You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah


Tujuan utama dibentuknya pemerintahaan adalah untuk menjaga suatu

sistem ketertiban sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar.


Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. ia tidak
diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta
menciptakan

kondisi

yang

memungkinkan

setiap

anggota

masyarakat

mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama


(Rasyid:1996). Demikian pula dengan pemerintah Indonesia yang berlandaskan
ideologi Pancasila, Indonesia dibentuk dengan harapan akan terwujudnya cita-cita
bersama, yakni sebuah kesejahteraan. Hal ini diinterpretasikan dalam sila ke-lima,
yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mana dalam Ekaprasetia
Pancakarsa-nya terdapat dua belas butir rincian, yakni (Ketetapan MPR no.
II/MPR/1978):
1. Mengembangkan

perbuatan-perbuatan

yang

luhur

yang

mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.


2.

Bersikap adil.

3.

Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

4.

Menghormati hak-hak orang lain.

5.

Suka memberi pertolongan kepada orang lain.

6.

Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.

7.

Tidak bersifat boros.

8.

Tidak bergaya hidup mewah.


9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
1

10.

Suka bekerja keras.

11.

Menghargai hasil karya orang lain.


12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Rincian di atas menunjukan bahwa Indonesia bercita-cita untuk

mewujudkan kesejahteraan dengan menegakkan keadilan secara umum melalui


cara gotong-royong dan kekeluargaan, sebuah metode yang berfokus pada
masyarakat bawah. Kesejahteraan keluarga adalah kondisi tentang terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia dari setiap anggota keluarga secara material, sosial,
mental, dan spiritual sehingga dapat hidup layak sebagai manusia yang
bermartabat (Priharsanti:2011). Dengan asumsi jika kesejahteraan dimulai dari
keluarga maka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat bukanlah hal yang
mustahil. Jika demikian maka fungsi negara dalam menciptakan kondisi untuk
mengembangkan kemampuan setiap anggota negara telah terwujud dalam tatanan
organisasi yang terkecil yakni keluarga.
Dengan kata lain, Indonesia menghendaki kesejahteraan harus terwujud
dari organisasi terkecil dalam

masyarakat yakni keluarga. sebabnya melalui

Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia


Nomor 53 tahun 2000, dibentuknya organisasi Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) yang merupakan suatu gerakan nasional yang tumbuh dari, oleh,
dan untuk masyarakat, dengan perempuan sebagai motor penggeraknya menuju
terwujudnya keluarga bahagia, sejahtera, maju, dan mandiri. Dengan program
pokok berupa program dalam memenuhi kebutuhan dasar agar terwujudnya
kesejahteraan keluarga. Kesepuluh program pokok tersebut adalah: (1)
Penghayatan dan pengamalan Pancasila; (2) Gotong royong; (3) Pangan; (4)
Sandang; (5) Perumahan dan tata laksana rumah tangga; (6) Pendidikan dan
ketrampilan; (7) Kesehatan; (8) Pengembangan kehidupan koperasi; (9)
Kelestarian lingkungan hidup; (10) Perencanaan sehat. Dengan sepuluh program
pokok PKK tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa Tim Penggerak (TP) PKK
memiliki agenda dan tujuan yang sangat mulia, yaitu ingin mencapai kemajuan

dan kesejahteraan keluarga yang menjadi dambaan setiap keluarga. Dengan


demikian pada dasarnya PKK memegang peranan penting dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang dimulai dari kesejahteraan keluarga.
Namun, dari hasil penelitian terdahulu yang mengambil lokasi penelitian
di kota Malang, dengan subjek (Parimartha:2013): PKK kota Malang, kecamatan
Lowokwaru dan kelurahan Lowokwaru. Menunjukkan bahwa temuan baru dalam
penelitian ini adalah: (1) paradigma pemberdayaan yang dikembangkan PKK
mengisyaratkan terjadinya perubahan organisasi menuju pada kemandirian,
meskipun belum dilakukan secara optimal, karena kekuasaaan tetap melakukan
pengontrolan, sehingga hubungan yang terjalin antara kekuasaan dengan PKK
adalah hegemoni; (2) eksistensi PKK memberi wadah kepada perempuan untuk
beraktivitas dalam kecenderungan koridor kekuasaan (laki-laki); (3) PKK di kota
Malang telah melakukan upaya menuju kesetaraan dan keadilan gender, yang
diperlihatkan dengan keterlibatan laki-laki dalam kepengurusan, meskipun
eksistensinya belum berpengaruh secara signifikan terhadap perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian program organisasi, karena PKK masih berorentasi
pada kebijakan dari atas (top down). Temuan ini mengindikasikan bahwa peran
PKK belum optimal dalam menjalankan perannya sebagai mitra pemerintah dalam
mewujudkan kesejahteraan keluarga, yang disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal organisasi. Oleh sebab itu, kajian lebih lanjut mengenai peran PKK
sangat penting dalam rangka mewujudkan cita-cita negara yakni kesejahteraan,
terutama untuk menjelaskan cara pengoptimalan PKK maka makalah ini diberi
judul Optimalisasi Peran PKK Sebagai Mitra Pemerintah Dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Keluarga Di Kota Malang melalui konsep
Capacity Building
1.2

Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang menjelaskan betapa pentingnya
peran PKK terhadap tujuan negara yakni kesejahteraan umum yang
dimulai dari organisasi terkecil, yakni keluarga maka rumusan masalah
yang tepat untuk mengulas masalah optimalisasi peran PKK ini adalah
bagaimanakah cara mengoptimalkan peran PPK sebagai mitra pemerintah

dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga di Kota Malang melalui


1.3

konsep Capacity Building?


Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang ditentukan maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui cara pengoptimalan peran PKK membantu
pemerintah dalam kesejahteraan keluarga dengan menggunakan konsep
Capacity Building.

BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Teori Peran
1. Pengertian Peran
Peran dapat diartikan sebagai seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya
dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari
dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari
perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu
(Kozier,1995:21)
Sedangkan Abu Ahmadi (1982:50) mendefinisikan peran sebagai
suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus
bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi
sosialnya.
2. Teori peran
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status).
Apabila seseorang melaksanankan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Setiap orang
mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola
pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan
apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan
apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan
adalah karena ia mengatur perilaku seseorang (Soekanto,1990:268)
Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan
sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam
masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Peranan mencakup tiga hal,
yaitu:
a) Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi
atau tempat seseorang dalam masyarakat. peranan dalam arti ini
merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing
seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
b) Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan
oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi

c) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang


penting bagi struktur sosial masyarakat. (Lewis dalam Soerjono,
1990:269)
Konsep tentang peran (role) menurut Komarudin (1994:768) dalam buku
ensiklopedia manajemen mengungkapkan sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)

Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen


Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status
Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata
Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik

yang ada padanya.


e) Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.
2.2 Optimalisasi melalui Capacity Building
1. Pengertian Optimalisasi
Menurut tim Penyusun kamus besar bahasa Indonesia (1990:705)
optimalisasi merupakan proses, cara atau perbuatan mengoptimalkan.
Mengoptimalkan berarti menjadi paling baik, paling tinggi, atau paling
menguntungkan.
Secara umum problematika yang dihadapi sebagian besar
organisasi berkisar pada faktor internal organisasi sebagaimana
disebutkan di atas yang meliputi person, tools dan system.
2. Komponen Mengoptimalkan Organisasi
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
dalam optimalisasi merupakan proses untuk mencapai hasil akhir yang
paling baik. Maka berikut ini adalah komponen dalam mengoptimalkan
sebuah organisasi yaitu:
a) Memahami lingkungan kerja sekitar, kondisi kerja yang
mendukung, karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk
kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan
tugas yang baik. Karyawan lebih menyukai keadaan fisik sekitar
yang tidak berbahaya, temperatur, cahaya, keributan dan faktorfaktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrim.
b) Membangun komunikasi efektif, komunikasi efektif pada
dasarnya adalah strategi dalam berkomunikasi. Komunikator
memperluas pemahaman untuk mengenal diri, dan meningkatkan
pengetahuan untuk mengenal sasaran atau tujuan strategis yang

ingin

dicapai

dalam

proses

komunikasi.

Disamping

itu

komunikator dituntut untuk mengetahui informasi yang seluasluasnya berkaitan dengan orang yang menjadi lawan komunikasi
(komunikan) baik dari sumber langsung maupun pihak ketiga.
c) Melakukan kajian terhadap permasalahan. Strategis memecahkan
sebuah permasalahan di dalam sebuah organisasi. Permasalahan
tersebut dikaji secara komprehensif dan diurut menggunakan
skala prioritas mana yang dianggap paling penting dan mendesak.
Setelah usai mengkaji permasalahan tersebut maka hasilnya akan
didapat membangun kapabilitas strategis.
d) Mengelola peran baru. Tetap berahan di fungsional birokrasi
semata akan menyebabkan fungsi manajemen menjadi kurang
efektif dalam organisasi. Kegagalan untuk berubah sesuai dengan
tuntutan ekonomi akan menjadikan manajemen kurang penting, di
mana tantangan-tantangan baru seperti manajemen pengetahuan
dan pengembangan akan diperankan di tempat lain dalam
organisasi. Tetapi hal ini tidak perlu terjadi. Pada kenyataanya,
Sumber Daya Manusia adalah sumber logis dari tantangantantangan baru ini. Manajemen dalam organisasi harus keluar dari
birokrasi masa lalu. Ini memerlukan pergeseran paradigma bahwa
manajemen sebuah organisasi tidak hanya sekadar menjalankan
fungsi dan proses, tetapi lebih kepada peran. Definisi peran dalam
organisasi adalah tanggungjawab, hubungan, dan area kontribusi,
serta harapan-harapan. Peran bisa diartikan sebagai pernyataan
visi organisasi. Dengan mengelola peran, manajemen sebuah
organisasi

memeberi

kontribusi

lebih

untuk

kesuksesan

organisasi. Ini berarti paradigma manajemen sebuah organisasi


telah berubah dari fungsi dan proses menjadi hasil dan
pencapaian.
e) Menentukan misi organisasi, menentukan misi bukanlah hal yang
mudah. Hal ini memerlukan keterlibatan seluruh pihak yang
berkepentingan seperti staf dan anggota, dalam pengembangan
dan persetujuannya. Pernyataan misi tidak boleh berupa

konsensus berdasarkan proses kompromi tetapi pernyataan yang


mendeskripsikan dengan jelas posisi organisasi kepada dunia luar
serta menggambarkan komitmen staf dan anggota. Pernyataan
misi merupakan standar emas terhadap prioritas dan kegiatan
organisasi yang dapat diukur.
f) Mengkomunikasikan program kepada publik, suatu organisasi
memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan seluruh isi
program

yang

akan

dilaksanakan

maupun

yang

sedang

berlangsung pelaksanaanya kepada para anggota organisasi


maupun masyarakat umum. Dengan ini anggota organisasi
maupun masyarakat umum dapat menilai apakah program suatu
organisasi tersebut optimal maupun kurang optimal. (Thoha:
2008)

Terdapat 3 perspektif yang utama di dalam menganalisis apa yang


disebut pengoptimalkan organisasi (Richard M. Streers dalam Udai,1985:
5-7), yaitu:
1) Perspektif optimalisasi tujuan, yaitu pengoptimalan dinilai menurut
ukuran seberapa jauh suatu organisasi berhasil mencapai tujuan yang
layak dicapai
2) Perspektif sistem, yaitu pengoptimalan organisasi dipandang dari
keterpaduan berbagai faktor yang berhubungan mengikuti pola, input
konversi, output dan umpan balik, dan mengikutsertakan lingkungan
sebagai faktor eksternal.
3) Perspektif perilaku manusia,

yaitu

konsep

mengoptimalkan

organisasi ditekankan pada perilaku orang-orang dalam organisasi


yang mempengaruhi keberhasilan organisasi untuk periode jangka
panjang.
3. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Mengoptimalkan Organisasi
Dalam organisasi ada faktor yang menjadi penghambat laju
organisasi

dalam mencapai tujuan. Kelemahan ini harus dapat

tertangani secara strategis guna mengoptimalkan kegiatan organisasi.

Beberapa kelemahan dasar yang ada pada suatu organisasi sebagai


berikut (Stephen :1994):
1) Tingkat pengetahuan aparatur yang rendah. Rendahnya tingkat
pengetahuan aparatur merupakan faktor penghambat dalam rangka
mengoptimalkan

penyelenggaraan

kegiatan

suatu

organisasi.

Rendahnya tingkat pengetahuan seperti kemampuan konseptual


aparatur, pemanfaatan teknologi seperti kemampuan penggunaan
komputer masih terbatas.
2) Belum adanya pembagian pengerjaan tugas tentang koordinasi di
tingkat atasan dengan bawahan didalam suatu organisasi, sehingga
memberikan peluang melemahnya koordinasi yang pada akhirnya
berimbas

pada

efisiensi

dan

efektifitas

penyelenggaraan

pemerintahan
3) Masih adanya ego sektoral. Yang dimaksud ego sektoral disini
adalah egoisme atasan dengan bawahan didalam suatu organisasi
yang lebih mengedepankan kepentingan pelaksanaan program dan
kegiatan suatu organisasi, yang mengakibatkan terhambatnya
program kerja suatu organisasi tersebut.
4) Sistem teknologi informasi dan komunikasi yang belum efektif dan
kurang

memadai.

