You are on page 1of 17

MORALITAS DALAM DUNIA YANG ANARKI:

BANTUAN LUAR NEGERI DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME


Mohamad Rosyidin

Abstract
The enduring debate about states motivation giving foreign aid has
been splitted into two standpoints: national interest and ethical interest.
Adherents of national interest argument represented by realist insist that
foreign aid is an instrument of foreign policy to achieve greater national
gain. They argue that there is no moral obligation for the rational state.
Meanwhile, adherents of ethical interest represented by liberalist see that
there always be moral basis in foreign aid. States have social responsibility
to others dealing with any problems. Other scholarship criticizes the practice
of foreign aid as a tool of exploitation from capitalist state to developing
countries. Marxist asserts that foreign aid embodies ideological bias to keep
on exploitation survive.
The aim of this article is to explain foreign aid from the moral
perspective. This article affirmed ethical interest argument that in the
anarchic world politics, morality exists. Rather than agree with liberalist
philosophical-based explanation, this article used constructivism that
highlight international norms which constitute states interest and provide
preferences in foreign aid practice. Two short case studies analysed showed
that international norms shape ethical interest to help others. States become
altruist due to norms acknowledgment. Foreign aid reflect moral obligation
of states obeying norms.
Kata-kata kunci: bantuan luar negeri, moralitas negara, konstruktivisme,
norma internasional.
Pendahuluan
Dalam studi Hubungan Internasional (HI), bantuan luar negeri
seringkali dipahami semata-mata sebagai bagian integral dari diplomasi
internasional. Studi Alesina dan Dollar (2000) menemukan bahwa
pertimbangan politis dan strategis adalah alasan paling masuk akal negara
memberikan bantuan luar negeri. Klaim tradisionalis ini tercipta akibat
situasi Perang Dingin yang mana bantuan ekonomi menjadi instrumen
politik luar negeri bagi Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet yang saling
berseteru memperebutkan hegemoni global. Dengan sumberdaya
ekonominya yang luar biasa, Amerika memberikan jutaan dolar untuk
mengajak negara-negara di dunia mengikuti garis ideologinya. Sementara
Soviet juga tidak mau kalah. Program Molotov Plan adalah kebijakan
memberi bantuan ekonomi kepada negara-negara Eropa Timur yang
berhaluan komunis. Konteks Perang Dingin inilah yang menyediakan dasar
legitimasi dan justifikasi logis bahwa bantuan ekonomi merupakan salah
satu strategi negara untuk memaksimalkan kepentingan nasional. Realisme
merupakan paradigma yang berpendapat demikian. Bagi realis, negara

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012

tetaplah aktor yang mementingkan diri sendiri (self-help). Rasionalitasnya


berpegang teguh pada pencapaian kepentingan dalam pengertian kekuasaan
(Donnely, 2003).
Argumen tradisional nampaknya telah usang. Berakhirnya Perang
Dingin memberikan pemaknaan baru terhadap bantuan luar negeri. Era
perebutan pengaruh telah berlalu. Alhasil, motivasi negara menjadi donatur
lebih bervariasi. Negara tidak lagi dipandang sebagai aktor yang egois.
Sejalan dengan tesis Francis Fukuyama yang mengupayakan tentang
triumfalisme demokrasi-kapitalisme sebagai ideologi final umat manusia
(Fukuyama, 2003), liberalisme menantang klaim realisme bahwa negara
pada dasarnya memiliki moralitas. Inti argumennya adalah negara yang
penduduknya relatif makmur mempunyai kewajiban membantu mereka
yang kurang beruntung sebagai bentuk kermurahan hati (Beitz, 1999).
Etika liberalisme ini berakar dari pemikiran filsafat Immanuel Kant dan
Jeremy Bentham yang menekankan pada konsep kebebasan dan keadilan
(Bayliss & Smith, 2001). Bagi Kant, esensi tindakan moral bukanlah
memperjuangkan kepentingan nasional, akan tetapi didorong oleh imperatif
kategoris berupa nilai-nilai kesederajatan (Donaldson dalam Nardin &
Mapel, 2002). Selain persamaan hak, penganut liberal percaya bahwa
bantuan ekonomi merupakan cermin kerjasama internasional untuk
mengatasi konsekuensi-konsekuensi negatif globalisasi semisal epidemi
penyakit dan degradasi lingkungan (Lancaster, 2007) disamping
mengurangi angka kemiskinan Dunia Ketiga dan mendorong pembangunan
ekonomi (Schraeder, et.al., 1998).
Pendapat kaum liberalis mendapat kritikan pedas dari kalangan
Marxis yang beranggapan bahwa ada selubung ideologis yang menutupi
kenyataan bahwa bantuan luar negeri hanyalah alat untuk mengeksploitasi
negara berkembang dan negara miskin. Teoritisi ketergantungan Dunia
Ketiga mencoba menelanjangi bias yang disuarakan pendukung kapitalisme
bahwa bantuan luar negeri hanya akan menguntungkan secara sepihak
negara-negara maju. Bantuan luar negeri memaksa negara-negara
berkembang untuk melakukan apa yang dikenal dengan Structural
Adjustment Programs (SAPs) semisal membuka pintu investasi asing lebarlebar, pemotongan subsidi, dan industrialisasi yang berorientasi ekspor.
SAPs yang dirancang dan dijalankan oleh IMF dan Bank Dunia jelas
membuktikan penerapan paksa ide-ide (neo) liberal bagi negara-negara
berkembang (Sugiono, 1999). Praktik-praktik ini sangat marak di Dunia
Ketiga sehingga menciptakan apa yang disebut sebagai korporatokrasi
(Perkins, 2007). Di dalamnya, para birokrat pemerintah dan teknokrat
menjadi budak-budak ideologi AS, Bank Dunia, atau IMF, kaum komprador
pun berebut remah-remah yang ditawarkan korporasi multinasional
(Robison, 2012). Jadi pada hakekatnya perspektif kritis menolak mentahmentah klaim altruisme liberal bahwa bantuan luar negeri merupakan
manifestasi dari moralitas negara yang punya kewajiban membantu negara
518

