You are on page 1of 31

Laporan Kasus

A. Identitas Pasien
Nama
Jenis kelamin
Usia
Status
Agama
Pendidikan terakhir
Alamat
Pekerjaan
No. rekam medis
Tanggal masuk RS

: Tn. M
: Laki-laki
: 35 Tahun
: Menikah
: Islam
: SMA
:: Pegawai Swasta
: 00-69-50-XX
: 24 Februari 2016

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis terhadap pasien langsung dan alloanamnesis
terhadap istri pasien, pada:
Hari / Tanggal
: Selasa, 25 Februari 2016
Pukul
: 06.30
Tempat
: Bangsal Medical Lt.3, Rumah Sakit Umum Siloam
Keluhan Utama :
Kelemahan sisi tubuh kanan sejak 4 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan kelemahan sisi tubuh kanan sejak 4 hari SMRS. Keluhan
dirasakan setiap hari selama 4 hari SMRS sebanyak 3-4 kali serangan secara tiba-tiba baik
sedang istirahat maupun beraktivitas. Pasien mengaku hanya mengalami kelemahan, tanpa
bisa digerakkan sedikitpun pada sisi kanan; wajah, tungkai atas, dan tungkai bawah kanan,
tanpa disertai adanya gangguan baal maupun kesemutan. Selain itu pasien juga memiliki nyeri
kepala saat serangan berlangsung, terutama di bagian belakang kepala, di kedua bagian kanan
dan kiri, kemudian disertai bicara pelo. Saat mengalami serangan, pasien sadar penuh,
kemudian beristirahat, dan selama sekitar 30 menit hingga 1 jam keluhan pasien hilang
sepenuhnya, dan kembali normal.
Pasien mengaku tidak ada hal yang memicu serangan pasien, dan tidak ada gejala-gejala yang
muncul sebelum terjadi serangan seperti mencium bau-bau-an, melihat cahaya terang, maupun
merasakan rasa-rasa aneh di mulut. Ketika serangan berhenti dan keluhan pasien hilang,
pasien juga mengaku tidak mengalami penurunan kesadaran maupun kebingungan. Pasien
juga mengaku tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi maupun penyakit gula, namun
pasien memiliki riwayat merokok rutin sebanyak 1 bungkus rokok per hari. Pasien mengaku
tidak mengalami demam, kejang, penurunan kesadaran, penurunan berat badan drastis, sakit

kepala pada satu sisi yang berdenyut, silau, maupun mual dan muntah. Selain itu pasien
mengaku masih dapat BAB, BAK, maupun berkeringat.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Selain itu, pasien mengaku tidak
memiliki riwayat stroke, hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengaku di dalam keluarga pasien, terutama ayah maupun ibu pasien tidak pernah
mengalami keluhan serupa, maupun memiliki stroke, hipertensi, diabetes mellitus, dan
penyakit jantung sebelumnya.
Riwayat Sosial :
Pasien mengaku rutin merokok sebanyak kurang lebih 1 bungkus rokok per hari. Pasien
mengaku tidak mengonsumsi alkohol maupun mengonsumsi obat-obatan tertentu secara rutin.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Sehat
Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4 M6 V5
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah
:
Laju Napas
:
Nadi
:
Suhu
:
Head to toe
Kepala
Mata
THT
Leher

120/70 mmHg
20 x/menit
80 x/menit
36.5 oC

: Normosefali
: Konjungtiva Anemis - / - ; Sclera ikterik - / -.
: daun telinga normal, rongga hidung normal, faring tidak hiperemis, T1/T1
: tidak terlihat massa maupun nodul, tidak ada pembesaran KGB atau tiroid.
bruit carotis (-)

Thorax
Paru
:
I - pernafasan simetris saat statis & dinamis,
P - pengembangan paru & tactile vocal fremitus simetris kiri & kanan,
A - bunyi pulmo vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/Jantung
:
I - batas jantung normal,
A - bunyi jantung S1/S2 regular, gallop - / -, murmur - / Abdomen
Inspeksi : bekas luka (-), massa dan bekas operasi (-), permukaan datar
Auskultasi : BU (+)
Perkusi
: bunyi timpani
Palpasi
: NT (-)
Ekstremitas

Pada tungkai atas maupun bawah, luka (-), edema (-), deformitas (-). Akral hangat dan CRT <
2 detik.
Status Neurologis
GCS = E4M6V5 = 15
Tanda rangsang meningeal:

Kaku kuduk
Tanda Laseq
Tanda Kerniq
Brudzinski I
Brudzinski II
Saraf Kranial

Nervus I

:: > 70 / > 70
: > 135 / > 135
::Kanan

Kiri

Normal

Normal

20/20

20/20

Sama dengan pemeriksa

Sama dengan pemeriksa

Normal

Normal

Ortoforia

Ortoforia

Normal

Normal

Bulat, 3mm

Bulat , 3mm

Simetris

Simetris

Normotonus

Normotonus

Normal

Normal

Normal

Normal

Nervus II

Visus (Rosenbaum chart)


