You are on page 1of 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka
1. Hipertensi
a. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah salah satu penyakit dengan kondisi medis
yang beragam. Kebanyakan pasien hipertensi etiologi patofisiologinya
tidak diketahui atau yang dikenal sebagai hipertensi primer (Depkes
RI, 2006). Hipertensi merupakan penyakit tekanan darah tinggi di
atas batas normal (120/80 mmHg) (Scanlon, 2007). Klasifikasi
tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee) VIII 2013
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VIII (NHLBI, 2013).
Klasifikasi tekanan
darah

Tekanan
Sistolik(mmHg)

Tekanan
Diastolik(mmHg)

Normal

<120

<80

120-139

80-89

Stage I

140-159

90-99

Stage II

160

100

Pre Hipertensi

Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh JNC VIII pada
tahun 2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi,
manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan
Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan
riwayat penderita. Target tekanan darah pada manajemen

terapi

hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada komplikasi penyakit


penderita (James, dkk., 2014).
5

Berdasarkan

etiologi

patofisiologinya

hipertensi

dapat

dibedakan menjadi hipertensi primer (essensial) yang tidak dapat


disembuhkan tetapi dapat di kontrol dan kelompok penderita
hipertensi lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai
penyebab yang khusus yang dikenal sebagai hipertensi sekunder (non
essensial). Banyak faktor penyebab hipertensi

sekunder, endogen

maupun eksogen. Bila penyebab penderita hipertensi sekunder dapat


diidentifikasi maka kemungkinan dapat disembuhkan secara potensial
(Depkes RI, 2006).
b. Etiologi
Hipertensi dapat dikelompokan dalam dua kategori :
1) Hipertensi primer juga disebut hipertensi essensial atau hipertensi
idiopatik (Bowman dan Rand, 1980).
Lebih dari 90% kasus merupakan hiprtensi primer.
Penyebabnya

multifaktorial

meliputi

faktor

genetik

dan

lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap


natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah
terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain- lain.
Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet,
kebiasaan merokok, stres emosi, obesitas dan lain-lain (Gunawan,
2007).
2) Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi.
Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat
penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan
saraf

pusat,

obat-obatan

dan

lain-lain

(Gunawan, 2007).

Penyakit ginjal merupakan penyebab penyakit hipertensi sekunder


yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung

ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat


hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat
yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi penyakit
lain yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam
penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).
c. Patofisiologi Hipertensi
Banyak faktor patofisiologi yang telah dihubungkan dalam
penyebab hipertensi seperti meningkatnya aktifitas sistem saraf
simpatik, mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons
terhadap stress psikososial, produksi berlebihan hormon yang menahan
natrium dan vasokonstriktor, asupan natrium (garam) berlebihan, tidak
cukupnya asupan kalium dan kalsium, meningkatnya sekresi renin
sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan
aldosteron dan defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida
(NO), dan peptide natriuretik (Depkes RI, 2006).

Gambar 2.1 sistem rennin angiotensin and aldosteron (Dipiro, dkk., 2008)
Korteks adrenal adalah bagian ginjal yang memproduksi hormon
mineral kortikoid dan glukokortikoid, yaitu aldosteron dan kortisol.
Kelebihan aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi air dan natrium,
sedangkan kelebihan kortisol meningkatkan sintesa epinefrin dan
norepinefrin yang bertindak sebagai vasokonstriktor pembuluh darah.
Secara tidak langsung, ini akan mempengaruhi peningkatan volume
darah, curah jantung dan menyebabkan peningkatan tahanan perifer
total (Dipiro, dkk., 2008).
d. Manifestasi Klinis
Menurut Chung Edward K (2006) Tanda dan gejala pada hipertensi
dibedakan menjadi :
1) Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan
dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri
oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak
akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2) Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai
hipertensi

meliputi

nyeri

kepala

dan

kelelahan.

