You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, mempunyai
berat sekitar 1.5 kg. Walaupun berat hati hanya 2-3% dari berat tubuh ,
namun hati terlibat dalam 25-30% pemakaian oksigen. Sekitar 300 milyar
sel-sel

hati

terutama

hepatosit

yang

jumlahnya

kurang

lebih

80%,

merupakan tempat utama metabolisme intermedier (Koolman, J & Rohm K.H,


2001).
Hati manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, dibawah
diafragma, dikedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada
sebelah

kanan.

Beratnya

1200-1600

gram.

Permukaan

atas

terletak

bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di


atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan
intraabdominal dan dibungkus oleh peritonium kecuali di daerah posteriorposterior yang berdekatan dengan vena cava inferior dan mengadakan
kontak langsung dengan diafragma.
Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan
jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam
parenchym hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus
biliaris. Massa dari hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di
dalam lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya
sistem pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut
berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena
lapisan endotel yang meliputinya terediri dari sel-sel fagosit yg disebut sel
kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang artinya mudah dilalui oleh sel-sel
makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain .Lempengan sel-sel hepar

tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid. Pada
pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli Di
tengah-tengah lobuli tdp 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari venavena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar).Di bagian
tepi di antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut
traktus portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung cabangcabang v.porta, A.hepatika, ductus biliaris.Cabang dari vena porta dan
A.hepatika akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah
banyak percabangan Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus
yg terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel.
Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke
dalam empedu yg lebih besar , air keluar dari saluran empedu menuju
kandung empedu. Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh,
merupakan sumber energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20
25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hati yaitu :
1. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein
4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
6. Fungsi hati sebagai detoksikasi
7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
8. Fungsi hemodinamik
Hati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang
normal 1500 cc/ menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir
di dalam a.hepatica 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran
darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis,
pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu
exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk

mempertahankan

aliran

darah.

Obat-obatan

dapat

memberikan

efek

samping, salah satunya adalah efek hepatotoksik, yaitu efek samping


kerusakan sel-sel atau jaringan hati dan sekitarnya akibat konsumsi suatu
obat.
Pada dasarnya, obat dianggap sebagai penyebab kerusakan hati jika:
1.

Obat tersebut terbukti menyebabkan kerusakan hati pada


binatang percobaan.

2.

Jika suatu obat menyebabkan gangguan pada hati saat


dikonsumsi dan gangguan hati sembuh saat pemberian obat
dihentikan, namun timbul kembali saat diberikan obat lagi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah yaitu:
1. Obat-obat apa saja yang dapat menimbulkan Toksisitas pada Hepar
2. Bagaimana Mekanisme kerja dari suatu toksikan
3. Apa saja efek toksik pada hepar/Hepatotoksik

C. Tujuan
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini antara lain :
1. Sebagai bahan kajian mengenai efek toksik pada Hepar atau
Hepatotoksik.

2. Untuk mengetahui toksikan yang dapat merusak Hepar.


3. Untuk mengetahui mekanisme suatu toksikan yang dapat merusak
Hepar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hati merupakan organ yang paling penting dalam toksisitas
obat dengan dua alasan, yang pertama

secara fungsional,

letaknya diantara tempat absorpsi dan sirkulasi sistemik dan


merupakan tempat utama dalam metabolisme dan eliminasi
senyawa asing, yang kedua adalah karena hati merupakan organ
target dari obat/ senyawa yang toksik. Kerusakan hati yang
diinduksi oleh obat (DILI), menimbulkan masalah klinis, DILI telah
menjadi

penyebab

utama

pada

kerusakan

hati

akut

dan

tranplantasi hati di negara-negara barat. Hepatotoksik intrinsik


yang disebabkan oleh overdosis acetaminophen merupakan
kasus utama dari DILI di amerika serikat dan inggris. Sebaliknya,
hepatotoksik yang disebabkan oleh kebanyakan obat lainnya
adalah idiosinkrasi, dengan kata lain bahwa kejadian DILI sangat
kecil pada pasien yang diberikan obat pada dosis terapinya dan

resiko dari kerusakan akut pada hati yang melibatkan idiosinkrasi


suatu hepatotoksin bisanya kurang dari 1 per 10000 pasien.
Namun lebih dari 1000 obat dan produk herbal menghasilkan
efek

idiosinkarsi

hepatotoksik

dan

ternyata

idiosinkrasi

menyumbang 10 % dalam kasus kerusakan akut pada hati.


