You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak
dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan
harta benda lainnya, anak sebagai amanah Tuhan yang harus senantiasa dijaga dan
dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak anak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang hak hak anak. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan
dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Dewasa ini masalah pengangkatan anak bukanlah suatu masalah baru di
indonesia. Meskipun eksistensi pengangkatan anak di indonesia sebagai suatu
lembaga hukum masih belum sinkron dan masih menimbulkan berbagai problema
dalam masyarakat, pengangkatan anak tersebut masih banyak dilakukan oleh
masyarakat. Sejak zaman dahulu sudah banyak dilakukan pengangkatan anak
yang disertai dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda yang dilakukan
diberbagai negara di dunia, termasuk salah satunya adalah Indonesia.
Pengangkatan anak sangat penting untuk dilakukan oleh setiap orang tua angkat
namun harus melalui prosedur hukum yang jelas. Hanya saja yang membedakan

dalam pengangkatan anak adalah apa yang menjadi penyebab dan motivasi atau
tujuan yang mendorong dilakukan pengangkatan anak
Adapun keinginan untuk memiliki anak adalah hal yang alami karena
manusia memiliki akal sehat dan keinginan. Dengan akal fikiran manusia dapat
menelaah serta mengkaji sesuatu agar terasa bermanfaat dan disisi lain keinginan
tersebut mendorong manusia berusaha untuk memperolehnya bahkan terkadang
menjurus kepada hal yang tidak mampu dan diluar kuasa manusia.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
tercantum dalam pasal 1 butir menytakan bahwa Anak adalah seorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Selanjutnya pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 1 butir 1 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi
anak, Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun). Dengan
demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang
yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang
dewasa. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah statusnya sudah menikah atau
tidak .
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara

terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak1. Rangkaian kegiatan tersebut


harus terus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan
perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Rangkaian
kegiatan tersebut harus terus berkelanjutan dan terarah guna menjamin
pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.
Pada dasarnya begitu banyak orangtua atau pasangan suami istri sampai saat
ini belum memiliki anak walaupun telah menikah hingga bertahun-tahun. Oleh
karena itu jalan lain yang ditempuh yaitu dengan cara mengadobsi anak seperti
anak yatim piatu ataupun anak dari tetangga dan bahkan keluarga sendiri. Namun
sekarang ini terdapat juga beberapa orangtua yang telah memiliki anak tapi mau
mengadobsi anak lan yang bisa saja disebabkan juga bahwa anak tersebut hidup
sebatang kara, tidak memiliki tempat tinggal dan bahkan karena faktor ekonomi
anak tersebut yang sangat miskin dan tidak mampu melanjutkan pendidikan yang
seharusnya didapatkan. Pengapdosian anak tentunya harus berdasarkan pada
hukum yang berlaku sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak dinyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah
antara anak angkat dengan orangtua kandungnya. Mengenai hak dan kewajiban
secara umum adalah hak dan kewajiban yang ada antara anak dan orangtua baik
secara agama,moral maupun kesusilaan. Undang-undang tentang perlindungan
anak Nomor 23 tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam
pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama
1 Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 5

dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua
kandunganya.
Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin yaitu
sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan
komprehensif. Undang-undang perlindungan anak juga harus meletakkan
kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non
diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan
hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum
perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang
berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masingmasing daerah walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak belum diatur
secara khusus dalam undang-undang tersendiri.
Di dalam Ensiklopedia umum disebukan pengangkatan anak adalah suatu
cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. biasanya pengangkatan anak diadakan untuk
mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak
beranak/tidak mempunyai anak. Akibat dari pengangkatan yang demikian itu ialah
bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang
Sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak

calon orangtua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin


kesejahteraan bagi anak.
Selanjutnya

pengangkatan

anak

dikalangan

masyarakat

Indonesia

mempunyai beberapa tujuan/motivasi. Motivasinya antara lain untuk meneruskan


keturunan jika dalam sebuah perkawinan tidak memperoleh keturunan2. Motivasi
ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang tidak mungkin melahirkan
anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.3 Ketentuan ini sangat
memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat
tergantung dari orang tuanya.
Adapun keberadaan lembaga pengangkatan anak di Indonesia sebagai lembaga
hukum masih belum memadai sehingga penyelesaian masalah pengangkatan anak
yang ada dimasyarakat dapat ditinjau dari berbagai aspek hukum. Hukum adat
yang merupakan The Living Law berlaku bagi masyarakat adat setempat, hukum
Islam bersumber dari Al-Quran dan Hadist juga mengatur masalah ini bagi
ummat Islam, ketentuan hukum barat yang bersumber dari Hukum Perdata BW
(Burgerlijk Wetboek) berlaku juga di Indonesia.
Ketentuan KUHPerdata tidak mengatur tentang masalah adopsi atau
pengangkatan anak namun beberapa pasal menjelaskan masalah pewarisan dengan
istilah anak luar kawin atau anak yang diakui

(Erkend kind) selain itu di

Indonesia juga terdapat keanekaragaman hukum yang berbeda antara daerah yang
2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39 Ayat 1

