You are on page 1of 25

Definisi HIV dan AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis
dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama
limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah masker atau penanda yang berada di permukaan
sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi
infeksi yang masuk ke tubuh manusia (KPA, 2007c) (Wibisono, 1990).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akibatnya berdatangan berbagai jenis penyakit lain. (Wibisono, 1990).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam satu sel atau
media hidup. Seorang yang mengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS,
apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai
infeksi baik dari virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini dikenal dengan
infeksi oportunistik (Wibisono, 1990).
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut (3-6 minggu setelah terinfeksi).
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam/kemerahan, diare atau batuk (Wibisono, 1990).

Gejala dan Tanda Penyakit AIDS/HIV


1. Diare
Diare adalah seperti kebiasaan yang tidak menakutkan, tetapi perlu diketahui bahwa
diare bisa saja mengancam jiwa. JIwa yang terjadi secara berkepanjangan merupakan
tanda dari menurunnya kekebalan tubuh. Kalau ini tidak kunjung sembuh untuk waktu
lama, anda harus waspada terhadapnya, diare yang berkepajangan bisa merupakan
gejala

dari

AIDS.

2. Depresi yang berkepanjangan


Depresi atau feeling blue ini pernah di alami siapa saja, kalau rasa dan perasaan
depresi ini hanya berlangsung dalam waktu singkat anda mungkin tidak perlu
khawatir, tetapi kalau perasaan depresi terjadi dalam waktu lama ini patut anda
perhitungkankan, karena bisa saja depresi ini adalah gejala dari penyakit AiDS.
3. Sariawan berkepanjangan
Sariawan mungkin terdengar biasa saja dan tidak menakutkan. Tetapi kalau sariawan
ini terjadi dalam waktu lama anda patut mewaspadainya, karena Virus HIV juga
memunculkan sariawan dalam proses menyerang kekebalan tubuh. Kalau ini terjadi
maka infeksi oportunik bisa terjadi seiring menurunnya kekebalan tubuh.
4. Asidosis Laktat
Ini adalah bentuk lain dari efek pada orang yang telah menjalani pengobatan HIV.
Proses ini terjadi ketika tubuh seseorang sangat asam karena tubuh memproduksi
banyak

asam

laktat.

5. Berat badan menurun


6. Kelelahan
Seseorang yang telah terinfeksi hiv maka otomatis tubuhnya akan sering merasakan
kelelahan. Kelelahan ini terjadi karena sistem kekebalan tubuh tidak lagi berfungsi
secara

normal.

7. Infeksi sinus
Ini benar-benar menyakitkan bagi yang mengalaminya, tekanan yang terjadi dibalik
mata sungguh menyakitkan penderitanya, belum lagi sakit kepala yang terjadi. Ini
adalah gejala umum penderita AIDS.
Manifestasi HIV Rongga Mulut
A. Thrush
Candida oral biasa ditemukan pada penderita HIV/AIDS, jarang pada penderita nonHIV/AIDS.
B. Leukoplakia

Hiperkeratinisasi dan infeksi virus Epstein Barr sering menimbulkan hairy leukoplakia yang
jarang ditemukan pada penderita non-imunokompromis.
C. Gingivostomatitis
Kondisi rongga mulut penderita HIV-AIDS dapat sangat buruk sehingga mudah terkena
stomatitis. Ulkus sangat sering terjadi pada penderita HIV-AIDS, baik disebabkan infeksi
atau trauma. Ulkus yang disebabkan HIV mempunyai gambaran klinis:
1. Non-keratin
2. Terdapat pseudomembran
3. Ukuran lesi :
- Minor > 5 mm
- Mayor 1-3 cm
- Herpetiform 1-2 mm
4. Dapat lesi tunggal atau multipel
5. Nyeri
6. Kemerahan di sekitar ulkus
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan titer CD4+ < 100 sel/L. Ulkus dapat ditemukan
di daerah mukosa bukal dan labial, palatum molle, dan lidah.
Klasifikasi Stadium AIDS menurut WHO
Stadium 1
Tampa gejala, pembengkakan klenjar getah bening diseluruh tubuh yang menetap, tinggkat
aktivitas 1 : tampa gejala, aktivitas normal.
Stadium 2
Kehilangan berat badan, kurang dari 10% : gejala pada mukosa dan kulit yang ringan
( dermatitis semboroik ,infeksi jamur pada kuku; perlukaan pada mukosa mulut yang sering
kambuh, radang pada sudut bibir);Herpes zoster terjadi dalam 5 tahun terakhir; ISPA ( infeksi

saluran nafas bagian atas) yang berulang misalnya sinusitis karna infeksi bakteri. Tinggkat
aktifitas 2 dengan gejala, aktivitas normal
Stadium 3
Penurunan berat badan lebih dari 10% ; diare kronik yang tidak diketahui penyebanya lebih
dari 1 bulan; demam yang berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1
bulan; candidiasis pada mulut ; bercak putih pada mulut berambut; TB paru dalam 1 tahun
terakhir; infeksi bakteri yang berat, misalnya : pneumonia,bisul pada otot. Tinggkat aktifitas 3
: terbaring ditempat tidur , kurang dari 15 hari dalam 1 bulan terakhir
Stadium 4
-

