You are on page 1of 15

Global Health Security Agenda (GHSA) merupakan inisiatif global yang diluncurkan pada bulan

Februari 2014. Inisiatif tersebut muncul sebagai bentuk respon terhadap meningkatnya kerentanan
masyarakat global terhadap kemungkinan munculnya berbagai jenis penyakit baru dan pandemi
yang diakibatkan oleh dampak negatif perubahan iklim, meningkatnya lalu lintas barang, jasa,
manusia dan hewan lintas negara serta praktek-praktek pertanian, peternakan dan industri yang
dinilai tidak lagi alamiah dan ramah lingkungan.
GHSA bertujuan untuk mencegah, mendeteksi dan merespon cepat berbagai ancaman penyakit
infeksi di tingkat global, baik yang terjadi secara alamiah maupun karena adanya unsur kesengajaan
ataupun musibah. GHSA melibatkan multi-stakeholders, bersifat multi-sektoral serta di dukung
badan-badan dunia di bawah PBB, antara lain: World Health Organisation (WHO), Food and
Agriculture Organisation (FAO), dan World Organisation for Animal Health (OIE).
Melalui kemitraan dengan 50 negara (Daftar Negara Anggota GHSA), dengan organisasi
internasional, dan para pemangku kepentingan non-pemerintah, GHSA memfasilitasi upaya
kolaborasi dan peningkatan kapasitas negara, yang dilakukan sejalan dengan International Health
Regulation (IHR) WHO, Performance of Veterinary Services (PVS) OIE, dan framework keamanan
kesehatan global terkait lainnya.
Peran Indonesia untuk mendukung adanya GHSA sebagai berikut :
Kemunculan wabah virus mematikan seperti Ebola mendorong sejumlah negara untuk aktif
melakukan kolaborasi dalam mengatasinya. Upaya ini terangkum dalam forum bertajuk Global
Health Security Agenda (GHSA).
Saat membuka pertemuan steering group Global Health Security Agenda, Menteri Kesehatan Nila F
Moeloek menjelaskan, forum ini diprakarsai oleh Amerika Serikat di tahun 2014.
Diakui Nila, forum ini diharapkan dapat memperkuat kapasitas WHO sebagai badan kesehatan
dunia, utamanya dalam mengatasi endemik dan pandemik yang terjadi secara regional maupun
global.
Memang WHO sudah memiliki international health regulation sejak 2005, tetapi pada waktu ebola
ini kelihatan sekali, kita merasa perlu bersama-sama untuk mengatasi suatu endemik atau pandemik
yang terjadi di dunia, katanya kepada wartawan di Hyatt Regency, Yogyakarta (3/12/2015).
Nila menambahkan, peranan Indonesia akan semakin kentara pada tahun 2016. Setelah sebelumnya
hanya menjadi salah satu dari 10 negara steering group, tahun depan Indonesia akan mendapat
giliran untuk memimpin forum tersebut.
Sikap dan rencana Indonesia ke depan dalam memimpin GHSA akan dipaparkan dalam pertemuan
steering group tersebut, terutama dalam mengimplementasikan 11 paket aksi yang tersusun saat
GHSA dipimpin oleh Amerika Serikat.
Di forum ini kita berencana memperluas networking, memperluas sosialisasi ke negara lain,
terutama di ASEAN. Karena endemik pandemik ini bukan hanya terjadi di satu negara, tegasnya.
Lantas adakah alasan khusus memilih Indonesia sebagai pemimpin forum GHSA di tahun 2016?
Tidak ada. Justru pada waktu Ibu Nafsiah (red, Menteri Kesehatan sebelumnya) memimpin, ketika
ini dilontarkan, Indonesia langsung mengajukan diri. Jadi waktu ditunjuk kita tinggal menerima

saja, papar Nila.


Lagipula Indonesia akan diuntungkan dengan posisi ini, utamanya dalam memperjuangkan
kepentingan Indonesia. Menurut saya kita bisa mengatur di dalamnya, kita punya kapasitas itu.
Kalau hanya anggota tentu hanya bisa menerima, lbh baik kita ikut berperan, ujarnya.
Nila menambahkan, ke depannya GHSA sedang mengantisipasi zoonosis atau penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh virus dari binatang seperti MERS yang berasal dari virus corona. Di
Indonesia sendiri ada flu burung, SARS, demam berdarah, nanti kita bagi apa yang kita dapat di
nasional dalam forum ini, tutupnya.
Dalam sambutannya, perwakilan dari Finlandia, Paivi Sillanaukee meyakini Indonesia mampu
memegang amanah dalam memimpin forum ini, meskipun tak ada yang bisa memprediksi kapan
epidemi akan muncul kembali.
Tapi lewat forum ini kami ingin menunjukkan dukungan dan memaparkan pengalamanpengalaman yang kami dapat kepada Indonesia, katanya.
Agenda lain yang akan digelar dalam pertemuan selama dua hari di Yogyakarta ini adalah handover
atau pengalihtugasan dari Finlandia ke Indonesia.
GHSA sendiri resmi terbentuk pada bulan Februari 2014. Di antara 40 anggota, 10 di antaranya
merupakan steering commitee yang terdiri atas Kanada, Chili, India, Indonesia, Italia, Kenya, Arab
Saudi, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. (dtc)