Mohamad Rosyidin

Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme

lain yang kurang beruntung. Sebaliknya, bantuan luar negeri ibarat tali
kekang kapitalisme yang memelaratkan negara dunia ketiga.
Tidak satupun dari pandangan realis, liberalis, maupun Marxis di
atas yang menjelaskan secara memuaskan perihal motivasi negara
memberikan bantuan luar negeri. Seperti biasa, realisme lemah karena
terjebak dalam terminologi kepentingan nasional yang berwawasan sempit.
Paradigma klasik bantuan luar negeri masa Perang Dingin tidak relevan
untuk menjelaskan tindakan negara dalam konteks kekinian dimana konsep
kekuasaan (power) mengalami reinterpretasi besar-besaran. Konsep
kekuasaan abad dua puluh tentu berbeda dengan konsep kekuasaan abad
dua puluh satu sebagai abad informasi atau cyber century (Nye, 2011).
Selain itu, realisme mengabaikan fakta bahwa negara maupun komunitas
internasional memiliki sifat dermawan ditandai dengan banyaknya rezim
bantuan luar negeri ke kawasan-kawasan pinggiran yang rawan masalah
multidimensi.
Begitupun dengan pandangan liberalis yang memahami konsep
norma lemah (thin regularity norms) sebatas pada tradisi pemikiran atau
produk warisan turun-temurun (Katzenstein, 2008). Di samping itu, klaim
bahwa moralitas yang lahir dari nilai-nilai peradaban barat akan
membentur tembok tebal manakala dihadapkan pada kenyataan bahwa
Jepang merupakan satu-satunya negara donor Asia yang menempati urutan
kedua terbesar setelah AS. Jelas nilai-nilai yang dianut oleh Jepang
tidaklah berasal dari peradaban Barat, akan tetapi dari nilai-nilai Asia
(Asian values). Kelemahan lain adalah pandangan etis liberal-idealis justru
kontradiktif dengan asumsi dasar paradigma liberal itu sendiri bahwa
manusia adalah makhluk individualis yang memberikan penekanan
minimal terhadap kesetaraan peluang dan saling menghormati sebab apa
yang kita perlukan agar bisa mengembangkan dan mempertahankan
integritas kita bisa kita dapatkan tanpa perlu berhubungan dengan orang
lain (Caporaso & Levine, 2008).
Sementara itu, perspektif sosialisme dari teori ketergantungan
terlampau ideologis dalam menganalisa praktek-praktek bantuan luar
negeri. Selubung ideologis ini akan mengurangi derajat keilmiahan program
riset dalam studi HI. Proyek emansipatif teori Marxis terhadap nasib
pembangunan Dunia Ketiga terlampau kaku atau dogmatis sehingga sulit
beradaptasi dengan perkembangan mutakhir. Perspektif ini juga sangat
reduksionis karena memusatkan perhatian semata-mata pada kelas sosial
sebagai unit analisa (Steans & Pettiford, 2009). Ini berarti, bantuan luar
negeri dipandang hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan kelas
kapitalis di negara donor. Kenyataannya, bantuan luar negeri resmi ( Official
Development Assistance) merupakan kebijakan pemerintah negara donor
519

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012

sebagai produk dari interaksi kompleks yang melibatkan pemangku


kepentingan, LSM, akademisi, dan aktor-aktor terkait.
Artikel ini mengangkat permasalahan tentang motivasi bantuan
luar negeri. Lebih khusus, artikel ini bertujuan untuk memperkuat klaim
konstruktivis bahwa negara bisa melakukan tindakan altruis yang sejalan
dengan prinsip-prinsip norma internasional. Norma-norma ini merupakan
produk interaksi dan sosialisasi antar aktor internasional secara sengaja,
bukan diwariskan. Dengan mengambil studi kasus tentang Millenium
Development Goals (MDGs) dan bantuan kemanusiaan Finlandia, tulisan ini
mengemukakan tesis dasar bahwa bantuan luar negeri merupakan
cerminan dari rasa tanggung jawab dan kewajiban negara-negara maju
untuk membantu negara lain yang mengalami masalah-masalah ekonomi,
sosial, budaya, dan kemanusiaan dikarenakan keyakinan dan kepatuhan
terhadap norma internasional sebagai code of conduct dalam relasi antar
bangsa. Jadi argumen konstruktivis berbeda dari argumen liberalis dalam
hal bahwa tanggung jawab dan kewajiban negara tidak muncul dari nilainilai tradisional, melainkan dari norma yang sengaja diciptakan.
Signifikansi tulisan ini adalah memberikan penjelasan alternatif
tentang fenomena bantuan luar negeri dalam studi Hubungan Internasional
(HI). Penjelasan yang berbasis kepentingan (interest-based explanation)
dipandang terlalu monolitik dalam memahami motivasi negara atau
kelompok negara memberikan bantuan luar negeri. Lagipula, penjelasan
yang sudah ada cenderung menitikberatkan pada entitas material seperti
kepentingan ekonomi, geo-politik dan geo-strategi.
Artikel ini terbagi menjadi menjadi empat bagian. Bagian pertama
akan mendiskusikan konsep bantuan luar negeri dalam studi HI. Bagian
kedua akan menarik pembaca ke ranah perdebatan filosofis tentang aspek
moralitas dalam politik dunia. Bagian ketiga akan mengulas pendekatan
teoritis konstruktivisme dan mengaplikasikannya untuk menjelaskan MDGs
dan bantuan kemanusiaan Finlandia. Bagian keempat adalah penutup atau
kesimpulan.
Bantuan Luar Negeri: Telaah Konseptual
Umumnya para pakar menyepakati definisi bantuan luar negeri
atau Overseas Development Assistance (ODA) yang dikemukakan oleh
organisasi negara-negara donor (OECD) yaitu pinjaman atau bantuan
keuangan yang diberikan kepada negara berkembang yang memenuhi tiga
syarat yaitu berasal dari sektor publik, ditujukan untuk pembangunan
ekonomi, dan bersifat lunak serta mengandung paling sedikit 25% bantuan
keuangan (definisi OECD seperti dikutip dalam Therien, 2002:450-451).
Definisi ini masih terlalu sempit dikarenakan hanya memfokuskan pada
pembangunan ekonomi. Suatu bantuan yang bersifat internasional tidak
hanya terbatas pada tujuan ekonomi, tetapi juga mencakup dimensi sosial
dan budaya seperti masalah kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, serta
520