Kehilanagan berat badan lebih dari 10% ditambah salah satu dari: diare kronik yang
tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan kelemahan kronik dan demam

berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan


Pneumocystis cariri pneumonia (pcp)
Toksoplasmosis pd otak
Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan
Kriptokokois diluar paru
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa, dan kelenjar getah bening
Infeksi virus herpes simpleks pada kulit atau mukosa lebih dari 1 bulan atau dalam

rongga perut tampa memperhatikan lamanya


PML (progressive multifocalen cephalopathy) atau infeksi virus dalam otak
Setiap infeksi jamur yang menyeluruh misalnya : histoplasmosis, kokidioidomikosis
Candidiasis pada kerongkongan, tenggorokan, saluran paru dan paru
Mikrobakteriosis tidak spesifik yang menyeluruh
Septikemia salmonella bukan tifoid
TB diluar paru
Limfoma
Kaposis sarcoma
Esofalopati HIV sesuai definisi CDC

MAnifestasi Oral Infeksi HIV ( Secara Khusus)


Infeksi Bakteri Oral
Infeksi bakteri oral pada pasien yang terinfeksi HIV biasanya mengenai jaringan
periodontal. Contoh dari infeksi ini meliputi gingivitis ulseratif akut yang nekrosis (ANUG),
gingivitis HIV dan periodontitis HIV (Langlais,1998)

ANUG adalah umum pada pasien HIV. Ditandai oleh gusi yang mendadak sakit,
merah padam, bengkak, berdarah dan bau mulut. Papilla-papila interdental tampak
hilang,berulserasi, tertutup oleh kulit nekrotik keabu-abuan. Perawatan termasuk
debridement saja atau dikombinasi dengan terapi metronidazole jika ada tanda-tanda umum
seperti demam, malaise dan anoreksia (Langlais,1998)
Gingivitis HIV ditandai oleh eritema gusi kronis yang terjadi setara pada maksila dan
mandibular, biarpun tidak ada factor local yang jelas. Pada awalnya timbul petechiae
multifocal yang kecil, merah, berbentuk titik-titik pada gusi cekat, yang selanjutnya
membentuk kelim-kelim linear merah jelas dan tidak menyatu pada gusi tepid an cekat.
Perdarahan gusi yang spontan dan kurangnya respons terhadap perawatan yang konvensional
adalah umum. Penyebabnya tidak pasti, tetapi telah diperkirakan bahwa kelainan kekebalan
tubuh, terutama ketidaknormalan PMN berperran di sini (Langlais,1998)

Periodontitis HIV adalah proses kerusakan yang sangat cepat, yang mengakibatkan
hilangnya kecekatan periodontal dalam beberapa hari saja. Pada awalnya terjadi pada
jaringan-jaringan periodontal anterior, kemudian menyebar ke daerah-daerah posterior dan
jelas mempunyai kecenderungan terjadi pada gigi-gigi insisivus dan molar. Infeksi bakteri ini
ditandai oleh sakit dan perdarahan gusi spontan, nekrosis dan pembentukan kawah pada
papilla interdental, edema gusi dan eritema hebat, resesi gusi yang cepat, kerusakan tulang
yang sangat cepat dan tak teratur ( sampai 10 mm dalam 6 bulan), penyebuhan luka yang
terlabat dan penyebaran ke mukosa sekitarnya. Perawatan periodontal yang agresif
diperlukan untuk membatasi penyakit ini (Langlais,1998).

Infeksi Jamur Oral


Kandidosis orang sering kali

merupakan gejala awal dari infeksi HIV dan dapat

dibedakan menjadi empat bentuk: pseudomembranosis, eritematus (atrofik), hiperplastik, dan


keilitis angularis. Jumlah candida albicans dalam saliva bertambah pada penderita HIV-positif
dan tampaknya meningkat bersamaan dengan menurunnya rasio limfosit CD4:CD8
(Wibisono, 1990).
Jenis pseudomembranosis tampak sebagai membran putih/kuning yang semi-melekat
dan dapat dikelupas dengan jalan mengeroknya, meninggalkan mukosa eritematus di
bawahnya. Keadaan ini dapat mengenai mukosa yang mana saja, tetapi lidah dan palatum
lunak adalah daerah yang paling sering terkena. Kondisi ini biasanya akut, tetapi pada
penderita HIV bisa bertahan untuk beberapa bulan. Bentuk eritematus ditandai oleh daerah