Terjadinya kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan bidang penelitian dan teknologi
kesehatan tidak diiringi dengan penurunan tingkat kesakitan yang terjadi di seluruh dunia. Kejadian
ini diketahui berkaitan dengan munculnya penyakit infeksi baru (emerging disease) maupun
munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging disease).
Emerging disease merupakan wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya atau
penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir. Reemerging disease merupakan wabah penyakit menular yang muncul kembali setelah penurunan
yang signifikan dalam insiden di masa lampau. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
munculnya kedua penyakit tersebut, antara lain Evolusi dari microbial agent (variasi genetik,
rekombinasi, mutasi dan adaptasi ), perubahan iklim dan lingkungan, perubahan perilaku manusia
( penggunaan pestisida, penggunaan obat antimikrobial ), perkembangan industri dan ekonomi,
maupun perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel diseases).
Adanya tindakan deteksi dini dan penatalaksanaan emerging dan re-emerging disease dirasakan
sangatlah penting. WHO telah merekomendasikan sistem peringatan dini (early warning system)
untuk wabah penyakit menular dan sistem surveillance untuk emerging dan re-emerging disease
khususnya untuk wabah penyakit pandemik. Sistem surveillance merupakan proses pengumpulan,
analisis dan interpretasi dari hasil data terkait kesehatan yang dilakukan secara terus- menerus dan
sistematis yang akan digunakan sebagai rencana penatalaksaan (pandemic preparedness) dan
evaluasi dalam praktek kesehatan masyakarat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan
meningkatkan kualitas kesehatan(Center for Disease Control and Prevention/CDC).
Manfaat dan Fungsi utama sistem surveillance adalah :
(1) Menyediakan informasi seperti pemantauan secara efektif terhadap distribusi geografis penyakit
dan angka prevalensi,
(2) Menggambarkan riwayat perjalanan penyakit
(3) Mendeteksi kejadian luar biasa
(4) Memantau dan mendeteksi perubahan pada agen infeksi dan pelayanan kesehatan
(5) Melakukan tindakan dan intervensi, serta evaluasi tindakan
Dengan adanya sistem surveilans ini diharapkan munculnya kejadian luar biasa yang bersifat
endemik, epidemik dan pandemik dapat dihindari dan mengurangi dampak merugikan akibat wabah
penyakit tersebut.
Adanya tindakan deteksi dini dan penatalaksanaan emerging dan re-emerging disease dirasakan
sangatlah penting. WHO telah merekomendasikan sistem peringatan dini (early warning system)
untuk wabah penyakit menular dan sistem surveillance untuk emerging dan re-emerging disease
khususnya untuk wabah penyakit pandemik. Sistem surveillance merupakan proses pengumpulan,
analisis dan interpretasi dari hasil data terkait kesehatan yang dilakukan secara terus- menerus dan
sistematis yang akan digunakan sebagai rencana penatalaksaan (pandemic preparedness) dan
evaluasi dalam praktek kesehatan masyakarat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan
meningkatkan kualitas kesehatan(Center for Disease Control and Prevention/CDC).

Emerging disease adalah penyakit yang belum pernah menyerang manusia


sebelumnya; penyakit yang pernah menyerang manusia sebelumnya namun hanya
mengenai populasi kecil dan terisolasi; penyakit yang pernah menyerang manusia
sebelumnya tapi baru teridentifikasi sebagai penyakit yg disebabkan oleh suatu agen
infeksi.
Kasus Flu Burung dalam perkembangan, bukan menyerang pada unggas saja,
tetapi juga menyerang manusia. Pada Tahun 1997, 18 orang di Hongkong diserang flu

burung, 6 orang meninggal dunia.

Sementara data WHO yang telah dikonfirmasi


untuk tahun 2003 di Vietnam ditemukan tiga kasus pada manusia dan ketiganya
meninggal dunia ( angka kematian 100 % ), tahun 2004 kasus di Vietnam bertambah
29 kasus ( 20 meninggal ), ditahun yang sama negara Thailan ada kasus Flu Burung
pada manusia sebanyak 17 penderita (12 Penderita meninggal dunia). Tahun 2005 :
Vietnam 61 penderita (19 Meninggal Dunia), Indonesia 16 Penderita (11 meningal
Dunia), Thailan 5 penderita ( 2 Meninggal Dunia ), China 7 penderita ( 3 Meninggal
Dunia ), Kamboja 4 penderita ( 4 meninggal dunia ) dan Turki 2 penderita dan
keduanya meninggal dunia.
Sementara penyebaran virus tersebut pada manusia di Indonesia sejak bulan Juli
Tahun 2005 hingga 12 April 2006 telah ditemukan 479 kasus kumulatif yang dicurigai
sebagai flu burung pada manusia, dimana telah ditemukan 33 kasus konfirm flu
burung, 24 diantaranya meninggal dunia. 115 Kasus masih dalam penyelidikan (36
diantaranya meninggal dunia), sementara yang telah dinyatakan bukan flu burung
sebanyak 330 kasus
Re-emerging disease adalah penyakit yang sebelumnya pernah menjadi
masalah kesehatan utama secara global atau di suatu negara, lalu menurun secara
dramatis, tapi kembali menjadi masalah kesehatan yang cukup signifikan pada suatu
populasi.
Jumlah penderita Tuberculosis (TBC) di Indonesia menempati posisi nomor
tiga terbesar di dunia setelah India dan China. Dengan angka insiden (kasus baru)
sebesar 107 per 100 ribu penduduk
Besarnya angka penderita TBC ini selain karena faktor jumlah penduduk yang
cukup besar yakni 210 juta jiwa, juga karena prevalence rate (kasus penderita lama
yang baru ditemukan) juga lumayan besar, yakni 160 per 100 ribu penduduk.
Selain itu masih banyak lagi penyakit emerging dan re-emerging di Indonesia
yang memerlukan perhatian dan penanggulangan lebih lanjut agar angka kesakitan
dan kematian dapat diturunkan, bahkan agen infeksi penyebabnya bisa dikendalikan.
penyakit menular tetap menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia karena
tiga alasan:
(1) munculnya penyakit infeksi baru (emerging disease);
(2) munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging disease),
(3) intractable infectious disease
merging disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya
atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade
terakhir.
Re-emerging disease atau yang biasa disebut resurging disease adalah wabah
penyakit menular yang muncul kembali setelah penurunan yang signifikan dalam
insiden dimasa lampau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan dua permasalahan ini
selalu muncul hampir disetiap tahunnya,yaitu :
Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan
adaptasi
Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter)
Perubahan iklim dan lingkungan
Perubahan prilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat
antimikrobial yang bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan
vaksin.
Pekembangan industri dan ekonomi
Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu
(travel diseases)

