Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat pra-modern dan modern telah terjadi hirarki komando yang setiap
orang harus mematuhi. Agar sistem untuk beroperasi harus ada seseorang yang bertanggung
jawab atau dikenal sebagai otoritas. Menurut Weber kekuasaan adalah kekuatan diterima
secara sah oleh mereka mengalami itu. Weber menguraikan tiga bentuk otoritas dalam
masyarakat modern tradisional karismatik dan rasional-hukum. Bentuk-bentuk otoritas adalah
jenis murni ideal yang jarang murni dalam kehidupan nyata.
Rasional-hukum otoritas adalah keyakinan akan legalitas pola aturan baku dan hak
mereka yang tinggi untuk kewenangan sesuai aturan seperti perintah masalah. Otoritas
dipegang oleh perintah impersonal secara hukum dan meluas ke orang dengan berdasarkan
kantor mereka pegang. Kekuatan pejabat pemerintah ditentukan oleh kantor-kantor yang
mereka ditunjuk atau dipilih karena kualifikasi masing-masing. Selama individu memegang
kantor-kantor mereka memiliki sejumlah kekuasaan tapi begitu mereka meninggalkan kantor
rasional-hukum otoritas mereka hilang
Ada berbagai cara yang rasional-otoritas hukum bisa berkembang. Sistem hukum dan
peraturan berkembang di banyak masyarakat dan ada prinsip-prinsip yang berbeda dari
legalitas yang bisa terjadi. Dengan pengembangan sistem rasional-hukum tersebut ada
kemungkinan menjadi sistem politik yang menjadi dirasionalisasi dengan cara yang sama.
Terkait dengan sistem politik konstitusi dokumen tertulis dan kantor mapan regularized mode
representasi pemilihan umum reguler dan prosedur politik. Ini dikembangkan sebagai oposisi
terhadap sistem sebelumnya seperti monarki atau bentuk tradisional lainnya di mana ada
berkembang dengan baik seperangkat aturan no.
Sebagai sistem politik berkembang secara rasional otoritas mengambil bentuk hukum.
Mereka yang mengatur baik memiliki atau tampaknya memiliki hak hukum yang sah untuk
melakukannya. Mereka yang bawahan dalam sistem ini menerima keabsahan penguasa
percaya kepada hak mereka yang memiliki hak hukum untuk menjalankan kekuasaan.
Mereka yang memiliki kekuatan kemudian menjalankan kekuasaan berdasarkan hak ini
legitimasi.
Rasional-hukum otoritas dapat ditentang oleh mereka yang bawahan tapi tantangan ini
tidak mungkin untuk menghasilkan perubahan dalam sifat sistem sangat cepat. Menurut
Weber perebutan kekuasaan tersebut dapat didasarkan pada etnis nasionalisme tidak classism
dan sebagian besar perjuangan politik.
Pemeriksaan Weber otoritas yang sah dipimpin dia untuk mendefinisikan sebuah tipe
ideal birokrasi. Sebuah tipe ideal-adalah jenis murni rasional dan sistematis dibangun dari
tindakan yang jarang bisa terjadi di realitas dan digunakan sebagai alat ukur untuk
BAB II
PEMBAHASAN
1. Charismatic authority
Otoritas karismatik yaitu suatu kepatuhan yang dibenarkan karena orang yang
memberikan tatanan memiliki beberapa kesucian atau semua karakteristik yang dikenal. Di
sini, pemimpin menggerakkan yang dipimpin atas dasar kharisma atau wibawa yang
dimilikinya, dan wibawa atau kharisma ini merupakan sebuah kualitas diri yang batiniah
yang tak bisa diberikan atau dibagikan kepada pihak yang lain. Kharisma atau wibawa
merupakan sebuah kualitas diri yang tak kasat mata, namun auranya terasakan oleh mereka
yang dipimpin dan aura kharisma atau wibawa inilah yang sanggup menggerakkan mereka
yang dipimpin. Dalam kehidupan kita sehari-hari, tipe otoritas yang demikian barangkali
terepresentasikan dalam kepemimpinan sebagian tokoh agama.
Otoritas karismatik ada ketika kontrol orang lain didasarkan pada karakteristik pribadi
seseorang seperti keahlian etis heroik atau agama yang luar biasa. Apakah kekuatan tersebut
sebenarnya ada tidak relevan fakta bahwa pengikut percaya bahwa kekuatan seperti itu ada
adalah apa yang penting.
Weber menganggap karisma menjadi mengemudi dan kekuatan kreatif yang surge
melalui otoritas tradisional serta peraturan yang ditetapkan. Satu-satunya dasar otoritas
karismatik adalah pengakuan atau penerimaan dari klaim pemimpin oleh pengikut. Otoritas
karismatik bisa menjadi revolusioner di alam menantang otoritas tradisional dan terkadang
rasional-hukum. Tipe otoritas ini dengan mudah bisa berubah menjadi otoritas tradisional di
mana kekuasaan tersebut dilakukan oleh mereka yang mengelilingi pemimpin karismatik.