DILI juga merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah
dan

industri,

karena

merupakan

penyebab

utama

dari

penghentian uji preklinis dan klinis bagi sejumlah obat dan


merupakan suatu adverse reaction yang umum terjadi yang
mengakibatkan obat tersebut ditolak untuk dipasarkan. Namun
dalam banyak kasus, obat diketahui memiliki efek hepatotoksik
setelah beredar di pasaran, dan DILI juga lah yang membuat obat
tersebut ditarik dari pasaran atau diharuskan untuk memberi
label tentang adanya kemungkinan DILI. Salah satu yang menarik
adalah DILI dapat mengikuti semua bentuk penyakit hati baik
akut maupun kronis. Aspek lain yang menarik adalah terjadinya
idiosinkrasi pada DILI yang tidak dapat diprediksi dan banyaknya
senyawa kimia bersifat hepatotoksik yang menyebabkan DILI
idiosinkrasi. Aspek tersebut mengindikasikan bahwa terdapat
berbagai jenis struktur dan tipe sel target, banyaknya mekanisme
yang terlibat dan pentingnya faktor resiko pasien. Selama
beberapa

tahun

terakhir

berkembang

berbagai

persepsi

mengenai

keseluruhan proses maupun urutan proses yang

terlibat dalam kerusakan sel hati secara umum dan DILI secara
khusus, yang berdampak pada dilakukannya penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya
hepatotoksik. Padahal sebelumnya yang menjadi fokus penelitian
adalah bagaimana suatu obat tertentu dapat menyebabkan
kerusakan awal pada sel hati.

DILI

umumnya

diklasifikasikan

ke dalam

hepatotoksik

intrinsik vs idiosinkrasi, tapi kemudian berubah menjadi alergi


dan non alergi. Hepatotoksik intrinsik merupakan dose-dependent
dan diprediksi hanya terjadi pada dosis diatas dosis terapi,
sedangkan

hepatotoksik

idiosinkrasi

terjadi

tanpa

adanya

ketergantungan akan dosis dan tidak dapat diprediksi pada


kisaran dosis mana hal ini terjadi. Terjadinya reaksi alergi akibat
hepatotoksik idiosinkrasi dikarakterisasi melalui munculnya gejala
tertentu dan adanya reaksi imun seperti demam, ruam kulit,
eosinofilia dan terbentuknya suatu antibodi. Gejala klinis lainnya
dibedakan antara hepatocellular, cholestatic atau mixed liver
enzyme pattern, kriteria histologis, onset kronis vs akut, dan
tingkat keparahannya. Pembagian kelompok ini sangat berguna
dalam praktek klinis karena akan menjabarkan bagaimana ciri
klinis dari DILI untuk tiap-tiap obat, dan akan memberikan
petunjuk mengenai mekanisme yang terlibat dalam DILI oleh
obat-obat tersebut.
Namun demikian, kita harus menyadari bahwa pembagian
ini hanya bersifat deskriptif dan berdasarkan kriteria klinis
maupun

histopatologi.

Pembagian

kelompok

ini

akan

juga

memberian informasi yang salah apabila digabung dengan


konsep mekanis yang ada dan mungkin memang akan menjadi
dasar bagi paradigma klasik yang sangat berbeda dengan konsep
mekanisme hepatotoksik terkini. Sebagai contoh, kesalahan
konsep yakni ada senyawa tertentu yang jelas termasuk baik
dalam kelompok hepaotoksik idiosinkrasi maupun intrinsik, dan
dosis atau kerusakan sel yang langsung tidak berperan penting
pada terjadinya hepatotoksik idiosinkrasi. Akan tetapi, secara tak
terduga DILI dapat terjadi pada dosis yang rendah dan sering
pada senyawa transaminase. Isoniazid merupakan salah satu

contoh hepatotoksin yang mengakibatkan hepatotoksik intrinsik


ringan dan juga idiosinkrasi yang parah pada DILI.
Hambatan

utama

mekanismenya
dikarakterisasi

pada

adalah

pengelompokan

bahwa

dengan

hanya

DILI

tidak

kerusakan

berdasarkan
bisa

awal

tetapi

hanya
juga

melibatkan banyak mekanisme, sistem regulasi dan faktor resik


dengan interaksi yang sangat kompleks, hal ini juga menjelaskan
bagaimana

tidak

banyak

terdapat

model

penelitian

untuk

mengetahui mekanisme bagi kebanyakan hepatotoksin,potensi


sebuah obat menjadi hepatotoksin sering kali tidak diketahui
sebelum dia dipasarkan, dan kontribusi yang pasti di berbagai
proses yang mengakibatkan DILI pada manusia juga tidak dapat
diketahui, dan pengobatan yang tepat untuk DILI tidak tersedia
kecuali

untuk

hepatotoksik

yang

diinduksi

oleh

APAP.

Penyelesaian yang mungkin tepat untuk problem ini adalah


sebuah model penelitian yang umum yang merupakan gabungan
dari prinsip mekanisme awal dari toxic liver cell injury dengan
pengetahuan terkini mengenai regulasi komplek dari kerusakan
vs proses proteksi yang terlibat dalam proses rusaknya sel hati.
Ada tiga tahapan umum dalam mekanisme terjadinya DrugInduced Liver Injury (DILI)
1. Mekanisme

awal

toksisitas

Direct

cell

stress,

Direct

mitochondrial impairment, dan reaksi imun spesifik.