Lapang pandang
Warna

Nervus III, IV, VI

Sikap bola mata


Celah Palpebra
Pupil = Isokhor
RCL
RCTL
Nistagmus
Pergerakan bola mata

Nervus V

Motorik
Inspeksi
Palpasi
Membuka mulut
Gerakan rahang
Sensorik
Sensibilitas V1

Sensibilitas V2
Sensibilitas V3
Reflex Kornea

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Nervus VII

Sikap mulut istirahat


Angkat alis, kerut dahi,

Normal

Normal

tutup mata dengan kuat =

Normal

Normal

Normal

Normal

Terangkat

Terangkat

Normal

Normal

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Normal

Normal

Simetris

Simetris

Ditengah

Ditengah

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Normal

Normal

Normal

Normal

Simetris
Kembung pipi = Simetris

Menyeringai = Simetris

Nervus VIII
Nervus cochlearis

Suara gesekan jari

Nervus vestibularis

Nistagmus
Berdiri dengan satu kaki
Mata Tertutup
Mata Terbuka
Berdiri dengan dua kaki
Mata Tertutup
Mata Terbuka
Berjalan tandem
Fukuda stepping test
Past pointing test

Nervus IX, X

Arkus faring
Uvula
Disfoni
Disfagi
Reflex faring

Nervus XI

M. Sternocleidomastoid
M. Trapezius

Nervus XII
Sikap lidah dalam mulut

Deviasi
Atrofi
Fasikulasi
Tremor
Menjulurkan lidah
Kekuatan lidah

Normal

Normal

Normal

Normal

MOTORIK

Eutrofi Eutrofi

Inspeksi:

Eutrofi Eutrofi

Palpasi:

Normotonus Normotonus

Fasikulasi: - / Tonus

Normotonus Normotonus

Kekuatan

5555 5555
5555 5555

Gerakan Involunter :

Refleks Fisiologis:

-/-

Kanan

Kiri

Biceps

+2

+2

Triceps

+2

+2

KPR

+2

+2

APR

+2

+2

Motorik:

Refleks Patologis:
Kana

Kiri

Babinski

n
-

Chaddock

Oppenheim

Gordon

Schaffer

Rossolimo

Mendel Becthrew

Hoffman Trommer

SENSORIK
Kanan

Kiri

(+)
(+)
(+)
tidak dilakukan
tidak dilakukan

(+)
(+)
(+)

Ekstremitas Atas
Raba
Nyeri
Posisi sendi
Suhu
Getar
Ekstremitas Bawah

Raba
Nyeri
Posisi sendi
Suhu
Getar

tidak dilakukan
(+)
(+)
(+)
tidak dilakukan
tidak dilakukan

KOORDINASI

Tes Tunjuk-Hidung : normal


Tes Tumit-Lutut
: tidak dilakukan
Disdiadokokinesis : normal

OTONOM

tidak dilakukan

Miksi
: normal
Defekasi
: normal
Sekresi keringat : normal

(+)
(+)
(+)
tidak dilakukan
tidak dilakukan

D. Resume
Pasien laki-laki 35 tahun datang dengan hemiparesis dextra (+). Selain itu disertai dengan
dysarhria (+) cefalgia (+) sejak 4 hari SMRS secara tiba-tiba saat istirahat maupun saat
beraktivitas. Selain itu pasien mengaku hemihipestesia (-), aura (-), penurunan kesadaran (-),
kejang (-), demam (-), mual (-), muntah (-). Pasien juga mengaku riwayat DM (-), HT (-),
namun merokok (+) sebanyak 1 bungkus per hari. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
adanya abnormalitas. Status neurologis normal; kesadaran compos mentis, GCS 15, rangsang
meningeal (-), defisit neurologis (-), motorik (5/5), sensorik (+/+), refleks fisiologis (+2/+2),
refleks patologis (-/-), koordinasi (+/+), fungsi otonom (+).

E. Diagnosis Neurologis
Klinis
: Hemiparesis dextra, dysarthria, cefalgia
Topis
: Kapsula interna pars anterior
Etiologis : Thrombosis
Patologis : Transient Ischemic Attack (TIA)

F. Diagnosis Kerja
Hemiparesis dextra, dysarthria, cefalgia et causa Transient Ischemic Attack / TIA

G. Diagnosis Banding
Hemiplegic Migraine
Todds Paralysis

H. Saran Pemeriksaan Penunjang


1. CT Scan Kepala Non Contrast

Kesan : Normal
2. Full Blood Count (CBC, Ureum, Kreatinin, GDS, Elekrolit)
Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Hemoglobin

15.20 g/dL

13.20 17.30

Hematokrit

46.80 %

40.00 52.00
6

Eritrosit (RBC)

5.58 x 10 / L

4.40 5.90

Leukosit (WBC)

