You are on page 1of 5

Sejarah Hadis

Hadits telah berlangsung sejalan dengan perjalanan ajaran islam. Ketika Rosululloh mulai berdakwah
dengan cara sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan, maka pada saat itulah hadits mulai muncul. Pada masa
Rosululloh diantara umat islam tidak pernah terjadi pertentangan atau perbedaan pemahaman tentang sebuah
hadits. Hal ini dikarenakan jika terjadi sebuah persoalan atau kesalahan pemahaman tentang sebuah hadits,
maka secara langsung dapat dikonfirmasikan kepada Rosululloh. Berbeda dengan masa-masa sesudah rosululloh
wafat. Pada masa ini telah terjadi penafsiran yang berbeda seiring dengan meluasnya wilayah islam yang bukan
hanya berada di wilayah semenanjung arab.

2. Perkembangan Hadis Pada Masa Awal


A. Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa nabi segala bentuk sifat, karakter, dan tingkah lakunya yang dinisbahkan oleh nabi
muhammad SAW disebut hadits yang disampaikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa Rosululloh
penyampaian terjadi di mana dan kapan saja. Bahkan sering kali Rosululloh menyampaikan hadis sambil dudukduduk di alam terbuka dan penyampaian hadisnya dengan sangat akrab kepada para sahabatnya. Sehingga
sebagian besar hidupnya dihabiskan dengan duduk-duduk bersama para sahabatnya.
Pada masa Rosululloh hadis belum dikodifikasikan karena masih dalam pembentukan dan
perkembangan. Selain itu juga, Nabi dan sahabat masih sibuk untuk menghafal dan menuliskan Al-Quran
sehingga hadis pada masa Rosululloh hanya dihafal para sahabat yang menulis Hadis saja.
Pada zaman Rosululloh para sahabat saling membantu dalam menghafal, mereka saling membantu
menghafal dari malam sampai dini hari. Abu Hurairah mengatakan ia selalu membagi satu malam menjadi tiga,
yaitu sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk sholat, sedang sepertiga lagi untuk menghafal hadis. Dalam buku
hadis Nabawi dari sejarah kodifikasinya bahwa pada masa Rosululloh, para sahabat tidak jarang ada yang
menulis hadis dan menghafal hadis. Bahkan Abu Musa Al-Asyari dan Umar bin Khotob juga saling mengingatingat hadits sampai subuh.[1]
Jadi pada masa Rosululloh hadis disampaikan dalam kehidupan sehari-hari di manapun dan kapanpun,
bahkan sering disampaikan sambil duduk-duduk bersama para sahabat. Dan untuk menjaga hafalan hadisnya
para sahabat saling membantu dalam menghafal.

B. Hadis Pada Masa Sahabat

1.

2.

Sekalipun terdapat Hadis Nabi SAW yang membolehkan penulisan Hadis dan sekalipun pada masa
beliau sejumlah sahabat telah menulis Hadis dengan seizin beliau, para sahabat tetap menahan diri dari
menuliskan Hadis pada masa Khulafaurasyidin. Sebab mereka sangat menginginkan keselamatan Al-Quran.
Diantara para sahabat ada yang melarang penulisan As-Sunah dan ada pula yang membolehkannya.
Tidak lama setelah itu banyak sahabat yang membolehkan penulisan Hadis, bahkan ada sebagian sahabat yang
semula melarang penulisan Hadis, kemudian membolehkannya.
Perintah Mentablighkan Hadis
Diberikan oleh Abu Daud dan At-Turmudzy dari riwayat Zaid ibn Tsabit, bahwa Rosululloh SAW
bersabda, yang artinya: Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku lalu
dihafalkan dan difahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis seperti yang ia dengar; karena banyak
sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih faham dari pada yang mendengarnya sendiri.
Ancaman Terdapat Pendustaan Dalam Mentablighkan Hadis
Di samping itu beliau memerintahkan para sahabat supaya berhati-hati dan supaya memeriksa benarbenar suatu hadis yang hendak disampaikan pada orang lain.
Nabi SAW bersabda: Cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala apa yang
didengarnya. (H. R. Muslim dari Abu Hurairah).