Mohamad Rosyidin

Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme

dimensi kemanusiaan semisal masalah kelaparan atau pengungsi akibat


konflik internal maupun eksternal.
Definisi yang lebih umum dikemukakan oleh Hattori (2003:232)
bahwa bantuan luar negeri merupakan hadiah atau penyaluran
sumberdaya sukarela dari individu atau masyarakat kepada masyarakat
lain. Definisi ini lebih condong ke pendekatan sosiologis yang menekankan
pada kebutuhan interaksi sosial ketimbang semata-mata bantuan materi
(Hattori, 2003). Jadi, bantuan luar negeri dipandang sebagai
pengejawantahan hubungan sosial sebab kewajiban moral yang terkandung
di dalamnya merupakan fitur dari kehidupan dalam masyarakat
internasional. Negara dalam hal ini dipandang sebagai aktor yang dibebani
kewajiban moral tersebut. Didasarkan pada konsepsi konstruktivis tentang
hakekat negara yang antropomorfistik, bantuan luar negeri mencerminkan
sifat negara yang tidak atomistik sebagaimana klaim pandangan
tradisionalis tentang negara.
Tujuan negara donor memberikan bantuan bervariasi. Lancaster
(2007:13-18) mencatat terdapat sedikitnya lima tujuan dari pelaksanaan
bantuan luar negeri. Pertama adalah bantuan luar negeri untuk tujuan
diplomasi. Bantuan ini diberikan demi mendatangkan keuntungan politis
baik bagi negara donor maupun negara penerima. Misalnya kebijakan
bantuan luar negeri Marshal Plan oleh AS kepada negara-negara Eropa
Barat pasca Perang Dunia II dimaksudkan untuk menyuap negara
penerima supaya menganut ideologi Liberal-Kapitalis. Tujuan kedua
menyangkut kepentingan ekonomi yakni menyokong pembangunan negara
berkembang serta mengurangi angka kemiskinan. Segera setelah berkuasa,
Suharto menerima bantuan keuangan dari negara-negara Barat dalam
format IGGI untuk merestrukturisasi ekonomi Indonesia yang terpuruk
pada masa pemerintahan Sukarno. Tujuan ketiga adalah untuk mengatasi
masalah-masalah kemanusiaan seperti pemulihan pasca perang, bencana
alam, dan sebagainya. Bantuan kemanusiaan dari berbagai negara kepada
masyarakat Aceh pasca terjadinya bencana tsunami tahun 2004 silam
merupakan contohnya. Tujuan keempat yaitu kepentingan komersial
contohnya Jepang merupakan salah satu negara paling aktif memberikan
bantuan luar negeri demi mengamankan permintaan negara penerima akan
produk-produk buatan Jepang. Dengan kata lain, Jepang akan memberi
insentif negara yang mengimpor barang-barang dari Jepang. Selain itu,
dengan memberi insentif tersebut, Jepang sekaligus mengamankan
kebutuhan impor bahan mentah seperti minyak bumi yang sangat vital bagi
industri Jepang. Tujuan bantuan ekonomi yang kelima adalah kebudayaan.
Contohnya adalah Inggris yang kerap memberikan beasiswa khusus untuk
negara-negara persemakmuran atau bekas jajahannya. Bantuan keuangan
521

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012

ini disediakan oleh Commonwealth Scholarship Commision in the United


Kingdom (CSCUK) untuk rakyat negara persemakmuran Inggris di seantero
dunia belajar di Inggris dari jenjang sarjana sampai doktoral. Bantuan ini
diselenggarakan untuk memperkuat ikatan primordial antara negara donor
dan negara penerima.
Ditinjau dari donaturnya, bantuan luar negeri dibagi menjadi empat
jenis yakni bantuan bilateral dan multilateral serta bantuan pemerintah
dan swasta. Bantuan bilateral berarti bantuan luar negeri yang diberikan
satu negara khusus kepada negara tertentu. Misalnya bantuan luar negeri
Australia (AUSAID) kepada Indonesia yang pada periode 2011-2012
jumlahnya mencapai angka 558 juta dolar, menjadikannya sebagai bantuan
dengan jumlah terbesar yang diberikan Australia kepada negara lain
(Department of Foreign Affairs and Trade, 2012). Sedangkan bantuan
multilateral merupakan bantuan yang diberikan oleh organisasi multilateral
seperti UNDP, UNICEF, IMF, Bank Dunia, dan sebagainya. Bantuan yang
bersifat resmi (Official Assistance) diberikan oleh pemerintah negara-negara
maju semisal USAID dari pemerintah AS, AUSAID dari pemerintah
Australia, British Chevening dari pemerintah Inggris, dan masih banyak
lagi. Sementara bantuan yang sifatnya tidak resmi diberikan oleh lembagalembaga swasta seperti Oxfam, Ford Foundation, Rockefeller Foundation,
dan sebagainya. Kategori bantuan pihak swasta ini biasa disebut dengan
filantropi (Hattori, 2003).
Moralitas dalam Politik Dunia
Realitas hubungan internasional terdiri atas dua dimensi yang
saling bertentangan yakni realitas dunia seperti apa adanya ( das sein) dan
realitas dunia bagaimana seharusnya (das solen). Dengan kata lain, relasi
antar bangsa meliputi dialektika antara konsep kekuasaan dan konsep
normatif (Miller, 2006). Realitas dunia seperti adanya melihat dunia sebagai
sesuatu yang sudah demikian adanya (taken for granted). Interaksi antar
negara dipandang sebagai suatu hal yang alamiah sifatnya dan sama sekali
terlepas dari aspek moralitas. Cara pandang yang demikian ini diwakili oleh
paradigma realis yang berasumsi bahwa dunia adalah lingkungan anarkis
tempat persaingan dan pertikaian antar negara berlangsung tanpa henti
dalam periode sejarah (Donnely, 2003; Elman dalam Griffiths, 2007;
Griffiths, 1992; Dunne & Schmidt dalam Baylis & Smith, 2001;
Mearsheimer, 2001). Di sisi lain, realitas dunia tentang bagaimana
seharusnya mengklaim bahwa hubungan internasional juga memiliki sifatsifat etis yang diciptakan dari konsepsi tentang apa yang baik dan apa yang
buruk. Standar nilai ini kemudian menjadi dasar interaksi antar negara
yang mendasarkan diri pada aturan-aturan yang disepakati bersama.
Pendek kata, hubungan internasional merupakan interaksi antar negara
dalam masyarakat internasional (Bull, 2002; Buzan, 2004; Linklater &
Suganami, 2006; Little, 2000; Brown, 2001; Alderson & Hurrell, 2000). Teori
normatif adalah teori tentang nilai, tentang dunia ideal yang tidak hidup
522

