You are on page 1of 38

Definisi agroforestri

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan (usahatani ) yang mengkombinasikan pepohonan


dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun
lingkungan. Pada sistem ini, terciptalah keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan
sehingga akan mengurangirisiko kegagalan dan melindungi tanah dari eros i ser ta mengurangi
kebutuhan pupuk atau zat hara dari luar kebun karena adanya daur-ulang sisa tanaman.
Berikut ini diterangkan contoh beberapa sistem agroforestri.

1. Strip rumput
Strip rumput merupakan bentuk peralihan dari sistem pertanian tanaman semusim menjadi
sistem agroforestri. Strip rumput adalah barisan rumput dengan lebar 0,5-1 m dan jarak antar
strip 4-10 m yang ditanam sejajar garis ketinggian (kontur). Pada tanah yang berteras, rumput
ditanam di pinggir (bibir) teras. Jenis rumput yang cocok adalah rumput yang mempunyai sistem
perakaran rapat dan dapat dijadikan hijauan pakan ternak, misalnya rumput gajah (Pennisetum
purpureum), rumput BD (Brachiaria decumbens), rumput BH (Brachiaria humidicola), rumput
pahit (Paspallum notatum) dan lain- lain. Adakalanya rumput akar wangi (Vetiveria zizanioides)
digunakan juga sebagai tanaman strip rumput. Akar wangi tidak disukai ternak, tetapi
menghasilkan minyak atsiri yang merupakan bahan baku pembuatan kosmetik.Keuntungan strip
rumput:Mengurangi kecepatan aliran permukaandan erosiMemperkuat bibir terasMenyediakan
hijauan pakan ternakMembantu mempercepat proses pembentukan teras secara alami.

2. Pertanaman lorong
Sistem ini merupakan sistem pertanian di mana tanaman semusim ditanam pada lorong di antara
barisan tanaman pagar yang ditata menurut garis kontur. Jenis tanaman yang cocok untuk
tanaman pagar adalah tanaman kacang-kacangan (leguminosa) seperti, gamal (Flemingia
congesta Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan Calliandra callothirsus.
Jarak antar baris tanaman pagar berkisar antara 4 sampai 10 m. Semakin curam lereng, jarak
antar barisan tanaman pagar dibuat semakin dekat.
Keuntungan tanaman pagar:

Menyumbangkan bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong.

Mengurangi laju aliran permukaan dan erosi.

Kelemahan sistem tanaman pagar dan sistem strip rumput:

Tanaman pagar atau strip rumput mengambil tempat 5-15% dari total luas
lahan.

Sering terjadi persaingan dengan tanaman lorong.

Kadang-kadang terjadi pengaruh alelopati (cairan atau gas yang dikeluarkan tanaman
pagar yang mengganggu pertumbuhan tanaman lorong).

Kebutuhan tenaga kerja cukup tinggi untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman
pagar.

3. Pagar hidup
Pagar hidup adalah barisan tanaman perdu atau pohon yang ditanam pada batas kebun. Bila
kebun berada pada lahan yang berlereng curam, maka pagar hidup akan membentuk jejaring
yang bermanfaat bagi konservasi tanah. Pangkasannya dapat digunakan sebagai sumber bahan
organik atau sebagai
hijauan pakan ternak.
Jenis tanaman yang dipakai untuk pagar sebaiknya yang mudah ditanam dan mudah didapatkan
bibitnya, misalnya gamal dengan stek, turi, lamtoro dan kaliandra dengan biji. Untuk tanaman
pagar jenis leguminose perdu (lamtoro, gamal), ditanam dengan jarak antar batang 20 cm.
Jarak yang rapat ini untuk menjaga agar tanaman pagar tidak tumbuh terlalu tinggi.
Keuntungan pagar hidup:

Melindungi kebun dari ternak Pangkasannya dapat dijadikan hijauan pakan ternak

Menjadi sumber bahan organik dan hara tanah

Menyediakan kayu bakar

Mengurangi kecepatan angin (wind break)

4. Sistem multistrata
Sistem multistrata adalah sistem pertanian dengan tajuk bertingkat, terdiri dari tanaman tajuk
tinggi (seperti mangga, kemiri), sedang (seperti lamtoro, gamal, kopi) dan rendah (tanaman
semusim, rumput) yang ditanam di dalam satu kebun (lihat gambar di halaman depan). Antara
satu tanaman dengan yang
lainnya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling bersaing.

Tanaman tertentu seperti kopi, coklat memerlukan sedikit naungan, tetapi kalau terlalu banyak
naungan pertumbuhan dan produksinya akan terganggu.
Keuntungan sistem multistrata:

Mengurangi intensitas cahaya matahari, misalnya untuk kopi dan coklat yang butuh
naungan.

Karena banyak jenis tanaman, diharapkan panen dapat berlangsung secara bergantian
sepanjang tahun dan ini dapat menghindari musim paceklik.

Tanah selalu tertutup tanaman sehingga aman dari erosi

(J. Ruijter dan F. Agus April 2004)


Sumber: http://www.worldagroforestry.org

PENGANTAR AGROFORESTRI
Kurniatun Hairiah, Mustofa Agung Sardjono, Sambas Sabarnudin

1. Agroforestri: ilmu baru, teknik lama


Penanaman berbagai jenis pohon dengan atau tanpa tanaman semusim (setahun) pada sebidang
lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani (termasuk peladang) di Indonesia. Contoh
semacam ini dapat dilihat pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek seperti
ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan karena ketersediaan
lahan yang semakin terbatas. Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak
masalah, misalnya penurunan kesuburan
tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan.

Secara global, masalah ini semakin berat sejalan dengan meningkatnya luas hutan yang
dikonversi menjadi lahan usaha lain. Peristiwa ini dipicu oleh upaya pemenuhan kebutuhan
terutama pangan baik secara global yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk.
Di tengah perkembangan itu lahirlah agroforestri, suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang
pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Ilmu ini
mencoba mengenali
dan mengembangkan sistem-sistem agroforestri yang telah dipraktekkan oleh petani sejak
berabad-abad yang lalu.

2. Apa yang dimaksud dengan agroforestri?


2.1 Definisi agroforestri
Sampai dengan saat ini belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang definisi
agroforestri. Hampir setiap ahli mengusulkan definisi yang berbeda satu dari yang lain.
Mendefinisikan agroforestri sama sulitnya dengan mendefinisikan hutan. Dalam jurnal
Agroforestry Systems Volume 1 No.1, halaman 7-12 Tahun 1982 ditampilkan tidak kurang dari
12 definisi antara lain:
Agroforestri adalah
sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan
melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik
secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati
atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan (P.K.R. Nair)
sistem pengelolaan lahan berkelanjutan dan mampu meningkatkan produksi lahan secara
keseluruhan, merupakan kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan)
dengan tanaman hutan dan/atau hewan (ternak), baik secara bersama atau bergiliran,
dilaksanakan pada satu bidang lahan dengan
menerapkan teknik pengelolaan praktis yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat (K.F.S.
King dan M.T. Chandler)
. penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman pertanian
dan/atau peternakan, baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan besar. Agroforestri
tidak sama dengan hutan kemasyarakatan (community forestry), akan tetapi seringkali tepat
untuk pelaksanaan proyekproyek hutan kemasyarakatan (L. Roche)
Beberapa definisi agroforestri yang digunakan oleh lembaga penelitian agroforestri internasional
(ICRAF = International Centre for Research in Agroforestry) adalah (Huxley, 1999) :
.. sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu,
bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan
(pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga

terbentuk interaksi ekologis dan


ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
.. sistem pengunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak
berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu
lahan, untuk memperoleh berbagai produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi
ekologis dan ekonomis antar komponen tanaman.
.. sistem pengeloloaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman
pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk
secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan
bagi semua pengguna lahan
Selanjutnya Lundgren dan Raintree (1982) mengajukan ringkasan banyak definisi agroforestri
dengan rumusan sebagai berikut:
Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan
lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan
tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau
hewan (ternak) dan/atau ikan, yang
dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis
dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
Dari beberapa definisi yang telah dikutip secara lengkap tersebut, agroforestri merupakan suatu
istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur :

Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia

Penerapan teknologi

Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atauhewan

Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu

Ada interaksi ekologi, sosial, ekonomi

Agroforestri telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial akan pentingnya
pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman tidak berkayu pada
lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya.
Masyarakat tidak akan perduli siapa dirinya, apakah mereka orang pertanian, kehutanan atau
agroforestri. Mereka juga tidak akan memperdulikan nama praktek pertanian yang dilakukan,
yang penting bagi mereka adalah informasi dan binaan teknis yang memberikan keuntungan
sosial dan ekonomi. Penyebarluasan agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah
perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, dan meningkatkan mutu pertanian
serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur.

2.2 Istilah agroforestri lain

Di kalangan masyarakat berkembang beberapa istilah yang sering dicampuradukkan dengan


agroforestri. Hal ini sangat membingungkan. Ada yang memandang agroforestri adalah suatu
kebijakan pemerintah atau status kepemilikan lahan, bukan sebagai sistem penggunaan lahan.
Berikut ini beberapa contoh definisi agroforestri yang berkembang di masyarakat :
Perhutanan Sosial (Social-Forestry)
Perhutanan sosial (social forestry) adalah upaya/kebijakan kehutanan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Produk utama
dari perhutanan sosial berupa kayu dan non-kayu. Oleh karena itu dalam prakteknya dapat
berupa pembangunan hutan tanaman (man-made forest) atau penanaman pohon-pohon pada
lahan milik masyarakat yang dimanfaatkan bagi industri besar. Kegiatan perhutanan sosial,
kadang-kadang menerapkan agroforestri, yaitu apabila penanaman pohon-pohon harus
dilaksanakan bersama-sama dengan komponen pertanian dan/atau peternakan. Walaupun
demikian perhutanan sosial adalah tetap merupakan kegiatan kehutanan, karena pada intinya
kehadiran komponen pertanian sebagai kombinasi tidak mutlak harus dilakukan. Istilah socialforestry sebenarnya dipopulerkan di India pada tahun 70-an dan dalam kegiatannya FAO
memberikan istilah Forestry for Rural Community Development.