9.16 x 103 / L

3.80 10.60

Basofil

0%

0-1

Eosinofil

0%

1-3

Neutrofil Batang

3%

2-6

Neutrofil Segmen

79 %

50-70

Leukosit

27 %

25-40

Monosit

4%

2-8

Platelet

286 x 103 / L

150.00 440.00

ESR

4 mm/jam

0-15

MCV

89.20 fL

80.00 100.00

MCH

30.80 pg

26.00 34.00

MCHC

34.50 g/dL

32.00 36.00

Ureum

16.0 mg/dL

< 50.00

Kreatinine

0.83 mg/dL

0.5 1.3

eGFR

112.1 ml/menit/1.73 m2

>= 60

Gula Darah Sewaktu

116.0 mg/dL

< 200.0

Differential Count

Fungsi Ginjal

Serum Elektrolit
Sodium (Na)

142 mmol/L

137 - 145

Potasium (K)

4.3 mmol/L

3.6 5.0

Klorida (Cl)

106 mmol/L

98 - 107

3. Lipid Profile
Pemeriksaan
Kolesterol Total

Hasil
193 mg/dL

Nilai Normal
Konsensus Lipid 2014
< 200 desireable
200-239 moderate
> 240 high

Kolesterol HDL (Direk)

36.0 mg/dL

< 40 low
>= 60 high

Kolesterol LDL (Direk)

127 mg/dL

< 100 optimal


100-129 near optimal
>130 high

Trigliserida

135 mg/dL

4. Electroencephalography (EEG)
Normal
5. MRA atau CT-A
6. Electrocardiogram (ECG)
Normal
7. Echocardiography
8. Carotid duplex scan
9. Studi Koagulasi

50-150

I. Saran Terapi
Non-medikamentosa
Posisikan kepala pasien 30 o
- Pasang IV line
Medikamentosa
- Aspilet PO 1 x 80 mg
- Citicolin PO 2 x 500 mg
- Ranitidine PO 2 x 150 mg
- Simvastatin 1 x 20 mg
J. Follow Up
Pada tanggal 25 Februari 2016, pasien tampak sehat, tidak memiliki keluhan. Kesadaran
pasien compos mentis, GCS 15 (E4M6V5), tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 72 x/min, laju
nafas 20 x/min, dan suhu 36.8 C. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya paresis
maupun disarthria. Hasil skor NIHSS 0. Hasil CT scan kepala non contrast normal, tidak
ditemukan adanya lesi patologis. Rencana EEG dijadwalkan tanggal 26 Agustus 2015.
Apabila EEG normal, pasien direncanakan untuk pulang, kemudian rawat jalan.
Pada tanggal 26 Februari 2016, pasien juga tampak sehat, tanpa keluhan. Kesadaran compos
mentis dengan GCS 15 (E4M6V5), tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 85 x/min, laju nafas 20
x/min, dan suhu 36.5 C. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya paresis maupun
disarthria. Hasil skor NIHSS 0. Hasil EEG normal, menunjukkan tidak ada kejang maupun
gangguan elektrik otak. Pasien dijadwalkan untuk pulang keesokan harinya, kemudian kontrol
saat rawat jalan.

K. Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam

: bonam
: dubia ad bonam
: bonam

Tinjauan Pustaka : Trasient Ischemic Attack


Definisi
Transient Ischemic Attack (TIA) didefinisikan sebagai suatu episode disfungsi neurologis
transien yang disebabkan karena lesi fokal pada otak, medulla spinalis, atau iskemia retina, tanpa

suatu infark akut. Sedangkan definisi daripada stroke iskemik merupakan suatu infark pada
sistem saraf pusat.
Istilah Transient Ischemic Attack pertama kali dikenalkan pada tahun 1950s awal berdasarkan
pada penemuan penurunan fungsi neurologis fokal yang transien, seringkali mendahului kejadian
stroke. Saat itu, beberapa kelompok dan komite mendefinisikan TIA dengan waktu kurang dari
24 jam. Namun, definisi klasik dari TIA tidak adekuat untuk beberapa alasan. Terutama, terdapat
risiko injuri jaringan permanen (cth : infark) meskipun gejala neurologis fokal yang bersifat
transien terjadi kurang dari satu jam.
Gejala dari iskemia pada otak bisa transien, terjadi dalam detik hingga menit, atau dapat
persisten dalam periode waktu tertentu.
Pasien dengan TIA atau stroke minor merupakan kondisi peningkatan risiko untuk terjadinya
stroke, dan oleh karena itu dibutuhkan evaluasi dan manajemen, karena intervensi segera dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke.

Epidemiologi
TIA didiagnosis antara 200.000 dan 500.000 setiap tahun di Amerika Serikat. Di departemen
emergensi (ED), TIA terjadi dengan perkiraan 1,1 per 1000 penduduk AS, dan TIA didiagnosis
pada 0.3 % kunjungan ED. TIA memiliki risiko tinggi terjadinya stroke dalam jangka pendek,

dan sekitar 15 % dari stroke didahului oleh kejadian TIA. Insidensi terjadinya stroke setinggi 11
% pada 1 minggu setelahnya, dan 24-29 % selama 5 tahun berikutnya.