3 Ibid , Pasal 39

satu dengan daerah yang lainnya sesuai dengan lingkungan hukum adatnya
masing-masing yang berbeda pula pengaturan hukum masalah status anak angkat.
Selanjutnya seorang anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak yang
tergantung dari kemampuan orangtua angkat tersebut. Karena bisa saja adanya
pembiyaan pendidikan yang tidak adil antara anak kandung dan anak angkat
karena memandang anak angkat bukan dari darah daging orangtua tersebut. Hal
lain juga yaitu menyangkut tentang pemberian kasih sayang oleh kedua orang tua
kepada anak angkat tersebut. Walaupun telah menjadi anggota keluarga, namun
seorang anak angkat tidak boleh diperlakukan dengan kasar seperti mendapatkan
kekerasan dalm rumah tangga baik kekerasan yang disampaikan secara lisan
dengan kata-kata atapun melakukan pemukulan.
Hal ini tentunya membuat orang tua harus berurusan dengan hukum karena
setiap anak mendapatkan perlindungan hukum atau yang biasanya disebut dengan
perlindungan anak yang terkait dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002
yang dijelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat kemanusiaan, serta mendaptkan
perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi.
Pengakuan adanya anak angkat dalam perundang-undangan telah lebih
konkrit dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak memuat beberapa syarat pengangkatan anak dimaksud dalam
Pasal 39 - 41.

Undang-undang pasti memiliki prinsip yaitu sesuatu yang dijadikan acuan,


begitu juga dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Pada dasarnya prinsip-prinsip perlindungan anak dalam UU
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengadopsi prinsip-prinsip dasar
dari KHA (Konvensi Hak-Hak Anak) dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian tercantum dalam pasal 2 Undang Undan Nomor. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak melalui hasil adopsitentunya bisa
dilihat dengan jelas tentang tatacara pengaturan hukum di pengadilan negeri kota
Palu berdasarkan pada tujuan yuridisnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang
akan diangkat oleh penulis adalah :
1. Bagaimana perlindungan Hukum terhadap anak angkat menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak ?
2. Bagaimana akibat Hukum pengangkatan anak serta hak Dan
kaewajiban anak menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum terhadap Anak Angkat
menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
2.

Perlindungan Anak.
Untuk mengetahui akibat Hukum pengangkatan anak serta hak Dan

kaewajiban anak menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002


D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapa berguna dan mempunyai manfaat untuk :
1. Manfaat Secara Teoritis

Secara ilmiah, hasil penelitian ini akan dapat memperkaya khasanah


kajian Ilmu Hukum, khususnya terkait dengan Hukum Perdata tentang
tindakan adopsi anak yang dilakukan oleh orangtua angkat.
2. Manfaat Secara Praktis
Dapat dijadikan rujukan bagi setiap orangtua yang akan mengangkat
anak dalam prosedur pengangkatan anak
E. Metode Peneltian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang di pergunakan dalam penulisan ini adalah
penelitian hukum normatif, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada
analisis terhadap beberapa asas hukum dan beberapa teori hukum serta
peraturan

perundang

undangan

yang

berhubungan

dengan

permasalahan.4Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini


adalah dengan menggunakan pendekatan perundang undangan atau
aturan yang terkait.
2. Sifat Pendekatan
Sifat pendekatan yang di gunakan dalam penelitiam ini adalah
preskriptif analitis.
3. Sumber Bahan Hukum
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:5 :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang undangan,
aturan aturan yang terkait.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu buku buku maupun tulisan tulisan
ilmiah yang terkait dengan peneltian ini.
c. Bahan hukum tersier
4Zainuddin Ali, Metode Peelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafik2013).Hlm. 24
5Ibid., Hlm 47

Bahan hukum tersier yaitu berupa petunjuk atau penjelasan


mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum tersier ysng
berasal dari kamus ensiklopedis, internet, majalah, surat kabar dan
sebagainya.
4. Analisis Bahan Hukum
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian
bersifat Preskriptif, maka analisis data yang digunakan adalah metode
analisis kualitatif terhadap data sekunder. Preskriptif tersebut, meliputi isi
dan struktur Hukum Positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulis
untuk menentukan isi atau makna aturan hukum.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak
Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat
adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum
sebagai anak sendiri.7 Beberapa sarjana Hukum jga memberikan defenisi
mengenai anak angkat antara lain sebagai berikut, menurut Ensiklopedia Umum,
anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan
anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sementara dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
6Ibid., Hlm 167
7 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), Jakarta, Balai Pustaka,
1976, Hal.31

Anak: Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggunng
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan
pengadilan.
Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang
diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluargannya. Ia sebagai
anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan danpelayanan dalam segala
kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri8.
Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas
maka

dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak

angkat adalah upaya

mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk
dimasukkan kedalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi
beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai

ana hk selayaknya anak

kandung.
Di dalam Ensiklopedia umum disebutkan pengangkatan anak adalah suatu
cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak diadakan untuk
mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orangtua yang tidak
beranak/tidak mempunyai anak. Akibat dari pengangkatan yang demikian itu ialah
bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang
sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangatan anak
8 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Jakarta,
Bina Akasara, 1985, Hal.85