Hutan Kemasyarakatan (Community-Forestry) dan Hutan Rakyat (Farm-Forestry)


Kedua istilah ini merupakan bagian dari perhutanan sosial (social-forestry). Hutan
kemasyarakatan (community forestry) adalah hutan yang perencanaan, pembangunan,
pengelolaan, dan pemungutan hasil hutan serta pemasarannya dilakukan sendiri oleh masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan. Pelaksanaannya dapat pula dilakukan oleh pihak kehutanan yang
membantu masyarakat dengan mengutamakan keuntungan bagi seluruh masyarakat, bukan untuk
individu.
Hutan rakyat (farm-forestry) adalah hutan di mana petani/pemilik lahan menanam pepohonan di
lahannya sendiri. Mereka biasanya telah mengikuti pendidikan, latihan dan penyuluhan
kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan.
Bentuk agroforestri mungkin dipilih dan diterapkan pada kedua kegiatan tersebut bila pepohonan
ditanam bersama dengan tanaman pertanian. Dengan demikian hutan kemasyarakatan dan hutan
rakyat tidak selalu identik dengan agroforestri, karena agroforestri adalah pemanfaatan lahan
terpadu tanpa batasan kepemilikan lahan.
Hutan Serba-Guna (Multiple Use Forestry)
Hutan serba-guna adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua atau lebih tujuan pengelolaan,
meliputi produksi, jasa atau keuntungan lainnya. Dalam penerapan dan pelaksanaannya bisa
menyertakan tanaman pertanian atau kegiatan peternakan. Walaupun demikian hutan serba guna
tetap merupakan kehutanan (dalam arti penekanannya pada aspek pohon, hasil hutan dan lahan
hutan), dan bukan merupakan bentuk pemanfaatan lahan terpadu sebagaimana agroforestri yang
secara terencana diarahkan pada pengkombinasian kehutanan dan pertanian untuk mencapai

beberapa tujuan yang terkait dengan degradasi lingkungan serta problema masyarakat di
pedesaan.
Forest Farming
Istilah Forest farming sebenarnya mirip dengan multiple use forestry, yang digunakan untuk
upaya peningkatan produksi lahan hutan, yaitu tidak melulu produk kayu, tetapi juga mencakup
berbagai bahan pangan dan hijauan.
Praktek ini juga sering disebut Dreidimensionale Forstwirtschaft atau kehutanan dengan tiga
dimensi. Di Amerika, istilah forest farming digunakan untuk menyatakan upaya pembangunan
hutan tanaman oleh petani-petani kecil.
Ecofarming
Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya
keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal tertentu dalam ecofarming bisa saja
memasukkan komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya sehingga dapat disebut
agroforestri. Dalam eco-farming tidak selalu dijumpai unsur kehutanan dalam kombinasinya,
sehingga dalam hal ini ecofarming merupakan kegiatan pertanian.

Ada berbagai bentuk sistem atau praktek agroforestri, baik yang bersifat tradisional atau modern
(lihat Bahan Ajaran 2, dan Bahan Latihan), yang tersebar di wilayah tropis dan sub-tropis.

Berbagai contoh tersebut menunjukkan betapa luasnya rentang agroforestri, sehingga para ahli
kehutanan dan pertanian konvensional sulit untuk menerimanya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa definisi agroforestri dapat meliputi rentang yang luas
dari sistem-sistem pemanfaatan lahan primitif, tradisional maupun modern. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya batasan yang jelas kapan atau bilamana suatu sistem dapat dikategorikan
sebagai agroforestri. Batasan semacam ini diperlukan untuk menghindari timbulnya pendapat
bahwa setiap kombinasi komponen kehutanan, pertanian dan/atau peternakan selalu dapat
diklasifikasikan sebagai suatu sistem agroforestri.
Kuenzel (1989) menyarankan untuk melihat adanya interaksi yang nyata dari komponenkomponen penyusunnya. Sebagai contoh sederetan pohon cemara yang ditanam pada pinggir
sawah/ladang yang dimaksudkan melulu untuk produk kayunya, maka sistem tersebut bukan
sistem agroforestri. Namun, bila
penanaman pohon tersebut sekaligus juga dimaksudkan untuk melindungi tanaman pertanian dari
terpaan angin (windbreak), maka sistem itu dapat dikatakan sebagai agroforestri.
Menurut Lundgren (1982), definisi agroforestri seyogyanya menitikberatkan dua karakter pokok
yang umum dipakai pada seluruh bentuk agroforestri yang membedakan dengan sistem
penggunaan lahan lainnya:
1. Adanya pengkombinasian yang terencana/disengaja dalam satu bidang lahan antara
tumbuhan berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan/atau ternak/hewan baik secara
bersamaan (pembagian ruang) ataupun bergiliran (bergantian waktu);
2. Ada interaksi ekologis dan/atau ekonomis yang nyata/jelas, baik positif dan/atau negatif
antara komponen-komponen sistem yang berkayu maupun tidak berkayu.
Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree, (1982)
adalah:
1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau
hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.
3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak
berkayu.
4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak,
kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.
5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung
angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya
keluarga/masyarakat.

6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada
penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan
penggunaan sisa panen.
7. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi)
maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.
2.3 Agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan
Berbicara mengenai agroforestri, berarti berbicara mengenai sistem. Sistem terdiri dari beberapa
komponen dalam susunan tertentu (struktur), yang satu sama lain saling berpengaruh atau
melaksanakan fungsinya. Satu sistem membentuk satu kesatuan yang berbeda dengan
lingkungannya dan di antara keduanya ada hubungan timbal balik. Di samping itu satu sistem
memiliki sifat-sifat tertentu yang juga dapat berubah antara lain dalam kaitan dengan struktur
dan fungsinya.
Agroforestri terdiri dari komponen-komponen kehutanan, pertanian dan/atau peternakan, tetapi
agroforestri sebagai suatu sistem mencakup komponen-komponen penyusun yang jauh lebih
rumit. Hal yang harus dicatat, agroforestri merupakan suatu sistem buatan (man-made) dan
merupakan aplikasi praktis dari interaksi manusia dengan sumber daya alam di sekitarnya.
Mengapa demikian? Agroforestri pada prinsipnya dikembangkan untuk memecahkan
permasalahan pemanfaatan lahan dan pengembangan pedesaan; serta memanfaatkan potensipotensi dan peluang-peluang yang ada untuk kesejahteraan manusia dengan dukungan
kelestarian sumber daya beserta lingkungannya. Oleh karena itu manusia selalu merupakan
komponen yang terpenting dari suatu sistem agroforestri. Dalam melakukan pengelolaan lahan,
manusia melakukan interaksi dengan komponen-komponen agroforestri lainnya. Komponen
tersebut adalah:
1. Lingkungan abiotis: air, tanah, iklim, topografi, dan mineral.
2. Lingkungan biotis: tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll) serta tumbuhan
tidak berkayu (tanaman tahunan, tanaman keras, tanaman musiman dll), binatang (ternak,
burung, ikan, serangga dll), dan mikroorganisme.
3. Lingkungan budaya: teknologi dan informasi, alokasi sumber-sumber daya, infrastruktur
dan pemukiman, permintaan dan penawaran, dan disparitas penguasaan/pemilikan lahan.
Komponen-komponen ABC (Abiotic, Biotic dan Culture) tersebut di atas tersusun dalam sistem
agroforestri melalui berbagai cara. Beberapa komponen biotis hadir secara alami, yang mungkin
sebagian masih bertahan atau tertinggal dari kegiatan penggunaan lahan sebelumnya. Komponen
yang lain memang secara khusus atau sengaja ditempatkan/ditanam oleh manusia sebagai
pengelola lahan. Berbagai komponen dalam satu sistem akan bereaksi atau menunjukkan respon
berbeda dengan respon masing-masing pada kondisi terisolasi. Karena adanya interaksi antar
komponen tersebut, sistem pada dasarnya berbeda dengan total penambahan secara sederhana
dari beberapa komponen. Jadi hutan lebih dari sekedar kumpulan pohon, demikian pula

agroforestri bukan sekedar upaya campur-mencampur kehutanan dengan pertanian dan/atau


peternakan (von Maydell, 1988).

3. Ruang lingkup agroforestri


Pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan
peternakan, di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai
satu bentuk sistem penggunaan lahan (Gambar 1). Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya
ditujukan pada produksi satu
komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut
menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut:

Agrisilvikultur = Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan,


perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.

Agropastura = Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen


peternakan

Silvopastura = Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan

Agrosilvopastura = Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan


kehutanan dan peternakan/hewan

Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestri adalah Agrisilvikutur,
Silvopastura dan Agrosilvopastura. Sementara agropastura tidak dimasukkan sebagai
agroforestri, karena komponen kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi.
Di samping ketiga kombinasi tersebut, Nair (1987) menambah sistem-sistem lainnya yang dapat
dikategorikan sebagai agroforestri. Beberapa contoh yang menggambarkan sistem lebih spesifik
yaitu:

Silvofishery = kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.

Apiculture = budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau
komponen kehutanan.