Untuk

mendukung

kelancaran

koordinasi

diperlukan system informasi dan komunikassi tidak berjalan dengan


baik mengakibatkan mengalami kendala mendapatkan informasi
dengan cepat.
5) Landasan aturan belum sepenuhnya diaplikasikan dengan baik,
sehingga aturan ini yang semula dibuat oleh seluruh komponen
anggota organisasi kemudian pula aturan ini dilanggar oleh
komponen anggota suatu organisasi.
4. Faktor-Faktor Pendukung Dalam Mengoptimalkan Organisasi
Beberapa faktor pendukung dalam mengoptimalkan organisasi
yang melingkupi komponen atasan dan bawahan di dalam suatu
organisasi, yang dijabarkan sebagai berikut:
1) Peraturan atau landasan hukum merupakan dasar pelaksanaan tugas
pokok

dan

fungsi

suatu

organisasi

dalam

memimpin

penyelenggaraan kinerja suatu organisasi dimana salah satu

fungsi/uraian tugas adalah menyelenggarakan tugas-tugas seluruh


sumber daya manusia yang ada di dalam suatu organisasi.
2) Sumber Daya Aparatur yang ada. Dukungan SDA yang memiliki
keahlian dalam bidangnya pada suatu organisasi dianggap mampu
untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas-tugas dari komponen
organisasi.
3) Fasilitas sarana dan prasarana pendukung. Ketersediaan fasilitas
sarana dan prasarana pendukung dalam penyelenggaraan kegiatan
suatu organisasi mampu mewujudkan keserasian dan keterpaduan
baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil kegiatan
pada suatu organisasi.
4) Dibutuhkan respon dan komitmen dari seluruh komponen suatu
organisasi, dibutuhkan keterlibatan dan komitmen dari pihak atasan
maupun bawahan dalam menunjang lancarnya pelaksanaan tujuan
dan kinerja dalam organisasi serta prosedur yang jelas dalam
penerapan tujuan dan kinerja dalam organisasi.
5) Dibutuhkan perencanaan matang dan bisa menampung aspirasi
seluruh anggota organisasi. Perencanaan yang matang dan dapat
menjebatani keinginan kepentingan orang-orang dalam organisasi
dengan pihak yang mengerti dan membuat program kerja organisasi
dan menyelesaikan masalah yang timbul antar anggota organisasi
serta menyusun seluruh kebutuhan yang dibutuhkan dalam
menunjang kinerja organisasi. Hal ini menyebabkan program kerja
yang akan dijalankan menjadi terarah sesuai dengan visi dan misi
organisasi. (Stephen:1994)
5. Pengertian Capacity Building
Definisi Capacity Building mengalami perkembangan sesuai
dengan kebutuhan obyektif dalam melakukan proses pengembangan
kapasitas, termasuk sektor yang digarap. UNDP dalam imawan et.al
(2006:20) merumusan kapasitas sebagai kemampuan individu dan
organisasi

atau unit-unit organisasi untuk dapat melakukan fungsi-

fungsinya secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Secara singkat,


Capacity Building didefinisikan sebagai sebuah proses atau aktifitas
yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan personal dan

10

institusional untuk mewujudkan tujuan-tujuan (Imawan,et.al, 2006).


Lebih lanjut terdapat beberapa ide dasar yang disampaikan oleh PBB
sebagaimana dikutip oleh Imawan, et.al (2006:20) menjelaskan bahwa:
ide dasar yang menjadi fondasi bagi upaya peningkatan
kapasitas. Terdapat lima ide dasar yang secara keseluruhan
berupaya untuk meningkatkan kapasitas lokal, melalui upaya
sistematis yang dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat pemerintah lokal. Kelima ide dasar tersebut
adalah pertama, peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat
memeperoleh

penghidupan

yang

berkelanjutan,

kedua

pendekatan multisektor dan multidisiplin untuk perencanaan dan


implementasi, ketiga memperhatikan perkembangan struktur
organisasi dan teknologi, keempat empati terhadap sosial kapita
yang dapat dibangun melalui experimentasi dan kelima upaya
peningkatan skills dan kemampuan personal dan institusi.
Konsep Capacity Building sendiri masih mengalami banyak
perdebatan dalam mendefinisikannya, sebagian ilmuwan memakai
Capacity

Building

sebagai

Capacity

Development,

yang

mengisyaratkan suatu prakarsa pada pengembangan kemampuan yang


sudah ada. Grindle dalam Udin (2010:65) menjelaskan bahwa :
capacity building is intended to encompass a variety of
strategies that have to whit increasing the efficiency,
effectiveness, and responsiveness of governance performance
(pengembangan kapasitas merupakan upaya yang dimaksudkan
untuk mengembangkan suatu ragam strategi peningkatan,
efisiensi,

efektivitas

dan

kemampuan

merespon

kinerja

pemerintah). Sedangkan menurut Marison (2001:42), melihat


Capacity Building sebagai suatu proses untuk melakukan
sesuatu atau serangkaian gerakan, perubahan multi level di
dalam individu, kelompok-kelompok organisasi-organisasi dan
sistem

dalam

rangka

untuk

memperkuat

kemampuan

penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap


terhadap perubahan lingkungan yang ada.

11

Beberapa

kajian

menunjukan

bahwa

Capacity

Building

diperlukan setiap waktu secara terus-menerus tidak saja ketika kinerja


menurun. Oleh karenanya Capacity Building disebut continuing
process, seperti yang dikemukakan oleh GTZ (2003:17) bahwa:
capacity building is a process, not an output. Capacity
building is the effort to enable people, organization and systems
to face challenges and meet demands. Its is in theory and
indefinite process, which can go on forever because of the everchanging frame conditions or governance, forcing organizations
to constantly identify and meet new challenge. New economics
developments, social and cultural changes, technology changes,
political naturation of the society all these factors determine
what kind of service delivery today, might not br relevant and in
the mand again tomorrow. Public sector managements is also
about anticipating these changes and adapting to them.
Therefore there can not be a single product or out put of
capacity building. Because organizations are constantly facing
changes in their strategic environment an have to meet new
demands and challenges, so in that sence capacity building is
always needed, at any point in time. (pengembangan kapasitas
merupakan suatu proses bukan output. Pengembangan kapasitas
merupakan suatu usaha untuk memudahkan orang, organisasi
dan sistem untuk menghadapi berbagai tantangan dan memenuhi
tuntutan yang ada. dalam teori dan proses yang tidak
didefinisikan dengan pasti, yang mana proses itu dapat terjadi
selamanya karena adanya kondisi kerangka yang akan terus
berubah pada setiap pemerintahan, tekanan pada organisasi
untuk

secara

konstan

mengidentifikasi

dan

menemukan

tantangan-tantangan baru. Perkembangan ekonomi yang baru,


perubahan-perubahan budaya dan sosial, perubahan teknologi,
pendewasaan politik masyarakat, semua faktor ini mementukan
jenis pelayanan dan aktivitas yang diharapkan dari organisasiorganisasi sektor publik seperti yang terjadi pada dinas-dinas
12

pemerintah. Apa yang kita harapkan sebagai suatu bentuk


pelayanan yang baik sekarang belum tentu baik untuk masa
yang

akan

datang.