papila merah dan telanjang pada bagian dosum lidah. Kandidosis hiperplastik kronis pada
HIV merupakan subtipe yang paling langka, tetapi dapat menimbulkan bercak putih yang
melekat pada kedua mukosa bukal. Kandidosis hiperplastik kronis harus dibedakan dari hairy
leukoplakia, yang seringkali mengandung kandida di permukaannya. Semua jenis kandidosis
dapat diikuti oleh terjadinya keilitis angularis yang terdiri atas fisur merah yang sakit pada
sudut-sudut mulut, terutama pada penderita HIV-positif (Wibisono, 1990).
Pada pasien terinfeksi HIV, dapat dijumpai flora bakteri yang tidak umum dalam
rongga mulut. Bakteri yang paling umum diisolasi dalam rongga mulut. Bakteri yang paling
umum diisolasi adalah flora pernapasan dan coliform, species klebsiella dan Escherichia coli.
Infeksi oleh organisme-organisme ini seringkali menyebabkan perubahan lidah yang difus,
eritematosus dan berulserasi yang mengakibatkan gejala-gejala glositis. Antibiotic efektif,
tetapi pertumbuhan berlebihan dari organisme-organisme candida dapat terjadi sebagai akibat
samping dari pengobatan ini (Langlais,1998).
Kandidiasis klinis tampil berupa :
1. Kandidiasis Akut
a. Psedomembranosa (trush)
Gejala :
Dapat tanpa gejala
Dapat menimbulkan rasa sakit dalam rongga mulut
Kurang nyaman saat menelan (Birnbaum, 2004)
Tanda

Kandidiasis psedomembranosa tampil sebagai bercak putih/ kuning seperti krem


di mukosa mulut, dapat dilepaskan dari jaringan di bawahnya, meninggalkan
daerah yang merah dan mudah berdarah (Birnbaum, 2004)

b. Atrofik (eritematosa)
Ditemukan pada pasien yang sedang mendapatkan pengobatan steroid dan
antibiotic spectrum luas (Birnbaum, 2004).
Gejala

Sering sekali sakit (Birnbaum, 2004).

Tanda

Mukosa mulut terlihat merah menyala. Daerah manapun dapat terlibat, termasuk

palatum, lidah, dan mukosa bukal.


Kandidiasis eritematosa, yang terlihat pada pasien HIV positif, adalah lesi yang

bersifat kronis.
Kandidiasis atrofik tampil sebagai daerah merah, biasanya ditemukan di palatum
dan dorsum lidah. Pada penderita HIV positif, gambaran klasik kandidiasis
eritematosa berupa daerah kemerahan di bagian tengah palatum, sementara
jaringan gusi dan sekitarnya terlihat berwarna normal. Gambaran itu menyerupai
cap ibu jari (Birnbaum, 2004) .

2. Kandidiasis atrofik kronis (kandidiasis eritematosa kronis, stomatitis karena gigi tiruan,
denture sore mouth)
Faktor predisposisi yang berperan adalah tertutupnya palatum dalam jangka
waktu yang lama oleh pelat gigi tiruan atau pelat ortodontik (Birnbaum, 2004).
Gejala
Biasanya tidak ditemukan gejala (Birnbaum, 2004).

Tanda

Mukosa berwarna merah menyala


Berhubungan dengan daerah palatum yang tertutup oleh pelat gigi tiruan atau

pelat ortodontik
Mukosa yang tidak tertutup oleh pelat terlihat sehat dengan warna normal
Istilah denture sore mouth sebenarnya kurang tepat, karena pasien seringkali

tidak mengetahui keberadaan lesi tersebut.


Merupakan infeksi candida yang paling umum ditemukan dengan insiden 25-50%
pada pemakai gigi tiruan. (pada gigi tiruannya sendiri juga ditemukan koloni
candida, dan dapat menimbulkan reinfeksi pada palatum) (Birnbaum, 2004).

Perawatan termasuk :

Menganjurkan pasien untuk melepas gigi tiruannya saat tidur.


Gigi tiruan harus benar benar bersih dan direndam dalam larutan klorheksidin

atau hipoklorit di malam hari.


Gigi tiruan yang tidak pas letaknya harus segera diganti setelah inflamasi yang

terjadi dapat ditanggulangi.


Selama periode ini, dianjurkan penggunaan tissue conditioner agar gigi tiruan

lebih stabil letaknya.


Untuk obat antijamur dapat diberikan jenis topical seperti nistatin, amphoterisin

B, dan obat kumur klorheksidin


Sebelum pemasangan gigi tiruan, sebaiknya dilapisi dulu dengan gel miconazole
pada daerah yang berkontak dengan jaringan.

Terapi warfarin merupakan kontraindikasi dalam pemakaian miconazole (Birnbaum,


2004).
3.

Keilitis angularis (stomatitis)


Dikaitkan dengan hilangnya dimensi vertical dan tinggi wajah bawah, pada pasien

yang menggunakan gigi tiruan yang sudah waktunya untuk diganti.


Pada pasien yang masih bergigi, dapat dihubungkan dengan defisiensi vitamin B 12

, asam folat atau defisiensi Fe.


Merupakan salah satu tanda imunosupresi, terutama penyakit HIV dan
neutropenia (Birnbaum, 2004).