Gambar 1. Ruang Lingkup Sistem Pemanfaatan Lahan secara Agroforestri


Sumber: Kurniatun Hairiah, Mustofa Agung Sardjono, Sambas Sabarnurdin (2003)
Pengantar Agroforestri Bahan Ajaran 1. Halaman 1-8. Bogor: WORLD AGROFORESTRY
CENTRE (ICRAF).
http://www.worldagroforestry.org

AGROFORESTRY SEBAGAI SALAH


SATU ALTERNATIF PEMBANGUNAN
PERTANIAN BERKELANJUTAN DI
INDONESIA
Oleh: ASMADI SAAD, Asmadi_jambi@yahoo.com
Sumber: http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/asmadi_s.htm
2002 Asmadi Saad Posted: 18 April 2002 [rudyct] ; Makalah Falsafah Sains PPs 702,
Program Pasca Sarjana /S3, Institut Pertanian Bogor, April 2002; Dosen: Prof.Dr.Ir.Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
I. PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Agroforestry


Agroforestry berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di mana pohon ditumbuhkan
berasosiasi dengan tanaman pertanian, makanan ternak atau padang pengembalaan. Asosiasi ini
dapat dalam waktu, seperti rotasi antara pohon dan komponen lainnya, atau dalam dimensi
ruang, dimana komponen tersebut ditumbuhkan bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam
sistem tersebut mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar pohon dan
komponen lainnya. Hudges (2000) dan Koppelman dkk.,(1996) mendefinisikan Agroforestry
sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama
dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi
berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana adalah menanam pohon
dalam sistem pertanian. Reijntjes, (1999), menyatakan Agroforestry sebagai pemanfaatan
tanaman kayu tahunan secara seksama (pepohonan, belukar, palem, bambu) pada suatu unit
pengelolaan lahan yang sama sebagai tanaman yang layak tanam, padang rumput dan atau
hewan, baik dengan pengaturan ruang secara campuran atau ditempat dan saat yang sama
maupun secara berurutan dari waktu ke waktu.
Sistem agroforestry dapat dikelompokkan menurut struktur dan fungsi, sebagaimana agroekologi
dan adaptasi lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek budaya dan kebiasaan (adat), dan cara
pengelolaannya. Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry diantaranya : berdasarkan kombinasi
komponen pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan
dalam agroforestry (King, 1978; Koppelman dkk., 1996 ) :
a. Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar
untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
b. Silvopastoral : Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk
memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
c. Agrosilvopastoral : tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan
hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus
memelihara hewan ternak.
d. Sistem lain , yang meliputi :

Silvofishery : pohon dan ikan

Apiculture : pohon dan lebah

Sericulture : pohon dan ulat sutera

Young (1997) mengkelaskan agroforestry seperti pada Tabel 1. Hudge (2000) menyatakan ada
lima model utama penerapan agroforestry khususnya di daerah temperate yaitu : Alley crooping,
silvopasture, riparian forest buffer, windbreaks dan forest farming.

Berdasarkan fungsi dari pohon, sistem agroforestry mempunyai fungsi utama sebagai produksi
atau konservasi. Fungsi produktif meliputi : makanan, pakan ternak, bahan bakar, karet, obat dan
uang. Fungsi konservasi atau pencegahan meliputi : perbaikan tanah, pelindung dan nilai
spiritual. Berdasarkan kesesuaian waktu, sistem agroforestry secara temporal (ladang berpindah,
atau lebih menetap, dalam kasus pengelolaan rumah kebun yang intensif). Berdasarkan pola
pohon apakah pohon dalam sistem agroforestry dikelola dengan suatu pola yang teratur (bila
ditanaman menurut jarak yang tetap, atau dalam sebaran yang tidak teratur)
1.2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah meliputi pembahasan mengenai hal-hal sebagai berikut :
Pengertian dan klasifikasi Agroforestry
Karakteristik dan Keterlibatan Masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta
analisis issu yang berkembang.
Pengaruh Slash dan Burn sistem terhadap sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi
tanah dalam agroforestri dan dalam pengelolaan tanah.
Prinsip pengambilan dan pemanfaatan cahaya dan air serta modifikasi iklim mikro dalam
agroforestry.
II. MASYARAKAT AGROFORESTRY
2.1. Karakteristik Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Dalam pengelolaan suatu sumberdaya sangat tergantung pada komunitas masyarakat sekitar
kawasan terutama yang menyangkut faktor sejarah, faktor sosial, faktor ekonomi dan faktor
budaya.
Faktor sejarah:
Masyarakat merupakan suatu hasil perkembangan aktivitas masa lalu hingga kini yang sedikit
brbeda dengan awal sejarahnya. Faktor sejarah dapat menjadi penghambat atau membantu suatu
kegiatan suatu proyek masyarakat kehutanan dimana mereka akan berpengaruh terhadap
keberhasilan suatu kegiatan. Diantara faktor sejarah yang berperan penting dalam ketahanan
masyarakat dan pengelolaan sumberdaya adalah : sejarah penduduk dan penempatannya dan
sejarah konflik (Thompson, 1997). Sejarah penduduk mencerminkan keaslian leluhur/keturunan
dari masyarakat. Dalam beberapa kasus semua anggota yang sekarang ada pada suatu desa dapat
berupa keturunan dari suatu keluarga atau nenek moyangnya. Ini dapat menjadi suatu faktor
penting dalam kohesi / ketahanan masyarakat. Dalam kasus yang lain keluarga telah dibagi atau
adanya keluarga baru yang bergabung menjadi suatu masyarakat. Jika demikian, maka
merupakan suatu hal yang penting untuk mengerti dalam mempertimbangkan anggota
masyarakat.

Penduduk yang datang kemudian (pendatang baru) sering lebih agresif dalam usahanya
mengeksploitasi sumberdaya (hutan) dibandingkan dengan penduduk asli yang cenderung
memelihara atau memanfaatkannya secara lebih bijaksana. Pengalaman masyarakat dalam
konflik dan cara penyelesaiannya pada masa lampau berpengaruh besar dalam ketahanan
masyarakat dan keinginan untuk memecahkan masalah dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya
secara bersama-sama.
Faktor Sosial :
Ada sejumlah isu yang berhubungan dengan struktur sosial masyarakat yang mempengaruhi
kohesi dan macam kepentingan dalam kelompok yang berbeda dapat mencegah seperti mereka
mencari solusi untuk mengelola masalah sumberdayanya sendiri. Beberapa yang
penting/menonjol meliputi : etnik dan bahasa; struktur keluarga; kasta dan tingkatan sosial
lainnya; hubungan gender (jenis kelamin).
Status sosial
Ada sekelompok masyarakat akat terangkat harkatnya jika menerapkan pola usaha tani tertentu
yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Keluarga yang memelihara ternak kerbau dianggap
lebih tinggi status sosialanya dibandingkan dengan memelihara unggas. Contoh lain seperti
petani yang memiliki kebub karet di Sumatera, Jati di Jawa Tengah, Kasseavera di Kerinci,
Tambak di Pantura dan Lampung, Kelapa di pantim Jambi, Riau oleh masyarakat Bugis dan
Banjar merasa lebih terhormat dibandingkan dengan usaha tani lainnya. Di Jawa Tengah di
daerah lahan kritis (sub DAS Tuntang Hulu) hampir setiap rumah memelihara sapi yang
dianggap sebagai tabungan untuk mengatasi kebutuhan yang mendadak seperti sakit,
perkawinan.
Faktor ekonomi
Faktor ekonomi yang sangat berpengaruh dalam memanfaatkan sumber daya hutan dengan
seksama antara lain perbedaan atau persamaan dalam strategi kekeluargaan, dan tingkat strata
ekonomi dalam masyarakat. Bagi masyarakat yangsangat tergantung pada hasil hutan dalam
bentuk non timber forest product (NTFP) seperti memanfaatkan untuk obat-obatan, madu, resin
akan memelihara hutan dengan baik dibandingkan dengan yang memanfaatkan kayu yang akan
melakukan penebangan pohon. Adanya insentif dapat mempengaruhi cara masyarakat dalam
memelihara hutan. Tingkat ekonomi masyarakat yang rendah akan memacu katergantungan
hidupnya pada hutan dibandingkan dengan masyarakat yang ekonomi yang lebih baik. Namun
dalam hal ini ada beberapa bukti yang menunjukkan sebaliknya seperti dalam hal dapat membeli
mesin potong kayu (chin saw) untuk menebang pohon dengan lebih cepat.
Faktor budaya
Beberapa faktor budaya yang mempengaruhi masyarakat dalam memelihara dan mengeksploitasi
hutan berhungan dengan agama. Seperti kewajiban memelihara keseimbangan alam. Faktor lain
seperti faktor teknologi yang dikuasi oleh masyarakat setempat. Budaya petani sawah di pantura
(Jawa) dan karet di Sumatera tidak lepas dari faktor teknologi yang dimiliki oleh masyarakat

setempat. Sebagai contoh kasus Petani Krui (Lampung) ketika mereka memutuskan untuk
meneruskan pengelolaan lahan ke fase repong, pertimbangannya bukan hanya menyangkut
faktor keterbatasan alamiah tanaman kebun yang tidak bisa melampaui usia produktif di atas 15
tahun, akan tetapi juga didasari oleh alasan-alasan yang bersifat kultural. Bagi petani Krui,
membangun repong damar juga merupakan perwujudan amanah mereka untuk mewariskan
sesuatu yang bermanfaat secara kongkrit bagi keturunannya. Mereka ingin menduplikasi apa
yang telah diterimanya dari orang tua. Sejauh fakta yang bisa ditemukan di lapangan, tahapan
pengelolaan lahan hutan selalu diakhiri dengan membangun repong damar. Artinya, pengetahuan
mereka mengenai tahapan-tahapan pengelolaan hutan dijadikan sebagai acuan dalam tindakan
pengelolaan lahan hutan. Tapi hal itu bukanlah suatu keadaan yang tanpa gangguan. Paling tidak
pengalaman mereka pada tahun 1970-an mencuatkan fakta bahwa sebagian petani justru
menghentikan pengelolaan lahan pertaniannya sampai pada fase kebun dan tidak dilanjutkan
kefase repong. Namun ketika tanaman cengkeh mereka musnah diserang hama pada tahun 1980an sehingga mengguncang ekonomi rumah tangga mereka, maka pengalaman pahit itu
mendorong mereka untuk bersikap konservatif hingga sekarang. Era 1990-an, petani Krui telah
kembali ke format awal model pengelolaan lahan hutan, yaitu mulai dari ladang, kebun, dan
berakhir pada fase repong damar (Lubis, 1997).
2.2. Keterlibatan Masyarakat Setempat
Suatu kerangka kerja untuk menganalisis proses pengambilan keputusan seperti dikembangkan
oleh Koppelman dkk., (1996). Sebagai faktor utama adalah sosio ekonomi dan kondisi biofisik.
Kerangka tersebut menyarankan bahwa investasi agroforestry, pasar, produksi dan konservasi
yang dibuat petani didasarkan pada kondisi internal keluarga sebagai kunci terhadap faktor
eksternal yang berhubungan dengan : (1) pasar dan informasi pasar, (2) tersedianya layanan
pendukung, (3) informasi teknologi, dan (4) kebijakan, peraturan, undang-undang dan insentif.
Teknologi agroforestry merupakan sebagian solusi masalah lahan kering. Farm based
agroforestry di Indonesia umumnya cenderung ke tanaman atau makanan ternak, menekankan
pada pohon buah-buahan dan spesies tanaman multiguna, pada lahan milik swasta lahan akan
aman dalam waktu yang lebih lama. Sebaliknya sistem hutan berbasis agroforestry mempunyai
ciri-ciri umum cenderung ke pohon, menekankan hutan atau spesies pohon yang menghasilkan
kayu, biasanya dibawah pengawasan pemerintah.
Agroforestry dapat menerapkan : teknologi setempat atau existing yang sudah dikenal oleh
petani, praktek dengan memodifikasi atau memperbaiki teknologi setempat oleh petani atau dari
luar, menerapkan hasil penelitian dari pihak luar.
Penerapan teknologi dari luar mempunyai 2 resiko utama :

teknologi introdusi secara sosial dan ekonomi tidak dapat diterima oleh petani

teknologi introdusi atau spesies secara ekologi tidak tepat (penanaman eucaena pada
tanah masam).

