You are on page 1of 6

A.

Latar Belakang Terjadinya Kasus Simulator SIM

Suatu kegiatan operasional institusi kepolisian dalam proyek pengadaan


driving simulator SIM yang menggunakan anggaran tahun 2011 mulai muncul dalam ketidak
wajaran dalam menggunakan anggaran yang semestinya. Berdasarkan penelusuran media
informasi kasus ini berawal setelah PT CMMA, perusahaan milik Budi Susanto, menjadi
pemenang tender proyek. Perusahaan tersebut membeli barang dari PT ITI senilai total Rp 90
miliar. Sementara nilai total tender proyek simulator roda empat dan roda dua yang
dimenangkan PT CMMA mencapai Rp 198,7 miliar. Dari proyek tersebut, diduga muncul
kerugian negara sekitar Rp 100 milyar. Maka suatu institusi pemerintah yang bergerak dalam
bidang korupsi ingin mengusut tuntas pada kasus simulator SIM tersebut.
Untuk melakukan penyelidikan tersebut, pimpinan KPK menghadap ke Kapolri.
Namun Kapolri meminta waktu satu atau dua hari untuk mendiskusikan tindak lanjutnya
dengan alasan Polri juga tengan menyelidiki kasus tersebut. Usai pertemuan tersebut,
Bareskrim menghubungi ajudan pimpinan KPK untuk meminta waktu menghadap ketua
KPK. Kemudian disetujui untuk diadakan pertemuan. Polri berniat akan mempresentasikan
hasil penyelidikan pada KPK untuk ditingkatkan pada tahap penyidikan dihadapan pimpinan
KPK. KPK dianggap menyerobot kesepakatan untuk melakukan pertemuan tersebut. KPK
menggeledah gedung Korlantas usai para pimpinan melakukan pertemuan. Pertemuan para
pimpinan di ruang kerja Kapolri tak menyinggung rencana KPK menggeledah gedung
Korlantas Polri. Pada akhirnya, KPK datang melakukan penggeledahan dengan mengatakan
bahwa Kapolri telah mengizinkannya.
Masyarakat menduga, sikap keras Polri untuk menangani kasus ini lebih tertuju pada
upaya melokalisir kasus dalam kemungkinan keterlibatan jenderal lain. Sikap Polri yang
senantiasa menyatakan adanya barang bukti yang tidak relevan dengan kasus (driving
simulator), nampaknya lebih menggambarkan kepanikan atas kemungkinan terbukanya
kasus2 lain yang ada dalam barang bukti yang disita KPK.
B.

Lima Kejanggalan Kasus Simulator SIM


Dalam kasus Simulator ini bisa kita lihat lima kejanggalan yang terjadi di kasus ini.
Adapun kejanggalannya adalah sebagai berikut:
1. Ada-tidaknya korupsi
Majalah Tempo edisi 23 April menuliskan korupsi proyek simulator. Pemberitaan itu
dibantah oleh juru bicara Mabes Polri pada 13 Mei. Isinya, tidak ada korupsi di Korps
Lalu Lintas Polri sebesar Rp 196 miliar terkait dengan proyek simulator.
Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri justru menyelidiki kasus simulator setelah
melihat pemberitaan Tempo. Perintah penyelidikan bernomor Sprinlid /
55/V/2012/Tipidkor tanggal 21 Mei 2012.
2. Awal mula pengusutan
KPK mengusut kasus simulator sejak Januari 2012. Pada 27 Juli 2012, KPK
menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas,
sebagai tersangka. Polisi mengaku baru memeriksa 33 saksi. Belum ada tersangka.
3. Penggeledahan
Pada 30 Juli, KPK menggeledah kantor Korps Lalu Lintas. Polisi "menyandera"
dengan alasan bahwa kasus simulator juga sedang diusut.

