You are on page 1of 110
Frye Aacod Wd MEMPELAJARI PENGARUH KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP MUTU SOSIS Oleh: ‘TITA YULSANTY 62499079 2003 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR | F/G aos wa MEMPELAJARI PENGARUH KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP MUTU SOSIS Oleh: ‘TITA YULIANTI 02499079 2003 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTAN! INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Tita Yulianti, 02499079, Mempelajari Pengaruh Karakteristik Isolat Protein Kedelai terhadap Mutu Sosis. Di bawah bimbingan Joko Hermanianto. RINGKASAN Untuk menurunkan harga, banyak industri sosis menggunakan isolat protein kedelai sebagai bahan_pensubstitusi daging, tetapi sampai saat ini belum banyak yang mengkaji pengaruh dari Karakteristik isolat protein kedelai tersebut terhadap mutu produk, khususnya sosis. Berdasarkan hal itu, penelitian ini bertujuan untuk ‘menganalisa karakteristik beberapa isolat protein kedelai dan melihat pengaruhnya terhadap mutu sosis yang dihasilkan, schingga diharapkan dapat diketahui karakteristik yang tepat untuk menghasilkan sosis bermutu tertentu. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. ‘Tahap | penelitian pendahuluan, yaitu analisa karakteristik isolat protein kedelai sampel, meliputi : kadar protein, kelarutan protein (nitrogen solubility index (NSI) dan protein dispersibility index (PDD), kadar air, daya serap air, daya serap lemak, kekentaian (viscositas), dan ‘kekuatan pembentukan gel. Tahap II penelitian lanjutan, pada tahap ini dibuat sosis, dengan isolat sampel dan dianalisa mutunya dengan uji subjektif dan objektif, meliputi, daya ikat air adonan (WHC), penyusutan pemasakan (cooking loss), kekerasan, dan kekenyalan sosis, serta uji organoleptik (hedonik dan rangking) oleh 30 orang panelis, Dari hasil penelitian pendahuluan, diketahui isolat protein kedelai yang diamati memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kadar protein tertinggi dimiliki oieh isolat D (98.25 %) sedangkan terendah terdapat pada isolat B (91.75 %). Nitrogen solubility index (NSI) tertinggi terdapat pada isolat A (3.96 %) dan terendah pada isolat E (1.50 %). PDI terbesar terdapat pada isolat B (26.77 %) dan terkecil pada isolat F (6.13 %). Sementara itu daya serap air tertinggi terdapat pada isolat protein kedelai A (563.02 %), daya serap lemak tertinggi pada isolat B (375.55 %), viskositas tertinggi terdapat pada isolat E (0.7678 eps) serta aktivitas emulsi tertinggi terdapat pada isolat B (60.80 %). Mutu sosis dari kelima jenis isolat protein kedelai juga berbeda-beda, tergantung dari jenis isolat yang ditambahkan. Sosis yang memiliki nilai WHC adonan dan kekenyalan tertinggi adalah sosis dengan penambahan isolat D, yaitu sebesar 95.36 % (WHC) dan 1.0432 (kekenyalan), cooking foss terendah juga dimiliki oleh isolat ini, Sosis dengan penambahan isolat A memiliki nilai kekerasan paling tinggi (1742.65 gram force). Nilai kesukaan panelis terhadap kelima sosis tersebut relatif sama, baik dari segi tekstur, wama, aroma, maupun rasanya. Hal ini menunjukan perbedaan jenis isolat protein kedelai dan karakteristiknya tidak terlalu berpengaruh penerimaan panelis. Hasil uji korclasi menunjukan kadar protein memiliki korelasi positif terhadap WHC adonan dan kekenyalan sosis, dimana semakin tinggi kadar protein isolat, maka WHC adonan dan kekenyalan sosis semakin besar. Di sisi lain kadar protein berkorelasi negatif dengan cooking loss adonan. Sedangkan karakteristik yang lainnya tidak berkorelasi nyata, Korelasi antara karakteristik isolat protein kedelai dengan mutu organoleptik sosis juga memperlihatkan korelasi yang tidak signifikan, kecuali PDI dengan kesukaan terhadap kekenyalan sosis serta daya serap air dengan kesukaan terhadap keseluruhan sifat sensorik sosis. PDI mempunyai korelasi yang positif dengan tingkat kesukean kekenyalan sosis, sedangkan daya serap air berkorelasi negatif dengan kesukaan panelis. Minimnya korelasi dari karakteristik-karakteristik lain isolat protein kedelai terhadap tingkat kesukaan panelis semakin menunjukan bahwa perbedoan karakteristik isolat tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap sosis yang dihasilkan. Panelis menyatakan ward, rasa, aroma, kekerasan, kekenyalan, dan juiciness kelima sosis tersebut tidak berbeda, Sementara hasil uji objektif techadap sosis kelima isolat protein kedetai yang dianalisa, sosis isolat D merupakan sosis yang memiliki kemampuan paling baik dalam mengikat air, membentuk kekenyalan, dan menurunkan nilai cooking loss sosis. Ketiga sifat tersebut sangat menentukan mutu sosis yang dihasilkan. Dengan demikian isolat D merupakan isolat protein kedelai terbaik dibanding keempat isolat lainnya. MEMPELAJARI PENGARUH KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP MUTU SOSIS SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARIANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Falultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh ‘TITA YULIANTI F02499079 2003 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTAN! INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN re MEMPELAJARI PEGARUH KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP MUTU SOSIS SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pads Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh TITA YULIANTI F02499079 Dilahirkan pada tanggal 19 April 1980 Dj Kuningan Jawa Barat ‘Tanggal lulus : 12 Agustus 2003 Tatee fe AMSTITG ED “J KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam, pemilik segala ilmu, pemberi rahmat, hidayah, nikmat, kekuatan dan kkasib sayang, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir yang berjudul : MEMPELAJARU PENGARUH KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP MUTU SOSIS. Bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dalam penulisan skripsi ini sangatlah berarti bagi penulis. Untuk itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis. mengucapkan terima kasi kepada Ayah dan Ibunda tercinta yang senantiasa memberikan perhatian, kasih sayang, dukungan, dan kepercayaan dengan tulus, sehingga dapat meningkatkan semangat ruhiyah dan jasadiyah penulis. Tak lupa ‘penulispun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya kepada : * Dr. fr, Joko Hermanianto selaku pembimbing akademik, yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dukungan, kepercayaan dan masukan-masukan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini bisa diselesaikan. * Dr. Ir. Yadi Bariyadi MSc, dan Ir. Subarna MSi, selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberikan ‘masukan-masukan untuk perbaikan skripsi ini. + Pak Nur, Pak Tyas, dan Bu Cacih, beserta kru Pilot plan, yang telah memberikan bantuan, perhatian, motivasi dan masukan kepada penulis selama penelitian di Pilot plan. Hidup memang karus cerdas !! terima kasih atas nasihatnya. * Pak Wahid, Pak Sobirin, Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Rojak, Teh Ida, ‘Teh Reni serta semua laboran di Jurusan TPG yang telah membimbing dan ‘membantu penulis selama penelitian di Jurusan TPG, + Ummi dan Keluargaku di Bogor, yang senantiasa memberikan limpahan kasih sayang, cinta, perhatian, dan nasihat. Terima kasih banyak, bersama xkalian kutermukan makna hidup yang sesunggubnya. iii Teh Ika, A Engkus, A Ade, Teh Els, beserta ponakan-ponakanku yang manis. Semoga karya kecil ini dapat menjadi hadiah terindah buat kalian Sesungguhnya hatian adalah keluargaku yang terbaik . Brother, Hijaz, SP, dan Seismic, yang setia menemani penulis dalam suka dan duka, Terima kasih banyak, sesungguhnya senandung merdu kalian senantiasa ‘membangkitkan semangat baru bagi penulis. Keluarga besar Balio 19 (BALSEM) dan Himasota’99 (Eva, Eny, Cici, Yuli, dan Wati), keberadaan kalian memberi arti tersendiri. Terima kasih atas kebersamaannya. Nina, Wiji, Uswah, Uut, Anis, Tiwi, dan rekan-rekan seperjuangan, Tidak ada yang dapat penulis sampaikan selain terima kasih, atas kasih sayang, cinta, dukungan, bantuan, dan perhatiannya, Mohon maaf jika terlalu banyak keluh kesah dan tuntutan, Bersama kalian hidup ini menjadi penuh wama, Mbak FA, terima kasih banyak atas doa yang kalian lantunkan disetiap sujud panjangmu, semoga hati-hati kita tetap bersatu selamanya, FBI FATETA, atas dukungan dan nasihatnya. Semoga perjuangan dan Jangkah kita mendapat ridlo-Nya. Rekan-rekan TPG’36, bersama, telah kita lalui suka-duka dalam perjalanan panjang ini, Mohon maaf atas segala khilaf dan alpha. KOMPAK selalu !!! Zaenal, Anton, Teh Eti, Mbak Dian, dan Andri (rekan seperjuangan). Terima Kasih untuk bantuan, pengertian, dan kebersamaannya. Mohon kemaafan atas segala salah paham, khilaf, dan alpha. Jangan pernah lupakan bahwa kita adatab tim // Penulis hanya berharap semoga karya kecil ini mendapat ridho-Nya dan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan. Aamiin. Bogor, Agustus 2003 Penulis uL DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..... DAFTAR TABEL . DAFTAR GAMBAR ..... DAFTAR LAMPIRAN .. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 2c. cceesnntsisneitemnntntanentinanee B, TUJUAN PENELITIAN ... C. KEGUNAAN HASIL PENELITIAN ...... TINJAUAN PUSTAKA .... A, ISOLAT PROTEIN KEDELAI B. SIFAT-SIFAT FUNGSIONAL PROTEIN ....... - 1. Kelarutan Protein ..... N Emulsifikasi 3. Daya Serap Air... Daya Serap Lemak ... s a WiSKOSIRAS 0. oeesecsoseeeeeenesssaseneceeeesennnnnnnnes 6. Gelasi .. C. SOSIS DAN SISTEM EMULSI SOSIS .. D. PEMBUATAN SOSIS 1. Bahan-bahan dalam Pembuatan Sosis «0... 2. Proses Pembuatan Sosis .......... I. METODOLOGI PENELITIAN .... a A. BAHAN DAN ALAT 2 B, METODE PENELITIAN ai 1, Penelitian Pendahuluan ......ccerinennnetentitine 2b 2. Penelitian Lanjutan ....... 2 3. Prosedur Analisa 0.0... IV, HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAT ... Ly Kedar Protea .......-ssecsceescssscssseessssessnsaresssecermunarascsseeeenerivccs scenes ~ 32 2. Kelarutan Protein ...... 3. Aktivitas Emulsi . 4, Daya Serap Air 5. Daya Serap Lemak .. ovnneninnee 37 6. Kekentalan oni 39 7. Kekuatan Pembentukan Gel 40 B. PENGARUH ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERHADAP MUTU SOSIS ... 1. Water Holding Capacity (WHC)... 2. Susut Masak (Cooking Loss) 3. Tekstur . 45 4. Sensorik C. KORELASI KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI DENGAN MUTU SOSIS .............. 60 1. Korelasi Karakteristik Isolat Protein Kedelai dengan WHC Sosis..... 62 2. Korelasi Karakteristik Isolat Protein Kedelai dengan Cooking Loss Sosi 3. Korelasi Karaktesistik Isolat Protein Kedelai dengan Tekstur Sosis D. KORELASI KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI DENGAN MUTU ORGANOLEPTIK SOSIS ... V. KESIMPULAN DAN SARAN . u A. KESIMPULAN 1" B. SARAN....... DAFTAR PUSTAKA ..... vil Tabel |. Tabel 2. Tabel 3. ‘Tabel 4. Tabel 5, Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8, Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11 DAFTAR TABEL Jenis-jenis sosis ... Formulasi SOSiS «0... Setting Texture Analyzer .... Karakteristik isolat protein kedelai sampel .... Karakteristik mutu sosis .. Tekstur sosi: Hasil uji hedonik sosis . Hoasil uji rangking S08i8 «cnn SB Hasil korelasi Pearson antara karakteristik isolat at protcink kedelai dengan mutu sosis .. - Hasil korelasi Pearson antara karakteristik isolat protein kedelai dengan mutu organoleptik basil uji rangking sosis Hasii korelasi Pearson antara karakteristik isolat protein kedelai dengan mutu organoleptik hasil uji hedonik sosi Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13, Gambar 14. Gambar 15, Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. DAFTAR GAMBAR Halaman Diagram alir pembuatan sosis .. B Histogram perbedaan kadar protein isolat sampel .....000ccusee 33 Histogram perbedaan nll mrogensofubiiy dex (NSI) isolat protein kedelai sampel ..... seen BM Histogram perbedaan nilai PDI isolat protein kedelai sampel .... 34 Histogram perbedaan nilai aktivitas emulsi isolat protein kedelai sampel Histogram perbedaan nilai daya serap air isolat sampel.... 36 Histogram perbedaan daya serap lemak isolat sampel .....--. 38 Histogram perbedaan nilai kekentalan isolat sampel 0.000. 39 Histogram perbedsan nil kekuatan pembentkan gl dari isolat sampel .... sess nn) Histogram perbedaan nilai water holding capacity (WHC) sosis, dengan penambahan isolat protein kedelai yang berbeda .. Histogram perbedaan nilai cooking loss sosis .. Grafik tingkat kekerasan dan kekenyalan hasil pengukuran Texture Analyzer TA-XT2i .. Histogram perbedaan nilai kekerasan (hardness) sosis ... 48 Histogram perbedaan nilai kekenyalan (elastisitas) sosis .. Histogram perbedaan nilai kesukaan wama s0sis 0.0.0.0. 52 Histogram perbedaan nilai kesukaan aroma $08i8 cc. 54 Histogram perbedaan nilai kesukaan rasa sosis, Histogram perbedaan nilai kesukaan kekenyalan sosis Histogram perbedaan nilai kesukaan kekerasan sosis Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23, Gambar 24. Gambar 25, Gambar 26. Gambar 27. Histogram perbedaan nilai kesukaan juiciness sosis .. Histogram perbedaan rangking hedonik (kesukaan) sosis ...... 60 Kurva hubungan kadar protein isolat dengan WHC adonan sosis 62 Kura hubungan kadar protein oat dengan cooking lose adonan $0S%S . 0. soe OA Kurva hubungan daya mengikat air (WHC) adonan sosis dengan susut masak (cooking loss) sosis ..... soe 65 Kurva hubungan kadar protein isolat dengan tingkat elastisitas (kekenyalan) sosis .. ‘Kurva hubungan daya ser air isolat protein kedelai dengan tingkat kesukaan Kurva hubungan PDI isolat protein kedelai dengan tingkat kesukaan terhadap kekenyalan sosis... Lampiran ! Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4, Lampiran 5. Lampiran 6, Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampisan 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampisan 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21 Lampiran 22. DAFTAR LAMPIRAN Halaman, ‘Contoh formulir uji hedonik dan rangking hedonik sosis Contoh formulir uji rangking sosis a1 Karakteristik isolat protein kedelai (IPK) 82 Kekuatan gel isolat protein kedelai (kualitatif) ..... Karakteristik sosis .. Analisis sidik ragam WHC sosis cee 85 Analisis sidik ragam cooking loss sosis .. Analisis sidik ragam kekerasan S0SiS 0... -ctcicecenttee BS ‘Analisis sidik ragam kekenyalan sosis..... 85 Hasil uj lanjut Duncan WHC sosis & Hasil uji lanjut Duncan cooking Joss sosis ... Hasil uji lanjut Duncan kekerasan sosis .... Hasil uji janjut Duncan kekenyalan sosis Rekapitulasi data hasil uji hedonik sosis 87 Rekapitulasi data hasil uji rangking sosis ...... 88 Rekapitulasi data hasil uji rangking hedonik sOSiS «ann 89 Analisis sidik ragam uji hedonik wama $05i8 2... .eneaee 90 Analisis sidik ragam uji hedonik aroma sosis 90 Analisis sidik ragam uji hedonik rasa sosis ..... Analisis sidik tagam uji hedonik kekerasan sosis Analisis sidik ragam uji hedonik kekenyalan sosis Analisis sidik ragam uji hedonik juiciness $0Si8 cmon 9 Lampiran 24, Has Uji Koreias) rearsuu anata natanwa tun igolat protein kedelai dengan mutu sosis Lampiran 25. Hasil uji korelasi Pearson antara karakteristik isolat protein kedelai dengan mutu organoleptik sosis 93 L PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sosis merupakan salah satu produk pangan hasil pengolahan daging yang banyak disukai ofch masyarakat. Sosis dibuat dengan tujuan untuk memperpanjang umur simpan daging yang bersifat perishable (mudah rusak) dan meningkatkan nilai tambah pada produk yang dihasilkannya. Menurut Kramlich (1971), sosis adalah makanan yang dibuat dari daging giling dan diberi bumbu serta dibungkus dalam cassing membentuk silinder yang simetris. Kandungan gizi dari produk pangan ini cukup tinggi dan penting bagi tubuh. Namun, tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmati makanan ini, karena harganya cukup tinggi. Harga yang tinggi ini disebabkan oleh tingginya harga bahan baku pembuatan sosis, yaitu daging. Oleh karena itu, banyak industri pangan khususnya industri pengolahan daging yang menggunakan isolat protein sebagai bahan additive untuk mensubstitusi daging, sehingga penggunaan daging sebagai bahan baku dapat dikurangi. Hal tersebut dapat mengurangi biaya produksi dan akhimya dapat menghasilkan sosis dengan mutu yang sama tetapi harga lebih terjangkau. Isolat protein yang umum digunakan adalah isolat protein kedelai. Isolat protein. kedelai banyak digunakan sebagai bahan pengikat pada produk pangan karena sifat fungsional yang dimilikinya, Menurut Young (1984), isotat protein kedelai (mengandung protein minimal 90 % berdasarkan perhitungan berat kering) memiliki sifat fungsional yang sangat baik. Isolat protein kedelai didisain untuk menggantikan sebagian protein larut garam dari daging, mengikat air dan minyak, menstabilkan emulsi dan membantu mempertahankan struktut produk pada produk olahan daging Sementara itu Zayas (1997) mengatakan bahwa penggunaan isolat protein kedelai akan meningkatkan viskositas, daya ikat air, emulsifikasi dan pembentukan gel. ‘Sampai saat ini, seberapa besar pengaruh karakteristik isolat protein edelai dalam membentuk mutu sosis belum banyak dikaji. Setain itu, karakteristik seperti apa yang paling baik untuk membentuk mutu produk juga AnIGIyawaL vanangut aie previ B. TUSUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa korelasi mutu isolat protein Kedelai terhadap mutu sosis, yaitu diharapkan dapat diketahui karakteristik isolat protein kedelai yang paling tepat untuk memtperoleh sosis bermutu baik dan disukai oleh masyarakat. C. KEGUNAAN BASIL PENELITIAN Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui perbedaan karakteristik dari masing-masing isolat sampel yang dianalisa dan seberapa besar pengaruh karakteristik isolat protein kedelai tersebut dalam membentuk mutu sosis, schingga : 1. dapat memberikan informasi bagi industrisindustri pangan, khususnya industri pengolahan daging. 