Salah satu unsur utama dalam pemilihan pola agroforestri yang akan dipilih petani adalah
pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani tentang tujuan dan cara mencapainya. Hal ini
sangat tegantung dari pada ciri-ciri rumah tangga yang bersangkutan misalnya jumlah laki-laki,
perempuan, dan anak-anak, usia, kebutuhan, pengalaman bertani, kondisi kesehatan,
kemampuan, keinginan, pengetahuan, dan keterampilan serta hubungan antar anggota rumah
tangga (Reijntjes, 1992). Hal tersebut diikuti dengan tujuan rumah tangga petani yang meliputi
unsur produktivitas, kemanan, kesinambungan dan identitas. Lubis, (1997), pengaruh-pengaruh
yang mendasari pengabilan keputusan : antara laian : (1) pengaruh ekonomis, (2) pengaruh
ekologis, (3) pengaruh sosial, (4) pengaruh kultural. Tekanan ekonomi ( hutan dan sistem
perdangan internasional dan perubahan sosial yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan
degradasi lahan (Barrow, 1991)
Sebagai contoh kasus sistem pertanian di daerah Krui (lampung) yang secara umum merupakan
gabungan yang saling mendukung antara pertanian lahan basah (khususnya sawah) dengan lahan
kering (sistem wanatani damar). Sampai batas-batas tertentu keberadaan sawah punya andil
terhadap keberlanjutan wanatani damar, karena alokasi waktu yang dicurahkan untuk mengelola
sawah akan mengurangi tekanan untuk mengeksploitasi hasil repong damar. Data-data empirik
menunjukkan bahwa kegiatankegiatan produktif di repong damar berkurang selama musim
panen padi.
Tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan orang Krui secara garis besar dapat dibedakan
atas tiga fase produktif, yaitu fase (1) darak, (2) kebun, dan (3) repong. Ketiga fase itu
berlangsung di ruang fisik yang sama tapi secara taksonomis berada pada ruang kognisi yang
berbeda. Hal itu berkaitan dengan definisi, konsepsi dan harapan-harapan yang mereka lekatkan
pada masing-masing fase pengelolaan tersebut. Perbedaan itu secara jelas dimanifestasikan
dalam bentuk tindakan pengelolaan lahan. Fase produktif pertama dimulai ketika petani sudah
selesai mempersiapkan lahan siap tanam (pangrula/darak) yang lazimnya membutuhkan
waktusekitar 2-3 bulan. Fase darak (fase 1) ditandai oleh kegiatan pengelolaan tanaman
subsistensi berupa padi ladang dan palawija. Kegiatan menanam padi ladang dan palawija
dilakukan terutama untuk menyediakan pasokan pangan bagi petani selama pengelolaan lahan,
khususnya selama tahap-tahap intensif perawatan tanaman kebun (fase 2). Padi dan palawija
hanya ditanam 1-2 kali di lahan yang sama, setelah itu mereka mengalihkan kegiatannya pada
perawatan tanaman komersial seperti kopi, lada, cengkeh dan lain sebagainya. Dengan demikian,
fase darak (ladang) berfungsi sebagai penyangga bagi fase produktif berikutnya. Fase produktif
kedua, yaitu kebun, dimulai ketika tanaman komersial seperti lada, kopi, atau cengkeh, dll sudah
mendominasi tegakan di lahan bekas ladang (fase 1), yaitu kira-kira mulai tahun ketiga sejak
pembukaan lahan. Tujuan utama petani Krui membuka hutan adalah untuk berkebun, bukan
berladang atau membuat repong damar. Fase kebun dikonsepsikan petani sebagai fase kaya
kejutan (batin kejutan), karena pada masa inilah mereka mendapatkan peluang besar untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup dan memperbaiki posisi sosial ekonominya. Tanaman tahunan
(perennial crops) yang tumbuh di atasnya; misalnya damar, duku, durian, petai, jengkol, melinjo,
nangka, dan lain sebagainya. Semua jenis tanaman itu secara berangsur sudah ditanam sejak fase
kebun (Tabel 2). Satu ciri penting yang membedakan fase kebun dengan repong terletak dalam
soal perawatan tanaman. Posisi tanaman damar lebih kuat sebagai penegas klaim atas lahan
dibandingkan tanaman repong lainnya karena dua alasan, (a) tradisi mengklaim lahan hutan yang
ditumbuhi damar liar sudah berlangsung lama bahkan ketika orang Krui masih dalam fase

mengekstraksi dan belum membudi dayakan pohon damar, (b) damar merupakan tanaman yang
bisa memberikan penghasilan rutin kepada petani tahun yang akan datang. Oleh sebab itu,
repong damar adalah fase dimana petani menanam investasi yang hasilnya diharapkan.
2.3. Analisis Issu Yang Berkembang
Sekitar 70 % penduduk indonesia tinggal di daerah pedesaan yang 85 % tergantung pada
pertanian. Setiap tahun hampir satu juta penduduk yang pindah dari kota ke desa. Sebaliknya
setiap tahuan hampir 100.000 keluarga tani yang pindah dari jawa ke luar jawa. Sekitar 12 juta
penduduk yang hidup miskin atau kurang maju yang desanya dekat atau sekitar hutan (Sarido,
1996), dan semakin bertambah dengan berlanjutnya krisis multidimensional semenjak tahun
1997. Kepadatan penduduk yang tidak merata seperti di Jawa yang cukup tinggi yaitu sekitar
814, Sumatera 77, Kalimantan 17, Sulawesi 66, Irian Jaya 4 jiwa per kilometer persegi.
Walaupun perbandinga lahan pertanian terhadap penduduk pertanian sekitar 0,39 ha per kapita.
Untuk Jawa sekitar 0,25 ha per keluarga dan lebih 2 ha per keluarga di luar Jawa (Koppelman
dkk., 1996).
Untuk mendukung pengembangan Agroforetri di Indonesia telah dilakukan bererapa usaha
seperti penyusunan program kehutanan dan penigkatan sumberdaya manusia. Ada 8 program
utama yang mendukung sektor kehutanan dan lingkungan yaitu : konsolidasi hutan dan
peningkatan produktivitas sumber daya hutan, memperluas penanaman hutan, pengembangan
masyarakat hutan, menegembangkan proses hasil hutan, inventarisasi dan evaluasi sumber daya
alam dan ekosistem, pengamatan hutan, lahan dan air, rehabilitasi lahan kritis, mengembangkan
daerah pantai. Program pendukung lainnya meliputi aktivitas yang berhubungan dengan
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan training dan penyuluhan, infra struktur, sistem
pengembangan, pengembangan lingkungan, penataan ruang, perencanaan penggunaan lahan,
pengembangan usaha kecil dan menengah usaha kehutanan, transmigrasi, turis, pemuda dan
wanita. Pada saat sekarang ini kurangnya perhatian, kerja sama dan koordinasi antar departemen,
lembaga dan univeristas terhadap penngunaan lahan.
Teknologi agroforestri sering diperkenalkan melalui penelitian dan plot demontrasi. Di beberapa
daerah pendekatan tersebut sering berhasil dan beberapa daerah lainnya gagal karena tidak
didesain menurut kondisi setempat dan kebutuhan petani, hasilnya tidak diadopsi petani. Ada 30
spesies tanaman agroforestri yanga akan dikembangkan di Indonesia (Tabel 3) (Tomich, dkk,
1998)
Di Asia Fasifik prioritas Agroforestry ditunjukkan dengan adanya kerjasama dengan 11 negara
anggota jaringan kerja sama agroforestry di Asia-Pasifik, prioritas utama untuk penelitian,
pengembangan dan pelatihan telah diidentifikasi seperti dalam Tabel 4 (Tejwani dan Lai, 1992) .
III. SLASH AND BURN DALAM AGROFORESTRY DAN MANFAAT AGROFORESTRI
DALAM PENGELOLAAN TANAH
3.1. Pengaruh Slash dan Burn sistem terhadap Sifat Fisik Tanah, Sifat Kimia Tanah dan
Sifat Biologi Tanah