Mohamad Rosyidin

Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme

semestinya, sehingga teori ini disebut juga sebagai filsafat moral hubungan
internasional (Jackson & Sorensen, 2005).
Suatu tindakan dikatakan etis jika tindakan tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip moral (Brown dalam Smith & Light, 2004). Moralitas
mensyaratkan kewajiban mematuhi aturan yang telah diterima dan
mengikat dikarenakan telah dianggap benar atau adil (Amstutz, 2005). Akar
dari prinsip moral yang mengatur tindakan tersebut bermacam-macam.
Banyaknya sumber aturan moral itu mengakibatkan perbedaan cara
pandang yang memunculkan berbagai macam aliran dalam teori normatif.
Para penganut Feminisme akan mengatakan bahwa suatu tindakan
dipandang bermoral jika menempatkan perempuan sederajat dengan lakilaki dalam hal distribusi hak dan kewajibannya. Kaum agamawan akan
menilai tindakan berdasarkan kesesuaiannya dengan ajaran kitab suci.
Kaum utilitarian berpendapat bahwa yang etis itu adalah yang memberikan
kebahagiaan terbesar. Penganut Kosmopolitanisme menyatakan bahwa
etika berkaitan dengan hak dan kewajiban individu yang melintasi batasbatas negara. Sementara lawannya Komunitarianisme beranggapan bahwa
etika berhubungan dengan hak dan kewajiban negara berdaulat yang
membentuk komunitas politik (Jackson & Sorensen, 2005). Masih banyak
lagi aliran normatif dengan argumentasi yang berbeda-beda.
Dalam tradisi teoritis HI, paradigma berpikir yang memandang
penting peran gagasan dan landasan normatif adalah konstruktivisme.
Konstruktivisme merupakan reaksi atas skeptisisme bahwa norma-norma
moral penting dalam politik dunia (Price, 2008). Para penganut pandangan
ini percaya bahwa negara-negara bertindak dan saling berinteraksi tidak
semata-mata dilandasi oleh motivasi mementingkan diri sendiri ( self-help),
akan tetapi yang lebih penting tindakan mereka didasarkan pada
seperangkat aturan yang mengikat mereka. Aturan atau norma inilah yang
memaksa negara melakukan sesuatu yang di luar kendalinya atau
meminjam terminologi Sigmund Freud sebagai ranah super ego. Tindakan di
luar kendali negara ini lebih diorientasikan untuk kepentingan pihak lain
yang dipandang perlu untuk dibantu. Prinsip altruisme dalam relasi antar
bangsa merupakan konsepsi tindakan etis yang bermakna benar dan adil
sehingga negara-negara dengan sukarela melakukannya.
Bagi penstudi HI yang akrab dengan tradisi pemikiran realis,
pandangan altruisme negara seperti ini jelas sulit diterima akal sehat.
Bagaimana mungkin negara yang memperjuangkan kepentingan nasional
bisa melakukan tindakan yang justru menguntungkan kepentingan negara
lain. Realisme Waltzian terutama, membedakan dengan tegas antara
struktur politik domestik dan politik internasional. Karena politik domestik
bersifat hirarkis, prinsip-prinsip moralitas mampu berjalan dengan baik
523

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012

misalnya kepatuhan warga negara kepada hukum yang berlaku. Akan tetapi
karena struktur politik internasional bersifat anarki (dimaknai sebagai
ketiadaan organ di atas negara yang mampu memaksakan aturan), maka
moralitas sulit memperoleh legitimasi. Dalam politik global negara bisa saja
memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara dalam politik
domestik (Walzer dalam Amstutz, 2005). Dikotomi domestik-internasional,
hirarki-anarki tidak mampu memahami perilaku altruis negara. Realitas
bantuan luar negeri merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa
negara juga merasa mempunyai kewajiban membantu negara lain yang
menderita berbagai macam persoalan dalam negeri. Singkat kata, bantuan
luar negeri merefleksikan tanggung jawab sosial negara ( States Social
Responsibility).
Etika Konstruktivisme dan Bantuan Luar Negeri
Seperti telah dikemukakan di atas, konstruktivisme memfokuskan
pada peran gagasan dan prinsip normatif dalam hubungan internasional.
Dalam konteks kajian mengenai bantuan luar negeri, konsep norma
menempati posisi yang sangat penting. Norma menjelaskan tentang kenapa
negara yang pada hakekatnya cenderung egois bersedia berkorban untuk
kepentingan negara lain. Christian Reus-Smit (dalam Price, 2008)
menyatakan bahwa proyek sentral dari konstruktivis adalah politik norma,
yakni konstruksi sosial gagasan intersubyektif tentang bagaimana
keanggotaan dalam komunitas internasional serta bagaimana tindakan
dipandang benar. Selain itu, konstruktivis memikul tugas menjelaskan
bagaimana norma-norma yang mengandung kaidah-kaidah moral
membingkai tindakan politik, membentuk identitas, kepentingan, serta
strategi bagi negara.
Memahami konsep norma dalam hubungan internasional akan
membantu memahami motivasi negara dalam memberi bantuan luar negeri.
Finnemore (1996:22) mendefinisikan norma sebagai shared expectations
about appropritae behavior held by a community of actors. Aktor-aktor
hubungan internasional terutama negara melakukan tindakan karena
dituntun oleh aturan-aturan, prinsip-prinsip, norma yang disepakati
bersama, serta keyakinan yang kesemuanya ini menyediakan pengertian
tentang apa yang penting, berharga, baik dan apa cara-cara yang efektif
atau legitimate dalam rangka mencapai hal-hal tadi (Finnemore, 1996:2).
Dalam kalimat yang kurang lebih sama, norma merupakan collective
expectations about proper behavior for a given identity (Jepperson, et.al.,
dalam Katzenstein, 1996:54). Singkatnya, norma adalah standar perilaku
benar atau salah (Tannenwald, 2007). Namun definisi Tannenwald ini rancu
dengan konsep nilai. Dalam kajian kemasyarakatan, nilai sosial berarti
anggapan tentang apa yang baik atau yang buruk. Sementara norma sosial
berarti kaidah atau aturan yang didasarkan pada nilai sosial tersebut.
Dengan kata lain, nilai melandasi norma, sedangkan norma menjaga
524

