Professional Documents
Culture Documents
Abstract
The enduring debate about states motivation giving foreign aid has
been splitted into two standpoints: national interest and ethical interest.
Adherents of national interest argument represented by realist insist that
foreign aid is an instrument of foreign policy to achieve greater national
gain. They argue that there is no moral obligation for the rational state.
Meanwhile, adherents of ethical interest represented by liberalist see that
there always be moral basis in foreign aid. States have social responsibility
to others dealing with any problems. Other scholarship criticizes the practice
of foreign aid as a tool of exploitation from capitalist state to developing
countries. Marxist asserts that foreign aid embodies ideological bias to keep
on exploitation survive.
The aim of this article is to explain foreign aid from the moral
perspective. This article affirmed ethical interest argument that in the
anarchic world politics, morality exists. Rather than agree with liberalist
philosophical-based explanation, this article used constructivism that
highlight international norms which constitute states interest and provide
preferences in foreign aid practice. Two short case studies analysed showed
that international norms shape ethical interest to help others. States become
altruist due to norms acknowledgment. Foreign aid reflect moral obligation
of states obeying norms.
Kata-kata kunci: bantuan luar negeri, moralitas negara, konstruktivisme,
norma internasional.
Pendahuluan
Dalam studi Hubungan Internasional (HI), bantuan luar negeri
seringkali dipahami semata-mata sebagai bagian integral dari diplomasi
internasional. Studi Alesina dan Dollar (2000) menemukan bahwa
pertimbangan politis dan strategis adalah alasan paling masuk akal negara
memberikan bantuan luar negeri. Klaim tradisionalis ini tercipta akibat
situasi Perang Dingin yang mana bantuan ekonomi menjadi instrumen
politik luar negeri bagi Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet yang saling
berseteru memperebutkan hegemoni global. Dengan sumberdaya
ekonominya yang luar biasa, Amerika memberikan jutaan dolar untuk
mengajak negara-negara di dunia mengikuti garis ideologinya. Sementara
Soviet juga tidak mau kalah. Program Molotov Plan adalah kebijakan
memberi bantuan ekonomi kepada negara-negara Eropa Timur yang
berhaluan komunis. Konteks Perang Dingin inilah yang menyediakan dasar
legitimasi dan justifikasi logis bahwa bantuan ekonomi merupakan salah
satu strategi negara untuk memaksimalkan kepentingan nasional. Realisme
merupakan paradigma yang berpendapat demikian. Bagi realis, negara
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
lain yang kurang beruntung. Sebaliknya, bantuan luar negeri ibarat tali
kekang kapitalisme yang memelaratkan negara dunia ketiga.
Tidak satupun dari pandangan realis, liberalis, maupun Marxis di
atas yang menjelaskan secara memuaskan perihal motivasi negara
memberikan bantuan luar negeri. Seperti biasa, realisme lemah karena
terjebak dalam terminologi kepentingan nasional yang berwawasan sempit.
Paradigma klasik bantuan luar negeri masa Perang Dingin tidak relevan
untuk menjelaskan tindakan negara dalam konteks kekinian dimana konsep
kekuasaan (power) mengalami reinterpretasi besar-besaran. Konsep
kekuasaan abad dua puluh tentu berbeda dengan konsep kekuasaan abad
dua puluh satu sebagai abad informasi atau cyber century (Nye, 2011).
Selain itu, realisme mengabaikan fakta bahwa negara maupun komunitas
internasional memiliki sifat dermawan ditandai dengan banyaknya rezim
bantuan luar negeri ke kawasan-kawasan pinggiran yang rawan masalah
multidimensi.
Begitupun dengan pandangan liberalis yang memahami konsep
norma lemah (thin regularity norms) sebatas pada tradisi pemikiran atau
produk warisan turun-temurun (Katzenstein, 2008). Di samping itu, klaim
bahwa moralitas yang lahir dari nilai-nilai peradaban barat akan
membentur tembok tebal manakala dihadapkan pada kenyataan bahwa
Jepang merupakan satu-satunya negara donor Asia yang menempati urutan
kedua terbesar setelah AS. Jelas nilai-nilai yang dianut oleh Jepang
tidaklah berasal dari peradaban Barat, akan tetapi dari nilai-nilai Asia
(Asian values). Kelemahan lain adalah pandangan etis liberal-idealis justru
kontradiktif dengan asumsi dasar paradigma liberal itu sendiri bahwa
manusia adalah makhluk individualis yang memberikan penekanan
minimal terhadap kesetaraan peluang dan saling menghormati sebab apa
yang kita perlukan agar bisa mengembangkan dan mempertahankan
integritas kita bisa kita dapatkan tanpa perlu berhubungan dengan orang
lain (Caporaso & Levine, 2008).