Kerusakan sumber daya lahan di negara-negara berkembang sedang mejadi isu besar dalam
beberapa dekade terakhir ini. Petani melakukan sistem perladangan berpindah disebabkan
beberapa hal, antara lain : (1) tingkat pendapatan yang rendah, dimana petani tidak mampu
membeli sarana produksi (pupuk pestisida) dan bibit dan tidak mampu melakukkan upaya
konservasi tanah, (2) tingkat pengetahuan tentang teknologi pertanian rendah, (3) rendahnya
kesadaran untuk memelihara sumberdaya lahan /lingkungan, hal ini menyebabkan peladang tidak
melakukan upaya konservasi tanah, (4) adat yang memungkinkan untuk merambah hutan
(Sanchez, 1994 ; Sukmana, 1995).
Tebas yang disertai tebang atau tidak dan bakar dilakukan pada kegiatan pembukaan hutan
primer dan sekunder atau semak untuk budidaya pertanian. Kegiatan pertanian ini ada yang
menetap seperti pada program transmigrasi dan perkebunan dan ada pula yang berpindah-pindah,
disebut perladangan berpindah. Pada setiap metoda pembukaan lahan , baik metoda manual
maupun mekanik tahap pembakaran ini dilakukan dengan maksud untuk mempercepat proses
pembersihan lahan dan biaya yang relatif murah.
Pengaruh permbakaran terhadap tanah diungkapkan oleh Ataga dkk (1986) yang mengatakan
bahwa pembakaran merupakan isu kontraversial, sebagian orang menganjurkan agar tidak
dilakukan pembakaran supaya kesuburan tanah terpelihara dan bahaya erosi dapat dikurangi.
Dari penelitian di Nigeria Institute for Oil Palm Research, Ataga dkk (1986) melaporkan bahwa
tidak ada perbedaan nyata antar pengaruh pembakaran dengan pengaruh tanpa pembakaran
terhadap sifat tanah dan produksi kelapa sawit pada pengamatan setelah 9 sampai 20 tahun sejak
kedua perlakuan dicobakan.
Pembakaran memberikan keuntungan yang sifatnya sementara, yaitu abunya sumber beberapa
unsur hara bagi tanaman. Pengaruh abunya sangat baik pada tanah masam seperti ultisol, karena
dapat menaikkan pH, mengurangi aluminium dan meningkatkan kalsium dan magnesium (Tabel
5). Akan tetapi pada tanah yang subur abu tidak ada pengaruhnya.
Pembakaran tidak menurunkan kandungan bahan organik tanah. Pengaruh buruk terhadap tanah
adalah metoda mekanik (alat berat) dimana terjadi pemadatan tanah yang dicirikan oleh
menurunnya laju infiltrasi dan pengusuran lapisan tanah atas yang dicirikan oleh lebih rendahnya
kandungan bahan organik tanah.
Pembakaran biomass dengan cepat dapat meningkatkan pH tanah, Kation basa tertukar, KTK
efektif tanah dan p tersedia. Pada tanah-tanah masam abu akan menetralkan pH tanh dan
menekan kelarutan Al dalam tanah. Hal ini menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
Beberapa contoh pengaruh pembakaran terhadap sifat kimia tanah.
Bahan organik dikonversi menjadi hara yang tersedia dari bahan organik tanah melalui proses
dekomposisi, yang dipengaruhi oleh faktor physicochemical environment, meliputi iklim dan
tanah; kualitas bahan organik (komposisi kimia bahan organik); dan biota decomposer (Swift et
al, 1979). Model umum dari sistem tebang bakar mempercepat proses dekomposisi. Bahan
organik tanah sekarang merupakan hal yang penting meningkatkan produktivitas lahan dalam
sistem tebang bakar dan pertanian dengan input rendah karena ini membantu dalam
mempertahankan kesuburan dan struktur tanah. Hara juga disimpan dalam bentuk organik (N dan

P) dan mineral pada tapak pertukaran bahan organik. Dekomposi bahan organik akan
melepaskan hara yang diperlukan oleh tanaman dari bahan organik menjadi lebih tersedia tapi
pada tingkat bahan organik yang terlalu rendah akan merusak struktur tanah dan dengan
pembakaran juga akan menekan jumlah bahan organik dalam bentuk C-mikroba.
Sedikit penelitian di tropis tentang pengukuran biomas mikroba pada hutan dan daerah
penerapan sistem slash-burn (tebang bakar). Dalam Ayanaba dkk., (1976) plot tanaman jagung
dengan residu dikembalikan menunjukkan penurunan 27 % C-mikroba dalam 2 tahun sebaliknya
C-total menurun hanya 10 %; plot tanpa residu dikembalikan menunjukkan penurunan 52 % dan
30 % untuk C-mikroba dan C-total. Dalam kedua kasus tersebut pengukuran mikroba lebih
sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan. Rasio SMC/TC juga menunjukkan penurunan.
Bonde, Rosswall dkk., (1991) mendapatkan sedikit penurunan C-mikroba pada pada padang
rumput selama 2 dan 8 tahun, dengan sedikit meningkat setelah 8 tahun padang rumput ditanami
legume. Total C walaupun meningkat pada sistem padang rumput tapi rasio SMC/TC menurun
berurutan 48 % dan 20 % pada padang rumput tanpa legum dan dengan legum.
Penggunaan rasio SMC/TC sebagai indikator sustainable (keberlanjutan) selama 1 tahun setelah
penerapan sistem tebang bakar (Alegre dkk., 1989) menunjukkan penurunan yang cepat
kandungan bahan organik pada sistem pertanian input tinggi diikuti input rendah dan sistem
perladangan berpindah.
Pembakaran melepaskan hara tanaman yang immobile dalam biomass. Abu mengandung kation
Ca, Mg dan K dan beberapa unsur N dan S akan hilang melalui volatilisasi. Pembakaran juga
akan melepaskan sejumlah karbon dan nitogen ke atmosfir. Disamping itu pembakaran juga akan
merubah sifat biologi tanah dimana sejumlah fauna pendekomposisi. Pembakaran intensif
hususnya pada windrow biasanya meningkatkan temperatur tanah lebih 100oC sampai
kedalaman 10 cm. Temperatur tanah lebih dari 60 oC dipertahankan selama 30 jam atau lebih.
Tanah yang terbakar akan steril pada kedalaman mencapai 10-20 cm.
3.2. Manfaat Agroforestri Dalam Pengelolaan Tanah
Dalam kontek pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk
tetap produktif sekaligus mempertahankan basis sumberdaya. Menurut Reijntjes dkk., (1992),
pertanian berkelanjutan mempunyai ciri-ciri : mantap secara ekologis, bisa berlanjut secara
ekonomis, adil, manusiawi dan luwes. Pertanian berkelanjutan dan Pembangunan pedesaan
didefinisikan sebagai pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dan orientasi teknologi dan
perubahan institusi dalam suatu cara untuk meyakinkan hasil yang dicapai dan kepuasan yang
berkelanjutan kebutuhan manusia untuk sekarang dan generasi masa datang. Pembangunan yang
berkelanjutan memelihara sumber daya lahan, air dan tanaman dan genetik hewan yang secara
lingkungan tidak terdegradasi, secara teknologi yang tepat, secara ekonomi dapat berjalan dan
secara sosisal dapat diterima (FAO, 1995 dalam Young, 1997). Secara sederhana penggunaan
lahan yang berkelanjutan merupakan sesuatu yang mempertemukan kebutuhan untuk produksi
pengguna lahan sekarang, tetapi memelihara sumberdaya pokok untuk generasi mendatang yang
mana tergantung produksi. Sustainable = Produksi + Konservasi.

Pengaruh interaksi pohon dan tanamam dalam peneglolaan tanah menunjukkan respon positif (+)
terhadap peningkatan produktivitas, memperbaikai kesuburan tanah, siklus hara, konservasi
tanah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebelum mempertimbangkan methoda untuk mengkuantifikasi pengaruh interaksi pohontanaman, akan lebih berguna menggunakan daftar keuntungan secara biofisik dan
konsekwensinya yang biasanya terlibat dalam sistem agroforestry untuk menunjukkan bukti yang
didasarkan pada penelitian langsung maupun tidak langsung.
Sebagai contoh keuntungan dan pengaruh konpetisi dalam short-term dapat berbeda dengan
dalam long-term. Sebagai net efek untuk cahaya, air biasanya negatif sedangkan untuk hara pada
dalam short-term menunjukkan net efek yang positif. Pengaruhnya terhadap perbaikan
kandungan bahan organik dan sifat fisik tanah, penyediaan hara dari bahan organik tanah, dan
memperbaiki sifat kimia tanah menunjukkan pengaruh net efek yang positif dalam long-term.
Hudge (2000) melihat benefit silvopasture dapat : diversifikasi pendapatan, menekan kebutuhan
bahan kimia atau kontrol mekanik vegetasi dan dapat menekan kebutuhan pupuk kimia.
Penggabungan pohon, makanan ternak dalam silvopastoral dapat menekan resiko ekonomi
dengan banyak produk dara lahan yang sama, secara lingkungan dapat mengkonservasi alam dan
kondisi sosial yang berhubungan dengan kualitas air, debu, kebisingan.
IV. INTERAKSI BIOFISIK DALAM SISTEM AGROFORESTRY
Interaksi antara komponen kayu dan non-kayu (annual crop) merupakan kunci suksesnya dalam
pengembangan semua sistem agroforestri (Rao dkk., 1998). Karena itu sangat penting untuk
memahaminya dalammemperbaiki sistem tradisional yang telah lama diterapkan dalam
agroforestri. Interaksi biofisik dapat dikelompokkan dalam hal yang berhubungan dengan
kesuburan tanah (meliputi kimia tanah, fisika tanah, dan biologi tanah), persainga (meliputi
interaksi persaingan air tanah, hara, dan radiasi), mikroklimat, hama dan penyakit tanama)
konservasi tanah dan dan allelopati (Tabel 6).
4.1. Prinsip Pengambilan Dan Pemanfaatan Cahaya Dan Air
Tumbuhan dan hewan yang berbeda memiliki kebutuhan akan cahaya, suhu dan air dan
kelembaban yang berbedapula. Ada yang mebutuhkan banyak sinar matahari ada yang sedikit
dan menyukai naungan. Konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam agroforestri dalam hal
memodifikasi iklim mikro.
Komponen dalam tumpangsari atau agroforestri sering berbeda sekali dalam ukuran, dimana
tanaman yang berukuran kecil sering terhambat pertumbuhannya karena pengaruh naungan dan
juga karena persaingan akan hara dan air. Persaingan akan cahya merupakan faktor pembatas
utama bila air dan hara tersedia cukup. Tapi di daerah tropik air dan hara (masam, tercuci dan
tanah terdegradasi) lebih utama dibandingkan dengan faktor cahaya. Persaingan tersebut bila
msampai menjadi faktor pembatas akan berpengaruh terhadap produksi biomassa baik berupa
shoot maupun root.