Mohamad Rosyidin

Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme

eksistensi nilai. Meskipun demikian, untuk tujuan analisis tulisan ini tidak
akan mempersoalkan perbedaan definitif kedua konsep itu.
Norma memiliki kekuatan untuk menentukan tindakan negara
ketika termanifestasi dalam lembaga. Norma dan gagasan yang
terinstitusionalisasi menyediakan pertimbangan-pertimbangan dan pilihanpilihan strategi yang paling memungkinkan bagi aktor baik dalam hal
praktis maupun etis. Norma yang melembaga tidak hanya menentukan
tujuan dari suatu tindakan, akan tetapi juga menawarkan cara bagaimana
mengorganisir tindakan untuk mencapai tujuan itu (Katzenstein, 2008).
Penganut pendekatan konstruktivis berkeyakinan bahwa norma dan
gagasan yang terlembaga adalah rasional karena mengandung kekuatan
moral dalam konteks sosial (Reus-Smit dalam Burchill, et.al., 2005).
Institusi yang mengandung seperangkat norma ini dalam perspektif
kostruktivis diperlakukan semata-mata bukan sebagai agen seperti halnya
negara, akan tetapi sebagai guru yang mengajari negara sehubungan
dengan perilaku yang baik dari kacamata etis (Finnemore, 1993). Institusi,
dengan demikian merupakan significant other yang keberadaannya sengaja
diciptakan oleh aktor untuk menuntun tindakan aktor tersebut.
Pelembagaan norma bisa termanifestasi baik di tingkat
internasional (structural norms) maupun di tingkat domestik (domestic
norms). Norma struktural mengacu pada tatanan nilai dan kaidah yang
dikonstruksi oleh aktor-aktor internasional yang pada gilirannya menekan
(constraint) aktor-aktor tersebut untuk berperilaku sesuai dengan standar
moralitas. Contoh norma struktural adalah norma Hak Asasi Manusia, Non
Proliferasi Nuklir, perdagangan bebas, larangan berburu ikan paus, dan
sebagainya. Sementara itu, norma domestik mengacu pada standar nilai dan
perilaku yang dianut oleh negara tertentu. Misalnya norma nasional Jerman
dan Jepang yang mempunyai kemiripan yaitu larangan melibatkan tentara
dalam konflik internasional. Bantuan luar negeri Amerika pada masa
Presiden Richard Nixon dan Gerald Ford dimotivasi oleh norma penegakan
HAM yang telah mengakar dalam perpolitikan Amerika (Stohl, et.al., 1984).
Jadi perbedaan antara norma struktural dan norma domestik terletak pada
siapa yang menciptakan norma itu beserta ruang lingkupnya. Keduaduanya sama-sama berfungsi untuk mendefinisikan apa yang baik dan yang
buruk, mendefinisikan siapa mereka vis a vis negara lain, mendefinisikan
situasi serta menyediakan strategi untuk melakukan tindakan.
Eksistensi norma yang melembaga memberikan penjelasan rasional
sehubungan dengan motivasi negara memberikan bantuan luar negeri.
Pemerintah menyadari bahwa negaranya adalah bagian dari masyarakat
internasional, sehingga tindakannya pun disesuaikan dengan aturan yang
sudah disepakati. Pengakuan terhadap norma membuat negara bertindak
525

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012

konformis bukan dikarenakan untuk menghindari hal-hal yang merugikan


kepentingan nasionalnya, akan tetapi karena negara tidak menginginkan
untuk berbuat menyimpang (Lumsdaine, 1993). Perilaku konformis negara
ini penting sebab pemerintah memerlukan pengakuan internasional bahwa
negaranya adalah negara baik. Citra ini bisa mendongkrak status dan
peran pemerintah bersangkutan dalam pergaulan antar bangsa. Ini
merupakan kebutuhan sosial negara, bukan kebutuhan material. Hasrat
untuk diterima oleh komunitas internasional mengalahkan hasrat untuk
mengejar kepentingan nasional jangka pendek. Visi moral mengalahkan visi
material.
Sesuai dengan premis konstruktivisme di atas, bantuan luar negeri
bisa diletakkan di atas pertimbangan etika HI. Moralitas berjalinberkelindan bersama norma internasional. Paradigma konstruktivis
mengklaim bahwa realitas bantuan luar negeri merupakan salah satu upaya
untuk menciptakan dunia yang lebih baik dalam arti penciptaan tatanan
internasional yang positif serta menciptakan kesejahteraan dan memenuhi
kebutuhan penduduk dunia (Lumsdaine, 1993:65). Visi ini terutama menjadi
alasan dibentuknya lembaga multilateral seperti PBB pasca Perang Dunia
II. Didorong oleh trauma akibat konflik antar bangsa, Piagam Atlantik
ditandatangani sebagai institusionalisasi solidaritas internasional untuk
menjaga perdamaian dunia sekaligus memerangi kemiskinan serta
meningkatkan standar hidup bangsa-bangsa di dunia. Dalam konteks non
politis misalnya mengenai permasalahan sosial dunia, komitmen moral ini
membuat negara-negara kategori makmur seperti Kelompok Delapan (G-8)
merasa memikul tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam program
pengentasan kemiskinan dan pembangunan masyarakat negara
berkembang dan miskin. Komite Bantuan untuk Pembangunan (DAC)
merupakan kelompok negara-negara donor yang memegang peran dan
tanggung jawab moral ini. Mereka memandang kerjasama tidak dalam
kalkulasi untung rugi atau pertimbangan relative gain sebagaimana prinsip
realis dan pertimbangan absolute gain sebagaimana prinsip liberal
(Baldwin, 1993; Jervis, 1999). Kerjasama dianggap bernilai jika
mengandung unsur etika yakni bersama-sama menciptakan perubahan yang
manusiawi (Lumsdaine, 1993). Kesamaan visi dalam forum DAC
mencerminkan kekuatan norma internasional yang tidak dapat diabaikan
begitu saja dalam interaksi tingkat global. Dua studi kasus berikut
memperkuat tesis konstruktivis bahwa norma internasional penting serta
mempunyai kekuatan untuk mengalihkan egoisme ke altruisme.

Kasus I: MDGs
Millenium

Development Goals (MDGs) merupakan kerangka


kerjasama internasional untuk mengurangi kemiskinan global pada abad
dua puluh satu. Genealogi MDGs berawal dari dokumen yang ditulis oleh
Sekjen PBB Kofi Annan pada tahun 2000 berjudul We the Peoples: The Role
of the United Nations in the 21st Century meskipun kerangka yang
526

