You are on page 1of 12

Sejalan dengan semakin berkembangnya pembangunan di dalam negeri, pemanfaatan batubara

sebagai energi alternatif terus meningkat, mengingat sumber daya batubara Indonesia masih
sangat menjanjikan. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006 di mana
batubara akan mempunyai kontribusi pada bauran energi nasional pada tahun 2025 sebesar 33%.
Namun demikian, tidak semua cadangan batubara dapat dieksploitasi secara konvensional, baik
dengan tambang terbuka maupun bawah tanah. Selain itu, pemerintah juga khawatir tentang
polusi yang disebabkan oleh pembakaran batubara dan kerusakan lingkungan yang berkaitan
dengan eksploitasi batubara.
Berdasarkan perhitungan sumber daya batubara, jumlah batu-bara Indonesia sebanyak 161
milyar ton dan bila dieksploitasi dengan tingkat produksi saat ini dapat mencapai kebutuhan
sampai 150 200 tahun. Sekitar 120 milyar ton batubara dapat ditambang secara terbuka (open
pit) dan sisanya menggunakan metode tambang bawah tanah (Badan Geologi, 2012). Oleh
karena sebagian besar batubara Indonesia berkualitas rendah, pada kedalaman lebih dari 150
meter, umumnya sudah tidak layak ditambang secara konvensional, baik secara terbuka maupun
tambang dalam.
Peningkatan penggunaan batubara berpotensi dapat merusak lingkungan, baik pada tahap
penambangan, pengangkutan, pengolahan maupun pada saat penggunaannya. Salah satu
teknologi yang dapat mengurangi permasalahan tersebut adalah Underground Coal Gasification
(UCG), yaitu dengan melakukan proses gasifikasi di bawah tanah melalui dua buah sumur bor.
Satu sumur berfungsi sebagai media untuk injeksi katalis dan yang satu lagi berfungsi sebagai
sumur produksi. Teknologi ini dapat mengurangi permasalahan lingkungan, mengoptimalkan
pemanfaatan batubara yang tidak ekonomis dan sangat memungkinkan untuk menutupi
kekurangan energi yang berasal dari minyak dan gas bumi (migas).
Metode penelitian yang diterapkan adalah pengambilan data sekunder dan primer, kompilasi data
sekunder dan data primer, pengolahan dan diskusi serta pembahasan untuk mendapatkan
kesimpulan dari keseluruhan kegiatan. Sumber data dalam penelitian ini sangat tergantung pada
hasil lapangan, terutama pembuktian kondisi litologis dan batubara yang dilakukan dengan
pengeboran dan pengukuran bawah permukaan. Dalam pelaksanaannya, pekerjaan ditangani oleh
beberapa pokja agar lebih fokus dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil kajian Pokja Teknologi berupa desain model pembakaran artifisial. Pada desain tersebut
dibuat bentuk lapisan batubara pada kedalaman 6 meter dengan tebal 2 meter dan lebar dibagi
dua, masing-masing 1 meter, dan di antara dua lapisan batubara tersebut diberi sekat selebar 40
cm.
Fungsi penyekatan ini untuk membagi dua lapisan batubara yang akan dijadikan model. Pada
bagian permukaan dilengkapi dengan penangkap ter dan beberapa alat ukur seperti thermocouple
dan pressure gauge.

Hasil kajian Pokja Ekonomi memperlihatkan bahwa apabila kapasitas produksi listrik sebesar
31,25 MW, dengan cadangan batubara di lokasi pilot plant UCG sebesar 2.925. 000 ton dan
produksi listrik sebesar 31,25 MW tersebut membutuhkan batubara sebanyak 292.546 ton/tahun,
maka umur UCG di lokasi tersebut akan mencapai 10 tahun.
Dari Pokja Lingkungan, telah dilakukan kajian rona awal terhadap karakteristik akuifer,
pengujian udara, air dan debu. Lapisan batuan pengapit termasuk ke dalam kategori akuiklud,
artinya lapisan itu dapat menyimpan air, tetapi tidak meloloskan air, yaitu batuan pengapit dari
jenis batu lempung. Nilai COD melebihi ambang batas yang disebabkan oleh terlarutnya
senyawa organik yang bisa berasal dari perkebunan di sekitar sungai tersebut. Selain itu, tidak
terdapat indikasi adanya larutan benzena dan fenol. Hasil analisis debu tidak menunjukkan nilai
yang signifikan, artinya masih di bawah ambang batas.