Millet-groundnut intercropping, leucaena (C3 legume) dipangkas pada ketinggian 0,65-0,70 m


sebelum tanam dan dipertahankan pada ketingian yang sama sebagai C4, pear millet sepanjang
musim. Ada bukti bahwa e meningkat dalam sistem agroforestri, tapi tidak cukup untuk
mengimbangi penurunan akibat kekurangan cahaya oleh pearl millet sebagai akibat persaingan
dari leucaena. Masalah tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap tanaman pohon yang
menghasilkan buah (Kesler, 1992 dalam Ong and Huxley, 1996). Beberapa contoh lainnya
seperti tumpangsari jagung-pigeonpea, millet-groundnut, dan pigeonpea-groundnut yang
menunjukkan tanaman yang tumbuh pertama akan menghambat perkembangan kanopi yang
lainnya dengan cepat.
Seperti pada penangkapan cahaya, intercropping dan khususnya sistem agroforestri memberikan
peluang untuk menerapkan sistem secara spasial atau temporal dalam persaingan terhadap
penggunaan air, yang berdampak terhadap ketersediaan air bagi tanaman. Tetapi peluang untuk
sdaling melengkapi antar spesies yang berbeda responnya dalam pola kaopi dan perakaran;
pembentukan akar tergantung juga pada keadaan tanah. Beberapa pengalaman lapangan
menyarankan bahwa total penggunaan air berbeda tergantung pada jenis tanaman. Walaupun
total penggunaan air oleh intercrop (585 mm) jauh melebihi sorgum (434 mm), tidak
menunjukkan sisa lebih lama selama penanaman sole pigeonpea (584mm). Dalam penelitian
yang sama , Reddy dan Willey (1981) menunjukkan bahwa penggunaan air oleh pearl intercrop
millet groundnut sebesar 10 % lebih besar pada groundnut dan 34 % lebih besar pada sole
millet; suatu faktor utama yang tampak adalah leaf area index (indek luas daun/ILD) melebihi 2
selama sekitar 20 hari dalam 82 hari tanaman sole millet, tapi selama 50 hari dalam 105 hari
intercrop. Untuk rasio penggunaan air untuk tanaman cereal C4 tropika umumnya sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan taman C3 pada kondis yang baik. Sebagai contoh nilai ew untuk
jagung dan sorgum 2 kali lebih besar dibandingkan dengan pada spesies tanaman C3 (Angus
dkk., 1983), dan sama dengan dengan ew antara pearl millet dan groundnut (Squire, 1990). Pada
kondisi tekanan air yang sama (mean saturation defisit 2-2.5 kPa), musim yangbpanjang ew 3,9
dan 4.6 gr kg-1 untuk millet dan 1.5, 1.9, dan 2 gr kg 1 untuk groundnut. Tapi untuk spesies C4
tidak selalu mempunyai rasio penggunaan air yang lebih tinggi dari pada tanaman C3, karena
nilai yang sama dilaporkan untuk tanaman C3 yang toleran kekeringan seperti cowpea dan cotton
dan tanaman C4 yang sensitif kekeringan sperti jagung dan sorgum (Rees, 1986b).
4.2. Modifikasi Iklim Mikro Dalam Agroforestry
Pengaruh yang paling penting penggabungan tanaman berkayu dan tanaman tidak berkayu akan
menghasilkan perubahan mikroklimat yang berpengaruh terhadap sistem komponen
pertumbuhan tanaman. Untuk memahami modifikasi iklim mikroklimat yang terjadi dalam
sistem agroforestri berhubungan dengan radiasi, angin, kelembaban dan temperatur. Perubahan
mikroklimat tersebut akan mempengaruhi evapotranspirasi dan pertumbuhan tanaman. Cahaya
matahari yang bermanfaat dalam proses fotosintesis Q (0.4-0.7 um). Sinar matahari yang diserap
oleh permukaan non-transmited adalah S(1 a ) dimana a merupakan reflektan atau albedo.
Sangat sedikit informasi yang tersdia tentang albedo dalam sistem agroforestri, tapi ada
informasi untuk permukaan yang analog dengan sistem agroforestri.
Eneri yang diserap daun tanaman atau agroforestri (net radiation, Rn) dapat dihitung sebagai
perimbangan radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek : Rn= S(1 a ) + R1.d-R1.u,

dimana Ri.d radiasi gelombang panjang yang diserap permukaan dan R1.u adalah radiasi
gelombang panjang yang dipantulkan oleh permukaan. Fluxes radiasi gelombang panjang
biasanya antara 300-400 W m-2 relatif konstan, dimana Rn siang sangat dipengaruhi besarnya S.
Dibawah langit yang cerah R1.d-R11.u sekitar 100 W, hal inimmenyebabkan malam lebih
dingin dari siang. HA menrupakan sebab langit lebih dingin dari permukaan tanah dan vegetasi,
tapi dibawah kanopi hutan fluxe radiasi gelombang panjang hampir sama antara yang masuk dan
keluar sehingga teras lebih dingin. Hal ini menjelaskan kenapa lebih dingin dibawah pohon dari
pada daraeh terbuka dan dapat menjadi hal penting sebagai fungsi naungan pada tanaman kopi,
teh atau modifikasi bnetuk lain dalam penerapan agroforestri.
Angin dalam agroforestri berhubungan dengan kerusakan, peran dalam membantu
evapotraspirasi, suhu udara dan membantu dalam penyerbukan. Sebagai dampak negatif dari
angin dapat diatasi dengan membuat penahan atau pemecah angi (Hudge, 2000). Pemecah angin
tanaman dan ternak dari angin yang kuat, mengurangi erosi angin, memperbaiki efisiensi irigasi.
Area yang dicegah dan efektivitas ditentukan oleh komposisi, kepadatan, jaak,lebar, arah dan
kontinuitas. Biasanya kecepatan angin akan dikurangi pada windward mencapai jarak 2 samapi 5
kali tinggi baris tanaman tertinggi. Sedangkan pada leeward mencapat 10-20 kali tinggi pohon.
Luasnya naungan oleh pohon tergantung lebar kanopi, luas daun, sudut daun, karaktersitik
transmisi dan reflektan kanopi (Ong dan huxley, 1996). Hal ini akan mempengaruhi konduktan
stomata, evaporasi dan transpirasi.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Agroforestry dapat disefinisikan sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola
pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem
yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi baik dengan
pengaturan ruang secara campuran atau di tempat dan saat yang sama maupun secara berurutan
dari waktu ke waktu.
Agroforestry lebih ditujukan untuk mendapatkan keuntungan dari interaksi pohon dan tanaman
dalam usaha memperbaiki produktivitas lahan atau untuk mengendali isu lingkungan atau isu
sosial untuk mengoptimasi keuntungan produk dan lingkungan.
Dalam pengelolaan suatu sumberdaya dengan sistem Agroforestry sangat tergantung pada
komunitas masyarakat sekitar kawasan terutama yang menyangkut faktor sejarah, faktor sosial,
faktor ekonomi dan faktor budaya. Sebagai kerangka bahwa investasi agroforestry, pasar,
produksi dan konservasi yang dibuat petani didasarkan pada kondisi internal keluarga sebagai
kunci terhadap faktor eksternal yang berhubungan dengan : (1) pasar dan informasi pasar, (2)
tersedianya layanan pendukung, (3) informasi teknologi, dan (4) kebijakan, peraturan, undangundang dan insentif.

Dalam kontek pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk
tetap produktif sekaligus mempertahankan basis sumberdaya yang dicirikan dengan mantap
secara ekologis, bisa berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi dan luwes.
Interaksi antara komponen kayu dan no-kayu (annual crop) merupakan kunci suksesnya dalam
pengembangan semua sistem agroforestri. Karena itu sangat penting untuk memahaminya dalam
memperbaiki sistem tradisional yang telah lama diterapkan dalam agroforestri. Interaksi biofisik
dapat dikelompokkan dalam hal yang berhubungan dengan kesuburan tanah (meliputi kimia
tanah, fisika tanah, dan biologi tanah), persaingan (meliputi interaksi persaingan air tanah, hara,
dan radiasi), mikroklimat, hama dan penyakit tanama) konservasi tanah dan dan allelopati.
5.2. Saran
Agroforestry produk dari petani kecil biasanya dijual di pasar lokal. Namun ada beberapa produk
yang petani skala kecil yang dikumpulkan akan menjadi berpotensi untuk ekspor seperti pinang,
dan kemiri. Keripik melinjo, ubi jalan, ubi kayu, talas, dan pisang telah diproduksi secara
komersial. Madu juga sudah mulai dikembangkan di bali, jawa dan nusa tenggara. Sebagian
besar dipasarkan di pasar lokal, sedangkan untuk beberapa produk kerajinan tangan sudah mulai
menembus pasar luar negeri dan daerah yang dikunjungi turis. Lain halnya dengan produk
agroforestri yang komsumsi segar seperti buah durian, duku yang memlukan pemasaran yang
cukup sulit untuk dijadikan sebagai komoditi eksport. Duku Jambi memerlukan biaya
transportasi cukup mahal jika ingin memenuhi pasar erofa, jepang atau timur tengah, karena
kalah dari segi biaya transportasi dengan negara Tailand. Sehingga dalam pemasaran yang
demikian memiliki peluang untuk pasar regional seperti Singapura, Malaysia dan Batam.
Untuk itu ke depan dalam mengembangkan suatu pola Agroforestry diharapkan memperhatikan
prospek pasar, karena hal ini akan memberikan pengaruh yang besar sekali terhadap respon
petani dalam menerapkan atau mengadopsi Agroforestry. Terutama yang dihadapi petani dalam
pemasaran produk agroforestri antara lain :

kurangnya infra struktur

terbatasnya volume produksi karena ukuran usaha yang kecil dan sistem produksi yang
masih subsistem

kurangnya informasi tentang jumlah persediaan dan harga terbaru

kurangnya teknologi paska panen untuk tanaman cash crop seperti coklat dan vanilli.

DAFTAR PUSTAKA
Alegre, J.C., P.A. Sanchez, C.A., Palm and J.M. Perez, 1989. Comaprative soil dynamics under
different management option. TropSoils Technical Report. North Caroline State University.
Ataga, D.O., I.I. Onwubaya and U.Omoti, 1986. Land clearing and development from forest
vegetation for oil palm palntation. Rotterdam.