2. membantu pihak-pihak yang akan menggunakan isolat protein kedelai, sehingga dapat memilih karakteristik isolat protein yang tepat_untuk menghasilkan produk bermutu tinggi. Il. TEINJAUAN PUSTAKA A. ISOLAT PROTEIN KEDELAL Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati, Menurut Wirahadikusumah (1981), protein adatah suatu makro molekul yang tersusun dari unit-unit asam amino. Asam antino penyusun berbeda-beda tergantung dari jenis gugus samping (R) yang terdapat di dalam molekulnya. Gugus R dapat berupa kation, anion, hidroksil aromatik atau alifatik, amina, amida, tiol, ‘maupun gugus heterosiklik. Protein kedelai mengandung 85-95 % globulin dan sisanya merupakan albumin, protease, prolamine, dan gluteline (Wolf, 1970). Globulin mengandung 78.5 % glycinin dan 21.5 % phaseolin, sedangkan albumin mengandung 78.5 % legumin, Sebagian besar dari glycinin dan legumelin terdiri dari gugusan asam-asam amino esensial (Circle, 1950). Berdasarkan sifat sedimentasinya protein kedelai dapat diklasifikasikan menjadi (Kinsella, 1979): 1. Fraksi 2S terdiri dari antitripsin dan sitokinin (detapan persen) 2. Fraksi 7S terdiri dari lipoksigenase, amilase dan globulin (35 persen) 3. Fraksi 11S terutama terdiri dari globulin (52 persen) Menurut Wolf (1970), protein kedelai yang dipakai oleh industri pangan terbagi dalam tiga kelompok, berdasarkan kandungan proteinnya : (1) tepung atau bubuk kedelai (40-50 %), (2) konsentrat protein kedelai (4 70 %), dan (3) isolat protein kedelai (> 90 %). Industri pangan biasanya memakai bahan baku protein kedelai dengan sifat fungsional tertentu untuk tujuan produk tertentu, Isolat protein kedelai merupakan salah satu hasil isolasi protein kedelai selain tepung dan konsentrat protein kedelai, Isolat protein merupakan bentuk ekstraksi protein kedelai yang paling murni, karena kadar proteinnya minimum sebesar 90 % (berdasarkan berat kering). Menurut Koswara (1992), isolat protein hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung kedelai. Oleh karena itu, isolat » B. protein kedelai sudah banyak digunakan untuk pembuatan produk-produk pangan seperti pembuatan daging tiruan, susu imitasi, dan kecap. Menurut Seguro dan Motoki (1994) dan Nakajima et al. (1996), pada prinsipnya isolasi protein terdiri atas tahap-tahap : ekstraksi protein dasi tepung kedelai bebas lemak dan air, pemisahan serat kasar, pengendapan dengan asam, pemisahan dan fraksi yang larut (whey), netralisasi, dan pengeringan dengan spray dryer. Isolat protein kedelai sering digunakan dalam pembuatan produk pangan karena memiliki sifat fungsional yang dapat menyumbangkan karakteristik yang diinginkan pada makanan. SIFAT-SIFAT FUNGSIONAL PROTEIN Chefiel at al, (1985) mendefinisikan, sifat fungsional suatu komponen pangan sebagai sifat-sifat di luar sifat nutrisi yang mempengaruhi kegunaan suatu komponen dalam bahan pangan. Lebih lanjut Cheftel at al. (1985) mengelompokan sifat fungsional ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) sifat hidrasi, yang berhubungan dengan interaksi protein-air, seperti daya ikat air, kebasahan, swelling, daya Iekat, kekentalan, dan kelarutan, (2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein, seperti pembentukan gel, pengendapan, dan pembentukan serat-serat protein, dan (3) sifat-sifat permukaan seperti tegangan permukaan, emulsifikasi, dan pembentukan buih, Menurut Pour-E} (1980), sifat fungsional protein dipengaruhi oleh karakteristik intrinsik (fisiko-kimia) dan pengolahan. Karakteristik intrinsik meliputi komposisi asam amino, ukuran molekul, konformasi, serta ikatan- ikatan dan gaya-gaya, sedangkan faktor pengolahan meliputi pemilihan varictas, cara ekstraksi, suhu, pengeringan, perfakuan ion, pH, kotoran, kondisi penyimpanan dan lain-lain, Menurut Kinsella (1979), faktor-faktor lingkungan yang berupa komponen-komponen tain dalam sistem pangan, misalnya air, karbohidrat, lipid, garam, dan surfaktan juge mempongarch sift fungsional protein. Meaurut Pour-El (1980), sifat-sifat fungsional dari motekul-motekul yang dipengaruhi otch sifat-sifat fisiko-kimia antara lain adalah sifat lipofilik (hidrofilik), sifat interfase dan sifat intermolekuler, Sifat lipofilik berhubungan erat dengan afinitas molekul-molekul protein dengan pelarut polar dan jike pelarutnya adalah air disebut hidrofilik. Sifat hidrofilik ini erat kaitannya dengan kelarutan, penyerapan air, dan daya basah. Sifat interfase berkaitan dengan kemampuan molekul protein untuk membentuk pemisahan dan penggabungan antara dua media yang tidak saling tercampurkan, sebagai contoh adalah pembentukan emulsi, pembentukan buil, dan penyerapan lemak. Sifat-sifat intermolekuler berperanan dalam mengadakan interaksi antara. molekul-moiekul protein maupun antara molekul protein dengan Komponen lain, Sifat intermolekuler ini erat kaitannya dengan kelarutan, pembentukan gel, pembentukan buih, elastisitas, dan plastisitas protein. 1, Kelarutan Protein Kelarutan protein kedelaimerupakan sifat fisiko-kimia yang berkaitan dengan sifat fungsional lainnya, oleh karena itu perlu dipelajari pertama kali sebelum sifat lainnya (Hutton dan Campbell, 1981), Menurut Wolf (1969), sifat kelarutan protein dipengaruhi oleh kekuatan ion, pH, ukuran partikel, dan proses produksi. Sementara itu menurut German et al (1982), kelarutan protein tergantung pada kekuatan ion, pH, dan adanya reduktan dalam Jarutan, Kelarutan juga dipengaruhi oleh sumber protein dan komposisi petarut (Kinsella, 1979). Pengaruh pH didasarkan pada adanya perbedaan muatan antara asam-asam amino yang menyusun protein. Pada pH tertentu perbedaan muatan tersebut dapat mencapai nol atau terjadi keseimbangan. Hal ini dikenal sebagai titik isoelektrik. Pada pH tersebut protein memiliki daya tarik-menarik yang paling kuat antara sesamanya (Lehninger, 1982). Pada pH di atas dan di bawah titik isoelektrik, protein akan menigalami perubahan muatan, yaitu lebih besamya muatan positif pada pH i bawah titik isoelektrik dan lebih besarnya muatan negatif pada pH di atas titik isoelektrik, Adanya perubahan muatan ini menyebabkan menurunnya daya tarik-menarik antara molekul protein, schingga molekul lebih mudah terurai. Semakin jauh perbedaannya dari titik isoelektrik maka kelarutan protein semakin meningkat (Lehninger, 1982). Nitrogen solubility index (NSI) dan protein dispersibility index (PDI) keduanya merupakan ukuran kelarutan nitrogen dan dispersibilitas protein dalam air, dan juga merupakan ukuran fungsionalitas produk protein dan kegunaan atau kemampuannya dalam formulasi pangan (Wiedermann, 1986). Menurut Nur et al. (1981), perbedaan antara larutan dan dispersi ‘terutama terletak pada ukuran partikelnya, Larutan merupakan campuran sempuma yang stabil dan homogen dari partikel-partikel (atom, ion, molekul), sedangkan dispersi merupakan campuran yang tidak homogen dan memiliki ukuran partikel yang lebih besar. Untuk mendapatkan dispersi protein diperlukan agitasi (stirring) yang lebih tinggi daripada untuk larutan, Nilai NSI dapat digunakan sebagai indikator pemandu sifat-sifat fungsional protein (Furukawa dan Ohta, 1983). Sebagai indikator, nilai NSI dari suatu protein menunjukan kesesuaiannya untuk produk tertentu. Mohamed et al. (1987) mengelompokkan NSI isolat protein kedelai sebagai berikut : (a) kelarutan tinggi (NST > 70 %) cocok untuk produk hasil susu imitasi, pengganti susu, dan sup; (b) kelarutan sedang (NSI > 50 %) ‘ocok untuk formula pangan anak-anak; (c) kelarutan rendah (NSI < 20 %) sesuai untuk produk pasta dan pangan yang dipanggang. ‘Demikian pula dengan PDI, menurut Johnson (1970) seperti yang dikutip oleh Kinsella (1979), nilai PDI menentukan penggunaan tepung kedelai serta sifat fungsional yang diinginkan seperti : (a) PDI > 90 %, dapat diperolch sifat emulsi, pembuihan dan gelasi yang maksimum, (b) PDI 60 %, dapat meningkatkan daya serap air dalam produk-produk adonan seperti roti, donat, makaroni, dan cookies; (c) PDI < 30 %, sesuai untuk makanan berupa kue, saus, sop, sosis, serta makanan bayi; (d) PDI < 15 %, cocok untuk produk berupa craker, minuman, dan produk olahan biji-bij 2. Emulsifikasi Menurut Macritchie (1978), protein mempunyai kemampuan menstabilkan emulsi karena memiliki aktivitas menyerupai surfaktan (surface active agent), yaitu kapasitas untuk menurunkan tegangan permukaan antara komponen hidrofilik dan hidrofobik. Fungsi ini meliputi fungsi pembentukan emulsi. Protein dapat membentuk lapisan mengelilingi permukaan droplet minyak untuk membentuk emulsi minyak dalam air yang stabil. Sifat mekanis lapisan permukaan penyerap dari protein mampu menimbulkan sifat ketahanan terhadap penggabungan antara droplet minyak (Graham dan Phillips, 1976). Bila isolat protein ditambahkan sebagai emulsifier ke dalam sistem yang terdiri dari air dan lemak, maka yang terbentuk adalah emulsi fase dua cairan dan satu padatan (Friberg et al., 1990). Partikel-partikel padatan akan menstabilkan emulsi bila berada di lapisan yang terletak di antara kedua cairan. Adsorpsi komponen protein pada permukaan globula lemak sangat selektif dan dipengaruhi oleh pH, dimana pada pH terjadinya kelarutan protein yang tinggi, adsorpsi oleh protein semakin meningkat (Yamauchi et al, 1980) Adsorpsi oleh protein terjadi karena interaksi hidrofobik antara protein dengan permukaan lemak (Keshavarz dan Nakai, 1979) 3. Daya Serap Air Daya serap air adalah jumtah air yang terperangkap di dalam matriks protein pada kondisi tertentu (Hutton dan Campbell, 1981). Penyerapan air oleh protein berkaitan dengan adanya gugus-gugus polar rantai samping seperti karbonil, hidroksit, amino, karboksil dan sulfidril yang menyebabkan protein bersifat hidrofilik yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air Briskey, 1970). Faktor-faktor Ivar berupa pH, suhu, dan keknatan ion dapat mempengaruhi kemampuan protein dalam menyerap air melalui perubahan konformasi dan polaritas molekul protein tersebut. Perubahan dari bentuk globular menjadi koil acak dapat meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat air karena semakin banyak rantai samping asam amino yang terbuka schingga dapat berinteraksi dengan air (Hutton dan Campbell, 1981). Pengaruh pH terhadap daya serap air dapat dilihat dari rendahnya daya serap air pada pH titik isoelektrik dan makin meningkat dengan semakin jauhnya dari titik isoelektrik (Cowan dan Wolf, 1971). Daya serap air konsentrat dan isolat protein kedelai akan meningkat bila pHnya dinaikkan dari 5.0 sampai 7.0 pada semua suhu yang diamati (Hutton dan Campbell, 1977). Peningkatan suhu dapat menurunkan daya serap ait, ini dapat terjadi akibat denaturasi atau agregasi yang dapat mengurangi luas permukaan serta ketersediaan grup polar yang mengikat air. 4, Daya Serap Lemak Daya serap lemak menunjukan kemampuan protein dalam menyerap minyak atau Jemak. Stroktur protein merupakan faktor yang sangat menentukan kemampuan penyerapan lemak, Struktur yang bersifat lebih lipofilik yaitu yang memiliki kandungan cabang protein non polar lebih banyak, memberikan kontribusi terhadap meningkatnya daya serap lemak (Lin et al, 1974) Daya ikat lemak meningkat dengan semakin meningkatnya kandungan sisi non polar pada protein, Selain itu juga dinyatakan bahwa porsentase penyerapan lemak menurun dengan meningkatnya kelarutan protein dalam air. Beberapa faktor dapat mempengaruhi interaksi protein-lipid, termasuk Konformasi protein, interaksi protein-protein dan susunan fase lipid yang disebabkan oleh interaksi lipid-lipid. Hutton dan Campbell (1981) menyatakan bahwa tidak terdapat suatu gaya molekuler tunggal yang dapat mencirikan interaksi protein lipid, Selain struktur protein, suhu serta ukuran partikel protein juga berpengaruh terbadap daya serap minyak. Dengan menurunnya suhu dari 90° C sampai 4° C, penyerapan lemak meningkat karena pada suhu tinggi 5. protein mengalami denaturasi sehingga menurunkan kemampuan mengikat lemak (Hutton dan Campbell, 197) Dalam hal ukuran partikel, lebih lanjut Hutton dan Campbell (1981) menyatakan bahwa partikel yang berukuran kecil mampu menyerap minyak 65-130 % berat kering, lebih banyak dibandingkan dengan partikel yang berukuran besar. Untuk semua ukuran partikel, penyerapan minyak akan ‘maksimum pada perendaman selama 20 menit. Viskositas Kekentalan atau viskositas merupakan salah satu sifat fisik dari bahan pangan, Nilai_kekentalan yang biasanya dinyatakan dengan centripoise (cps) menunjukan sifat hidrodinamik dari molekul protein dalam larutan (Ohren, 1981), Sementara itu Cheftel et al. (1985) menggambarkan kekentalan sebagai tahanan dari suatu tarutan untuk mengalic. Perilaku Kekentalan suatu larutan protein dipengaruhi oleh sifat hidrodinamiknya, dalam hal ini adalah diameter molekul protein yang terdispersi. Diameter molekul protein itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (1) karakteristik intrinsik molekul protein, (2) interaksi antara protein dan pelarut yang berpengaruh terhadap pembengkakan, (3) interaksi protein-protein yang menentukan ukuran agregat. Selain itu faktor lingkungan juga turut mempengaruhi kekentalan diantaranya adalah pH, ‘kekuatan ion, dan suhu, yang dapat mengubah karakteristik intrinsik melalui proses pembukaan lipatan atau unfolding (Cheftel et al., 1985). Menurut Kinsella (1979), kekentalan larutan protein meningkat dengan meningkatnya pH dari 5.0 sampai 10.5. Dalam hal ini alkali menycbabkan terjadinya perubahan bentuk molekul protein sehingga meningkatkan kekentalan. Tetapi dilaporkan bahwa pada pH di atas 11.0 kekentalan akan menurun karena pecahnya molekul protein. Suhu berpengaruh terhadap kekentalan dispersi protein, dimana dengan pemberian panas yang tidak berlebih dapat menyebabkan terbentuknya progel yang kekentalannya menurun, tetapi akan meningkat setelah didinginkan (Kinsella, 1979). Faktor lain juga turut mempengaruhi kekentalan larutan adalah Konsentrasi protein, dimana kekentalan protein meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya konsentrasi_ (Shen, 1981). Meningkatnya konsentrasi protein menyebabkan molekul protein yang terdispersi tidak lagi bebas dan interaksi protein-protein menjadi lebih dominan sehingga terjadi peningkatan kekentalan (Huang dan Kinsella, 1986), Gelasi Sifat fungsional lain dari protein adalah kemampuannya dalam membentuk gel. Cheftel et al, (1985) menyebutkan bahwa pembentukan gel protein dapat juga digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengental, pengikatan partikel (adhesion) dan stabilitas emulsi atau buih. Menurut Pour-F1 (1980), gelasi melibatkan agregasi protein dimana terjadi interaksi antara protein dan pelarut yang menyebabkan terjadinya jaringan (struktur) tiga dimensi, Matrik semi elastis ini mampu memerangkap air dalam jumlah yang besar. Schmidt (1981) mendefinisikan gel sebagai suatu agregasi akibat interaksi antara polimer-polimer dan polimer-pelarut, dimana gaya tarik- menarik dan tolak-menolak yang terjadi seimbang sehingga terbentuk suatu matrik, Pada dasarnya molekul protein alami kedelai berikatan membentuk struktur tiga dimensi, Dalam keadaan ini, residu asam amino yang bersifat hidrofobik terdapat di bagian dalam dan yang bersifat hidrofilik terdapat pada permukaan molekul. Sika protein tersebut dipanaskan dalam suatu lingkungan yang ber-pH rendah, maka protein tersebut akan terdenaturasi sehingga struktur tiga dimensi dari protein yang alami akan rusak, Akibamnya, residu asam amino hidrofobik, ikatan disuifida, dan grup sulfidril bebas akan terekspos ke dalam air, sehingga polimerisasi intermolekuler terjadi melalui reaksi ikatan silang antara iketan hidrofobik, ikatan disulfida, dan sulfidril (Fukushima, 1980). menjadi proget dan dengan pendinginan akan terbentuk gel (Manullang, 1977). Konversi progel menjadi gel bersifat reversibel artinya dengan pemanasan kembali akan terbentuk progel. Akan tetapi dengan pemanasan protein yang berlebihan (di atas 100° C) tidak akan terbentuk progel, namun terbentuk metasol. Ini disebabkan karena pecahnya stroktur sekunder dan tersier dari molekul protein sehingga gel tidak terbentuk. Selama sol menjadi gel dengan suhu tertentu akan meningkatkan kekentalannya tetapi jika suhu terlalu tinggi akan terbentuk metasol dengan kekentalan yang rendah. Menurut Damodaran dan Kinsella (1982) gelasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain konsentrasi protein, pH, adanya komponen lain serta periakuan panas yang dialaminya. Berdasarkan percobaan Schmidt (1981), pada konsentrasi protein 7.5 % atau lebih dapat terbentuk gel yang kuat setelah dipanaskan 100 °C selama 10 menit pada pH 7.0. Pemberian waktu yang lebih lama (30 menit) dapat membentuk gel walaupun konsentrasi protein