Baik metabolit obat ataupun obat induk dapat menyebabkan direct cell
stress, dan mengganggu fungsi mitokondria serta menstimulaasi suatu respon
imun. Enzim pemetabolisme obat yang sangat berperan dalam pembentukan
suatu metabolit reaktif yang toksik adalah kelompok sitokrom P450 (CYP450),
yang berperan pada metabolisme obat fase 1. Akan tetapi metabolisme fase II
juga dapat menghasilkan metabolit yang bersifat hepatotoksik seperti asil

glukoronida yang telah diketahui menyebabkan DILI. Metabolit reaktif dapat


menyebabkan stress pada sel melalui banyak mekanisme termasuk diantaranya
deplesi dari glutathione (GSH) atau berikatan dengan suatu enzim, lemak, asam
nukleat, dan stuktur sel lain. Selanjutnya metabolit reaktif atau parent drug
mungkin dapat spesifik menghambat fungsi hepar tertentu seperti apical
(canalicular) bile salt efflux pump (BSEP ABCB 11 gene) yang dimana akan
menimbulkan

penumpukan

substratnya

di

dalam

sel

yang

menyebabkan

kerusakan sekunder pada sel hepar.


Pada tahap penyerangan mitokondria, maka metabolit reaktif ataupun
parent drug melepaskan atau menghambat jalur respiratory dari mitokondria yang
menyebabkan deplesi ATP sehingga meningkatkan jumlah reactive oxygen species
(ROS), menghambat -oksidasi yang mengarah pada steatosis, merusak DNA
mitokondria

atau

menyisip

di

proses

replikasinya,

atau

secara

langsung

menyebabkan mitochondria permeability transition (MPT) yaitu dengan membuat


lubang di MPT pore yang letaknya ada dibagian dalam membran. Inilah yang
mungkin merupakan awal terjadinya kerusakan yang melibatkan penghambatan
transport elektron mitokondria sampai tahap kritis dan peningkatan aktivasi ROS
dan JNK di sitosol diatas batas yang ditentukan hingga menimbulkan kerusakan
hepar. Inhibisi awal dari transport elektron mitokondrial tidak dapat ditentukan dari
nilai ALT yang tinggi, sehingga dibutuhkan suatu marker yang bisa mendeteksi
kerusakan mitokondrial sejak dini.
Respon imun spesifik yang melibatkan sel T sitotoksik yang bersamaan
dengan lepasnya sitokin inflamasi yang ditimbulkan oleh metabolit reaktif yang
berikatan secara kovalen dengan protein yang kemudian dikenali sebagai suatu
antigen

baru

(pembentukan

hapten).

Selanjutnya

munculnya

major

histocompatibility complex (MHC) dependent pada antigen presenting cells akan


mengaktifkan

proses

terbentuknya

suatu

antibodi

against

autoantibodies against cell structure seperti enzim CYP450.

haptens

atau

Dalam beberapa kasus kerusakan awal juga menargetkan nonparenchymal


liver cells. Contohnya adalah adanya toksisitas yang terhadap sel epitel empedu
oleh metabolit flucloxacillin atau aktivasi langsung sel steallate oleh methotrexate
yang menyebabkan fibrosis. Hepatotoksin yang berbeda memiliki pola yang
khusus dalam mekanisme kerusakan awalnya. Namun satu yang harus disadari
bahwa satu obat bisa saja melalui banyak mekanisme yang terjadi bersamaan,
dan bahwa banyak obat yang masih belum diketahui mekanismenya seperti apa
dalam menimbulkan kerusakan hepar. Mekanisme kerusakan awal yang spesifik ini
juga bisa disebut upstream events yang pada tahap selanjutnya akan berlanjut
ke downstream events yang tidak spesifik yang melibatkan innate immune
system yang tugasnya menyeimbangkan respon pro dan anti inflamasi yang
menentukan proses lanjutnya untuk kerusakan yang makin parah ataukah
pemulihan.

2.Mekanisme

kematian

sel

diperantarai

oleh

reseptor

yang

menyebabkan perubahan permeabilitas mitokondria


Munculnya cell stress dan reaksi imun spesifik menyebabkan MPT. Jika
mekanisme awal ini tidak terjadi secara langsung pada target dan merusak fungsi
mitokondria, maka mekanisme ini terjadi melalui dua jalur, salah satunya melalui
jalur langsung yang diinisiasi oleh cell stress yang parah (intrinsic pathway) atau
melalui cara tidak langsung dengan death receptor amplified yang dipicu oleh cell
stress ringan dan/atau reaksi ion imun spesifik (extrinsic pathway).