Ayanaba, A., S.B.Tuckwell and D.S> Jenkinson, 1976. The effect of clearing and cropping on the
organic reserves and biomass of tropical soil forest. Soil Biology and Biochemistry 8:519-525.
Borrow C.J., 1991. Land Degradation. Cambridge Uniersity, New York.
Dephutbun, 1998a. Penataan Ulang Penguasaan Lahan dan Pengusahaan Hutan Skala Besar
dalam Rangka Redistribusi Manfaat Sumber Daya . Jakarta.
Ditjenbun, 1998. Laporan Pelaksanaan dan Penilaian Perkebunan Inti Raktyat. Jakarta.
Hodges, S.S., 2000. Agroforestri: An Integrated of Land Use Practices. University of Missouri
Center for Agroforestry.
Kartodihardjo H. A. Supriono, 2000. Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap Konversi dan
Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Koopelman, R., Lai C.K., 1996. Asia Facific Agroforestri. Second Edition. FAO. Bangkok
Lal R., 1995. Sustainable Mnagement of Soil Resources in The Humid Tropics. University
Nation, University Press. Tokyo, New York, Paris.
Lubis Z., 1997. Repong Damar: Kajian tentang pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan
hutan di psisir krui, Lampung Barat. CIFOR. Bogor. Indonesia.
Moko H. D. Rusmin dan M. Hasanah, 1995. Prospek Pengembangan Kemiri di Indonesia. Jurnal
penelitian dan pengembangan Pertanin. Vol XiV: 3: Deptan.Jakarta.
Morris C., and W. Michael, 1999. Integrated Farming Sistem : The third way for european
agriculture. Land Use Policy 16(1999):193:205. Elseviers (Internet).
Ong C.K and P. Huxley, 1996. Tree-Crop Interaction. Aphysiologcal Approach. CAB-ICRAF,
UK, University. Cambridge.
Pasaribu, E. Penot, R. Simanungkalit, M. Sirait, S.M. Sitompul, F.X. Susilo dan D Thomas,
1998. Alternatives to Slash and Burn in Indonesia. Sumary Report & Synthesis of Phase II.
ICRAF. Bogor Indonesia.
Reijntjes, C., Haverkort B., Bayer. W., 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk pertanian
berkelanjutan dengan input luar rendah. Penerbit Kanisius.
Satjapradja, O. 1982. Agroforestri di Indonesia. Suatu usdaha terpadu antara kehutanan dan
Budidaya pertanian lainnya. Journal Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Susila, W.R., 1998. Perkembangan dan Proyek Komoditas Utama Perkebunan. Pusat Studi
Ekonomi. Lemabag Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Swift , M.J., O.W. Heal and J.M. Anderson, 1979. Decomposation in terresterial ecosystem.
Oxpord, England.
Tejwani, K.G., and C.K. Lai, 1992. Asia Pacific Agroforestri Profile. APAN field document.
FAO. Bogor, Indonesia.
Temu B.A., E. Zulberti, C.K. Lai, 1994. Roundtable Discussion on Agroforestry in Southeast
Asia. Bogor Indonsia.
Tomich T. P., M.Van Noordwijk, S. Budiarso, A. Gillison, D. Garrity, D.P.Hadi, S.Hadrdiwinoto,
K.Hairiah, G.Michon, N.N.Sun, C. Palm, S.Partohardjo, J. Thomson T. J., and Freuden K.S.,
1997. Crafting Institutional Arrangement Community Forestry. FAO, Roma.
Saad A., 2002. Pembangkitas krireria kesesuaian lahan untuk tanaman duku Spesifik lokasi
Kumpeh Kab Muara Jambi. Unpublished.
Sanchez P.A., and H.Van Houten, 1994. Alternatives to Slash and Burn Agriculture. 15 th
International Soil Science Congress. Acapulco, Maxico.
Sukmana, S, 1995. Dampak pertanain tebas nakar terhadap sumber daya tanah. Methodologi
PRA dalam alternatif tebas bakar. Laporan ASB, Bogor, Indonesia.
Young A., 1997. Agroforestry for Soil Management. CAB, International. ICRAF. Nairobi Kenya.
UK. England.

Agroforestry (Pertanian Hutan atau


Wanatani)
Suatu sistem usahatani atau penggunaan tanah yang mengintegrasikan tanaman phpn-pohonan
dengan tanaman rendah merupakan sistem yang telah sejak dahulu kala dipraktekan oleh
masyarakat desa dan para petani di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
Masyarakat di daerah tersebut telah sejak dulu menyadari manfaat sistem ini baik dari segi
produktivitasnya maupun kelestarian lingkungannya.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang menjuru ke arah spesialisasi yang semakin tajam
menyebabkabn tumbunya konsep-konsep pembangunan tanaman pangan, hortikultura,
perikanan, peternaan dan kehutanan yang seolah-olah terlepas satu sama lain, menyebabkan
tersingkirnya kearifan lokal tersebut. Perkembangan konsep pertanian yang menggunakan
teknologi masukan tingi, pembabatan hutan semena-mena, kerusakan lingkungan dan sumber
daya alam yang mencapai puncaknya dalam tahun 1960-an, mulai menyadarkan para ahli akan
berbagai akibat yang membahayakan kehidupan manusia yang diakibatkan berbagai konsep yang
telah berkembang sebnelumnya.

Di tahun 1970-an para ahli mulai memberikan perhatioan dnegan melakukan penilaian kembali
terhadap manfaat kearifabn lokal dan praktek lama tersebut dan relevansinya dengan kondisi
sosial ekonomi masyarakat tani di negara-negara sedang berkembang.
Berbagai bentuk sistem usahatani atau penggunaan tanah yang secara umum dapat dikategorikan
sebagai agroforestry adalah:
Kebun Pekarangan
Talun Kebun
Mamar
Perladangan
Tumpang Sari
Rumput Hutan
Perikanan Hutan
Pertanian Lorong
Permaculture
Masalah dan Prospek Pertanian-Hutan
Sumber: Sitanala Arsyad (2006). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Penanaman Meranti di Kebun Karet


Hesti L. Tata,Gede Wibawa dan Laxman Joshi
1. Pendahuluan
Hutan hujan dataran rendah di Indonesia didominasi oleh jenis-jenis Dipterokarpa. Jenis-jenis
Dipterokarpa, seperti Meranti, Kruing, Kapur, Mersawa, Merawan, Bangkirai dan Balau,
merupakan jenis-jenis penghasil kayu yang bernilai ekonomis. Kayunya dikenal sebagai kayu
pertukangan, untuk konstruksi berat dan ringan. Selain itu, beberapa jenis Dipterokarpa juga
sebagai penghasil nir-kayu (non-timber), seperti Tengkawang dan Damar mata kucing.
Kebutuhan akan kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat sementara permudaan alam
Meranti di hutan alam semakin terbatas. Prediksi kebutuhan kayu bulat hingga satu dasawarsa
saat ini mencapai 37.6 juta m3 per tahun , sementara produksi kayu bulat pada tahun 2006 hanya
19.2 juta m3 (www.dephut.go.id/news.php?id=467). Selama ini produksi kayu Meranti

dihasilkan dari hutan alam dan hutan tanaman industri (HTI) pertukangan. Pembangunan hutan
rakyat dengan jenis-jenis Meranti relatif kurang dibandingkan dengan jenis-jenis kayu
pertukangan lainnya, seperti jati dan mahoni.
Sistem wanatani karet yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, seperti sebagian besar
Sumatera dan Kalimantan berpotensi sebagai lokasi untuk mengembangkan jenis-jenis meranti,
yaitu sebagai tanaman sela (interplanting). Wanatani karet merupakan salah satu agroekosistem
kompleks berbasis karet yang umumnya dikelola secara ekstensif, dengan intensitas
pemeliharaan rendah. Hal ini menyebabkan vegetasi selain karet, seperti herba, liana dan pohon,
tumbuh secara alami di kebun karet. Jenisjenis tanaman selain karet tersebut secara sengaja
maupun tidak sengaja dibiarkan tumbuh dan dipelihara di dalam kebun karet dengan tujuan
tertentu, seperti penghasil buah, kayu bakar dan papan.
Berdasarkan pada kondisi sistem wanatani karet dan sifat-sifat meranti yang tahan terhadap
naungan, maka upaya pengembangan meranti dapat dilakukan di dalam sistem wanatani karet.
Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa meranti (Shorea selanica dan Shorea lamellata) dapat tumbuh dengan baik
pada kebun wanatani karet dewasa (umur lebih dari 10 tahun), maupun karet muda (umur 1
tahun) tanpa pohon peneduh. Beberapa jenis meranti/tengkawang yang dapat ditanam dalam
usaha tani kayu skala kecil (smallholder timber), seperti pada sistem wanatani karet adalah:
Shorea leprosula, Shorea macrophylla (tengkawang tungkul), Shorea parvifolia, Shorea
macroptera, Shorea pinanga (Tengkawang), Shorea
stenoptera, Shorea javanica (damar mata kucing), S. lamellata (damar), dan Shorea johorensis.

2. Penyebaran dan Morfologi Meranti


2.1. Penyebaran jenis
Jenis-jenis Dipterokarpa tumbuh secara alami di sebagian besar daerah Kalimantan, Sumatera,
Jawa, Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi dan Maluku. Sumatra menempati urutan kedua setelah
Kalimantan dalam hal kekayaan jenis dan penyebaran jenis endemik di dunia.
Dipterokarpa dapat dijumpai di hutan hujan dataran rendah mulai dari 0 hingga 500 m dpl, pada
daerah dengan tipe iklim A-B (Schmidt dan Ferguson, 1951) dengan rata-rata curah hujan
tahunan 2000-3000 mm. Meranti pada umumnya tumbuh pada tipe tanah latosol, podsolik merah
kuning dan podsolik kuning, dengan berbagai tingkat kesuburan tanah. Ada beberapa jenis yang
tumbuh di sepanjang aliran sungai dan digenangi air pada musim hujan seperti Shorea seminis,
maupun di hutan rawa atau rawa gambut
seperti Shorea balangeran.
2.2. Morfologi
Meranti termasuk keluarga Dipterocarpaceae. Secara harfiah, Dipterocarpaceae berasal dari kata
latin, yaitu di = dua, carpa=carpus=sayap, yang berarti buah bersayap dua. Jenis Dipterocarpus
(jenis-jenis Kruing), Cotylelobium dan Anisoptera (jenis-jenis mersawa) umumnya bersayap dua,
sedangkan Hopea (jenis-jenis merawan), Parashorea dan Shorea (jenis-jenis meranti, bangkirai

dan balau) memiliki sayap bervariasi antara 2-5, namun Vatica (jenis-jenis resak) memiliki sayap
yang sangat pendek bahkan tanpa sayap (Gambar 1).