Perang seperti ancaman penggunaan bioterorisme atau senjata biologis


Sudah banyak microbial agent( virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi
menyebabkan wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk
mengubah pola penyakit tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru.
Seperti yang dirilis dalam National Institute of Allergy and Infectious Disease
(NIAID) yang membagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu :
1. Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir
2. Grup II : Re-emerging pathogen
3. Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme
Peningkatan dan penguatan di bidang pemantauan kesehatan masyarakat (public
health surveillance) sangat penting dalam deteksi dini dan penatalaksaan emerging
dan re-emerging disease ini. Pemantauan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan
fungsi laboratorium klinis dan pathologis, pendekatan secara epidemiologi dan
kesehatan masyarakat juga diperlukan dalam deteksi cepat terhadapat emerging dan
re-emerging disease ini.
danya tindakan deteksi dini dan penatalaksanaan emerging dan re-emerging disease
dirasakan sangatlah penting. WHO telah merekomendasikan sistem peringatan dini
(early warning system) untuk wabah penyakit menular dan sistem surveillance untuk
emerging dan re-emerging disease khususnya untuk wabah penyakit pandemik.
Sistem surveillance merupakan proses pengumpulan, analisis dan interpretasi dari
hasil data terkait kesehatan yang dilakukan secara terus- menerus dan sistematis yang
akan digunakan sebagai rencana penatalaksaan (pandemic preparedness) dan evaluasi
dalam praktek kesehatan masyakarat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan
meningkatkan kualitas kesehatan(Center for Disease Control and Prevention/CDC).
Manfaat dan Fungsi utama sistem surveillance adalah :
(1) Menyediakan informasi seperti pemantauan secara efektif terhadap distribusi
geografis penyakit dan angka prevalensi,
(2) Menggambarkan riwayat perjalanan penyakit
(3) Mendeteksi kejadian luar biasa
(4) Memantau dan mendeteksi perubahan pada agen infeksi dan pelayanan kesehatan
(5) Melakukan tindakan dan intervensi, serta evaluasi tindakan
Dengan adanya sistem surveilans ini diharapkan munculnya kejadian luar biasa
yang bersifat endemik, epidemik dan pandemik dapat dihindari dan mengurangi
dampak merugikan akibat wabah penyakit tersebut.
Tindak lanjut dari hasil surveillance ini adalah pembuatan perencanaan atau yang lebih dikenal
dengan
pandemic preparedness. WHO merekomendasikan prinsip-prinsip penatalaksaan pandemic
preparedness seperti yang tertera di bawah ini:
1. Perencanaan dan koordinasi antara sektor kesehatan, sektor nonkesehatan, dan komunitas
2. Pemantauan dan penilaian terhadap situasi dan kondisi secara berkelanjutan
3. Mengurangi penyebaran wabah penyakit baik dalam lingkup individu, komunitas dan
internasiona

Perkembangan dunia saat ini mengarah kepada pentingnya konsep baru one world, one medicine,
one health untuk diperkenalkan secara luas dan berkesinambungan. Para pakar di banyak negara
menghimbau kerjasama yang lebih terintegrasi dan sinergis antara dokter hewan dan dokter dalam
mengantisipasi kebangkitan penyakit-penyakit zoonosis yang berpotensi epidemik.
Sampai dengan saat ini, kedokteran dan kedokteran hewan tetap dipandang sebagai sektor dan
identititas yang terpisah di hampir semua negara. Yang jelas dokter hewan tidak diperkenankan
secara hukum untuk mengobati manusia dan dokter boleh dikatakan hampir tidak pernah mengobati
hewan. Meskipun pada kenyataannya, ada banyak hal-hal yang tumpang tindih antara kedua sektor
ini, terlebih lagi apabila menyangkut kesehatan masyarakat dan pengendalian penyakit-penyakit
yang bisa ditularkan ke manusia (zoonosis).
Rintis konsep one health adalah suatu gerakan untuk menjalin kemitraan antara dokter dan dokter
hewan yang harus disepakati oleh berbagai pihak, baik organisasi medik kesehatan, kesehatan
hewan maupun kesehatan masyarakat. Jalan menuju pelaksanaan rintisan one health harus dimulai
dengan merancang kerjasama dan mengurangi hambatan komunikasi yang terjadi antara dokter dan
dokter hewan.
Abad penyakit zoonosis
Kita tahu, lebih dari 35 penyakit yang baru muncul termasuk Ebola, monkeypox, BSE, West Nile
virus, Nipah virus, SARS, HPAI dikenal sebagai sumber zoonotik. Rintisan konsep one health
adalah respons langsung dari kepedulian yang semakin bertambah mengenai ancaman penyakitpenyakit yang baru muncul di seluruh dunia dan ancaman nyata di depan kita seperti wabah yang
membahayakan kesehatan manusia dan hewan domestik. Ancaman ini juga berpotensi
mempengaruhi perekonomian regional dan global.
Perilaku manusia di dunia dalam skala luas menyumbang terhadap munculnya penyakit-penyakit
zoonosis, termasuk tekanan populasi, deforestasi, intensifikasi pertanian, perdagangan global hewan
liar dan konsumsi daging secara berlebihan.
Salah satu sasaran konsep one health adalah mengintegrasikan sistem pendidikan di lingkup dan
antara perguruan tinggi kedokteran, kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat. Upaya ini juga
dimaksudkan untuk menghimbau peningkatan komunikasi lintas disiplin dalam berbagai
kesempatan, baik itu seminar, konferensi, jurnal, kuliah, maupun pengembangan jaringan
(networking) di bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut, konsep one health
mempromosikan pentingnya penelitian bersama terhadap penularan lintas spesies dan surveilans
serta sistem pengendalian terintegrasi antara manusia, hewan domestik dan hewan liar. Rintisan ini
akan mendorong dan memicu penelitian perbandingan (comparative reserach) dan akan menjadi
payung dari semua penelitian-penelitian mengenai penyakit-penyakit yang berpengaruh terhadap
manusia dan hewan, termasuk diabetes, kanker, gangguan autoimmune dan obesitas.
Konsep one health juga akan mendorong kemitraan yang lebih erat di antara para akademisi,
industri dan pemerintah untuk mengembangkan dan mengevaluasi metoda diagnostik baru,
pengobatan dan vaksin untuk pencegahan dan pengendalian penyakit lintas spesies, bersamaan
dengan upaya bersama untuk menginformasikan dan mengedukasi para pemimpin politik dan
publik.