Gejala

Sudut mulut terasa sakit dan perih(Birnbaum, 2004).

Tanda

Di sudut mulut ditemukan lipatan kulit yang terbelah dan meradang.


Dapat menyertai kandidiasis intraoral
Bakteri, misalnya stafilokokus, juga dapat menyebabkan keilitis angularis
(Birnbaum, 2004).

Perawatan

Meliputi menentukan penyebab dan menghilangkan kondisi sistemik yang

melatarbelakangi terjadinya lesi, misalnya kelainan darah.


Gigi tiruan lama diganti dengan yang baru, dimensi vertical ditentukan dengan

lebih tepat.
Infeksi candida intraoral yang ada diobati.
Pengobatan antimicrobial diberikan secara topical.

4. Kandidiasis hiperplastik kronis (kandidal leukoplakia)


Kebiasaan merokok sangat erat hubungannya sebagai factor penyerta dalam

etiologi kelainan ini.


Memiliki potensi untuk berubah kea rah keganasan (Birnbaum, 2004).

Gejala

Rasa sakit di komisura bibir (Birnbaum, 2004).

Tanda

Di komisura bibir ditemukan daerah yang berwarna putih yang menempel cekat
pada jaringan dibawahnya.

Lesi bersifat unilateral atau bilateral.


Tampilan lesi bias halus atau berbintik bintik (speckled).
Dapat disertai ulserasi.
Jarang sembuh sama sekali walaupun sudah digunakan antijamur sistemik.
Pasien harus dianjurkan untuk segera menghentikan kebiasaan merokok.
Biopsi diperlukan untuk menentukan diagnosis kandidal leukoplakia, karena

mikroorganisme ditemukan intraepitel, tidak diatas permukaan mukosa.


Biopsi eksisi mungkin perlu dilakukan untuk menghilangkan lesi bila terapi

antijamur tidak berhasil.


Yang paling penting diperhatikan : lesi bersifat praganas.Dalam waktu 10 tahun,

7% kasus akan berubah menjadi ganas.


Diperlukan pemeriksaan ulang jangka panjang (Birnbaum, 2004).
5. Kandidiasis mukokutaneus kronis
Infeksi candida rongga mulut juga dapat terjadi sebagai bagian dari gangguan
mukokutan yang jarang ditemukan , misalnya:
a. Familial (terbatas). Diturunkan sebagai sifat otosomal
b. Difus (sporadicilial yang langka.
c. Permulaan yang tertunda (sindrom timoma). Terjadi kelainan pada cell mediated immunity yang disebabkan oleh timoma.
d. Endokrin (sindrom kandidiasis endokrinopati). Terjadi defisiensi kelenjar yang
bersifat multiple , misalnya hipoparatiroidisme, atau penyakit Addison dan
produksi autoantibody(Birnbaum, 2004) .
Tes Diagnostik

Pada daerah yang terlibat dilakukan pemeriksaan apus, kemudian diberi


pewarnaan (pewarnaan gram dan reagen PAS (periodic acid-Schiff)). Kalium

hidroksida (KOH) juga dapat digunakan untuk melihat hifa.


Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan swab dan oral rinse untuk pemeriksaan

kultur
Hitung candida kuantitatif dapat dilakukan untuk memantau terapi yang diberikan.
Pasien diminta untuk memberikan sampel salivanya atau berkumur- kumur
dengan larutan phosphate-buffered saline selama 1 menit, sebelum dibuang ke

dalam wadah steril.


Pemeriksaan biopsi dan histopatologi perlu dilakukan untuk memastikan adanya

kandidiasis hiperplastik kronis (Birnbaum, 2004)


.
Inveksi Virus Oral

Virus Herpes (Herpes simpleks , sitomegalovirus dan Epstein-Barr), terdapat dalam


jumlah besar di dalam penyakit mulut yang di derita pasien AIDS. Infeksi virus herpes
simpleks (HSV) biasanya terlihat pada bibir sebagai herpes labialis atau dalam, mulut pada
epitel berkeratin sebagai herpes intra ora kambuhan. Infeksi kambuhan membentuk vesikelvesikel bulat kecil yang timbul dengan cepat, meninggalkan ulkus kuning dangkal yang
dikelilingi oleh lingkaran merah. Penggabungan dari vesikel-vesikel sekitarnya menjadi
ulkus-ulkus besar adaah umum. Tidak seperti pasien dengan kekebalan normal, pasien AIDS
dapat terserang infeksi herpes pada permukaan-permukaan khas untuk stomatitis apthosa
seperti lidah dan mukosa pipi. HSV kambuh lebih sering, lebih menetap dan lebih parah pada
pasien-pasien yang diinfeksi HIV (Langlais, 1998).