10

calon orangtua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin


kesejahteraan bagi anak.
Dalam prakteknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia
mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain
untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh
keturunan. Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah
divonis tidak bisa mendapatkan keturunan/tidak mungkin melahirkan anak dengan
berbagai macam sebab, seperti mandul pada umumnya. Padahal mereka sangat
mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga mereka.
Menurut Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu
perkawinan tidak mendapatkan keturunan anak laki-laki.Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan
pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang
sifatnya memang sangat tergantung dari orangtuanya. Pada dasarnya keluarga
mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk
sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang
ayah, ibu dan anak. Akan tetapi tidak selalu ketiga unsur tersebut dapat terpenuhi
oleh berbagai macam sebab, sehingga kadang kala terdapat suatu keluarga yang
tidak mempunyai anak, ibu ataupun tidak mempunyai seorang ayah, bahkan lebih
dari itu. Dengan demikian dilihat dari eksistensi keluarga sebagai kelompok

11

kehidupan

masyarakat,

menyebabkan

tidak

kurangnya

mereka

yang

menginginkan anak, karena alasan emosional sehingga terjadilah perpindahan


anak dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga yang lain.
Kenyataan inilah yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping untuk melanjutkan keturunan, kadang kala pengangkatan anak
juga berujuan untuk mempertahankan ikatan perkawinan dan menghindari
perceraian. Sepasang suami istri yang telah memiliki anak tidak akan mudah
memutuskan untuk bercerai. Karena kepentingan akan keutuhan perkawinan
tersebut tidak hanya untuk kedua belah pihak saja, namun termasuk pula
kepentingan untuk anak-anak yang terikat dalam perkawinan tersebut. Sejalan
dengan perkembangan dalam masyarakat pada masa sekarang menunjukkan
bahwa tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata atas motivasi
meneruskan keturunan ataupun mempertahankan perkawinan saja tetapi lebih
beragam dari itu.
Sebagaimana diketahui bahwa lembaga pengesahan pengangkatan anak
ditinjau dari sudut litigasi termasuk dalam wilayah yurisdiksi volunteer. Pada
wilayah hukum ini pengadilan sama sekali dilarang menerimanya sebagai perkara
jika tidak ada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang secara tegas
membolehkannya. Apabila dihubungkan dengan kewenangan absolut Pengadilan
Agama perlu diajukan pertanyaan mendasar, apakah ada aturan yang
membolehkan Pengadilan Agama untuk menerima permohonan pengesahan
pengangkatan anak tersebut.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, memang belum

12

ada aturan yang tegas membolehkan Pengadilan Agama untuk menangani


lembaga hukum tersebut. Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
secara absolut dan limitative menyebut kewenangan Pengadilan Agama di bidang
perkawinan tidak ditemukan satu itempun yang menyebut lembaga hokum
tersebut Akan tetapi, kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam yang untuk
sementara dipandang sebagai Hukum Materiil Islam, istilah anak angkat secara
tegas disebut. Berdasarkan alasan ini pulalah ada beberapa Pengadilan Agama
yang secara diam-diam menangani permohonan pengesahan pengangkatan anak
versi Islam. Praktek ilegal dari beberapa Pengadilan Agama tersebut ternyata
cukup ampuh untuk menciptakan budaya hukum yang kemudian mendapat respon
dari para legislator.
Menurut Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan (2008: 8) untuk memperkuat
landasan

hukum

praktik

penerimaan,

memeriksa

dan

mengadili

serta

menyelesaikan perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan semangat


Hukum Islam oleh Pengadilan Agama, serta merespons kuatnya semangat dan
aspirasi masyarakat muslim Indonesia untuk mengangkat anak yang sesuai
dengan nilai-nilai Hukum Islam, maka pada tanggal 20 April 2006 telah disahkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a angka 20
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Penetapan
asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum

13

Islam.
Lahirnya Undang-Undang tersebut berarti Pengadilan Agama saat ini
memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili
perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana
produk hukum yang dikeluarkan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak
yang berbentuk Penetapan, maka produk hukum Pengadilan Agama tentang
pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan hukum Islam juga berbentuk
Penetapan.
Kemudian bagaimana tata cara penetapan pengangkatan anak versi Islam ini
diajukan ke Pengadilan Agama. Pertanyaan mengenai bagaimana tata cara dalam
dunia peradilan sudah tentu akan mengacu kepada Hukum Acara. Pertanyaan
berikut, hukum acara mana yang akan dipakai oleh Pemohon dan /atau Pengadilan
Agama.
Sebagaimana diketahui, bahwa tidak ada satu pasalpun baik dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 ataupun peraturan perundang-undangan lain yang
secara eksplisit menyebut hukum acara tentang penetapan pengangkatan anak ini
bagi Pengadilan Agama. Akan tetapi, yang demikian bukan berarti bahwa jika
Pengadilan Agama menangani kewenangan tersebut tidak bisa karena tidak ada
hukum acaranya.
Ketentantuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pada pokoknya telah
menegaskan, bahwa hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Agama adalah
hukum acara yang berlaku bagi peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus

14

oleh undang-undang tersebut. Oleh karena hukum acara tentang penetapan


pengangkatan anak tersebut, secara khusus tidak ditemukan dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989, maka harus dilihat hukum acara yang dipakai oleh
Peradilan Umum. Secara praktis, dengan kalimat lain, dapat dikatakan bahwa
segala aturan hukum acara yang berkaitan dengan penetapan pengangkatan anak
yang berlaku bagi peradilan umum, dengan mengacu ketentuan Pasal 54 tersebut,
harus dibaca berlaku pula bagi Pengadilan Agama. Kaitannya dengan praktek
pengangkatan anak tersebut dapat dikatakan, bahwa segala sesuatu mengenai
prosedur yang berkaitan dengan pengesahan pengangkatan anak ini juga berlaku
bagi Pengadilan Agama ( Asmui Syarkowi, 2007: 14).
Beberapa aturan mengenai prosedur yang berkaitan dengan pengangkatan
anak tersebut adalah :
a. Staatblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917.
b. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
d. Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 jo Surat Edaran
Nomor
f. Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak.
g. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak (Andi Syamsu Alam dan M.
Fauzan, 2008: 203-204). Perlu ditegaskan, bahwa sekalipun pada prinsipnya
segala yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung yang selanjutnya
disebut SEMA dan segenap aturan di atas kaitanya dengan praktek penetapan

15

pengangkatan anak di Pengadalin Agama perlu harus dibaca berlaku pula bagi
pengadilan Agama akan tetapi kehadirannya harus disikapi secara proporsional.
Hal ini disebabkan 2 hal : Pertama, SEMA tersebut terbit jauh sebelum
pengangkatan anak versi Islam ini secara yuridis formal belum diakui menjadi
kewenangan Pengadilan Agama. Kedua, SEMA tersebut terbit saat aturan-aturan
hukum yang berkaitan dengan Pengangkatan Anak belum ada. Oleh karena itu,
ketika kita membicarakan pengangkatan anak versi Islam ini, dalam rangka
menyikapi SEMA tersebut kita harus melakukan hal sebagai berikut:
a. Oleh karena aturan mengenai pengangkatan anak tersebut, tidak
disengaja untuk mengatur pengangkatan anak secara Islam, maka SEMA
tersebut atau bahkan semua aturan mengatur tentang pengangkatan anak
kita ikuti sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
Islam tentang pengangkatan anak
b. Oleh karena SEMA tersebut terbit saat aturan yang berkaitan dengan
anak angkat belum ada, maka kita hurus pula melihat aturan hukum baru
mengenai hal serupa. Sebab, aturan hukum tersebut tampaknya saling
melengkapi (Asmui Syarkowi, 2007: 19-20).Selain peraturan-peraturan
diatas, dasar hukum pengangkatan anak dalam Hukum Islam yang dapat
dijadikan rujukan hakim dalam menetapkan perkara pengangkatan anak
adalah: Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disebut KHI dan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia selanjutnya disebut Fatwa MUI tahun 1984
pada bulan Jumadil Akhir 1405 H./Maret 1984 tentang adopsi.
c. Hukum Acara Peradilan Agama
d. Kewenangan Pengadilan Agama
Secara bahasa, kata kekuasaan dapat pula disebut kompetensi atau

16

kewenangan (Djalinus Sjah, Azimar Enong, 1983: 76). Menurut Ridwan Halim
(1987: 31-33) dalam konteks kekuasaan kehakiman kata kekuasaan secara
yuridis berarti yuridiksi untuk mengadili perkara tertentu, yang dapat dibedakan
atas:
a. Kompetensi Absolut atau kompetensi mutlak, yaitu kewenangan atau
kekuasaan hakim untuk memeriksa suatu perkara ditinjau dari bidang
persoalan atau jenis perkara yang dihadapinya, misalnya perkaraperkara perdata yang berkenaan dengan Agama dan Hukum Islam
menjadi kompetensi Peradilan Agama, untuk perkara-perkara orangorang militer menjadi kompetensi Peradilan Militer, perkara-perkara
yang bersifat umum menjadi kompetensi peradilan umum, sedangkan
yang menyangkut keputusan tata usaha Negara merupakan kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Kompetensi relatif atau nisbi, yaitu kewenangan atau kekuasaan hakim
untuk memeriksa suatu perkara dalam lingkungan peradilan yang sama
ditinjau dari domisili, daerah atau tempat benda terletak, serta domisili
pilihan yang telah ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan Pengadilan Agama sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman, maka tugas pokoknya ialah menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya.
Berdasarkan pasal tersebut kita dapat mengetahui bahwa Pengadilan tidak

17

boleh menolak setiap perkara yang diajukan kepadanya selama masih dalam tugas
dan wewenang Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Menurut penjelasan Umum angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kekuasaan kehakiman dilingkungan
Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Agama merupakan
pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syariah (Pasal 49
ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006), sedangkan Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang
mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat
banding, dan mengadili tingkat pertama dan terakhir terhadap sengketa
kewenangan mengadili antara pengadilan Agama di daerah hukumnya (Pasal 51
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006).Berdasarkan uraian kewenangan Pengadilan Agama tersebut dapat
diketahui bahwa yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa
permasalahan hukum antara orang-orang Islam adalah perkara-perkara perdata di
bidang:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Wakaf
e. Zakat
f. Infaq
g. Sadaqah
h. Ekonomi syariah (Amanawaty, 2009: 40).