Pada jalur intriksik, stress intraselular yang parah mengaktivasi jalur


reticulum endoplasmic, permeabilitas lisosom, atau c-junN-terminal kinase
(JNK) yang kemudian mengaktivasi pro apoptotic (Bax, bak, bad) dan
menghambat anti apoptotik (bel-2, belxL) yang merupakan anggota protein
bel2, kemudian mengaktivasi MPT. Sedangkan jalur extrinsik, kerusakan awal
yang ringan dapat terjadi jika response inflmasi karena mild stress dan faktor
tambahan memodulasi system imun bawaan ,dimana sinyal dari sitokin (IL-12)
yang memicu atau mencegah (IL4, IL10, IL13, MCP-1) luka biasanya seimbang.
Sebagai konsekuensinya, sel liver yang sensitif menjadi lebih rentan terhadap
efek letal dari tumor necrosis factor alpha (TNF), fas lingand (fasL), dan
interferon gamma (IF). Hal ini sangat penting jika memikirkan bahwa hati
sebagai organ utama dalam detoksifikasi secara konstan terpapar hingga
membuat selnya menjadi stress yang akan mengaktifkan TNF dan fasL. Jika
awalnya sebuah reaksi imun spesifik, maka MHC-dependent antigen yang
terbentuk akan merelease TNFalfa dan FasL dari Kupffer cell (hepatic macrofag)
dan sel T sitotoksik. Sesuai dengan hipotesis bagi penyakit autoimun,
haptenisasi sendiri tidak cukup untuk memicu terjadinya frank allergic
hepatotoxicity,

karena

membutuhkan

stimulasi

tambahan

yang

disebut

danger-signal. Jika metabolit reaktif menyebabkan stress sel ringan atau


munculnya inflamasi, bersamaan dengan lepasnya sitokin akan dibentuk
sebuah

danger

dependent

signal

antigen,

yang

membuat

dapat

meningkatkan

hepatosit

lebih

keberadaan

mudah

luka,

MHCII-

sehingga

menyebabkan autoimmune hepatotoxicity. Terlepas dari bagaimana extrinsic


pathway dimulai, pada akhirnya TNF dan FasL berikatan pada intracellular
death receptors, serta TNF dan Fas reseptor-associated death domain proteins
(TRADD/FADD) akan mengaktivasi inisiator caspase 8. Aktivasi kompleks deathreceptor juga disebut sebagai death-inducing signaling complex (DISC).
Walaupun caspase 8 dapat memulai apoptosis melalui aktivasi langsung dari
efektor caspase 3, 6, dan 7, namun aktivasi langsung ini tampak terlalu lemah
dalam hepatosit untuk memperantarai apoptosis. Olehkarenanya diperlukan
sebuah mekanisme amplifikasi: caspase 8 dapat mengaktivasi protein proapoptitik Bcl-2 (seperti Bid), serta signaling ceramides.

3. Apoptosis dan Nekrosis


MPT menyebabkan influx proton besar-besaran melalui membrane dalam
mitokondria, yang menghentikan sintesis ATP oleh mitokondria. Menipisnya ATP
mitokondria yang disebabkan oleh MPT menyebabkan terjadinya pelebaran
matriks dan permeabilisasi membran luar mitokondria serta pecahnya membran
dengan melepaskan sitokrom C dan protein mitokondria pro-apoptotik lainnya dari
ruang intermembran menuju ke sitosol.
Pada apoptosis, sitokrom C kemudian berikatan pada sebuah cytoplasmic
scaffold (apaf-1) dan pro-caspase 9, membentuk sebuah kompleks yang disebut
apoptosome, yang mengaktivasi signaling procaspase 9. Proses ini membutuhkan
ATP dan hanya dapat dimulai bila MPT tidak muncul dengan cepat dan bersamasama di seluruh mitokondria. Hanya jika beberapa mitokondria tertinggal utuh dan
melanjutkan sintesis ATP, aktivasi pro-caspase 9 dan memungkinkan protein
mitokondrial pro-apoptotik lainnya mengaktivasi caspase 3. Kemudian caspase 3

akan memecah protein sel spesifik dan lebih jauh lagi akan mengaktivasi procaspase

6,

7,

dan

2,

yang

memiliki

protein

targetnya

masing-masing.

Nekrosis, sebaliknya, berkembang jika luka awal yang terjadi sangat parah
sehingga MPT secara cepat terbentuk di seluruh mitokondria, atau jika mekanisme
lain

menyebabkan

menipisnya

ATP

mitokondria

secara

cepat

dan

parah,

menghalangi jalur apoptosis. Ini sangat khas untuk hepatotoksin yang secara
langsung menyebabkan inisiasi stress sel yang sangat besar. Bagaimanapun,
ketiadaan ATP juga aktivasi jalur ekstrinsik akan menghantarkan kepada kematian
sel nekrotik. Kesimpulannya, mitokondria merupakan tokoh penting dalam
kematian dan kehidupan sel dalam hepatotoksisitas: mereka dapat menjadi target
dari inisiasi toksisitas langsung, MPT memegang peran penting dalam signaling
dari jalur ekstrinsik dan intrinsik.
Obat Anti TB yang telah diketahui berdasarkan penelitian terkini mempunyai
kemungkinan sebagai DILI adalah Rifampisin dan INH berikut tinjauan molekuler
yang memungkinkan untuk terjadinya hepatotoksik pada penggunaan obat anti
TB.

A. Rifampisin

Nama Kimia

: 5, 6, 9, 17, 19, 21-Heksahidroksi-23-metoksi-2, 4,


12, 16, 18, 20, 22-heptametil-8 [N-(4-metil-1piperazinil) formimidoil]-2, 7- (epoksipentadeka [1,
11, 13] trienimino) nafto [2, 1-b] furan- 1, 11-(2H)dion-21-asetat.