Menejemen

sektor

publik

harus

mengantisipasi persoalan perubahan tersebut dan menyesuaikan


dengan perubahan yang ada. sehingga tidak akan ditemukan
outpun dan produk yang tunggal dalam pengembangan
kapasitas.

Karena

organisasi-organisasi

secara

konstan

menghadapi berbagai perubahan dalam lingkup strateginya dan


harus memenuhi berbagai permintaan dan tantangan baru,
sehingga dalam hal ini pengembangan kapasitas selalu
dibutuhkan pada setiap kondisi dan waktu)
6. Tujuan Capacity Building
Menurut Daniel Rickett dalam Hardjanto (2006:67) menyatakan
the ultimate goal of Capacity building is to enable the organization to
grow stronger in achieving at pupose and mission.
Lebih jauh dirumuskan bahwa tujuan dari pengembangan
kapasitas adalah:
1) Mengakselerasi pelaksanaan desentralisasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
2) Pemantauan secara proposional, tugas, fungsi, sistem
keuangan, mekanisme dan tanggung jawab dalam rangka
pelaksanaan peningkatan kapasitas daerah.
3) Mobilisasi sumber-sumber-dana pemerintah, daerah dan
lainnya.
4) Penggunaan sumber dana secara efektif dan efisien
7. Dimensi Capacity Building
Sebagaimana dikemukakan Grindle, Capacity Building memiliki
dimensi dan fokus sebagai berikut:
1) Dimensi pengembangan sumber daya manusia. Inti fokus
dari

dimensi

ini

adalah

bagaimana

mewujudkan

ketersediaan tenaga kerja yang profesional dan personil


teknis. Dalam prakteknya, hal ini diwujudkan pada aktivitas
berupa adanya training, sistem upah, kondisi kerja dan
rekruitmen.
2) Dimensi penguatan organisasi. Sedangkan pada dimensi ini,
yang

menjadi

fokus

sasarannya

adalah

bagaimana

13

merancang sistem manajemen yang dapat menjadi stimulus


dalam meningkatkan kinerja tugas dan fungsi spesifik
mikrostruktur. Yang diwujudkan pada beberapa aktivitas
yaitu adanya sistem intensif, pemanfaatan personil,
leadership, kultur organisasi, komunikasi dan struktur
manajerial.
3) Dimensi reformasi kelembagaan. Dimensi ini berfokus
pada bagaimana menciptakan institusi dengan sistem dan
makro

struktur

yang

efektif

dan

efisien

melaui

pembentukan aturan main, rezim ekonomi dan politik,


perubahan

kebijakan

dan

hukum

serta

reformasi

konstitusional.
Akan tetapi, dari ketiga dimensi tersebut dapat dianalisis
menjadi lima faktor dimensi yang berbeda. Yang mana, menurut
Hilderbrand dan Grindle dalam Amir (2003:25) kelima dimensi tersebut
yaitu the action environtment dimension, the public sector institutional
context, the task network dimension, the organisation dimension and
the human resources dimension.
8. Faktor yang mempengaruhi Capacity Building
Faktor-faktor yang mempengaruhi Capacity Building organisasi sector
public antara lain meliputi (Michael McGuire et.al, dalam Harsono :
2006):

Dari bagan di atas dikemukakan bahwa penegmbangan kapasitas harus


dilakukan secara efektif dan berkesinambungan pada tiga tingkatan
yaitu: (1) tingkat individu, yang menyangkut keterampilan,
pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi-

14

motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi. (2) tingkatan


keseluruhan satuan yang menyangkut struktur organisasi, proses
pengambilan keputusan di dalam organisasi, prosedur dan mekanisme
pekerjaan, pengaturan sarana dan prasaranan, hubungan-hubungan dan
jaringan organisasi. (3) tingkatan sistem yang menyangkut kerangka
kerja berhubungan dengan peraturan kebijakan dan kondisi dasar yang
mendukung pebcapaian objektifitas kebijakan tertentu.
9. Faktor yang diperlukan Capacity Building
Faktor-faktor yang perlu dilakukan untuk meningkatkan Capacity
Building dalam organisasi publik antara lain (Ratnasari,2013:65):
1) Tantangan di masa depan
Semakin disadari bahwa manusia modern adalah manusia
organisasi. Karena manusia merupakan makhluk yang dinamis,
baik secara internal dalam organisasi maupun secara eeksternal,
dalam arti interaksinya dengan lingkungannya, manusia selalu
berada pada kondisi yang dituntut terus berubah dan bahkan ada
kalanya berada pada situasi ketidakseimbangan. Oleh sebab itu
pengenalan berbagai faktor yang menjadi penyebab timbulnya
tuntutan mewujudkan perubahan terencana yang merupakan aspek
penting dari kehidupan organisasi manusia.
2) Tingkat pendidikan para pekerja.
Kenyataan menunjukan bahwa baik di negara-negara industri yang
sudah maju maupun di negara-negara dunia ketiga, tingkat
pendidikan formal berakibat pada peningkatan harapan dalam hal
karier dan perolehan pekerjaan serta penghasilan. Akan tetapi di
sisi lain, lapangan kerja yang tersedia tidak selalu sesuai dengan
tingkat dan jenis pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh
para pencari kerja.
Dalam situasi demikian, terdapat dua konsekuensi yang harus
dihadapi oleh organisasi sebagai pengguna tenaga kerja, yaitu: (a)
menyelenggarakan peltihan secara intensif dan terprogram agar
para pegawai memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan.

(b)

menawarkan

pekerjaan

yang

sebenarnya

memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang lebih rendah dari

15

yang dimiliki oleh para pekerja dengan pendidikan formal yang


pernah ditempuhnya.
Jelaslah bahwa konfigurasi ketenagakerjaan menuntut kesiapan dan
kesediaan menejemen melakukan perubahan, bukan hanya dalam
bentuk berbagai kebijaksanaan, manajemen sumber daya manusia,
akan tetapi yang menyangkut terhadap harkat dan martabat
manusia.
10. Elemen-elemen Capacity Building
Adapun elemen yang nampaknya butuh untuk segera diperbaiki dalam
rangka pengembangan kapasitas adalah (1) pengembangan visi dan misi
lembaga. (2) penguatan kelembagaan. (3) pengembangan SDM. (4)
pengembangan

network.