Virus varicella zoster (VZV) kambuh lebih sering pada pasien yang terinveksi HIV
daripada penduduk biasa. Gambaran klinisnya sama pada kedua kelompok, tetapi
prognosisnya lebih jelek untuk pasien imunosupresi. VZV menimbulkan vesikel multiple
yang umumnya terletak pada batang tubuh atau wajah yang biasanya sembuh sendiri dan
unilateral. Vesikel-vesikel kepala dijumpai di sepanjang cabang saraf trigeminus, baik
ekstraoral maupun intraoral. Terbentuknya vesikel, penggabungan, pembentukan ulkus dan
pembentukan sisik adalah khas dari keadaan tersebut. Sakit menyayat adalah gejala
utamanya, yang dapat menetap sebagai post herpetic neuralgia. Terapi dengan acyclovir
kadang-kadang dipakai dalam usaha untuk mempercepat penyembuhan dan meringankan
gejala ( Langlais, 1998).

Tanda klinis lainnya, zoster merupakan penyakit orang lanjut usia, di tandai dengan
rasa sakit neuragik yang berupa rasa terbakar atau tertusuk, baik konstan atau intermiten,
meluas ke sepanjang saraf yang terserang. Pada hari ke 4-5 lesi kulit timbul pada daerah
distribusi kutaneous serat sensoris yang berasal dari ganglion yang terserang (Haskell, 1990).
Serangan pada ganglion trigeminal ( ganglion sensoris wajah ) menyebabkan
timbulnya gangguan pada satu atau kedua cabangnya,tetapi jarang mengenai ketiga
cabangnya sekaligus. Lesi dapat sangat besar jumlahnya, atau parah dan menutupi daerah
percabangan kutaenous dan mukosa dari saraf. Lesi pada maxilaris menyebabkan timbulnya
lesi pada palatum keras dan lunak serta vestibulm rahang atas. Lesi yang mengenai cabang
mandibular menyebabkan terbentuknya lesi dagu sampai vertek. Pada mulut, lesi mengenai
pipi, vestibulum rahang bawah dan lidah. Pada mulut, vesikel pecah dengan cepat
membentuk ulser. Perubahan sitologi pada vesikel atau ulser mirip dengan pada infeksi
herpes simpleks (Haskell, 1990).
Prevalensi sitomegalovirus (CMV) mendekati 100% pada pria homoseksual HIVpositiv dan mendekati 10% pada anak-anakdengan AIDS. Virus tersebut mempunyai
predileksi untuk jaringan kelenjar saliva dan dapat dijumpai dalam saliva orang yang
terinfeksi HIV. Perubahan-perubahan peradangan yang berkaitan dengan inveksi CMV dan
HIV meliputi pembengkakan kelenjar parotis unilateral dan bilateral serta serostomia
( Langlais, 1998).
Manivestasi oral dari virus papiloma manusia (HPV) seringkali dijumpai ada orang
yang terinfeksi HIV. Perubahan-perubahan peradangan yang berkaitan denga infeksi CMV

dan HIV meliputi pembengkakan kelenjar parotis unilateral dan bilateral serta serostomia
( anglais, 1998).
Kondiloma akuminatum atau kutil kelamin biasanya timbul sebagai tumbuhan
menonjol, kecil, lunak, merah muda sampai abu-abu kotor yang mempunyai permukaan mirip
kembang kol. Lesi-lesi ini serangkali multiple, kambuh dan bergabung untuk membentuk
tumbuhan-tumbuhan lebar, berbintil-bintil, tak bertangkai. Kondiloma akuminatum dapat
dijumpai pada setiap mukosa mulut, terutama ventral lidah, gusi, mukosa bibir, dan palatum.
Penularan cenderung secara kontak langsung, mengakibatkan penjalaran secara kontak dari
anus ke daerah-daerah genitalia atau dengan inokulasi sendiri. Perawatan terdiri atas eksisi
okal dan menghilangkan semua lesi dari pasangan seksuak yang terinfeksi (Langlais, 1998).

Condyloma

accuminatum

1. Kutil kelamin
2. Kutil kemaluan
3. Kutil genital (kutil genitalia)
4. genital warts
5. veruka akuminata
6. venereal wart
7. jengger ayam (FKUI, 2005).

[Kondiloma

akuminata

juga

dikenal

sebagai:

Birnbaun, Warren. 2004. Diagnosis Kelainan dalam Mulut. Jakarta:EGC


Infeksi Menular Seksual. 2005. Ed. 3. FKUI : Jakarta
Wibisono, Bing. 1990. Epidemioogi AIDS. Jakarta; Depkes RI
Gayford, Haskell.1990. Penyakit Mulut. Jakarta:EG
Cara Penularan
1. Hubungan seksual, dengan resiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual.
2. Melalui darah, yaitu:

Transfusi darah yang mengandung HIV, resiko penularan 9098%

Tertusuk jarum yang mengandung HIV, resiko penularan 0,03%

Terpapar mukosa yang mengandung HIV, resiko penularan


0,0051%

3. Transmisi dari ibu ke anak

C.