Sinonim

: Rifampicinum, Rifampin, Rivalzadin, 3-[{(4-Metil1- piperazinil) imino} metil] rifamisin.

Rumus Molekul
Berat Molekul
Pemerian

: C43H58N4O12.
: 822,95.
: Serbuk hablur, coklat merah.Kelarutan : Sangat
sukar larut dalam air, sukar larut dalam etanol,
eter dan aseton, mudah larut dalam kloroform,
larut

dalam

etil

asetat

dan

dalam

metanol

(Depkes RI, 1995; Sweetman, 1999).


Penggunaan dan Cara Pemberian
Rifampisin adalah kelompok antimikobakterial dan digunakan
untuk pengobatan berbagai jenis infeksi. Sering digunakan dalam
bentuk kombinasi dengan antibakterial lainnya untuk menghindari
resistensi dan untuk pengobatan tuberkulosis. Penggunaan pada
pasien dewasa secara umumnya adalah 600 mg per hari melalui mulut
pada keadaan lambung kosong. Sedangkan pada pasien anak-anak
diberikan dosis 10 mg/kg hingga 20 mg/kg per hari dengan batas
maksimum 600 mg per hari (Sweetman, 1999).

Farmakokinetika
Rifampisin

segera

diabsorbsi

dari

saluran

pencernaan.

Konsentrasi maksimum obat dalam plasma adalah 7 g/mL sampai 24


g/mL setelah 2 jam sampai 4 jam pemberian dosis 600 mg. Hal ini
dapat berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.
Rifampisin berada 80% dalam protein plasma. Waktu paruh rifampisin
berkisar antara 2 jam sampai 5 jam, dengan waktu paruh yang lebih
pendek (1 jam sampai 3 jam) pada penggunaan 2 minggu pertama
karena rifampisin menginduksi metabolisme terhadap rifampisin itu
sendiri. Rifampisin secara cepat dimetabolisme di hati menjadi 25-Odeasetilrifampisin. Deasetilrifampisin diserap kembali ke saluran cerna
dan meningkatkan ekskresi melalui feses, tetapi siklus enterohepatik
tetap

berjalan.

Sekitar

60%

obat

diekskresikan

melalui

feses

sedangkan 30% obat diekskresikan melalui urin, setengah bagian


tersebut diekskresikan dalam waktu 24 jam. Metabolit formilrifampisin
juga diekskresikan melalui urin. Pada pasien gangguan ginjal waktu
paruh rifampisin menjadi lebih panjang dari normalnya (Sweetman,

1999; Peloquin, 2002).

Efek Samping
Efek samping dari penggunaan rifampisin adalah gangguan
saluran cerna (anoreksia, diare, mual dan muntah), gangguan darah
(trombositopenia, eosinofilia, leukopenia dan anemia), gangguan saraf
(sakit kepala), udema dan perubahan warna pada urin, feses, keringat,
air liur, dahak, air mata dan cairan tubuh lainnya menjadi jingga
hingga merah (Sweetman, 1999).

B. Isoniazid

Nama Kima

: Asam isonikotinat hidrazida.

Sinonim

: Isoniazidum, INH, INAH, Isonikotinoilhidrazin,


Isonikotinilhidrazida, Isonikotinilhidrazin, Tubazid.

Rumus molekul

: C6H7N3O

Berat molekul
Pemerian

: 137,14
: Hablur putih atau tidak berwarna atau serbuk
hablur putih, tidak

berbau, perlahan lahan dipengaruhi oleh udara dan


cahaya.
Titik lebur

: 170C - 173C

Kelarutan

: Mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam

etanol,
sukar larut dalam kloroform dan dalam eter, praktis
tidak larut dalam benzena.
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan
INH. Hanya satu derivatnya yang diketahui, menghambat pembelahan
kuman tuberculosis, yakni iproniazid, tetapi obat ini terlalu toksis untuk
manusia. Isoniazid (INH) adalah turunan asam isonicotinic hydrazide,
obat bakterisidal pilihan untuk tuberkulosis. INH terkenal karena
kecenderungannya

menyebabkan

hepatitis

dengan

penggunaan

kronis. Overdosis akut isoniazid adalah penyebab umum dari obat


penginduksi kejang dan asidosis metabolik. ( Olson,1999 )

Penggunaan dan Cara Pemberian


Isoniazid adalah turunan hidrazida dan merupakan obat utama
dalam pengobatan penyakit tuberkulosis. Sering digunakan dalam
bentuk kombinasi. Penggunaan pada pasien dewasa secara umumnya
adalah 300 mg per hari melalui mulut pada keadaan lambung kosong.
Sedangkan pada pasien anak-anak bervariasi, yakni: 5 mg/kg per hari
(menurut

Organisasi

Organization/WHO)),

10

Kesehatan

Dunia

mg/kg

hari

per

(World
(di

Health

Inggris

(United

Kingdom/UK)) dan 10 mg/kg hingga 15 mg/kg per hari (di Amerika


Serikat

(United

States

of

America/USA))

dengan

semuanya

mencantumkan batas maksimum 300 mg per hari (Sweetman, 1999).