(5)

pengembangan

dan

pemanfaatan

lingkungan organisasi (Soeprapto, 2005: 66)


11. Hambatan dalam Capacity Building
Menurut Yuwono dalam Soeprapto (2005:67) menyebutkan hambatan
Capacity Building ada lima antara lain:
1) Resistensi legal-prosedure, biasanya digunakan oleh pihak-pihak
yang kurang atau tidak mendukung program pembangunan
kapasitas ini dengan berbagai alasan. Penyebab utamanya adalah
rendahnya motivasi mereka untuk berinovasi, berkompetisi serta
tidak melakukan perubahan. Hal ini dikarenakan perubahan
merupakan sesuatu yang dinamis dan jelas-jelas menolak faham
dan kelompok status-quo.
2) Resistensi dari pimpinan, khususnya supervisor ini mendasarkan
diri pada argumen bahwa dengan pembangunan kapasitas, maka
mau tidak mau kemampuan staf akan meningkat dan bisa saja
mengancam kedudukan struktural mereka.
3) Resistensi dari staf, hal ini bervariasi bisa kecil ataupun besar,
tergantung kultur dan suasana yang ada dalam lingkungan
organisasi

tersebut.

hambatan

yang

paling

utama

adalah

pembangunan kapasiatas yang merupakan sebuah bentuk inovasi


atas perubahan, sehingga mereka harus melakukan perubahan atas
usaha-usaha inovatifnya.
4) Resistensi konseptual, muncul karena program pembangunan
kapasitas

menimbulkan

pekerjaan

dan

beban

yang

harus

16

ditanggung oleh semua elemen yang ada dalam organisasi tersebut.


mereka berpendapat bahwa dengan lebih efektif akan menambah
bebas kerja, ini tentu berkorelasi positif dengan penambahan upah.
5) Resistensi yang berupa mispersepsi tentang pengembangan
kapasitas yaitu mispersepsi bahwa Capacity Building akan
menimbulkan self capacity building. Artinya kemampuan individu
menjadi diagungkan tanpa melihat aspek-aspek lainnya, padahal
koordinasi, kooperation, kolaborasi, kerjasama dan berbagai
elemen organisasi tersebut sangat menentukan keberhasilan
program pembangunan kapasitas sebuah organisasi. Ini merupakan
persepsi

yang

keliru

dan

sering

terjadi

dalam

konteks

keorganisasian.
12. Metode-metode Capacity Building
Capacity Building mempunyai beberapa metode yang berbeda pada
setiap level, beberapa metode tersebut adalah (Imawan, 2006: 28):
1) Metode Capacity Building pada level individu, meliputi:
a) Mentoring
Ide metode ini adalah mendatangkan mentor yang
berpengalaman untuk mendampingi individu. Mentor berfungsi
untuk membantu individu atau kelompok tersebut dalam
menemukan dan merumuskan visi dan misi organisasi,
menstimulus proses sosialisasi mengenai kultur organisasi dan
menunjukan kepada mereka bagaimana hal itu harus dilakukan.
Pada dasarnya mentor bertugas untuk mengajar, mensponsori,
menashati, memimpin, mendampingi, memotivasi dan juga
mengkritik.
b) Coaching
Coaching dapat dimaknai sebagai gaya manajemen dimana
pemimpin mendorong individu-individu untuk memperoleh
kapasitas secara utuh, dan fokus pada pencapaian kinerja yang
baik dari masing-masing individu anggota staf.
2) Metode Capacity Building pada level organisasi, meliputi:
a) Twinning
Metode twinning meliputi kerjasama institusional antara
lembaga pemerintah, perusahaan privat dan NGO dalam

17

melaksanakan tugas dan fokus yang sama. Inilah yang disebut


pendekatan partnership atau kemitraan dalam pembangunan.
b) Networking Organization
Jaringan organisasi dibentuk dengan melakukan hubungan antar
kawan sejawat, saling tukar informasi dan pengalaman, serta
mengurangi isolasi intelektual.
3) Metode Capacity Building pada level sistem, meliputi :
a) Network
Pada level sistem, networking juga tetap menjadi bagian
penting.
b) Sector-wide approach dan poverty reduction strategies
Pendekatan ini lebih menjamin tujuan sektoral daripada lembaga
donor atau tujuan project melalui interaksi yang optimal antara
pemerintah dan lembaga donor. Pendekatan ini dimaksudkan
untuk menguatkan pengambilan keputusan, kepemimpinan
nasional, dan peningkatan kapasitas institusi. Akan tetapi
pendekatan ini tidak banyak memberi perhatian ekstra pada
Capacity devrlopment (Milen: 2001) dan tidak mengeliminasi
namun cukup meningkatkan kebutuhan untuk technical asisten
dan mendukung implementasi isu-isu. Di satu sisi, pendekatan
ini lebih memberikan ruang pada NGO untuk berpartisipasi
dalam proses pembuatan kebijakan sementara itu, pendekatan
poverty reduction strategies merupakan langkah selanjutnya,
dan dapat mengintegrasikannya dengan Sector-wide approach.
Pendekatan poverty reduction strategies ini dikembangkan oleh
negara itu sendiri melalui participatory konsultasi dengan civil
society. Pendekatan ini dipilih oleh World Bank/IMF dalam
rangka pengentasan kemiskinan setelah kegagalan pendekatan
structural adjusment programme.

18

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum PKK Kota Malang Sebagai Organisasi Publik
Dalam tulisan blog sejarah pkk (sejarahpkk.blogspot.com:2008),
dijelaskan sekilas tentang sejarah berdirinya PKK serta perubahanperubahannya. Bahwasannya Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
(PKK) sebagai gerakan pembangunan masyarakat bermula dari Seminar
"Home Economic" di Bogor pada tahun 1957. Sebagai tindak lanjut dari
seminar tersebut, pada tahun 1961 Panitia Penyusunan Tata Susunan Pelajaran
pada Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kementerian Pendidkan
bersama kementerian-kementerian lainnya menyusun 10 segi Kehidupan
Keluarga. Gerakan PKK di masyarakat berawal dari kepedulian Isteri Gubernur
Jawa Tengah pada tahun 1967, Ibu Isriati Moenadi, setelah melihat keadaan
masyarakat yang menderita busung lapar. Pada awalnya program PKKadalah
10 segi pokok PKK.
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui 10 Segi
Pokok Keluarga dengan membentuk Tim Penggerak PKK di semua tingkatan,
yang keanggotaan timnya secara relawan dan terdiri dari tokoh/pemuka
masyarakat, para Isteri Kepala Dinas/Jawatan dan Isteri Kepala Daerah sampai
dengan tingkat Desa dan Kelurahan yang kegiatannya didukung dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pada tanggal 27 Desember 1972 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan
Surat Kawat Nomor Sus 3/6/12 kepada Gubernur KDH Tk.I Jawa Tengah
dengan tembusan Gubernur KDH seluruh Indonesia , agar mengubah nama
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga. Sejak itu Gerakan PKK dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan
nama Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan tanggal 27 Desember
ditetapkan sebagai "Hari Kesatuan Gerakan PKK" yang diperingati setiap
tahun.
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu dalam
upaya