Dalam

kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai


kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
e. Farmakoterapi Hipertensi
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan
mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ
target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, stroke atau
penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan

darah

yang

di

rekomendasikan adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa

komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit komplikasi


(NIH, 2003). Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan
darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi
penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi


Gambar 2.2 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi
(James,dkk., 2014)
Pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi
untuk mencapai tekanan darah target terapi. Penambahan regimen obat
dari kelas yang berbeda dimulai apabila penggunaan obat tunggal
dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah yang
diinginkan. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mmHg diatas
target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat.
Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik,

10

terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik,


dan lansia (Depkes RI, 2006).
Komplikasi penyakit hipertensi dengan penyakit lain seperti
penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung dan infark miokard
memiliki alogaritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada gambar
2.3.

Gambar 2.3 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit


(Dipiro, dkk, 2008).
f. Obat Antihipertensi
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama dalam pengobatan awal
hipertensi, yaitu: Diuretik, penghambat reseptor beta adrenergik (blocker),

penghambat

angiotensin-converting

enzyme

(ACE-

inhibitor), Penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan antagonis


kalsium (CaCB) (Gunawan, 2007).
1) Diuretik
Diuretik dapat digunakan sebagai terapi obat lini pertama
untuk hipertensi, kecuali jika terdapat alasan yang memaksa

11

pemilihan agen lain. Diuretik adalah obat antihipertensi yang


bekerja dengan meningkatkan pengeluaran urin (diuresis) melalui
kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik dibagi menjadi lima
golongan obat yaitu:
a) Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati
hipertensi tanpa komplikasi. Semua obat diuretik oral efektif
dalam mengobati hipertensi, tetapi tiazid ternyata paling luas
digunakan. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat
+
reabsorpsi ion Na dan Cl di tubulus distal. Efeknya lebih
lemah dan lambat tetapi lebih lama dibanding diuretik kuat.
Obat-obat dari golongan ini adalah klorotiazid, klortalidon,
hidroklortiazid, indapamin dan metolazon.
b) Diuretik lengkungan (loop diuretic) bekerja segera, bahkan
pada pasien dengan fungsi ginjal yang buruk atau tidak
berespon terhadap tiazid atau diuretik lainnya. Diuretik
lengkungan dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskuler
ginjal dan peningkatan aliran darah. Golongan obat ini bekerja
+ +
dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na , K dan Cl di
ansa henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem cotransport ion Cl yang menyebabkan meningkatnya ekskresi
air. Obat-obat dari golongan ini adalah bumetanid, asam
etakrinik, firosemid dan torsemid.
c) Diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan
mekanisme kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan

12

penghambat saluran ion natrium. Aldosteron menstimulasi


reabsorpsi natrium dan eksresi kalium. Proses ini dihambat
oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu: spironolakton dan
eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk melalui
kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran
natrium, yaitu: triamteren dan amilorid. Obat-obat dari
golongan ini adalah amilorid, eplerenon, spironolakton dan
triamteren.
d) Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di
nefron ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus
koligentes. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat
reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya. Obat-obat
dari golongan ini adalah manitol dan urea
e) Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan
obat ini bekerja pada tubuli proksimal dengan menghambat
reabsopsi bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik
anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen
pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion
natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan
ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat dari
golongan ini adalah asetazolamid (Harvey, 2009).
2) Agen-agen penghambat adrenoseptor-
Penghambat , saat ini, direkomendasikan sebagai terapi
lini pertama untuk hipertensi ketika penyakit penyerta timbul
misalnya, pada gagal jantung. Mekanisme penghambat adalah
menghambat reseptor 1 pada otot jantung sehingga secara

13

langsung akan menurunkan

denyut jantung. Penghambat

dibedakan menjadi penghambat selektif dan non selektif.


Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor 1 dan tidak
memblok reseptor 2. Penghambat beta non selektif memblok
kedua reseptor baik 1 maupun 2. Adrenoreseptor 1 dan 2
terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkonsentrasi pada organorgan dan jaringan tertentu. Reseptor 1 lebih banyak pada
jantung dan ginjal, dan reseptor 2 lebih banyak ditemukan pada
paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan
reseptor 1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan
pelepasan

renin.