Sementara itu, perspektif sosialisme dari teori ketergantungan
terlampau ideologis dalam menganalisa praktek-praktek bantuan luar
negeri. Selubung ideologis ini akan mengurangi derajat keilmiahan program
riset dalam studi HI. Proyek emansipatif teori Marxis terhadap nasib
pembangunan Dunia Ketiga terlampau kaku atau dogmatis sehingga sulit
beradaptasi dengan perkembangan mutakhir. Perspektif ini juga sangat
reduksionis karena memusatkan perhatian semata-mata pada kelas sosial
sebagai unit analisa (Steans & Pettiford, 2009). Ini berarti, bantuan luar
negeri dipandang hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan kelas
kapitalis di negara donor. Kenyataannya, bantuan luar negeri resmi ( Official
Development Assistance) merupakan kebijakan pemerintah negara donor
519
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
semestinya, sehingga teori ini disebut juga sebagai filsafat moral hubungan
internasional (Jackson & Sorensen, 2005).
Suatu tindakan dikatakan etis jika tindakan tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip moral (Brown dalam Smith & Light, 2004). Moralitas
mensyaratkan kewajiban mematuhi aturan yang telah diterima dan
mengikat dikarenakan telah dianggap benar atau adil (Amstutz, 2005). Akar
dari prinsip moral yang mengatur tindakan tersebut bermacam-macam.
Banyaknya sumber aturan moral itu mengakibatkan perbedaan cara
pandang yang memunculkan berbagai macam aliran dalam teori normatif.
Para penganut Feminisme akan mengatakan bahwa suatu tindakan
dipandang bermoral jika menempatkan perempuan sederajat dengan lakilaki dalam hal distribusi hak dan kewajibannya. Kaum agamawan akan
menilai tindakan berdasarkan kesesuaiannya dengan ajaran kitab suci.
Kaum utilitarian berpendapat bahwa yang etis itu adalah yang memberikan
kebahagiaan terbesar. Penganut Kosmopolitanisme menyatakan bahwa
etika berkaitan dengan hak dan kewajiban individu yang melintasi batasbatas negara. Sementara lawannya Komunitarianisme beranggapan bahwa
etika berhubungan dengan hak dan kewajiban negara berdaulat yang
membentuk komunitas politik (Jackson & Sorensen, 2005). Masih banyak
lagi aliran normatif dengan argumentasi yang berbeda-beda.
Dalam tradisi teoritis HI, paradigma berpikir yang memandang
penting peran gagasan dan landasan normatif adalah konstruktivisme.
Konstruktivisme merupakan reaksi atas skeptisisme bahwa norma-norma
moral penting dalam politik dunia (Price, 2008). Para penganut pandangan
ini percaya bahwa negara-negara bertindak dan saling berinteraksi tidak
semata-mata dilandasi oleh motivasi mementingkan diri sendiri ( self-help),
akan tetapi yang lebih penting tindakan mereka didasarkan pada
seperangkat aturan yang mengikat mereka. Aturan atau norma inilah yang
memaksa negara melakukan sesuatu yang di luar kendalinya atau
meminjam terminologi Sigmund Freud sebagai ranah super ego. Tindakan di
luar kendali negara ini lebih diorientasikan untuk kepentingan pihak lain
yang dipandang perlu untuk dibantu. Prinsip altruisme dalam relasi antar
bangsa merupakan konsepsi tindakan etis yang bermakna benar dan adil
sehingga negara-negara dengan sukarela melakukannya.
Bagi penstudi HI yang akrab dengan tradisi pemikiran realis,
pandangan altruisme negara seperti ini jelas sulit diterima akal sehat.
Bagaimana mungkin negara yang memperjuangkan kepentingan nasional
bisa melakukan tindakan yang justru menguntungkan kepentingan negara
lain. Realisme Waltzian terutama, membedakan dengan tegas antara
struktur politik domestik dan politik internasional. Karena politik domestik
bersifat hirarkis, prinsip-prinsip moralitas mampu berjalan dengan baik
523
misalnya kepatuhan warga negara kepada hukum yang berlaku. Akan tetapi
karena struktur politik internasional bersifat anarki (dimaknai sebagai
ketiadaan organ di atas negara yang mampu memaksakan aturan), maka
moralitas sulit memperoleh legitimasi. Dalam politik global negara bisa saja
memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara dalam politik
domestik (Walzer dalam Amstutz, 2005). Dikotomi domestik-internasional,
hirarki-anarki tidak mampu memahami perilaku altruis negara. Realitas
bantuan luar negeri merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa
negara juga merasa mempunyai kewajiban membantu negara lain yang
menderita berbagai macam persoalan dalam negeri. Singkat kata, bantuan
luar negeri merefleksikan tanggung jawab sosial negara ( States Social
Responsibility).
