You are on page 1of 36

TRAUMA TULANG BELAKANG

A. PENGERTIAN
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai
ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal,
12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus
intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem
otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan
memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai
pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka
akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran
satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi
(Sjamsuhidayat, 1997).
B. ETIOLOGI
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelam, dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
(Harsono, 2000).

C. PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh
dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio,
Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada
medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi
karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan
tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash/trauma
indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari
tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun
torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan
cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak
tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,
tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami
medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap
tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara
(komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari.

Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan
infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap,
secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio,
laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan
/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa
medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam
medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia
grisea.trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat
badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis
dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam
kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7
dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau
neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma
tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah
radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang
akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya
fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock
spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi
rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock
spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda
gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik
dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua
sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya
terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi

mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum


flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul
barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang
mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong
dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada
ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah
perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan
anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
Manifestasi klinik
Gambaran klinik bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan
yang terjadi. Kerusakan melintang manifestasinya : hilangnya fungsi motorik
maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan di sertai syok spinal. Syok spinal
terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang dari pusat. Ditandai dengan:
1.

Kelumpuhan flasid

2.

anesthesia

3.

arefleksi

4.

Hilangnya prespirasi

5.

Gangguan fungsi rectum dan kandung kemih

6.

Priapismus

7.

bradikardi dan hipotensi.

Setelah syok spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi. Terlihat pula tanda
gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik serta gangguan kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan
kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri
dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan
ini pada umumnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh
hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh
ligamentum flavum yang terlipat. Manifestasinya berupa tetraparese parsial.
Gangguan pada ekstermitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas,
sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separu
lateral sumsum tulang belakang. Gejala klinik berupa gangguan motorik dan

hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan


rasa nyeri dan suhu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2
mengakibatkan anesthesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi
serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut
sindrom konus medularis.
Sindrom kauda equine disebabkan oleh kompresi pada radiks
lumbo sacral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan
anesthesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis.
Pencegahan dan penatalaksanaan
Cedera tulang belakang bila tidak ditangani dengan baik dapat
menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap berupa kelumpuhan yang
permanent. Kelumpuhan yang terjadi mempunyai dampak perawatan yang rumit
dan memerlukan banyak peralatan. Ada dua tujuan utama penanganan cedera
tulang belakang:
1.

Tercapainya tulang belakang yang stabil serta tidak nyeri

2.

Mencegah terjadinya jejas lintang sumsum tulang belakang sekunder.


Tindakan yang dilakukan untuk penanganan cedera tulang belakang :

1.

Lakukan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan).

2.

Optimalisasi faal ABC: jalan nafas, pernafasan dan peredaran darah.

3.

Penanganan kelainan yang lebih urgen (pneumotorak??)

4.

Pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi

5.

Pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)

6.

Tindak bedah (dekompresi, reposisi atau stabilisasi)

7.

Pencegahan penyulit

Ileus paralitik sonde lambung

Penyulit kelumpuhan kandung kemih

Pneumoni

Dekubitus

Diagnosa Keperawatan yang muncul


1.

Deficit self care

2.

Gangguan mobilitas fisik

3.

Gangguan body image

4.

Kerusakan integritas kulit b.d factor mekanik ( terjadi dekubitus)

5.

Resiko infeksi

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum:
1. Fraktur Stabil
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
2. Fraktur tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang
belakang tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per
mm2 dapat mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering
kena adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.
Perawatan:
1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita
akan sembuh..
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra
1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus,
terutama simple kompressi.
2) Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika
dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
- Laminektomi

mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis,


menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
- fiksasi interna dengan kawat atau plate
- anterior fusion atau post spinal fusion
3) Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek
bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut
dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan
cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi
masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan bulibuli dan reflek detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver crede
c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/ mengubah posisi
4) Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya
vaskularisasi didaerah tersebut.
Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
wishplash Injury yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya
dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6
minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1) Dislokasi feset >50%
2) Loss of paralelisine dan feset.
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih
ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan
spinal cord.
Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan
supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan
umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan
setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam
pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa
pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.
G. KOMPLIKASI (Mansjoer, Arif, et al. 2000).

1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke


jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
akibat trauma.
2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan
mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal
ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi
terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat
pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate,
paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
7. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
8. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas
permanen jika tidak ditangani segera.
H. PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid,
Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi
pupil, ptosi
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan
Mengalami deformitas pada daerah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
H. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul (Carpenito (2000), Doenges at al


(2000))
1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot diafragma
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan
3. Nyeri akut b.d adanya cedera
4. Konstipasi b.d gangguan persarafan pada usus dan rectum.
5. Perubahan pola eliminasi urine b.d kelumpuhan saraf perkemihan
6. Kerusakan integritas kulit b.d tirah baring lama.
7. Resiko tinggi terhadap infeksi saluran kemih b.d retensi urine dan
pemasangan alat invasif

II. 1. ANATOMI
Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai
penyangga tubuh dan melindungi sumsum tulang belakang. Pilar itu terdiri atas
33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas
tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5
ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu
(vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea). Setiap ruas tulang
belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena adanya dua sendi di
posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada pandangan dari
samping pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis di daerah
servikal, torakal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-masing
tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya bukanlah merupakan satu
struktur yang mampu melenting, melainkan satu kesatuan yang kokoh dengan
diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang. Lingkup
gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal
berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks,
sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar
dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya makin kecil. 4, 5
Secara umum struktur tulang belakang tersusun atas dua kolom yaitu : 6
1.Kolom korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di
antaranya
2.Kolom elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas
lamina , pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis,
ligamentum-ligamentum supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum flavum,
serta kapsul sendi
Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di
belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang
lamina, dua pedikel, satu prosesus spinosus, serta dua prosesus transversus.
Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang
servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut
odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus
neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk
segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil.
Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah
komponen jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum
longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan
ligamentum supraspinosus. 5
Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang
dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar.
Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta
diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri
yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Secara keseluruhan
tulang belakang dapat diumpamakan sebagai satu gedung bertingkat dengan
tiga tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di samping belakang,
dengan lantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri, pedikel, prosesus
transversus dan prosesus spinosus. Tulang belakang dikatakan tidak stabil bila

kolom vertikal terputus pada lebih dari dua komponen. 5


Sumsum tulang belakang berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf
yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh.
Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma
yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal
ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang
lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di
bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan
sedikit kehilangan fungsi. 4
II. 2. EPIDEMIOLOGI
Di U.S., insiden trauma sumsum tulang belakang sekitar 5 kasus per satu juta
populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden trauma
sumsum tulang belakang tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden
trauma sumsum tulang belakang pada pria adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria
dengan trauma sumsum tulang belakang terdapat pada usia 18-25 tahun. 1
SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality) terjadi primer pada
anak-anak. Tingginya insiden trauma sumsum tulang belakang komplit yang
berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9
tahun.1
II. 3. ETIOLOGI
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan sepeda motor
(44 %), tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %), kecelakaan olahraga misal
menyelam (8 %), dan penyebab lain (2 %). 3
Jatuh merupakan penyebab utama trauma sumsum tulang belakang pada orang
usia 65 tahun ke atas. Trauma sumsum tulang belakang karena kecelakaan
olahraga biasanya terjadi pada usia 29 tahun. 2
II. 4. PATOFISIOLOGI
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang
membawa informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus
kortikospinal adalah jalur motorik desenden yang terletak di anterior sumsum
tulang belakang. 1
Kolumna dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa informasi raba,
propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik. Traktus spinotalamikus lateral
membawa sensasi nyeri dan suhu. Traktus spinotalamikus anterior membawa
sensasi raba. Fungsi otonom dibawa oleh traktus interomedial anterior. 1
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya paralisis
ipsilateral atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan getar. Sedangkan
trauma pada traktus spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya sensasi
suhu dan nyeri kontralateral. Trauma sumsum tulang belakang anterior
menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba inkomplit. 1
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior. Saraf simpatis
keluar dari sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan saraf
parasimpatis keluar di antara S2 dan S4. Oleh karena itu lesi atau trauma
sumsum tulang belakang dapat menyebabkan disfungsi otonom. 1

Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti hipotensi, bradikardi


relative, vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini biasanya tidak terjadi pada
trauma sumsum tulang belakang di bawah T6. Syok spinal didefinisikan sebagai
hilangnya seluruh fungsi neurologis komplit, termasuk refleks dan tonus otot,
dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok neurogenik mengacu pada terjadinya
trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi perifer akibat disfungsi otonom dan
gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis pada trauma sumsum tulang
belakang akut. 1
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis anterior dan 2
arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior
sumsum tulang belakang. Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya
disfungsi traktus kortikospinal, spinotalamikus lateral, dan interomedial anterior.
Sindrom arteri spinalis anterior meliputi paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan
suhu dan disfungsi otonom. Arteri spinalis posterior mensuplai kolumna dorsalis.
1
Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi sumsum tulang belakang pada level
segmen yang lebih tinggi daripada level trauma tulang belakang. Trauma
vaskular mengakibatkan iskemik pada servikal yang tinggi. Trauma hiperekstensi
servikal dapat menyebabkan trauma iskemik sumsum tulang belakang. 1
Trauma sumsum tulang belakang bisa primer atau sekunder. Trauma primer
merupakan akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa
terjadi pada fraktur dan atau dislokasi tulang belakang. Akan tetapi, dapat juga
terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi tulang belakang. Trauma penetrasi
seperti trauma tembak juga dapat menyebabkan trauma primer. 1
Kelainan ekstradural juga dapat menyebabkan trauma primer. Hematom epidural
spinal atau abses menyebabkan trauma dan kompresi sumsum tulang belakang
akut. 1
Trauma vaskular sumsum tulang belakang yang disebabkan gangguan arteri,
trombosis arteri atau hipoperfusi yang menyebabkan syok adalah penyebab
utama trauma sekunder.1
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit. Sindrom
sumsum tulang belakang komplit ditandai hilangnya fungsi motorik dan sensorik
di bawah level lesi. Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi the
anterior cord syndrome, the Brown-Squard syndrome, dan the central cord
syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus medullaris syndrome, the cauda
equina syndrome, dan spinal cord concussion. 1
Trauma inkomplit berarti seseorang memiliki beberapa fungsi di bawah level
trauma, meskipun fungsi tersebut tidak normal. Sebagai contoh, seseorang
dapat mengalami kelemahan bahu tetapi masih dapat menggerakkannya.
Seseorang dapat kehilangan kemampuan untuk menggerakkan otot di bawah
kehilangan sensasi nyeri dan suhu. The International and American Spinal Injury
Association (ASIA) mendefinisikan trauma sumsum tulang belakang inkomplit
sebagai suatu keadaan dimana seseorang masih memiliki fungsi sumsum tulang
belakang di bawah sakrum (di bawah S5).

Trauma inkomplit meliputi : 1,3


Anterior cord syndrome, yang meliputi hilangnya fungsi motorik dan sensasi
nyeri dan/atau suhu, dengan dipertahankannya propriosepsi.
Brown-Squard syndrome meliputi hilangnya fungsi propriosepsi dan motorik
ipsilateral, dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral.
Central cord syndrome biasanya melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot
pada ekstremitas atas yang dominant daripada ekstremitas bawah. Hilangnya
sensasi bervariasi, nyeri dan/atau suhu lebih sering terganggu daripada
propriosepsi dan/atau vibrasi. Biasnya terjadi disestesia, khususnya pada
ekstremitas atas (misal sensasi panas di tangan atau lengan).
Conus medullaris syndrome adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa
keterlibatan saraf lumbal. Sindrom ini ditandai arefleksia pada kandung kemih,
pencernaan. Hilangnya fungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah
bervariasi.
Cauda equina syndrome melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai
arefleksia pada pencernaan dan /atau kandung kemih, dengan hilangnya fungsi
motorik dan sensorik ekstremitas bawah yang bervariasi. Trauma ini biasanya
disebabkan oleh herniasi diskus lumbal sentral.
A spinal cord concussion ditandai dengan defisit neurologik sementara pada
sumsum tulang belakang yang akan pulih sempurna tanpa adanya kerusakan
struktural yang nyata.
Trauma komplit berarti terjadi kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di
bawah level trauma. Hampir separuh dari trauma sumsum tulang belakang
adalah komplit. Sebagian besar trauma sumsum tulang belakang, termasuk
trauma komplit, merupakan akibat luka dari sumsum tulang belakang atau
kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang belakang dan bukan dari
terpotongnya sumsum tulang belakang. 3
Trauma sumsum tulang belakang seperti stroke, merupakan proses yang
dinamis. Lesi sumsum tulang belakang inkomplit dapat menjadi komplit. Kaskade
kompleks dari patofisiologi yang terkait dengan radikal bebas, edema vasogenik,
dan penurunan aliran darah mengakibatkan terjadinya manifestasi klinis.
Oksigenasi yang normal, perfusi dan keseimbangan asam basa dibutuhkan untuk
mencegah perburukan. 1
II. 5. KLASIFIKASI
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut : 6
Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan
selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra
dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan
kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya
dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus

vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.


Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan
menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum
vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan
dapat menimbulkan burst fracture.
Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan
langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur
prosesus artikularis serta ruptur ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides
mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil.
Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau
lateral dan burst fracture derajat ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil
mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury), dan
burst fracture hebat. 6
Cedera stabil 7
Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum
ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini
menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di
rumah sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi
terhadap paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji
lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika
tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang
berkepanjangan tidak lazim ditemukan.

Fleksi ke Lateral dan Ekstensi


Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan
defisit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset)
adalah semua yang dibutuhkan.
Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke
dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada
pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam
tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit
neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur
selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa minggu.
Meskipun fraktura ledakan agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi
karena masuknya fragmen ke dalam kanalis spinalis. CT-Scan memberikan
informasi radiologik yang lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan

neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejalagejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong vertebra yang
digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan.
Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis.
Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang
kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah
dekompresi.
Cedera Tidak Stabil 7
Cedera Rotasi Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan
vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien
harus ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks.
Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai
L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik.
Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi
dengan memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan
berbagai alat metalik diindikasikan.
Fraktura Potong
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma
parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada
daerah toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat
tidak stabil pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang
bebas yang luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti
pada cedera fleksi-rotasi.
Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk
pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil.
Stabilisasi bedah direkomendasikan.
II. 6. JENIS TRAUMA
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Di daerah
torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur toraks. 5
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi.
Sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar,
kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran
darah, atau perdarahan. 5
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan oleh
hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan oleh hipotensi, udem atau
kompresi. 5
Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan
kerusakan yang permanen, karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan
saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan

fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau


disebabkan oleh tekanan, memar atau udem. 5
II. 7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.
Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik
maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal
terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama
satu hingga enam minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan
flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rektum dan
kandung kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih
kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom,
berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik, serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. 5
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik di
bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua
sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.5
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya
terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi
mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum
flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul
beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang
mendadak sehingga beban jatuh dan tulang belakang hiperekstensi. Gambaran
klinis berupa tetraparese parsial. Ganguan pada ekstremitas bawah lebih ringan
daripada ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. 5
Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral sumsum
tulang belakang. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa gangguan
motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat
gangguan rasa nyeri dan suhu. 5
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan anestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal
dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis. 5
Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbosakral
setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan anestesia di
daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. 5
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang
adalah: 4
Nyeri mulai dari leher sampai bawah
Kehilangan fungsi (misal tidak dapat menggerakkan lengan)
Kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh
II. 8. DIAGNOSIS
Trauma tulang belakang perlu dicurigai pada kondisi-kondisi berikut : 4
Pasien tidak sadar