Rintisan konsep one health akan mendorong kemitraan antara dokter dan dokter hewan menuju
penelitian dan surveilans yang lebih baik di bidang zoonotik dan penyakit-penyakit baru muncul.
Mengedepankan pertahanan dengan konsep one health merupakan kunci tujuan yang harus
ditekankan terus menerus untuk mencapai kesehatan global. Ada banyak pembelajaran yang dapat
digunakan oleh kedua belah pihak satu sama lain, sehingga komunikasi antar dokter dan dokter
hewan jelas harus diperbaiki. Sebagai contoh, SARS sebelumnya adalah virus yang tidak dikenal
sebagai bersumber binatang, akan tetapi pada saat setelah muncul, petugas klinis dan kesehatan
masyarakat kemudian harus belajar lebih banyak tentang infeksi virus corona pada hewan. Dengan
demikian seorang klinikus apabila memiliki pasien dengan infeksi zoonotik harus menyadari bahwa
sesungguhnya dokter hewan mengetahui lebih banyak dari mereka. Sedangkan dari sisi pasien
belum melihat bahwa dokter hewan bisa
bertindak sebagai informasi bagi kesehatan mereka.
atasan profesi
Meskipun garis pembatas antara kedokteran dan kedokteran hewan sekarang ini lebih nyata
dibandingkan abad-abad yang lampau, sesungguhnya pemisahan antara kedua disiplin ini mulai
terbentuk di abad ke-20. Sejumlah alasan penyebab adalah secara geografis beberapa perguruan
tinggi kedokteran dan kedokteran hewan tidak ditempatkan pada satu lingkup dan pengaturan
akademik yang sama. Faktor lain adalah pengaruh sosial. Namun ekologi dan mikrobiologi tidak
diajarkan di kedokteran seperti halnya di kedokteran hewan, sehingga mahasiswa kedokteran tidak
begitu menyadari pentingnya penyakit zoonotik bagi kedokteran. Tambahan pula, fokus perguruan
tinggi kedokteran hewan juga bergeser lebih ke hewan ternak dan hewan kesayangan untuk
memenuhi kebutuhan sosial masyarakat.
Tabel dibawah ini menggambarkan hambatan yang terjadi selama ini antara profesi dokter dan
dokter hewan dan hal apa yang dianggap bisa menjembatani kedua profesi ini.
HAMBATANJEMBATAN
Pemisahan institusi:
hubungan yang tidak serasi (misalnya antara Departemen Kesehatan dan otoritas
veteriner)Kerjasama, integrasi dan kemitraan kegiatan pencegahan dan pengendalian
Perbedaan penekanan:
dokter: kesehatan manusia
dokter hewan: produksi ternak Keuntungan bersama: manfaat untuk kesehatan hewan dan manusia
Persaingan (institutional dan profesional),
Kompetisi
Training: Kurang memberikan penekanan terhadap penyakit zoonotikPenguatan kapasitas: training
umum tentang penyakit-penyakit zoonosis baik untuk pekerja kesehatan maupun veteriner
Lemahnya infrastruktur kesehatan masyarakat veteriner
Pengendalian penyakit-penyakit zoonotik hanya berdasarkan manajemen pemadam
kebakaran/manajemen krisis
(Diadaptasi dari: WHO/FAO/OIE, Control of Neglected Zoonotic Diseases, 2005)