PALEMBANG, sumajaku.com- Sumsel adalah provinsi pertama di Indonesia yang memakai


Metode Energi bersih Underground Coal Gasification (UCG). Demikian tegas Izromaita selaku
Kabid Pertambangan Umum seusai pemaparan/presentasi tentang kajian tambang batubara
melalui Metode Energi bersih Underground Coal Gasification (UCG) di Indonesia oleh Kepala
ESDM dan Pengembangan ESDM Kementerian ESDM RI di Ruang Rapat Gubernur, Kamis,
(25/7).
Lanjutnya, Sumsel menjadi pilihan karena cadangan luas dan didukung oleh pemerintah dan
wilayahnya sudah siap yaitu di Bukit Asam. Di luar negeri juga sudah dilaksanakan seperti di
Amerika dan New Zealand. Metode ini memang baru di Indonesia dan kalau ini berhasil salah
satu yang menjawab kendala penambangan di Indonesia seperti memerlukan lahan yang luas,
pembebasan lahan, konflik dengan masyarakat. Tapi jika berhasil, maka hal itu tak lagi terjadi.
Sedangkan Dra Retno Damayanti, Dipl.EST selaku Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan
Batubara-BALITBANG-ESDM menjelaskan bahwa Teknologi UCG adalah salah satu teknologi
konversi batubara in-situ menjadi gas yang sangat potensial untuk dikembangkan menggantikan
minyak bumi dan gas alam di masa depan. Teknologi ini berbeda dengan Coal Bed Methane
(CBM), karena gas yang diambil pada teknologi CBM adalah metana yang tertangkap di dalam
lapisan batubara pada saat batubara terbentuk. Teknologi UCG ini relatif baru di Indonesia dan