Gambar 1. Sosok buah Parashorea lucida, S. parvistipulata dan S. stenoptera (sumber: Yasman
dan Hernawan, 2002)
2.3. Pertumbuhan
Rataan riap diameter Shorea leprosula (meranti batu) di Kalimantan Timur adalah 1,37 cm/tahun,
sehingga kayu meranti dapat dipanen pada umur 30 tahun setelah ditanam. Jika riap diameter
meranti mencapai 1,8-2,0 cm/tahun, maka kayu dapat dipanen pada umur 25 tahun.
2.4. Fisiologi benih

Gambar 2. Habitus Shorea sp. di hutan alam Jorong Sigantang. (Foto oleh: Hesti Tata)
Meranti pada umumnya berbunga dan berbuah 4-7 tahun sekali yang disebut dengan musim
berbuah masal. Di Arboretum Bogor ada jenis Dipterokarpa lain yang berbuah tiap tahun yaitu
Hopea odorata (merawan) dan
A n i s o p t e r a m a r g i n a t a (mersawa). Gambar 2. Habitus Shorea sp. di hutan alam Jorong
Sigantang. (Foto oleh: Hesti Tata) Musim buah masak meranti bervarisi tergantung jenis dan
lokasinya. Di Hutan Penelitian Haur Bentes, Jasinga, jenis S. leprosula, S. pinanga, S. stenoptera,
S. mecistopteryx buah masak pada bulan Desember-Maret, sementara Hopea mengerawan,
Hopea sangal, H. odorata buah masak pada
bulan Juli-September. Di Sumatra, S. parvifolia dijumpai berbuah pada bulan Desember Januari,
Shorea acuminata berbuah pada bulan Oktober- Desember.
Musim buah meranti sangat menentukan ketersediaan benih, karena benih meranti merupakan
benih rekalsitran yang cepat berkecambah sehingga tidak dapat disimpan lama. Penyimpanan
akan menurunkan viabilitas (kemampuan berkecambah) benih.

Pohon meranti memiliki bentuk batang bulat silindris, dengan tinggi total mencapai 40-50 m.
Kulit kayu rata atau beralur dalam atau dangkal, berwarna keabu-abuan sampai coklat. Pada
umumnya berbanir tinggi sampai 6-7 m. Nama kayu perdagangan meranti ditentukan dari warna
kayu gubalnya, seperti meranti Putih, meranti Kuning dan meranti merah. Sosok habitus meranti
(Shorea sp.) disajikan pada Gambar 2.
Benih meranti dikumpulkan dengan cara diunduh, ataupun dikumpulkan dari sekitar tegakan
induk. Pengumpulan harus dilakukan setiap hari sepanjang musim berbuah. Buah yang telah
terkumpul, dipilih untuk dijadikan benih.
Ciri-ciri benih meranti yang baik untuk dikecambahkan adalah:
1. Matang pohon ditandakan oleh buah berwarna coklat, sayap kering dan berwarna coklat.
2. Biji utuh, tidak ada bekas gigitan hewan dan serangga.
3. Biji tidak berjamur.

Gambar 3. Shorea leprosula (Meranti batu, Meranti tembaga) (sumber: Soerianegara dan
Lemmens, 1994)

3. Persemaian
3.1. Pembangunan persemaian
Salah satu faktor penting dalam penanaman kayu meranti, adalah penyedian bibit yang bermutu.
Penyediaan bibit meranti dapat dilakukan pada persemaian permanen maupun persemaian tidak
permanen. Untuk usaha
pertanian skala kecil misalnya sebagai tanaman sela dalam sistem wanatani karet, persemaian
tidak permanen dapat dibangun di dalam persemaian/nursery karet (root stock). Lokasi yang
dipilih untuk
membangun persemaian harus memiliki persyaratan sebagai berikut:

lahan yang relatif datar, kemiringannya tidak lebih dari 5 %

dekat dengan sumber mata air

dekat dengan jaringan jalan dan mudah dijangkau.

3.2. Persiapan lahan persemaian


Penyemaian benih meranti dapat dilakukan pada bedeng semai atau bak semai berupa bak
plastik.
1. Bedeng semai atau tabur.
a. Buat bedeng semai berukuran 1m x 5m pada arah timur barat. Apabila
membuat lebih dari satu bedeng semai, maka beri jarak antar bedeng 50 cm
b. Beri pembatas bambu atau kayu di sekelilingnya
c. Apabila penyemaian dilakukan pada bak semai, pilihlah ukuran bak sesuai kebutuhan
d. Beri sungkup plastik untuk menjaga kelembaban udara (Gambar 4)
e. Beri naungan tembus cahaya 50% dengan menggunakan sarlon atau atap rumbia atau
anyaman daun kelapa. Tinggi tiang naungan pada sebelah barat 80 cm dan sebelah timur
100 cm
2. Media Semai.
Ada dua jenis media semai yang dapat digunakan dalam penyemaian benih meranti yaitu:
a. Pasir halus atau campuran serbuk gergaji dan sekam padi dengan perbandingan 1:1.
Apabila akan menggunakan mikoriza, media semai dan media sapih sebaiknya
disterilisasi dahulu dengan cara
dikukus atau disangrai selama 6 jam. Sterilisasi bertujuan untuk membunuh jamur
penyebab penyakit dan jamur lain yang ada dalam media.
b.Pasir halus atau campuran sabut kelapa dan sekam dengan perbandingan 1:1. Setelah
media semai disiapkan, tabur di atas bedeng semai dengan 1 ketebalan 5-10 cm dan
disiram hingga kapasitas lapang .

3.3. Penyemaian Benih


Sebelum disemai, benih meranti diskarifikasi terlebih dahulu yaitu dipetik sayapnya dan dipilih
biji yang sehat serta utuh. Penyemaian benih meranti dapat dilakukan pada bedeng semai atau
bak semai.
a. Penyemaian pada bedeng semai:

Buat jalur/garis pada bedeng semai dengan jarak 5 cm menggunakan kayu tugal (panjang
10 cm, diameter 1 cm)

Letakkan benih sesuai dengan jalur/garis pada posisi tidur dan tidak terlalu dalam,
sehingga bila benih berkecambah akan mudah mengangkat kotiledon

Tutup atau taburkan media semai hingga menutupi benih

Siram hingga kapasitas lapang

Tutup sungkup plastiknya.

b. Penyemaian pada bak semai:

Tabur benih secara merata tanpa membuat jalur/garis

Tutup dengan media semai

Siram dengan embrat

Simpan bak semai di dalam sungkup plastik

Pada umumnya, benih meranti berkecambah 7-12 hari setelah disemai (Gambar 5).

Gambar 5. Kecambah Meranti (S. selanica) di media tabur (campuran sekam dan serbuk gergaji
dengan perbandingan 1:1) dalam bak plastik (Foto oleh: Hesti Tata)
3.4. Penyapihan bibit

Gambar 6. Kecambah lengkap S. johorensis (Sumber: Yasman dan Hernawan, 2002)


Apabila benih meranti yang disemai telah berkecambah dan memiliki dua pasang daun (Gambar
6), maka
siap disapih. Penyapihan bibit dapat dilakukan dengan memindahkan bibit dari bedeng semai
atau bak
semai ke kantong plastik.
Tahap-tahap dalam proses penyapihan bibit adalah:
a. Membuat bedeng sapih.

Buat bedeng sapih di persemaian dengan ukuran 1m x 5m.

Beri pembatas bambu atau balok kayu di sekeliling bedeng sapih. Apabila membuat lebih
dari satu
bedeng sapih, maka beri jarak antar bedeng 50 cm.

Tutup dengan sungkup bambu dan plastik setinggi70 cm untuk menjaga kelembaban
udara.

Sebagai naungan, pasang atap rumbia atau anyaman daun kelapa atau sarlon tembus
cahaya 50% (Gambar 7).

b. Menyiapkan media sapih

Ambil tanah dari bawah pohon induk, campurkan sekam padi dengan perbandingan 2:1.

Ayak dengan ayakan kasar untuk memisahkan kerikil.

Masukkan media sapih ke dalam kantung plastik berukuran 12cm x 15cm, atau 15cm x
20cm, tergantung dari ukuran bibit

Letakkan di dalam sungkup plastik pada bedeng sapih.

Gambar 7. Bedeng sapih dengan sungkup plastik dibawah naungan anyaman bambu (Foto oleh:
Hesti Tata)

Gambar 8. Semai Meranti yang sudah disapih dipelihara didalam sungkup. (Foto oleh: Hesti
Tata)
C. Penyapihan

Gunakan kantung plastik yang telah diisi media sapih.

Angkat bibit dengan hati-hati dari media semai, dengan tanpa merusak perakarannya.

Buat lubang tanam pada media sapih dengan tugal kayu, sedalam perakaran bibit meranti.

Masukkan akar ke lubang tanam yang tersedia, kemudian tutup dan tekan dengan
perlahan.

Siram hingga kapasitas lapang.

Pelihara di dalam sungkup plastik di bedeng sapih (Gambar 7), hingga bibit cukup
beradaptasi, selanjutnya sungkup dapat di buka.

3.5 Pemeliharaan bibit


Bibit dipelihara di persemaian hingga mencapai tinggi 30-50 cm, atau kurang lebih 2-3 bulan.
Setelah itu, bibit siap ditanam di lapangan.
Pemeliharaan bibit di persemaian meliputi:
a. Pemupukan. Bila tidak dilakukan inokulasi mikoriza, berikan pupuk dasar (NPK) pada bibit di
persemaian, dengan dosis 2 g/bibit.
b. Pengendalian hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang umum dijumpai di persemaian
adalah:

Ulat kantong (Cryotothelea sp.) dan ulat bulu (Dasychira sp.) yang menyerang daun.

Hama penggerek batang (larva Scolytidae).

Penyakit lodoh (damping off).

Penyakit tumor pucuk disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh serangga Arachnidae.

Penyakit kerdil disebabkan oleh mikoplasma. Gejalanya: tumbuh kalus yang menumpuk
seperti bola-bola kecil di ketiak cabang atau ranting muda.

Penyakit mati pucuk (die back) yang disebabkan oleh jamur. Gejala: kematian pada
pucuk menyebar ke bawah.

Penyakit busuk daun (hawar/leaf blight), dengan gejala: kematian sel daun mulai dari
ujung daun hingga ke tengah helaian daun. Bila serangan hama/penyakit cukup tinggi,
bibit dapat disemprot dengan insektisida atau fungisida, sesuai dengan dosis yang
dianjurkan pada kemasan. (Contoh: Benomyl, Benlate).

http://www.worldagroforestrycentre.org/Sea/Publications

You might also like