mewujudkan

masyarakat

sejahtera

harus

dimulai

dari

upaya

mensejahterakan setiap keluarga. Sehubungan dengan itu, maka TAP MPR


Nomor : II/MPR/1978 tentang GBHN Bab IV D butir 10 tentang peranan

19

wanita dalam pembanguan telah dengan jelas mengamanatkan kepada kaum


wanita untuk :
1. Berpartisipasi dalam pembangunan
2. Mewujudkan keluarga sejahtera
3. Membina generasi muda
Pada tahun 1978 melalui Lokakarya Pembudayaan PKK di Jawa
Tengah, disepakati 10 Segi Pokok PKK menjadi 10 Program Pokok PKK.
Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga maka keluarga perlu
dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Pemberian bekal
tersebut dilaksanakan antara lain melalui Gerakan PKK yang keberadaannya
tersebar di seluruh Indonesia . Dalam TAP MPR Nomor : IV/MPR/1983
tentang GBHN telah ditetapkan bahwa PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga) adalah salah satu wahana untuk meningkatkan peranan wanita dalan
upaya menyejahterakan keluarga.
Sebagai sebuah organisasi publik maka PKK mempunyai unsur-unsur
organisasi sebagai berikut:
1) Kelembagaan Gerakan PKK
Gerakan PKK dikelola oleh Tim Penggerak PKK yang dibentuk di
Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan.
Hubungan kerja antara Tim Penggerak PKK Pusat dengan Daerah
adalah

bersifat

Konsultatif

dan

Koordinatif

dengan

tetap

memperhatikan hubungan hierarkis. Untuk mendekatkan jangkauan


pemberdayaan kepada keluarga-keluarga secara langsung, dibentuk
kelompok-kelompok PKK RW, RT dan kelompok Dasa Wisma.
Tim Penggerak (TP) PKK
Tim Penggerak (TP) PKK adalah mitra kerja pemerintah, dan
organisasi kemasyarakatan, yang berfungsi sebagai fasilitator,
perencana, pelaksana, pengendali dan penggerak pada
masing-masing tingkat pemerintahan untuk terlaksananya
program PKK. Adapun kriteria keanggotaan TP PKK adalah :
(1) bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia
dan berbudi pekerti luhur. (2) dapat membaca dan menulis
(3) relawan (4) peduli terhadap upaya pemberdayaan dan
kesejahteraan keluarga. (5) bersifat perorangan dan tidak
mewakili suatu organisasi, golongan, partai politik, lembaga

20

atau sektor lain. (6) mempunyai waktu yang cukup (7)

memiliki kemauan dan etos kerja yang tinggi.


Dewan penyantun tim penggerak PKK
Untuk mendukung pelaksanaan program-program gerakan
PKK, dibentuk Dewan Penyantun Tim Penggerak PKK baik
di Pusat maupun di Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan
dan Desa/Kelurahan. Diketuai oleh Mendagri, Gubernur,
Bupati/Walikota, Camat dan Kepala Desa/Lurah. Anggota :
Pimpinan Instansi/Lembaga yang membidangi tugastugas
Pemberdayaan

dan

Kesejahteraan

Keluarga,

para

tokoh/pemuka masyarakat, petugas lapangan Instansi dan


Lembaga Kemasyarakatan yang ditetapkan dengan keputusan

Dewan Penyantun
Kelompok PKK adalah kelompok kelompok yang berada di
bawah tim penggerak PKK Desa/kelurahan yang dapat

dibentuk berdasarkan kewilayahan atau kegiatan.


Kelompok Dasa Wisma adalah Kelompok yang terdiri dari
10-20 kepala keluarga, yang diketuai oleh salah seorang
ketua yang dipilih, sebagai kelompok potensial terdepan

dalam pelaksanaan program PKK.


2) Visi dan Misi Organisasi
Gerakan PKK bertujuan memberdayakan keluarga untuk
meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin menuju terwujudnya
keluarga yang berbudaya, bahagia, sejahtera, maju, mandiri, hidup
dalam suasana harmonis yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sasaran Gerakan PKK adalah keluarga
di pedesaan dan perkotaan yang perlu ditingkatkan serta dikembangkan
kemampuan dan kepribadiannya. Program pokok Gerakan PKK
meliputi ; Penghayatan dan Pengamalan 4 Lihat Keputusan Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia Nomor 53
tahun 2000 tentang Gerakan Pemberdayaan dan kesejahteraan
Keluarga. Pancasila, Gotong Royong, Pangan, Sandang, Perumahan dan
tata laksana rumah tangga, Pendidikan dan Ketrampilan, Kesehatan,

21

Pengembangan kehidupan berkoperasi, Pelestarian lingkungan hidup,


Perencanaan sehat.
Dengan melihat kedudukan yang bersinergi dengan tugas dan fungsi
dari organisasi PKK maka dapat dilihat bahwa peran PKK adalah sebagai agen
pendukung program kesejahteraan keluarga dari pemerintah berupa programprogram yang sifatnya memberdayakan. PKK yang merekrut anggota sampai
lapisan bawah masyarakat diharapkan mampu membawa pada kondisi keluarga
yang sejahtera, yaitu keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasar
manusia baik secara material, sosial, mental dan spiritual serta keluarga yang
berdaya yaitu keluarga yang hidup sejahtera, maju dan mandiri. Selain itu,
PKK diharapkan mampu membebaskan perempuan dari belenggu budaya
patriarkhi, sehingga memiliki kemandirian. Melalui PKK diharapkan harkat
dan martabat perempuan sebagai bagian dari keluarga dapat ditingkatkan.
(Parimartha: 2013)
Artinya peran yang diharapkan dari adanya organisasi PKK adalah
sebuah gerakan membangun dan antisipatif. Namun, dengan adanya temuan
bahwa Kota Malang gagal membebaskan diri dari gizi buruk. Saat ini sebanyak
15 balita mengalami gizi buruk. "Asupan gizi rendah, sebagian besar dari
keluarga miskin," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Supranoto
(tempo.com: 2013) . Hal ini mengindikasikan bahwa selain peran instansiinstansi pemerintah terkait belum maksimal, juga mengindikasikan peran PKK
masih belum optimal dalam menjalankan perannya sebagai pemberdaya
masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Prof.
Dr. I Gde Parimartha, M.A. maka dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor yang
menghambat organisasi PKK untuk berperan optimal. Dalam hal ini penulis
membaginya menjaadi faktor internal dan faktor eksternal organisasi:
1. Faktor Internal Organisasi
Faktor internal adalah faktor-faktor gangguan yang muncul dari
dalam organisasi. Dalam hal ini yang menjadi salah satu faktor
penghambat internal adalah dengan munculnya paradigma dari atas
ke bawah (top down) yang memberikan pengaruh dan kontrol
untuk mendominasi kebijakan dan pelaksanaan program organisasi
melalui dewan penyantun. Temuan pertama ini tentu akan
menghambat pertumbuhan kretivitas dan partisipasi dari anggota
22