sekitar 5 % dan semakin Jama pemanasan kekuatan gel semakin tinggi. Kecepatan pembentukan gei tergantung pada suhu, waktu, dan Konsentrasi protein (Circle et al., 1964). Pemanasan dapat menyebabkan penebalan dan gelasi pada konsentrasi di atas 7 % dengan suhu minimum 65°C. Pada konsentrasi protein 8 % sampai 14 % gel terbentuk dengan pemanasan 10 sampai 30 menit pada suhu 70 sampai 100 ° C namun akan rusak jika dipanaskan lebih dari 125°C, ‘Subu gelasi biasanya sesuai dengan karakter dari protein di dalam sistem. Pemanasan yang dibutuhkan mungkin berhubungan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Waktu pemanasan dan subu yang dibutuhkan gel biasanya menurun dengan meningkatnya konsentrasi protein (Schmidt, 1981). C. SOSIS DAN SISTEM EMULSI SOSIS Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging giling dan diberi bumbu serta dibungkus dengan cassing membentuk silinder yang simetris (Kramlich, 1971), Sosis merupakan salah satu produk pangan yang cepat dan mudah disajikan, serta terdapat dalam beberapa macam. Kramlich (1971) membagi sosis menjadi enam kelas, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Sementara itu, Forrest et al. (1975) membagi sosis menjadi enam kategori berdasarkan atas metode pembuatan yang digunakan oleh pabrik, yaitu (1) sosis segar, (2) sosis asap, tidak dimasak; (3) sosis asap, dimasak, (4) sosis masak; (5) sosis fermentasi dan (6) daging giling masak. Menurut Pearson dan Tauber (1984), sosis segar dibuat dari daging segar yang tidak dikuring Jenis sosis ini tidak dimasak sebelumnya dan biasanya tidak diasapi. Sebelum dikonsumsi sosis segar harus dimasak. Sedangkan sosis masak dibuat dari daging yang telah dikuring sebelum digiling. Sosis jenis ini dimasak dan biasanya diasapi. Daya simpannya lebih lama daripada sosis seger. Contohnya adalah frankfurter dan hot dog. Sosis jenis ini juga biasanya dimasak sebelum dihidangkan, Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan, satu diantaranya terdisfersi dalam bentuk globula-globula dalam cairan tainnya. Cairan yang terpisab-pisah dalam bentuk globula disebut “internal phase” atau cairan terdispersi. Sedangkan cairan yang menutupi globula disebut sebagai “continouse phase” atau cairan pendispersi Emulsi dapat dikatagorikan menjadi dua, yaitu emulsi yang terbentuk dari minyak dalam air (OAW) dan emulsi air dalam minyak (W/O). Dalam emulsi minyak dalam air (O/W), air berfungsi sebagai medium pendispersi dan minyak sebagai medium terdispersi dalam bentuk globula-globula kecil. Sedangkan pada emulsi air dalam minyak (W/O), minyak merupakan medium pendispersi dan air berfungsi sebagai medium terdispersi Adonan sosis merupakan emulsi minyak dalam air (O/W) yang terbentuk dalam fase koloid (Heimer dan Saffle, 1963) dengan protein daging terlarut bertindak sebagai emulsifier (Wilson, 1960) sehingga fase protein-air dalam adonan sosis akan membentuk matriks yang menyelubungi butiran- butiran lemak membentuk emulsi yang stabil (Kramlich, 1973), dimana lemak berfungsi sebagai fase diskontinu dan air sebagai fase kontinu. Tabel 1. Jenis-jenis sosis* Jenis Karakteristik Contoh Sosis segar Sosis kering, semi kering Sosis masak Sosis masak, dan diasap Sosis tidak masak, tetapi diasap Bola daging (cooked meat specialities) Dari daging segar, tidak dikuring, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak sebelum dihidangkan Daging kuring, mengalami proses pengeringan, dapat diasap sebelum pengeringan atau dapat pula dihidangkan langsung Dikuring atau tidak, digiling, berbumbu, dibungkus. dimasak dan kadang-kadang diasap, dapat langsung dihidangkan Daging kuring, digiling, berbumbu, dibungkus, dimasak, dapat langsung dihidangkan Daging segar, dikuring/tidak, dibungkus, diasap, harus_—dimasak —_sebelum dihidangkan Daging mutu tinggi, dikuring/tidak, dimasak, jarang diasap, dapat langsung dihidangkan Sosis babi segar Bratwurst Bockwurst Genoa salami Pepperoni Lebanon bologna Sosis hati Braunchweiger Frankfurters Bologna Cotto salami Mettwurst Kielbasa Loaves Serapple Meat balls *Kramlich (1971) Menurut Swift et al. (1968) penambahan lemak secara perlahan-lahan dapat memperbaiki stabilitas emulsi yang dihasilkan. Dikatakan pula oleh Webb et al. (1975) bahwa penggunaan lemak bersuhu 70 ° C yang ditambabkan D. secara perlahan-lahan sehingga suhu akhir pencampuran 16.7 ° C akan menghasilkan emmulsi yang sangat stabil. Emulsifier utama dalam emulsi sosis adalah protein yang larut dalam garam, yaitu aktin dan miosin yang disatukan menjadi aktomiosin. Protein yang Jarut dalam air terutama yang terdiri dari protein-protein jaringan penghubung, dan protein sarkoplasma yang tidak larut mempunyai kemampuan yang sangat terbatas tetapi paling baik dalam mengemulsi lemak. Walaupun demikian, protein-protein yang farut dalam air dengan adanya garam menunjukan adanya peningkatan dalam kemampuan mengemulsi (Kramlich, 1973) Stabilitas emulsi akan rusak jika daging digiling pada suhu di atas 16 °C (Helmer dan Saffle, 1963). Menurut Townsend et al. (1971), pecahnya emulsi pada suhu di atas 16° C karena pada suhu tersebut protein akan mulai terdenaturasi schingga molekul lemak tidak dapat diikat lagi oleh molekul protein dalam suatu matriks ikatan, Emulsi sosis dipengaruhi oleh pH, konsentrasi garam, jumlah penambahan air, dan suhu penggilingan. Hwang dan Carpenter (1975) mengatakan, pengaturan pH mendekati pH netral dapat meningkatkan kapasitas menahan air (WHC) jaringan daging karena pada pH netrat pembentukan gel oleh miosin dan air meningkat. PEMBUATAN SOSIS Sosis merupakan salah satu produk daging giling yang diberi bumbu dan dapat mengalami proses kuring, pemanasan, dan pengasapan (Forrest et al, 1975), Sosis umumaya dibuat dari daging, lemak, bahan pengikat dan pengisi, air, garam dapur, dan bahan tambahan lain, seperti bumbu-bumbu dan zat aditif 1, Baban-baban dalam Pembuatan Sosis ‘Dalam pembuatan sosis, semua jenis daging ternak dapat digunakan termasuk jerohan, bibir, tetelan, dan daging bermutu rendah (Tauber, 1977). Daging merupakan bahan baku sosis karena memiliki daya ikat terhadap air dan daya mengemulsi lemak. Bahan utama sosis adalah jaringan daging hewan, disamping daging murni juga ditambahkan daging berlemak untuk memberi rasa lezat. Jaringan hewan yang berbeda akan memberi rasa yang berbeda dan produk yang berbeda dalam hal rasio kadar protein-air, rasio lemak-daging, dan jumlah pigmen. Rasio kadar protein-air berperanan dalam perhitungan formulasi sosis, karena akan memberi petunjuk tentang pembuatan komposisi produk akhir (Kramlich, 1971). Lemak berperan sebagai pemberi rasa lezat pada sosis. Disamping itu, peranan utama lemak adalah dalam pembentukan emulsi, Jika jumlah lemak tidak tepat maka akan dihasilkan emulsi yang tidak kuat. Lemak berfungsi sebagai fase diskontinu dari emulsi sosis, olch karena itu lemak ‘merupakan salah satu komponen yang penting. Selain itu, lemak juga mefupakan komponen pembentuk tekstur (Kramiich, 1971). Menurut Wilson (1960), penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan untuk pembentukan tekstur yang kompek dan empuk seta memperbaiki rasa dan aroma sosis. Keempukan dan kebasahan (juiciness) sosis juga dipengaruhi kandungan temak (Kramlich, 1973). Jumlah penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganan (Wilson, 1960), yaitu tidak boleh lebih dari 30 persen bobot daging (Kramlich, 1973). Penambahan lemak yang terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang tidak enak dan keriput setelah pemasakan, sedangkan penambahan yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering (Effie, 1980). Jenis lemak juga mempengaruhi kestabilan emulsi, Lemak dengan asam lemak jenuh dan trigliserida berantai pendek lebih mudah membentuk emulsi dibandingkan yang berantai panjang. Sedangkan pada rantai karbon yang sama, asam lemak dengan satu ikatan rangkap lebih mudah teremulsi dibandingkan dengan asam lemak dengan dua ikatan rangkap (Cristian dan Saffle, 1967). Untuk menghasilkan sosis masak yang stabil, lemak yang ditambahkan dipreemulsikan dalam air dengan penambahan protein seperti isolat protein kedelai. Metode ini menghasilkan daya ikat air dan minyak yang lebih tinggi, stabilitas emulsi lebih tinggi, dan hilangnya rasa berminyak dalam produk akhir (Cross dan Overby, 1988). ‘Air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis pada waktu pencincangan atau penggilingan daging adalah dalam bentuk serpihan es atau air es, Air ini penting untuk membentuk adonan yang baik dan ‘mempertahankan temperatur selama penggilingan. Air selain berfungsi sebagai fase pendispersi dalam emulsi daging, juga berfungsi untuk melarutkan protein sarkoplasma dan sebagai pelarut garam yang akan melarutkan protein miofibril (Kramlich, 1973 dan Wilson, 1960). Sedangkan menurut Cross dan Overby (1988), air ditambahkan sebagai carrier bagi berbagai komponen ion yang dibutuhkan dalam pengolahan daging. Jumlah air yang ditambahken akan berpengaruh terhadap juiciness dan rendemen produk. Jumlah air yang biasa digunakan untuk pembuatan sosis adalah 20-30 Ib air es per 100 !b daging (Kramlich, 1973). Penambahan air yang terlalu banyak akan menyebabkan tekstur sosis menjadi lunak, demikian pula sebaliknya (Morisson et al., 1971). Garam dapur merupakan bumbu yang biasa ditambahkan pada sosis. Kandungan garam sosis bervariasi dari 1-5 persen. Fungsi garam adalah untuk memberi cita rasa, mengawetkan, dan melarutkan protein (Kramlich, 1973), Selain daging, garam merupakan faktor kritis yang harus diperhatikan karena tanpa garam pembentukan emulsi tidak akan terjadi (Rust, 1977). Garam berfungsi sebagai pengawet dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik), Efektifitas sifat bakteriostatik tersebut tergantung dari konsentrasi garam dalam sosis. Konsentrasi 4-5 persen umumnya cukup untuk melindungi sosis dari serangan bakteri, Sifat pengawetan ini dibantu olch adanya nitrat dan nitrit yang ditambahkan (Kramlich, 1971). Garam dapur dan garam alkali fosfat secara bersama-sama berpengaruh terhadap kenaikan pH, pengembangan volume dan WHC daging Menurut Trout dan Schmidt (1986), garam memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara : (1) mengekstraksi protein miofibril dari scrabut daging selama penggilingan dan pelumatan, (2) berinteraksi dengan protein daging selama pemanasan, sehingga protein membentuk ‘massa matriks yang kuat, mampu menahan air, dan menentukan derajat tekstur daging, (3) memberi cita rasa asin pada produk-produk yang digarami, dan (4) bersama-sama dengan senyawa fosfat berperan dalam meningkatkan daya menahan air daging dan meningkatkan kelarutan protein serabut daging. Baban pengikat dan pengisi merupakan fraksi bukan daging yang ditambahkan pada sosis. Bahan-bahan ini ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki kapasitas mengikat air, merangsang pembentukan cita rasa, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, dan mengurangi biaya produksi (Forrest et al., 1975) Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi adalah dalam kemampuannya mengemulsi lemak, Bahan pengikat mengandung protein lebih besar dibandingkan dengan bahan pengisi yang banyak mengandung karbohidrat (Kramlich, 1971). Bahan pengikat adalah bahan bukan daging yang menaikkan daya ikat air dan emulsi lemak. Sedangkan bahan pengisi mempunyai kemampuan dalam mengikat air, tetapi tidak berperanan dalam proses pembentukan emulsi (Forrest et al., 1975). Bahan pengikat yang biasa digunakan adalah susu bubuk atau produk-produk olahan kedelai. Produk-produk olahan kedelai tersebut digunakan dalam bentuk tepung kedelai, konsentrat protein, atau protein isolat. Sedangkan bahan pengisi yang biasa digunakan pada sosis adalah tepung serealia, ckstrak pati, dan sirup jagung atau padatannya. Bahan. ‘bahan ini mengandung pati tinggi tetapi kadar proteinnya rendah. Karena itu bahan ini mempunyai kemampuan mengikat air tetapi tidak berperanan dalam mengemulsi lemak (Forrest et al., 1975). Isolat protein kedelai sering digunakan sebagi bahan pengikat pada produk olahan daging karena sifat fungsional yang dimilikinya [solat protein kedelai merupakan bentuk yang paling muni dari protein kedelaj yang ada. Isolat di proses satu tingkat lebih lanjut dari protein konsentrat dengan cara memisahkan polisakarida yang larut air, gula, dan komponen minor lainnya. [solat protein merupakan bentuk protein yang paling muri arena kadar proteinnya minimal 95 % dari berat kering, Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak schingga sifat fungsionalnya jauh lebih bak dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung bubuk kedelai Bahan tambahan lain yang sering digunakan adalah pemanis, nitrt, dan bumbu-bumbu. Pemanis yang biasa ditambahkan pemanis seperti sukrosa, dekstrosa, laktosa dan sirup jagung. Gula tidak hanya mempunyai pengaruh terhadap WHC daging (Lawrie, 1974) tetapi akan membanru menahan aroma garam pada sosis berkadar garam tinggi (Rust, 1977). Sedangkan nitrit ditambahkan pada daging terutama sebagai pembangkit wama kuring. Nitrit bereaksi dengan myoglobin dan hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah membentuk nitrosyimyoglobin yang berwarma merah tua dan akibat denaturasi panas maka akan terbentuk pigmen nitrosythemochrome yang berwarna merah cerah dan stabil (Cassens et al,, 1979). Sementara itu, bumbu dan rempah-rempah ditambahkan untuk memberi flavor tambahan pada produk. Bumbu sosis terdiri dari berbagai macam bahan seperti monosodium glutamat untuk mempertegas flavor, dan rempah-rempah seperti lada hitam, cengkeh, jahe, dan pala yang selain memiliki flavor dan aroma yang khas juga memiliki sifat sebagai antioksidan (Kramlich, 1971). Selain bahan-bahan di atas dalam pembuatan sosis juga digunakan cassing yang diperlukan sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan bentuk serta ukuran sosis. Menurut Soepamo (1992) selongsong atau cassing untuk sosis ada dua tipe, yaitu alami dan buatan. Selongsong alami terutama berasal dati saluran pencenaan temak, misalnya sapi, babi, domba atau kambing. Selongsong buatan terdiri dari cmpat kelompok (Kramlich, 1971) yaitu (1) selulosa; (2) kolagen yang tidak dapat dimakan; (3) kolagen yang dapat dimakan dan (4) plastik. Selongsong alami harganya mahal dan ukurannya tidak seragam, sehingga dewasa ini selongsong buatan lebih sering digunakan (Potter, 1973). Tetapi menurut Wilson (1960), konsumen lebih menyukai sosis yang menggunakan selongsong alami Karena penampakan dan aromanya lebih disukai. 2. Proses Pembuatan Sosis Menurut Tauber (1977), tahap-tahap pengolahan secara lengkap untuk membuat sosis adalah pemilihan bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sosis, penggiingan, pencampuran (termasuk ke dalamnya Pencacahan dan pengemulsian), pemasukan dalam selongsong, pengikatan, ‘penggantungan, pemasakan (pengasapan dan atau perebusan), pendinginan (penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin), pengupasan alau pemotongan dan pengemasan. Pembuatan sosis dimulai dengan penggilingan daging sehingga diperoleh daging yang halus dan seragam ukurannya. Menurut Tauber (1977), tujuan penggilingan adalah untuk menghasilkan daging yang mempunyai komposisi daging dan lemak merata. Umumnya daging yang akan digiling telah didinginkan terlebih dahulu sampai temperatur -2 °C. Menurut Wilson, (1960) kondisi tersebut diupayakan agar temperatur penggilingan dapat dipertahankan tetap di bawah 22 °C untuk mencegah terdenaturasinya protein sebagai emulsifier utama. Kemudian dilanjutkan dengan tahap pengadukan atau pencampuran. Pada tahap ini diharapkan butiran lemak yang ditambahkan akan terdistribusi sccara merata, biasanya digunakan mesin pencacah dan atau mesin pengemulsi yang merupakan ‘gabungan dari sistem penggilingan dan pencacahan (Tauber, 1977). Pada tahapan ini bahan kuring seperti serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan-bahan tambahan lainnya juga ditambabkan sehingga dapat terdistribusi merata dan temperatur adonan yang terbentuk dipertahankan serendah mungkin sekitar 3 ° sampai 11°C (Kramlich, 1973) agar diperoleh stabilitas emulsi yang maksimum, ‘Tahap berikutnya adalah pemasukan adonan ke dalam mesin pengisi (filler) dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis (cassing). Pemasukan adonan sosis ke dalam selongsong menggunakan alat khusus (Tauber, 1977) dan bertujuan untuk membentuk dan mempertahankan kestabilan ermulsi 20 (Kramlich, 1973) serta mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu sosis Pemasakan bertujuan untuk mengkoagulasikan protein schingga menghasilkan sosis dengan tekstur yang kompak, pembentukkan flavor, pengawetan, dan pembentukan warna, Pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan sosis tergantung pada temperatur, lama pemasakan, dan jenis daging (Lawrie, 1974). Pemasakan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan, atau kombinasi dari cara-cara tersebut (Effie, 1980). Pengasapan dapat memberikan flavor spesifik terhadap daging. Menurut Desrosier dan Desrosier (1977), penggunaan asap pada pemasakan terutama bertujuan untuk memberikan flavor yang khas, mengawetkan, menghasilkan produk khas, memberikan warna khas, dan mencegah oksidasi, Becbagai senyawa berperanan dalam pembentukan flavor tersebut, namun yang paling