Farmakokinetika
Isoniazid segera diabsorbsi dari saluran pencernaan. Konsentrasi
maksimum obat dalam plasma adalah 3 g/mL sampai 7 g/mL setelah
1 jam sampai 2 jam pemberian dosis 300 mg. Waktu paruh isoniazid
berkisar antara 1 jam sampai 6 jam, dengan waktu paruh yang lebih
pendek pada individu yang memiliki asetilator yang cepat. Rute
metabolik

primer

adalah

asetilasi

dari

isoniazid

menghasilkan

asetilisoniazid oleh N-asetiltransferase yang ditemukan dalam hati dan


usus

halus.

Asetilisoniazid

kemudian

dihidrolisis

menjadi

asam

isonikotinat dan monoasetilhidrazin. Asam isonikotinat berkonjugasi


dengan glisin menghasilkan asam isonikotiurat (isonikotinil glisin),
sedangkan monoasetilhidrazin yang kemudian mengalami asetilasi
menjadi diasetilhidrazin. Beberapa bagian yang tidak dimetabolisme
akan mengalami konjugasi membentuk hidrazon. Metabolit Isoniazid
tidak memiliki aktivitas tuberkulostatik. Pada pasien dengan fungsi
ginjal yang normal, lebih dari 75% dari obat diekskresikan melalui
urine selama 24 jam yang terutama sebagai metabolit. Sejumlah kecil
obat yang diekskresikan melalui feses. Isoniazid juga akan dikeluarkan
dari tubuh bila pasien menjalani dialisis (Sweetman, 1999).

Efek Samping
Efek samping dari penggunaan isoniazid adalah gangguan hati
(mual, muntah dan lelah), gangguan darah (anemia, agranulositosis,
trombositopenia dan eosinofilia), hipersensesitivitas (eritema) dan efek
samping lainnya (konstipasi dan retensi urin) (Sweetman, 1999).

Efek hepatotoksik antara lain dapat berupa:

Kerusakan parenkim hati dengan cepat, menyerupai gejala

hepatitis viral akut.


Kerusakan parenkim hati dengan lambat, menyerupai gejala

hepatitis kronik aktif.


Infiltrasi lemak pada sel-sel hati, menyerupai gejala fatty liver.
Menghambat ekskresi empedu sehingga menimbulkan ikterus

obstruktif, menyerupai gejala kolestasis.


Merusak sel-sel saluran empedu secara

menyerupai gejala sirosis biliaris.


Menyebabkan granuloma sel-sel hati.
Menyebabkan luka pada parenkim hati, sehingga mendorong

terbentuknya jaringan parut (fibrosis) menyerupai sirosis hati.


Mendorong terjadinya tumor hati.
Merusak sistem pembuluh darah portal hati.

perlahan-lahan,

Penyebab hepatotoksik diduga bersifat multifaktorial, namun terdapat


beberapa mekanisme yang sudah diketahui dapat membuat obat
tertentu bersifat hepatotoksik, yaitu:

Peroksidasi lipid
Radikal bebas yang terkandung dalam obat dapat memicu reaksi
peroksidasi

pada

asam

lemak

tak

jenuh

pada

retikulum

endoplasma sel hati, sehingga terjadi degenerasi lemak dan

nekrosis pada sel tersebut.


Stres oksidatif
Proses ini disebabkan pula oleh radikal bebas, serta dapat
menyebabkan berkurangnya glutation dalam sel hati sehingga

terjadi gangguan keseimbangan kalsium dan kerusakan sel.


Penghambatan oksidasi, juga dapat menyebabkan reaksi

peroksidasi lipid.
Penghambatan sintesis

protein melalui

inhibisi

enzim

RNA

polimerase, yang menyebabkan nekrosis lemak dan kematian


sel.

Penghambatan transportasi asam empedu pada sistem saluran

kanalikuler intrahepatik.
Reaksi imunoalergenik, yaitu berupa reaksi sitotoksik akibat

paparan antigen asing.


Efek karsinogenesis, terutama oleh metabolit obat yang sangat
aktif atau teraktivasi berlebihan oleh substansi asing.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Hepatotoksik Rifampisin
Rifampisin adalah obat antituberkulosis. Rifampisin bisa merusak hati
dengan 3 cara :
a) Mengganggu proses metabolisme bilirubin dan asam empedu. Efeknya
reversible dan mekanismenya tidak diketahui, walaupun ada yang
mengatakan efeknya merusak hepatosit.
b) Rifampisin menginduksi metabolisme obat di retukulum endoplasma
yang mengganggu biotransformasi dari zat zat yang hepatotoksik,
apalagi jika digabung dengan isoniazid.
c) Rifampisin sendiri bisa mengakibatkan efek seperti hepatitis akibat
virus.