PKK. Kemudian ada kecenderungan aktivitas TP PKK hanya


sebatas memberi bantuan saja, yang merupakan kegiatan yang
bersifat penanggulangan. Temuan kedua, eksistensi PKK memberi
wadah kepada perempuan untuk beraktivitas dalam kecenderungan
koridor kekuasaan (laki-laki). Dengan latar belakang budaya
patriarki, hal ini wajar terjadi kepada kaum wanita di Indonesia.
tetapi hal ini bisa menjadi faktor penghambat jika kekuasaan lakilaki itu membatasi ruang gerak perempuan sebagai Sumber Daya
Manusia dalam organisasi PKK. Temuan ketiga, PKK di kota
Malang telah melakukan upaya menuju kesetaraan dan keadilan
gender, yang diperlihatkan dengan keterlibatan laki-laki dalam
kepengurusan, meskipun eksistensinya belum berpengaruh secara
signifikan terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
program organisasi, karena PKK masih berorentasi pada kebijakan
dari atas (top down). Merupakan dampak susulan dari temuan
pertama,

yang

selain

mengganggu

kinerja

anggota,

juga

mengganggu implementasi visi dan misi dalam bentuk programprogram kerja yang seharusnya.
2. Faktor Eksternal Organisasi
Sedangkan, dari faktor ekternal organisasi yakni segala pengaruh
penghambat yang datang dari luar organisasi datang dari dinasdinas yang memiliki tugas yang mirip kurang memberdayakan
organisasi PKK. Kemudian adanya hegemoni dari penguasa hirarki
politik.
3.2 Optimalisasi Peran PKK Melalui Konsep Capacity Building
Dengan segala faktor yang membuat peran organisasi PKK di kota
Malang maka penulis mencoba mengkajinya melalui konsep Capacity
Building, sebuah konsep yang meningkatkan kemampuan personal dan
institusional untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Sebagaimana beberapa ide
dasar yang disampaikan oleh PBB

(dalam Imawan, et.al :2006:20)

menjelaskan bahwa:
ide dasar yang menjadi fondasi bagi upaya peningkatan kapasitas.
Terdapat lima ide dasar yang secara keseluruhan berupaya untuk meningkatkan
kapasitas lokal, melalui upaya sistematis yang dilakukan oleh pemerintah, baik

23

di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintah lokal. Kelima ide dasar tersebut
adalah pertama, peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat memeperoleh
penghidupan

yang

berkelanjutan,

kedua

pendekatan

multisektor

dan

multidisiplin untuk perencanaan dan implementasi, ketiga memperhatikan


perkembangan struktur organisasi dan teknologi, keempat empati terhadap
sosial kapita yang dapat dibangun melalui experimentasi dan kelima upaya
peningkatan skills dan kemampuan personal dan institusi.
Dari penjabaran di atas, dapat dilihat dalam upaya pengoptimalan
kapasitas organisasi publik maka pertama yang harus diperhatikan kondisi
masyarakat sekitar, dengan demikian maka setidaknya organisasi publik
tersebut sudah memiliki pendekatan dalam proses perumusan sampai
implementasi kebijakan. Dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang
semakin dinamis maka dalam proses pemenuhannya diperlukan sarana dan
prasana yang berkembang dan mampu menjawab tantangan-tantangan di
kemudian hari. Oleh sebabnya peningkatan kemampuan dan keahlian baik
personal dan lembaga harus menjadi prioritas dalam konsep Capacity Building.
Maka dalam upaya pengembangan kapasitas ini penulis menggunakan
dimensi dan fokus dari konsep Capacity Building sebagaimana yang
dikemukakan oleh Grindle (dalam Udin : 2010)
1) Dimensi pengembangan sumber daya manusia. Inti fokus dari dimensi
ini adalah bagaimana mewujudkan ketersediaan tenaga kerja yang
profesional dan personil teknis. Dalam prakteknya, hal ini diwujudkan
pada aktivitas berupa adanya training, sistem upah, kondisi kerja dan
rekruitmen.
Maka dalam hal ini sesuai dengan saran dari Drs. Mardiya yang mana
perlu dilakukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan TP PKK
melalui pendidikan dan pelatihan, orientasi, seminar dan sejenisnya
yang dilakukan oleh TP PKK di level yang lebih tinggi dengan
memanfaatkan tenaga-tenaga yang ahli di bidangnya; kemudian guna
mengatasi keterbatasan waktu dan tenaga, TP PKK perlu mendidik
secara profesional tenaga penyuluh yang khusus untuk membantu
tugas-tugas KIE-konseling yang diemban oleh TP PKK. Tenaga
penyuluh yang dimaksud berposisi seperti Juru Penerang (Jupen)
sehingga kebijakan dan program maupun kegiatan yang hendak
24

dijalankan oleh TP PKK Desa dapat segera diketahui oleh masyarakat


umum maupun anggota PKK di seluruh pelosok wilayah.
2) Dimensi penguatan organisasi. Pada dimensi ini, yang menjadi fokus
sasarannya adalah bagaimana merancang sistem manajemen yang dapat
menjadi stimulus dalam meningkatkan kinerja tugas dan fungsi spesifik
mikrostruktur. Yang diwujudkan pada beberapa aktivitas yaitu adanya
sistem intensif, pemanfaatan personil, leadership, kultur organisasi,
komunikasi dan struktur manajerial.
Dalam hal ini yang perlu dilakukan oleh organisasi PKK adalah
merubah sistem kaderisasi dan pergantian pemimpin, bahwa pemimpin
PKK tidak harus istri dari pemimpin politik yang sedang menjabat.
Kemudian sesuai dengan pendapat Drs. Mardiya perlu adanya
meningkatkan sumber-sumber pendanaan untuk memperlancar kegiatan
TP PKK baik melalui APBDes, APBD maupun APBN. Selain itu bila
memungkinkan, dukungan dana dari para pengusaha atau donatur
lainnya juga sangat diperlukan terutama untuk membiayai berbagai
kegiatan yang mengerahkan massa seperti bazar, pasar murah, pameran
produk dan sebagainya;
3) Dimensi reformasi kelembagaan. Dimensi ini berfokus pada bagaimana
menciptakan institusi dengan sistem dan makro struktur yang efektif
dan efisien melaui pembentukan aturan main, rezim ekonomi dan
politik, perubahan kebijakan dan hukum serta reformasi konstitusional.
Untuk mengoptimalkan kegiatan gerakan PKK pada dimensi ini,
sependapat dengan Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A. bahwa perlu
adanya

dukungan

masyarakat,

lembaga

masyarakat,

lembaga

pemerintah, dan dunia usaha yang bekerjasama dalam bentuk kemitraan


sebagai tanggungjawab sosial seluruh komponen bangsa dalam
mewujudkan kesejahteraan keluarga. Pelaksanaan kegiatan Gerakan
PKK

dapat

dilakukan

bekerjasama

dengan

lembaga-lembaga

asing/internasional, dengan berpedoman kepada peraturan perundangan


yang berlaku.
Dengan demikian diharapkan melalui konsep peningkatan kapasitas ini dapat
membantu PKK sebagai organisasi publik untuk berperan secara optimal dalam
menyejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat kota Malang.
25