Dalam tipe ini, orang-orang bersedia untuk menaati atau mematuhi sebuah
kepemimpinan tertentu atas dasar keyakinan mereka akan kharisma atau wibawa yang
dimiliki oleh sang pemimpin. Karena kharisma atau wibawa itu diyakini bersumber dari
kekuatan yang sakral, maka tidak sembarang orang yang bisa mendapatkannya. Jadi, seorang
yang memilikinya akan dianggap sebagai pertanda bahwa dia telah memiliki kualifikasi
untuk menjadi pemimpin mereka. Kepemimpinan di sini dibangun di atas landasan
keyakinan orang-orang akan kesakralan sang pemimpin yang tak boleh dipertanyakan.
Termasuk yang diyakini dalam kesakralan itu ialah kemampuan sang pemimpin untuk
mengetahui segala-galanya atas perkehidupan dari mereka yang dipimpin, dan karena maha
tahu, maka sang pemimpin bagi orang-orang yang dipimpinnya merupakan pembimbing
mereka menuju ke surga bersama. Jadi, menjadi tugas sang pemimpin untuk memberikan
kompas panduan ke arah mana masyarakat itu akan melangkah dan bergerak sekaligus
bagaimana cara menuju ke sana. Tugas dari orang-orang yang dipimpin ialah tinggal
Konsekuensi dari tipe otoritas yang demikian ialah bahwa mereka yang dipimpin akan
mudah sekali kehilangan arah tujuan hidupnya manakala sang pemimpin tak lagi berada di
antara mereka. Kematian sang pemimpin identik dengan matinya kompas pemandu
tujuan hidup mereka. Masyarakat akan kehilangan pegangan hidup sehingga
biasanya kemudian terjadi disintegrasi atau perpecahan dalam masyarakat tersebut
karena tak ada sosok yang bisa menyatukan kemauan dan gerak langkah
masyarakat tersebut. Di sisi lain, ketergantungan terhadap sosok sang pemimpin juga
menjadikan kemampuan-kemampuan menentukan arah tujuan hidupnya tak berkembang
dalam diri yang dipimpin. Mereka yang dipimpin tak terlatih untuk mengembangkan
kemampuan memilih tujuan hidupnya sendiri maupun cara bagaimana mencapai tujuan
tersebut.
Maka, tipe otoritas yang demikian berfungsi ideal pada situasi-situasi dimana
kehidupan yang melingkupi sebuah masyarakat masih begitu sederhana dan problem-problem
yang muncul bisa diselesaikan dengan cara-cara yang sederhana. Dengan kesederhanaan
situasi dan problem itu, maka sosok pemimpin akan bisa menjalankan fungsinya sebagai
yang maha tahu. Sang pemimpinlah yang bertugas memberikan jawaban atas banyak
persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin.
Tipe ini akan menjadi problematik manakala kehidupan telah menjadi
sedemikian kompleks, ruang kehidupan semakin saling terkait secara luas dan dinamika
kehidupan semakin cepat. Jika semua problem lantas harus menunggu jawaban dari sang
pemimpin, maka akan ada banyak energi dan waktu yang terbuang percuma hanya
untuk menunggu. Organisasi pemerintahan yang ada pun lantas menjadi lamban
dan tak responsif terhadap tantangan- tantangan yang terus muncul. Secara keseluruhan,
bangunan sosial politik yang didasarkan pada tipe otoritas semacam ini akan menjadi rapuh
justru karena ketergantungannya kepada satu figur karismatik.
2. Traditionally authority
Otoritas tradisional adalah otoritas di mana legitimasi tokoh otoritas didasarkan
sekitar kustom. Legitimasi dan kekuatan untuk kontrol diturunkan dari masa lalu dan
kekuatan ini dapat dilaksanakan dengan cara yang cukup diktator. Ini adalah jenis otoritas
dalam mana hak-hak tradisional individu yang kuat dan dominan atau kelompok diterima
atau setidaknya tidak ditantang oleh individu bawahan. Hal ini bisa agama suci atau spiritual
bentuk mapan dan pelan-pelan berubah budaya atau suku keluarga atau struktur marga jenis.
Menurut Weber otoritas tradisional adalah sarana yang ketidaksetaraan yang
diciptakan dan dipelihara. Jika tidak ada yang menantang otoritas tradisional atau pemimpin
kelompok pemimpin akan tetap dominan.
Dalam tipe otoritas yang kedua ini, ketaatan dan kepatuhan orang-orang didasarkan
pada adat kebiasaan yang telah dijalankan secara generasi bergenerasi. Kesetiaan pada adat
kebiasaan menjadi nilai yang diutamakan. Di sini, sang pemimpin mendapatkan legitimasinya
sebagai seorang pemimpin karena perannya sebagai penjaga dan penerus tradisi.