Namun

karena

rifampisin

diberikan

bersamaan

obat

antituberkulosis yang lain, maka hepatitis akibat rifampisinnya sendiri


masih belum dapat dipastikan.
Rifampisin memiliki jalur utama dengan deasetilasi menjadi
deasetil

rifampicin

sehingga

terpisah

secara

hidrolisis

menghasilkan 3-formil rifampisin. Rifampisin dapat menyebabkan


disfungsi hepatoseluler di awal pengobatan, dimana dapat terjadi
tanpa penghentian obat ini. Mekanisme rifampisin menginduksi
hepatotoksik belum diketahui dan tidak dapat diprediksi. Sampai
sekarang belum diketahui adanya metabolit toksik reaktif dari
rifampisin.
Rifampisin adalah induser kuat sistem CYP450 pada hati
dan usus, yang dapat meningkatkan metabolisme dari senyawa
lain.

Penggunaan

kombinasi

rifampisin

dan

INH

telah

dihubungkan dengan peningkatan risiko hepatotoksik. Rifampisin


menginduksi hidrolasi INH, sehingga meningkatkan produksi
hydrazine ketika dikombinasikan dengan INH (terutama pada
asetilator lambat) yang mana dapat lebih meningkatkan toksisitas
dari kombinasi tersebut. Rifampisin juga berinteraksi dengan obat
antiretrovirus (Tostmann, A., et.al., 2007).
Rifampisin merupakan aktivator PXR (pregnane X receptor).
PXR merupakan mediator seluler yang merespon xenobiotik. PXR
mediator fungsi CYP3A4, merupakan tempat binding heterodimer
dengan

retinoid

reseptor.

CYP3A4

merupakan

enzim

pemetabolisme pada hati. Dengan demikian Rifampisin dapat


menginduksi peningkatan ekspresi CYP3A4.

Gambar 3. Mekanisme aktivasi dan fungsi PXR


Aktivasi

PXR

tergantung

ligan;

pengikatan

ligan,

menyebabkan PXR membentuk heterodimer dengan reseptor X


retinoid (RXR) yang terikat pada PXR respon elements, yang
terletak di ujung 5 gen target PXR, sebagai hasil aktivasi
transkripsi mereka. PXR terutama terkait dengan respon seluler
xenobiotik, termasuk induksi enzim yang terlibat dalam reaksi
oksidasi dan konjugasi, serta induksi transporter xenobiotik dan
endobiotik. Enzim metabolik dan transporter yang diinduksi oleh
aktivasi PXR dapat mempengaruhi farmakokinetik dari xenobiotik
maupun endobiotik (Ma, et.al., 2008).
Hasil elusidasi struktur 3 dimensi menunjukkan bahwa PXRligand binding domain memiliki celah ikatan yang besar (lebar),
sehingga memungkinkannya untuk berinteraksi dengan banyak
senyawa hidrofobik. Banyak ligan PXR yang telah berhasil
diidentifikasi,
clotrimazole,

diantaranya
dan

ritonavir.

adalah
Inilah

antibiotik
yang

rifampisin,

mendasari

bahwa

Rifampisin dapat membentuk ikatan dengan PXR (Ma, et.al.,


2008).

B. Mekanisme Hepatotoksik Isoniazid


Obat anti TB kedua yang diduga juga akan mengakibatkan
hepatotoksik adalah INH (Isoniazid). Metabolisme utama INH
adalah asetilasi oleh enzim n-asetiltransferase 2 (NAT2) dan CYP
2E1 dan menghasilkan hepatotoksin.

Gambar 7. Metabolisme Isoniazid


Hidrazin
penggunaan

merupakan
INH.

penyebab

Penelitian

pada

hepatotoksisitas

pada

mikrosom

tikus

liver

menunjukkan bahwa terbentuk radikal NO2 selama proses


metabolisme
merupakan

hidrazin
penyebab

secara

oksidasi,

utama

yang

kemungkinan

hepatotoksisitas.

Penelitian

menunjukkan bahwa ATDH lebih mudah terjadi dan dapat


menjadi parah pada kelompok asetilator lambat. Pada asetilator
lambat lebih banyak INH yang tertinggal untuk dihidrolisis
langsung menjadi hidrazin serta terakumulasi sebagai asetil
hidrazin yang berubah menjadi hidrazin (Tostmann, A., et.al.,
2007).
Huang et al. mengatakan bahwa asetilator lambat memiliki
potensi 2 kali lipat mengalami ATDH dibandingkan kelompok
asetilator cepat. CYP2E1 c1/c1 genotip berhubungan dengan
tingginya aktivitas CYP2E1 dan dapat merangsang produksi
hepatotoksin yang lebih banyak. Penelitian menunjukkan bahwa
INH dan Hidrazin dapat merangsang aktivitas CYP2E1. INH
memiliki efek penghambatan aktivitas CYP1A2, 2A6, 2C19 dan
3A4. CYP1A2 diduga berfungsi sebagai detoksifikasi hidrazin. INH
menyebabkan peningkatan ROS, perubahan tingkat enzim seperti
Superoxide

dismutase,

dehydrogenase.

Catalase,

Mengubah

tingkat

dan

Glucose-6-Phosphate

Bcl-2/Bax,

cytochrome-c

translocation, aktivasi caspase, dan fragmentasi DNA yang dapat


menyebabkan apoptosis. Peningkatan ROS dapat menyebabkan
kerusakan sel hati (Fausto, 2006).