Mohamad Rosyidin

Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme

memikirkan pemecahan masalah kemiskinan dan pembangunan telah ada


sebelumnya. Dalam naskah laporan sepanjang delapan puluh halaman
tersebut, Annan menyatakan bahwa, we must spare no effort to free our
fellow men and women from abject and dehumanising poverty (Hulme,
2009:26; Hulme & Scott, 2010). Naskah laporan itu kemudian diratifikasi
oleh negara-negara anggota PBB menjadi sebuah Deklarasi Millenium
tahun 2000 sebagai justifikasi legal-formal untuk menciptakan masa depan
dunia yang lebih adil (Manning, 2010). Dalam naskah deklarasi tersebut,
dinyatakan bahwa, In addition to our separate responsibilities to our

individual societies, we have a collective responsibility to uphold the


principles of human dignity, equality and equity at the global level (Gore,

2008). Gambaran dunia versi realis yang sepenuhnya egoistik tampaknya


tak menemukan relevansi ketika MDGs mengemuka menjadi agenda politik
global abad duapuluh satu.
Norma yang melahirkan MDGs adalah norma kesetaraan ( norm of
equality). Globalisasi yang menuntut liberalisasi ekonomi memunculkan
kelompok pemenang dan kelompok pecundang. Alhasil, kesenjangan
ekonomi begitu lebar sehingga perlu dijembatani dengan kemitraan global
untuk mengurangi dampak destruktif dari globalisasi. Eksistensi MDGs
ditopang oleh etika mengurangi kemiskinan global. Sebagaimana dikatakan
oleh Sachs (2005), negara-negara maju mempunyai sumberdaya yang bisa
memberi manfaat bagi negara-negara berkembang. Pemerintah perlu
melakukan aksi bersama misalnya dengan menyediakan pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, serta bantuan keuangan yang akan mendukung
proses pembangunan. Dalam kaitan itu, MDGs merupakan supra-norma
(Hulme & Fukudu-Parr, 2009) yang memuat prinsip bahwa penghapusan
dan/atau pengurangan kemiskinan global adalah kewajiban moral semua
bangsa serta lembaga internasional. Di lingkup global, MDGs bisa berperan
sebagai guru yang mengkomunikasikan dan menyebarluaskan normanorma tentang strategi memberantas kemiskinan. MDGs di satu sisi
merupakan norma global yang memobilisasi bantuan luar negeri (ODA)
sementara di sisi lain merupakan struktur insentif yang mengikat negaranegara donor dalam satu komitmen yakni memberantas kemiskinan
(Sumner & Tiwari, 2010).
Pemberantasan kemiskinan adalah kewajiban moral yang
dibebankan kepada negara ketimbang warga negara serta memerlukan
redistribusi sumberdaya untuk melakukannya (Priest, 2005). Redistribusi
sumberdaya dimungkinkan sebab moralitas melintasi batas-batas negara.
Negara-negara maju memikul beban moral untuk membebaskan
masyarakat belenggu kemiskinan. Dalam Pertemuan Tingkat Tinggi di
527

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012

Paris tahun 1996 yang melapangkan jalan menuju MDGs, negara-negara


donor yang tergabung dalam DAC sepakat bahwa,

Those of us in the industrialised countries have a strong moral


imperative to respond to the extreme poverty and human
suffering that still afflict more than one billion people. We also
have a strong self-interest in fostering increased prosperity in
the developing countries. Our solidarity with the people of all
countries causes us to seek to expand the community of interests
and values needed to manage the problems that respect no
borders from environmental degradation and migration, to drugs
and epidemic diseases. All people are made less secure by the
poverty and misery that exist in the world. Development matters
(DAC, 1996).
Komitmen bersama negara-negara donor itu jelas merupakan cermin dari
suatu rasa tanggung jawab sosial dan sikap penghargaan terhadap nilainilai kemanusiaan, kesejahteraan, dan kemajuan. Pendek kata kewajiban
moral yang melekat pada MDGs merupakan suatu hal yang eksplisit.

Kasus II: Bantuan Kemanusiaan Finlandia

Alasan kenapa Finlandia dijadikan test case menarik adalah


kenyataan bahwa negara Skandinavia ini tidak memiliki kepentingan
politis-strategis terhadap negara atau kawasan yang diberi bantuan luar
negeri. Finlandia merupakan negara maju Eropa yang tergabung ke dalam
DAC. Urusan mengenai bantuan luar negeri sepenuhnya dikelola di bawah
kendali Kementerian Luar Negeri Finlandia. Pemerintah Finlandia
menaruh perhatian mendalam terhadap persoalan human security seperti
kemiskinan, rehabilitasi pasca konflik, pengungsian, dan bencana alam.
Norma internasioal yang diadopsi Finlandia sebagai basis penyaluran
bantuan luar negeri adalah hukum internasional dan PBB. Sebagaimana
pernyataan resmi pemerintah negara itu bahwa,

Finlands humanitarian aid is based on international


humanitarian law and the universal principles confirmed by the
United Nations. According to them, humanitarian aid must be
equal, neutral, independent and humanitarian, that is, focus on
saving lives and alleviating peoples distress (Ministry for
Foreign Affairs of Finland, 2006).
Sesuai pernyataan tersebut, nilai yang menjadi pedoman dalam pemberian
bantuan luar negeri adalah nilai kemanusiaan (humanitarian values). Nilai
kemanusiaan yang kemudian terinstitusionalisasi dalam norma HAM diakui
dan dilegalisasi dalam wujud perjanjian internasional yang menjadi sumber
528

Mohamad Rosyidin

Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme

hukum internasional serta menjiwai organ supranasional PBB. Tanggung


jawab internasional Finlandia, muncul dari eksistensi norma HAM tersebut.
Sebagai bentuk tanggung jawab internasional terhadap isu-isu
kemanusiaan, Finlandia mengalokasikan sekitar sepuluh sampai dengan 15
persen dari total anggaran untuk pembangunan. Pada tahun 2008,
Finlandia menggelontorkan dana sebesar 62,3 juta Euro untuk bantuan
kemanusiaan dan pada tahun 2012 jumlah itu meningkat menjadi 67 juta
Euro (Ministry for Foreign Affairs of Finland, 2012). Bantuan itu difokuskan
untuk kawasan-kawasan dunia yang rawan krisis kemanusiaan seperti
Afrika, Karibia, Asia, dan Timur Tengah. Pada kasus krisis kemanusiaan di
Suriah, Finlandia telah menyalurkan bantuan keuangan sebesar tigaratus
ribu Euro melalui UNHCR untuk para pengungsi serta satu juta Euro yang
disalurkan lewat ICRC dan WFP (Ministry for Foreign Affairs of Finland,
2012). Semua itu ditujukan untuk, ...to save human lives and alleviate
human suffering in crisis situations (Embassy of Finland, 2012).
Komitmen Finlandia terhadap etika global tercermin dalam prinsipprinsip Good Humanitarian Donorship (GHD). GHD adalah forum informal
untuk meningkatkan dan koherensi dalam pelaksanaan bantuan
kemanusiaan (Good Humanitarian Donorship, 2010). Forum ini berfungsi
sebagai alat koordinasi yang menyediakan pertemuan-pertemuan reguler
antar negara-negara donor untuk mendiskusikan agenda bantuan
kemanusiaan yang komprehensif. GHD menyediakan kerangka untuk
memandu para petugas bantuan kemanusiaan serta mekanisme untuk
mendorong akuntabilitas negara donor (Good Humanitarian Donorship,
2010). GHD memfasilitasi negara-negara donor untuk mencapai konsensus
karena seringnya terjadi perbedaan pendapat soal pelaksanaan bantuan
kemanusiaan. GHD dengan demikian merupakan norma yang memberikan
solusi atas masalah-masalah koordinatif antar anggotanya. Jadi sekali lagi,
kepentingan negara untuk memajukan negara lain dibingkai dalam
kerangka norma HAM yang pada gilirannya mendasari kebijakan
pemberian bantuan luar negeri.
Kesimpulan
Tatanan normatif abad dua puluh satu menyisakan ruang kosong
bagi penjelasan tradisionalis tentang realitas bantuan luar negeri. Norma
global yang melembaga dalam wujud MDGs merupakan teka-teki yang tidak
bisa dipahami menurut cara pandang klasik yang melihat bantuan ekonomi
semata-mata mementingkan aspek politik (realis), tradisi filsafat (liberalis),
dan alat kapitalis (Marxis). Konstruktivisme hadir dengan argumentasi
bahwa norma merupakan elemen penting untuk memahami motivasi negara
memberikan bantuan luar negeri. Argumen konstruktivisme relevan ketika
529