penting adalah senyawa phenolik. Jenis kayu juga mempengaruhi flavor daging yang diasap. Secara umum telah diterima bahwa produk-produk yang diasap dengan kualitas hasil yang baik adalah yang menggunakan asap dari kayu keras (Mountney, 1976). Pendinginan sosis setelah pemasakan dengan cara penyemprotan dengan air dingin selain untuk menurunkan temperatur internal sosis secara cepat juga untuk menghilangkan abu, resin, dan residu asap yang menempel pada permukaan selongsong dan mempermudah pengelupasan selongsong pada produk sosis yang tidak dapat dimakan, HL METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan sosis adalah daging sapi (diperoleh dari Pasar Anyar Bogor), isolat protein kedelai komersial, es, pati, rempah-rempah, phosphat, garam nitrit (NPS), minyak kelapa, air, selongsong sosis (cassing), dan konsentrat protein kedelai. Sedangkan bahan kimia yang digunakan antara lain NaOH, HCl, HsBOs, Kx$Os, HgO, NaOH-Na tiosianat, indikator (merah metil dan metilen blue), dan akuades. ‘Alatalat_ yang digunakan untuk proses pembuatan sosis adalah pemotong daging, penggiling daging, pengemulsi sosis, pengisi sosis ke dalam selongsong, dan perebus. Untuk pengamatan dan analisa digunakan alat-alat gelas, timbangan, cawan petri, pipet, pH meter, viscometer, erlenmeyer, tekstur analyzer, kertas saring, labu Kjeldahl, sentrifuse, oven, cawan aluminium, alat distilasi, dan alat penunjang lainnya, B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaity tahap pendahuluan dan lanjutan. Penelitian pendahuluan ditujukan untuk menganalisa karakteristik isolat protein kedelai sampel sehingga diketahui perbedaan karakteristiknys, Sedangkan penelitian lanjutan ditujukan untuk mengetahui_pengaruh karakteristik isolat protein kedelai terhadap mutu sosis, 1, Penelitian Pendabuluan Tahap ini dilakukan dengan tujuan menganalisa isolat protein kedelai yang dijadikan sampel, sehingga dapat diketahui perbedaan karakteristiknya, Isoiat protein kedelai komersial yang dianalisa terdiri dari lima jenis, yaitu isolat protein kedelai A, B, C, D, dan E yang diperoleh dari PT. Madusari ‘Nusa Perdana (sebuah industri pengolahan daging). Kelima isolat protein kedelai sampel ini berasal dari produsen yang berbeda. Karakteristik yang dianalisa dari kelima jenis isolat tersebut, meliputi : kadar air, kadar protein (% berat kering), kelarutan protein 2 (nitrogen solubility index (NSI) dan protein dispersibility index (PDI), daya serap air, daya serap lemak, aktivitas emulsi, kekentalan (viskositas), dan kekuatan pembentukkan gelnya. Penelitian Lanjutan ‘Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari mutu isoiat protein kedelai dengan melihat pengaruhnya tethadap mutu sosis. Pada tahap ini dibuat sosis dengan penambahan isolat protein kedelai sampel, Selanjutnya dilakukan analisa sosis secara subjektif dan objektif. a. Pembuatan Sosis Pembuatan sosis dengan penambahan isolat protein kedelai sampel (A, B,C, D, dan £) dilakukan pada kondisi yang diupayakan tetap sama dan formulasi tetap. Sosis yang dihasilkan selanjutnya dianalisa, sehingga diketahui karakteristik isolat protein kedelai mana yang paling berpengaruh terhadap mutu produk. Prosedur pembuatan dan formulasi sosis yang digunakan dapat dilihat pada diagram alir dan tabel di bawah ini : Tabel 2. Formulasi sosis ‘Babaw-bakan Komposist Daging 50% Isolat protein kedelai 4% Emulsi (Konsentrat Protein Kedelai: Air: Minyak = 1: 5: 5) 24% Es 20% Tepung tapioka 2% NPS 1.8% dari jumlah daging Phospat 0.3% dari jumlah daging Bumbu-bumbu 1% Keterangan: NPS = Nitrit Poekel Saizt (garam bernitrit) Paging beku wes Digiling Phospat Lo Dikuter lambat t Isolat protein kedelai, Dikuter cepat Tapioka o ‘Adonan Emulsi Bumbu. Dimasukkan ke dalam selongsong Diikat o Dias pa suhu 99°C lama 30 ment Didinginkan dengan cepat (menggunakan air) u Sosis Gambar 1. Diagram alir pembuatan sosis b. Analisa Objektif dan Subjektif Sosis Karakteristik objektif sosis yang dianalisa meliputi : water holding capacity (WHC), susut masak (cooking loss), dan tekstur yang meliputi : kekenyalan (elastisitas) dan kekerasan (hardness). Sedangkan karakteristik subjektifnya adalah nilai organoleptik sosis (wama, rasa, aroma, kekerasan, kekenyalan, dan juiciness) yang dianalisa oleh panelis semi terlatih dengan menggunakan ji hedonik dan rangking 3. Prosedur Anatisa a, Kadar Protein (AOAC, 1984) Analisa protein difakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Sebanyak 40-50 mg sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan, 1.5 — 2 gram kristal KSO,, 2.5 ml larutan H:SO; pekat, dan 40-50 mg kristal HgO. Sampel dan pereaksi kemudian didekstruksi sampai larutan menjadi bening dan tidak berasap 24 lagi, lalu ditambahkan aquades secukupnya. Sefelah itu, larutan didestilasi dengan menambahkan 8-10 ml NaQH-Na_ tiosianat secukupnya ke dalam labu destilasi. Destilat ditampung ke dalam erlenmeyer yang berisi 5 mi Jarutan asam borat jenuh dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah dalam alkohol dan 1 bagian ‘metilen blue 0.2 % dalam alkohol) dengan bagian jung kondensor di bawah larutan asam borat, Proses destilasi berlangsung sampai kurang lebih 15 ml destilat tertampung dalam erlenmeyer. Setelah proses destilasi selesai, tabung kondensor dibilas, dan air bilasannya ditampung dalain erlenmeyer yang sama, Destilat yang diperoleh diencerkan kira- kira 50 ml dan dititrasi dengan HCI 0.02 N sampai terjadi perubahan wama menjadi abu-abu. Kadar protein yang diperoleh dihitung dengan rumus sebagai berikut: Persen N = (ml HC! — mi Blanko) x N HCI x 14.007 x 100 % mg Sampe Kadar protein (%) = Persen Nx faktor konversi Kelarutan Protein Kelarutan protein diukur dengan menghitung protein dispersibility index (PD!) dan nitrogen solubility index (NSI). 1. Protein Dispersibitity Index (AOCS, 1970) Sebanyak 4 gram isolat dilarutkan dalam 60 ml akuades sambil diaduk dengan batang gelas. Setelah larut, gelas pengaduk dibilas dengan sisa akuades yang ada, Kemudian diatur pHnya menjadi 8.0 dengan NaOH 0.1 N, Larutan lalu diblender pada kecepatan 7 (skaln 0-7) selama 5 menit. Sebanyak 50 ml larutan dipipet ke dalam tabung sentrifuse kemudian disentrifuse pada kecepatan 2700 rpm selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh 25 dipipet sebanyak 2 mJ untuk dianalisa kadar proteinnya dengan metode Kjeldahl Nilai PDI ditentukan dengan mengikuti rumus Persen PDI — Persen protein terdispersi x 100 % Persen protein total 2. Nitrogen Solubility Index (AOCS, 1970) Sebanyak 2 gram isolat dilarutkan dalam 40 ml akuades sambil diaduk dengan batang gelas. Apabila isolat sudah larut, batang gelas dibilas dengan sisa akuades. Kemudian ditepatkan pHnya menjadi 8.0 dengan NaOH 2.N. Setelah itu, larutan diaduk dengan pengaduk magnet pada skala 4 (skala 0-10) selama 45 menit, Seluruh larutan kemudian dipindahkan dalam tabung sentrifuse dan disentrifuse pada kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Supematan yang diperoleh dipipet sebanyak 1 ml untuk ditentukan kadar protein dengan metode Kjeldahl. Selanjutnya nilai NST ditentukan dengan ramus: NSI(%) = Persen nitrogen larut air x 100% Persen protein total c. Kadar Air (AOAC, 1984) Cawan kosong dikeringkan dalam oven sampai beratnya konstan, Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan lalu dimasukan ke dalam oven dan dikeringkan selama minimum 8 jam (sampai diperoleh berat konstan) pada suhu 105°C. Cawan dikeluarkan dari oven dan disimpan dalam desikator, kemudian dibitung kadar aimmya dengan rumus Kadar Air (%) = berat awal (g)—berat akhir(g) x 100% berat awal (g) 26 d. Daya Serap Air (Lin et al, 1974 seperti yang dimodifikasi oleh Gierhart dan Norman, 1978) Sebanyak 1 gram isolat dimasukan ke dalam tabung reaksi, lalu ditimbang dan dinyatakan sebagai berat awal, Ke dalam tabung reaksi tersebut ditambahkan 10 ml aquades dan divorteks selama dua menit. Kemudian disimpan pada suhu 25 ° C selama satu jam, Setelah itu disentrifuse pada 3000 rpm selama 25 menit, dibuang supernatannya (air bebas) lalu tabung reaksi diletakkan dengan posisi terbalik pada suhu 45°C selama 30 menit. Langkah terakhir adalah menimbang kembali tabung reaksi tadi dan hasil yang diperoleh dinyatakan sebagai berat basah. Daya serap air (%) - __Berat basah—Berat awal___ x 100% Berat sampel pada kadar air 14% Berat sampel pada kadar air 14 % dihitung dengan rumus : Wha 14% = (Kay x W)+ [ (14 Kay) x WY86 J} O14 Dimana : ‘Ka, = kadar air awal sampel W_ =berat sampel e. Kekentalan (viskositas) Isolat protein sebanyak 0.5 g dilarutkan dalam 20 ml aquades, diatur pH menjadi 8.0 dengan NaQH 2 N, kemudian larutan disaring agar tidak mengandung partikel-partikel kasar sehingga tidak menggangu pengukuran, Kekentalan larutan diukur dengan Viskometer Bola jatuh Viskometer direndam dalam air agar suhu pengukuran seragam. Pengukuran kekentalan dilakukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan bola pejal dari dua garis merah pertama ke garis merah selanjutnya (posisi viskometer harus vertikal). 7 Viskositas (kekentalan) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : B= k(di-adt Keterangan : u = kekentalan (cps) k = konstanta viskometer (0.1682) 4; > densitas bola pejal (16.6 g/ml) d = densitas larutan yang diukur (g/ml) t = waktu yang dibutuhkan bola pejal dari dua garis merah pertama ke dua garis merah selanjutnya. * Konstanta viskometer diperolch dengan mengukur waktu yang dibutuhkan oleh air untuk bergerak dari dua garis merah pertama ke dua garis merah sefanjutnya, f, Kekuatan Pembentukan Gel Isolat protein sebanyak 0.75, 1.0, 1.25, dan 1.5 gram dilarutkan dalam 10 ml aquades sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 7.5, 10, 12.5, dan 15 %. Larutan-larutan tersebut kemudian diaduk dengan magnetik stirer sambil sesekali ditambahkan NaOH 2 N_ untuk melarutkan. Setelah larut, ditepatkan pHnya menjadi 8.0 dengan NaQl 2.N, lalu dipipet masing-masing larutan sebanyak 3 ml dan dimasukkan ke daiam tabung reaksi tertutup. Setelah itu dipanaskan pada suhu 100°C selama 15 menit (water bath), lalu didinginkan segera dengan air ‘mengalir dan disimpan di lemari pendingin yang bersuhu 4° C selama dua jam, Kemudian diukur kekuatan gelnya, Skala yang digunakan untuk mengukur kekuatan gel : 0 = tidak terbentuk gel 1 = gel sangat lemah ; bila tabung reaksi dimiringkan gel terjatuh 2 = gel lemah ; bila tabung reaksi dibalik pada posisi vertikal gel terjatuh 28 3 = gel kuat ; bila tabung reaksi dihentakan sekali pada posisi terbalik gel terjatuh 4 = gel sangat kuat ; bila tabung reaksi dihentakan lebih dari satu kali pada posisi terbalik gel baru terjatuh Aktivitas Emulsi (Franzen dan Kinsella, 1976) Larutan protein 25 ml pada pH 7.0 diblender dengan 25 ml minyak jagung selama satu meni. Konsentrasi protein dalam campuran sebesar 1%, yaitu 0.5 gram protein 50 mi campuran. Setelah itu campuran disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit, ‘Aktivitas emulsi dihitung dengan : AE (%)= ml campuran teremulsi x 100% mi campuran total Daya Serap Lemak Sejumlah 0.5 gram isolat dimasukan ke dalam tabung sentrifus 10 ml, Kemudian ditambahkan 3 ml minyak jagung dan segera divortex selama 2 menit pada skala 8. Tabung sentrifus direndam dalam air bersuhu 25°C selama 30 menit, dilanjutkan dengan sentrifus pada 3000 1pm selama 10 menit, Volume minyak bebas diukur untuk mengetabui valume minyak terikat dan selanjutnya digunakan untuk menghitung berat dari minyak terikat tersebut. Rumus untuk menghitung daya serap minyak sebagai berikut DSL(%) = gram minyak terikat x 100% gram sampel Kekenyalan dan Kekerasan Sosis Kekenyalan dan kekerasan sosis diukur dengan alat Texture Analyzer TA-X12i, menggunakan probe Warner-Bratzler Blade. Cara kerja alat ini adalah sebagai berikut, pisau akan memotong sampel sebanyak dua kali. Pada pemotongan pertama akan terbentuk kurva 29 dimana puncak tertinggi menyatakan nilai kekerasan sampel, kemudian pada pemotongan berikutnya akan diperoich kurva kedua. Nila kekenyalan dari sampel tersebut diperoleh dengan membandingkan Time Different daci kurva kedua dengan kurva pertama, Pengukuran sampel dilakukan dengan setting sebagai berikut: Tabel 3. Setting Texture Analycer Parameter Setting “Mode Measure Force in Compression Option TPA Pre test speed 2.0 mmis, Test speed 5.0 mm/s Post test speed 5.0 mms Distance 20.0 mm Time 5.0 second ‘Trigger Type Auto—20.0 Gram Force Gram Distance Millimeters |. Water Holding Capacity (WHC) dan Cooking Loss (Metode Cheong dan Fisher, 1990) Sampel daging atau adonan sosis sebanyak 100 g dimasukan ke dalam gelas piala dan ditutup rapat_ Kemudian dimasukan ke dalam water bath bersuhu 95 ° C selama 45 menit. Setelah itu dilakukan pendinginan dalam air bersuhu 20°C selama 2 menit dan ditiriskan. Air yang keluar ditimbang, kemudian dinyatakan sebagai persen cooking Joss. Dengan mengetabui kadar airnya dapat ditentukan pula persentase WHC. Cooking Loss (%) = berat air yang memisah x 100% ‘erat bahan sebelum dimasak WHC (%) =] 1- [eooking loss | x 100% kadar air I. Uji Organoleptik Untuk mengetahui tingkat kesukean terhadap tekstur, warna, aroma, rasa, juiciness, dan kekenyalan dari sosis dilakukan uji hedonik dan rangking. Panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap sampel sesuai dengan skala pada formutir yang telah disediakan, Pada pengujian dengan metode hedonik menggunakan skala numerik 1-7, yaitu dari sangat tidak suka-sangat suka. Sampel disajikan secara acak, dan panelis diminta untuk memberikan penilaian secara spontan tanpa pembandingan. Sementara pada wji rangking, digunakan skala 1-5, yaitu dari mutu tertinggi sampai mutu terendah, serta panelis diminta untuk membandingkan mutu antar sampel terlebih dahulu sebelum memberikan rangking, Formulir uji hedonik dan rangking dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sosis merupakan salah satu produk pengolahan daging yang sering ditambahkan isolat protein kedelai, terutama sebagai bahan pengikat di samping fungsinya sebagai bahan pengisi. Dengan penambahan isolat protein tersebut diharapkan dapat mengurangi jumlah daging dan memperbaiki tekstur sosis. Menurut Forrest et al., (1975), bahan pengikat dan pengisi merupakan fraksi bukan daging yang ditambahkan pada sosis. Bahan-bahan ini ditambahkan dengan tujuan untuk, memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki kapasitas mengikat air, ‘merangsang pembentukan cita rasa, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, dan untuk mengurangi biaya produksi. Akan tetapi, pengaruh isolat protein kedelai terhadap mutu produk ini sangat dipengaruhi muta dan karakteristik dari isolat protein kedelai tersebut. A. KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI Isolat protein kedelai sering ditambahkan dalam pengolahan daging karena sifat fungsional yang dimilikinya, [solat protein mengandung kira-kira 90 % protein, disamping itu mempunyai flavor yang lembut, terdispersi dalam air, serta mempunyai kemampuan yang baik dalam mengikat air dan lemak (Forrest et al., 1975), pengemulsi dan dapat membentuk gel (FAO, 1991). Selain itu, menurut Stone dan Campbell (1980), isolat protein kedelai banyak digunakan karena kandungan proteinnya tinggi, baw/flavor yang dapat diterima, dan mudah dicarapurkan ke dalam berbagai jenis pangan. Pada penelitian ini digunakan lima jenis isolat protein kedelai sebagai sampel, yaitu isolat protein kedelai A, B, C, D, dan E, Kelima isolat protein kedelai tersebut dianalisa beberapa sifat fungsional yang dimilikinya sehingga dapat diketahui karakteristik dari masing-masing isolat. Berdasarkan hasil pengamatan, karakteristik isolat protein kedelai yang diamati memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik isolat protein kedelai dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik isolat protein kedelai sampel 32 Karnik denis tek | Kader | sy | por] psa | si. | ap | Visto | Kelston reo | 0. | C9 | CH] | Oo | uve A 94.97 } 3,96 | 15.39 } 563.02 | 310.65 | 56.40 | 0.5046 25 B 91.75 | 2.01 | 26.77 | 487.97 | 375.55 | 60.80 | 0.7246 3 Cc 93.59 ‘2.10 | 8.56 } 351.76 | 349.89 | $7,00 | 0.2195 1 D 98.25 | 2.86 | 13.41 | 443.48 | 313.55 | 58.00 | 0.1317, 2 E 91,83 1,50 | 6.13 | 447.38 | 302.48 | 57.20 | 0.7678 4 Keterangan: IP = Isolat Protein Kedelai, DSL = Daya Serap Lemak, DSA = Daya Serap Air, PDI = Protein Dispersibility Index, NSI= Nitrogen Solubility Index, AE = Aktivitas Emutsi Dari Tabel 4 di atas terlihat masing-masing isolat memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Isolat A memiliki nilai NSI dan daya serap air paling tinggi dibanding isolat lainnya. Isolat B memiliki nilai PDI, DSL, dan AE. tertinggi, isolat D mempunyai kadar protein tertinggi, dan isolat E merupakan isolat yang memiliki nilai viskositas paling tinggi dibanding isolat lainnya. Sementara itu, isolat C merupakan isolat yang memiliki nilai daya serap air dan kekuatan gel paling rendah dibanding keempat isolat lain. 1, Kadar Protein Kadar protein dari isolat yang diamati memiliki nitai tebih dari 90 % berdasarkan berat ering, yaitu antara 91.75 % sampai 98.25%, Hal ini sesuai dengan pendapat Wolf (1970) bahwa isolat protein kedelai mengandung protein lebih dari 90 %. Tsolat protein kedelai B memiliki kadar protein paling rendah, yaitu 91.75 %, selanjutnya berturut-turut isolat C sebesar 91.83 %, isolat E sebesar 93.59 %, isolat A scbesar 94.97 %, dan yang terakhir isolat D dengan nilai 98.25 % merupakan isolat dengan kadar protein tertinggi (Tabel 4). Untuk lebih jelas perbedaan kadar protein tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah, 33 . =] “7 ma 1 i i Bserses A 8B CO E€ | tnolat Protein Kedelal Gambar 2. Histogram perbedaan kadar protein isolat sampel Perbedaan kadar protein tersebut kemungkinan besar terjadi akibat proses isolasi yang berbeda, varietas kedelai yang berbeda, pelarut yang berbeda, dan struktur asam amino yang berbeda, Menurut Lawton dan Carter (1971) metode isolasi yang digunakan sangat mempengaruhi sifat- sifat fungsional isolat yang dihasilkan, Proses isolasi sering mengakibatkan kerugian (penurunan) sifat fungsional protein yang dihasilkan (Cheftel et al., 1985). Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran partikel tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan, serta suhu, pH dan kekuatan ion dari medium pengekstrak (Kinsella, 1979). 2. Kelarutan Protein Kelima isolat sampel memiliki nilai NSI amtara 1.50 % sampai 3.96 % (Tabel 4). Nilai NSI tertinggi terdapat pada isolat A yaitu sebesar 3.96 % sedangkan NSI terendah terdapat pada isolat £, yaitu 1.50 % (Gambar 3). Protein dispersibitity index (PDI) dari kelima isolat protein kedelai tersebut juga berbeda-beda. Dimana PDI tertinggi dimiliki oleh isolat B yaitu 26.77 % dan PDI terendah dimitiki oleh isolat E, yaitu hanya sebesar 6.13 % (Gambar 4). aNoe nc (4) i } | A BC DE Isolat Protein Kedeta! ° — Gambar 3. Histogram perbedaan nilai nitrogen solubility index (NSI) isolat protein kedelai sampel Secara umum nilai kelarutan protein dari isolat-isolat tersebut rendah, yaitu NSI rata-rata < 20 % dan PDI < 30 % Menurut Johnson (1970) yang dikutip oleh Kinsella (1979), nilai PDI < 30 % sesuai untuk makanan berupa kue, saus, sop, sosis, serta makanan bayi, sedangkan nilai PDI yang lebih kecil dari 15 % cocok untuk produk berupa cracker, minuman, dan produk olahan biji-biji Gambar 4. Histogram perbedaan nilai PDI isolat protein kedelai sampel Sedangkan Mohamed et al. (1987) mengelompokkan NSI isolat protein kedelai sebagai berikut : (a) kelarutan tinggi (NSI > 70 %) cocok untuk produk hasil susu imitasi, pengganti susu, dan sup; (b) kelarutan sedang (NSI > 50 %) cocok untuk formula pangan anak-anak; (c) kelarutan rendah (NSI < 20 %) sesuai untuk produk pasta dan pangan yang dipanggang. Apabila melihat nilai NSI kelima isolat protein kedelai yang 35 diamati terlihat bahwa NSI dari kelimanya termasuk ke dalam kelompok kelarutan rendah (NSI < 20 %) sehingga cocok untuk produk pasta dan pangan yang dipanggang, misainya meat loaf. Sedangkan berdasarkan nilai PDI, isolat protein kedelai ini cocok untuk produk olahan daging seperti sosis dan meat loaf. 3. Aktivitas Emulsi Salah satu sifat fungsional yang penting dari protein kedelai adalah kemampuannya dalam membentuk emulsi. Dari hasil analisa diketahui nilai aktivitas emulsi dari masing-masing isolat temyata tidak jauh berbeda Isolat A, C, E, D, dan B berturut-turut mempunyai aktivitas emulsi yang semakin tinggi, yaitu sebesar 56.40 %, 57.00 %, 57.20 %, 58,00 %, dan 60.80 % (Gambar 5). A BC DOE tolat Protein Keselat | Gambar 5. Histogram perbedsan nilai aktivitas emulsi isolat protein kedelai sampel Semakin tinggi aktivitas emulsi yang dimiliki isolat memunjukan semakin baik kemampuan membentuk emulsinya, Dengan demikian isolat tersebut dapat berfungsi sebagai emulsifier yang baik. Perbedaan aktivitas emulsi dari kelima isolat tersebut sangat kecil sehingga tidak akan terlalu berpengaruh techadap mutu emulsi yang dihasilkannya, Adanya perbedaan nilai aktivitas emulsi tersebut menunjukan adanya perbedaan dari kelima isolat protein kedelai tersebut baik dari segi kepolaran maupun bentuk molekulnya. _Isolat__ yang memilikitingkat kepolaran tinggi akan menyebabkan fase protein-air membentuk matriks yang lebih kuat, sehingga 36 butiran-butiran lemak yang dapat diselubungi akan semakin banyak, akibatnya emulsi lebih stabil. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Winamo (1997) bahwa emulsifier dapat meningkatkan stabilitas emulsi karena bentuk molekulnya yang mempunyai dua sisi dengan sifat yang berbeda Dimana salah satu sisinya bersifat polar yang dapat berikatan dengan cairan yang bersifat polar pula, sedangkan sisi yang lain bersifat non polar, schingga emulsifier dapat mencegah terpisahnya fase pendispersi dan fase terdispersi. Perbedaan aktivitas emulsi yang tidak berbeda nyata dari kelima isolat tersebut menunjukan kemampuan membentuk dan mempertahankan emulsi dari kelima isolat tersebut hampir sama. Dengan demikian untuk aplikasi pada produk emulsi dapat dipilih isolat yang mana saja karena daya emulsi dari kelimanya relatif sama, 4. Daya Serap Air Daya serap air adalah jumiah air yang dapat terperangkap di dalam matriks protein pada kondisi tertentu (Hutton dan Campbell, 1981). Hal ini berarti semakin tinggi daya serap aimya maka semakin banyak air yang terperangkap dalam matriks protein tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diketahui daya serap air dari isolat- isolat sampel tersebut terdapat pada kisaran 351.76 % sampai 563.02 % (Tabel 4), Kemampuan menyerap air dari isolat protein kedelai tertinggi dimiliki oleh isolat A yaitu sebesar 563.02 %, sedangkan terendah terdapat pada isolat C yaitu hanya sebesar 351.76 % (Gambar 6). A BC DE Isolat Protein Kedelal Gambar 6. Histogram perbedaan nilai daya serap air isolat sampel 37 Perbedaan daya serap air dari kelima isolat ini, kemungkinan terjadi Karena adanya perbedaan tingkat kepolaran dari masing-masing isolat protein kedelai. Dimana isolat yang memiliki gugus polar paling banyak akan menyerap air iebih banyak pula dibandingkan dengan protein yang memiliki lebih banyak gugus non polar, Dalam hal ini isolat A yang memiliki nilai DSA tertinggi kemungkinan besar memiliki gugus polar terbanyak dibandingkan dengan isolat lainnya, khususnya dengan isolat C yang memiliki nilai DSA terendah. Kemampuan menyerap air ini berkaitan dengan adanya gugus-gugus polar rantai samping seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil dan sulfidril yang menyebabkan protein bersifat hidrofilik yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air (Briskey, 1970), Faktor-faktor tuar berupa pH, suhu, dan kekuatan ion dapat mempengaruhi kemampuan protein dalam menyerap air melalui perubahan konformasi dan polaritas molekul protein tersebut, Perubahan dari bentuk globular menjadi koil acak dapat meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat air karena semakin banyak rantai samping asam amino yang terbuka sehingga dapat berinteraksi dengan air (Hutton dan Campbell, 1981). Pengaruh pH terhadap daya serap air dapat ditihat dari rendahnya daya serap air pada pH titik isoelektrik dan meningkat dengan semakin Jaubnya dari titik isoelektrik (Cowan dan Wolf, 1971), 5, Daya Serap Lemak Kemampuan penyerapan isolat protein kedelai terhadap minyak atau lemak temyata berbeda-beda. Dari hasil pengujian diperoleh daya serap lemak kelima isolat protein kedelai tersebut adalah sekitar 302.48 % sampai 375.55 %. Dimana DSL tertinggi dimiliki oleh isolat B dan terendah oleh isolatE (Gambar 7). Perbedaan daya serap lemak ini kemungkinan terjadi akibat adanya perbedaan kandungan protein, ukuran partikel, struktur, dan tingkat denaturasi dari kelima isolat protein kedelai tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Hutton dan Campbell (1980), yang menyatakan bahwa 38 protein. Gambar 7. Histogram perbedaan daya serap lemak isolat sampel Tingginya kemampuan menyerap lemak dari isolat B kemungkinan besar karena ukuran partikel proteinnya lebih kecil dari isolat lain, tingkat kepolarannya paling rendah (lebih lipofilik), nitrogen solubility index (NSI)nya rendah, dan tingkat denaturasinya lebih tinggi dari isolat lainnya, Struktur yang berbeda menyebabkan tingkat kepolaran dari protein juga berbeda. Semakin banyak gugus polar dari unit-unit asam amino protein maka semakin hidrofilik protein tersebut dan berarti semakin rendah kemampuan menyerap lemaknya. Sebaliknya semakin banyak gugus non polar yang dimiliki protein berarti semakin rendah sifat hidrofiliknya atau semakin lipofilik dan semakin besar kemampuannya dalam mengikat minyak atau lemak. ‘Menurut Lin et al. (1974) daya serap lemak akan semakin meningkat dengan semakin tingginya kandungan sisi non polar dari protein. Selain itu juga dinyatakan bahwa persentase penyerapan lemak menurun dengan meningkatnya kelarutan protein dalam air. Ukuran partikel protein dapat mempengaruhi kemampuan protein dalam menyerap minyak atau lemak, Semakin kecil ukuran partikel protein maka kemungkinan akan semakin banyak lemak yang terserap. Hal ini dapat terjadi karena dengan semakin kecil ukuran partikel berarti semakin 39 besar luas permukaan partikel protein dan semakin besar peluang terjadinya interaksi antara lemak dengan protein. Denaturasi protein juga diduga dapat mempengaruhi tingkat penyerapan lemak. Protein yang mudah sekali terdenaturasi kemampuan menyerap lemaknya akan rendah, karena pada kondisi tertentu dimana protein lain belum mengalami denaturasi protein ini sudah terdenaturasi dan menggumpal sehingga tidak dapat lagi menyerap lemak atau berinteraksi dengan molekul lain. 6. Kekentalan Kekentalan atau viskositas merupakan salah satu sifat fisik penting dari isolat protein kedelai. Dengan mengetahui tingkat viskositas dari suatu bahan pangan maka dapat diketahui aplikasinya dalam produk pangan. Kekentalan isolat protein kedelai yang diamati memiliki nilai yang berbeda-beda, yaitu berkisar antara 0.1317 cps sampai 0.7678 cps. Berikut adalah nilai-nilai kekentalan isolat yang diamati, isolat A memiliki kekentalan sebesar 0.5046 cps, isolat B sebesar 0.7246 cps, isolat C sebesar 0.2195 cps, isotat D sebesar 0.1317 cps, dan terakhir isolat E sebesar 0.7678 cps (Tabel 4). Untuk melihat lebih jelas perbedaan nilai kekentalan dari solat protein kedelai yang dianalisa dapat dilitat pada Gambar 8 di bawah. Gambar 8. Histogram perbedaan nifai kekentalan isolat sampel Kekentalan isolat E merupakan nilai yang paling tinggi di antara kelima isolat yang diamati, sebatiknya kekentaian isolat D merupakan yang 40 Kekentalan rendah umumnya digunakan pada produk-produk mnuman 7, Kekuatan Pembentukan Gel Sifat fungsional lain dari protein adalah kemampuannya dalam membentuk gel. Sifat ini cukup penting untuk diketahui terutama untuk aplikasinya pada produk pangan. Cheftel et al. (1985) menyebutkan bahwa pembentukan gel protein dapat juga digunakan untuk peningkatan enyerapan air, pengental, pengikatan partikel (adhesion) dan stabilitas emulsi atau buih. Pada konsentrasi protein 12.5 % isolat protein kedelai A memiliki nilai kekuatan gel 2.5 (gel agak kuat), B memiliki nilai 3 (kuat), C memiliki nilai 1 (sangat lemah), D memiliki kekuatan gel 2 (lemah), dan E memiliki nilai 4 (sangat kuat). Terlihat bahwa isolat yang memiliki viskositas tinggi cenderung memiliki kemampuan membentuk gel yang tinggi. a Th 3: 1 [__ — Gambar 9, Histogram perbedaan nilai kekuatan pembentukan gei dari isolat sampel Gelasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain konsentrasi, pH, adanya komponen lain, serta perlakuan panas yang dislaminya (Damodaran dan Kinsella, 1982). Adanya pengaruh dari faktor-faktor tersebut dapat diketahui dari nilai kekuatan pembentukan ge! yang berbeda- beda dari kelima isolat yang dianalisa, Dimana pada konsentrasi protein 41 yang tinggi kekuatan gelpun semakin tinggi. Pada konsentrasi protein 7.5 persen rata-rata belum terbentuk gel (bemnilai 0), pada konsentrasi 10.0 persen gel sudah mulai terbentuk walaupun sangat lemah (nilai 1), baru pada Konsentrasi 12.5 persen gel yang terbentuk sudah cukup kuat (sekitar 2.5), dan pada konsentrasi 15.0 persen protein gel yang terbentuk rata-rata sangat kuat (nilai 4). Semakin tinggi konsentrasi protein dari isolat menyebabkan gel yang dihasilkannyapun cenderung semakin kuat dan cenderung semakin Jemah dengan semakin rendahnya konsentrasi protein dari isolat tersebut. B. PENGARUH ISOLAT PROTEIN KEDELAI TERBADAP MUTU SOSIS Pada penelitian ini proses pembuatan sosis diusahakan dalam kondisi yang homogen, sehingga apabila terdapat perbedaan mutu benar-benar akibat adanya pengaruh penambahan isolat protein kedelai yang berbeda-beda karakteristiknya, Penambahan isolat pada penelitian ini cukup tinggi yaitu sebanyak empat persen, sedangkan tapioka sebagai bahan pengisi hanya sebanyak dua persen. Hal ini sengaja dilakukan agar dapat melihat dengan lebih jelas pengaruh isolat terhadap mutu sosis yang dihasilkan, sehingga tidak ‘terjadi pembiasan dengan penambahan bahan pengisi. Adanya pengaruh dari beberapa sifat isolat protein yang ditambahkan terhadap produk terlihat dari mutu sosis yang dihasitkan. Mutu produk pangan dapat didefinisikan sebagai sifat atau faktor yang membedakan tingkat pemuss atau aseptabilitas dari produk pangan tersebut bagi pembeli atau konsumen. Sifat mutu atau sifat fisik dan organoleptik suatu ‘bahan pangan merupakan salah satu bagian dari unsur mutu yang sangat berpengaruh terhadap mutu produk. Sifat fisik merupakan sifat-sifat yang dapat diukur baik dengan alat fisik ‘maupun secara uji organoleptik. Sedangkan sifat organoleptik adalah sifat mutu subjektif yang hanya dapat diukur dengan instrumen manusia (Soekarto, 1990). Dari hasil pengamatan diketahui mutu produk yang dihasilkan memiliki perbedaan baik dari segi WHC, cooking Joss, kekerasan, kekenyalan, maupun penilaian organoleptiknya. Pengaruh karakteristik isolat protein kedelai terhadap mutu produk dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah, 2 Tabel 5. Karakteristik mutu sosis : Parnnbeter Maca Soule | Foote RIC WHC sonen [Coating Lows] Kekerasen | Keeayalen, ae aa ce ene ee 1.0327 B 92.86 478 1704.92 1.0184 € wii 392 1670.82 | bois D 95.36 3.08 1728.19 1.0423 E 93.20 454 1636.18 ‘1.0113 J Keterangan : PK = Isolat Protein Kedelai WHC = Water Holding Capacity (Daya Mengikat Air). 1. Water Holding Capacity (WHC) Water holding capacity (WHC) merupakan suatu nilai yang menunjukan kemampuan untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari dirinya maupun yang berasal dari fuar atau ditambahkan. Pengukuran WHC penting ditakukan untuk melihat seberapa besar jumlah air yang dapat diikat dan dipertahankan adonan selama pemasakan. WHC berhubungan ‘erat dengan nilai suiciness, tekstur, warna, sifat sensorik, dan rendemen yang dihasilkan. Menurut Zayas (1997), daya mengikat air adalah kemampuan untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses atau kemampuan struktur bahan pangan untuk menahan air lepas dari struktur tiga dimensi protein. Berdasarkan analisis sidik ragam WHC kelima sosis tersebut berbeda nyata (p < 0.01). Dimana WHC sosis tersebut berkisar antara 92.86 % sampai 95.36%. Bila dilanjutkan dengan uji Duncan terlihat WHC sosis B tidak berbeda nyata dengan sosis E, namun sangat berbeda nyata dengan sosis A dan D, dan berbeda nyata dengan sosis C. Selain itu, antara sosis E dan C, sosis C dan A, serta sosis A dan D juga memiliki nilai yang hampir sama sehingga tidak berbeda nyata (Lampiran 10). Dari data tersebut terlihat adanya perbedaan jenis isolat protein kedelai menyebabkan nilai WHC dari sosis berbeda pula. Sosis isolat D memiliki nilai WHC paling tinggi sedangkan sosis isolat B WHC-nya paling 43 rendah (Gambar 10). Tingginya nilai WHC sosis isolat D kemungkinan besar karena isolat ini memiliki kandungan protein yang tinggi. Sedangkan rendahnya nilai WHC sosis dengan penambahan isolat B kemungkinan besar karena kadar protein isolat ini paling rendah dan daya serap lemaknya tinggi. WHE) Gambar 10. Histogram perbedaan nilai water holding capacity (WHC) sosis dengan penambahan isolat protein kedelai yang berbeda Semakin meningkatnya daya mengikat air atau WHC sosis dengan semakin tingginya kadar protein kemungkinan besar terjadi karena adanya ‘gugus-gugus polar dan non polar pada protein. Dimana gugus-gugus polar tersebut akan berinteraksi dengan ion hidrogen dari air yang bersifat polar pula. Interaksi antara protein-protein dan protein-air akan membentuk jaringan tiga dimensi yang kaky dan mampu memperangkap sejumlah air, Semakin tinggi kandungan protein maka diasumsikan akan semakin banyak gugus polamya schingga akan semakin banyak air yang terikat dan akibatnya WHC meningkat, Tingginya Daya serap lemak dari isolat B turut berperan dalam ‘menurunkan nilai WHC sosis. Hal ini terjadi karena daya serap lemak yang tinggi dapat menurunkan kemampuan protein mengikat air. Semakin banyaknya lemak yang diserap maka semakin berkurang jumlah air yang akan diikat protein. Semakin tinggi daya serap lemak protein menunjukan semakin banyak gugus non polar yang dimilikinya dan semakin sedikit gugus polamya schingga interaksinya dengan air akan semakin kecil, Menurut Kramlich (1971), daya ikat air (WHC) sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan garam (NaCl). Pengguaaan geram dan fosfat akan meningkatkan kelarutan protein (aktin, miosin, dan aktomiosin). Sementara Forrest et al. (1975), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi daya mengikat air adalah susunan protein miofibril yaitu aktin dan miosin. Dengan mengurangi gaya kohesi antara molekul- molckul yang berdekatan maka jaringan akan membesar schingga air akan terserap dan terjebak di dalam jaringan otot. Air yang terjebak di dalam jaringan otot adalah air yang terimobilisasi. Air yang_terimobilisasi merupakan air yang berada pada lapisan tengah antara air bebas dan air terikat serta berada pada daerah molekul yang mempunyai muatan. 