You are on page 1of 9

SOFTSKILL ETIKA BISNIS

KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME

Nama : Maria Lousiana Oldriani


NPM : 15213282
Kelas : 4EA32
Dosen : Tantyo Setyowati, SE.MM.

FAKULTAS EKONOMI S1 MANAJEMEN


UNIVERSITAS GUNADARMA
2016

A. Latar Belakang
Latar Belakang Korupsi, kolusi, dan nepotisme, disingkat KKN, telah mengakar dalam
sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Seakan ketiga hal tersebut merupakan bagian dari adat
istiadat mereka dan sudah biasa terjadi. Ironinya, bahkan telah muncul stigma yang menyatakan
bahwa KKN merupakan salah satu dari sekian pilihan menuju hidup lebih baik tanpa
memperdulikan akibatnya bagi orang lain. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Indonesia termasuk
negara yang cukup kaya. Penghasilannya pun cukup melimpah. Hanya saja uang tersebut
sebagian diserap oleh keegoisan para pelaku tindak KKN.
Dalam system tenaga kerjapun perilaku yang mencerminkan tindakan Nepotisme
semakin banyak, sehingga tidak memberikan peluang bagi tenaga kerja yang lainnya. Oleh sebab
itu, tindakan seperti ini setidaknya bisa kita sikapi sebagai bahan pembelajaran agar kehidupan
bangsa Indonesia terbebas dari tindakan Nepotisme yang dapat menyebabkan
Pengertian Nepotisme Kata nepotisme barasal dari kata latin nepos, yang berarti
keponakan atau cucu, secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan
dalam memberikan pekerjaaan atau hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictory,
1983). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti :
1. Perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat
2. Kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri,
terutama dalam jabatan, pangkat dilingkungan pemerintah
3. Tindakan

memilih

kerabat

atau

sanak

saudara

sendiri

untuk

memegang

pemerintahaan.
Sedangkan menurut Undang-undang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi No. 28
Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara
melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.

B. Kasus Mengenai KKN


VIVA.co.id Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 12 Februari 2016 lalu,
menangkap 3 orang dalam sebuah operasi tangkap tangan. Mereka adalah Kasubdit Kasasi dan
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna; Direktur PT Citra
Gading Asritama, Ichsan Suaidi serta Pengacaranya, Awang Lazuardi Embat.
Mereka diduga melakukan transaksi suap, yang bertujuan agar salinan putusan kasasi
terkait perkara yang menjerat lchsan dapat ditunda, sehingga eksekusi hukum terhadap dirinya
juga ikut tertunda.
Ichsan diketahui merupakan terpidana kasus pembangunan dermaga Labuhan Haji di
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008. Namun hingga saat ini, lchsan belum
dieksekusi.
Penangkapan ini kembali menjadi pukulan telak bagi penegakan hukum di Indonesia,
yang memang sejak awal era reformasi mendapatkan sorotan paling tajam, karena ditengarai
bersarang praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Pukulan ini terasa lebih menyesakan, karena terjadi di lembaga hukum tertinggi di
Indonesia, MA. "Sebagai lembaga, MA perlu mendorong perbaikan sistem, transparansi dan
antikorupsi, itu perlu diformulasikan," ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK), Miko Ginting kepada VIVA.co.id, Senin 15 Februari 2016.
Menurutnya, praktik korupsi ini bisa terjadi karena memang MA sebagai lembaga, lemah
dalam menerapkan pengawasan, terutama kepada internal mereka. Padahal dari eksternal, sudah
banyak aturan hukum yang melarang perbuatan suap menyuap, mulai dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang tentang Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih
dan Bebas dari KKN, serta Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
"Ini bukan persoalan regulasi, dengan adanya penangkapan setidaknya sudah dua kali,
menurut saya masih banyak kelonggaran, kasus terakhir suap untuk menunda eksekusi, banyak
kelonggaran yang bisa dimanfaatkan oknum di internal MA," jelas Miko.