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012

negara-negara di dunia khususnya negara industri maju yang tergabung


dalam DAC mengakui dan menerima norma internasional. MDGs dibentuk
atas dasar norma kesetaraan yang menghendaki dijembataninya jurang
kesenjangan ekonomi antar bangsa. Stratifikasi ekonomi dunia memang tak
dapat dihindarkan. Akan tetapi negara yang secara ekonomi berada di
puncak piramida stratifikasi sadar bahwa sebagai bangsa yang bermoral,
MDGs adalah manifestasi dari komitmen etis tersebut yang diharapkan
mampu menjadi kerangka normatif masyarakat internasional dalam
menghapuskan kemiskinan global.
Norma global misalnya HAM juga mendorong Finlandia
memberikan bantuan kemanusiaan bagi masyarakat di belahan dunia lain.
Finlandia tidak punya kepentingan strategis maupun ekonomis di kawasankawasan dunia yang dilanda problem kemanusiaan itu. Bantuan luar
negerinya murni dimotivasi oleh pengakuan terhadap norma internasional.
GHD merupakan produk kolektif negara-negara donor sebagai norma yang
mengatur dan memfasilitasi kegiatan sehubungan dengan bantuan
kemanusiaan. Tidak ada alasan yang cukup kuat bagi penjelasan realis,
liberal maupun Marxis sehubungan dengan aktivitas bantuan kemanusiaan
Finlandia ini.
Pemahaman menurut kacamata konstruktivis ini berimplikasi pada
pengetahuan yang kian beragam dalam memandang fenomena hubungan
internasional. Penjelasan alternatif yang ditawarkan konstruktivis berhasil
memfalsifikasi penjelasan tradisional sehingga konstruktivisme semakin
membuktikan diri sebagai salah satu pendekatan penting dan dominan
dalam diskursus teoritis HI. Konstruktivis mengatakan bahwa selalu ada
ruang altruis bagi negara. Altruisme itu bukan berakar dari kepentingan
dalam pengertian tradisional, tetapi kepentingan yang lahir dari norma
yang mengatur perilaku negara. Kesadaran dan kesediaan negara atau
komunitas internasional memberikan bantuan luar negeri tidak bisa
dipahami secara rasional tanpa melibatkan eksistensi norma. Norma
mempengaruhi persepsi negara dalam memandang apa yang baik dan apa
yang buruk. Norma mendefinisikan bahwa kesenjangan sosial antar bangsa
itu tidak baik, bahwa kemiskinan yang diakibatkannya adalah buruk.
Dalam bantuan luar negeri, terkandung unsur moralitas-moralitas ini.
Negara, dengan demikian akan bertindak konformis sesuai dengan norma
karena memang mereka menganggap itulah yang layak ( appropriate) untuk
dilakukan.
*****
Daftar Pustaka
Alderson, K. and A. Hurrell. 2000. Hedley Bull on International Society. New York:
Palgrave Macmillan.
Alesina, A. and D. Dollar. 2000. Who Gives Foreign Aid to Whom and Why?
Journal of Economic Growth, Vol. 5. No. 1 (March): 33-63.
Amstutz, M. 2005. International Ethics: Concepts, Theories, and Cases in Global
Politics. Lanham, Md: Rowman & Littlefield.
530

Mohamad Rosyidin

Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme

Australia Department of Foreign Affairs. 2012. Indonesia Country Brief.


http://www.dfat.gov.au/geo/indonesia/indonesia_brief.html (diakses 16 Mei
2012).
Baldwin, D. (ed.). 1993. Neorealism and Neoliberalism: Understanding the Debate .
New York: Columbia University Press.
Baylis, J. and S. Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations. 2nd edn. New York: Oxford University Press.
Beitz, C. 1979. Political Theory and International Relations . New Jersey: Princeton
University Press.
Brown, C. 2001. World Society and the English School: An `International Society'
Perspective on World Society. European Journal of International Relations ,
Vol. 7, No. 4: 423-441.
Brown, C. 2004. Ethics, Interests and Foreign Policy. dalam K. Smith and M. Light
(eds.) Ethics and Foreign Policy. Cambridge: Cambridge University Press.
Bull, H. 2002. The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics. 3rd edn.
New York: Palgrave Macmillan.
Buzan, B. 2004. From International to World Society? English School Theory and the
Social Structure of Globalisation. Cambridge: Cambridge University Press.
Caporaso, J. and D. Levine. 2008. Theories of Political Economy (terjemahan Suraji).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Development Assistance Committee. 1996. Shaping the 21st Century: The
Contribution
of
Development
Co-operation.
www.oecd.org/dataoecd/23/35/2508761.pdf (diakses 19 Juni 2012).
Donaldson, T. 1992. Kants Global Rationalism. dalam T. Nardin and D. Mapel
(eds.), Traditions of International Ethics. Cambridge: Cambridge University
Press.
Donnelly, J. 2003. Realism and International Relations. Cambridge: Cambridge
University Press.
Dunne, T. and B. Schmidt. 2001. Realism. dalam John Baylis and Steve Smith
(eds.), The Globalization of World Politics: an Introduction to International
Relations. 2nd edn. New York: Oxford University Press.
Elman, C. 2007. Realism. dalam Martin Griffiths (ed.), International Relations
Theory for The Twenty-First Century: An Introduction. London: Routledge.
Embassy of Finland. 2012. Finland grants EUR 67 million in humanitarian aid for
world
crises.
http://www.finland.ie/Public/default.aspx?contentid=243517&nodeid=37479
&contentlan=2&culture=en-GB (diakses 19 Juni 2012).
Finland
Ministry
of
Foreign
Affairs.
2006.
Humanitarian
Aid.
http://formin.finland.fi/public/default.aspx?nodeid=15344&contentlan=2&cul
ture=en-US (diakses 19 Juni 2012).
Finnemore, M. 1993. International Organizations as Teachers of Norms: the United
Nations Educational,Scientific, and Cutural Organization and Science
Policy. Intemational Organization, Vol. 47, No. 4 (Autumn): 565-597.
Finnemore, M. 1996. National Interest in International Society. Ithaca: Cornell
University Press.
531

