You are on page 1of 4

.

Jamaah Jumat yang dirahmati Allah,


Puji syukur Alhamdulillah marilah senantiasa kita panjatkan kehadirat

Allah SWT, yang telah memberikan kita segenap nikmat dan karunia-Nya,
berupa nikmat kesehatan, nikmat kesempatan, dan utamanya nikmat
Islam dan iman sehingga kita masih dapat menjalankan ibadah sholat
Jumat sebagai wujud ketaatan kita sebagai hamba kepada Allah SWT.
Sholawat serta dan salam marilah senatiasa kita haturkan kepada
junjungan kita, nabi Muhammad SAW yang telah membawa syariat Islam
di muka bumi ini sehingga kita dapat membedakan yang haq dan yang
bathil.
Marilah pula kita senantiasa menjaga dan meningkatkan kadar taqwa kita
kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya taqwa dengan selalu
berusaha menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi laranganlarangan-Nya.
Sidang jumah yang berbahagia,
Hari ini, tanpa kita sadari, kita tengah berada di pertengahan bulan
Syawal 1436 H. Setengah bulan sudah bulan Ramadhan meninggalkan
kita, tanpa adanya kepastian apakah di tahun mendatang kita masih bisa
berjumpa dengannya, menggapai keutamaan-keutamaannya, memenuhi
nuansa ibadah yang dibawanya, ataukah justru Allah telah memanggil
kita. Kita juga tidak pernah tahu dan tidak pernah mendapat kepastian
apakah ibadah-ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah
SWT atau tidak. Dua ketidakpastian inilah yang membuat sebagian
salafus shalih atau para Ulama zaman dahulu berdoa selama enam bulan
sejak Syawal hingga Rabiul Awal agar ibadahnya selama bulan
Ramadhan diterima, lalu dari Rabiul Awal hingga Syaban berdoa agar
dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
Bulan Ramadhan telah membentuk pola ketaqwaan dalam diri kita.
Berbagai amaliah dan ibadah yang telah kita lakukan selama bulan
Ramadhan lalu telah membiasakan jasmaniah dan ruhaniyah kita untuk
lebih mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sayang, banyak
di antara kita yang masih mengutamakan kuantitas atau banyaknya
ibadah sebagai tujuan kita. Padahal, sesungguhnya yang paling utama di
dalam beribadah kepada Allah bukanlah saat kita dituntut untuk
menyempurnakan ibadah yang ditekankan kepada kita, tetapi
sesungguhnya yang paling utama adalah bagaimana kita menjadikan apa

yang kita kerjakan, ketaatan dan ibadah yang kita lakukan dapat diterima
oleh Allah Taala. Karena kalau kita hanya dibebankan tugas oleh Allah
untuk beribadah saja, sampai tersempurnanya syarat dan sahnya ibadah,
maka hal tersebut adalah sesuatu yang mudah. Shalat misalnya, bisa saja
kita sempurnakan dalam beberapa menit. Atau puasa, bisa saja kita
lakukan sesering mungkin guna meraih kesempurnaan. Namun bukan
hanya itu saja yang diperintahkan Allah, tetapi lebih kepada agar amal
kita diterima oleh Allah Taala. Karena tidak semua orang yang beramal
shalih diterima Allah Taala. Sungguh Allah Taala hanya menerima sebuah
amal ibadah jika amal ibadah seseorang berkualitas dihadapan Allah.
Begitu pentingnya diterimanya amal ibadah kita, sampai sahabat Ali
radhiallahu anhu pernah berkata: Jadilah kalian orang-orang yang lebih
memperhatikan bagaimana agar ibadah kalian diterima Allah, daripada
menumpuk amal ibadah, tetapi tidak ada yang berkualitas. Hal tersebut
dikarenakan menjadikan amal dan ibadah yang kita kerjakan bisa
diterima Allah itu merupakan perkara yang paling berat di dalam kita
beribadah kepada Allah, berapa banyak orang yang beramal dan
beribadah tetapi amal shalihnya belum tentu jaminan akan diterima oleh
Allah Taala sebagaimana firman Allah SWT:

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al furqan: 23)

Berdasarkan ayat tersebut, jelas bahwa diterimanya amal dan ibadah


oleh Allah SWT merupakan tujuan utama kita dalam beribadah agar
amaliyah kita tidak sia-sia. Terkait diterimanya amal ini, Rosululloh SAW
pun senantiasa berdoa agar mendapatkan amal yang diterima.
Diriwayatkan dari budaknya Ummu Salamah, dia mendengar Ummu
Salamah menyampaikan hadis bahwa Rasulullah SAW berdoa seusai
shalat Subuh. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat,
rezeki yang baik, dan amalan yang diterima. (HR Baihaqi)
Hadirin Jum'at yang berbahagia,

Salah satu tanda diterimanya amal ibadah Ramadhan kita yang lalu
adalah keistiqamahan dalam ketaatan dan beribadah. Di dalam Al-Quran
Allah SWT berfirman dalam surat Fusshilat ayat 30:

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah


Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan: Janganlah kamu takut dan
janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu.
Selain sebagai tanda diterimanya ibadah, sikap istiqomah merupakan
salah satu perintah Allah. Di dalam surat Huud ayat 112, Allah Taala
berfirman:

Maka istiqamahlah kamu, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan


(juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.