Etiologi
Penyakit serebrovaskular disebabkan oleh salah satu dari beberapa proses patofisiologis yang
melibatkan pembuluh darah otak:
-

Proses intrinsik pada pembuluh darah, seperti dalam aterosklerosis, lipohialinosis,


peradangan, deposisi amiloid, diseksi arteri, malformasi pembuluh darah, pelebaran

aneurisma, atau trombosis vena.


Proses yang berasal dari tempat lain, seperti yang terjadi ketika sebuah embolus dari

jantung atau sirkulasi ekstrakranial menyumbat pada pembuluh darah intrakranial.


Proses akibat dari aliran darah otak tidak memadai karena penurunan tekanan perfusi atau
peningkatan viskositas darah.

Patofisiologi
TIA ditandai dengan penurunan sementara atau penghentian aliran darah otak pada distribusi
neurovaskular tertentu sebagai akibat dari oklusi baik sebagian atau total, biasanya, dari
tromboemboli akut atau stenosis dari pembuluh darah kecil. Manifestasi klinis akan bervariasi,
tergantung pada pembuluh darah yang terlibat dan wilayah otak yang diperdarahi.

Manifestasi Klinis
TIA dapat berlangsung hanya beberapa menit, dan gejala sering hilang sebelum pasien datang ke
rumah sakit. Oleh karena itu, pertanyaan tentang serangan harus ditanyakan tidak hanya pada
pasien tetapi juga pada anggota keluarga, saksi, dan petugas layanan medis darurat (EMS)
mengenai perubahan salah satu dari gejala berikut:
-

Perilaku
Bahasa
Cara berjalan
Memori
Gerakan

Tujuan dari pemeriksaan fisik untuk mengungkap setiap defisit neurologis, untuk mengevaluasi
faktor risiko kardiovaskular yang mendasari, dan untuk mencari setiap kemungkinan trombotik
atau embolik penyebab serangan. Idealnya, setiap defisit neurologis harus dicatat dengan bantuan
stroke skoring, seperti National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS).
Pertanyaan riwayat medis yang signifikan untuk memperoleh faktor risiko terhadap penyakit
yang mendasari yang relevan sebagai berikut:
-

Riwayat operasi terbaru (misalnya, karotis atau jantung)


Stroke atau TIA sebelumnya
Kejang
Infeksi sistemik atau sistem saraf pusat (SSP)
Penggunaan obat-obatan terlarang
Penggunaan regimen obat lengkap, termasuk semua obat over-the-counter
Komorbiditas terkait dengan gangguan metabolisme, terutama diabetes
Riwayat koagulopati atau riwayat keluarga dengan gangguan pemberkuan darah atau

riwayat peristiwa trombotik


Riwayat arthritis
Necrotizing vasculitis non-infeksius, iradiasi, dan trauma local
Faktor risiko tromboemboli (misalnya, stenosis arteri karotis, tromboemboli vena atau
arteri, foramen ovale paten atau defek septum atrium, fibrilasi atrium, infark miokard

sebelumnya, dan disfungsi ventrikel kiri)


Penyakit kardiovaskular lain
Riwayat migrain

Diagnosis
Mengeksklusi etiologi metabolik atau akibat obat untuk gejala yang konsisten dengan TIA sangat
penting. Tes-tes berikut perlu dilakukan dalam kondisi darurat :
-

Cek glukosa darah sewaktu untuk hipoglikemia


Pemeriksaan darah lengkap
Serum elektrolit
Pemeriksaan koagulasi
12-lead elektrokardiogram (EKG)

Tes berikut ini biasanya membantu dan sering dapat dilakukan dalam keadaan darurat:
-

Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR)


Enzim jantung
Profil lipid

Tes laboratorium tambahan, dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan atas dasar anamnesis, antara
lain sebagai berikut :
-

Skrining untuk keadaan hiperkoagulasi (terutama usia muda tanpa faktor risiko vaskular)
Serologi Sifilis
Antibodi antifosfolipid
Toksikologi
Elektroforesis Hemoglobin
Elektroforesis protein serum
Pemeriksaan cairan serebrospinal

Pencitraan otak harus dilakukan dalam waktu 24 jam dari onset gejala, sebagai berikut :
MRI dengan diffusion-weighted imaging (lebih disarankan)
Non-contrast computed tomography (CT scan; jika MRI tidak tersedia)
Pencitraan otak dapat mengidentifikasi area iskemia di sebanyak 25% dari pasien, selain itu
penyebab yang mimik TIA dapat diidentifikasi.
Pembuluh darah otak harus dicitrakan secara cepat, sebaiknya pada saat yang sama seperti
pencitraan otak. Pencitraan pembuluh darah dapat mengidentifikasi adanya stenosis atau oklusi
yang dapat menentukan intervensi dini. Pencitraan vaskuler untuk TIA meliputi:
Doppler karotis ultrasonografi pada leher
CT angiography (CTA)
Magnetic resonance angiography (MRA)
Electroencephalography (EEG) dapat diindikasikan untuk mengevaluasi aktivitas kejang. Pungsi
lumbar (LP) dapat diindikasikan untuk mengeksklusi pendarahan subarachnoid, infeksi sistem
saraf pusat (SSP), atau penyakit demielinasi.