Pasien dengan multipel trauma


Trauma di atas klavikula
Jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki (atau dua kali tinggi pasien)
Kecelakaan dengan kecepatan tinggi
Pada pemeriksaan jasmani dipentingkan pemeriksaan neurologik dengan
mengingat kemungkinan cedera sumsum belakang. 4
Pada pemeriksaan laboratorium, perlu diperiksa dan dimonitor kadar hemoglobin
dan hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor kehilangan darah. Selain itu,
urinalisis juga perlu untuk mendeteksi trauma traktus genitourinarius. 1
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior dan lateral,
dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk melihat
kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak untuk
jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang). Jika pasien memiliki gejala atau
terdapat trauma sumsum tulang belakang, dilakukan CT-Scan atau MRI yang
akan menunjukkan lebih detail dibanding rontgen. CT scans lebih baik daripada
MRI dalam menunjukkan tulang, sedangkan MRI biasanya lebih baik dalam
menunjukkan jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang. Semua tindakan
diagnostik tersebut dikerjakan tanpa memindahkan atau mengubah posisi
penderita. 3,5
Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik, seperti
kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak tampak fraktur.
5
II. 9. PENATALAKSANAAN
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada
kerusakan tersebut. 5
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera lain
yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan
patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada
stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan
imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan
gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk
stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat
dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga
penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti
infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah.
Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi
untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan
dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan
tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam
pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak
boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah
instabilitas tulang belakang. 5

Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu
dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas
yang keras. 5
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau
sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang
patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di
daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan pada
ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan
napas dan sirkulasi. 5
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak
menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan
kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan. 5
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan
fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik
dapat dilakukan. 5
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat
hematom retroperitoneal sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung. 5
Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi
pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat syok
spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi
urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering. 5
Perhatian perlu diberikan untuk mencegah terjadinya pneumoni dan memberikan
nutrisi yang optimal. 5
Penanggulangan Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Tulang Belakang : 5
Prinsip umum :
pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera mielum
mencegah terjadinya cedera kedua
waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang
lakukan evaluasi dan rehabilitasi
Tindakan :
adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)
optimalisasi faal ABC : jalan nafas, pernafasan, dan peredaran darah
penanganan kelainan yang lebih urgen
pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)
tindak bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi)
pencegahan penyulit
* ileus paralitik sonde lambung
* penyulit kelumpuhan kandung kemih kateter
* pneumoni
* dekubitus
Tindak Bedah 5
Jika terdapat tanda kompresi pada sumsum belakang karena deformitas fleksi,
fragmen tulang, atau hematom, maka diperlukan tindakan dekompresi.
Dislokasi yang umumnya disertai instabilitas tulang belakang memerlukan

tindakan reposisi dan stabilisasi.


Pembedahan darurat diperlukan bila terdapat gangguan neurologik progresif
akibat penekanan, pada luka tembus, dan pada sindrom sumsum belakang
bagian depan yang akut.
Pembedahan selalu harus dipertimbangkan untuk mempermudah perawatan dan
fisioterapi agar mobilisasi dan rehabilitasi dapat berlangsung lebih cepat.
Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit, tetapi tidak
harus dilakukan sebagai tindakan darurat untuk mengatasi gangguan stabilitas
tulang belakang.
Tindakan Bedah Pada Cedera Tulang Belakang dan Sumsum Belakang
Tindakan darurat
luka tembus
sindrom sumsum anterior akut
* peluru
* tikam / bacok
gangguan neurologik progresif (penekanan)
Tindakan elektif
patah tulang tidak stabil
Tujuan :
mencegah jejas lintang
mempercepat penyembuhan dan revalidasi
memungkinkan rehabilitasi aktif
mempermudah perawatan dan fisioterapi aktif
Pada pasien yang tidak sadar mungkin terdapat tanda syok spinal (nadi lambat
dan tekanan darah rendah, kelemahan umum pada seluruh anggota gerak,
kehilangan kontrol buang air besar atau buang air kecil.
Penting untuk diingat bahwa trauma tulang belakang tidak tersingkir jika pasien
dapat menggerakkan dan merasakan anggota geraknya. Jika mekanisme trauma
melibatkan kekuatan yang besar, pikirkan yang terburuk dan dirawat seperti
merawat korban trauma tulang belakang.
Pertolongan Pertama Pada Trauma Tulang Belakang meliputi : 4
1.Perhatikan ABC nya (Airway, Breathing, Circulation)
2.Pertahankan posisi pasien. Jangan pindahkan atau membiarkan korban
bergerak kecuali korban dapat meninggal atau terluka jika tetap pada posisinya
(misal menghindari batu yang jatuh). Posisi leher harus tetap dipertahankan
dengan menahan kepala pada kedua sisi.
Ketika petugas datang, korban dipasang kolar servikal yang keras dengan sangat
hati-hati, kemudian diimobilisasi dengan sistem transportasi spinal yang bisa
berupa matras, papan keras. 4
II. 9. KOMPLIKASI 1,2
- Defisit neurologis sering meningkat selama beberapa jam atau hari pada
trauma sumsum tulang belakang akut, meskipun sudah mendapat terapi
optimal.
Salah satu tanda adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris.
Pasien dengan trauma sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi,

karena itu perlu pemasangan NGT (Nasogastric Tube).


- Hipotermia.
- Dekubitus
- Seseorang dengan tetraplegia beresiko tinggi terjadi komplikasi medis
sekunder. Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia
komplit adalah sebagai berikut : pneumonia (60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8
%), trombosis vena dalam (16,4 %), emboli pulmo (5,2 %), infeksi pasca operasi
(2,2 %).
- Komplikasi pulmo pada trauma tulang belakang biasa terjadi, dimana secara
langsung berhubungan dengan mortalitas dan trauma saraf. Komplikasi pulmo
tersebut meliputi :
atelektasis sekunder
menurunnya batuk, sehingga meningkatkan resiko sumbatan oleh secret,
atelektasis dan pneumonia
kelelahan otot
II. 10. PROGNOSIS 1
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien
dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5
tahun pada pasien dengan trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang
terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan
infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma tulang belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari
5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang
perbaikan adalah nol.
Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik.
Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali
lebih dari 50 %.
DAFTAR PUSTAKA
1.Schreiber, Donald, 2004. Spinal Cord Injuries.
http://www.emedicine.com/emerg/byname/spinal-cord-injuries.htm
2.Anonim, 2005. Spinal Cord Injury.
http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp
3.Anonim, 2006. Spinal Cord Injuries.
http://www.sci-recovery.org/sci.htm
4.Langran, Mike, 2006. Spinal Injuries.
http://www.ski-injury.com/spinal1.htm
5.Jong, Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
6.Listiono, Djoko, dr., 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III, PT.
Gramedia, Jakarta.
7.Sabiston, D.C., 1994, Buku Ajar Bedah Sabiston Bagian 2, EGC, Jakarta.
8.Senior, 2007. Jangan sembarangan Menggerakkan Leher Anda.
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Work+Out&y=cybermed
%7C0%7C0%7C7%7C198

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA DAN CEDERA MEDULLA SPINALIS


MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Program Studi Ilmu
Keperawatan Oleh : ALVIAN PRISTY WINDIRAMADHAN R.10.01.003 YAYASAN
INDRA HUSADA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) INDRAMAYU 2011 1
BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Trauma kepala meliputi trauma kepala,
tengkorak dan otak. Trauma kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit
neurologis yang serius diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai
proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Lebih dari setengah dari
semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma
kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya. Resiko utama
pasien yang mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan
atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intra cranial (PTIK). Sedangkan Cedera medulla spinalis
adalah masalah kesehatan mayor , dan cedera medulla spinalis lebih dominant
pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Setengah dari
kasus ini adalah kecelakaan kendaraan bermotor; selain itu banyak akibat jatuh,
olahraga,kejadian industri dan luka tembak. Dua pertiga kejadian adalah usia30
tahun atau lebih mudah Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah
medulla spinalis pada daera servikal (leher) ke 5,6 dan 7, Torakal ke-12 dan
lumbal pertama. Vertebra ini paling rentang karena ada rentang mobilitas yang
lebih besar dalam kolumna vertebral dalam area ini. Cedara kolumna vertebralis,
dengan atau tampa defesit neurologist, harus selalu dicari dan disingkirkan pada
penderita dengan cedera multiple. Setiap cedera diatas klavikula harus
dicuruigai adanyacedera tulang leher (c-spine). Sekitar 15% penderita yang
mengalami akan mengalami cedera pada spine sekitar 55% cedera tulang
belakang terjadi pada daera servikal. 15% pada daera torakal, 2
15% pada torakolumbar, serta 15 % pada daera lumbo sacral, sekitar 5% dari
penderita yang mengalami cedera kepela juga menderita cedera tulang
belakang. Dimana 25% cedera tulang belakang menderita sedikitnya cedera
kepala ringan. Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang
belekang harus selalu berhati hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta
immobilisasi yang tidak adekuat akan menambah kerusakan neurologik dan
memperburuk prognosis penderita. Kurang lebih 5% akan timbul gejala
neurologist atau memburuknya keadaan setalah penderita mencapai UGD. Hal
ini disebabkan karena iskemia atau udema progresip pada sumsun tulang
belakang.hal ini juga disebabkan oleh kegagalan mempertahankan immobilisasi
yang adekuat. Selama tulang belakang penderita dilindungi, evaluasi tulang
belakang dapat ditunda dengan aman, terutama bila ditemukan instabilitas
sistemik, seperti hipotensi dan pernapasan yang adekuat. Pergerakan penderita
dengan kolumna pertebralis yang tidak stabil akan memberikan resiko kerusakan
lebh lanjut sumsun tulang belakang. Menyingkirkan kemungkinan adanya cedera
tulang belakang lebih mudah pada penderita sadar dibandingkan dalam keadaan
koma atau penurunan tingkat kesadaran, proses tidak sederhana dan dokter
yang menangani berkewajiban memperoleh foto rongsen yang tepat untuk
menyingkirkan adanya cedera tulang belakang, dan bila tidak berhasil maka