Oleh karena itu, para sahabatpun sesudah Rasul wafat, sedikit demi sedikit menyampaikan hadis
kepada orang lain.

C. Hadis Pada Masa Khulafaurrosyidin


Para sahabat, sesudah rasul wafat tidak lagi berdiam di kota madinah. Mereka pergi ke kota-kota lain.
Maka penduduk kota-kota lainpun mulai menerima hadis. Para tabiin mempelajari hadis dari para sahabat itu.
Dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan tabiin.
Pada saat itu, riwayat hadis pada permulaan masa sahabat masih terbatas sekali. Disampaikan kepada
yang memerlukan saja dan bila perlu saja, belum bersifat pelajaran. Perkembangan hadis dengan
membanyakkan riwayatnya, terjadi sesudah masa Abu Bakar dan Umar. Tegasnya pada masa Utsman dan Ali.
Dalam masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis belum di luaskan. Beliau-beliau ini
mengerahkan minal ummat (sahabat) untuk menyebarkan Al-Quran dan memerintahkan para sahabat untuk
berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu.
Umar Ibn Khatab juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah Hadis, bahkan hingga dalam
penyampaiannya secara lisan. Ketika Umar mendengar Hadis yang disampaikan oleh Ubay Ibn Kaab, Ia baru
bersedia menerima riwayat Hadis itu setelah para sahabat yang lain, di antaranya Abu Dzar, menyatakan telah
mendengar pula Hadis seperti yang disampaikan Ubay tersebut.[2]
Umar juga menekan kepada para sahabat yang lain agar tidak memperbanyak periwayatan Hadis di
masyarakat, alasannya agar masyrakat tidak terganggu konsentrasinya dalam membaca dan mendalami AlQuran.
Abu Hurairah yang kemudian hari dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, terpaksa
menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan Hadis pada masa Umar. Abu Hurairah pernah menyatakan,
bahwa sekiranya dia banyak meriwayatkan Hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar.
Data sejarah di atas menunjukkan bahwa Hadis pada masa sahabat, khususnya Khulafaurasyidin,
dikodifikasikan secara resmi, bahkan dalam hal periwayatan pun mereka mempersempit ruang geraknya. Hal ini
dipahami dari adanya regulasi-regulasi yang membatasi periwayatan Hadis, sampai pembakaran terhadap
sebagian Hadis yang sudah ada. Namun demikian, berbagai regulasi yang ditetapkan oleh Khulafaurasyidin
dalam membatasi periwayatan Hadis tersebut tidak tidak menyurutkan antusiasme beberapa sahabat dalam
meriwayatkannya. Ada tujuh sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis, masing-masing lebih dari
seribu Hadis.
Diantara ketujuh sahabat yang kemudian mendapat julukan dari para ulama sebagai Al-Mukassirun itu
adalah;[3] Muhammad Ibn Alwi Al-Maliki Al Husani, Al-Qawaid Al-Asasiyah FiIlm Mustalah Al-Hadis, dan
masih lainnya.

3. Hadis Pada Masa Pengkodifikasian


Gerakan kodifikasi Hadis secara resmi baru muncul pada periode tabiin, dan kemudian dilanjutkan
pada periode tabiit tabiin. Periode tabiin adalah generasi sesudah sahabat. Periode ini merupakan masa
berlangsung dari tahun 100 H. Yang ditandai dengan meninggalkan generasi sahabat terakhir, yaitu Abu alThufail Amir Ibn Watsilah, hingga tahun 150 H. Sedangkan periode tabiit tabiin adalah generasi sesudah
tabiin yang masanya berlangsung sejak berakhirnya masa tabiin tahun 150 H, hingga tahun 220 H pada dua
periode tersebut kodifikasi hadis mendapat dukungan penuh dari penguasa dan dilakukan secara intensif dan
massif. Para ulama yang memiliki kompetensi dari bidang ini berlomba-lomba mencurahkan segala
kemampuannya untuk menghimpun, menyeleksi, dan kemudian membukukan Hadis-hadis Nabi SAW dalam
kitab-kitab yang beraneka ragam. Tujuannya adalah menyelamatkan Hadis-hadis Nabi SAW dari kepunahan dan
penyelewengan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

a.
b.
c.

