Jawa Tengah telah dikenal sebagai provinsi yang sarat perhatian terhadap penyandang cacat. Hal tersebut cukup beralasan, karena berbagai usaha pembinaan penyandang cacat banyak dilakukan masyarakat dan pemerintah di daerah ini, baik terhadap penyandang cacat tubuh (daksa), mental (grahita), netra (mata), rungu (pendengaran), wicara (ucapan), eks kusta maupun cacat ganda.
Penyandang tuna netra
pun seperti di PSBN Tan Miyat Bekasi, ikut berperan kibarkan Sang Saka Merah Putih pada setiap upacara bendera. [FOTO: DOK PSBN]
ENIS kegiatannya juga beragam artinya ada
yang melakukan kegiatannya melalui program-program rehabilitasi sosial dan vokasional, pendidikan, rehabilitasi medis, penyantunan, perawatan, resettlement dan pembinaan olahraga. Kegiatan dimaksud dapat kita lihat melalui adanya penyelenggaraan Panti Sosial Bina Penyandang Cacat, YPAC, YAT, SDLB/SLB, RSOP, BPOC untuk olahraga, perawatan cacat ganda, pemukiman eks penyandang kusta, dan berbagai yayasan sosial maupun usaha perseorangan yang menyantuni atau mendidik penyandang cacat yang terdapat di berbagai kota di Jawa Tengah. Adanya beragam kegiatan untuk penyandang cacat tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat dan pemerintah memiliki komitmen yang sama untuk mengangkat harkat dan martabat penyandang cacat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial mereka. Kondisi Objektif Kondisi sosial penyandang cacat pada umumya dinilai dalam keadaan rentan, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, keterampilan maupun kemasyarakatannya. Kondisi inilah yang membawa situasi sikap mereka belum seluruhnya proaktif memanfaatkan lembaga sosial pendidikan yang ada sebagai suatu kebutuhan. Secara ekstern, bahkan masih ada keluarga yang
66
Gemari Edisi 105/Tahun X/Oktober 2009
menyembunyikan anggota keluarganya yang cacat terutama di pedesaan.
Di sisi lain, masih ada masyarakat yang memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para penyandang cacat. Padahal tidak sedikit dari para penyandang cacat mampu berprestasi di bidangnya, lebih-lebih setelah melalui proses pendidikan atau rehabilitasi sosial dan penyantunan. Pertanyaan yang sering muncul adalah, Apakah benar penyandang cacat atau keluarganya itu sendiri penyebab utama mereka menutup diri? Apakah sikap itu bukan sebagai refleksi atas masih adanya pandangan keliru di antara sebagian kecil masyarakat terhadap potensi penyandang cacat? Kedua pertanyaan tersebut mungkin benar pula adanya. Artinya, fenomena kedua-duanya saling mempengaruhi, sebab memang ada unsur masyarakat baik perseorangan, komunitas maupun strata sosial tertentu yang belum atau kurang responsif terhadap peningkatan harkat dan martabat penyandang cacat. Apalagi pemahaman terhadap kompleksitas permasalahannya, maupun kepeduliannya terhadap pemberdayaan penyandang cacat, bagi mereka yang seperti itu jelas sikapnya kurang mendukung terhadap usaha-usaha pembinaan terhadap penyandang cacat. UU NO 4 Tahun 1997 Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan kesempatan serta peran yang sama dalam segala aspek kehidupan maupun penghidupan seperti halnya warga negara Indonesia yang lain. Kini, pengakuannya telah dikuatkan secara hukum melalui UU No 4 Th 1997, diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah No 43 Th 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Bagi penyandang cacat sendiri, terbitnya perundang-undangan tersebut disambut sangat gembira karena dasar pijakan untuk perbaikan nasib telah ada landasan hukumnya.