Differential Diagnosis

Tatalaksana
Tujuan tatalaksana adalah untuk mengurangi risiko mengalami stroke. Ada beberapa jenis
tatalaksana:
-

Mengobati faktor risiko, seperti tekanan darah tinggi, diabetes

Terapi antiplatelet

Terapi statin

Terapi antikoagulan

Revaskularisasi

Berikut adalah hal yang harus dilakukan segera pada pasien dengan TIA :
-

Evaluasi

stratifikasi risiko (misalnya, dengan skor California atau ABCD)

Inisiasi terapi pencegahan stroke

Untuk pasien dengan TIA baru (1 minggu), pedoman merekomendasikan rujukan rumah sakit
tepat waktu dengan rawat inap, untuk kondisi berikut:
-

TIA crescendo

Durasi gejala lebih dari 1 jam

Stenosis karotid internal simtomatik lebih besar dari 50%

Sumber emboli jantung (fibrilasi atrium)

Kondisi hiperkoagulasi

Kombinasi dari skor California atau skor ABCD (kategori 4)

Mengingat tingginya risiko stroke dalam waktu dekat setelah TIA, terapi antitrombotik harus
dimulai segera setelah perdarahan intrakranial telah dieksklusi. Untuk TIA non-kardioembolik,
agen antiplatelet berikut semua merupakan lini pertama pilihan untuk terapi awal:
-

Aspirin (50-325 mg / hari)

Aspirin ditambah extended-release dipyridamole

Clopidogrel

Sedangkan obat pencegahan stroke yang biasanya dianjurkan untuk kardioembolik TIA adalah
sebagai berikut:
-

Untuk pasien dengan atrial fibrilasi setelah TIA, antikoagulasi jangka panjang dengan
warfarin (target rasio normalisasi internasional [INR], 2-3); aspirin 325 mg / hari untuk
mereka yang tidak mampu untuk mengonsumsi antikoagulan oral

Pada infark miokard akut (MI) dengan trombus ventrikel kiri, antikoagulan oral dengan
warfarin (target INR, 2-3; aspirin bersamaan hingga 162 mg / hari untuk penyakit arteri
koroner iskemik [CAD])

Pada kardiomiopati dilatasi, antikoagulan oral dengan warfarin (target INR, 2-3) atau
terapi antiplatelet

Pada penyakit katup mitral rematik, antikoagulan oral dengan warfarin (target INR, 2-3)
atau terapi anti-platelet

Untuk pasien dengan TIA karena 50-99% stenosis arteri intrakranial utama, berikut ini yang
direkomendasikan :
-

Aspirin 50-325 mg / hari (dipilih dibandingkan warfarin)

Mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mm Hg dan kolesterol total di bawah


200 mg / dL

Angioplasty atau pemasangan stent

Analisa Kasus
Berdasarkan hasil anamnesis pasien, ditemukan ada keluhan kelemahan pada tubuh sisi kanan,
pada wajah, tungkai atas, dan tungkai bawah, kemudian disertai bicara pelo, dan nyeri kepala
sejak 4 hari SMRS. Selain itu, pasien mengaku tidak memiliki riwayat diabetes maupun
hipertensi, namun pasien mengaku merokok satu bungkus per harinya. Apabila melihat dari hal
ini, masih banyak kemungkinan yang dapat menjelaskan keluhan ini, seperti iskemia
(stroke/TIA), kelainan metabolik (hipoglikemia, hiperglikemia, hiponatremia, hipokalemia),
paresis pasca kejang (Todds paralysis), dan migraine tipe hemiplegic.
Dari hasil anamnesis lebih lanjut, nyeri kepala yang dirasakan tidak khas migraine, yang nyeri
kepalanya sebelah, berdenyut, lalu disertai dengan gejala penyerta (aura), seperti melihat cahaya,
mencium bau-bau an, atau merasakan rasa-rasa aneh di mulut, dimana pada pasien ini sakit
kepala dirasakan di seluruh kepala, terasa berat, terjadi saat serangan saja, dan tanpa diikuti oleh
gejala penyerta. Sehingga kemungkinan migraine hemiplegic dapat dieksklusi. Selain itu,
sebelum dan saat serangan, dari anamnesis pasien dan istri pasien, mengaku tidak ada kejang
yang terjadi, dan pasien masih sadar penuh saat serangan muncul. Sehingga kemungkinan
terjadinya paresis pasca kejang dapat dieksklusi, namun perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk

memastikan

bahwa

benar-benar

tidak

terjadi

kejang,

dengan

pemeriksaan

Electroencephalography (EEG).
Keluhan yang dirasakan secara tiba-tiba, yang menjadi dasar untuk mendiagnosis adanya
iskemia, baik TIA maupun stroke. Selain itu, kemungkinan kelainan metabolik juga belum dapat
disingkirkan, sehingga dibutuhkan pemeriksaan darah lengkap, terutama gula darah, serum
elektrolit, dan profil lipid. Oleh karena kelemahan yang dirasakan pasien hilang sepenuhnya
setelah beristirahat sekitar 30 menit hingga 1 jam, lalu pada pemeriksaan fisik di rumah sakit
tidak ditemukan adanya abnormalitas, pasien sepenuhnya dalam kondisi normal tanpa defisit
neurologis, kelemahan, pelo, maupun sakit kepala, maka diagnosa TIA dapat ditegakkan,
mengingat stroke tidak akan pulih sepenuhnya dalam jangka waktu 24 jam, namun tetap perlu
dipastikan tidak adanya infark yang terjadi pada otak, yang merupakan tanda dari stroke, oleh
karena itu diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu MRI kepala non kontras, atau CT scan kepala
non kontras. Dalam hal ini MRI kepala merupakan pemeriksaan terbaik untuk menentukan
keberadaan infark, karena lebih jelas, terutama untuk melihat jaringan lunak, namun MRI
membutuhkan waktu lebih lama, sehingga dapat dilakukan CT scan sebagai pengganti.

Pada pemeriksaan darah lengkap, tidak ditemukan adanya abnormalitas, baik pada hemoglobin,
hematokrit, elektrolit, gula darah, maupun profil lipid. Sehingga dapat mengeksklusi
kemungkinan penyebab metabolik dalam kasus ini. Lalu pada pemeriksaan pencitraan kepala,
pada kasus ini CT scan kepala non kontras, tidak ditemukan adanya lesi patologis (infark),
sehingga kemungkinan diagnosis stroke dapat dieksklusi. Kemudian pada pemeriksaan EEG
didapati listrik otak dalam batas normal, tidak ditemukan adanya kejang, sehingga kemungkinan
paresis pasca kejang (Todds paralysis) dapat dieksklusi.
Selama di rumah sakit, pasien mendapatkan penanganan non medikamentosa, antara lain posisi
kepala 30 derajat dari bed, dan IV line. Pada medikamentosa, pasien diberikan aspirin, ranitidine,
citikolin, dan simvastatin. Dan semenjak di rumah sakit, pasien tidak mengalami serangan.
Pada kasus ini pasien mengalami serangan TIA setiap hari selama 4 hari SMRS sebanyak 3
hingga 4 kali serangan per harinya. Hal ini menunjukkan adanya suatu penyebab yang rekuren,
proses yang masih berlangsung, dan belum tertangani, namun tidak semakin parah, karena gejala
tetap sama setiap kali dan hilang sepenuhnya setelah beristirahat. Atas dasar ini, terdapat
beberapa kemungkinan etiologi, antara lain penyebab intrinsik yaitu pada pembuluh darah otak
(aterosklerosis, diseksi arteri, malformasi pembuluh darah, trombosis), ekstrinsik dari
ekstrakranial (emboli), dan akibat dari aliran darah otak yang tidak mencukupi (kondisi
hiperkoagulasi).
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui penyebab terjadinya
serangan TIA berulang, dengan dilakukan CT angiografi atau magnetic resonance angiography
(MRA) untuk mencari apakah ada penyakit oklusif pada sirkulasi serebrovaskular. Kemudian
carotid Doppler ultrasonografi pada daerah leher untuk mencari adanya aterosklerosis, atau
penyakit lain pada pembuluh darah karotid. Selain itu diperlukan juga pemeriksaan EKG untuk
mengetahui apakah mungkin ada penyebab ekstrakranial, terutama jantung (atrial fibrilasi).
Kemudian diperiksa juga studi koagulasi pada pemeriksaan laboratorium, yaitu protein C,
protein S, fibrinogen, dan trombosit.
Prinsip manajemen tatalaksana pada kasus ini antara lain; menangani faktor risiko yaitu berhenti
merokok, kemudian pemberian antiplatelet (aspirin 1 x 80 mg), pemberian statin (1 x 20 mg).