Menurut data sejarah, awal mula kodifikasi Hadis secara resmi diprakarsai oleh Umar Ibn Abdul Aziz
(w. 102 H). Ia adalah khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah yang dinobatkan pada tahun 99 H. Selama
memegang jabatan khalifah ia terkenal adil, wara dan saleh.
Sifat-sifatnya yang mulia itu menyebabkan ia sering disejajarkan dengan Umar bin Khathab, khalifah
kedua dari Khulafaurasyidin. Itu pula sebabnya sehingga sejarawan kadang-kadang menyebut Umar Ibn Abdul
Aziz sebagai Umar II.
Kodifikasi Hadis yang dilakukan pada masa ini dilatar belakangi oleh kekhawatiran Umar Ibn Abdul
Aziz terhadap berbagai persoalaan selama masa pemerintahannya akibat pergolakan politik yang sudah terjadi
sejak lama, kekhawatiran itu didasarkan pada tiga hal:
1. Hilangnya Hadis-hadis yang shahih dan meninggalnya ulama.
2. Bercampurnya Hadis shahih dan yang palsu.
3. Semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabiin satu
dengan lainnya tidak sama.
Selanjutnya khalifah Umar bin Abdul aziz mengirim surat ke beberapa ulama dan penguasa yang berisi
perintah untuk segera menghimpun Hadis-hadis yang masih tersebar di masyarakat. Salah seorang penguasa
yang mendapat perintah tersebut adalah Abu Bakar bin Amr bin Hazm (w. 120 H), sebagai gubernur Madinah.
Dia diberi tugas untuk mengumpulkan Hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman bin Saad bin Zurarah
bin Adus al-Anshari (20-98 H), seorang murid kepercayaan Aisyah, dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu
Bakar al-Shiddiq (w. 107 H) seorang pemuka tabiin yang merupakan salah satu dari tujuh fuqaha Madinah.
Sedangkan ulama yang dipercaya melakukan tugas yang sama adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim ibn
Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry (w. 124 H), seorang tabiin yang ahli dalam bidang fiqih dan Hadis. Dia
diperintahkan untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup dikalangan penduduk Madinah. [4]
Peran kedua orang tersebut dalam kodifikasi Hadis sangat besar, terutama Ibn Syihab al-Zuhry. Begitu
besarnya pangakuan ulama terhadap peran Ibn Syihab Al-Zuhry, sehingga para ulama pada masanya
berkomentar, bahwa jika tidak karena jasanya niscaya banyak Hadis yang sudah hilang. [5] Namun sayang,
kedua karya tabiin tersebut tidak sampai kepada generasi sekarang, karena tidak dapat dilacak keberadaannya.
Upaya yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhry mendapat respon positif dari para ulama yang lain,
baik yang satu generasi maupun generasi sesudahnya. Mereka bekerja keras melakukan kodifikasi Hadis di
daerah yang berbeda-beda. Diantara para ulama tersebut adalah;[6]
Abu Hurairah (19 SH-59 H). Menurut Baqi, ia meriwayatkan 5.374 hadis.
Namun menurut penyelidikan terbaru diketahui bahwa Abu Hurairah hanya meriwayatkan Hadis sebanyak
1.236 buah.[7]
Abdullah ibn Umar (10 SH-74 H). Menurut Baqi, ia meriwayatkan Hadis sebanyak 2.630 buah. Menurut
sebuah laporan otentik disebutkan bahwa ia menyimpan koleksi hadis.[8]
Anas ibn Malik (10 SH-93 H), seorang pelayan Nabi SAW selama 10 tahun. Ia meriwayatkan 2.286 hadis.
Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq (w. 58 H), meriwayatkan 2.210 Hadis.
Abdullah ibn Abbas (3 SH-68 H), meriwayatkan 1.660 hadis.
Jabi ibn Abdullah (16 SH-78 H), meriwayatkan 1.540 hadis.
Abu Said al-Khudri (w. 74 H), meriwayatkan 1.170 hadis.
Selain ulama-ulama di atas, juga masih banyak ulama di kota-kota arab yang juga berperan dalam
pengkodifikasian Hadis, yaitu;
Ibn Juraij (80-150 H), sebagai pelopor kodifikasi hadis di kota Makkah.
Muhammad ibn Islaq (w. 151 H), Ibn Abi Dzi bin (81- 15 H), serta Malik Ibn Anas (93-179 H), sebagai pelopor
kodifikasi Hadis di kota Madinah.
Al-Rabi ibn Shahih (w. 160 H) Hammad ibn Salmah (w. 176 H), dan Said ibn Abi Arubah (w. 156 H), sebagai
pelopor kodifikasi Hadis di kota Basrah.