Perangsangan

reseptor

menghasilkan

bronkodilatasi dan vasodilatasi. Atenolol dan metoprolol adalah


penyekat yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat
yang nonselektif seperti propanolol pada pasien asma, PPOK,
penyakit arteri perifer, dan diabetes (Hervey, 2009).
Penggunaan blocker non selektif dapat menyebabkan
bronkospasme pada penderita asma karena pada saluran pernafasan
terdapat

reseptor 2 yang berfungsi sebagai vasodilator. Pada

penderita diabetes, blocker akan meningkatkan kadar glukosa


darah melalui penghambatan reseptor 2 di hati. Penghambatan
reseptor ini akan menstimulasi proses glukoneogenesis (Fauci,
dkk., 2008).
3) Penghambat ACE
Penghambat enzim pengonversi-angiotensin (angiotensinconverting

enzyme/ACE),

seperti

enalapril

atau

lisinopril,

direkomendasikan ketika agen lini pertama yang dipilih (diuretik

14

atau penghambat- ) dikontraindikasikan atau tidak efektif.


Mekanisme penghambat ACE adalah menurunkan produksi
angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan
aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung
dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah
angiotensin II di dalam darah. Golongan obat ini efektif digunakan
sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan
diuretik, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek
samping dari golongan obat ini adalah gangguan fungsi ginjal,
batuk kering, dan dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien
dengan gangguan ginjal kronis (Harvey, 2009).
4) Antagonis reseptor-angiotensin II (ARB)
Penghambat reseptor-angiotensin II

(angiotensin

II-

receptor blockers/ARB) merupakan alternatif penghambat ACE.


Obat-obat ini menghambat ikatan antara angiotensin II dengan
reseptornya (Harvey, 2009). Golongan obat ini menghambat secara
langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di
jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu vasokontriksi,
pelepasan aldosteron,

aktivasi

simpatetik, pelepasan hormon

antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat


reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor

angiotensin II

tipe 2 (AT2). Jadi, efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2


seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan
pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB
mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan

15

ACEI karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak


menyebabkan batuk kering seperti ACEI. Sama halnya dengan
ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi,
dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006).
5) Penghambat kanal kalsium
Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular
dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung
mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan
menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat sehingga akan
meningkatkan

tekanan

darah.

Antagonis

kalsium

bekerja

menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas


jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan
ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin.
Penggunaan

tunggal

maupun

kombinasi,

obat

ini

efektif

menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat


ini sering dikombinasikan dengan ACEI, penyekat beta, dan
penyekat alfa (Fauci, dkk., 2008).
g. Profil Penggunaan Obat
Profil penggunaan obat adalah

gambaran penggunaan atau

pemberian obat pada pasien dengan tujuan penyembuhan. Berbagai


faktor

yang

mempengaruhi keputusan dokter dalam meresepkan

obat dapat dilihat dalam gambar 2.4.

16

Gambar 2.4 Berbagai faktor yang menentukan keputusan dokter dalam


meresepkan obat (WHO, 2006).
B. Kerangka Teori
Penyebab hipertensi :
1. Hipertensi primer
Disebut juga hipertensi esensial atau hipertensi idiopatik, meliputi
faktor genetik dan lingkungan.
2. Hipertensi sekunder
Adalah hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal),
hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lainlain (Gunawan, 2007)

Pre Hipertensi
Stage I
Stage II

Diagnosis :
120-139/80-89 mmHg
140-159/90-99 mmHg
160/100 mmHg

Diuretik
Agen-agen penghambat adrenoseptor-
Penghambat
Antagonis
ACE reseptor-angiotensin
Penghambat
II (ARB)kanal kalsium

Gambar 2.5 Kerangka Teori


Sumber : (Gunawan,2007,; Harvey, 2009)

C. Kerangka Konsep
antihipertensi

Pola pengobatan
1. Golongan obat
2. Jenis obat
3. persentase
Gambar 2.6 Kerangka konsep

17

D. Keterangan Empiris
Penelitian ini dapat memberikan gambaran profil penggunaan obat
antihipertensi pada pasien hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Ambarawa.

18

You might also like