Sebagai upaya bersama di tahun 1967, komisi ahli dari FAO dan WHO mengenali dan
mengkhawatirkan keberadaan lebih dari 150 penyakit zoonosis di dunia. Di tahun 2000, lebih dari
200 penyakit yang terjadi pada manusia dan hewan diketahui dapat saling ditularkan dari manusia
ke hewan dan dari hewan ke manusia. Semua ini mengarah kepada peningkatan lebih dari 30 persen
terjadinya penyakit-penyakit zoonosis di sepertiga akhir abad ke-20. Virus H5N1 yang menyebar di
Asia, Eropa dan Afrika di abad ke-21 ini memicu fakta yang tidak terbantahkan bahwa kesehatan
hewan mempengaruhi kesehatan manusia, dan tentu saja, pengetahuan yang harus diketahui banyak
pihak bahwa hampir semua agen bioterorisme adalah zoonotik.
Sebagai upaya tindak lanjut dari wabah avian influenza yang terjadi belakangan ini, banyak negara
membentuk suatu komite ad hoc yang melibatkan lintas sektor dalam pengendalian dan
pemberantasan mulai dari Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen Informasi
dan Komunikasi, Departemen Pendidikan, Departemen Perdagangan dlsbnya. Ini juga diikuti oleh
Indonesia pada tahun 2006 yang lalu dengan pembentukan Komite Nasional Pengendalian Flu
Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI). Kerjasama lintas
sektor semacam ini seharusnya diformalkan dengan modus operandi dan tanggung jawab yang
harus diklarifikasi sedemikian rupa sehingga komite tersebut dapat berjalan secara efektif. Bukan
hanya merespons terhadap krisis, akan tetapi bahkan mampu bertindak sebagai alat untuk analisa
risiko, pencegahan dan koordinasi, serta pengendalian terintegrasi.
Manusia, hewan dan lingkungan
Konsepsi one health sudah ada sejak berabad-abad, akan tetapi kolaborasi semakin diperlukan di
abad ke-21 ini. Kedokteran hewan memiliki akarnya pada kesehatan manusia. Penyembelihan
ternak sebagai salah satu jalan untuk mengendalikan PMK atau rinderpest, penyakit yang sangat
ganas pada sapi, dimulai pada abad ke-18 sebagai jalan untuk melindungi suplai pangan. Perguruan
tinggi kedokteran hewan pertama di Lyon, Perancis didirikan untuk memastikan kesehatan hewan
sebagai penyedia pangan bagi masyarakat. Louis Pasteur mempelajari cholera unggas pada tahun
1880, dan setelah menyuntik ayam-ayam tersebut dengan bentuk agen penyakit yang dilemahkan, ia
menemukan bahwa ayam-ayam tersebut mampu mengembangkan kekebalan tubuh terhadap
cholera. Konsepnya kemudian diperluas untuk anthrax dan rabies. Banyak ahli yang mengikuti
hipotesa ini, kemudian membangun kerangka untuk memahami lebih jauh tentang yellow fever dan
equine encephalitis.
elakangan ini konsep eco-health atau ecosystem health juga muncul, dengan mengamati bahwa
pembangunan berkelanjutan diwujudkan sebagai bentuk saling menguntungkan antara kesehatan
manusia, hewan dan lingkungan (ekosistem) yang satu sama lain saling berkaitan, dan ini
memperluas konsep one health ke seluruh ekosistem yang ada termasuk hewan liar (wildlife).
Perubahan iklim (climatic change) juga adalah faktor yang mungkin berpengaruh terhadap
kemunculan penyakit-penyakit zoonosis dan merupakan bagian dari konsep one health.
Visi ke depan
Ketergantungan dan kompleksitas dunia ini menuntut suatu pemikiran baru dan visi ke depan
tentang konsep one health. Konsep ini harus diusahakan untuk lebih dipahami oleh kedua disiplin
secara bersama-sama dan tentunya dengan menyakinkan semua pihak tanpa terkecuali. Dalam
International Ministerial Conference on Avian and Pandemic Influenza di New Delhi, India akhir

tahun 2007 yang lalu, konsep one health kembali diangkat dan dianalisa lebih lanjut bahwa dunia
harus mengadopsi konsep ini untuk mampu keluar dari krisis penyakit zoonosis yang baru muncul
dan muncul kembali (emerging and re-emerging diseases).
Pemahaman tentang konsep one health tentunya bukan hanya berarti lebih berhubungan dekat
satu sama lain, akan tetapi membutuhkan pemikiran ulang baru yang mendalam di tataran strategi
operasional. Untuk mengeksploitasi keseluruhan sinergisme di antara kesehatan manusia dan
hewan, diperlukan kerjasama yang erat di semua tingkat mulai dari organisasi internasional,
pemerintah, riset dan teknologi, sistem kesehatan dan pendidikan.
Sudah barang tentu apa yang dicita-citakan diatas harus mendorong profesi dokter hewan untuk
mengambil peran di depan untuk memastikan kedua belah pihak menerima konsep tersebut dan
dengan tujuan sentral untuk meningkatkan kesehatan manusia, hewan dan lingkungan secara global.
Lonie J. King (2008), seorang pakar epidemiologi mengatakan: Kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat adalah suatu rangkaian kesatuan (continuum); kita tidak harus melihatnya sebagai
sistem terpisah.