d.
e.
f.
g.
h.
i.

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Sufyan al-Tsaury (97-161 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Kufah.
Al-Auzaiy (88-157 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Syam.
Mamar ibn Rasyid (93-153 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Yaman.
Ibn Mubarak (118-181 H) sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Khurasan.
Abdullah ibn Wahhab (125-197 H), sebagai pelopor kodifikasi Hadis di kota Mesir.
Jarir ibn abd al-Hamid (110- 188 H), merupakan seorang pelopor kodifikasi Hadis Roy.
Para ulama yang disebutkan di atas merupakan tokoh-tokoh kodifikasi Hadis yang cukup terkenal
dalam sejarah pembukuan Hadis. Sayangnya hasil karya mereka tidak seluruhnya sampai pada generasi
sekaranag. Namun demikian ada beberapa kisah Hadis hasil kodifikasi yang termasyur dan mendapat perhatian
besar dari para ulama pada umumnya. kitab-kitab tersebut adalah;
Al-Muwatha yang disusun oleh Imam Malik (93-179 H).
AL-Magbazi wa al-Siyar (al-Sirab al-Nabawiyah), yang disusun oleh Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H).
Al-fami yang disusun oleh Abdur Razzaq al-Shariani (w. 211 H).
Al-Musbannaf yang disusun oleh Syuban ibn Hajjaj (w. 160 H).
Al-Musbannaf yang disusun oleh Syuban ibn Uyainah (w. 198 H).
Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Laits ibn Saad (w. 175 H).
Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Auzaiy (88-157 H).
Al-Musbannaf yang disusun oleh al-Hamidy (w. 219 H).
Al-Magbazi al-Nabawiyah, yang disusun oleh Muhammad ibn Waqid al-Aslamy (w. 130- 207 H).
Al-Musnad, yang disususn oleh Abu Hanifah (w. 150 H).
Al-Musnad, yang disususn oleh Zaid ibn Ali.
Al-Musnad, yang disususn oleh Ahmad Imam Ahmad (164-241 H).
Mukhtalif al-Hadis disususn oleh Imam al-Syafi (w. 204 H).
Dari beberapa kitab Hadis hasil kodifikasi para ulama tersebut yang mendapat perhatian paling besar
dari para ulama dari masa ke masa ada empat, yaitu: al-Muwatha, al-Musnad karya Imam al-Syafii, Mukbtalif
al-Hadis, dan al-Sirab al-Nabawiyah (al-Magbazi wa al-Siyar). adapun kitab al-Muwatha yang ditulis oleh
Malik ibn Anas (93-179 H), dinilai oleh para ulama sebagai kitab kodifikasi Hadis yang pertama dan yang dapat
diwarisi hingga sekarang. Kitab ini memuat 1.726 riwayat yang bersumber dari Nabi SAW, sahabat, dan tabiin.
Kodifikasi pada masa ini secara umum belum dilakukan secara selektif. Kitab-kitab mereka tidak
hanya menghimpun apa yang datang dari Nabi SAW saja, tetapi jugu farwa-farwa tabiin. Karena itu, di dalam
kitab-kitab tersebut terdapat Hadis marfu. Hadis mawaquf, dan Hadis maqtbu.
Hal ini pada akhirnya menuntut para ulama untuk melakukan penyeleksian terhadap kitab- kitab Hadis
yang ada. Upaya ini dilakukan oleh para ulama sekitar akhir abad ke-2 H. Atau awal abad ke-H. Hadis-hadis
dalam kitab tersebut kemudian dikoreksi, dipilih berdasarkan kaidah yang ditetapkanulama pada masa ini.
Mereka bekerja keras mengadakan penyaringan Hadis, sehingga berhasi memisahkan Hadis yang dhaif dari
yang shahih dan Hadis-hadis yang mawaquf serta maqthu dari yang marfu, hasil nyata dari upaya tersebut
adalah lahirnya kitab-kitab Hadis induk yang enam (al-Kutub al-Sittah). Kitab-kiab ini dianggab berkualitas
standar karena telah memuat hampir seluruh Hadis Nabi SAW yang shahih, memuat hampir seluruh masalah
terkandung dalam Hadis Nabi SAW, serta dipandang sebagai kitab-kitab yang paling baik susunan, isi, dan
kualitas diantara kitab Hadis yang lain. Keenam kitab tersebut adalah:
Al-Jami al-Shahih karya al-Bukhari
Al-Jami al-Shahih karya muslim
Al-Sunan karya Abu Dawud
Al-Sunan karya al-Turmdzi
Al-Sunan karya al-Nasai
Al-Sunan karya Ibn Majah