Peluang untuk mendapatkan kesamaan
kesempatan, seperti pendidikan, ketenagakerjaan/ pekerjaan, iklim usaha perlakuan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupannya secara resmi telah dijamin oleh undang-undang. Bahkan dalam rangka mewujudkan peluang kesamaan kesempatan dan perlakuan dimaksud, secara tegas diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 43 Th 1988. Setiap pengadaan sarana dan prasarana umum yang diselenggarakan pemerintah dan/atau masyarakat wajib menyediakan aksessibilitas, yaitu kemudahan bagi penyandang cacat, baik aksessibilitas dalam bentuk fisik maupun nonfisik seperti pada jalan umum, bangunan umum, angkutan umum, maupun pada tempat-tempat pada pelayanan khusus yang lain, sehingga memungkinkan semua penyandang cacat dapat melakukan aktivitas tanpa harus menemui rintangan atau kesulitan-kesulitan secara fisik dan psikis. Demikian pula kesamaan kesempatan untuk aspek yang lain.Dalam hal pemberdayaan penyandang cacat, menurut Pasal 14 UU No 4 Th 1997 dimaksud menegaskan bahwa perusahaan negara seperti BUMN dan BUMD maupun perusahaan swasta seperti yang tergabung dalam Apindo, KUD dan yang lainnya harus mempekerjakan sekurangkurangnya satu orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan untuk setiap 100 orang karyawan, tanpa diskriminatif dalam pengupahan untuk pekerjaan dan jabatan yang sama. Menurut ketentuan Pasal 28 UU No 4 Th 1997 tersebut, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 dimaksud diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan atau denda setinggitingginya Rp200 juta. Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, tidak ada alasan bagi penyelenggara jasa lapangan kerja mempersulit penerimaan tenaga kerja penyandang cacat. Mempersulit tenaga kerja penyandang cacat untuk bekerja dalam suatu lembaga atau perusahaan atau kegiatan ekonomis/jasa, selain dapat dianggap diskriminatif, juga merupakan tindak pidana yaitu pelanggaran. Mempersiapkan penyandang cacat menjadi tenaga kerja terampil produktif dan bermental wiraswasta, sebenarnya telah banyak dilakukan oleh pemerintah. Sebut saja eks Departemen Sosial dan eks Departemen Tenaga Kerja. Melalui proses rehabilitasi sosial dan pelatihan ketrampilan, mereka dipersiapkan menjadi tenaga kerja terdidik, baik untuk magang kerja maupun untuk berwiraswasta. Bahkan usaha serupa dilakukan oleh beberapa yayasan sosial, meskipun masih terbatas jumlahnya. Kegiatan dimaksud tidak hanya tertuju bagi penyandang cacat tubuh, tetapi juga bagi penyandang cacat mental, rungu wicara dan tuna netra. Permasalahan yang dihadapi pasca pendidikan antara lain bagi yang berwiraswasta. Karena
mekanisme pasar terkadang menuntut persaingan
yang sangat kompetitif, terbatasnya modal dan pengaruh disabel, serta kekurangan lain yang melekat sejak awal, setelah membuka usaha terkadang kita jumpai usaha mereka berjalan di tempat. Pemberdayaan dalam Otda Berlakunya UU No 32 Th 2004 tentang pemerintahan daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan keinginan yang berkembang di masyarakat. Berdasarkan undang-undang ini, tersirat suatu harapan bahwa kepentingan seluruh lapisan masyarakat akan lebih fokus bagi Pemerintah Daerah, karena dengan otonomi daerah pengambilan keputusan lebih kuat otoritasnya dibanding sebelum berlakunya UU No 22/1999 yang diperbaharui dengan UU No 32 Th 2004. Pengerahan potensi sumber daya masyarakat semakin dikembangkan karena esensi otonomi daerah harus mampu mencukupi kebutuhannya atas dasar swadaya daerah. Demikian halnya dalam pemberdayaan potensi penyandang cacat, tidak menutup kemungkinan menjadi suatu paradigma baru karena disentralisasi. Pemerintah Daerah dengan kewenangannya akan terus mendorong berbagai kekuatan masyarakat baik perorangan, kelompok maupun Institusi supaya mengembangkan kepeduliannya. Jika selama ini kepeduliannya sebatas menyantuni, maka ke depan diperluas dengan kepedulian di bidang yang lain seperti : Pertama, turut aktif memasyarakatkan peraturan perundangan untuk penyandang cacat terutama bagi kelompok masyarakat yang potensial. Kedua, mendorong masyarakat pengusaha semakin terbuka untuk menerima tenaga kerja penyandang cacat. Ketiga, melakukan kegiatan pembinaan atau pelatihan, sehingga produktivitas kerja dan kredibilitas penyandang cacat semakin berkualitas. Keempat, menjadi penghubung atau mediator bagi kepentingan penyandang cacat di satu pihak dan kepentingan diberbagai Institusi di lain pihak. Dengan demikian, diharapkan perluasan peran tidak hanya pada unsur masyarakat, tetapi juga oleh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menurut kapasitas, kewenangan dan kemampuan yang dapat diperbuatnya untuk penyandang cacat termasuk dalam hal ini recruitmen CPNS bagi penyandang cacat oleh instansi pemerintah. Melalui keterpaduan dan kerja sama ini para penyandang cacat sendiri semakin menyadari pula bahwa bukan ikan dan bukan pancing yang diperlukannya, tetapi ilmu memancing yang dibutuhkan Semoga. *) Penulis adalah pengurus Badan Koordinator Kerjasama Kegiatan Sosial (BK3S) Jateng/HNUR Gemari Edisi 105/Tahun X/Oktober 2009