immobilisasi pasien harus diperhatikan B. Tujuan 1. Umum Mengetahui konsep


teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma
kepala dan Cedera medulla spinalis 2. Khusus a. Mengetahui pengertian trauma
kepala dan Cedera medulla spinalis b. Mengetahui etiologi, klasifikasi,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan
pasien dengan trauma kepala dan Cedera medulla spinalis 3
c. Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala dan Cedera medulla spinalis C. Ruang Lingkup Makalah ini akan
membahas konsep teori tentang trauma dan cedera medulla spinalis kepala
serta masalah keperawatan pasien dengan trauma kepala dan asuhan
keperawatan pasien dengan trauma kepala dan cedera medulla spinalis. 4
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA 2.1 Konsep Teori A. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001) B. Klasifikasi Klasifikasi
trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG): 1. Minor SKG 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma. 2. Sedang
SKG 9 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. 3. Berat SKG 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi
kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. 5
C. Etiologi Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,
dan mobil. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan. D. Patofisiologis Cedera memegang peranan yang
sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari
suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
(deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi
secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tibatiba tanpa kontak langsung,
seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan
ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi. 6

Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan


menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan
yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson
menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada
hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya. E. Manifestasi Klinis Hilangnya
kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih Kebungungan Iritabel Pucat Mual dan
muntah Pusing kepala Terdapat hematoma Kecemasan Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. 7
F. Pathway Trauma kepala Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial Terputusnya
kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler Terputusnya kontinuitas jaringan
tulang Jaringan otak rusak (kontusio, laserasi) Gangguan suplai darah
-Perubahan outoregulasi Resiko infeksi G.-Perdarahan Nyeri Iskemia H.
-Hematoma Peningkatan TIK J. Girus medialis lobus Gangg. fungsi otak Mual
muntah Papilodema Pandangan kabur Penurunan fungsi pendengaran Nyeri
kepala Gangg. Neurologis fokal Defisit Neurologis K.temporalis tergeser L.
Herniasi unkus Gangg. persepsi sensori Resiko kurangnya volume cairan Tonsil
cerebelum tergeser M. Mesesenfalon tertekan Kejang Perubahan perfusi jaringan
Hipoksia Perubahan sirkulasi CSS I. -Odem cerebral Resiko injuri 1. Bersihan jln.
nafas 2. Obstruksi jln. nafas 3. Dispnea 4. Henti nafas 5. Perub. Pola nafas Resiko
tidak efektifnya jln. nafas Kompresi medula oblongata Resiko gangg. integritas
kulit Immobilisasi Gangg. kesadaran Cemas 8 Kurangnya perawatan diri
G. Komplikasi Hemorrhagie Infeksi Edema Herniasi H. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT) Rotgen Foto CT
Scan MRI I. Penatalaksanaan Secara umum penatalaksanaan therapeutic
pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut: 1. Observasi 24 jam 2. Jika
pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. 3. Berikan terapi
intravena bila ada indikasi. 4. Anak diistirahatkan atau tirah baring. 5. Profilaksis
diberikan bila ada indikasi. 6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi. 7.
Pemberian obat-obat analgetik. 8. Pembedahan bila ada indikasi. J. Rencana
Pemulangan 1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan
pengobatan. 9
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya
kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan
perubahan bicara. 3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek
samping, dan reaksi dari pemberian obat. 4. Ajarkan orang tua untuk
menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan
nafas selama kejang. 5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi
untuk aktivitas seharihari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-

minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan
mobilitas fisik. 6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan
alat pengaman. 7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual. 8.
Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial. 2.2 ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Riwayat kesehatan:
waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian. 2. Pemeriksaan
fisik a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik) b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau
pengaruh PTIK c. Sistem saraf : GCS. Kesadaran 10
trauma yang mengenai/meluas ke batang otak Fungsi saraf kranial akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial. adakah kelumpuhan, rasa baal,
nyeri, Fungsi sensori-motor gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia,
hiperalgesia, riwayat kejang. d. Sistem pencernaan Bagaimana sensori adanya
makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks
batuk, mudah tersedak. Jika tanyakan pola makan?pasien sadar Waspadai
fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan. Retensi urine, konstipasi,
inkontinensia. hemiparesis/plegia,e. Kemampuan bergerak : kerusakan area
motorik gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot. disfagiaf. Kemampuan
komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan atau afasia akibat kerusakan
saraf hipoglosus dan saraf fasialis. data ini penting untuk mengetahui dukungan
yang didapatg. Psikososial pasien dari keluarga. B. Diagnosa Diagnosa
keperawatan yang mungkin timbul adalah: 1. Resiko tidak efektifnya bersihan
jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas,
adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan
intrakranial. 2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. 3. Kurangnya perawatan diri
berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. 4. Resiko
kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah. 11
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial. 6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. 7. Resiko
infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. 8.
Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma
kepala. 9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi. C.
Intervensi Keperawatan 1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya
pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan: Pola nafas dan
bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau
kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi: Kaji Airway, Breathing, Circulasi. Kaji anak, apakah ada fraktur
cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hatihati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra. Pastikan jalan nafas tetap
terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan
lendir. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas. Bila tidak

ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 30
derajat. Pemberian oksigen sesuai program. 12
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial. Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang
ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak
terdapat tandatanda peningkatan tekanan intrakranial. Intervensi: Tinggikan
posisi kepala 15 30 derajat dengan posisi midline untuk menurunkan tekanan
vena jugularis. Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi
kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau
suction, perkusi). tekanan pada vena leher. pembalikan posisi dari samping
ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher). Bila akan
memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan,
fleksi (harus bersamaan). Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya
valsava maneuver. Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang
tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial
sesuai program. Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan
cairan karena dapat meningkatkan edema serebral. Monitor intake dan out put.
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi. 13
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan
pemenuhan nutrisi. Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan halhal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. 3. Kurangnya perawatan diri
berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. Tujuan:
Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil
atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh
anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi: Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan
kebersihan perseorangan. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian
pelembek tinja untuk memudahkan BAB. Libatkan orang tua dalam perawatan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara
memandikan anak. 4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan
mual dan muntah. Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume
cairan atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas
kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal. 14
Intervensi: Kaji intake dan out put. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit,
membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine. Berikan
cairan intra vena sesuai program. 5. Resiko injuri berhubungan dengan
menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan: Anak
terbebas dari injuri. Intervensi: Kaji status neurologis anak: perubahan
kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan
pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang. Kaji tingkat kesadaran dengan
GCS Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.

Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan. Berikan analgetik sesuai


program. 6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. Tujuan: Anak akan
merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tandatanda vital dalam batas normal. Intervensi: Kaji keluhan nyeri dengan
menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya,
peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin. 15
Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri. Kurangi
rangsangan. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program. Ciptakan
lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur. Berikan sentuhan terapeutik,
lakukan distraksi dan relaksasi. 7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya
injuri. Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus
dari luka, leukosit dalam batas normal. Intervensi: Kaji adanya drainage pada
area luka. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh. Lakukan perawatan luka
dengan steril dan hati-hati. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk
kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang. 8. Kecemasan
orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. Tujuan:
Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai
dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang
kondisi dan aktif dalam perawatan anak. Intervensi: Jelaskan pada anak dan
orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya. Anjurkan orang
tua untuk selalu berada di samping anak. 16
Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan. Gunakan
komunikasi terapeutik. 9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
immobilisasi. Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit
yang ditandai dengan kulit tetap utuh. Intervensi: Lakukan latihan pergerakan
(ROM). Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai. Rubah posisi setiap 2 jam
sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak. Kaji area kulit: adanya
lecet. Lakukan back rub setelah mandi di area yang potensial menimbulkan
lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri. 17
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA MEDULA SPINALIS 3.1 KONSEP TEORI 1.
PENGERTIAN Cedera Medula spinalis adalah cedera yang biasanya berupa fraktur
atau cedera lain pada tulang vertebra, korda spinalis itu sendiri, yang terletak
didalam kolumna vertebralis, dapat terpotong, tertarik,terpilin atau tertekan..
kerusakan pada kolumna vertaebralis atau korda dapat terjadi disetiap
tingkatan,kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh korda atau hanya
separuhnya. 2. ETIOLOGI Penyebab tersering adalah kecelakaan mobil,
kecelakaan motor, jatuh,cedera olah raga, dan luka akibat tembakan atau pisau.
3. ANATOMI DAN FISIOLOGI MEDULA SPINALIS Medula Spinalis berasal dari
bagian kaudal dari medulla oblongata pada foramen magnum. Pada orang
dewasa biasanya berakhir pada batas tulang L1 sebagai konus medularis.
Dibawah level ini terdapat kauda ekuina, yang lebih tahan terhadap trauma .dari
bayak traktus dari medulla spinalis hanya 3 yang dapat diperiksa secara klinis: a.
Traktus kortikospinal b. Traktus spinotalamikus 18

c. Kolum posterior Tiap tiap traktus terdapat satu pasang yang dapat
mengalami kerusakan pada satu sisi atau kedua sisi medulla spinalis, traktus
kortikospinalis terdapat pada daerah segmen posterolateral medulla spinalis dan
fungsinya adalah mengontrol kekuatan motoris pada sisi yang sama pada tubuh
yang dapat diuji dengan kontraksi otot yang volunter atau respon involuter
terhadap stimulus nyeri. Traktus spinotslsmikus pada daerah antero lateral pada
medulla spinalis mentransmisikan sensasi nyeri dan termperatur dari sisi yang
berlawanan dari tubuh. Secara umum dapat dilakukan test dengan pin prick dan
raba halus kolum posterior membawa propriseptif, vibrasi dan sensasi raba halus
dari sisi yang sama dari tubuh, dan kolum ini diuji dengan rasa posisi pada jari
atau vibrasi dengan garfu tala. Bila tidak terdapat fungsi, baik motoris maupun
sensoris dibawah level, ini dikenal sebagai complet spinal cord injury ( cedera
medulla spinalis komplit). Bila masih terdapat fungsi motoris atau sensoris, ini
disebut sebagai incomplete injury dan perianal (sacral sparing)mungkin hanya
satu satunya tanda yang tertinggal. 2.. 3. PATOFISIOLOGI Kerusakan meduala
spinalis berkisar dari komosio sementara (di mana pasien sembuh sempurna)
sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substabsia medulla (baik salah satu atau
dalam kombinasi)sampai transeksi lengkap medulla ( yang membuat pasiaen
paralysis dibawah tingkat cedera) Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla
spinalis, darah dapat merembes kekstrakaudal, subdural atau subarakhnoid pada
kanal spinal.segera setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut
serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi drah dan subtansia
grisea medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada cedera pembuluh 19
darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menimbulkan
kerusakan yang terjadi pada cedera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder
kejadian kejadian yang menimbulkan iskemia,hipoksia, edema, dan lesi-lesi
hemoragi, yang pada gilirannya menyepabkan kerusakan meilin dan akson.
Reaksi ini diyakini menjadi penyebab prinsip degenarasi medulla spinalis pada
tingkat cedera, sekarang dianggap reversible sampai 6 jam setelah cedera.
Untuk itu jika kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode
mengawali pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat obat
antiimflamasi lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari
perkembangannya, masuk kedalam kerusakan total dan menetap. 4.
MANIPESTASI KLINIK Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri
akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien
sering mengatakan takut kalau leher atau punggungnya patah. Cedera saraf
spinal dapat menyebabkan gambaran paraplegia atau quadriplegia. Akibat dari
cedera kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera.
Tingakat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan
motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah
mengalami paralysis sensorik dan motorik otak, kehilangan kontrol kandung
kemih dan usus besar (biasanya terjadi retansi urin dan distensi kandung kemih ,
penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah diawali
dengan retensi vaskuler perifer. Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan

sesuai dengan : level,beratnya deficit neurologik, spinal cord syndrome, dan


morfologi. 20
A. Level Level neurologist adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis
yang masih dapat ditemukan sensoris dan motoris yang normal di kedua sisi
tubuh. Bila kata level sensoris digunakan, ini menunjukan kearah bagian segmen
bagian kaudal medulla spinalis dengan fungsi sensoris yang normal pada ke dua
bagian tubuh. Level motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu daerah paling
kaudal dimana masih dapat ditemukan motoris dengan tenaga 3/5 pada lesi
komplit, mungkin masih dapat ditemukan fungsi sensoris maupun motoris di
bawah level sensoris/motoris. Ini disebut sebagai daerah dengan preservasi
parsial. Penentuan dari level cedera pada dua sisi adalah penting. Terdapat
perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas T1. Cedera pada segmen
servikal diatas T1 medula spinalis menyebabkan quadriplegia dan bila lesi di
bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level tulang vertebra yang mengalami
kerusakan, menyebabkan cedera pada medulla spinalis. Level kelainan
neurologist dari cedera ini ditentukan hanya dengan pemeriksaan klinis. Kadangkadang terdapat ketidakcocokan antara level tulang dan neurologis disebapkan
nervus spinalis memasuki kanalais spinalis melalui foramina dan naik atau turun
didalam kanalis spinalis sebelem betul-betul masuk kedalam medulla spinalis.
Ketidakcocokan akan lebih jelas kearah kaudal dari cedera. Pada saat
pengelolaan awal level kerusakan menunjuk kepada kelainan tulang, cedera
yang dimaksudkan level neurologist. B. Beratnya Defisit Neurologis Cedera
medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak komplit,
paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan kuadraplegia komplit. Sangat
penting untuk menilai setiap gejala dari fungsi medulla spinalis yang masih
tersisa. Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera merupakan
cedera yang tidak komplit. Termasuk dalam cedera tidak komplit adalah : 1.
Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunteer pada ekstremitas
bawah. 21
2. Sakra l sparing, sebagai contoh : sensasi perianal, kontraksi sphincter ani
secara volunter atau fleksi jari kaki volunter. Suatu cedera tidak dikualifikasikan
sebagai tidak komplit hanya dengan dasar adanya reservasi refleks sacral saja,
misalnya bulbocavernosus, atau anal wink. Refleks tendo dalam juga mungkin
dipreservasi pada cedera tidak komplit. C. Spinal Cord Syndrome Beberapa tanda
yang khas untuk cidera neurologist kadang-kadang dapat dilihat pada penderita
dengan cidera medulla spinalis. Pada sentral cord syndrome yang khas adalah
bahwa kehilangan tenaga pada ekstremitas atas, lebih besar disbanding
ekstremitas bawah, dengan tambahan adanya kehilangan adanya sensasi yang
bervariasi. Biasanya hal ini terjadi biasanya terjadi cidera hiperekstensi pada
penderita dengan riwayat adanya stenosis kanalis sevikalis (sering disebabkan
oleh osteoarthritis degeneratif). Dari anamnesis umumnya ditemukan riwayat
terjatuh ke depan yang menyebabkan tumbukan pada wajah yang dengan atau
tanpa fraktur atau dislokasi tulang servikal. Penyembuhannya biasanya
mengikuti tanda yang khas dengan penyembuhan pertama pada kekuatan
ekstremitas bawah. Kemudian fungsi Kandung kencing lalu kearah proksimal
yaitu ekstremitas atas dan berikutnya adalah tangan. Prognosis