BAB III
Penutup
Demikianlah penjelasan dari makalah kami. Sudah barang tentu banyak kekurangan dalam penyajianpenyajian materi kami. Maka dari itu kami akan slalu terus mendalami lagi materi kami ini. Tak lupa juga kritik
dan masukan yang membangun selalu kami harapkan kepada semua pembaca.
Dari penjelasan makalah kami ini, dapat kami simpulkan bahwa Hadis sudah muncul sejak masa Nabi
Muhammad SAW memulai dakwahnya, baik secara sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan. Kemudian,
untuk pembukuannya, dari masa Rosul hadis belum dibukukan sampai masa pertengahan Khulafaurrsyidin.
Karena para sahabat masih berfokus kepada penyebaran-penyebaran Al-Quran kepada masyarakat. Para
sahabat dan Khulafaurrosyidin sangat berhati-hati dalam menerima suatu riwayat hadis. Tetapi setelah masa Abu
Bakar dan Umar, yaitu tepatnya pada masa Usman dan Ali Hadis sudah mulai dibukukan. Hadis dibukukan
pada masa Usman dan Ali karena pada masa Abu bakar dan Umar mereka sangat membatasi periwayatan
hadis. Terutama Umar. Dia sangat berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu. Tetapi setelah Umar
mendengar suatu riwayat hadis dari 2 orang sahabat atau lebih, dia baru mau menerima riwayat tersebut. Dan
kodifikasi Hadis secara resmi menurut data sejarah, awal mula diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz (w. 102
H), khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah yang dinobatkan pada tahun 99 H. Hal itu dilakukan karena
kekhawatirannya terhadap persoalan-persoalan yang terjadi pada saat itu. Yaitu : Hilangnya Hadis-hadis yang
shahih dan meninggalnya ulama-ulma, Bercampurnya Hadis shahih dan yang palsu, Semakin meluasnya daerah
kekuasaan islam sementara kemampuan para tabiin satu dengan lainnya tidak sama.

Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.

Azami M.M., Hadis Nabawi. Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.1, 1994, cet.2, Des 2000.
Octoberrinsyah, Al-Hadis. Yogyakarta: 2005.
Al-Khatib. M. Ajaj, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan. Jakarta: Gema Insani, 1999.
Ranuwijaya. Utang, Ilmu Hadis. Jakarta: Raya Media Pratama, 1996.
Azami M.M., Metodologi Kritik Hadis, terjemahan A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1996.

[1] Hadits Nabawi dari sejarah dan kodifikasinya, hlm 448.


[2] Ibid, hlm 44.
[3] Ttp: Sahi, 1402 H, hlm 76.
[4] Mustafa al-sibai al-sunnah wa makanat uhfi Tasyrial islami. Dar Al-Daumiyah, 1949; hlm 102.
[5] Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis, jakarta; Raya Media Pratama. 1996; hlm 67.
[6] Subhi al-Shahih, Ulum al-Hadis; hlm 337-338.
[7] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terjemahan A. Yamin (Jakarta, Pustaka
Hidayah. 1996.
[8] Ibid; hlm 53.

You might also like