Etika Konstruktivisme dan Bantuan Luar Negeri
Seperti telah dikemukakan di atas, konstruktivisme memfokuskan
pada peran gagasan dan prinsip normatif dalam hubungan internasional.
Dalam konteks kajian mengenai bantuan luar negeri, konsep norma
menempati posisi yang sangat penting. Norma menjelaskan tentang kenapa
negara yang pada hakekatnya cenderung egois bersedia berkorban untuk
kepentingan negara lain. Christian Reus-Smit (dalam Price, 2008)
menyatakan bahwa proyek sentral dari konstruktivis adalah politik norma,
yakni konstruksi sosial gagasan intersubyektif tentang bagaimana
keanggotaan dalam komunitas internasional serta bagaimana tindakan
dipandang benar. Selain itu, konstruktivis memikul tugas menjelaskan
bagaimana norma-norma yang mengandung kaidah-kaidah moral
membingkai tindakan politik, membentuk identitas, kepentingan, serta
strategi bagi negara.
Memahami konsep norma dalam hubungan internasional akan
membantu memahami motivasi negara dalam memberi bantuan luar negeri.
Finnemore (1996:22) mendefinisikan norma sebagai shared expectations
about appropritae behavior held by a community of actors. Aktor-aktor
hubungan internasional terutama negara melakukan tindakan karena
dituntun oleh aturan-aturan, prinsip-prinsip, norma yang disepakati
bersama, serta keyakinan yang kesemuanya ini menyediakan pengertian
tentang apa yang penting, berharga, baik dan apa cara-cara yang efektif
atau legitimate dalam rangka mencapai hal-hal tadi (Finnemore, 1996:2).
Dalam kalimat yang kurang lebih sama, norma merupakan collective
expectations about proper behavior for a given identity (Jepperson, et.al.,
dalam Katzenstein, 1996:54). Singkatnya, norma adalah standar perilaku
benar atau salah (Tannenwald, 2007). Namun definisi Tannenwald ini rancu
dengan konsep nilai. Dalam kajian kemasyarakatan, nilai sosial berarti
anggapan tentang apa yang baik atau yang buruk. Sementara norma sosial
berarti kaidah atau aturan yang didasarkan pada nilai sosial tersebut.
Dengan kata lain, nilai melandasi norma, sedangkan norma menjaga
524
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
eksistensi nilai. Meskipun demikian, untuk tujuan analisis tulisan ini tidak
akan mempersoalkan perbedaan definitif kedua konsep itu.
Norma memiliki kekuatan untuk menentukan tindakan negara
ketika termanifestasi dalam lembaga. Norma dan gagasan yang
terinstitusionalisasi menyediakan pertimbangan-pertimbangan dan pilihanpilihan strategi yang paling memungkinkan bagi aktor baik dalam hal
praktis maupun etis. Norma yang melembaga tidak hanya menentukan
tujuan dari suatu tindakan, akan tetapi juga menawarkan cara bagaimana
mengorganisir tindakan untuk mencapai tujuan itu (Katzenstein, 2008).
Penganut pendekatan konstruktivis berkeyakinan bahwa norma dan
gagasan yang terlembaga adalah rasional karena mengandung kekuatan
moral dalam konteks sosial (Reus-Smit dalam Burchill, et.al., 2005).
Institusi yang mengandung seperangkat norma ini dalam perspektif
kostruktivis diperlakukan semata-mata bukan sebagai agen seperti halnya
negara, akan tetapi sebagai guru yang mengajari negara sehubungan
dengan perilaku yang baik dari kacamata etis (Finnemore, 1993). Institusi,
dengan demikian merupakan significant other yang keberadaannya sengaja
diciptakan oleh aktor untuk menuntun tindakan aktor tersebut.
Pelembagaan norma bisa termanifestasi baik di tingkat
internasional (structural norms) maupun di tingkat domestik (domestic
norms). Norma struktural mengacu pada tatanan nilai dan kaidah yang
dikonstruksi oleh aktor-aktor internasional yang pada gilirannya menekan
(constraint) aktor-aktor tersebut untuk berperilaku sesuai dengan standar
moralitas. Contoh norma struktural adalah norma Hak Asasi Manusia, Non
Proliferasi Nuklir, perdagangan bebas, larangan berburu ikan paus, dan
sebagainya. Sementara itu, norma domestik mengacu pada standar nilai dan
perilaku yang dianut oleh negara tertentu. Misalnya norma nasional Jerman
dan Jepang yang mempunyai kemiripan yaitu larangan melibatkan tentara
dalam konflik internasional. Bantuan luar negeri Amerika pada masa
Presiden Richard Nixon dan Gerald Ford dimotivasi oleh norma penegakan
HAM yang telah mengakar dalam perpolitikan Amerika (Stohl, et.al., 1984).