penyembuhannya sentral cord syndrome lebih baik dibandingkan cedera lain


yang tidak komplit. Sentral cord syndrome diduga disebabkan karena gangguan
vaskuler pada daerah medulla spinalis pada daerah distribusi arteries spinalis
anterior. Arteri ini mensuplai bagian tengah medulla spinalis. Karena serabut
saraf motoris ke segmen servikal secara topografis mengarah ke senter medulla
spinalis, inilah bagian yang paling terkena. Anterior cord syndrome ditandai
dengan adanya paraplegia dan kehilangan dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan
sensasi suhu. Fungsi komna posterior 22
(kesadaran posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih ditemukan.Biasanya anterior
cord syndrome disebabkan oleh infark medulla spinalis pada daerah yang
diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Sindrom ini mempunyai prognosis yang
terburuk diantara cidera inkomplik. Brown Sequard Sydrome timbul karena
hemiksesi dari medulla spinalis dan akan jarang dijumpai. Akan tetapi variasi
dari gambaran klasik cukup sering ditemukan.Dalam bentuk yang asli syndrome
ini terdiri dari kehilangan motoris opsilateral (traktus kortikospinalis) dan
kehilangan kesadaran posisi (kolumna posterior) yang berhubungan dengan
kehilangan disosiasi sensori kontralateral dimulai dari satu atau dua level
dibawah level cedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau syndrome ini
disebabkan oleh cedera penetrans pada medulla spinalis,penyembuhan
(walaupun sedikit) biasanya akan terjadi. D. Morfologi Cedera tulang belakang
dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, cedera medulla spinalis tanpa
abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera penetrans. Setiap pembagian
diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan tidak stabil.Walaupun
demikian penentuan stabilitas tipe cedera tidak selalu seerhana dan ahlipun
kadang-kadang berbeda pendapat. Karena itu terutama pada penatalaksanaan
awal penderita, semua penderita dengan deficit neurologist,harus dianggap
mempunyai cedera tulang belakang yang tidak stabil. Karena itu penderita ini
harus tetap diimobolisasi sampai ada konsultasi dengan ahli bedah saraf/
ortofedi. Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari
mekanisme cedera ; (1) pembebanan aksial (axial loading), (2) fleksi, (3)
ekstensi, (4) rotasi, (5) lateral bending, dan (6) distraksi. Cedera dibawah ini
mengenai kolumna spinalis, dan akan diuraikan dalam urutan anatomis, dari
cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang. 23
Dislokasi atlanto oksipita (atlanto occipital dislokatiaon) Cedera ini jarang
terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan distraksi yang hebat.
Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak. Kerusakan
neurologist yang berat ditemukan pada level saraf karanial bawah.kadang
kadang penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempat kejadian.
Fraktur atlas (C-1) Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi
yang lebar. Fraktur C1 yang palig umum terdiri dari burst fraktur (fraktur
Jefferson).mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala
tertimpa secara vertical oleh benda berat atau penderita terjatu dengan puncak
kepala terlebih dahulu. Fraktur jefeferson berupa kerusakan pada cincin anterior
maupun posterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur akan terlihat
jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2 dan dapat
dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus ditangani secara awal dengan

koral sevikal. Rotary subluxation dari C-1 Cedera ini banyak ditemukan pada
anak anak. Dapat terjadi spontan setelah terjadi cedera berat/ ringan, infeksi
saluran napas atas atau penderita dengan rematoid arthritis. Penderita terlihat
dengan rotasi kepala yang menetap. .pada cedera ini jarak odontoid kedua
lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan rotasi dengan paksa untuk
menaggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan imobilisasi. Dan segera rujuk.
Fraktur aksis(C-2) Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai
bentuk yang istimewah karena itu mudah mengalami cedera. 1. fraktur odontoid
24
kurarng 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatu tonjolan tulang berbentuk
pasak. Fraktur ini daoat diidentifikasi dengan foto ronsen servikal lateral atau
buka mulut. 2. fraktur dari elemen posterior dari C-2 fraktur hangman mengenai
elemen posterior C-2, pars interartikularis 20 % dari seluruh fraktur aksis fraktur
disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan oleh trauma tipe ekstensi, dan harus
dipertahankan dalam imobilisasi eksternal. Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)
Fraktur C-3 saangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan letaknya berada
diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang tulang
servikal yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi
tulang servikal terbesar. Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10) Fraktur
vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori : (1) cedera baji
karena kompresi bagian korpus anterior, (2) cedera bursi, (3) fraktur Chance, (4)
fraktur dislokasi. Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera
kompresi pada bagian anterior. Tip kedua dari fraktur torakal adalah cedera burst
disebabkan oleh kompresi vertical aksial. Fraktur dislokasi relative jarang pada
daerah T-1 sampai T-10. Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1)fraktur
lumbal Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang servikal,
tetapi dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali atau
terlambat mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian dan
pengemudi mobil memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi
mempunyai resiko 25
mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir pada level ini ,
radiks saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada daerah torakolumbal.
Trauma penetrans Tipe trauma penetrans yang paling umum dijumpai adalah
yang disebabkan karena luka tembak atau luka tusuk. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengkombinasikan informasi dari anamnesis, pemeriksaan klinis, foto
polos dan CT scan. Luka penetrans pada tulang belakang umumnya merupakan
cedera yang stabil kecuali jika disebabkan karena peluru yang menghancurkan
bagian yang luas dari columna vertebralis. 5. PENATALAKSANAAN Tujuan
peatalaksanaan adalah mencegah cedera medulla spinalis lanjut dan
mengopservasi gejala penurunan neurologik. Pasiaen diresusitasi bila perlu, dan
stabilitas oksigenasi dan kardiovaskuler dipertahankan. 1. Penilaian Dan
Pengelolaan Cedera Medulla Spinalis ( Fase Akut ) Primari survey resusitasi
penilaian cedera tulang belakang a. Airway Menilai airway sewaktu
mempertahankan posisi tulang leher membuat airway defenitif apabila
diperlukan. b. Breathing Menilai dan memberikan oksigenasi yang adekuat dan
bantuan ventilasi bila diperlukan. 2. Circulation Bila terdapat hipotensi, harus

dibedakan antara syok hipovolemik ( penurunan takanan darah, peningkatan


denyut jantung, ekstremitas yang dingin) dari 26
syok neurogenik (penurunan tekanan darah, penurunan denyut jantung,
ekstremitas hangat). Penggantian cairan untuk menanggulangi hipovolemia
Bila terdapat cedera medulla spinalis, pemberian cairan harus dipandu dengan
monitor CVP. Bila melakukan pemeriksaan colok dubur sebelum memasang
kateter, harus dinilai kekuatan spinkter serta sensasi 3. Disability pemeriksaan
neurologik singkat Tentukan tingakat kesadaran dan menilai pupil. Tentukan
AVPU atau lebih baik dengan Glasgow coma scale Kenali paralysis/paresis.
Survey sekunder penilaian neurologist a) Memperoleh anamnesis AMPLE
Anamnesis dan mekanisme trauma Riwayat medis Identifikasi dan mencatat
obat yang diberikan kepada penderita sewaktu datang dan selama pemeriksaan
dan penatalaksanaan b) Penilaian ulang tingkat kesadaran dan pupil c) Penilaian
ulang skor GCS d) Penilaian tulang belakang Palpasi Rabalah seluruh bagian
posterior tulang belakang dengan melakukan log roll penderita secara hati hati
yang dinilai; 1) Deformitas dan bengkak 2) Krepitus 3) Peningkatan rasa nyeri
sewaktu dipalpasi 4) Kontusio dan laserasi / luka tusuk. 27
Nyeri,paralysis,parastesia 1) Ada/tidak 2) Lokasi 3) Level neurologis Sensasi
Tes pinprick untuk mengetahui sensasi, dilakukan pada seluruh dermatom yang
memberikan rasa. Fungsi motoris Refleks tendo dalam (kurang memberikan
imformasih Pencatatan dan pemeriksaan ulang e) Evaluasi ulang akan adanya
cedera penyerta/cedera yang tersembunyi. Pemeriksaan untuk level cedera
medulla spinalis Penderita dengan cedera medulla spinalis mungkin mempunyai
level yang bervariasi dari deficit neurologist. Level fungsi motoris dan sensasi
harus diliai ulang secara betkala dan secara hati-hati, dan didokumentasikan ,
karena tidak terlepas kemungkinan terjadi perubahan level. 1) Pemeriksaan
motoris terbaik Menentukan level kuadriplegia, level radiks saraf Mengangkat
siku sampai setinggi bahu deltoid,C-5(,fleksi lengan bawahbisepsC-6, ekstensi
lengan bawah, fleksi pergelangan tangan dan jari C-8, membuka jari- T-1)
Menentukan level paraplegia, level radiks saraf Fleksi panggul iloopsoas, L 2
,ekstensi lutut kuadriseps, L 3, dorsofleksi ankle tibialis anterior L -4,,
plantar fleksi ankle gastroknemius S 1. 2) Pemeriksaan sensoris 28
Menentukan level sensasi terutama dengan melakukan level dermatom. Prinsip
terapi bagi penderita cedera medulla spinalis a. Perlindungan terhadap trauma
lebih lanjut Perlingdungan ini meliputi pemasangan kolar servikal semi rigid dan
long back board, melakukan modoifikasi teknik log roll untuk mempertankan
kesegarisan bagi seluruh tulang belakang, dan melepaskan long spine board
secepatnya. Immobilisasi dengan long spine board pada penderita yang
mengalami paralysis akan meningkatkan resiko terjadinya ulkus decubitus pada
titik penekanan. b. Resusitasi cairan dan monitorin Monitoring CVP Cairan
intara vena yang dibutuhkan pada umumnya tidak banyak, hanya untuk
maintenance saja, kecuali untuk keperluan pengelolaan syok. Kateter urin
Pemasangan kateter dialakukan pada primary survey dan resusitasi. Kateter