disebut juga sebagai teknologi energy bersih karena ekstrajsi gas dilakukan secara di dalam tanah
tanpa melakukan penggalian batuan dan pembongkaran lapisan batubara terlebih dahulu.
Kementerian ESDM telah mencatat sumberdaya batubara Indonesia sebesar 161 miliar ton yang
dapat dieksploitasi secara konvensional, yaitu tambang terbuka dan tambang dalam. Dari data
yang digunakan untuk menghitung potensi CBM yaitu pada kedalaman 300-1000 meter, kami
telah menghitung potensi gas dari teknologi UCG yang sangat besar yaitu lebih dari 75 kali
besarnya potensi gas dari CBM. Sebagian besar dari potensi ini terdapat di Sumatera Selatan.
Inilah yang melatarbelakangi kenapa kami merencanaka membangun pilot plany UCG ini di
Sumatera Selatan, ujarnya.
Dia pun menambakan, mengingat penerapan teknologi eksploitasi batubara peringkat rendah
melalui aplikasi teknologi UCG ini belum berkembang di Indonesia dan dalam rangka
mengoptimalkan penggunaan batubara peringkat rendah, maka dalam penerapan teknologi ini
perlu dilakukan kajian pendahuluan mengenai aplikasi teknologi gasifikasi batubara bawah
permukaan (UCG) masalah lingkungan dan kebijakan ke depan.
Diharapkan kegiatan ini menjadi salah satu sumbangan yang berarti bagi perkembangan
kemajuan teknologi pertambangan khususnya dalam upaya aplikasi teknologi Underground Coal
Gasification di Indonesia dan dapat mewujudkan keselamatan kerja penambangan dan
lingkungan yang aman dengan menerapkan konsep penambangan yang baik dan benar (Good
Mining Practice).
Nendariono sebagai Koordinator Eksploitasi Tambang dan Pengelolaam Sumber Daya Mineral
mengatakan, latar belakang diadakannya kegiatan ini yaitu cadangan minyak dan gas bumi
semakin menurun. Sementara itu kebutuhannya meningkat pesat. Indonesia mempunyai
cadangan batubara sangat besar yang dapat dikonversi untuk menambah pasokan gas dan BBM.
Sebagian besar potensi batubara berada di Sumatera Selatan yang sudah mempunyai
infrastruktur gas (SSWJ). UCG dapat mengekstrak batubara yang tidak ekonomis untuk
ditambang secara konvensional. Teknologi gasifikasi dilakukan ditempat/insitu tanpa
mengekstraksi lapisan batubara terlebih dahulu. Membuat dua lubang bor, sumur injeksi katalis
dan sumur produksi. Gas yang dihasilkan berupa CO dan H2, kuantitas dan kualitasnya sangat
tergantung pada pereaksi yang digunakan, kualitas dan kedalaman batubara. Cocok diterapkan
pada batubara Indonesia (batubara) peringkat rendah dan tinggi.
Proses UCG, mengekstraksi endapan batubara dalam bentuk gas secara langsung (insitu) dari
suatu cebakan tanpa harus mengeluarkan batubaranya, cara menginjeksikan pereaksi (udara/uap
air atau oksigen/uap air) ke dalam lapisan batubara di bawah tanah. Pada prinsipnya, proses
kimia terdiri dari dua macam proses, yaitu; pirolisis dan gasifikasi. Proses pirolisis (karbonisasi,
devolatisasi, dekomposisi termal) mengonversikan batubara menjadi char (hasil ikutan berupa

tar, minyak, molekul hidrokarbon rendah dan gas). Sedangkan proses gasifikasi terjadi pada saat
uap air, air tanah, O2, CO2 dan H2 bereaksi dengan char, tegasnya.
Adapun keuntungan UCG seperti memanfaatkan batubara peringkat rendah, sumberdaya sangat
banyak, sebagai pengganti solar pada pembangkit listrik tenaga diesel diperkirakan dapat
menghemat biaya sampai 60% per-kWh dan juga Dapat menjadi substitusi minyak dan gas bumi
yang pasokannya sudah mulai berkurang dan harganya cenderung naik terus. Selain itu juga
tidak perlu penanganan batubara dan abu sisa pembakaran. Jaringan transportasi dan distribusi
gas melalui pipa (lebih ekonomis), dibandingkan dengan mengangkut batubara secara
konvensional. Produk gasifikasi batubara ramah bagi lingkungan. Penggunaan gas batubara
cukup fleksibel untuk berbagai keperluan. Apabila gas yang dihasilkan untuk pembangkit listrik,
CO2 dari pembangkit tersebut dapat diinjeksikan sebagai pereaksi ke dalam lapisan batubara dan
bereaksi dengan karbon menjadi CO. Dapat menimbulkan efek ganda (multiplier effect), antara
lain munculnya industri pendukung.
Diharapkan melalui kegiatan ini dapat mengoptimalkan penggunaan batubara nasional yang
ramah lingkungan, mendapatkan energi baru yang bersih. menambah pasokan energi sehingga
ketahanan energi nasional terjamin serta perlu disiapkan regulasi pengusahaan UCG di dukung
kajian akademis tentang teknologi dan keekonomian UCG serta dampaknya terhadap
lingkungan. Untuk itu perlu menjajaki kerjasama dengan pihak lain, baik perusahaan yang
menangani batubara maupun energi. (rel/*)