4. Penetapan tersangka
Pada 31 Juli, polisi menetapkan lima tersangka. Tiga orang di antaranya sama
denganKPK.
5. Kerja sama investigasi
Polisi dan KPK menggelar pertemuan dan membuat kesepakatan bersama pengusutan
kasus simulator. Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang KPK dengan tegas menyebutkan,
jika KPK mulai menyidik, Kepolisian dan Kejaksaan tak berwenang lagi.
C. Tiga Tersangka Simulator SIM Versi KPK
Kepolisian diminta segera melimpahkan berkas pemeriksaan tiga tersangka
kasus dugaan korupsi simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) ke Komisi
Pemberantasan Korupsi menyusul pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketiga tersangka itu adalah Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo, Sukotjo S Bambang,
dan Budi Susanto.
Seperti diberitakan sebelumya, penanganan perkara tiga tersangka kasus simulator
SIM itu seolah menjadi rebutan KPK dengan Kepolisian. Selain menjadi tersangka di
KPK, ketiganya juga ditetapkan sebagai tersangka di Kepolisian. Penanganan perkara tiga
tersangka selain Djoko Susilo itu masih mengambang di KPK. Sementara Kepolisian,
sudah melimpahkan berkasnya ke Kejaksaan Agung meskipun kemudian dikembalikan
Kejaksaan karena masih ada kekurangan secara material maupun formil.
Kepolisian juga menahanan Brigjen Didik di Rumah Tahanan Mako Brimob, Kelapa
Dua, Depok sementara Budi di Rutan Bareskrim Mabes Polri. Dalam pernyataannya yang
disampaikan, Senin (8/10/2012) malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tegas
memerintahkan Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan
korupsi simulator SIM kepada KPK. Keputusan itu sekaligus memutus polemik dualisme
penanganan kasus oleh KPK dan kepolisian, yang mengemuka dan menimbulkan polemik
sejak pertengahan Agustus lalu.
Keputusan diambil setelah Presiden bertemu dengan pimpinan KPK, Abraham
Samad dan Bambang Widjojanto, serta Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Senin
siang. Pertemuan tertutup di Istana Negara itu juga dihadiri Menteri Sekretaris Negara
Sudi Silalahi dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana.
RIVIEW
Proyek pengadaan driving simulator SIM yang menggunakan dana anggaran tahun
2011 muncul dalam ketidakwajaran menggunakan anggaran yang tidak semestinya.
Berawal setelah PT CMMA, perusahaan milik Budi Susanto, menjadi pemenang tender
proyek. Perusahaan tersebut membeli barang dari PT ITI senilai total Rp 90 miliar.
Sementara nilai total tender proyek simulator roda empat dan roda dua yang dimenangkan
PT CMMA mencapai Rp 198,7 miliar. Dari proyek tersebut, diduga muncul kerugian
negara sekitar Rp 100 milyar.
Permasalahan dasar yang terjadi pada kasus simulator SIM adalah yang pertama
terdapat perbedaan pandangan siapa yang akan menangani kasus tersebut, apakah KPK
atau Polri. Kedua adalah perbedaan tentang penugasan personil penyidikan di lembaga
tersebut. Ketiga adalah rencana penangkapan tersangka yang terkait dengan kasus
simulator SIM tersebut.
Terdapat empat tersangka dalam kasus simulator SIM, yaitu Djoko Susilo, Didik
Purnomo, Budi Susanto, Sukotjo S. Bambang. Penanganan ketiga tersangka selain Djoko
Susilo menjadi rebutan oleh KPK dengan Polri. Setelah Presiden SBY memberi perintah