Indonesia dan semua negara di dunia masih menghadapi permasalahan penyakit hewan
yang secara alami dapat menular ke manusia atau sebaliknya yang disebut zoonosis.
Masalah zoonosis perlu dikendalikan karena dalam kondisi tertentu dapat berpotensi
menjadi wabah atau pandemi. Ancaman zoonosis di Indonesia maupun di dunia
cenderung meningkat dan berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, keamanan, dan
kesejahteraan rakyat. Beberapa tahun belakangan ini, muncul penyakit yang disebut
emerging and re-emerging diseases yang dipicu oleh perubahan iklim, habitat, serta faktor
kepadatan populasi yang mempengaruhi induk semang, patogen dan vektor. Emerging
zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang baru muncul, dapat terjadi dimana saja di
dunia dan dampaknya berpotensi menjadi parah,sedangkan re-emerging zoonoses
merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul dan menunjukkan tanda mulai
meningkat kembali.
Penyakit zoonosis yang masuk ke dalam daftar penyakit hewan menular strategis di
Indonesia yaitu rabies, anthrax, avian influenza, salmonellosis dan brucellosis. Penyakit
zoonosis yang penting lainnya dan perlu mendapatkan perhatian antara lain
schistosomiasis, cysticercosis/taeniasis, tuberculosis, leptospirosis, toxoplasmosis,
Japanese encephalitis, streptococosis/staphylococosis, dan clostridium (tetanus).Penyakit
zoonosis yang berkaitan dengan keamanan pangan (food borne disease) di Indonesia
antara laincamphylobacteriosis, salmonellosis, shigella, yersinia, verocyto toxigenic
Escherichia coli (VTEC), dan listeriosis. Penyakit zoonosis eksotik untuk Indonesia adalah
bovine spongiform encephalopathy (BSE), Nipah virus, ebola virus, dan rift valley fever
(RVF) (Naipospos 2005).
Dampak kerugian penyakit zoonosis antara lain gangguan kesehatan bagi masyarakat
(kematian), pembatasan eksport ternak dan produknya, penurunan produktifitas ternak
dan manusia yang tertular, kerugian ekonomi seperti penurunan perdagangan, beban
biaya pengobatan, penurunan wisatawan, serta mengganggu ketenteraman manusia.
Sehingga perlu tindakan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis.
erkembangan pengendalian zoonosis di dunia saat ini mengarah kepada konsep baru
yaitu one world, one medicine, one health yang mengedepankan kerjasama yang lebih
terintegrasi dan sinergis antara dokter hewan dan dokter dalam mengantisipasi penyakitpenyakit zoonosis yang berpotensi epidemik yang dikenal dengan konsep one health.
Kemudian muncul konsep ecohealthyang dianggap sejalan dengan konsep one health
yang juga, akan tetapi konsep ecohealth dikatakan memperluas konsep one health. Pilar
dalam konsep one health adalah profesi kedokteran hewan, kedokteran manusia dan
kesehatan masyarakat, sedangkan konsep ecohealth lebih bersifat mulitidisiplin dimana
ilmu-ilmu lain ikut dilibatkan seperti lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya.
Konsep Ecohealth
Konsep ecohealth atau ecosystem health, awalnya diistilahkan dengan medikekosistem
atau ecosystem medicine, dibangun pada akhir tahun 1970-an dimana para penelitimulai
memperlakukan ekosistem sebagai obyek dari penelitiannya dan mengamati gejalaumum
degradasi ekosistem yang dikarakterisasi sebagai sindroma gangguan ekosistem.
Ecohealth dapat didefinisikan sebagai pendekatan sistematis untuk pencegahan,

diagnostik dan prognostik aspek manajemen ekosistem dan untuk memahami hubungan
antara kesehatan ekosistem dan kesehatan manusia (Aguirre, Gomez 2009). Ecohealth
mengkaji perubahan-perubahanlingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan
menghubungkan perubahan-perubahanini dengan dampaknya terhadap kesehatan
manusia. Ecohealth mempersatukanberbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan,
ahli konservasi, ahli ekologi, ahliekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan lain sebagainya
untuk secara komprehensifmempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem
secara negatif berdampakkepada kesehatan manusia dan hewan (Gambar 1).
erkembangan pengendalian zoonosis di dunia saat ini mengarah kepada konsep baru
yaitu one world, one medicine, one health yang mengedepankan kerjasama yang lebih
terintegrasi dan sinergis antara dokter hewan dan dokter dalam mengantisipasi penyakitpenyakit zoonosis yang berpotensi epidemik yang dikenal dengan konsep one health.
Kemudian muncul konsep ecohealthyang dianggap sejalan dengan konsep one health
yang juga, akan tetapi konsep ecohealth dikatakan memperluas konsep one health. Pilar
dalam konsep one health adalah profesi kedokteran hewan, kedokteran manusia dan
kesehatan masyarakat, sedangkan konsep ecohealth lebih bersifat mulitidisiplin dimana
ilmu-ilmu lain ikut dilibatkan seperti lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya.

Pendekatan
klasik
terhadap kesehatan
memisahkan antara
dimensiekonomi,
lingkungan
dan
masyarakat.
Pada
kenyataannya
pendekatan
terhadap
kesehatanmencakup konsep yang lebih luas, yang keluar dari cakupan kesehatan individu
danmelibatkan dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat (Gambar 2). Ekonomi,
lingkungan dan kebutuhan masyarakat akan mempengaruhi kesehatan ekosistem.
Dengan demikianpendekatan ekosistem dalam ecohealth perlu dilihat sebagai
suatuhirarkhi yang saling kait mengait, dimana permasalahan kesehatan tidak bisa
dipisahkanbegitu saja dari konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, baik dalam
skala temporalmaupun spasial dari kehidupan manusia (Lebel 2003).