Selama kehamilan

saat persalinan, resiko penularan 50%

Melalui air susu ibu (ASI), resiko penularan 14%

Patogenesis
Setelah HIV masuk ke tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada dalam

sel dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam
flu (serupa infeksi mono nukleosis), disertai viremia hebat dengan keterlibatan
berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh timbul respon imun humoral maupun seluler.
Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Kadar virus dalam darah dapat
diturunkan oleh sistem imun tubuh. Titik keseimbangan disebut set point dan amat
penting kerena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalanan
penyakit menuju Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) akan berlangsung
lebih cepat.

Serokonversi atau perubahan antibodi negatif menjadi positif akan terjadi 1-3
bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien
akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa itu akan terjadi penurunan jumlah
CD4 yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relatif
konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T4 yang menjadi target sel utama HIV.
Mula-mula penurunan jumlah CD4 berkisar 30-60/tahun, tapi pada dua tahun terakhir
penurunan jumlah menjadi cepat, 50-100/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata
masa dari infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, di mana jumlah CD4
akan mencapai dibawah 200.
D.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV nya sendiri (sindrom retroviral
akut, demensia HIV), infeksi oportunistik, atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan
penyakit HIV di bagi dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4.
1.

Infeksi Retroviral Akut


Frekwensi gejala infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis
menunjukkan demam, pembesaran kelenjar, hepatosplenomegali, nyeri
tenggorok, mialgia, rash seperti morbili, ulkus pada muko kutan, diare,
leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan
neurologi seperti meningitis aseptik, sindrom Gullain Barre, atau psikosis akut.
Sindrom ini biasanya sembuh sendiri tanpa pengobatan.

2.

Masa Asimtomatik
Pada masa ini pasien tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi
limfadenopati umum. Penurunan jumlah CD4 terjadi secara bertahap, disebut
juga masa jendela (window period).

3.

Masa Gejala Dini


Pada masa ini jumlah CD4 berkisar

antara 100-300. Gejala yang timbul

adalah akibat infeksi pneumonia bakterial, kandidosis vagina, saariawan,


herpes zoster, leukoplakia, ITP dan tuberkulosis paru. Periode ini dulu disebut
AIDS Related Complex (ARC).

4.

Masa Gejala Lanjut


Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan yang lanjut ini
menyebabkan resiko tinggi terjadinya infeksi oportunistik berat atau
keganasan.

E. Diagnosis
Seperti penyakit yang lain, diagnosis AIDS atau HIV ditegakkan melalui gejala klinis
dan pemeriksaan penunjang. Pada masa jendela, mungkin bisa ditemukan manifestasi
sindrom retroviral akut. Pemeriksaan antibodi HIV pada masa ini masih negatif
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan polimerase chain reaction(PCR) atau biakan
virus.
Indikasi tes antibodi HIV adalah kecurigaan kemungkinan resiko penularan seperti
melakukan hubungan seks yang tak aman, pecandu narkotika suntikan, pasien
penyakit menular seksual (PMS), pasien hemofilia (yang sering mendapatkan infus
faktor pembekuan sebelum tahun 1985), tusukan jarum yang telah digunakan pada
orang yang terinfeksi HIV, serta bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Tes ini
bisa dilakukan pada masa tanpa gejala (asimtomatik). Meski tes ini dapat dilakukan
pada laboratorium yang memiliki fasilitas sederhana sebaiknya kita mengirim bahan
ke laboratorium yang telah berpengalaman .
Pada fase AIDS manifestasi klinis dapat berupa demam, sariawan, penurunan berat
badan, batuk kronok, diare kronik, pembesaran jaringan limfe, serta kelainan kulit.
Anamnesis tentang perilaku beresiko amat diperlukan. Berdasarkan kecurigaan klinis,
maka dokter dapat melakukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Pemeriksaan
penunjang yang sederhana, murah dan mudah adalah adalah pemeriksaan anti HIV.
Diagnosis HIV berdasarkan kemungkinan penularan dan pemeriksaan antibodi HIV
positif ( telah dikonfirmasii dengan western bolt). Diagnosis HIV didasarkan pada
adanya penyakit infeksi oportunistik atau kanker terkait yang telah ditetapkan dan
antibodi HIV positif. Pada revisi kriteria keadaan yang berhubungan dengan AIDS
tahun 1993, ditambahkan jumlah CD4 di bawah 200 sebagai salah satu kriteria
sehingga, meski belum ada infeksi oportunistik atau kanker terkait, bila jumlah CD4
telah dibawah 200 digolongkan dalam AIDS.

Revisi kriteria menurut Centers For Disease Controls (CDC) Amerika serikat tahun
1993, untuk keadaan yang berhubungan dengan HIV:
Keadaan Yang Ditetapkan Sebagai HIV
1.

2.