26

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Peran PKK di Kota Malang sangat penting dalam
mewujudkan kesejahteraan keluarga, mengingat tidak semua
jangkauan organisasi publik bisa menyentuh lapisan masyarakat
terkecil seperti organisasi PKK. Namun secara empirik peran PKK
belum mampu mewujudkan kesejahteraan keluarga khususnya di
kota Malang dengan cara pemberdayaan. Hal ini dikarenakan
berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Prof. Dr. I
Gde Parimartha, M.A bahwa terdapat berbagai faktor yang
dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal organisasi. Oleh
karena itu, guna menjawab permasalahan yang terjadi dalam peran
organisasi PKK maka ditawarkan sebuah konsep Capacity
Building yaitu konsep pengembangan kapasitas organisasi dengan
fokus pengembangan pada tiga dimensi yaitu: dimensi sumber
daya manusia, dimensi penguatan organisasi dan dimensi reformasi
kelembagaan. Perubahan

ini harus

dilakukan agar

dalam

menjalankan perannya organisasi PKK dapat menuai hasil yang


optimal, yakni tercapainya kesejahteraan keluarga di Kota Malang.
4.2 Saran
1. Bagi Pemerintah
Hendaknya lebih mendukung peran PKK dalam pelaksanaan
berbagai program melalui penetapan sistem pendanaan yang
berkelanjutan
2. Bagi TP PKK
Hendaknya mengkaji kembali dan membangun kembali kapasitas
organisasi dengan konsep Capacity Building
3. Bagi Masyarakat
Hendaknya lebih partisipatif dalam menyambut segala macam
program

pemerintah,

terutama

yang

menyangkut

dengan

pemberdayaan masyarakat.

27

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu.1982 .Psikologi Sosial. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Amir,Imbaruddin.2003. Understanding Institutional Capacity

Of

Local

Government Agencies In Indonesia. Canberra: A Thesis Submitted For The


Degree Of Doctor Of Philosophy Of The Autralian National University
Anonim. 2008. Sejarah Berdirinya Tim Penggerak PKK. Diakses melalui
sejarahpkk.blogspot.com pada tanggal 23 bulan desember tahun 2013
GTZ (Deutsche Gesellschaft For Technische Zusamenarbeit). 2003.The Concept
Of Capacity Building Needs. Jakarta: Kerjasama Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia
Hardjanto, Imam. 2006. Pembangunan Kapasitas Lokal (Local Capacity
Building). Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya
Harsono, Widi. 2006. Pengembangan Sumber Daya Aparatur dalam Menunjang
Pelaksanaan Otonomi Daerah Sutu Kajian Tentang Persiapan, Bentuk
dan Proses Pengembangan Kabupaten Banyuwangi. Malang : Disertasi
Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
Imawan, Riswanda,et.al. 2006. Pengembangan Model Instrumen Peningkatan
Kapasitas

Pemerintah

Daerah

Untuk

Mendukung

Desentralisasi.

Yogyakarta: Final Report Kerjasama DEPDAGRI Dengan POLOKDA


Universitas Gadjah Mada
Kozier, Barbara.1995. Fundamental Of Nursing. California: Copyright By Addist
Asley Publishing Company
Komarudin .1994. Ensiklopedia Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara
Mardiya. Optimalisasi Peran TP PKK Dalam Membangun
Keluarga Sehat Berketahanan. Diakses melalui www.kulonrogokab.go.id pada
tanggal 27 bulan Desember tahun 2013
Marison, Terrace.2001. Actionable Learning-A Hanbook For Capacity Building
Through Case Based Learning. ABD Institute
Milen, Anneli. 2001.What Do We Know About Capacity Building: An Overview
Of Exiting Knowledge And Good Practice. Geneva: World Health
Organization.
Parimartha, I Gde. Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Di Kota
Malang: Dalam Perspektif

Kajian Budaya. Diakses melalui www.

ojs.unud.ac.id pada tanggal 27 bulan Desember tahun 2013


Priharsanti, Amelia. 2011. Peran Dan Potensi Gerakan PKK Serta Model
Pemberdayaannya Bagi Perempuan Dalam Rangka Membantu Ekonomi
Keluarga: Studi Pada Beberapa Kelompok Usaha PKK Di Malang Raya.

28

Diakses melalui www.elibrary.ub.ac.id pada tanggal 27 bulan Desember


2013.
Rasyid, Ryaas. 1996.

Makna Pemerintahan: Tujuan dari Segi Etika

Kepemimpinan, Jakarta: PT. Yasir Watampone.


Ratnasari, Deasy Dwi. 2013. Optimalisasi Peran Koperasi Wanita Dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Anggota: Studi Pada Koperasi Wanita Potre
Koneng Kabupaten Sumenep. Malang : Skripsi Program Strata Satu Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya
Soekanto,Soerjono.1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Press
Stephen, Robbins P. 1994. Teori Organisasi Struktur, Desain dan Aplikasi,
Terjemahan Juyuf Udaya, Edisi 3, Jakarta: Arcan Indonesia.
Soeprapto, Riyadi.2005. Reformasi Administrasi Publik. Malang: Program Pasca
Sarjana Universitas Brawijaya
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia.1990. Kamus Besar Bahasa
Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka
Thoha, Miftah. 2008. Perilaku Organisasi Konsep Dasar Dan Aplikasinya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Udai, Pareek. 1985. Mendayagunakan Peran-Peran Keorganisasian: Tinjauan
Atas Teori Motivasi Dan Efektivitas Peran Untuk Mengoptimalkan Potensi
Karyawan. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo
Udin, Hamim. 2010. Model Pengembangan Sumber Daya Aparatur Dalam
Perspektif Capacity Building : Studi Di Pemerintah Kabupaten Bone
Bolango Provinsi Gorontalo. Malang: Disertasi Program Doktor Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya.
Widianto, Eko. 2013. Kota Malang Gagal Terbebas dari Gizi Buruk. Diakses
melalui www.tempo.co pada tanggal 29 bulan desember tahun 2013

29

You might also like