Kerangka pendekatan ekosistem tersebut diatas adalah transdisiplin yang sangat


esensialdiperlukan dalam memahami interaksi sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi
yangmengarah kepada munculnya penyakit menular baru. Transdisiplin dimaksudkan
sebagai pengetahuan antar disiplin, lintas disiplin yang berbeda,dan di luar disiplin
individual yang menghasilkan suatu kerangka terpadu baru, sehingga mampu
menghasilkan pemahamanyang lebih komprehensif terhadap permasalahan penyakit yang
sedang dikaji.
oonosis
Zoonosis menurut Undang-undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya. Masalah zoonosis perlu dikendalikan karena dalam kondisi tertentu dapat
berpotensi menjadi wabah atau pandemi. Ancaman zoonosis di Indonesia maupun di
dunia cenderung meningkat dan berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, keamanan dan
kesejahteraan rakyat. Beberapa tahun belakangan ini, muncul penyakit yang disebut
emerging and re-emerging diseases.
Emerging and re-emerging zoonoses dapat dibagi menjaditigakategori yaitupenyakit
zoonosis yang baru diketahui (newly recognised); penyakit zoonosis yang baru muncul
(newly evolved); dan penyakit zoonosis yang sudah terjadi sebelumnya tetapi akhir-akhir
ini menunjukkan peningkatan insidensi atau perluasan ke wilayah geografis, induk semang
atau keragaman vektor yang baru (Brown 2004).
Cleavelandet al. (2001) berhasil mengidentifikasi adanya 1.415 spesies organisme
penyakit yang diketahui bersifat patogen bagi manusia, terdiri dari 217 virus dan prion, 538
bakteri dan rickettsia, 307 cendawan, 66 protozoa, dan 287 parasit cacing. 868 species
dari total patogen tersebut merupakan agen penyebab zoonosis dan 175 spesies dikaitkan
dengan penyakit yang baru muncul (emerging disease). Dari 175 species tersebut, 132
spesies adalah agen penyebabzoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses diseases).
Emerging zoonoses yang timbul beberapa tahun terakhir adalah ebola virus, bovine
spongiform encephalopathy (BSE), Nipah virus, rift valley fever (RVF), alveolar
echinococcosis, severe acute respiratory syndrome (SARS), monkeypox, highly
pathogenic avian influenza (HPAI), hantavirus pulmonary syndrome, West Nile fever (di
Amerika Serikat), lyme disease, danhaemolytic uraemic syndrome (food-borne infection
yang disebabkan oleh Escherichia coli serotipe O157:H7)(Brown 2004; Morse 2004).

Faktor yang berperan dalam kemunculan emerging zoonoses antara lain perubahan
ekologi seperti yang disebabkan oleh pertanian, pembangunan dan perubahan iklim,
perubahan demografis dan perilaku manusia, perdagangan dan perjalanan, teknologi dan
industri, serta adaptasi dan perubahan mikroorganisme (Morse 2004). Intensifikasi
pemeliharaan satwa liar dan mikroba yang berkaitan dengan satwa liar juga merupakan
faktor yang dianggap berkontribusi terhadap kemunculan emerging zoonoses (Brown
2004).
Penyakit zoonosis yang secara nasional perlu diprioritaskan adalah avian influenza,
rabies, ps (plague), anthrax, leptospirosis dan bruellosis, sedangkan penyakit zoonosis
yang perlu ditindaklanjuti adalah salmonellosis, cysticercosis, dan toxoplasmosis
(Puslitbangnak 2011).

Konsep Ecohealth dalam


Pengendalian Zoonosis
Penyakit zoonosismemiliki dampak ekonomi secara global, sehingga kerugian ekonomi
dirasakan secara nyata, misalnya avian influenza yang melumpuhkan sektor peternakan
hampir di seluruh negara tertular. Sebagian penyakit zoonosis lainnya meskipun tidak
berdampak global, akan tetapi menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar di
banyak negara terutama bagi peternak, seperti penyakit anthrax yang menyebabkan
kematian ternak dalam jumlah besar atau penyakit brucellosis yang menyebabkan
gangguan pertumbuhan populasi ternak sapi. Penyakit zoonosis lain tidak memiliki
dampak ekonomi yang nyata, tetapi dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam
kehidupan masyarakat, seperti salmonellosis yang hanya menyebabkan diare yang bisa
saja dianggap hal biasa bagi masyarakat, tetapi ada kerugian ekonomi akibat biaya
pengobatan yang harus dikeluarkan dan kehilangan waktu kerja. Selain itu, penyakit
anthrax tipe kulit dimana masyarakat seringkali merasa tidak perlu khawatir karena dapat
disembuhkan dengan pemberian antibiotika atau penyakit rabies yang dampak nyatanya
hanya dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan oleh korban yang meninggal dunia.
Strategi pengendalian zoonosis di Indonesia, sesuai dengan PP RI nomor 30 tahun
2011Tentang Pengendalian Zoonosis, dilakukan dengan 1)mengutamakan prinsip
pencegahan penularan kepada manusia dengan meningkatkan upaya pengandalian
zoonosis pada sumber penularan, 2)koordinasi lintas sektoral, sinkronisasi, pembinaan,
pengawasan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan program. 3)
perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans, pengidentifikasian,
pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan penularan, penanggulangan wabah

atau kejadian luar biasa (KLB) dan pandemi serta pemusnahan sumber zoonosis pada
hewan apabila diperlukan, 4) penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap
penularan zoonosis baru, 5) peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman
penularan zoonosis, 6) penguatan kapasitas sumber daya manusia, logistik, pedoman
pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran pengandalian
zoonosis, 7)Penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis, dan 8) pemberdayaan
masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, LSM dan organisasi
profesi, serta pihak-pihak lain.
da empat subsistem yang sangat penting dalam perannya sebagai pendukung dari sistem
kesehatan hewan nasional (siskeswannnas) terutama dalam kaitannya dengan
pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis yaitu 1) sitem surveilans dan
monitoring nasional terhadap penyakit zoonosis pada ternak dan satwa liar, 2) sistem
kewaspadaan dini dan darurat penyakit, 3) sistem informasi kesehatan hewan dan 4)
sistem kesehatan masyarakat veteriner (Naipospos 2005)
Perkembangan dunia saat ini dalam pengendalian penyakit zoonosis mengarah kepada
pentingnya konsep one world, one medicine, one health yang mengedepankan
kerjasama yang lebih terintegrasi dan sinergis antara dokter hewan dan dokter dalam
mengantisipasi penyakit-penyakit zoonosis yang berpotensi epidemik. Konsep one health
adalah suatu gerakan untuk menjalin kemitraan antara dokter dan dokter hewan yang
harus disepakati oleh berbagai pihak, baik organisasi medik kesehatan, kesehatan hewan
maupun kesehatan masyarakat. Konsep one health akan mendorong kemitraan antara
dokter dan dokter hewan menuju penelitian dan surveilans yang lebih baik di bidang
zoonotik dan penyakit-penyakit baru muncul (emerging and re-emerging zoonoses)
(Naipospos 2008).
enerapan konsep one health secara sistematik berpotensi besar untuk mengurangi ancaman terhadap kesehatan global,
kerena lebih dari 60% penyakit-penyakit yang baru muncul disebabkan oleh penularan agen patogen yang berasal dari hewan.
Penyakit-penyakit dan agen patogen zoonosis yang mengilustrasikan pentingnya konsep one health meliputi Q fever, SARS,
virus West Nile, Nipah Virus, cholera, malaria dan dengue (Atlas et al. 2010).