lambung Dipasang pada penderita dengan paraplegia dan kuadriplegia untuk


mencegah terjadinya distensi kandung kemih c. Penggunaan steroid Prinsip
melakukan imobilisasi tulang belakang dan log roll A. Penderita dewasa Empat
orang dibutuhkan untuk melakukan modifikasi log roll dan immobilisasi penderita
dan immobilisasi penderita, seperti pada long spine board : (1) satu untuk
mempertahankan immobilisasi segaris kepala dan leher penderita; (2) satu untuk
badan(termasuik pelvis dan panggul); (3) satu untuk pelvis dan tungkai dan,(4)
satu mengatur prosedur ini mempertahankan seluruh tubuh penderita dalam
kesegarisan, 29
tetapi masih terdapat gerakan minimal pada tulang belakang. Saat melakukan
prosedur ini, immobilisasi sudah dilakukan pada ekstremitas yang diduga
mengalami fraktur; Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi
penderita Dilakukan in line immobilisasi kepala dan leher secara manual,
kemudian dipasang kolar servikal semirigid. Lengan penderita diluruskan dan
diletakkan disamping badan Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati
hati dan diletakkan dalam posisi kesegarisan netral sesuai dengan tulang
belakang, ke2 pergelangan kaki diikat satu sama lainnya dengan plester.
Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang kedua
memegang penderita pada daerah bahu dan pergelangan tangan. Dengan
komando dari penolong yang mempertahankan kepala dan leher, dilakukan log
roll sebagai satu unit kearah kedua penolong yang berada pada sisis penderita,
hanya memerlukan spine board dibawah penderita. Spine board terletak
dibawah penderita, dan dilakukan log roll kearah spine board. Demi mencegah
terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan penderita maka diperlukan
bantalan yang diletakkan dibawah leher penderita. Bantalan, selimut yang
dibulatkan diletakkan atau alat penyangga lainnya diletakkan disebelah kiri dan
kanan kepala dan leher penderitadan kepala diikat dengan spine board. B.
Penderita anak Untuk immobilisasi anak diperlukan long spine board pediatric.
Bila tidak ada maka dapat menggunakan long spine board untuk dewasa
dengan gulungan selimut diletakkan diseluruh sisi tubuh untuk mencegah
pergerakan kearah lateral. 30
Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa,
olehnya itu harus dipasang bantalang dibah bahuuntuk menaikkan badan
sehingga kepala yang besar pada anak tidak menyebabkan fleksi tulang leher,
sehingga dapat mempertahankan kesegarisan tulang belakan anak. Pengelolaan
umum Pada fase pra RS biasanya dilakukan tindakan immobilisasi sebelum
transper penderita ke UGD. Setiap penderita yang dicurigai harus dilakukan
imobilisasi dibagian atas dan bawah yang dicurigai menderita cedera, sampai
fraktur dapat disingkirkan dengan pemeriksaan rongsen. Imobilisasi yang tepat
dilakukan pada penderita yaitu dengan posisi netral, seperti berbaring terlentang
tanpa rotasi atau membengkokkan tulang belakang. Perlu digunakan bantalan
yang tepat untuk mencegah terbentuknya dekubitus. Bila terdapat deficit
neurologist secepatnya melepas penderita dari long spine board untuk
mencegah terjadinya dekubitus. Tempat tersering adalah pada daerah oksiput

dan sacrum. 6. Komplikasi dan pencegahan trauma medulla spinalis 1.Komplikasi


Syok neurogenik versus syok spinal Syok neurogenik merupakan hasiol dari
kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi
mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis
pada jantung. Keadaan ini menyebapkan vasodilatasi pembuluh darah visceral
serta ektremitas bawah, terjadi penumpukan darah dan sebagai konsekuensinya
terjadi hipotensi. Sebagai akibat kehilangan cardiac sympatik tone. Penderita
akan mengalami bradikardia atau setidak tidaknya gagal untuk menjadi
takhikardia sebagai respon dari hipovolemia. Pada keadaan ini tekanan darah
tidak akan membaik hanya dengan impus saja dan usaha untuk menormalisasi
tekanan darah akan menyebabkan kelebihan cairan dan udema paru. Tekanan
darah biasanya dapat diperbaiki dengan penggunaan 31
vasopresor, tetapi perfusi yang adekuat akan dapat dipertahankan walaupun
tekanan darah belum normal. Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya
repleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal
mungkin akan tampak seperti lesi komplit, walaupun tidak seluruh bagian rusak.
Efek terhadap organ lain. Hipoventilasi yang disebabkan karena paralysis otot
interkostal dapat merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis
didaerah servikal bawah atau torakal atas. Bila bagian atas atu tengah medulla
spinalis didaerah servikal mengalami cedera, diagframa akan mengalami
paralysis yang disebabkan segmen C3 C5 terkena, yang mempersarafi
diagfragma melalui frenikus. Trombosis vena profunda adalah komplikasi
umum pada cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme
pulmonal. Komplikasi lain adalah hiperfleksia autonomic(dikarakteristikkan oleh
sakit kepala berdenyut, keringat banyak,kongesti nasal,piloereksi, bradikardi
dan hipertensi), komplikasi lain yaitu berupa dekubitus dan infeksi(infeksi
urinarius,dan tempat pin ). 2. pencegahan factor faktor resiko dominant untuk
cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis kelamin, dan penyalahgunaan obat.
Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan cedera medulla spinalis bertindak
untuk menekankan pentingnya pencegahan primer.untuk mencegah kerusakan
dan bencana cedera ini, langkah langkah berikut perlu dilakukan : (1)
menurungkan kecepatan berkendara., (2) menggunakan sabuk pengaman, (3)
menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda, (4) program
pendidikan langsung untuk mencegah berkendara sambil 32
mabuk, (5) mengajarkan penggunaan air yang aman, (6) mencegah jatuh,(7)
menggunakn alat alat pelindung dan tekhnik latihan. 3.2 ASUHAN
KEPERAWATAN CEDERA MEDULLA SPINALIS Pengkajian 1. Aktivitas isterahat
Tanda : kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok spinal ) pada/ dibawah
lesi. Kelemahan umum/kelemahan otot ( trauma dan adanya kompresi saraf) 2.
Sirkulasi Gejala: Berdebar Debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau
bergerak. Tanda : hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ektremias dingin dan
pucat. Hilangnya keringat pada daerah yang terkena. 3. Eliminasi Tanda :
inkontinensia defekasi dan berkemih. Retensi urine. Distensi abdomen, peristaltic
usus hilang. Melena, emesis berwarna seperti kopi tanah/hematemesis 4.
Integritas Ego Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah. Tanda : takut,