NIHSS Score
Category

1a level of consciousness (LOC)

Score - Description
0 Alert
1 Drowsy
2 Stuporous
3 Coma
0 Answers both correctly

1
b

LOC questions (month, age)

1 Answers 1 correctly
2 Incorrect on both
0 Obeys both correctly

1c

LOC commands (open and close eyes, grip and release

1 Obeys 1 correctly

nonparetic hand)

2 Incorrect on both
0 Normal

Best gaze (follow finger)

1 Partial gaze palsy


2 Forced deviation
0 No visual loss
1 Partial hemianopia

Best visual (visual fields)

2 Complete hemianopia
3 Bilateral hemianopia
0 Normal
1 Minor

Facial palsy (show teeth, raise brows, squeeze eyes shut)

2 Partial
3 Complete
0 No drift
1 Drift

Motor arm left* (raise 90, hold 10 seconds)

2 Cannot resist gravity


3 No effort against gravity
4 No movement

Motor arm right* (raise 90, hold 10 seconds)

0 No drift
1 Drift

2 Cannot resist gravity


3 No effort against gravity
4 No movement
0 No drift
1 Drift
7

Motor leg left* (raise 30, hold 5 seconds)

2 Cannot resist gravity


3 No effort against gravity
4 No movement
0 No drift
1 Drift

Motor leg right* (raise 30, hold 5 seconds)

2 Cannot resist gravity


3 No effort against gravity
4 No movement
0 Absent

Limb ataxia (finger-nose, heel-shin)

1 Present in 1 limb
2 Present in 2 limbs
0 Normal

1
0

Sensory (pinprick to face, arm, leg)

1 Partial loss
2 Severe loss
0 No neglect

11 Extinction/neglect (double simultaneous testing)

1 Partial neglect
2 Complete neglect
0 Normal articulation

1
2

Dysarthria (speech clarity to mama, baseball, huckleberry, tip- 1 Mild to moderate dysarthria
top, fifty-fifty)
2 Near to unintelligible or worse
0 No aphasia

1
3

1 Mild to moderate aphasia


Best language** (name items, describe pictures)

2 Severe aphasia
3 Mute

Total

0-42

* For limbs with amputation, joint fusion, etc, score 9 and explain.
** For intubation or other physical barriers to speech, score 9 and explain. Do not add 9 to the total
score

NIHSS

Score

Description

mudah

No stroke

digunakan

1-4

Minor stroke

dan

5-15

Moderate stroke

berfokus

15-20

Moderate/severe stroke

21-42

Severe stroke

pada 6

komponen utama dari pemeriksaan neurologis:


Tingkat kesadaran
Fungsi Visual
Fungsi motorik
Sensation dan neglect
Fungsi serebelum
Bahasa

NIHSS merupakan skala 42-point, dengan stroke ringan biasanya menghasilkan skor lebih
rendah dari 5. NIHSS skor yang lebih tinggi dari 10 berhubungan dengan kemungkinan 80% dari
defisit aliran visual pada angiografi. Diperlukan ketelitian dalam menilai besarnya defisit klinis;
misalnya, jika defisit pasien hanya bisu, skor NIHSS akan 3. Selain itu, skala NIHSS tidak
mengukur beberapa defisit terkait dengan stroke sirkulasi posterior (misalnya, vertigo dan
ataksia).

Beberapa aturan prediksi klinis (Clinical Prediction Rules / CPRS) telah dibuat untuk membantu
dalam menentukan risiko stroke berikutnya untuk pasien TIA (Tabel 4). Kegunaan skor untuk
memprediksi risiko seorang pasien akan sangat membantu penilaian pasien dan memungkinkan
tenaga medis emergensi untuk stratifikasi risiko suatu pasien dengan TIA terhadap risiko
terjadinya stroke.

Pada tahun 2000 Johnston et al menetapkan 5 faktor risiko stroke dalam waktu 90 hari dari
diagnosis TIA di ED. Faktor ini antara lain; usia lebih dari 60 tahun, diabetes, durasi gejala> 10
menit, kelemahan fokal, dan gangguan berbicara. Mereka mengembangkan aturan prediksi klinis
yang memberi pasien 1 poin untuk setiap komponen karakteristik yang berlaku dan
mengakibatkan nilai komposit hingga 5, yang dikenal sebagai "California Score." Pasien dengan
0 faktor risiko memiliki 0% 90-hari risiko stroke dan mereka dengan semua, 5 faktor risiko
memiliki 34% 90-hari risiko stroke.
Pada tahun 2005, Rothwell et al mengembangkan CPR lain yang dikenal sebagai "ABCD rule"
untuk diterapkan selama 7 hari dan 90 hari risiko stroke, yang sejak itu telah divalidasi di
beberapa studi berikutnya. ABCD rule, dengan skala 6-poin, menganggap hipertensi sebagai
faktor risiko stroke, bukan diabetes, tetapi sebaliknya terdiri dari faktor-faktor risiko yang sama
dengan aturan California. Pasien dengan skor> 4 dianggap memiliki risiko tinggi stroke dalam
waktu 7 dan 90 hari presentasi untuk ED dengan gejala TIA, mencapai setinggi risiko 35% pada
skor 6.
Beberapa studi telah berusaha untuk memvalidasi skor ABCD sebagai prediktor 7-hari risiko
stroke, termasuk paper asli oleh Rothwell et al pada 2005. Studi ini berbeda dalam pendekatan
mereka terhadap risiko individu berdasarkan sejumlah faktor risiko dan dengan range dari risiko
7 hari 0% hingga 9,1% untuk skor 4 atau lebih rendah. Semua studi melaporkan risiko stroke
yang 7-hari secara signifikan lebih tinggi untuk pasien dengan skor 5, mulai dari 8,3% sampai
setinggi 19,1%. Satu studi menemukan bahwa pasien dengan skor <4 masih memiliki
probabilitas signifikan memiliki cerebral iskemia dalam waktu 7 hari meskipun gejalanya
bersifat transien.
Sebuah studi yang lebih baru oleh Johnston et al pada tahun 2007 melaporkan komposit "ABCD2
rule," yang menggabungkan unsur-unsur dari faktor risiko California dan ABCD rules. Faktor
yang termasuk antara lain; usia> 60 tahun, hipertensi, diabetes, durasi gejala> 10 menit,
kelemahan fokal , dan gangguan bicara. CPR ini dirancang untuk diterapkan untuk 2 hari dan 7
hari risiko stroke menggunakan analisis regresi. Dari 3 aturan ini, skor yang lebih tinggi
menunjukkan risiko lebih tinggi terjadinya stroke berikutnya. Secara umum, nilai ABCD2
komposit lebih akurat memprediksi 2 hari dan 7 hari resiko stroke dibandingkan dengan 2 skor
sebelumnya. Namun, aturan ABCD2 belum divalidasi pada populasi independen. Tabel 5
menunjukkan risiko stroke seperti yang diperkirakan oleh 3 CPRS.