Konsep ecohealth dianggap sejalan dengan konsep one health, dan memperluas konsep
one health. Pilar dalam konsep one health adalah profesi kedokteran hewan, kedokteran
manusia dan kesehatan masyarakat, sedangkan konsep ecohealth lebih bersifat
mulitidisiplin dimana ilmu-ilmu lain ikut dilibatkan seperti lingkungan, ekonomi, sosial dan
budaya. Ecohealth tidak hanya berdasarkan pada pendekatan ilmiah seperti epidemiologi,
percobaan ilmiah dan sosiologi, tetapi mengintegrasikan kesemuanya untuk memahami
dan menganalisa situasi yang nyata (Toews 2009)
Ecohealth mengkaji perubahan-perubahanlingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi
dan menghubungkan perubahan-perubahanini dengan dampaknya terhadap kesehatan
manusia. Ecohealth mempersatukanberbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan,
ahli konservasi, ahli ekologi, ahliekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan lain sebagainya
untuk secara komprehensifmempelajari dan memahami dampak negatif perubahan
ekosistemkepada kesehatan manusia dan hewan.
ndonesia masih menghadapi permasalahan penyakit zoonosis. Masalah zoonosis perlu
dikendalikan karena dalam kondisi tertentu dapat berpotensi menjadi wabah atau

pandemi. Ancaman zoonosis di Indonesia maupun di dunia cenderung meningkat dengan


muncul penyakit yang disebut emerging and re- emerging zoonoses yang dipicu oleh
perubahan iklim, habitat, faktor kepadatan populasi yang mempengaruhi induk semang,
patogen dan vektor.
Pengendalian zoonosis kedepan diperlukan pendekatan komprehensif (one health) dan
kesamaan persepsi tentang penetapan dan penanganan zoonosis prioritas untuk
efektivitas dan efisiensi upaya pengendalian. Pengendalian zoonosis di Indonesia dapat
dilakukan dengan penerapan konsep ecohealth yang mempersatukanberbagai kalangan
mulai dari dokter, dokter hewan, ahli konservasi, ahli ekologi, ahliekonomi, ahli sosial, ahli
perencana dan lain sebagainya untuk secara komprehensifmempelajari dan memahami
bagaimana perubahan ekosistem secara negatif berdampakkepada kesehatan manusia
dan hewan.Tantangan dalam pengendalian zoonosis antara lainmasih perlu peningkatan
koordinasi antar profesi, keterpaduan yang berkelanjutan, dan peningkatan pemberdayaan
masyarakat dalam pencegahan zoonosis.
DAFTAR PUSTAKA

Aguirre AA, A Gomez. 2009. Essential Veterinary Education in Concervation Medicine and Ecosystem
Health: A Global Perspective. Rev. sci. tech.Off. int. Epiz. 28 (2): 597-603.
Atlas R, G Resnick, S Maloy, P Daszak, R Colwell, dan B Hyde. 2010. One Health Attaining Optmal Health
for
People,
Animals
and
the
Environment.
Microbe
Magazine.
http://microbemagazine.org/index.php/
09-2010-home/60-one-health-attaining-optimal-healt-forpeople-animals-and-the-environment.
Brown C. 2004. Emerging Zoonoses and Pathogens of Public Health Significance-an Overview. Rev. sci.
tech.Off. int. Epiz. 23 (2): 435-442.
Cleaveland S, MK Laurenson, dan LH Taylor. 2001. Disease of Human and Their Domestic mammals:
Pathogen Characteristics, Host Range and the Risk of Emergence. Philos. Trans. R. Soc. Lond. B. Sci.
356(1411): 991-9.
Lebel J. 2003. Health: An Ecosystem Approach. Canada: International Development Research Centre.
Morse SS. 2004. Factors and Determinants of Disease Emergence. Rev. sci. tech.Off. int. Epiz. 23 (2): 443451.
Naipospos TSP. 2005. Kebijakan Penanggulangan Penyakit Zoonosis Berdasarkan Prioritas Departemen
Pertanian. Balai Penelitian Veteriner. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.hlm. 23-27.
Naipospos TSP. 2008. Rintis Konsep Satu Kesehatan. http://tatavetblog.blogspot.com/ 2010/03/rintiskonsep-satu-kesehatan.html.
Puslitbangnak.
2011.
Rapat
Koordinasi
Nasional
Pengendalian
Zoonosis.
http://peternakan.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content& view=article&id=209:rapatkoordinasi-nasional-pengendalian-zoonosis &catid=4:berita&Itemid=5.
Toews DW. 2009. Eco-Health: A Primer for Veterinarians. Canada Vet. J. 50:519-521.

You might also like