2. Susut Masak (Cooking Loss) Susut masak merupakan indikator yang menunjukan besamnya Komponen yang hilang selama pemasakan. Cooking loss betkaitan erat dengan rendemen yang dihasilkan, Nilai cooking loss yang rendah merupakan suatu hal yang diinginkan pada proses pembuatan produk pangan, Cooking loss atau susut masak dasi sosis yang dibuat dengan penambahan lima jenis isolat ini berkisar antara 3 - 5 %, yaitu 3.56 % untuk sosis isolat A, 4,78 % untuk sosis isolat B, 3.92 % untuk sosis isolat C, 3.08 % untuk sosis isolat D, dan 4.54 % untuk sosis isolat E (Gambar 11). Rendahnya nilai cooking loss tersebut menunjukan hanya sedikit komponen yang hilang selama pemasakan dan berarti adonan sosis tersebut memiliki stabilitas yang baik. Berdasarkan analisis sidik ragam cooking Joss sosis ini berbeda sangat nyata (p< 0.01), Dasi uji lanjut Duncan diketahui cooking loss sosis D berbeda nyata dengan sosis C dan sosis A, serta sangat berbeda nyata dengan cooking loss sosis B dan E. Perbedaan nilai cooking loss dari kelima sosis tersebut menunjukan Jjenis isolat turut berpengaruh tethadap nilai cooking Joss. Penambahan » 45 isolat D temyata dapat memberikan susut masak yang paling rendah, artinya tidak banyak komponen yang hilang atau lepas selama pemasakan Rendahnya susut masak dari sosis dengan penambahan isolat ini terjadi karena tingginya kandungan protein dan WHC yang dimilikinya Sedangkan sosis yang ditambahkan isolat B justru memiliki susut masak yang paling tinggi diantara kelima sosis yang dibuat Hal ini disebabkan rendahnya kandungan protein dan WHC dari isolat B. Menurut Soeparno (1992) nilai pHi dan daya mengikat air yang cukup tinggi menghasilkan tingkat susut masak sosis yang dihasilkan relatif rendah. Gambar 11. Histogram perbedaan nilai cooking Joss sosis Nilai pl yang tinggi memungkinkan daya mengikat air menjadi semakin tinggi. Tingginya kemampuan adonan dalam mengikat air menyebabkan jumlah air yang lepas saat pemasakan lebih sedikit, schingga susut masak lebih rendah Tekstur ‘Tekstur merupakan salah satu indikator mutu sosis yang penting Tekstur sangat berperan dalam penerimaan terhadap suatu produk makanan, dan merupakan salah satu faktor mutu selain penampakan, warna, dan flavor yang berhubungan dengan sifat sensorik. Menurut Rosenthal (1999), tekstur merupakan segala hal yang berhubungan dengan mekanik, geometris, dan permukaan suatu produk yang dapat diamati secara mekanik, rasa, sentuhan, penglihatan dan pendengaran. Pengukuran tekstur dapat dilakukan secara langsung dengan sensorik dan mekanik, maupun secara tidak langsung dengan anlisis fisik (spesifik gravity, berat alir) dan anatisa kimia (kandungan kolagen, alkohol-padatan tak lorut), Pengukuran tekstur dengan sensorik sangat bersifat subjektif, sehingga hasilnya tidak objektif. Hasil yang diperolch bervariasi karena dipengaruhi oleh respon panelis yang berhubungan dengan penerimaan, kesukaan, kebiasaan, dan kepercayaan yang berbeda dari tiap individu (Rosenthal, 1999) Penggunaan mekanik dalam pengukuran tekstur daging lebih memberikan hasil yang lebih objektif dibandingkan dengan sensorik. Sifat- sifat mekanik bahan pangan diukur dengan menggunakan gaya, gaya tegang, tekanan, dan gesekan yang menghasilkan perubahan bentuk (deformation). ‘Hardness Force (d) / 204 ‘2000: Kekenyalan = 1750 time diff 3-4/time diff. 1:2 Daya ‘Pecah 1500- 300 Time (sec) Gambar 12. Grafik tingkat kekerasan dan kekenyalan hasil pengukuran ‘Texture Analyzer TA-XT2i 47 Pada penclitian ini pengukuran tekstur secara objektif dilakukan dengan Texture Analyzer TA-XT2i, Contoh grafik hasil pengukuran ‘Texture Analyzer dapat dilihat pada Gambas 12 di atas, Dari hasil pengukuran Texture Analyzer diperoleh nilai kekerasan dan kekenyalan sosis yang bervariasi dari kelima jenis isolat tersebut. Nilai tekstur dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6, Tekstur sosis YenisPK'] Kelerasan | Kehenyalen {gram force) | A 1742.65 1.0327 B 1704.92 1.0184, c 1670.82 1.0128 D 1728.19 1.0423 F 1636.18 1Ous Keterangan : IPK = Isolat Protein Kedelai a. Kekerasan (Hardness) Kekerasan merupakan salah satu parameter mutu tekstur sosis, ‘Tingkat kekerasan digambarkan sebagai puncak tertinggi pada grafik Texture Analyzer (Gambar 12), Dari hasil pengukuran Texture Analyzer diperolch nilai kekerasan sosis yang cukup tinggi. Menurut Ranggana (1986), kekerasan didefinisikan sebagai gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu bahan atau produk sehingga terjadi perubahan produk yang diinginkan, Kekerasan dalam penelitian ini dinyatakan dalam besarnya gaya yang dikeluarkan untuk memotong sosis. Semakin besar gaya yang digunakan menunjukan semakin keras sosis tersebut. ‘Tingkat kekerasan dari sosis yang diukur bervariasi, yaitu antara 1636 sampai 1743 gram force (dapat dilihat pada Tabel 6). Berdasarkan analisis sidik ragam kekerasan dari sosis dengan penambahan kelima isolat tersebut berbeda nyata (p < 0.05). Dengan demikian jenis isolat memberiken pengaruh yang cukup besar terhadap nilai kekerasan sosis. Sementara dari uji lanjut Duncan diketahui kekerasan sosis A hampir sama dengan sosis D dan B (kekerasan cukup tinggi), sehingga tidak ada 48 perbedaan yang nyata antar ketiganya, Kekerasan sosis A berbeda nyata dengan sosis E dan C (Kurang keras), Kekerasan sosis isolat C tidak berbeda nyata dengan sosis isolat E dan B, tetapi berbeda nyata dengan sosis lainnya. Kekerasan tertinggi terdapat pada sosis isolat A yaitu 1742.65 gram force, dan terendah terdapat pada isolat E, yaitu sebesar 1636.18 gram force (Gambar 13). Tingginya tingkat kekerasan sosis isolat A kemungkinan terjadi karena kandungan proteinnya cukup tinggi sehingga pembentukan gel dan ikatan silang yang terbentuk lebih banyak dan tekstur semakin keras, Selain itu kelarutan protein (NSI) isolat ini juga paling tinggi. Menurut Eltinger (1972), semakin banyak partikel protein terlarut maka akan saling berikatan diantara partikel tersebut sehingga membentuk suatu adonan yang kompak. ‘Gambar 13. Histogram perbedaan nilai kekerasan (hardness) sosis Secara umum, kekerasan kelima sosis ini relatif tinggi. Tingginya nilai kekerasan ini disebabkan adanya penambahan isolat dan bahan pengisi yaitu tapioka. Menurut Lin et al. (1974) produk yang ditambabkan kedelai mempunyai tekstur yang lebih keras dibandingkan produk tanpa kedelai. Kadar protein dari masing-masing isolat cenderung berpengaruh positif terhadap kekerasan sosis, dimana semakin tinggi kadar protein kekerasan sosispun semakin tinggi. Hal ini dapat dijelaskan dengan 49 pendapat Iswanto (1989) yang mengatakan bahwa kekerasan objektif bakso yang tinggi diduga disebabkan karena protein kedelai termasuk protein globular dan juga larut pada larutan garam (NaCl), schingga protein kedelai banyak terekstrak dan menyebar rata pada adonan, saat perebusan terbentuklah matrik protein yang rigid. Kekenyalan Kekenyalan merupakan parameter mutu yang penting dari produk olahan daging termasuk sosis, Kekenyalan merupakan salah satu sifat reologi yaitu sifat fisik produk pangan yang berkaitan dengan deformasi bentuk akibat terkena gaya mekanis. Sifat ini sangat penting kaitannya dengan mutu produk pangan bentuk gel. Nilai kekenyalan sosis diperoleh dengan membandingkan waktu antara mulai terbentuknya kurva kedua sampai puncak tertinggi dengan waktu mulai terbentuknya kurva pertama sampai tercapainya puncak tertinggi dari hasil pengukuran Texture Analyzer (Gambar 12) Dari hasil pengukuran Texture Analyzer terhadap sosis kelima jenis isolat tersebut diperoleh nilai kekenyalan sosis yang berbeda-beda (Tabel 6). Dimana sosis isolat A memiliki nilai kekenyalana sebesar 1.0327, sosis B memiliki nilai 1.0184, sosis C sebesar 1.0128, sosis D sebesar 1.0423, dan sosis E memiliki kekenyalan sebesar 1.0113 Perbedaan tersebut menunjukan adanya pengaruh dari jenis isolat terhadap tingkat kekenyalan sosis. Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa kekenyalan dari sosis tersebut berbeda nyata (p < 0.01). Sementara itu, uji lanjut Duncan menunjukan kelima sosis tersebut satu sama lain memiliki perbedaan, kkecuali pada sosis isolat C dan E, serta antara sosis isolat E dengan B (kekenyalan keduanya hampir sama, yaitu tergolong rendah), Perbedaan kekenyalan dari sosis-sosis tersebut menunjukan adanya pengaruh dari jenis isolat terhadap kekenyalan, Sosis dengan penambahan isolat D memiliki nilai kekenyalan tertinggi (1.0423) dan E memiliki kekenyalan terendah (1.0113), untuk lebih jelas dapat dilihat 50 pada Gambar 14 di bawah. Tingginya nilai kekenyalan dari sosis D kemungkinan besar terjadi Karena tingginya kandungan protein yang dimilikinya, sedangkan rendahnya nilai kekenyalan sosis E karena rendahnya kandungan protein yang dimilikinya. Hal ini menunjukan semakin tinggi kadar protein isolat maka semakin meningkat kekenyalannya. Gambar 14. Histogram perbedaan nilai kekenyalan (elastisitas) sosis, Kekenyalan protein tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan protein tetapi ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhinya, Selain itu, kekenyalan erat kaitannya dengan kandungan air, tekstur akan ‘berubah dengan berubahnya kandungan air. Adonan sosis isolat D merupakan adonan sosis yang memiliki nilai WHC tertinggi dan daya serap lemak yang rendah sehingga kandungan aimnyapun pasti tinggi pula, akibatnya tingkat kekenyalannya lebih tinggi dibanding sosis lain. ‘Namun selain kandungan airnya tekstur juga dipengarubi oleh kandungan lemak, protein, gula dan sebagainya (Potter, 1973). 4, Sensorik Nilai sensorik suatu bahan pangan merupakan indikator penting yang dapat menunjukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Menurut Soekarto (1990) mutu sensorik pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau divkur dengan dengan proses 51 penginderaan yaitu penglihatan dengan mata, pembauan/penciuman dengan hidung, pencicipan dengan rongga mulut, perabaan dengan ujung jari tangan atau pendengaran dengan telinga. Mutu organoleptik mempunyai peranan dan makna yang sangat besar dalam penilaian mutu produk pangan, baik sebagai bahan pangan hasil pertanian, baban mentah industri maupun produk olahan, lebih-lebih sebagai makanan hidangan. Penilaian mutu dengan uji organoleptik dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, tetapi uji ini memiliki kelemahan, yaitu dipengaruhi oleh kondisi fisik, psikologis panelis, dan lingkungan. Pada penelitian ini pengujian nilai sensorik atau organoleptik sosis dilakukan dengan uji hedonik dan rangking. Selain uji hedonik dan rangking terhadap masing- ‘masing sifat sensorik, dilakukan juga uji rangking terhadap keseluruhan kesukaan panetis, Dari uji ini dapat diketahui sosis yang paling baik dan disukai oleh panelis secara unum. a, Uji Hedonik dan Rangking Sosis ‘Uji hedonik dilakukan untuk mengukur tingkat kesukaan panelis, terhadap mutu sensorik sosis, yaitu warna, rasa, aroma, juiciness, kekerasan, dan kekenyalan. Pada uji hedonik ini digunakan skala penilaian 1-7, yaitu dari sangat tidak suka sampai sangat suka, Sementara pada uji rangking, semua sifat sensorik dari kelima sosis tersebut diurutkan dari rangking satu sampai lima, sesuai dengan tingkat mutunya. sehingga diharapkan dapat diketahui tingkat mutu dari masing-masing sifat sensorik sosis. Apabila tingkat mutu sensorik dari sosis sampel tersebut diketahui, maka dapat dilihat kesukaan panelis terhadap sifat sensorik. Hasil uji hedonik terhadap sosis dapat dilihat pada Tabel 7. 52 Tabel 7. Hasil uji hedonik sosis Sens ‘Raie-reta Kesakiaaa Soci 1K | Waraa | Rasa | Arems | Kekerasan |Kekenyalan| Juiciness| A 427 | 543 [477 5.00 48 493 | B 4.43 5.33 4.87 5.03 5.20 4.70 c 437 [563 | 480 [530 477 327 D 417 4.97 497 497 4.83 40 E 457 | Sar | 4a7 | aa a7 450 Keterangan : [PK = isolat Protein Kedelai Warna ‘Wama merupakan salah satu parameter mutu yang dapat diukur oleh alat indera manusia. Wama merupakan komponen yang cukup penting dari suatu produk pangan dan dapat mempengaruhi penilaian Konsumen terhadap mutu produk. Menurut Winamo (1997), penentuan ‘mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya; disamping itu ada sift mikrobiologis. Tetapi_sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor wama tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, nak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dibeli apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari wama yang seharustya. Gambar 15. Histogram perbedaan nilai kesukaan wama sosis 53 Berdasarkan uji hedonik (kesukaan), sosis dengan penambahan isolat protein kedelai tersebut rata-rata memiliki nilai kesukaan terhadap wama yang cukup rendah, yaitu 4.27 (antara netral dan agak suka) untuk sosis isolat A, 4.13 (cenderung netral) untuk sosis B, 4.37 (antara netral dan agak suka) untuk sosis C, 4.17 (cenderung netral) untuk sosis D, dan 4.57 (mendekati agak suka) untuk sosis E, Kesukaan tertinggi terdapat pada sosis isolat E, yaitu hampir mendekati nilai agak suka (4.35) (Gambar 15). Dari hasil analisis sidik ragam diketahui kesukaan panelis tethadap wama dari kelima sosis tersebut tidak berbeda nyata pada (p > 0.05). Bagi panelis semua sosis yang diujikan memiliki nilai warna yang, sama dan cenderung kurang disukai. Kurang disukainya wama sosis tersebut kemungkinan besar karena sosis berwarna agak coklat muda ‘bukan merah cerah, kurang homogen, dan tidak cerah. Sedangkan pada uji rangking, uratan wama tertinggi dimiliki oleh sosis isolat A dengan rata-rata rangking 2.40, selanjutnya berurutan diikuti oleh sosis isolat C dengan rata-rata rangking 2.70, isolat E dengan rata-rata rangking 2.93, sclanjutnya isolat B dengan rata-rata rangking 3.37, dan isolat A dengan rata-rata rangking 3.60 (dapat dilihat pada Tabel 8). Tabel 8. Hasil uji rangking sosis denis PK! Rate-rata Rangldng sesis ‘Aroma [Wama| Rasa |Kekenyalan|Kekerasan | Juiciness A 2.67 240 | 2.27 193 2.23 2.53 B 3.63 3.37 | 4.00 4.00 3,57 3.37 © | 280 270 [2a7 | 217 200 | 268 D | 303 | 360 | 273 | 337 3a7 | 323 E 287 2.93 | 3.53 3.53 3.93 3.18 Keterangan : IPK = Isolat Protein kedelai Dari uji hedonik diketaui kesukaan wana tertinggi terdapat pada sosis E dengan nilai kesukaan rata-rata 4.57 (mendekati agak suka), sementara hasil uji rangking menunjukan waa dari sosis tersebut berada, 54 pada urutan ke-3 (agak cerah). Hal tersebut menunjukan sosis ini disukai panelis karena berwarna lebib cerah dibandingkan sosis lainnya. Namun demikian karena waa dari kelima sosis ini hampir sama yaitu coklat muda kemerahan maka penilaian kesukaan panelis juga hampir sama terhadap kelimanya yaitu netral. Berdasarkan hal tersebut, dapat kita lihat bahwa perbedaan jenis isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang nyata tehadap kesukaan warna dari panelis. Aroma Warna, rasa, dan aroma merupakan kriteria penampakan produk akhir yang sangat menentukan penerimaan konsumen terhadap mutu produk. Dati hasil uji hedonik diketahui penerimaan panelis terhadap aroma kelima sosis berbeda-beda (Gambar 16). Namun berdasarkan analisis sidik ragam penerimaan panelis terbadap aroma sosis tersebut tidak berbeda nyata (p > 0.05). Hal tersebut menunjukan aroma dari kelima jenis sosis dapat diterima oleh panelis. Gambar 16. Histogram perbedaan nilai kesukaan aroma sosis Rata-rata nilai hedonik aroma Kelima sosis berkisar antara 4.77- 4.97, yaitu antara netral sampai agak suka (Tabel 7). Tidak adanya perbedaan yang nysta dari aroma sosis ini terjadi Karena sernua perlakuan dilakukan seseragam mungkin dan jumlah penambahan isolat semuanya sama, yaitu sebanyak 4 persen. Selain itu, isolat protein kedelai banyak digunakan Karena flavomya memang bisa diterima olch konsumen. 