Jika dalam tipe pertama, sang pemimpin masih berkewajiban untuk mengembangkan
kualitas dirinya karena keharusan untuk maha bisa memberikan arah dan
jawaban bagi persoalan-persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin, dalam
tipe kedua ini sang pemimpin tak harus menjadi maha tahu karena telah ada adat tradisi
yang menjadi landasan bagi arah gerak aktivitas yang harus dijalankan. Tatanan lama yang
telah mapan menjadi dasar patokan penilaian bagi tepat atau tidak tepatnya sebuah tindakan.
Sebagai konsekuensinya, tak mudah untuk melakukan sebuah perubahan sosial dalam
tatanan yang sedemikian karena kesetiaan pada tradisi menjadi keutamaan. Setiap usaha
untuk melakukan perubahan pada adat kebiasaan maupun struktur yang telah ada, akan selalu
berhadapan dengan resistensi yang kuat.
Baik
sang
pemimpin
maupun
aparatur
yang
menjalankan
roda
pemerintahannya akan menjalankan peran-perannya atas dasar adat kebiasaan yang telah
berlangsung selama generasi bergenerasi. Tentu saja, hal ini menjadikan baik sang pemimpin
maupun aparaturnya rendah motivasinya untuk mengembangkan kualitas-kualitas terbaik
dalam dirinya karena tetap adat kebiasaanlah yang pada akhirnya menentukan.
Seperti halnya tipe otoritas yang pertama, tipe otoritas yang kedua ini juga hanya akan
berfungsi dengan baik dalam situasi-situasi dimana cara-cara tradisional bisa menjawab
problem-problem yang muncul. Dengan kata lain, ini berarti bahwa problem-problem yang
muncul haruslah juga merupakan problem-problem yang memiliki karakteristik yang sama
atau serupa dengan problem-problem yang dulu pernah berhasil dengan cara-cara tradisional.
Persoalannya ialah apakah kita masih berada dalam sebuah dunia dimana problem-problem
yang muncul tak lain dari pengulangan problem-problem yang pernah ada.
Dalam kasus birokrasi, cara-cara dan kebiasaan lama malah menjadikan kita
tertinggal. Kerja birokrasi yang didasarkan cara-cara dan adat kebiasaan yang lama
seringkali malah lebih suka mempermasalahkan bagaimana melestarikan cara dan
kebiasaan lama ketimbang pada bagaimana menghadapi problem-problem baru.
Sebagai akibatnya, setiap kali berhadapan dengan problem-problem yang memiliki
karakteristik yang berbeda dari yang dulu pernah dihadapi dengan cara-cara lama, birokrasi
mengalami kegagapan. Secara luas, perilaku ini malah akan menghancurkan daya cipta
masyarakat. Lemah motivasi dan miskin inovasi menjadi potret umum dari birokrasi maupun
masyarakat yang masih mendasarkan diri pada tipe otoritas kedua ini.
Ciri-ciri utama wewenang tradisional :
Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang yang hadir
secara pribadi.
3. Rational-legal authority
Otoritas legal merupakan pemberian wewenang atau otoritas yang bersumber dari
hukum atau peraturan perundang-undangan. Model otoritas ini cenderung mengutamakan
birokrasi (politik dan ekonomi). Model kepemimpinan semacam ini biasanya diterapkan di
negara-negara modern atau di kota-kota, badan hukum baik miliki pribadi atau serikat.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dalam struktur birokrasi tersebut dipimpinan
oleh seseorang yang memiliki kharismatik sehingga hasil atau capaian cukup berbeda dan
fleksibel.
Pada model otoritas yang ketiga ini, kepatuhan dan kesediaan orang-orang lebih
didasarkan pada aturan-aturan yang disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip dan cara-cara
rasional. Di sini, bukan karisma pemimpin atau adat kebiasaan yang menjadi dasar ketaatan,
namun hukum-hukum yang dibentuk secara tertulis dan berdasarkan pertimbanganpertimbangan rasional. Yang mungkin menarik untuk dipertanyakan ialah: Mengapa orangorang bersedia untuk patuh pada aturan-aturan dan hukum-hukum yang tertulis yang
mungkin sama sekali tak pernah dia ketahui bagaimana dan darimana bisa terbentuk?
Kepatuhan ini sesungguhnya berkaitan dengan perkembangan rasionalitas masyarakat
itu sendiri. Ketika pemimpin yang ada maupun struktur dan kultur tradisi yang ada dianggap
tak lagi memadai untuk bisa mewadahi dan mewujudkan aspirasi-aspirasi masyarakat, maka
pada saat itulah muncul pertanyaan: Jika kharisma pemimpin atau tradisi yang
ada tak lagi bisa diandalkan sebagai jawaban untuk mencapai tujuan hidup bersama,
namun malah digunakan sebagai dalih untuk melanggengkan ketidakadilan dan diskriminasi
sosial politik yang ada, maka apalagi yang bisa dijadikan sebagai dasar landasan bagi suatu
otoritas?