18

Sering dipahami kurang jelas apa saja yang termasuk dalam bidang hukum
perkawinan sebagai kewenangan absolut Pengadilan Agama, maka diperlukan
adanya penjelasan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan perkawinan adalah
hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan
yang berlaku dan dilakukan menurut syariah, antara lain:
a. Izin beristri lebih dari seorang
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis
lurus ada perbedaan pendapat
c. Dispensasi kawin
d. Pencegahan perkawinan
e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
f. Pembatalan perkawinan
g. Gugatan kelalaian atau kewajiban suami dan istri
h. Perceraian karena talak
i. Gugatan perceraian
j. Penyelesaian harta bersama
k. Penguasaan anak-anak
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada istri
atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
p. Pencabutan kekuasaan wali
q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut
r. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya
s. Pemberian kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaannya
t. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan Hukum Islam

19

u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan


perkawinan campuran
v. Putusan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dijalankan menurut
peraturan yang lain (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008: 10-11).
Berdasarkan hal tersebut, dengan demikian permohonan pengangkatan
anak oleh orang-orang Islam berdasarkan Hukum Islam juga telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan menjadi wewenang absolut Peradilan
Agama. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa sidang pemeriksaan pengadilan
terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika
hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang,
memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan
dilakukan dengan sidang tertutup. Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah
dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasanalasan dan dasardasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturanperaturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili, tiap penetapan dan putusan pengadilan ditandatangani oleh
ketua dan hakim-hakim yang memutus serta panitera yang ikut bersidang pada
waktu penetapan dan putusan itu diucapkan, berita acara tentang pemeriksaan
ditandatangani oleh ketua dan panitera yang bersidang (Pasal 25 ayat (1), (2), dan
(3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun

20

2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman).


Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding,
dan atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara. Penetapan dan
putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya ditunda
demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau putusan
tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau
kasasi.
B. Alasan Alasan Pengangkatan Anak
Takdir Tuhan Yang Maha Esa yang dapat menentukan lain dari keinginan
manusia untuk memperoleh anak setelah bertahun-tahun menikah tetapi tidak
mempunyai anak maka dalam keadaan yang demikian seseorang melakukan
pengangkatan anak. Seseorang melakukan pengangkatan anak ada faktor yang
melatarbelakanginya. Disini akan diberikan beberapa alasan atau latar belakang
dilakukannya pengangkatan anak oleh para ahli, yaitu sebagai berikut :
M. Budiarto (1991:16) dalam bukunya Pengangkatan Anak Ditinjau Dari
Segi Hukum, bahwa faktor atau latar belakang dilakukannya pengangkatan anak
syaitu:
1. Bagi PNS ada keinginan agar memperoleh tunjangan gaji dari pemerintah.
2. Keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak mempunyai
anak.
3. Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah
mengangkat anak atau sebagai pancingan.
4. Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah dipunyai.

21

5. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu dan
sebagainya.
Djaja S. Meliala dalam bukunya Pengangkatan Anak (Adopsi) di
Indonesiabahwa seseorang melakukan pengangkatan anak karena latar belakang
sebagai berikut :
1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya
tidak mampu memeliharanya atau alasan kemanusiaan.
2. Tidak mempunyai anak dan keinginan mempunyai anak untuk menjaga dan
memeliharanya kelak kemudian di hari tua.
3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah, maka akan dapat
mempunyai anak sendiri.
4. Mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada.
5. Menambah atau mendapatkan tenaga kerja.
6. Ingin mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga. (Djaja
S.Meliala, 1982:4). Shanty Dellyana dalam bukunya Wanita dan Anak di
Mata

Hukum,menyebutkan

bahwa

faktor-faktor

yang

melatarbelakangi

dilakukannya pengangkatan anak adalah karena:


1. Ingin mempunyai keturunan, ahli waris.
2. Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri.
3. Memberikan teman untuk anak kandung.
4. Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihnya terhadap orang lain yang
dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya.
Bastian Tafal dalam bukunya yang berjudul Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari, bahwa di Jawa
anak angkat biasanya diambil dari keponakannya sendiri baik laki-laki atau
perempuan beradasarkan alasan-alasan :
1. Memperkuat pertalian keluarga dengan orang tua anak yang diangkat.
2. Menolong si anak karena belas kasihan.

22

3. Adanya kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak itu akan mendapat


anak kandung sendiri.
4. Mendapatkan bujang di rumah, yang dapat membantu pekerjaan orang tua
sehari-hari (Bastian Tafal, 1983:51).
Menurut Muderis Zaini (1995:15), inti dari motif pengangkatan anak
yakni:
1. Belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak
mampu memberikan nafkah kepadanya.
2. Belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai
orang tua (yatim piatu).
3. Hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seseorang anak
perempuan atau sebaliknya.
4. Pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai
5.
6.
7.
8.