55 Menurut Stone dan Campbell (1980), isolat protein kedelai banyak digunakan karena kandungan proteinnya tinggi, baw/flavor yang dapat diterima, dan mudah dicampurkan ke dalam berbagai jenis pangan. ‘Adanya. penambahan bumbu-bumbu juga dapat memberikan aroma yang disukai oleh panelis, Karena pada rempah-rempah tersebut terdapat minyak atsiri yang dapat memberikan flavor yang khas. Disamping itu penilaian panelis juga dipengaruhi oleh kondisi fisik seperti kesehatan dan kondisi psikologisnya. Kondisi fisik dan psikologis yang berbeda dari panelis dapat _menyebabkan penilaian panelispun berbeda. Rasa merupakan salah satu sifat mutu organoleptik yang penting dari produk pangan dan sangat menetukan tingkat pencrimaan panetis terhadap produk tersebut, Meskipun suatu produk pangan dinilai bermutu tinggi dani segi fisik, kimia, dan gizi, apebila memiliki rasa yang kurang enak dan tidak membangkitkan selera maka tidak akan ada artinya bagi konsumen. Hasil uji hedonik (kesukaan) sosis terhadap rasa rata-rata berkisar antara 4.97 sampai 5.63, yaitu antara netral (4) sampai suka (6). Rata-rata tertinggi kesukaan terhadap rasa dimiliki oleh sosis isolat E (5.63) (dapat dilihat pada Gambar 17). Akan tetapi dari hasil analisis sidik ragam penerimaan panelis tersebut tidak berbeda nyata (p > 0.05). Gambar 17. Histogram perbedaan nilai kesukaan rasa sosis 56 ‘Sementara dari hasit uji rangking diketahui sosis isolat A memiliki urutan tertinggi (rasa paling baik) sedangkan sosis isolat B berada pada urutan terakhir (paling tidak baik). Sosis isolat A memilikiurutan rangking tertinggi dan dari tingkat Kesukaan panelis cukup menyukai sosis ini (nilai kesukaan rata-rata sebesar 5.33 atau lebih dari agak suka), data uji rangking dapat dilihat pada Tabel 8, Menurut Dachlan dkk (1977), penambahan tepung kedelai sampai tingkat lima persen tidak menunjukan perbedaan rasa yang nyata dengan produk kontrol pada “Comed Beef”, baru pada penambahan tepung kedelai lebih dari lima persen akan menyebabkan rasa kedelai yang nyata. Kekenyalan Sifat kenyal (frimness) dan elastis (mulur, elastic) adalah sifat reologi tentang daya tahan untuk Jepas atau pecah. Kenyal adalah sifat produk pangan dalam hal daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan (Soekarto, 1990), Hasil uji organoleptik (hedonik) menunjukan tingkat kesukaan panelis tethadap kekenyalan sosis berbeda-beda, yaitu antara 4.70 sampai 5.20 (Gambar 18), Namun analisis sidik ragam memperlihatkan perbedaan penilaian kesukaan panelis terhadap kekenyalan ternyata tidak berbeda nyata (p > 0.05). Gambar 18. Histogram perbedaan nilai kesukaan kekenyalan sosis 37 Secara umum panelis menilai agak suka terhadap kelima sosis yang diujikan, Rata-rata nilai kesukaan tertinggi dimiliki oleh sosis dengan penambahan isolat B, yaitu 5.20 (lebih dari agak suka) dan yang terendah terdapat pada sosis dengan penambahan isolat E yaitu hanya 4.70 (di atas netral). Sementara hasil uji rangking menyatakan sosis yang paling kenyal dimiliki oleh sosis dengan penambahan isolat A sebaliknya yang kurang kenyal dimiliki oleh sosis dengan penambahan isolat B. Kedua bal tersebut menunjukan panelis kurang menyukai sosis yang terlalu kenyal Tingginya tingkat kekenyalan sosis dengan penambahan isolat A kemungkinan terjadi karena kandungan protein, daya serap air, dan kelarutan proteinnya cukup tinggi sementara daya serap lemaknya rendah. Kandungan protein yang tinggi menyebabkan gel yang terbentuk semakin kuat sehingga semakin kenyal teksturnya. Sebaliknya kandungan protein yang rendah menghasilkan pembentukan gel yang lebih sedikit akibatnya tekstur kurang kenyal. Kekerasan Sifat kenyal dan keras sebenamya sama-sama menyatakan tahan untuk pecah. Bedanya yaitu bahwa sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau produk pangan padat yang tidak bersifat deformasi, sedangkan sifat kenyal adalah sifat reologi pada produk pangan plastis, yang bersifat deformasi. Tingkat kesukaan panelis terhadap kekerasan sosis bervariasi antara 4.83 sampai 5.20, yaitu antara netral (4) sampai suka (6). ‘Kesukaan tertinggi panclis terhadap kekerasan sosis terdapat pada sosis dengan penambahan isolat C, yaitu 5.20 (lebih dari agak suka) dan paling tidak disukai adalah sosis dengan penambahan isolat E dengan nilai Kesukaan 4.70 (di atas netral), hal ini dapat dilihat pada Gambar 19 di bawah. Perbedaan nilai kesukaan panelis terhadap kekerasan kelima macam sosis yang diujikan relatif kecil, secara umum panelis cenderung agak menyukai keKerasan dari sosis-sosis tersebut. Hasil analisis sidik 58 ragampun menyatakan bahwa kesukaan panelis terhadap kekerasan kelima macam sosis tersebut tidak berbeda nyata (p > 0.05). Gambar 19. Histogram perbedaan nilai kesukaan kekerasan sosis Sementara dari hasil wji rangking, diketahui bahwa sosis C ‘memiliki tingkat kekerasan sosis tertinggi dan sosis E memiliki tingkat kekerasan terendah. Penilaian tingkat kekerasan sosis berbanding lurus dengan kesukaan dari panelis. Dimana sosis yang dianggap paling keras (sosis C) adalah sosis yang paling disukai oleh panelis. Perbedaan tingkat kekerasan sosis tersebut dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik dari masing-masing isolat yang ditambahkan, Sosis dengan penambahan isoiat C memiliki nilai kekerasan tertinggi karena daya serap aimya paling rendah diantara kelima jenis isolat tersebut, Rendahnya daya serap air dari isolat ini akan mempengaruhi jumiah air yang ada pada adonan dan produk akhir, yaitu tekstur yang dihasilkannya akan lebih keras dibanding yang lain, Juiciness Tingkat juiciness sosis menunjukan kesan basal dimulut saat dikunyah, Juiciness erat kaitannya dengan jumlah air dan lemak yang terdapat dalam sosis, Semakin banyak kandungan air dan leak dalam sosis tersebut maka seharusnya semakin juicy sosis tersebut. Namun dari hasil analisis sidik ragam diperoleh data yang menyatakan bahwa juiciness kelima sosis tersebut tidak berbeda nyata 59 dari segi kesukaannya (p > 0.05). Dimana nilai rata-rata kesukaan dari kelima sosis tersebut berkisar antara 4.70 sampai 5.27, yaita antara netral (4) sampai suka (6), Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Sosis C merupakan sosis yang paling disukai oleh panelis (Gambar 20), rata-rata kesukaannya sebesar 5.27 (di atas agak suka) Kesukaan panelis terhadap sosis A juga cukup tinggi, yaitu sebesar 4.93 (mendekati agak suka). Sedangkan sosis B merupakan sosis yang kurang disukai panelis dengan rata-rata kesukaan 4.70 (lebih dari netral). Gambar 20, Histogram perbedaan nilai kesukaan juiciness sosis Sementara itu hasil uji rangking menunjukan sangking tertinggi tingkat juiciness sosis terdapat pada sosis isolat A dan rangking terendah dimiliki oleh sosis isolat B. Sedangkan sosis C menduduki urutan kedua setelah sosis A. Hal ini menjelaskan rendahnya tingkat kesukaan panelis terhadap juiciness sosis B terjadi karena sosis ini kurang juicy. Dari hasil uji hedonik dan rangking terlihat bahwa sosis C dan sosis A memiliki nilai kesukaan dan tingkat juiciness yang relatif sama. Tingginya tingkat juiciness sosis C kemungkinan karena isolat ini memiliki daya serap lemak yang paling tinggi dibanding isolat lainnya. Selain itu, walaupun nilai daya serap air isolat ini paling rendah diantara kelima jenis isolat protein kedelai terscbut, namun isolat tersebut ternyata memiliki kadar protein yang cukup tinggi sehingga WHC adonan sosisnya cukup tinggi pula sehingga ketika pemasakan, lebih sedikit air yang keluar, Sementara itu, tingginya tingkat juiciness pada sosis A terjadi Karena isolet ini memiliki daya serap air, kandungan protein, dan WHC adonan yang tinggi, serta cooking loss yang rendah Hal tersebut menyebabkan Kandungan air dalam sosis ini lebih banyak schingga teksturnya lebih juicy. b. Uji Rangking Bedonik Gambar 21. Histogram perbedaan rangking hedonik (kesukaan) sosis Berdasarkan uji rangking kesukaan terhadap keseluruhan sensorik sosis, diperoleh rangking kesukean tertinggi pada sosis isolat C dan terendah pada sosis isolat A (Gambar 21). Namun apabila dilihat dari rata-rata rangking kesukean, semua sosis memiliki rangking antara dua sampai tiga setengah. Tidak ada sosis yang memiliki rangking satu ataupun empat dan lima. Hal tersebut menunjukan bahwa panelis menganggap sosis-sosis tersebut memiliki rutu sensorik yang relatif sama, sehingga tidak dapat diurutkan secara nyata. Berdasarkan hal tersebut secara keseluruhan penerimaan panelis terhadap semua sosis yang dixjikan relatif sama dan cukup baik. C. KORELASI KARAKTERISTIK ISOLAT ROTEIN KEDELAI DENGAN MUTU SOSIS Perbedaan jenis isolat protein kedclai temyata dapat memberikan pengaruh tethadap mutu sosis yang dihasilkan, hal ini terjadi karena isolat berbeda-beda. Untuk metihat severapa versal pengatus nuanniwie wile tethadap pembentukan mutu sosis dilakukan uji korelasi Pearson. Dengan Uji ini dapat diketahui adanya korelasi positif atau negatif dari peningkatan atau penurunan karakteristik isolat terhadap mutu sosis. Hasil uji korelasi Pearson antara karakteristik isolat dengan mutu sosis dapat dilihat pada Tabel 9. Peningkatan kadar protein isolat temyata memberikan korelasi positif yang signifikan pada WHC dan kekenyalan sosis, serta berkorelasi negatif dengan cooking loss. Sementara karakteristik isolat lainnya (NSI, PDI, DSA, DSL, AE, viskositas, dan kekuatan gel), terlihat tidak memberikan pengaruh yang nyata (tidak signifikan) pada mutu sosis. ‘Tabel 9. Hasil korelasi Pearson antara karakteristik isolat protein kedelai dengan mutu sosis ‘Mutu sosis: a WHC | Cooking loss | Kekenyalan | Kelerasest iKarakteristik. ‘Kadar protein | 0.968" | 0,965" 0903 * 0645 ‘Sig: test 0.907 0.008 0.036 0.240 ‘NST 063 0699 076 0877 Sigs tet 0.198 oes 0.136 0.051 POL 0.269 0.272 0,208 0.553 Sig, test 0.662 0.658 0.737 0334 ‘BSA 0.025 0.031 0.436 0.603 Sig. test. 0.968, 0.961 0.463 0.282, | DSL 0.489 0.493 0.360, 0.022 Sig. test: 0.404 0399 0.556 osm. | AE. 0514 0.523 0.090 0.079 Sig. cost 0376 0.366 0.881 0.899 ‘Viekositns 084d O84l 0.530 0371 Sig. seat 07 o.o74 0.353 0539 Kekuaten gel 0872 0.871 0.240 0.328 Sig, test. 0314 0315 0702 0.590 Keterangan: * * IPK = Isolat Protein Kedelai 62 1. Korelasi Karakteristik Isolat Protein Kedeiai dengan WHC Sosis Dari uji korelasi Pearson diketahui bahwa WHC adonan sosis berkorelasi positif dengan kadar protein isolat dan memiliki nilai signifikan 0.968 pada level 0.01. Dimana semakin tinggi kadar protein isolat maka semakin meningkat WHC-nya, Hubungan kadar protein isolat dengan WHC adonan sosis dapat dilihat pada Gambar 22. Semakin meningkatnya daya mengikat air atau WHC adonan sosis dengan semakin tingginya kadar protein isolat kemungkinan besar terjadi karena adanya gugus-gugus polar dan non polar pada protein. Dimana gugus-gugus polar tersebut akan berinteraksi dengan ion hidrogen dari air yang bersifat polar pula, Semakin tinggi kandungan protein maka diasumsikan akan semakin banyak gugus polamya schingga akan semmakin banyak air yang terikat dan akibatnya WHC meningkat. | Rirvatub tata Preson mout Pron | | Rede dengan Daya eat Ai (HH) ‘ine mae Gambar 22. Kurva hubungan kadar protein isolat dengan WHC adonan sosis Pada dasarnya yang berperan dalam pengikatan air pada adonan sosis adalah protein miofibril dari daging, yaitu aktin dan miosin yang ersifat larut garam. Akan tetapi adakalanya air akan berkompetisi dengan garam untuk berikatan dengan protein pada sisi playa namun dengan adanya protein dari isolat protein kedelai peranan dari protein daging 63 tersebut sebagian dapat digantikan sehingga air tetap bisa diikat dan WHC bisa dipertahankan, Garam dapat berkompetisi dengan air pada sisi pengikatan asam amino polar. Jumlah air yang terikat pada protein merupakan fungsi dari konsentrasi garam (Hutton dan Campbell, 1981), Menurut Saffle (1968) dalam pembicaraan emulsi daging yang dimaksud dengan protein larut garam atau “salt soluble protein” (SPP) adalah protein yang larut garam dan Tarut air. Hasil uji korelasi Pearson juga memperlihatkan adanya pengaruh dari karakteristik isolat yang lain tethadap WHC adonan sosis namun tidak signifikan pada level 0.01 maupun 0,05. Daya serap air dan kelarutan protein (NSI) isolat protein kedelai memiliki kecenderungan berpengaruh positif terhadap WHC. Sementara PDI, daya scrap lemak, kekentalan, dan kekuatan pembentukan gel cenderung berkorelasi negatif, yaitu semakin tinggi daya serap lemak isolat protein kedelai maka cenderung semakin rendah nilai WHC-nya. Daya serap lemak cenderung menurunkan WHC adonan sosis dengan semakin tinggi nilainya. Hal ini dapat terjadi karena dengan semakin banyaknya lemak yang diserap maka semakin berkurang jumlah air yang akan diikat protein. Semakin tinggi daya serap lemak protein menunjukan semakin banyak gugus non polar yang dimilikinya dan semakin sedikit gugus polarnya sehingga interaksinya dengan air akan semakin Kecil. ‘Sedangkan daya serap air kebalikannya, dengan semakin besar kemampuan protein untuk menyerap lemak berarti semakin polar protein tersebut dan semakin banyak air yang diikat oleh protein. Semakin tinggi tingkat kelarutan protein dalam air maka semakin banyak interaksi yang akan terjadi antara protein dan air, sehingga ikatan hidrogen yang terbentuk semakin kuat akibatnya WHC meningkat. . Korelasi Karakteristik Isolat Protein Kedelai dengan Cooking Loss Sosis Di sisi lain hasil uji korelasi Pearson juga memperlihatkan adanya korelasi yang negatif antara kadar protein isolat dengan cooking foss pada 64 level 0.01. Hal tersebut menunjukan adanya penurunan nilai cooking Joss dengan semakin meningkatnya kadar protein isolat. Hal ini berlaku pula untuk hubungan WHC adonan sosis dengan cooking loss karena WHC berkorelasi positif dengan kadar protein, dimana dengan semakin tingginya nilai WHC adonan maka susut masaknya akan semakin rendah, Menurut Soepamo (1992) nilai pH dan daya mengikat air yang cukup tinggi me silkan tingkat susut masak sosis yang dihasilkan relatif rendah. Korelasi kadar protein isolat dengan cooking foss dapat dilihat pada Gambar 23, sementara korelasi cooking lass dengan WHC adonan sosis dapat dilihat pada Gambar 24. Kurva Hubunpan Kedar Protein isolat Protein Kedelat dengen Cooking Cooking Laas G2) Gambar 23. Kurva hubungan kadar protein isolat dengan cooking loss adonan sosis Selain kadar protein, karakteristik lain dari isolat protein kedelai juga memberikan pengaruh terhadap cooking loss sosis, akan tetapi tidak berpengaruh nyata pada level 0.01 maupun 0.05. Kelarutan protein (NSI) dan daya serap air cenderung berpengaruh negatif terhadap cooking lass adonan sosis tetapi sangat rendah sekali nilai signifikasinya. Sementara daya serap lemak, PDI, viskositas, aktivitas emulsi, dan kekuatan pembentukkan gel justru memiliki kecenderungan kearah positif walaupun sangat kecil. 65 Kurva Hubungan WHC Soele dengan Gambar 24. Kurva hubungan daya mengikat air (WHC) adonan sosis dengan susut masak (cooking loss), ‘Semakin tinggi kelarutan dan daya serap air dari protein tersebut akan meningkatkan kemampuan mengikat airnya, akibatnya pada proses pemanasan air akan tetap diikat dan hanya sebagian komponen lain yang akan hilang. Namun dengan semakin tingginya daya serap lemak, maka akan mengurangi jumlah air yang diikat protein akibatnya WHC menurun, dan pada seat pemanasan banyak air yang lepas. Korelasi Karakteristik Isolat Protein Kedelai dengan Tekstur Sosis Korelasi antara karakteristik isolat protein kedelai dengan tekstur sosis Kurang begitu signifikan pada level 0.01 maupun pada level 0.05, kecuali kadar protein dengan kekenyalan sosis, Dengan demikian perbedaan karakteristik kelima jenis isolat protein kedelai tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap tekstur sosis kecuali kadar protein terhadap kekenyalan, Untuk mendapatkan kekeayalan yang baik dari sosis maka diperlukan isolat dengan kadar protein tinggi. Sedangkan untuk mendapatkan kekerasan yang baik dapat digunakan kelima jenis isolat protein kedelai tersebut, Hasil uji korelasi Pearson memperlihatkan tidak adanya korelasi yang signifikan dari karakteristik isolat protein kedelai terhadap kekerasan sosis pada level 0.01 maupun 0.05. Akan tetapi pengaruh dari masing- masing karakteristik isolat telap ada walaupun sangat kecil, hal ini bisa dilihat dari nilai korelasi yang menunjukan adanya kecenderungan- kecenderungan korelasi kearah positif maupun negatif (Tabel 9). Kadar protein isolat cenderung berpengaruh positif terhadap kekerasan sosis, dimana semakin tinggi kadar protein kekerasan sosispun semakin tinggi. Hal ini dapat dijelaskan dengan pendapat Iswanto (1989) yang mengatakan bahwa kekerasan objektif bakso yang tinggi diduga disebabkan karena protein kedelai termasuk protein globular yang larut pada Jarutan garam (NaCl), schingga protein kedelai banyak terekstrak dan menyebar rata pada adonan, saat perebusan terbentuklah matrik protein yang rigid, Sementara pada kekenyalan terlihat bahwa kadar protein isolat memiliki korelasi yang positif terhadap clastisitas atau kekenyalan sosis. Semakin tinggi kadar protein isolat maka semakin meningkat kekenyalannya. Korelasi antara kadar protein dengan kekenyalan sosis dapat dilihat pada Gambar 25. Semakin tinggi kandungan protein dari isolat maka akan semakin banyak ikatan silang dan gel yang terbentuk, akibatnya tekstur akan semakin kenyal. Kurva Hubungan Kader Protein Isolat ! Protein Kedelsi dengan Hastichtes Gambar 25. Kurva hubungan kadar protein isolat dengan tingkat elastisitas (kekenyalan) sosis 67 D. KORELASI KARAKTERISTIK ISOLAT PROTEIN KEDELAI DENGAN MUTU ORGANOLEPTIK SOSIS. Secara umum perbedaan karakteristik isolat protein kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap mutu sensorik sosis Namun untuk mengetahui adanya pengaruh peningkatan karakteristik tersebut perlu dilakukan uji koretasi. Hasil uji korelasi Pearson pada uji rangking menunjukan tidak adanya korelasi yang signifikan dari karakteristik isolat terhadap mutu organoleptik sosis (dapat dilihat pada Tabel 10). Tabel 10. Hasil korelasi Pearson antara karakteristik isolat protein kedelai dengan mutu organoleptik hasil uji rangking sosis ‘sensorik| Ty: feo Kelueraram Jniciness| Waren | Aroma ‘Kadar proteim | 0.183 | 0392 | 0570 | 0828 | -0560 | -0220 | 0.241 Sig. Test 0.768 | 0514 | 0311 | 0.084 | 0326 | 0.721 | 0.696 ‘NST 0544 0217 | 086 | 0561 | -076 | 0.660) -0503 Sig. Test 0343 | 0.726 | 0.064 | 0.325 | 0.133 | 0.226 | 0.388 Por 2e-04 | 0.622 | -0.070 | 0.079 | 0.016 | 0082 | -0543 Sig. Test: Loo | 0.263 | o910 | 0.900 | 0979 | 0.896 | 0345 DSA 0.787 | 0.150 | -0.800 | -041 | 0,760 | -0,830 | -0.947* Sig, Test O14 | 0814 | 0.107 | 0.493 | 0.133 | 0084 | ois ‘DSL. 0430 | 0666 | 0631 | 0676 | 0726 | a719 | 0.033 Sig. Test o.a70 | 0220 | 0254 | o210 | o16s | o17i | 0.958 AE 0426 | 0532 | 0374 | 0236 | 0390 | 0.469 | -o.125 ‘Sig. Test 0475 | 0356 | 0535 | 0.702 | 0516 | 0.426 | 0841 ‘Viskosites. 