Sebuah studi tahun 2008 oleh Sciolla et al menunjukkan bahwa penambahan pencitraan otak
mungkin berguna untuk lebih menyempurnakan CPRs. Penulis menegaskan keandalan skor
ABCD dan setuju bahwa pasien dengan skor <4 membawa jangka pendek sangat rendah risiko
stroke dan mungkin tidak perlu dirawat di rumah sakit. Mereka menemukan bahwa CT scan
meningkatkan nilai prediktif dari skor ABCD, terutama ketika diterapkan untuk pasien berisiko
tinggi (skor ABCD> 4).

Daftar Pustaka
1. Albers GW, Caplan LR, Easton JD, Fayad PB, Mohr JP, Saver JL, et al. Transient
ischemic attack - proposal for a new definition. N Engl J Med. 2002 Nov 21.
347(21):1713-6.
2. Kappelle LJ, van Latum JC, Koudstaal PJ, van Gijn J. Transient ischaemic attacks and
small-vessel disease. Dutch TIA Study Group. Lancet 1991; 337:339.
3. Easton JD, Saver JL, Albers GW, et al. Definition and evaluation of transient ischemic
attack: a scientific statement for healthcare professionals from the American Heart
Association/American Stroke Association Stroke Council; Council on Cardiovascular
Surgery and Anesthesia; Council on Cardiovascular Radiology and Intervention; Council
on Cardiovascular Nursing; and the Interdisciplinary Council on Peripheral Vascular
Disease. The American Academy of Neurology affirms the value of this statement as an
educational tool for neurologists. Stroke 2009; 40:2276.
4. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, et al. An updated definition of stroke for the 21st
century: a statement for healthcare professionals from the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke 2013; 44:2064.
5. Stroke: National Clinical Guideline for Diagnosis and Initial Management of Acute
Stroke and Transient Ischaemic Attack (TIA). National Institute for Health and Clinical
Excellence: Guidance. London2008.
6. Giles MF, Rothwell PM. Risk of stroke early after transient ischaemic attack: a
systematic review and meta-analysis. Lancet Neurol. 2007 Dec. 6(12):1063-72.
7. Sacco RL, Adams R, Albers G, et al. Guidelines for prevention of stroke in patients with
ischemic stroke or transient ischemic attack. Stroke. 2006;37;577-617.
8. Johnston SC, et al. Short-term prognosis after emergency department diagnosis of TIA.
JAMA. 2000;284:2901-2906.

9. Rothwell PM, et al. A simple score (ABCD) to identify individuals at high early risk of
stroke after transient ischaemic attack. Lancet. 2005;366:29-36.
10. Johnston SC, et al. Validation and refinement of scores to predict very early stroke risk
after transient ischaemic attack. Lancet. 2007;369:283-292.
11. Shah KH, Kleckner K, Edlow JA. Short-term prognosis of stroke among patients
diagnosed in the emergency department with a transient ischemic attack. Annals of
emergency medicine. 2008;51(3):316-23.
12. Sciolla R, Melis F. Rapid identification of high-risk transient ischemic attacks. Stroke.
2008;39:297-302.
13. NIH Stroke Scale. National Institutes of Neurological Disorders and Stroke. Available at
http://www.ninds.nih.gov/doctors/NIH_Stroke_Scale_Booklet.pdf.

You might also like