anak kandung.
Menambah tenaga dalam keluarga.
Bermaksud agar anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak.
Adanya unsur kepercayaan.
Menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak
mempunyai anak kandung.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dalam hal ini dapat diperoleh
kesimpulan bahwa alasan pengangkatan anak yang dikemukakan oleh Muderis
Zaini yang lebih kompleks. Hal ini dikarenakan alasan pengangkatan anak
tersebut telah menggambarkan bentuk pengangkatan anak yang diuraikan dalam
Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu bentuk pengangkatan anak yang
sesuai dengan syariat Islam, pengangkatan anak dalam pengertian taawun yang
diperbolehkan dan dianjurkan dalam Islam yang bertujuan untuk saling tolong
menolong antara orang tua angkat dan anak angkat, karena Syariat Islam telah

23

menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan


serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang. Selain
itu, dengan melihat alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan
pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak yaitu untuk
kesejahteraan hidup dan masa depan anak, sesuai dengan Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yang berbunyi: Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik
bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak,
yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
C. Syarat-Syarat Hukum Pengangkatan Anak
Dalam pengangkatan anak dalam negara indonesia itu tidak serta-merta
dalam mengangkat anak begitu saja tanpa melihat sudut pandang hukum yang ada
dinegara indonesia.
1. Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan
anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
2. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua
belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan
khusus.

24

BAB III
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Angkat Menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

25

Dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 Tahun 2002, pasal 1


angka 9 dinyatakan bahwa Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan
dari lingkungan kekuasaan keluarga, orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan
atau penetapan pengadilan.
Pendapat Ter Haar tentang pengangkatan anak, sebagaimana dikutip oleh
Muderis menyatakan bahwA Jalan suatu perbuatan hukum, dapatlah orang
mempengaruhi pergaulan pergaulan yang berlaku sebagai ikatan biologis dan
tertentu dalam kedudukan sosialnya Kedudukan yang dimaksud membawa dua
kemungkinan, yaitu :
a. Sebagai anak, sebagai anggota keluarga melanjutkan keturunan, sebagai
ahli waris (yuridis).
b. Sebagai anggota masyarakat (social) dan menurut tata cara adat, perbuatan
pengangkatan anak itu pasti dilakukan dengan terang dan tunai. (Ter
Haar, dalam Bushar Muhammad, 1981)
Ter Haar tersebut secara jelas menyatakan bahwa seseorang anak yang
telah diangkat sebagai anak angkat, melahirkan hak hak yuridis dan sosial baik
dalam aspek hukum kewarisan, kewajiban nafkah dan perlindungan anak,
perkawinan, dan social kemasyarakatan.
Menurut Mahmud Syaltut bahwa setidaknya ada dua pengertian
pengangkatan Anak. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan
dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak

26

kandung kepadanya; cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai


anak sendiri, kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi
status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nama keturunan
(nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak
lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.
Perlindungan terhadap anak-anak di Indonesia termasuk anak angkat
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak hak anak tersebut demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Anak angkat dan anak-anak lain pada umumnya adalah amanah dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat hak-hak sebagai anak
dan harkat serta martabat sebagai manusia seutuhnya, melekat hak hak yang
perlu dihormati dan dijunjung tinggi oleh orang tua angkatnya dan masyarakat
pada umumnya.
Hak hak anak angkat tersebut antara lain :
a. Berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi.
b. Berhak

atas

suatu

nama

sebagai

identitas

diri

dan

status

kewarganegaraan.
c. Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang
tua.
d. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh

27

orang tuanya sendiri.


e. Dalam hal karena sesuatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh
atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
f. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social.
g. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya.
h. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi
maupun aseksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan penganiayaan,
ketidakadilan serta perlakuan salah lainnya.
Mengurus

masa

depan

anak

adalah sama dengan mengurus dan

menyelamatkan masa depan bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karena itu,
ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab terhadap
pengelolaan dan perlindungan anak angkat di Indonesia menjadi sangat penting.
Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah
ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2003 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang diatur pada Bab

28

IV mulai pasal 20 sampai dengan pasal 26, menyangkut berbagai upaya yang
dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan
kesejahteraan anak.
Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak dimaksud yaitu
dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan
pengangkatan anak. Namun dalam Undang-undang ini persoalan anak angkat
hanya dibahas dari segi definisi anak angkat dan tata cara pengangkatan anak serta
sanksi bagi pelanggaran prosedur pengangkatan anak dan tidak ada pembahasan
khusus mengenai persoalan pencatatan anak angkat.
Berdasarkan Konvensi Hak Anak Tahun 1989, adalah hak anak untuk
mendapatkan nama, identitas, dan kewarganegaraan melalui pencatatan kelahiran.
Sama halnya dengan pencatatan kelahiran, maka pencatatan pengangkatan anak
dalam dimensi hukum, merupakan perlindungan untuk anak.
Negara

dan

pemerintah

berkewajiban

dan

bertanggung

jawab

menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik budaya dan bahasa, status hukum anak,
urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental. Selain itu Negara dan
pemerintah juga berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan
sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak serta melakukan
pengawasan terhadap kegiatan dimaksud.
Berkaitan dengan hal tersebut maka, pengangkatan anak merupakan salah
satu dari peristiwa penting untuk dicatat dalam register pencatatan sipil. Yang
dimaksudkan dengan Peristiwa Penting menurut pasal 1 angka 17 Undang-