Pengenalan Dasar Cementing


Oleh : Arif Eka Rahmanto

Berbagai jenis semen belakangan ini telah dikembangkan. Jenis semen yang banyak digunakan
sekarang ini adalah jenis semen Portland. Semen jenis ini dibuat dengan cara mencampurkan
batu gamping dengan lempung dan diproses pada suhu yang tinggi.
Semen Portland ini dikembangkan oleh yoseph aspdin pada tahun 1824, dan pertama kali
digunakanpaa sumur minyak tahun 1903 dengan tujuan untuk menutup air. Pada saat itu
digunakan semen konstruksibiasa dan harus menunggu sampai 28 hari sebelum dilakukan
pengetesan dan pemboran selanjutnya. Kemudian untuk mengatasi masalah yang di jumpai pada
penggunaan semen Portland pada waktu pemboran dalam, industri semen memodifikasi semen
biasa dan menyesuaikannya dengan kondisi sumur minyak.
Komposisi Sement Pemboran ?
Pada umumnya terdapat 4 (empat) senyawa kimia yang berperan sebagai senyama aktif dalam
semen. Bila semen mengalami hidrasi, sennyawa ini memberikan pengaruh besar dalam
pembentukan kekuatan semen keringnya. Senyawa-senyawa tersebut antara lain :

1. Tricalcium Aluminate (C3A)


C3A terbentuk dari perpaduan CaO dan Al203.
2. Tricalcium silicate (C3S)
Senyawa ini dibentuk oleh reaksi antara CaO dan SiO2.
3. Dicalcium Silicate (C2S)
Senyawa ini juga dihasilkan oleh reaksi antara CaO dan SiO2.
4. Tetracalcium Aluminoferrite (C4AF)
C4AF dibentuk dari CaO, Al203, Fe203.
Semen merupakan salah satu bahan dasar penting untuk penyemenenan selubung sumur minyak,
gas, dan panas bumi. Keberhasilan penyemenan pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu :

Kwalitas bahan penyemenan yang terdiri dari semen dasar (Neat Cement)

Aditif. Komposisi bahan-bahan additif yang digunakan untuk optimalisasi penyemenan.

Operasi penyemenan yang tidak sempurna dapat menimbulkan banyak masalah, antara lain
sulitnya mengontrol produksi pada tiap-tiap lapisan formasi produktifnya. Oleh karna itu type
penyemenan terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
1. Primary Cementing adalah penyemenan yang pertama kali dilakukan setelah casing
diturunkan kelubang sumur. Primary Cementing juga terbagi menjadi beberapa bagian yaitu :

Penyemenan Conductor Casing.

Penyemenan Surface Casing.

Penyemenan Intermediate.

Penyemenan Production Casing.

2.Secondary Cementing adalah penyemenan tahap kedua atau penyemenan ulang untuk
menyempurnakan primary cementing . Secondary Casing juga terdiri dari beberapa bagian
yaitu :

Squeeze Cementing : Penyemenan yang bertujuan untuk memperbaiki kebocoran atau


kerusakan pada casing atau juga memperbaiki penyemenan pada Primary cementing yang
belum sempurna.

Re - Cementing : Untuk memperluas perlindungan casing diatas top semen serta


menyempurnakan penyemenan pertama.

Plug Back Cememting : tujuan untuk menutup atau meninggalkan sumur (Abandonment
Well) Dan menutup zona air dibawah zona produksi minyak.

Setelah melakukan tahap tersebut maka tujuan penyemenan yang kita harapkan dapat tercapai.
Adapun tujuan dari penyemenan yang kita lakukan antara lain :
1. Melindungi dan melekatkan casing pada dinding formasi.
2. Menutup daerah hilang sirkulasi dan mengisolasi lapisan dibelakang casing agar tidak
terjadi komunikasi antar lapisan.
3. Mencegah penyusupan gas atau fluida formasi yang bertekanan tinggi ke celah antara
casing dan formasi, yang dapat menimbulkan masalah yang yang membahayakan
dipermukaan.
4. Menutup sumur yang akan ditinggalkan.
5. Memperbaiki casing yang rusak.
6. Memperbaiki kesalahan pada waktu perforasi.
Oleh karna itu semen dapat diklasifikasikan atau dikelompokan menjadi beberapa type
menurut API (API spec. 10) yaitu :

Kelas A : Digunakan untuk penyemenan selubung sampai kedalaman 1830 meter (6000
ft) dan apabila sifat-sifat khusus dari formasi tidak disyarat.