Keganasan

Sarkoma Kaposi

Limfoma Burkit

Limfoma imunoblastik

Limfoma primer pada otak

Kanker leher rahim invasiv

Ensevalopati yang berhubungan dengan infeksi HIV

Sidrome kelelahan kerana infeksi HIV

Penurunan imunitas yang hebat (CD4 kurang dari 200/mm3)

Infeksi Oportunistik

Kandidosis pada bronkus, trakea atau paru

Kandidosis pada esofagus

Koksidiodomikosis diseminata atau ekstrapulmoner

Kriptokokosis ekstrapulmoner

Kriptosporidiosis pada usus bersifat kronik(lebih dari 1 bulan)

Infeksi Cytomegalovirus (selain Herpes, limpa, atau kelenjar limfe)

Cytomegalovirus renitis (disertai kehilangan visus)

Herpes simpleks(ulkus kronis lebih dari satu bulan, bronkitis, pneuminitis,


atau esofagitis)

Histoplasmosis(diseminata atau ekstra pulmoner)

Pneumocystis carinii pneumonia

Pneumonia rekurens

Leukoensefalopati multifokal progresif

salmonella septikemia rekurens

Leukoensefalopati multifokal progresif

salmonella septikemia rukurens

Toksoplasmosis pada otak

Pemeriksaan Penunjang:
Diagnosis Laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara:
1.

Cara Langsung, yaitu isolasi virus dari sampel, umumya dengan


menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara
deteksi antigen virus adalah dengan polimerase Chain Reaction (PCR).
Penggunaan PCR antara lain untuk:

Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi
sehingga menghambat pemeriksaan serologis.

Menetapkan status infeksi pada individu seronegatif

Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi serokonversi

Tes konvirmasi untuk HIV 2 sebab sensitivitas ELISA untuk HIV 2


rendah

2. Cara Tidak Langsung, yaitu dengan melihat respon zat anti spesifik,
misalnya:

ELISA, sensitivitasnya tinggi (99,6-100%). Biasanya memberikan


hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi.. Hasil pasitif harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan western bolt.

Western Bolt, spesifitas tinggi (98,1-100%). Namun pemeriksaan ini


cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Mutlak
diperlukan untuk konfirmasi pemeriksaan ELISA positif

Immunofluorescent assay

Radioimunopraecipitation assay

Diagnosis:
1. Diagnosis infeksi HIV

Diagnosis ini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan


petunjuk gejala klinis atau adanya perilaku beresiko tinggi. Untuk
diagnosis HIV, yang lazim dipakai adalah ELISA, Western Bolt, dan PCR.
2. Diagnosis AIDS
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV. Pasien dinyatakan sebagai
AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan
infeksi oportunistik dan kanker yang mengancam jiwa penderita.. Selain
itu juga termasuk ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan dengan
AIDS dan hitungan CD4 kurang dari 200/mm3.
Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan hasil tes HIV
positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya
didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dengan 1 gejala minor, dan
gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak
berkaitan dengan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarkoma kaposi atau
pneumonia yang mengancam jiwa yang berulang.
Gejala Mayor:

Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

Diare kronik yang berlangsung lebih dari satu bulan

Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan

Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi

DEmensia/ensevalopati HIV

Gejala Minor:

Batuk menetap lebih dari 1 bulan

Dermatitis generalisata yang gatal

Herpes Zoster yang berulang

Kandidosis Orofaring

Herpes simpleks kronis progresif

Limfadenopati generalisata

Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Langkah-langkah diagnosis:
1. Lakukan anamnesis gejala oportunistik dan kanker yang terkait dengan
AIDS
2. Telusuri perilaku beresiko yang memungkinkan penularan
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksioportunistik dan kanker
terkait. Jangan lupa periksa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut,
kulit dan funduskopi
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosit total, antibodi
HIV, dan pemeriksaan rontgen.
Bila pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah
CD4, protein purified derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi
cytomegalo virus, Serologi PMS, Hepatitis, dan Pap smear.
Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila lebih
dari 500, pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya
200-500 maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila kurang dari 200 maka
diberikan

profilaksis

pneumonia

pneumocystis

carinii.

Pemberian

profilaksis CD4 tidak bergantung pada jumlah CD4.


Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui pemberian
obat anti retroviral dan memantau hasil pengobatan.
Bila tidak tersedia peralatan pemeriksaan untuk CD4 (mikroskop
fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus
CD4=(1/3x jumlah limfoosit total)
Penatalaksanaan
1.

Medika mentosa
Peningkatan survival pada pasien dengan manifestasi klinis dapat dicaoai
dengan diagnosis dini, pemberian zidovudin, pengobatan komplikasi, serta

penggunaan antibiotik sebagai profilaksis secara luas, terutama untuk


pneumonia karena P.carinii.

a.

Infeksi dini
CDC

menyarankan

penggunaan

antiretroviral

pada

keadaan

asimtomatik bila CD4 kurang dari 300/mm3 dan CD4 kurang dari
500/mm3 pada keadaan simtomatik.
Obat-obatan:

Zidovudin(ZDV) merupakan analog nukleosida yang telah terbukti


menurunkan angka kematian, insiden infeksi oportunistik, dan gejalagejala umum yang terjadi pada pasien AIDS yang telah muncul gejala
klinis. Zidovudin ini bekerja dengan menghambat replikasi HIV dengan
menghambat kerja enzim reverse transkriptase. Efek samping yang
mungkin timbul adalah anemia dan neutropenia, gangguan gastrointestinal
dan pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi miopati dan masuknya
virus dengan strain yang telah berkurang sensitivitasnya.