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012

Fukuyama, F. 2004. The End of History and The Last Man (terjemahan M.H.
Amrullah). Yogyakarta: Qalam.
Good Humanitarian Donorship. 2010. 23 Principles and Good Practice of
Humanitarian
Donorship.
www.goodhumanitariandonorship.org/gns/principles-good-practiceghd/overview.aspx (diakses 19 Juni 2012).
Good
Humanitarian
Donorship.
2010.
About
GHD.
www.goodhumanitariandonorship.org/gns/about-ghd/overview.aspx (diakses
19 Juni 2012).
Gore, C. 2008. The Global Development Cycle, MDGs and the Future of Poverty
Reduction.
www.eadi.org/fileadmin/MDG_2015_Publications/Gore_PAPER.pdf (diakses
19 Juni 2012).
Griffiths, M.
1992. Realism, Idealism, and International Politics: A
Reinterpretation. London: Routledge.
Hattori, T. 2003. The Moral Politics of Foreign Aid. Review of International
Studies, Vol. 29, No. 2 (April), pp. 229-247.
Hulme, D. 2009. The Millennium Development Goals (MDGs): A Short History of the
Worlds Biggest Promise. www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/WorkingPapers/bwpi-wp-10009.pdf (diakses 19 Juni 2012).
Hulme, D. and J. Scott. 2010. The Political Economy of the MDGs: Retrospect and
Prospect
for
the
Worlds
Biggest
Promise .
www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/Working-Papers/bwpi-wp-11010.pdf
(diakses 19 Juni 2012).
Hulme, D. and S. Fukudu-Parr. 2009. International Norm Dynamics and the End of
Poverty: Understanding the Millennium Development Goals (MDGs) .
www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/Working-Papers/bwpi-wp-9609.pdf
(diakses 19 Juni 2012).
Jackson, R. and G. Sorensen. 2005. Introduction to International Relations
(terjemahan Dadan Suryadipura). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jepperson, R. et.al., 1996. Norms, Identity, and Culture in National Security.
Dalam Peter Katzenstein (ed.) The Culture of National Security: Norms and
Identity in World Politics. New York: Columbia University Press.
Jervis, R. 1999. Realism, Neoliberalism, and Cooperation: Understanding the
Debate. International Security, Vol. 24, No. 1 (Summer): 42-63.
Katzenstein, P. 2008. Rethinking Japanese Security: Internal and External
Dimensions. London: Routledge.
Lancaster, C. 2007. Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics.
Chicago: The University of Chicago Press.
Linklater, A. and H. Suganami. 2006. The English School of International Relations:
A Contemporary Reassessment. Cambridge: Cambridge University Press.
Little, R. 2000. The English School's Contribution to the Study of International
Relations. European Journal of International Relations , Vol. 6, No. 3: 395422.
Lumsdaine, D. 1993. Moral Vision in International Politics: The Foreign Aid Regime,
1949-1989. New Jersey: Princeton University Press.
Manning, R. 2010. The Impact and Design of the MDGs: Some Reflections. IDS
Bulletin Vol. 41, No. 1 (January): 7-14.
Mearsheimer, J. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. Chicago: University of
Chicago Press.
532

Mohamad Rosyidin

Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme

Miller, L. 2006. Agenda Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Nye, J. 2011. The Future of Power. New York: Public Affairs.
Perkins, J. 2007. The Secret History of the American Empire: Economic Hit Men,
Jackals, and the Truth about Global Corruption (terjemahan Wawan Eko
Yulianto & Meda Satrio). Jakarta: Ufuk Press.
Price, R. (ed,). 2008. Moral Limit and Possibility in World Politics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Priest, G. 2005.
Reducing Global Poverty: Theory, Practice, and Reform.
www.law.yale.edu/documents/pdf/Reducing_Global_Poverty.pdf (diakses 19
Juni 2012).
Reus-Smit, C. 2005. Constructivism. dalam Scott Burchill, et.al., (eds.) Theories of
International Relations 3rd edn. New York: Palgrave Macmillan.
Reus-Smit, C. 2008. Constructivism and the Structure of Ethical Reasoning. dalam
Richard Price (ed.). Moral Limit and Possibility in World Politics .
Cambridge: Cambridge University Press.
Robison, R. 2012. Indonesia: The Rise of Capital (terjemahan Harsutejo). Jakarta:
Komunitas Bambu.
Sachs, J. 2005. The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time . New York:
Penguin Press.
Schraeder, P. et.al., 1998. Clarifying the Foreign Aid Puzzle: A Comparison of
American, Japanese, French, and Swedish Aid Flows. World Politics Vol.
50, No. 2: 294-323.
Steans, J. and L. Pettiford. 2009. International Relations: Perspectives and Themes .
(terjemahan Deasy Silvya Sari). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stohl, M. et.al., 1984. Human Rights and U.S Foreign Assistance from Nixon to
Carter. Journal of Peace Research, Vol. 21, No. 3: 215-226.
Sugiono, M. 1999. Restructuring Hegemony and The Changing Discourse of
Development (terjemahan Cholish). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumner, A. and M. Tiwari. 2010. Global Poverty Reduction to 2015 and Beyond:

What has been the Impact of the MDGs and What are the Options for a
Post-2015
Global
Framework?

www.chronicpoverty.org/uploads/publication_files/sumner_tiwari_mdgs.pdf
(diakses 19 Juni 2012).
Tannenwald, N. 2007. The Nuclear Taboo: The United States and the Non-Use of
Nuclear Weapons Since 1945. Cambridge: Cambridge University Press.
Therien, J.P. 2002. Debating Foreign Aid: Right Versus Left. Third World
Quarterly, Vol 23, No 3: 449466.

533

You might also like