Kelas B : Digunakan untuk sumur sampai kedalaman 1830 meter (6000 ft) apabila
kondisi formasi membutuhkan tahan sulfat sedang sampai tahan sulfat tinggi.

Kelas C : Digunakan pada sumur dengan kedalaman 1830 meter (6000 ft) apabila kondisi
membutuhkan sifat kekuatan awal yang tinggi.

Kelas D : Digunakan untuk sumur dengan kedalaman 1830 meter (6000 ft) sampai
kedalaman 3050 meter (10000 ft) dengan kondisi suhu dan tekanan sedang.

Kelas E : Digunakan untuk sumur dengan kedalaman 3050 meter (10000 ft) sampai
kedalaman 4270 meter (14000 ft) dengan kondisi suhu dan tekanan tinggi.

Kelas F : Digunakan untuk sumur dengan kedalaman 3050 meter (10000 ft) sampai
kedalaman 4880 meter (16000 ft) dengan kondisi suhu dan tekanan tinggi.

Kelas G : Digunakan sebagai semen pemboran dasar untuk kedalaman 2440 meter (8000
ft), atau dapat digunakan dengan akselerator dan retarder untuk memperoleh batas
jangkauan kedalaman sumur dan suhu yang lebuh luas.

Kelas H : Digunakan sebagai semen pemboran dasar untuk kedalaman sampai 2440
meter (8000 ft) dan dapat digunakan dengan penambahan akselerator dan retarder untuk
memperoleh batas jangkauan suhu dan kedalaman sumur yang lebih luas.

Kelas J : Digunakan untuk semen dasar pemboran untuk kedalaman 3660 meter (12000
ft) samapai kedalaman 4880 meter (16000 ft) pada kondisi suhu dan tekanan yang amat
tinggi atau dapat digunakan dengan penambahan akselerator dan retarder untuk
memperoleh batas jangkauan sumur dan suhu yang lebih besar.

Dari Type - type semen diatas dapat ditambahkan campuran suatu bahan kimia tertentu yang
dikenal dengan :

Additive semen

Berbagai jenis additive telah banyak digunakan dalam penyemenan sumur-sumur minyak, gas
dan panas bumi, dengan mempertimbangkan kondisi sumur seperti kedalaman, temperatur, dan
tekanan.
Beberapa operator menggunakan berbagai jenis additive semen untuk berbagai kebutuhan, antara
lain untuk :
1. Menambah dan mengurangi berat bubur semen.
2. Menambah volume bubur semen dengan biaya yang relatif rendah.
3. Mempercepat atau memperlambat waktu pengenjalan (thickening time).
4. Meningkatkan kekuatan.
5. Mengurangi water loss.

Accelerators

Accelerators adalah zat yang dapat mempercepat proses pengerasan pada bubur semen, sehungga
thickening time menjadi lebih singkat. Accelerator yang biasa digunakan adalah calcium chloride
(CaCl2), sodium chloride (Salt-NaCl), gypsum cement, sodium silicate (Na2SiO2), air laut.
Cara Konvensional untuk mempercepat proses pengerasan bubur semen adalah dengan
memperbesar densitas semen atau mengurangi jumlah air.

Light Weight Additive

Additive ini berfungsi untuk membuat bubur semen lebih ringan. Digunakan untuk penyemenan
pada formasi yang lemah dan tidak kuat menahan berat kolom semen.