KPK memang sudah dua kali menangkap tangan oknum pegawai MA karena kasus suap.
Sebelumnya ada Staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Djodi
Supratman. Ia divonis terbukti bersalah dan dihukum 2 tahun penjara, karena menerima suap
sebesar Rp150 juta, agar mengurusi perkara kasasi pidana penipuan terdakwa Hutomo Wijaya
Ongowarsito di MA.
Miko menilai, pilihan paling rasional yang bisa dilakukan MA kalau masih mau
dipercaya masyarakat, adalah membuktikan adanya perbaikan sistem di internal mereka.
Pasalnya, aturan hukum dan suntikan motivasi ekonomi berupa remunerasi, ternyata tak mampu
membuat oknum di MA untuk menahan diri dari menerima suap.
Remunerasi ini pun tak sedikit, berdasarkan Nomor Surat Keputusan MA No
128/KMA/SK/VIII/2014 pada 2014, lingkungan MA mendapatkan remunerasi mulai Rp 1,7 juta
untuk golongan paling rendah, sampai tertinggi Rp 32 juta rupiah buat eselon 1.
"Apakah pola pengawasan berjenjang, atau pengawasan melekat pada internalnya,
tergantung nanti SDM mereka seperti apa, atau membuka mekanisme pelaporan di internal, tapi
harus ada ihktiar," ungkap Miko.
Pada kesempatan terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi mengklaim, bahwa MA
sudah menerapkan pengawasan internal yang ketat bagi pegawai internal mereka. "Pengawasan
dan sebagainya sudah ketat sedemikian rupa, tapi perbuatan seseorang di luar MA bisa dilakukan
by phone dan sebagainya. Jadi ketat kita sudah ada aturan dan standar operasional prosedurnya,"
kata Suhadi di Gedung MA, Jakarta, Senin 15 Februari 2016.
Ia berjanji, ke depan, MA akan memperketat lagi pengawasan manajemen perkara di
lembaga tersebut, dimulai dari tingkat paling bawah sampai jajaran hakim agung. "Badan
Pengawas kalau ada hal-hal yang menyimpang dilaporkan baik oleh pihak dari dalam MA
maupun dari luar MA," ujarnya lagi.
Tak Hanya MA, Penangkapan terhadap pegawai MA oleh KPK hanya satu contoh dari
buruknya sistem hukum di Indonesia. Menurut Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi,
peristiwa ini harusnya menjadi pelajaran bagi seluruh aparat penegak hukum lainnya, untuk lebih
profesional dalam menjaga integritas tugas mereka.

"Kami sangat menyayangkan, sebab di tengah keinginan dan usaha banyak pihak dalam
membenahi dunia peradilan, kinerja lembaga kembali tercoreng dan kepercayaan publik akan
semakin tergerus akibat perbuatan tidak patut yang dilakukan segelintir oknum," kata Farid,
Sabtu, 13 Februari 2016.
Hal serupa juga diungkapkan Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia,
Dadang Trisasongko. Menurutnya, perilaku suap di lingkungan penegak hukum ini bukan semata
persoalan di MA, tapi sistem hukum secara keseluruhan.
"Kalau kita lihat survei Corruption Perceptions Index atau CPI, itu angkanya Indonesia
naik cuma 2 poin. Itu hal terpenting yang menghambat CPI itu adalah penegakan hukum," tutur
Dadang saat dihubungi VIVA.co.id, Senin,
Pada survei persepsi korupsi yang dilakukan lembaganya, peningkatan nilai Indonesia
bisa dibilang tidak signifikan. Di 2013, poin Indonesia 32, meningkat menjadi 34 di 2014, dan
terakhir 2015 meningkat kembali menjadi 36.
Kelemahan penegakan hukum di Indonesia, kata Dadang, terletak pada sistem birokrasi.
Sistem ini seolah-olah sengaja dibuat rumit dan bertele-tele, sehingga menggoda masyarakat
untuk mengambil jalan pintas, demi kepentingannya pribadi. "Itu juga menyangkut birokrasi
penegak hukum itu bermasalah, sehingga sistemnya dibikin tidak jelas," ungkap dia.
Buruknya sistem penegakan hukum di Indonesia, dinilai menjadi biang keladi praktik
korupsi tetap berjalan. Oknum di lembaga penegak hukum tidak akan kapok dan terus
mengambil keuntungan dari lemahnya sistem. Catatannya, selama semua pihak yang terlibat di
dalamnya mendapatkan keuntungan, maka korupsi pun akan terus bergulir.
"Variabel lain, penyuapnya sendiri masih terbuka lebar karena masih ada harapan, ini
bisa disuap. Jadi ada ranah di lembaga penegak hukum," beber Dadang.
Sementara lembaga KPK yang mendapatkan amanat untuk memperbaiki sistem ini saat
reformasi dulu, terlalu kecil untuk bisa membenahi penegakan hukum secara keseluruhan.
Dadang menilai, pembenahan ini tak bisa hanya dibebankan pada KPK, tapi perlu inisiatif dari
masing-masing lembaga penegak hukum, baik polisi, kejaksaan, dan pengadilan.

