG untuk komoditi lada berasal dari
seluruh sisi maka rekomendasi yang diusulkan agar SRG dapat berjalan sebagai
berikut:
1.
Untuk meningkatkan kesadaran petani akan manfaat SRG maka perlu dilakukan:
2.
LAPORAN AKHIR
Bab VI -64
Perlu adanya sinergitas antar lembaga pelaksana SRG seperti pengelola gudang,
lembaga pembiayaan, lembaga penjamin
mutu, pemerintah
daerah dan
Pemerintah
pusat memberikan
petunjuk
teknis
operasional dalam
Pengelola gudang dan lembaga penjamin mutu perlu ditunjuk secara jelas
sehingga operasional gudang dapat berjalan. Selain itu juga peranan
pengelola gudang tidak hanya secara teknis menjaga mutu produk,
pengurusan administrasi, tetapi juga harus memberikan masukan dan
informasi kepada petani mengenai kapan harus menyimpan dan kapan
harus menjual.
4.
Perlu adanya pihak yang bertindak sebagai off taker bagi komoditas yang
diagunkan untuk memberikan kepastian bagi lembaga pembiayaan dan pengelola
gudang misalnya untuk komoditas gabah dan beras, off taker-nya adalah bulog.
5.
LAPORAN AKHIR
Bab VI -65
sebagai off taker, masih terdapat kepastian bahwa agunan dapat dijual dengan
harga yang layak.
LAPORAN AKHIR
Bab VI -66
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN AKHIR