Heavy Weight Additive

Additive ini berfungsi untuk pemberat bubur semen. Additive ini digunakan untuk penyemenan
pada formasi yang memiliki tekanan cukup tinggi, sehingga tekanan dalam kolom semen mampu
mengimbangi tekanan formasi.

Retarder
Semen retarder adalah additive yang digunakan untuk memperpanjang waktu proses
pengerasan bubur semen. Biasanya additive ini digunakan untuk penyemenan sumursumur dalam yang bertemperatur tinggi. Sehingga bubur semen tidak mengeras sebelum
target tercapai.

Lost Circulation Control Agents

Additive jenis ini digunakan untuk menanggulangi kehilangan bubur semen pada saat proses
penyemenan. Ada dua cara untuk menanggulangi kehilangan bubur semen, Yaitu :
1. Dengan mengurangi densitas bubur semen.
2. Dengan menambahkan material penyumbat, seperti serbuk gergaji, bubur kayu, plastik,
dsb
Cara lain adalah dengan menambahkan nitrogen kedalam system Lumpur.

Friction Reducer

Additive ini berfungsi untuk mengurangi kekentalan bubur semen, serta membuat turbulensi
aliran bubur semen pada laju pemompaan yang rendah. Friction reducer juga sering dikenal
dengan nama cement dispersant.
Bagaimana Sifat dasar semen itu sendiri ?
Adapun beberapa yang menjadi sifat dasar semen dan merupakan bagian yang penting untuk
sebuah proses penyemenan yaitu :
1. Densitas
Rapat jenis dari bubur semen ( slurry) ditentukan oleh perbandingan campuran air dan bubuk
semen, dimana makin tinggi kadar air maka makin kecil harga kerapatan bubur semen. Dapat
dirumuskandengan persamaan :

Dbs = Gbk + Gw + Ga / Vbk + Vw + Va


Keterangan :
o Dbs = densitas suspensi semen
o Gbk = berat bubuk semen
o Ga = berat aditif
o Gw = berat air
o Vbk = volume suspensi semen
o Vw = volume air
o Va = volume aditif
2. Thickening Time
Thickening time ialah waktu yang diperlukan bubur semen untuk mencapai harga konsistensi
100 Bc. Persamaan umum :
Bc = (T - 78 x 2)/20
Keterangan :
Bc = konsistensi suspensi semen, (Uc)
T = harga torsi pada pembacaan alat, (g-cm)
3. Filtration Loss
Filtration loss adalah peristiwa hilangnya cairan dan suspensi semen kedalam formasi permeable
yang dilaluinya. Ciran ini disebut dengan filtrat, filtrate kehilangan filtrate ini tidak boleh terlalu
banyak, karena akan menyebabkan suspensi semen kekurangan air.
4. Water Cement Ratio (WCR)
Water cement ratio ialah perbandingan air yang dicampur dengan bubuk semen sewaktu suspensi
semen dibuat. Jumlah air yang dicampurkan tidak boleh lebih atau kurang, karena akan
mempengaruhi baik buruknya ikatan semen nantinya.
5. Waiting On Cement
Waiting On Cement atau waktu menunggu pengerasan suspensi semen yaitu waktu yang dihitung
dari saat viper plug diturunkan kemudian plug dibor kembali untuk operasi selanjutnya. WOC
ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan dan temperatur sumur, WCR, kuat tekan dan
aditif-aditif yang dicampur kedalam bubur semen yang pada umumnya sekitar 24 jam.