kepada Polri untuk menyerahkan kasus ini sepenuhnya ke KPK barulah penanganan kasus
tersebut jelas siapa yang menangani dan tidak menjadi rebutan lagi.
SARAN
Menurut saya sebaiknya kasus tersebut ditangani oleh KPK karena KPK merupakan
badan khusus yang menangani masalah korupsi di Indonesia lain halnya dengan Polri yang
menangani masalah keamanan dan ketertiban. Walaupun kasusnya sedang berada di Polri,
tetapi tetap saja yang namanya korupsi itu harus ditangani oleh badan khusus, bukan dari
Polri itu sendiri sehingga kasus tersebut bisa dapat jelas terlihat inti permasalahannya serta
pelakunya. Kalau Polri sendiri yang menangani bisa saja badan tersebut menutupi
keburukannya dan akhirnya kasus tidak selesai.
Untuk kerugian Negara sebesar kurang lebih 100 milyar sebaiknya dikembalikan
lagi uang tersebut kepada Negara oleh para tersangka agar Negara dapat mengurus hal
yang lainnya, kalau tidak untuk mencicil hutang Negara yang semakin banyak. Rasanya
tidak adil jika uang sebanyak itu yang dikorupsi tidak dikembalikan lagi kepada yang
berhak dan setelah itu tersangka terbebas dari tuntutan sebagai tersangka.
Tersangka kasus korupsi harus dihukum agar jera, misalnya dengan menyita semua
asset yang dimilikinya sehingga ia jera dan tidak memiliki harta berlimpah yang
merupakan hasil dari korupsi. Selama ini kasus korupsi ditangani dengan kurang baik
seperti pada kasus Gayus yang sedang ditahan tetapi bisa pergi keluar kota. Bagaimana
caranya hal tersebut terjadi. Kalau semua pihak yang menangani kasus korupsi
menjunjung tinggi kejujuran barulah kasus tersebut dapat terselesaikan dengan baik.
Pihak yang menangani korupsi pun harus tegas dan memberi sanksi yang sebanding/
setimpal dengan apa yang pelaku korupsi sehingga negeri ini pun dapat terbebas dari kasus
korupsi karena pihak khusus yang menangani korupsi sudah terampil dalam
menanganinya dan tidak akan ada tersangka baru lagi karena tersangka tersebut takut
terhadap sanksi yang ada jika ia melakukan korupsi.

Standar Audit Investigatif


Standar merupakan ukuran mutu. Dalam proses audit, dengan adanya standar ini maka pihak
yang diaudit, pengguna laporan hasil audit, dan pihak-pihak lain dapat mengukur kinerja
auditor dan juga hasil audit tersebut terpercaya. K.H Spencer Picket dan Jennifer Picket
merumuskan beberapa standar untuk melakukan investigasi terhadap fraud.
Standar tersebut adalah :
1. Seluruh investigasi harus dilandasi praktik yang diakui (accepted best practices)
2. Mengumpulkan bukti bukti dengan prinsip kehatihatian (due care) sehingga bukti
bukti tadi dapat diterima di pengadilan
3. Memastikan seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks dan
jejak audit tersedia
4. Investigator mengerti hak-hak stakeholder entitas yang diaudit

5. Beban pembuktian ada pada yang menduga pelaku kecurangan, dan pada penuntut
umum yang mendakwa pelaku tersebut, baik dalam kasus hukum dan administratif
maupun hukum pidana
6. Seluruh substansi investigasi harus tercakupi dan menguasai seluruh target
7. Meliput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga,
pengamanan mengenai hal hal yang bersifat rahasia, ikut tata cara atau protokol,
dokumentasi dan penyelenggara catatan, melibatkan / dan atau melapor ke polisi,
kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
.
Kode Etik Akuntansi Forensik
Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan sesamanya, dengan pemakai
jasa dan stakeholder lainnya, dan dengan masyarakat luas. Kode etik berisi nilai nilai luhur
(virtues) yang amat penting bagi eksistensi profesi. Profesi bisa eksis karena ada integritas
(sikap jujur walaupun tidak diketahui orang lain), rasa hormat dan kehormatan (respect dan
honour), dan nilai nilai luhur lainnya yang menciptakan rasa percaya (trust) dari pengguna
stakeholder lainnya.
Kode Etik Akuntan Forensik
1

Tanggung Jawab Profesi


Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus
senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan

yang dilakukannya.
Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan
kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas

profesionalisme.
Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan
profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan
merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang
diambilnya.

Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan
dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas
yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas
mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak
berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh

pihak lain.
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati,
kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk
memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa

profesional dan teknik yang paling mutakhir.


Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama
melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi
tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau

hukum untuk mengungkapkannya.


Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik

dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.


Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis
dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhatihati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima
jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar
yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of
Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

Softskill akuntansi forensik


1. Kreatif, kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis
yang normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak perlu
merupakan suatu situasi bisnis yang normal

2. Rasa ingin tahu, keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
rangkaian peristiwa dan situasi
3. Tak menyerah, kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah
olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit di peroleh
4. Akal sehat, kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata
5. Business sense, kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya
berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicata
6. Percaya diri, kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat
bertahan dibawah cross examination
Sumber
Yamin,

Ridha.

https://id.scribd.com/doc/240242264/Atribut-Dan-Kode-Etik-

Akuntan-Forensik-Serta-Standar-Audit-Investigatif

You might also like