29

undang RI Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan adalah


kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati,
perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan
nama dan perubahan status kewarganegaraan. Sedangkan pasal 1 ayat 7
memberikan pengertian bahwa yang dimaksud Instansi Pelaksana adalah
perangkat kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan
Administrasi Kependudukan. Pengertian Pencatatan Sipil menurut pasal 1 angka
15 adalah : pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam
register catatan sipil oleh unit kerja yang mengelola pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil.
Khusus menyangkut pencatatan pengangkatan anak, harus dibuktikan
dengan salinan persetujuan dari pengadilan negeri yaitu penetapan pengadilan
(khusus bagi non muslim) dan Penetapan Pengadilan Agama (khusus bagi yang
muslim). Sebagai dasar untuk dibuat catatan pinggir pada kutipan akta kelahiran
anak angkat tersebut. Dengan demikian anak angkat tidak memiliki dua kutipan
akta kelahiran, tetapi hanya satu dengan tambahan catatan pinggir yang
merupakan catatan mengenai perubahan status atas terjadinya peristiwa penting
dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta atau pada bagian
akta yang memungkinkan (dihalaman/bagian muka atau belakang akta) oleh
Pejabat Pencatat Sipil.
Inti dari penjelasan diatas bahwa Pemerintah bertanggung jawab dalam
perlindungan terhadap hak anak angkat melalui Pencatatan pengangkatan anak.
Orang tua angkat diharapkan mencatatkan pengangkatan anak, yang sudah

30

mendapatkan penetapan pengadilan, yang kemudian dalam dimensi pencatatn sipil


berupa pembuatan catatan pinggir di Kutipan Akta Kelahiran. Catatan pinggir
pada kutipan akta kelahiran merupakan bukti legal bagi status perdata anak
angkat. Diharapkan pemerintah dapat mengimplementasikan pemberlakuan
Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang
Pengangkatan Anak melalui Rancangan Peraturan Daeerah sehingga lebih
menyentuh kebutuhan anak angkat dan orang tua angkat di Provinsi Maluku
khususnya di Pemerintah Kota Ambon melaui instansi pelaksana yakni Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil yang berwenang melakukan pencatatan dan
penerbitan dokumen akta pencatatan sipil.
Peran serta dan kerjasama antara pemerintah dan Lembaga Swadaya
Masyarakat yang peduli terhadap permasalahan anak dalam turut memberikan
pemahaman melalui berbagai forum peduli anak tentang pentingnya pemberian
status hukum bagi anak angkat, juga upaya peningkatan kesadaran orang tua
angkat dan masyarakat melaui konseling, sosialisasi dan penyuluhan serta
berbagai kegiatan lainnya diharapkan dapat menjadi solusi penyelesaian masalah
perlindungan hukum anak angkat berkaitan dengan pemberian status hukumnya di
Provinsi Maluku khususnya di Kota Ambon.

B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak serta Hak Dan Kewajiban Anak


Menurut

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002

31

Anak angkat merupakan seseorang yang bukan keturunan dari orang tua
yang mengangkatnya, tetapi ia dipelihara dan diperlakukan sebagai anak, baik
dalam segi kasih sayang, perhatian, nafkah, jaminan pendidikan, serta pelayanan
dalam segala kebutuhan hidupnya. Dengan sahnya suatu pengangkatan anak maka
akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi orang tua angkat dan anak angkat.
Berikut akan diuraikan tentang hak Anak Angkat serta kewajiban dan tanggung
jawab terhadap anak angkat.
1. Hak dan Kewajiban Anak Angkat
Perlindungan terhadap anak di Indonesia termasuk anak angkat
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Anak angkat dan anak-anak lain pada umumnya adalah amanah
dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat hakhak sebagai anak dan harkat serta martabat sebagai manusia seutuhnya,
melekat hak-hak yang perlu dihormati dan dijunjung tinggi oleh orang
tua angkatnya dan masyarakat pada umumnya, hak-hak anak angkat
yang dimaksud antara lain:
a. berhak untuk dapat

hidup,

tumbuh,

berkembang

dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat


kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi;

32

b. berhak atas sesuatu nama sebagai identitas diri dan status


kewarganegaraan;
c. berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya
dalam bimbingan orang tua;9
d. berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri;
e. dalam hal karena sesuatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan
terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat
sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;
g. berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya;
h. khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang
memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan
khusus;
i. setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya
sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;

9 Andi Syamsu Alam, dan H. M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta,2008, hal. 219

33

j. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu


luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain dan berkreasi
sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasan demi
perkembangan dirinya;
k. setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi,

bantuan

sosial

dan

pemeliharaan

taraf

kesejahteraan sosial;
l. setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua wali, atau
pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1) diskriminasi;
2) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3) penelantaran
4) kekejaman, kekerasan dan pengananiyaan
5) ketidakadilan dan
6) perlakuan salah lainnya.
Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan tersebut, maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman, setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,
kecuali ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
1)
2)
3)
4)

penyalahgunaan dalam kegiatan politik;


perlibatan dalam sengketa bersenjata;
perlibatan dalam kerusuhan sosial;
perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur

kekerasan dan
5) perlibatan dalam peperangan;

34

Pada dasarnya setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari


sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak
hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir;
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
1) mendapatkan

perlakuan

secara

manusiawi

dan

penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;


2) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku
3) membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang
tertutup untuk umum
4) setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual

atau

berhadapan

dengan

hukum

berhak

dirahasiakan
5) setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Disamping hak-hak yang dijamin oleh undang undang tersebut,
anak-anak dan / atau termasuk anak angkat memiliki kewajibankewajiban sebagai kewajiban asasi yang juga harus dilaksanakan oleh
seorang anak, yaitu bahwa setiap anak berkewajiban untuk:
a) menghormati orang tua, wali dan guru;
b) mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
c) mencintai tanah air, bangsa dan negara;

35

d) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan


melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
e)
1) Hak Anak Menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan Negara. Hak hak yang tercantum tersebut dalam
Undang-Undang tersebut terdapat dalam pasal :
Pasal 4 menyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 5 menyatakan bahwa Setiap anak berhak atas suatu nama
sebagai

identitas

diri

dan

status

kewarganegaraan.

Pasal 6 Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya,


berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri ayat (2) Dalam hal
karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut
berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh
orang

lain

sesuai

dengan

ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku


Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual,
dan sosial.

36

Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan


pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain hak anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak
mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11 Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan
waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan diri.
Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.
Pasal 13 ayat (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang
tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.

37

Ayat (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang
sah

menunjukkan

bahwa

pemisahan

itu

adalah

demi

kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan te


rakhir.
Pasal 15Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindu
ngan dari:
a.
b.
c.
d.

Penyalahgunaan
Pelibatan dalam
Pelibatan dalam
Pelibatan dalam

dalam kegiatan politik;


sengketa bersenjata;
kerusuhan sosial;
peristiwa yang mengandung unsur

kekerasan; dan
e. Pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16 (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan
dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi.
ayat (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasansesuai
dengan Hukum.(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana
penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku
dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal17(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak u
nntuk

38

a. mendapatkan

perlakuan

secara

manusiawi

dan

penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.


b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya Hukum yang berlaku,
dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan
pengadilan

anak

yang

objektif

dan tidak memihak

dalam sidang tertutup untuk umum.


Ayat (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
kekerassan

seksual

atau

yang

berhadapan

dengan

Hukum berhak.
Pasal 18 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak mendapatkan bantuan Hukum atau bantuan lainnya
2) Kewajiban anak angkat menurut undang undang nomor 23 tahun
2002
Kewajiban berasal dari kata dasar wajib yang artinya harus
melakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat
awalan ke- dan akhiran -an, menjadi kewajiban yang artinya sesuatu yang
harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah sesuatu yang harus
dilaksanakan oleh seorang anak.
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

39

e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.


C. Kewajiban orang tua menurut undagn undang 23 taghun 2002
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan
kewajibannya. Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi
juga memiliki kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun
2002 terdapat kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berb
unyi: ayat (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak
Ayat (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

40

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan maka disimpulkan sebagai berikut :
1. Anak merupakan amanah Allah yang patut dijaga dan dilindungi
karena dalam diri anak melekat harkat dan martabat dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Karenanya perlindungan
terhadap hak hak anak angkat patut diutamakan demi kelangsungan
hidup yang layak dan masa depan yang baik bagi anak.

Upaya

pemerintah dalam perlindungan hak anak khususnya bagi anak angkat


Nampak dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 23 tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan dan mealui ketentuan
pelaksanaan yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Juga

41

membuat kebijakan melalui Renstra yang didalamnya mencakup


program-program Pencatatan Pengangkatan Anak.
2. Akibat Hukum Pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu menimbukan hak dan
kewajiban bagi orang tua dan juga anak angkat. Diantaranya yang
menjadi hak dan kewajiban anak angkat adalah :berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan

harkat

dan

martabat

kemanusiaan,

serta

mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; berhak atas sesuatu


nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; dan berhak
untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua.
B. SARAN
1. Perlu adanya Peraturan secara teknis masalah Pengangkatan anak angkat
serta sanksi yang tegas serta pemahaman tentang persyaratan, prosedur dan
tata cara pelaksanaan pengangkatan anak.
2. Agar tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran dalam pengangkatan
anak maka perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan seluruh elemen
masyarakat untuk melakukan pengawasan secara intensif. Serta dukungan
dan partisipasi serta kesadaran yang tinggi dari pihak orang tua menjadi
salah satu faktor yang penting sebagai penentu masa depan anak angkat
dalam pemenuhan hak haknya melalui penyiapan dokumen hukum
pertanda sah nya kedudukan dan statusnya dalam keluarga angkat.

42

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Andi Syamsu Alam, dan H. M. Fauzan,2008, Hukum Pengangkatan Anak
Perspektif Islam, Jakarta
Ahmad Kamil,2008,

Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di

Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta


Prof. Dr. H. Zainudin Ali, M.A, 2009, Metode Penelitian Hukum, Penerbit: Sinar
Grafika , Jakarta
Muderis Zaini,1985, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum,
Jakarta, Bina Akasara
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI),1976 Jakarta, Balai
Pustaka,
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
WEBSITE
http:free//Makalah_Perlindungan_anak.Blogspot

43

44

You might also like