Didanosis (DDI), digunakan bila penderita tidak toleran terhadap ZDV,


atau sebagai pengganti bila ZVD sudah amat lama digunakan, atau bila
pengobatan dengan ZDV tidak menunjukkan hasil. Dosis 2x 100mg/12
jam(BB<60kg) atau 2x125mg/12jam(BB>60kg).

b.

Pengobatan Profilaksis
Indikasi pemberian profilaksis untuk pneumocystis carinii pneumonia
(PCP) ialah bila CD4 kurang dari 200/mm3, terdapat kandidosis oral
yang berlangsung lebih dari dua minggu, atau pernah mengalami PCP
di masa lalu. Sedangkan profilaksis pada tuberkulosis diberikan bila tes
PPD 5mm dengan indurasi.

c.

Stadium Lanjut

Pada stadium ini banyak yang dapat terjadi, umumnya infeksi


oportunistik yang mengancam jiwa. Oleh karena itu diperlukan
penanganan multidisipliner. Obat yang dapat diberikan dalah ZDV
dengan dosis awal 1000mg/hari dalam 4-5 kali pemberian(berat badan
70kg).
d.

Fase terminal
Penyakit sudah tidak teratasi, pengobatan yang diberikan hanya
simtomatik dengan tujuan pasien merasa cukup enak, bebas dari rasa
mual dan sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa
cemas.

2. Non Medikamentosa
Mengingat hingga saat ini belum ada obat dan vaksin untuk mengatasi
masalah ini, maka upaya pencegahan merupakan cara yang paling tepat untuk
menurunkan insiden penyakit ini. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan
dengan upaya-upaya sebagai berikut:

Pendidikan pada kelompok yang beresiko terkena AIDS

Anjuran bagi yang telah terinveksi virus ini agar tidak menyumbangkan
darah, organ atau cairan semen, dan mengubah kebiasaan seksualnya guna
mencegah terjadinya penularan

Skrining donor darah terhadap adanya antibodi HIV

Penatalaksanaan
Pemeriksaan HIV yang pertama adalah pemeriksaan antibody HIV, bertujuan
untuk mendeteksi dan mengukur kadar immunoglobulin ( IgG tipe 1-4, IgA, IgM, IgD ).
Sebagai respon terhadap adanya HIV dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
1. Enzim linked immunosorbent assay ( Elisa ), hasil positif berarti terjadi ikatan antigen
dan antibody HIV pada serum dan berarti anti-HIV positif.
2. Anti HIV immunoblot / wastern blot
Merupakan pemeriksaan konfirmatif setelah elisa dinyatakan positif
3. Anti EnV dan anti core setelah elisa

Perubahan / reaksi warna dan intensitasnya pada proses pemeriksaan berkaitan dengan
keberadaan anti HIV dalam serum
4. Polymerase chain reaction ( PCR ) mendeteksi fragmen DNA dan RNA vital yang
spesifik pada orang yang terinfeksi hiv
5. Rapid antibody test Immunoassays kualitatif yang bertujuan untuk sebagai titik uji
perawatan untuk membantu dalam diagnosis infeksi HIV
6. Ora quick advance rapid HIVe antibody test merupakan immunoassay sekali pakai
untuk mendeteksi anti body HIV virus type 1 dan 2 pada cairan rongga mulut.
Selain pemeriksaan terdapat juga pengobatan HIV/AIDS yaitu dengan Terapi
Antiretroviral (ARV). Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh
lebih baik. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleosidereverse
transcriptase inhibitor ,nucleotide reverse transcriptase inhibitor, nonnucleside
reverse transcriptase inhibitor , dan inhibitor protease. Waktu memulai terapi ARV
harus dipertimbangkan dengan seksamakarena obat ARV akandiberikan dalam jangka
panjang. Obat ARVdirekomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan
gejala yangtermasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat,
tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini direkomendasikan pada pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200sel/mm3. Pasienasimptomatik dengan
limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350sel/mm3danviral load lebih dari
100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak
dianjurkan dimulai pada pasiendengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral
load kurang dari 100.000kopi/ml. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan
WHO adalahkombinasi dari 3 obat ARV.
Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yangumumnya digunakan di
Indonesia adalah kombinasi Zidovudin/Lamivudin,dengan Nevirapin. Obat ARV juga
diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang
yang terpapar dengan cairan tubuh yangmengandung virus HIV (postex posure
prophilaxys) dan pencegahan penularandari ibu ke bayi. (Sudoyo, 2006)

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aru W,dkk. Buku Ilmu Ajar Penyakit Dalam. Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia.
Jakarta. 2006

You might also like