cemas, gelisah , menari diri. 5. Makanan/ Cairan Tanda : mengalami distensi


abdomen, peristaltic usus hilang ( ileus paralitik) 6. Higyene Tanda : sangat
ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari 7. Neurosensori 33
Gejala : kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan /kaki. Paralysis
flaksid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung pada area
spinal yang sakit. Tanda : Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang
saat terjadi perubahan pada syok spinal. Kehilangan sensasi, kehilangan tonus
otot/ vasomotor, kehilangan refleks/ refleks asimetris termasuk tendon dalam.
Perubahan reaksi pupil,ptosis, kehilangan keringat dari bagian tubuh yang
terkena karena pengaruh trauma spinal. 8. Nyeri/kenyamanan Gejala ; Nyeri
tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah trauma. Tanda : Mengalami
deformitas, postur,nyeritekan vertebral. 9. Pernapasan Gejala : napas pendek,
lapar udara sulit bernapas. Tanda : pernapasan dangkal/labored,periode apnea,
penurunan bunyi napas, ronki,pucat, sianosis. 10. Keamanan gejala : suhu yang
berfluktuasi 11. Seksualitas gejala : keinginan untuk kembali seperti fungsi
normal. Tanda : Ereksi tidak terkendali (pripisme), menstruasi tidak teratur. 12.
Penyuluhan / pembelajaran Diagnosa 34
1. Resiko Tinggi pola napas tidak efektif b/d kerusakan persarafan dari
diagfragma, kehilangan komplit atau campuran dari fungsi otot interkostal. 2.
Resiko tinggi trauma b/d kelemahan temporer/ketidakstabilan kolumna spinalis.
3. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler ditandai dengan
ketidakmampuan untuk bergerak sesuai keinginan, paralisis,atropi. 4. Nyeri akut
b/d cedera psikis, alat traksi Intervensi 1. Resiko tinggi pola napas tidak efektif
Kriteria evaluasi : Mempertahankan ventilasi adekuat dibuktikan oleh takadanya
distress pernapasan dan GDA dalam batas normal Lakukan pengisapan bila
perlu. Catat jumlah, jenis, dan karakteristik sekresi Rasional ; jika batuk tidak
efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan secret, meningkatkan
distribusi udara, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan. Kaji fungsi
pernapasan dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan napas dalam.
Rasional ; Trauma pada C1 C2 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan
secara menyeluruh, trauma C4-5 mengakibatkan hilangnya fungsi pernapasan
yang bervariasi tergantung pada tekanan saraf frenikusdan fungsi diafragma.
Auskultasi suara napas. Rasional; Hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi/atelektasis atau pneumonia (komplikasi yang sering
terjadi). Observasi warna kulit , adanya sianosis, keabu-abuan Rasional;
Menggambarkan akan terjadinya gagal napas yang memerlukan evaluasi dan
intervensi medis dengan segera. 35
.berikan oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan kanul oksigen,
masker,intubasi Rasional; Metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi
trauma, keadaan insufisiensi pernapasan, dan banyaknya fungsi otot pernapasan
yang sembuh setelah fase syok spinal. 2. resiko tinggi trauma b/d kelemahan
temporer Kriteria evaluasi : Mempertahankan kesejajaran yang tepat dari spinal
tanpa cedera medulla spinalis lanjut Pertahankan tirah baring dan alat-alat
imobilisasi seperti traksi, halo brace, kolar leher, bantal pasir dll. Rasional;
Menjaga kestabilan dari kolumna vertebra dan membantu proses penyembuhan.

Tinggikan bagian atas dari kerangka traksi atau tempat tidur jika diperlukan.
Rasional; Membuat keseimbangan untuk mempertahankan posisi pasien dan
tarikan traksi.. Ganti posisi, gunakan alat Bantu untuk miring dan
menahanseperti alat pemutar, selimut terrgulung, bantal dsb. Rasional;
Mempertahankan posisis kolumna spinalis yang tepat sehingga dapat
mengurangi resiko trauma. Siapkan pasien untuk tindakan operasi, seperti
laminektomi spinal atau fusi spinal jika diperlukan. Rasional; Operasi mungkin
dibutuhkan pada kompresi spinal atau adanya pemindahan fragmen framen
tulang yang fraktur 3. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler 36
Kriteria evaluasi : mempertahankan posisi posisi fungsi dibuktikan oleh tidak
adanya kontraktur footdrop. Meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit
atau kompensasi Kaji secara teratur fungsi motorik Rasional; mengevaluasi
keadaan secara khusus karena pada beberapa lokasi trauma mempengaruhi tipe
dan pemilihan intervensi, Bantu atau lakukan latihan room pada semua
ekstremitas dan sendi dengan perlahan dan lembut. Rasional; Meningkatkan
sirkulasi ,mempertahankan tonus otot,dan mobilisasi sendi, dan mencegah
kontraktur dan atrofi otot. Gantilah posisi secaca periodik walaupun dalam
keadaan duduk Rasional; Mengurangi tekanan pada salah satu area dan
meningkatkan sirkulasi perifer. Kaji rasa nyeri, kemerahan,bengkak, ketegangan
otot jari Rasional; Banyak sekali pasien denga trauma saraf servikal mengalami
pembentukan trombus karena gangguan sirkulasi perifer,imobilisasi dan
kelumpuhan flaksid. Konsultasi dengan ahli terapi fisik Rasional; membantu
dalam merencanakan dan melaksanakan latihan secara individual dan
mengidentifikasi alat-alat Bantu untuk mempertahankan fungsi mobilisasi dan
kemandirian pasien. 4. Nyeri akut b/d cedera psikis, alat traksi Kriteria evaluasi :
mengidentifikasi cara cara untuk mengatasi nyeri Kaji terhadap adanya, Bantu
pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri. 37
Rasional; Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera. Mis dada,
punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer. Bantu pasien dalam
mengidentifikasi factor pencetus Rasional; Nyeri terbakar dan spasme otot
dicetuskan/ diperberat oleh banyak factor mis,ansietas,tegangan, suhu
eksternal. Berikan tindakan kenyamanan, mis perubahan posisi,masase,kompres
hangat/dingin. Rasional; Tindakan alternative mengontrol nyeri digunakan untuk
keuntungan emosianal, selain menurunkan kebutuhan obat/efek tak diinginkan
pada fungsi pernapasan. Berikan obat sesuai indikasi : relaxan otot mis, dantern
(dantrium) Rasional; Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau
untuk menghilangkan ansietas dan meningkatkan istirahat. 38
DAFTAR PUSTAKA Marilynn E Doenges, dkk., 2000, Rencana Asuhan
Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta. Sylvia & Lorraine, 1994,
Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran, EGC,
Jakarta. Brunner & suddarth. Keperawatan Medical Bedah. Penerbit buku
Kedokteran Volume 3 ,EGC. Jakarta 2001 Manjoer , Arif M, dkk. Kapita Selekta
Kedoteran . penerbit media aeculapius FKUI Edisi III. Jakarta 2000 Suriadi & Rita
Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC;

1996. Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta:
EGC; 2000. Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume
3. Jakarta: EGC; 1999. 39

CEDERA TULANG
a. Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak mempunyai kemampuan
untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi pada saat cedera. Komponen arkus
neural intak, serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang,
terutama ligamen longitudinal posterior, tidak robek. Cedera stabil diakibatkan
oleh tenaga fleksi, ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna
tulang belakang dan tersering tampak pada daerah toraks bawah serta lumbar.
Fraktura baji badan ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut pada
tulang belakang adalah contoh yang umum dari fraktura stabil.
b. Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih jauh. Kelainan ini
disebabkan oleh adanya elemen rotari terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang
cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak keutuhan
arkus neural, baik akibat fraktura pada pedikel dan lamina, maupun oleh
dislokasi sendi apofiseal.
B. CEDERA NEUROLOGIS
a. Tanpa defisit neurologis Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan
neurologis.
b. Dengan defisit neurologis Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan
dapat lengkap dengan hilangnya fungsi dibawah tingkat cedera atau tidak
lengkap. Defisit neurologis paling mungkin terjadi setelah cedera pada daerah
punggung karena kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis servikal
memperberat kerusakan neurologis bahkan karena cedera minor sekalipun pada
orang tua. Ancaman terhadap leher juga bertambah karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks adalah daerah utama
terjadinya fraktura patologis karena proses metastatik.

You might also like