6. Permeabilitas
Permeabilitas diukur pada semen yang mengeras, maksudnya sama dengan permeabilitas batuan
formasi yang berarti kemampuan suatu media untuk mengalirkan fluida. Semakin besar
permeabilitas semen akan semakin banyak fluida yang melalui semen tersebut. Dalam hasil
penyemenan permeabilitas yang diinginkan adalah tidak ada atau sekecil mungkin. Menurut
rekomendasi dari API permeabilitas batuan semen adalah tidak boleh lebih dari 0,01 md.
Perhitungan Pemeabilitas (K) Satuan (mD) dapat dihitung dengan persaman darcy :
k = O x w x c x L x 2 / A x 200
Keterangan :
K = Permeabilitas, md
O = Ukuran orifice
L = Panjang sample, cm
C = Mercury reading
A = Luas permukaan, cm
W = Water reading
200 = Konstanta yang ditentukan waktu kalibrasi orifice
7. Compressive Strength
Kekuatan pada semen dapat dibagi menjadi dua, yaitu compressive strength dan shear bond
strength.

Compressive strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan tekanantekanan horizontal

shear bond strength didefinisikan sebagai kemampuan semen untuk menahan


tekanan/beban dari arah vertical.

Pada temperatur tinggi akan terjadi gangguan pada kekuatan semen seiring dengan
bertambahnya suhu, hal ini lebih dikenal dengan strength retrogetion. Hal ini mengubah
komposisi komponen semen dan menyebabkan kekuatan dari semen hilang.
8. Shear Bond Strength
Shear bond strength didefinisikan kekuatan semen dalam menahan berat casing. Harga shear
bond strength ini dapat dihitung dengan cara mengukur gaya tekan (compressive strengt)
9 Viskositas

Pengukuran viskositas pada bubur semen menggunakan istilah konsistensi karena bubur semen
merupakan fluida non-newtoian. Harga konsistensi ini dapat dipengaruhi oleh kadar air dalam
bubur semen dan dapat pula diubah dengan menggunakan bahan adiktiv
10 Hidrasi Semen
Hidrasi semen Portland adalah suatu reaksi kimia yang berurutan antara clinker, kalsium sulfat
dan air sampai akhirnya suspensi semen mengeras. Akan Tetapi ada beberapa parameter yang
perlu ditambahkan. Hidrasi dapat di kelompokan menjadai 2 kelompok yaitu :
1. Hidrasi dengan temperatur rendah
2. Hidrasi denga n temperatur tinggi.
Beberapa dasar pertimbangan penyemenan ?
Ada beberapa dasar pertimbangan yaitu :
1. Lubang sumur
2. Fluida pemboran
3. Casing
4. Pekerjaan Rig
5. Komposisi Penyemenan
6. Campuran bahan bahan sement
7. Orang atau pekerja
8. Temperatur
Jadi ?
Semen terdiri dari berbagai campuran bahan kimia yang penggunaanya disesuaikan dengan
kebutuhan. sifat semen sendiri sangat di pengaruhi oleh lingkungan, oleh karna itu pengambilan
keputusan harus mempertimbangkan beberapa faktor yang telah dibahas diatas. ada beberpa
tahap / proses cementing yang seca umum dapa di jabarkan , yaitu :
1. Tahap awal : Pengumpulan data, estimasi keekonomian, bahan yang di perlukan , dsbnya.
2. Tahap Pelaksanaan : Prosedur pengerjaan sangat bergantung pada personal pekerja yang
melaksanakan SOP ( Standart Operasional Prosedur)

3. Tahap Pasca : perawawtan sumur, penmgecekan sumur, dsbnya.


Sumber tulisan :
1. API Apecification for Material and Testing for Well Cement, API Spec 10, 4 Edition,
1988
2. Diktat Kuliah Teknik Pemboran II, Jurusan Teknik Perminyakan, Universitas, Trisakti
3. Penuntun Praktikum Teknik Lumpur Pemboran, Laboratorium Teknik Pemboran Dan
Produksi, Jurusan Teknik Perminyakan, Jakarta, 2001
4. Cementing Technology, Dowell Schlumberger., 1984
5. Dwight, K, Smith, Cementing, Monograph Volume 4 Of The Henry L Doherty Series,
New York, 1976

You might also like