"Dari sisi penyuapnya sendiri akan terus muncul kalau tidak ada reformasi di penegak
hukum lain, itu selalu ada keinginan. KPK kurang kuat, KPK terlalu kecil untuk mengawasi
seluruhnya. Mengurusi peradilan saja terlalu kecil, belum polisi, jaksa dan lainnya lagi," jelas
Dadang.
Kasus Korupsi di Lembaga Penegak Hukum
Dalam catatan KPK, selama kurun waktu 10 tahun terakhir ada 13 hakim yang terjerat
kasus korupsi. Salah satu kasus yang cukup menarik perhatian adalah Akil Mochtar di 2013.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, terbukti menerima suap terkait penanganan sengketa
Pilkada, sehingga divonis hukuman seumur hidup di penjara. Di Kejaksaan Agung, ada nama
Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan KPK saat menerima uang USD 610.000 dari
pengusaha Arthalita Suryani di rumah obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),
Syamsul Nursalim. Urip divonis 20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita mendapat vonis 5 tahun
penjara. Saat ditangkap, Urip masih aktif sebagai jaksa untuk kasus BLBI.
Tak hanya Jaksa Urip, Kejaksaan Agung juga pernah menangani kasus korupsi Jaksa
Cirus Sinaga. Oleh pengadilan, ia dihukum penjara lima tahun ditambah denda Rp150 juta
karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dengan merintangi secara tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara korupsi Gayus Tambunan di pengadilan. Hal
ini ia lakukan dengan menghilangkan pasal korupsi, dan mengarahkan perkara Gayus ke pidana
umum penggelapan uang.
Di Kepolisian, KPK pun pernah mengungkap kasus korupsi di tubuh Korps Lalu Lintas
(Korlantas) Polri. Kasus ini menjerat mantan Kepala Korlantas Polri, Irjen Pol. Djoko Susilo. Di
pengadilan, Djoko dinyatakan terbukti merugikan keuangan negara senilai Rp 121 miliar, dari
proyek pengadaan alat simulator mengemudi kendaraan bermotor untuk ujian SIM di Korlantas
Polri tahun 2011. Djoko pun harus menjalani hukuman 18 tahun penjara.
Kasus korupsi juga menjerat mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komjen Pol. Susno
Duadji. Ia dijerat karena kasus korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008, dan
menerima suap sebesar Rp 500 juta terkait penanganan kasus korupsi PT Salmah Arowana
Lestari (SAL). Susno akhirnya dihukum 3,5 tahun penjara. Selain hakim, jaksa dan polisi,