0.483 | -0540 | 0082 | 0362 | 0.036 | -0.260 | -0614 Sip Tet | osio | 0345 | a89s | 0549 | 0954 | oo7t j 0271 Keknatam get [0.418 | -0.660 | -0.150 | -0080 | -0.260 | -0.440 | -0.496 ‘Sig. Test 0.484 | 0.229 | 0804 | 0898 | 0671 | 0.454 | 0396 Keterangan: * = korelasi signifikan pada level 0.05 ** = Korelasi signifikan pada level 0.01 IPK = Isolat Protein Kedelai Uji rangking hedonik dilakukan untuk melihat penerimaan panelis terhadap muta sosis yang diujikan secara keseluruhan. Dari korelasi Pearson 68 didapatkan hanya satu karakteristik isolat protein kedelai yang berkorelasi signifikan dengan penerimaan panelis, yaitu daya serap air. Korelasi daya serap air isolat dengan tingkat kesukaan sosis dapat dilihat pada Gambar 26. Korelasi ‘yang terjadi bersifat negatif, dimana semakin tinggi daya serap air dari isolat, maka semakin rendah kesukaan panelis terhadap sosis yang dihasilkannya, Dengan kata lain panelis cenderung menyukai sosis yang kandungan aimya tidak terlalu banyak. Tingkat Krsuheon Gambar 26, Kurva hubungan daya serap air isolat protein kedelai dengan ‘tingkat kesukaan sosis Sementara itu hasil uji korelasi Pearson dari uji hedonik menunjukan adanya korelasi yang positif antara peningkatan kadar protein dengan kesukaan terhadap kekenyalan sosis pada level 0.05 (Tabel 11 di bawah). Namun karakteristik-karakteristik isolat lainnya temyata juga tidak memberikan korelasi yang signifikan pada mutu sosis sama halnya seperti pada uji rangking. Korelasi antara kadar protein dengan tingkat kesukaan terhadap kekenyalan sosis hasil uji rangking hedonik dapat dilihat pada Gambar 27. 69 ‘Kurva Hub, POA Is olat Protein Kedelat engan Tingkst Kasukesn ternadap 4s “o Ee Gambar 27, Kurva hubungan PDI isolat protein kedelai dengan tingkat kesukaan tethadap kekenyalan sosis Tabel 11. Hasil Korelasi Pearson antara karakteristik isolat protein kedelai dengan mutu organoleptik hasil uji hedonik sosis ‘Mato senaorik Kehenyaian | Kebernagm | Judciness | Warna | Rasa’ | Aroma, ‘Kadar protein “350 [0.062 0.146 | -0.430 | -0350 {0.137 Sig, test 0.558 0922 | 081s | 0478 | 0341 | 0.826 ‘NSi 0.103 0128 [0004 | “0.450 | 0050 [0510 Sig. test 0.869 038 | 0995 | 0445 | 0.940 | 0381 PDI 0946" | 0.153 | 0687 | 0820 | -0.100 | 0200 Sig. test 0.015 0.807 | 0.200 | 0.088 | 0867 } 0744 DSA ‘0396 | -0450_| 0669 T0310 | 0210 | 0200 Sig. test 010 0453 | 0237 | 0614 | 0.736 | 0.752 DSL 0.799 0636 | 0.094 1-500 | 0387 [0330 Sig teat 0.105 0.249 | 0.880 | 0386 | 0520 | 0.583 aE 0782 0.036 | “0669 [0580 | 0250 [0238 Sig. test 0.142 0.967 | 0217 | 0301 | 0687 | 0.700 ‘Viskositas 0354 | -0540 [ 0600 | 0308 | O16 | 0093 Sig. test 0.559 0343 | 0285 | 061s | 0853 | age ‘Kekuaian ga 608 “880 | 070385 | 0330 | 0402 Sig test 0.400 Keterangan . ™ = korelasi signifikan pada level 0.01 PK solat Protein Kedelai Minimnya korelasi yang signifikan antara karakteristik isolat protein Kedelai dengan mutu sensorik sosis terjadi akibat karakteristik-karakteristik isolat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga tidak ada yang dapat berpengaruh dominan terhadap masing-masing mutu organoleptik sosis. Selain itu faktor psikotogis dan Kesehatan panelis juga turut mempengaruhi penilaian. 'V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Isolat protein kedelai yang diamati memiliki karakteristik yang berbeda- beda. Kadar protein tertinggi dimiliki oleh isolat D (98.25 %) sedangkan terendah terdapat pada isolat B (91.75 %). Nitrogen solubility index (NSI) tertinggi terdapat pada isolat A (3,96 %) dan terendah pada isolat (1.50 %). PDI terbesar terdapat pada isolat B (26.77 %) dan terkecil pada isolat E (6.13 %). Perbedaan jenis isolat protein kedelai yang ditambahkan memberikan. pengaruh yang berbeda-beda terhadap mutu sosis. Nilai water holding capacity (WHC) adonan sosis berbeda-beda tergantung dari jenis isolat protein kedelai dan karakteristik isolat tersebut. WHC adonan dan kekenyalan tertinggi terdapat pada sosis dengan penambahan isolat D, yaitu sebesar 95.36 % untuk WHC dan kekenyalannya sebesar 1.0423. Cooking Joss terendah dari adonan juga dimiliki oteh isolat D, yaitu sebesar 3.08 %. Sosis dengan penambahan isolat protein kedelai A memiliki nilai kekerasan paling tinggi, yaitu 1742.65 gram force. Daya serap air tertinggi terdapat pada isolat A (563.02 %), daya serap lemak tertinggi pada isolat B (375.55 %), viskositas tertinggi terdapat pada isolat E (0.7678 cps) serta aktivitas emulsi tertinggi terdapat pada isolat B (60.80%). Kesukaan panelis terhadap sifat sensorik kelima sosis tersebut relatif sama, baik dari segi tekstur, warna, aroma, maupun rasanya, Hal ini menunjukan perbedaan jenis isolat protein kedelai dan karakteristiknya tidak terlalu berpengaruh terhadap penerimaan panelis. Hasil uji korelasi Pearson menunjukan kadar protein memiliki korelasi positif terhadap WHC adonan dan kekenyalan sosis, dimana semakin tinggi kadar protein isolat, maka WHC adonan dan kekenyaian sosis semakin besar. i sisi lain kadar protein juga berkorelasi negatif dengan cooking loss adonan, Karakteristik yang lainnya tidak berkorelasi tinear nyata. Korelasi Pearson antara karakteristik isolat protein kedelai dengan mutu corganoleptik sosis memperlihatkan korelasi yang tidak signifikan, kecuali PDI dengan kesukaan terhadap kekenyalan sosis serta daya serap ait dengan Kesukaan tethadap keseluruhan sifat sensorik sosis. PDI mempunyai korelasi yang positif dengan tingkat kesukaan kekenyalan sosis. Semakin kenyal sosis maka panelis semakin menyukai sosis tersebut. Sementara itu, daya serap air berkorelasi negatif dengan kesukaan panelis, dimana semakin tinggi daya serap air isolat semakin tidak disukai sosis yang dihasilkannya, Minimnya korelasi dari karakteristik-karakteristik Iain isolat protein kedelai tethadap tingkat kesukaan panelis semakin menunjukan bahwa perbedaan karakteristik isolat protein kedelai tidak mempengaruhi penerimaan panelis secara keseluruhan. Panelis menyatakan warna, rasa, aroma, kekerasan, kekenyalan, dan juiciness kelima sosis tersebut tidak berbeda. Sementara hasil uji objektif terhadap sosis kelima isolat protein kedelai yang dianalisa, sosis isolat D merupakan sosis yang memiliki kemampuan paling baik dalam mengikat air, ‘membentuk kekenyalan, dan menurunkan nilai cooking [oss sosis. Ketiga sifat tersebut sangat menentukan mutu sosis yang dihasilkan, Dengan demikian isolat D merupakan isolat protein kedelai terbaik dibanding keempat isolat lainnya, SARAN Pada penelitian ini analisis karakteristik isolat protein kedelai baru dilakukan pada lima jenis isolat protein kedelai komersial, untuk itu perlu dilakukan pengujian tethadap isolat-isolat protein kedelai komersial lainnya, sehingga dapat diketahui lebih jelas pengaruhnya terhadap mutu sosis. Selain itu, perlu juga dilakukan pengkajian pengaruh isolat protein kedelai ini terhadap produk daging selain sosis. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1984. Official Method of Analysis. The Association of Official Analytical Chemists’ 14 ed. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. AOAC. 1995, Official Methods of Analysis. The Association of Official Analytical Chemist. Academic Press, Washington. AOCS. 1970. Official and Tentative Methods of American Oil Chemists’ Sociaty, 3" ed. AOCS, Chicago. Briskey, E. J. 1970, Functional evaluation of protein in food system. Di dalam A. E, Bender (ed). Evatustion of Novel Protein Products, Pergamon Press, ‘New York. Carter, C. M. dan J. T. Lawton. 1971. Effect of processing method and pH of precipitation on the yields and functional properties of protein isolates from slandess cottonseeds. J, Food Sci, 36 : 379. Cassens, R. G., M. L. Grease, T. Ito, dan M. Lee. 1979. Reaction of nitrite in meat. Food Tech. 37 (7) : 46. Cheftel, J. C., J. L Cug, dan D. Lorient. 1985. Amino acid, peptides and proteins. Di dalam Femema, O. R. (ed.). Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., ‘New York, “Circle, $. J. 1950, Protein and other nitrogenous constituents, Di dalam K. S. Markley (ed.). Soybean Products, vol. I. Interscience Publishing Inc., New ‘York. Circle, S. J., B. W. Meyer dan R. W, Whymey, 1964. Rheology of soy protein dispersion. Effect of heat and other factor on gelation. Cereal Chem. 41 : 157-172, Cowan, J.C. dan W. J. Wolf, 1971, Soybean as a food source. CRC Crit Rev. Food Technol. 2 : 81. Cristian, J. A. dan R. L. Saffle. 1967, Plant and animal far and oils emulsified ina model system with muscle salt-soluble protein. Food Technol. 21: 1024. ¥ Cross, H.R. dan A. J. Overby. 1988. Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Sci. Publisher, New York. Damodaran, S. dan J. E. Kinsella. 1982. Effect of conglycinin on thermal agregation of glycinin. J. Agr. Food Chem. 30 : 812. wa Desrosier, N. W. dan J. N. Desrosies, 1977. The Technology of Food Preservation. AVIPubl, Comp. Inc., Westport, Connecticut. Effic, 1980. Pembuatan Sosis Ikan Cucut (Centroscymmus coelolepsi). Skripsi. Dep. THP, Fatemeta, IPB, Bogor. Ellinger, R. H. 1972. Phosphate in Food Processing, CRC Handbook of Food Additives. Second Edition. CRC Press inc., Boca Raton, Florida FAO. 1991, Guidlines for Slaughtering, Meat Curing, and Further Processing. FAO Production and Health Paper 91. Rome, Italy. Forrest, J. C., E, D. Aberle, H. B. Hendrick, M. D, Judge, dan R. A. Merkel. 1975. Principle of Meat Science. W. H. Freeman and Co. San Fransisco. Franzen, K. L. dan J. E, Kinsella, 1976, Functional properties of succinylated soy protein. J, Agr. Food Chem. 24 : 788. Friberg, S. E., R. F. Gourban dan I. H. Kayali, 1990. Emulsion stability. Di dalam K. Larsson dan S. E. Friberg (eds). Food Emulsions, Marcell Dekker inc., New York. Fukushima, D. 1980. Deteriorative changes of proteins during soybean food processing and their use in food. Di dalam J. R. Whitaker and M. Fuhimaki (eds.). Chemical Deterioration of Proteins. ACS Symposium Series 123. Am. Chem. Soc., Wasghington DC. Furukawa, T. dan S. Otha, 1983. Solubility of isolated soy protein in ionic environments and approach to improve its profile, Agr. Biol, Chem. 47-751. German, B., S. Damodaran dan J. E. Kinsella, 1982. Thermal dissoci association behavior of soy system, J. Agr. Food Chem. 24 : 78. ion and Graham, D. E. dan M. C. Philips. 1976. The conformation of proteins at interface and their role in stability emulsion. Di dalam A. L. Smith (ed.). Theory and Practice of Emulsion Technology. Academic Press, New York. Helmer, R. L. dan R. L. Saffle. 1963. Effect of chopping temperature on stability of sausage emulsion. Food Tech. 17: 195. Huang, Y. T. dan J. E. Kinsella, 1986. Functional properties of phosphorylated yeast protein : solubility, WHC and viscosity. J. Agr. Food. Chem. 34 (6):70. ‘Hwang, P. A. dan J. A. Carpenter. 1975. Effect of pork hearts additives and pH adjusments on properties of meat loaves. J. Food Sei. 40 : 741-744. 75 Hutton, C. W. dan A. M. Campbell, 1977. Functional properties of soy concentrate and isolate in simple system and in food system : emulsion properties thicking function and fat absorption. J. Food Sci. 42: 454, Hutton, C, W. dan A.M. Campbell. 1980. Water and fat absorption. Di dafam J . Cherry (e6.). Functional Properties in Food. American Chem. Society, Texas. Hutton, C, W. dan A. M. Campbell, 1981, Water and fat absorption. Di dalam J. P. Cherry {ed.). Protein Functionality in Foods. ACS Symposium Series 147. Am. Chem. SOC., Washington DC. Iswanto, R. 1989, Mempelajari Pengaruh Penambahan Tepung Tempe, Tepung Kedelai, dan Putih Telur terhadap Mutu Bakso Sapi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, IPB, Bogor. Keshavarz, E dan 8. Nakai. 1979. ‘The relationship between hydrophobicity and the interfacial tension of proteins, Biochem. Biophys. Act. 576 : 1979. Kinsella, J. E. 1979. Functional properties of soy protein. J. Am Oil Chem. Soc. 56: 242 “Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai: Menjadikan Makanan Bermutu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Kramlich, W. E. 1971, Sausages products. Di dalam J. F. Price dan B. S. Schewigert (eds.). The Science of Meat and Meat Products, P.485. W. H. Freeman and Company, San Francisco. Kramlich, W. E. 1973, Sausages products, Dy dalam J. F. Price dan B. S. Schewigert (eds.). The Science of Meat and Meat Products, 2™ ed. W. H. Freeman and Company, San Francisco. Lawrie, R.A. 1974. Meat Science, 2% ed. Pergamon Press. Oxford, New York, ‘Toronto. ‘Lehninger, A. L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publisher Inc., New York, Lin, M. Y., E. S. Humbert, dan F. W. Sosulski. 1974. Certain functional properties of sun flower meal products. J. Food Sci. 39 : 368. Macritchie, F, 1978, Protein at interface. Adv. Protein Chemistry 1 ; 283. Manullang, M. 1977. The Effect of Soybeans Pretreatment on Quality of Soy Mill: Submitted on the Faculty of Graduated School. University of Phillipines, ‘Los Banos. 16 Mohammed, M. O., H. A. Morris dan R. A. Schmidt. 1987. Effect of alkaline treatment on dispersibility of soy protein isolates and properties of milk clots formed non-fat mitk and treated soy protein mixtures. J. Food Sci. 42:91 Morrison, G. S., N. B. Webb, T. N. Blumer dan F. J. Ivey. 1971. Relationship between composition and stability of sausages type emulsion. J. Food Sci 36: 426, Mountney, G. J. 1976, Poultry Products Technology. The AVI Publ. Co., Inc. Westport, Connecticut. (Nakajima, M., J. B. Snape, K. K. Reddy dan H. Nabetani, 1996, Aplication of membrane technology to soybean processing. Di dalam Buchanan, A. Proceedings of The Second Intemational Soybean Processing and Utilization Conference. Funny Publ, Limited Partnership, Bangkok. Nur, M. A.,M. Syachri, dan K. Iskandarsyah, 1981. Kimia Dasar Il Kimia, IPB, Bogor. Obren, J. A. 1981. Process and product characteristic for soy concentrate and isolate. J. Am. Oil Chem. 56(3) : 333-335. Pearson, A. M, dan F. W. Tauber. 1984. Processed Meat. The Avi Publishing Co., Inc., Westport, CT. Potter, N.N. 1973. Food Science. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut. Pour-El, A. 1980. Protein functionality, classification, definition, and methodology. Di dalam Cherry, J.P. (ed). Protein Functionality in Food. American Chemical Society, Houston, Texas. Ranggana, J. 1986, Analysis of Fruit and Vegetable. W. H, Freeman and Co., San Fransisco, Rosenthal, A. J. 1999. Food Texture Measurement and Perception. An Aspen Publication. Gaithersburg, Maryland ~VRust, R. E, 1977. Sausage and Processed Meats Manufacturing. AMF Center for Continuing Education, lowa. Saffle, R. L. 1968. Meat Emulsions. Ady. Food Res. 16:105. Schmidt, R. H. 1981. Gelation and coagulation. Di dalam J. P, Cherry (ed.). Protein Functionality in Foods. ACS Symposium Series 147, Am, Chem. Soc. Washington DC. / Seguro, K. dan M. Motoki. 1994. Trends in Japanese soy protein research, Inform. 5: 309-310. Shen, J. L. 1981. Solubility and viscosity, Di dalam J. P. Cherry (ed.). Protein Functionality in Foods. ACS Symposium Serries 147. Am, Chem. Soc. Washington DC. Sockarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan Mutu dan Standarisasi Mutu Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Soepamo. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press. ‘Yogyakarta, Stone, M. B. dan Campbell, A. M. 1980. Emulsification in system containing soy protein isolates, salt, and starch. J. Food Sci. 45: 1713. Swift, C. W. R. Townsend dan L. P. Witauer. 1968. Comminuted meat emulsions : relation of the melting characteristics of fat to emulsion stability. Food Technol. 22 : 775. ~Tauber, F.W. 1977, Sausages, Di dalam Element of Food Technology (N. W. Desroisier, ed.). The AVI Publ. Co., Inc., Westport, Connecticut. ‘Townsend, W. E.,$. A. Ackermen, L. P. Witnauer, W. E. Palm dan R. J. Monroe. 1971, Effects of types and levels of fats and rates and temperatures of comminution on processing and caracteristic of frankfurter. J. Food Sci. 36 2261 Trout, G. R. dan G. R. Schmidt, 1986. Effect phosphates on the functional properties of restructured beef rolls; the role of pH, ionic strength, and phosphates type. J. Food Sci. 51 : 1416. Webb, N.B., V..N. M. Rao, A. J. Hwell, B.C, Barbour dan R. J. Monroe, 1975, Effects Of lipid and chopping temperature on sausage emulsion stability in a model system. J. Food Sci. 40: 1210-1213. Wiedermann, 1. H. 1986. Soybean processing for preparation of traditional defatted soy food protein intermediets. Di dalam F. G. Winamo (ed). Intemational Soy Foods Symposium Yogyakarta, FTDC, IPB. Wilson, G. O. 1960. Sausages products. Di dalam The Science of Meat and Meat Products (Gillespie, E. L.). W. H. Freeman and Co, San Francisco. ‘Winamo, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi, Gramedia, Jakarta. « Wirahadikusumah, M. 1981. Biokimia : Protein, Enzim dan Asam Nukleat, Penerbit ITB, Bandung.

You might also like