Kepercayaan terhadap kharisma maupun terhadap tatanan dan adat kebiasaan yang
lama, yang tumbuh dari alam kesadaran yang fatalis, surut secara pasti. Usaha membangun
kehidupan bersama tak lagi bisa diserahkan kepada kharisma atau cara-cara lama. Usaha
itu harus didasarkan pada pembacaan dan analisis empiris atas keseluruhan situasi yang ada,
dan kemudian merumuskan, merencanakan serta menjalankan cara-cara yang dinilai
paling efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Agar usaha membangun tujuan bersama itu berhasil, maka dibutuhkan kerjasama
kolektif dari seluruh anggota kehidupan bersama. Harus ada gerak langkah yang serempak
dan harmoni satu sama lain. Kalau sebelumnya, penyelarasan gerak langkah dari seluruh
elemen masyarakat itu dilakukan oleh seorang pemimpin atau oleh penjaga adat kebiasaan
yang lama, maka dalam dunia yang rasional, penyelarasan itu dilakukan oleh aturanaturan yang ditetapkan secara eksplisit dalam artian tertulis dan disebarluaskan ke seluruh
masyarakat. Dengan kata lain, hukum-lah yang menjadi alat penyelaras dari seluruh gerak
langkah guna mencapai tujuan bersama. Ini berarti bahwa masyarakat pun harus dididik
untuk menjadi masyarakat yang rasional agar bisa menginternalisasi hukum tersebut dan
pengembangan rangkaian kaidah dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan
aktivitas organisasi.
Kedua, spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi
pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan tugas yang rumit.
Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka
produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.
Ketiga, hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota
organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu
mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan
tugas-tugas organisasi.
Keempat, pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang
mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka.
Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang
berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
Kelima, mampu tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung jawab
memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda. Mampu
tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan
anggota organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.
Keenam, impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara
anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas organisasi. Menurut
prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan
mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang
tinggi dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah
dari anggota organisasi individu.
Ketujuh, uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota
organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus
mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka
lakukan.
Kedelapan, rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian
tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas organisasi. Menurut prinsip dasarnya,
organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa
diprediksikan.
Menurut Weber, jika kedelapan karakteristik di atas diaplikasikan ke dalam Birokrasi
maka Birokrasi tersebut dapat dikatakan legal-rasional. Weber juga menyatakan, birokrasi itu
sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas
bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek disiplin. Sebab itu, Weber
juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada
aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami,
dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Kolegialitas.
Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu
keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu
keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah
korupsi kekuasaan.
Pemisahan Kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama
antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu
keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut
Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
Administrasi Amatir.
Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orangorang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat
melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia)
kerepotan menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi
kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang
mendampingi dan mengawasi selama pelaksanaan tugas tersebut.
Demokrasi Langsung.
Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggungjawab kepada suatu
majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden
guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini
berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat
secara keseluruhan.
Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat
mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat
diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian
tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Dalam pandangan Weber, jika suatu organisasi memiliki dasar-dasar berupa prinsipprinsip sebagaimana dikemukakan tersebut di atas, maka organisasi tersebut akan dapat
mengatasi ketidakefisienan dan ketidakpraktisan yang sangat tipikal yang ditemukan pada
banyak organisasi pada masa itu. Weber juga melihat bahwa birokrasi merupakan bentuk
paling efisien dari suatu organisasi dan merupakan instrumen yang paling efisien dari
kegiatan administrasi berskala besar.
https://minyakoles.wordpress.com/2012/07/21/max-weber-tipologi-bentuk-otoritastradisional-rasional-legal-dan-karismatik/
Handayani,
Thi
Thy.
2016.
Tiga-Tipe-Otoritas.
Online.
https://id.scribd.com/doc/100490280/Tiga-Tipe-Otoritas. Di akses pada 22 Oktober 2016.
Tekniker,
Ezkhel.
2013.
Birokrasi
Max
Weber.
Online.
http://bengkelbarney.blogspot.co.id/2013/10/birokrasi-max-weber.html . Di akses pada 22
Oktober 2016.
http://bengkelbarney.blogspot.co.id/2013/10/birokrasi-max-weber.html
http://pujisripujiati.blogspot.co.id/2013/09/max-weber-tindakan-birokrasi.html
https://communicationista.wordpress.com/2009/12/19/max-weber-theory-of-bureaucracy/
http://dokumen.tips/documents/tiga-tipe-otoritas.html