korupsi juga dilakukan profesi pengacara. Pembela masyarakat di hadapan hukum formal ini,
beberapa kali juga terlibat kasus suap.
Dua advokat yang terjerat kasus korupsi di KPK, yaitu Mario Cornelio Bernardo dan Susi
Tur Handayani. Mario yang bekerja pada kantor hukum Hotma Sitompoel and Associates itu
terjerat kasus suap terkait pengurusan kasasi kasus penipuan di Mahkamah Agung. Dia divonis 4
tahun penjara karena terbukti menyuap staf Hakim Agung Andi Abu Ayyub, Suprapto, melalui
pegawai MA, Djodi Supratman. Sedangkan Susi, terkait kasus dugaan suap pengurusan pilkada
Kabupaten Lebak, Banten, yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Terakhir, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 5,5 tahun penjara
serta denda Rp300 juta subsidair empat bulan kurungan, kepada Advokat senior, Otto Cornelis
Kaligis. Ia dinyatakan terbukti memberikan uang kepada hakim PTUN Medan, Sumatera Utara,
Tripeni lrianto Putro sebesar SG$5.000 dan US$15.000, serta Dermawan Ginting dan Amir
Fauzi selaku Hakim PTUN masing-masing sebesar US$5.000. Selain itu, Syamsir Yusfran
selaku Panitera PTUN sebesar US$2.000.
Uang diberikan untuk mempengaruhi putusan atas permohonan pengujian kewenangan
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, terhadap penyelidikan dugaan terjadinya korupsi Dana
Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
dan tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH), serta penyertaan modal pada sejumlah BUMD
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Internal KPK sendiri juga tak luput dari kasus korupsi. Mantan pegawai KPK, Endro
Laksono divonis 4,5 tahun penjara. Endro dinyatakan terbukti menggelapkan dana KPK sebesar
Rp388 juta. Uang ini rencananya hendak ia gandakan ke dukun.
Serangkaian kasus tadi menunjukan betapa bobroknya sistem hukum di Indonesia,
dimana dari jajaran paling kecil sampai jabatan tertinggi terkena kasus korupsi. Perbaikan sistem
menjadi mutlak dilakukan, demi dihormatinya supremasi hukum oleh masyarakat. Jika tidak,
maka wajar masyarakat selalu menaruh curiga dan enggan menyelesaikan sengketa
menggunakan jalur hukum.

"Kejadian itu kan peluang untuk memberi kenikmatan karena bisa menghasilkan
tambahan. Kalau selama ini tidak ada perbaikan artinya secara sengaja itu dipertahankan, kecuali
kalau mereka mau membuktikan ini diperkuat betul, yang memberikan diberi sanksi. Itu orang
lihat mereka mau berubah," tegas Dadang. Kini, pilihan itu ada pada lembaga itu masing-masing.
(ren)
Dikutip :
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/736213-rentan-suap-para-pejabat-lembaga-penegakhukum
C. Kesimpulan
Nepotisme yang membudaya dan berkelanjutan, mampu mengikis nilai-nilai moralitas
melalui keputusan-keputusan non-etis yang bersimpangan dengan keadilan pada saat proses
rekruitmen. Hal ini mencerminkan adanya kendala-kendala bagi tujuan pemerataan dalam
masalah-masalah penyediaan lapangan pekerjaan dan masalah di dalam dunia kerja.
D. Saran
Solusi untuk melawan nepotisme adalah dengan meningkatkan SDM secara kualitatif
dengan menekankan pada kriteria-kriteria kualitas dalam rangkaian proses rekruitmen, demi
kemajuan usaha bisnis maupun pencapaian tujuan organisasi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Bartono dan Novianto. 2005. Todays Business Ethics. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Hartanto, F.M. 2009. Paradigma Baru Manajemen Indonesia: Menciptakan Nilai dengan
Bertumpu pada Kebijakan dan Potensi Insani. Penerbit Mizan. Bandung.
Ivancevich, J.M., Konopaske, R. dan Matteson M.T. 2005. Organizational Behaviour and
Management 7th Edition. McGraw-Hill. Maidenhead-Berkshire.
Pope, J. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Pusat Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Susanto, A.B. et al. 2008. A Strategic Management Approach: Corporate Culture &
Organization Culture. The Jakarta Con

You might also like