Jadi perbedaan antara norma struktural dan norma domestik terletak pada
siapa yang menciptakan norma itu beserta ruang lingkupnya. Keduaduanya sama-sama berfungsi untuk mendefinisikan apa yang baik dan yang
buruk, mendefinisikan siapa mereka vis a vis negara lain, mendefinisikan
situasi serta menyediakan strategi untuk melakukan tindakan.
Eksistensi norma yang melembaga memberikan penjelasan rasional
sehubungan dengan motivasi negara memberikan bantuan luar negeri.
Pemerintah menyadari bahwa negaranya adalah bagian dari masyarakat
internasional, sehingga tindakannya pun disesuaikan dengan aturan yang
sudah disepakati. Pengakuan terhadap norma membuat negara bertindak
525
Kasus I: MDGs
Millenium
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
Fukuyama, F. 2004. The End of History and The Last Man (terjemahan M.H.
Amrullah). Yogyakarta: Qalam.
Good Humanitarian Donorship. 2010. 23 Principles and Good Practice of
Humanitarian
Donorship.
www.goodhumanitariandonorship.org/gns/principles-good-practiceghd/overview.aspx (diakses 19 Juni 2012).
Good
Humanitarian
Donorship.
2010.
About
GHD.
www.goodhumanitariandonorship.org/gns/about-ghd/overview.aspx (diakses
19 Juni 2012).
Gore, C. 2008. The Global Development Cycle, MDGs and the Future of Poverty
Reduction.
www.eadi.org/fileadmin/MDG_2015_Publications/Gore_PAPER.pdf (diakses
19 Juni 2012).
Griffiths, M.
1992. Realism, Idealism, and International Politics: A
Reinterpretation. London: Routledge.
Hattori, T. 2003. The Moral Politics of Foreign Aid. Review of International
Studies, Vol. 29, No. 2 (April), pp. 229-247.
Hulme, D. 2009. The Millennium Development Goals (MDGs): A Short History of the
Worlds Biggest Promise. www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/WorkingPapers/bwpi-wp-10009.pdf (diakses 19 Juni 2012).
Hulme, D. and J. Scott. 2010. The Political Economy of the MDGs: Retrospect and
Prospect
for
the
Worlds
Biggest
Promise .
www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/Working-Papers/bwpi-wp-11010.pdf
(diakses 19 Juni 2012).
Hulme, D. and S. Fukudu-Parr. 2009. International Norm Dynamics and the End of
Poverty: Understanding the Millennium Development Goals (MDGs) .
www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/Working-Papers/bwpi-wp-9609.pdf
(diakses 19 Juni 2012).
Jackson, R. and G. Sorensen. 2005. Introduction to International Relations
(terjemahan Dadan Suryadipura). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jepperson, R. et.al., 1996. Norms, Identity, and Culture in National Security.
Dalam Peter Katzenstein (ed.) The Culture of National Security: Norms and
Identity in World Politics. New York: Columbia University Press.
Jervis, R. 1999. Realism, Neoliberalism, and Cooperation: Understanding the
Debate. International Security, Vol. 24, No. 1 (Summer): 42-63.
Katzenstein, P. 2008. Rethinking Japanese Security: Internal and External
Dimensions. London: Routledge.
Lancaster, C. 2007. Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics.
Chicago: The University of Chicago Press.
Linklater, A. and H. Suganami. 2006. The English School of International Relations:
A Contemporary Reassessment. Cambridge: Cambridge University Press.
Little, R. 2000. The English School's Contribution to the Study of International
Relations. European Journal of International Relations , Vol. 6, No. 3: 395422.
Lumsdaine, D. 1993. Moral Vision in International Politics: The Foreign Aid Regime,
1949-1989. New Jersey: Princeton University Press.
Manning, R. 2010. The Impact and Design of the MDGs: Some Reflections. IDS
Bulletin Vol. 41, No. 1 (January): 7-14.
Mearsheimer, J. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. Chicago: University of
Chicago Press.
532
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
What has been the Impact of the MDGs and What are the Options for a
Post-2015
Global
Framework?
www.chronicpoverty.org/uploads/publication_files/sumner_tiwari_mdgs.pdf
(diakses 19 Juni 2012).
Tannenwald, N. 2007. The Nuclear Taboo: The United States and the Non-Use of
Nuclear Weapons Since 1945. Cambridge: Cambridge University Press.
Therien, J.P. 2002. Debating Foreign Aid: Right Versus Left. Third World
Quarterly, Vol 23, No 3: 449466.
533