Istiqomah, juga menjadi salah satu perintah Rosululloh setelah


mengikrarkan iman. Sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits: Dari
Abu Amrah Sufyan RA, ia berkata : Aku telah berkata: Wahai Rasulullah,
katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan

dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu.


Bersabdalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam:

Katakanlah: Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah


kamu. (HR. Muslim).
Sidang jumah yang berbahagia,
Banyak sekali pemaparan makna istiqamah dalam berbagai konteksnya
seperti diungkap oleh para sahabat dan ulama, yang pada intinya adalah
suatu sikap konsisten, ajeg, dalam berbagai aspek kehidupan. Karenanya,
seorang muslim, kapanpun dan di manapun, ia dituntut untuk bersikap
teguh, tidak maju mundur, tetap berpendirian teguh dalam memurnikan
iman dan akidah dari segala bentuk kesyirikan dan kekufuran. Namun hal
ini pada kenyataannya masih sulit kita lakukan, meski kita baru saja
melewati serangkaian pelatihan taqwa sebulan penuh di bulan
Ramadhan.
Memasuki bulan Syawal, yang secara harfiah berarti peningkatan,
kenyataan yang kita lihat di sekitar kita, ini justru sebaliknya. Syawal
menjadi bulan penurunan. Penurunan ibadah, juga penurunan kualitas
diri. Di antara indikatornya yang sangat jelas adalah masjid-masjid
kembali sepi dari jamaah shalat lima waktu. Umpatan, luapan emosional,
dan kemarahan kembali membudaya. Budaya permusuhan kembali
menjamur, dan kemaksiatan kembali merajalela setelah sebulan lamanya
terpendam. Semua ini jelas bertolak belakang dengan pengertian syawal
dan istiqomah. Fenomena ini tentunya juga berlawanan dengan harapan
dilaksanakannya ibadah di bulan Ramadhan yaitu sebagai stimulan
ibadah di sebelas bulan selanjutnya di mana bulan Syawal sebagai
awalnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa masih banyak di antara kita
yang berperilaku sebagai kelompok musiman yang hanya rajin beribadah
kepada Allah hanya di bulan Ramadhan saja. Kepada kelompok orang
semacam ini, sebagian ulama salaf mengatakan Sejelek-jelek kaum
adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah) hanya pada bulan Ramadhan
saja.

Selain itu, perilaku semacam ini jelas tidak sesuai dengan apa yang
dicontohkan oleh Rosululloh, di mana amal ibadah atau kebaikan harus
dilakukan terus-menerus, rutin, sepanjang waktu. Sebagaimana
dikisahkan dalam sebuah hadits, di mana salah seorang sahabat Nabi
Saw, Alqomah, bertanya pada Siti Aisyah mengenai amalan Rasulullah
SAW, Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?
Aisyah menjawab, Beliau SAW tidak mengkhususkan waktu tertentu
untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang terus-menerus. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
Berangkat dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa istiqomah dalam
beramal menjadi kunci penting diterimanya ibadah kita di bulan
Ramadhan lalu. Bentuk sikap istiqamah ini dalam amal adalah dengan
mengerjakannya secara kontinyu, terus-menerus, sebagaimana sabda
Rasululloh SAW:

Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus
(kontinyu) meskipun sedikit (HR. Bukhari dan Muslim)
Karenanya, marilah, memasuki bulan Syawal uni, kita istiqomahkan
amaliyah dan ibadah yang telah kita laksanakan di bulan Romadhon lalu.
Kita pertahankan ciri-ciri hamba yang muttaqin yang telah kita latih
selama bulan Ramadha, di mana kita senantiasa ikhlas dalam
menafkahkan harta kita baik di waktu lapang maupun sempit, di mana
kita cerdas dalam meluapkan emosi, di mana kita menjadi insan yang
mudah memaafkan kesalahan orang lain, dan di mana kita segera dan
bergegas memohon ampunan kepada Allah di tiap perbuatan dosa yang
kita lakukan.

Jamaah jumah rohimakumulloh

Demikianlah uraian tentang sikap itiqomah selepas bulan Ramadhan


sebagai tanda diterimanya ibadah kita. Mudah-mudahan, kita termasuk
dalam golongan orang-orang yang mendapatkan kebaikan dari puasa
Romadhan dan diberikan kekuatan lahir-bathin untuk dapat senantiasa
mempertahankan keistiqomahan ibadah kita di sebelas bulan mendatang,
sehingga kita benar-benar menjadi pribadi mukmin yang muttaqin. Amin..
Amin.. YRA.








...

You might also like