Gambar 8. Mekanisme pembentukan ROS yang dapat menyebabkan


kerusakan sel hati

Ketika terjadi kerusakan sel (seperti kerusakan DNA),


protein pro-apoptosis akan teraktivasi, yang akan mnyebabkan
terjadinya MPTPs (Mitochondrion Permeability Transition Pores)
akibatnya

cytocrhome

(cyt

c)

yang

terdapat

didalam

mitokondria dilepaskan ke sitosol. Dengan adanya cytosolic


dATP(deoxyadenosine triphosphate) atau ATP, apoptotic protease
activation factor (Apaf-1) bersama dengan cytosolic caspase 9,
dATP dan cyt c, Apaf-1 dapat membentuk suatu apoptosome.
Aktivasi caspase 9 kemudian mengaktifkan caspase 3 dan
caspase 7. Caspase 3 yang telah diaktifkan dapat memberikan
mekanisme umpan balik untuk aktivasi caspase 9. Caspase 3 dan
caspase 7 merupakan protein yang mengeksekusi terjadinya
proses apoptosis sel. Aktivasi dan inaktivasi diregulasi oleh
beberapa protein, salah satunya protein Bcl2, yang merupakan
protein anti-apoptosis sedangkan Bax merupakan protein proapoptosis (Ting, et al., 2005).

Gambar 9. Mekanisme apoptosis karena aktivasi caspase,


Bcl-2/Bax, cytochrome-c translocation, dan fragmentasi
DNA yang dapat menyebabkan apoptosis.

Gambar 10. Typical mitochondrion-mediated and caspasedependent pathway


Nilai kritis yang dapat diambil sementara adalah kita perlu
hati-hati dalam penggunaan obat anti TB khususnya untuk anakanak karena adanya kemungkinan yang cukup kuat terjadinya

hepatotoksik.

Gambar 4. Implikasi klinis PXR


Implikasi klinis yang paling umum untuk aktivasi PXR
adalah terjadinya interaksi obat-obat. Pengaturan multi terapi
adalah alasan utama untuk mengatasi interaksi obat, terutama
untuk pasien dengan tuberkulosis, kanker, HIV, penyakit jantung,
dan

diabetes.

Identifikasi

PXR

membantu

mengungkapkan

mekanisme molekuler terjadinya interaksi obat. Ketika dua atau


lebih obat digabungkan, dan satu adalah ligan PXR, dan yang
lainnya adalah substrat dari gen target PXR yang mengkode
enzim

atau

Konsekuensi

transporter,
klinis

interaksi

interaksi

obat

obat-obat
dimediasi

dapat
PXR

terjadi.

umumnya

menurunkan efikasi terapi dan, kadang-kadang meningkatkan


toksisitas obat.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rifampisin, Isoniazid (INH) dan Pirazinamid adalah 3 jenis obat pertama
yang bersifat hepatotoksik. Faktor risiko hepatotoksisitas yaitu : Faktor Klinis
(usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit
dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin,
TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan
Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV
yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan
adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai
populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap
tuberculosis.
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait
mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas
dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik
seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice (Penyakit kuning), dll. Enzim hati
transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut.

Jika

dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan


memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat
dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu
yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam,

hilang selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan


kencing yang berwarna hitam pekat.
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati
alanine transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau
paling tidak terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan
tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya.
Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika
tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal,
sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis
dapat

diklasifikasikan

berdasarkan

potensi

masing-masing

OAT

yang

menyebabkan hepatotoksisitas.

B. Saran
Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatotoksik obat
dapat

diminimalisir

sehingga

pengobatan

TB

dapat

berjalan

efektif.

Rekomendasi Nasional untuk mengelola hepatotoksisitas OAT antara lain:

Jika pasien tediagnosa hepatotoksik OAT, maka pemberian OAT

tersebut harus dihentikan.


Tunggu sampai jaundice (penyakit kuning) hilang atau sembuh terlebih

dahulu.
Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan
Etambutol

sampai

bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan


untuk rejimen standar. (Kishore, dkk, 2010)
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas

INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan


perlahan sampai 300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi
reaksi, lanjutkan.

Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin


dengan dosis 75 mg / hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3
hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang
sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi,
lanjutkan.

Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari,


meningkat menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50
kg) atau 2 g (> 50 kg). (Kishore, dkk, 2010)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di


Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006.
Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI.
Jakarta. 2006.
Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1995. Farmakologi dan Terapi
edisi 4. Jakarta: Gaya Baru.
Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug
Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and
Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007),
Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260

Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001
Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity.
Gastroenterology and Hepatology. 2010

Department

of

Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta. EGC. 2007
World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National
Program. 2003.
http://en.wikipedia.org/wiki/Hepatotoxicity
http://id.scribd.com/doc/122418051/HEPATOTOKSIK-AKIBAT-OAT#download
http://wailineal.blogspot.com/2012/01/obat-obat-hepatotoksik.htm

You might also like