You are on page 1of 6

Khutbah Idul Adha 1437 H

HAJI DAN KURBAN:


WUJUD KEPASRAHAN, KETUNDUKAN, DAN KETAATAN TOTAL
KEPADA ALLAH SWT
.x 3 x 3 x 3

.






.
.





.

:

.



AlLhu Akbar 3X, WaliLlhilhamd.
Masyiral-Muslimn RahimakumulLh:
Pada hari ini, Alhamdulillah, sepantasnya dan selayaknya kita bersyukur kepada Allah SWT,
Yang dengan kasih-sayang-Nya, telah memberikan banyak nikmat yang tiada tara kepada kita
semua. Dialah Yang telah mengumpulkan kita di tempat ini dalam keadaan sehat lahir-batin,
dalam rangka menunaikan shalat Idul Adha sekaligus merayakan Hari Raya Kurban.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah SWT curah-limpahkan kepada satu-satunya
teladan kita, Baginda Rasulullah Muhammad saw.; kepada keluarga, para Sahabat, para
tbiin dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.
AlLhu Akbar 3X, WaliLlhilhamd.
Masyiral-Muslimn RahimakumulLh:
Sebagaimana kita ketahui, ada dua peristiwa besar pada bulan Dzulhijjah ini. Pertama:
Peristiwa ibadah haji, yang puncaknya adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Sabda Nabi saw.:

(Inti) ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah (HR Ibn Majah dan at-Tirmidzi).
Terkait dengan Hari Arafah, dalam sebuah hadis dinyatakan:

:

Nabi saw. pernah ditanya tentang shaum pada Hari Arafah. Beliau menjawab, Shaum Hari
Arafah menghapus dosa setahun lalu dan dosa setahun yang akan datang. (HR Muslim).
Kedua: Peristiwa penyembelihan hewan kurban, yang dimulai tanggal 10 Dzulhijjah. Pada
hari inilah seluruh jamaah haji di Tanah Suci maupun umat Islam di seluruh dunia, termasuk
kita yang hadir di tempat ini, merayakan Hari Raya Idul Adha.
AlLhu Akbar 3X, WaliLlhilhamd.
Masyiral-Muslimn RahimakumulLh:

Berkaitan dengan ibadah haji setidaknya ada satu hikmah (pelajaran) berharga yang bisa kita
petik. Ibadah hajisebagaimana halnya shalat, shaum dan ibadah-ibadah ritual lainnya
sesungguhnya mengajarkan satu hal: kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah
SWT. Betapa tidak. Seorang Muslim, yang mungkin terbiasa berpakaian mahal di negerinya,
saat berhaji di Tanah Suci, harus rela dan pasrah untuk hanya mengenakan pakaian ihram
yang sederhana dan bahkan tak berjahit. Saat itu ia meninggalkan semua kemewahan duniawi
Ia juga, yang mungkin terbiasa hidup serba nyaman, saat berhaji harus rela dan pasrah untuk
ikut berdesak-desakan dengan jamaah haji lainnya saat melempar jumrah atau sekadar untuk
mencium Hajar Aswad.
Tak peduli rakyat jelata, pengusaha, penguasa, para pejabat ataupun para tokoh terkenal;
semuanya tak pernah memprotes bagian ritual haji manapun yang memang disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya meskipun mungkin terasa memberatkan serta memerlukan
perjuangan dan banyak pengorbanan. Bahkan mereka sangat ingin menyempurnakan
perjuangan dan pengorbanan tersebut dengan segala daya.
Semua ini tentu saja mencerminkan kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total mereka
kepada Allah SWT, yang terkait dengan ibadah haji.
Masyiral-Muslimn Rahimakumullh:
Pertanyaannya: Lalu bagaimana sikap mereka di luar ibadah haji? Sayang seribu kali sayang.
Kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT sering tidak muncul pada
sebagian mereka di luar ibadah haji. Kita, misalnya, masih sering menyaksikan sebagian
kaum Muslim yang tak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah
mengharamkan riba. Bagi sebagian Muslim, muamalah ribawi yang melibatkan perbankan,
asuransi lembaga leasing atau yang serupa bahkan seolah menjadi kebutuhan dan gaya hidup.
Yang lebih parah, Pemerintah adalah pelaku riba terbesar. Bagaimana tidak? Penguasa negeri
ini terus menumpuk utang luar negeri berbasis riba dengan bunga yang sangat tinggi. Bank
Indonesia (BI) meliris bahwa pada Triwulan II tahun ini utang luar negeri Indonesia
mencapai Rp 4.281 triliun (Tempo.co, 23/8/2016).
Tahun ini pula Pemerintah harus membayar cicilan bunga utang sebesar Rp 191,2 triliun.
Adapun tahun depan cicilan bunga yang harus dibayarkan Pemerintah mencapai Rp 221,4
triliun (Detik.com, 18/8/206). Tentu, itu belum termasuk cicilan pokoknya. Padahal jelas, riba
termasuk dosa besar. Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 275, Allah SWT secara tegas
telah mengharamkan riba. Bahkan Allah SWT pun tegas menyatakan:

Hai orang-orang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkan sisa-sia riba
jika kalian benar-benar kaum Mukmin. Jika kalian tidak melakukan itu (meninggalkan riba),
berarti kalian telah memaklumkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya (QS al-Baqarah
[2]: 278-279).
Baginda Rasulullah juga tegas menyatakan:


Satu dirham yang dinikmati seseorang, sementara dia tahu, adalah lebih besar (dosanya)
daripada 36 kali zina (HR ad-Daruquthni, ath-Thabrani dan al-Haitsami).

Zina adalah dosa besar. Pelakunya layak dihukum cambuk 100 kali atau dirajam sampai mati.
Namun, riba ternyata jauh lebih besar dosanya daripada zina. Jika satu dirham (sekitar Rp 60
ribu) harta riba dosanya lebih besar daripada 36 kali zina, tentu tak terbayangkan dosa dari
harta riba sebanyak ratusan bahkan ribuan triliun rupiah.
Kita pun sering menjumpai para penguasa dan para pejabat yang tidak bersikap pasrah,
tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah melarang mereka untuk korupsi. Mereka pun
berkali-kali berbohong, melanggar janji dan menipu rakyatnya sendiri. Bahkan mereka tega
menzalimi bangsanya sendiri, di antaranya dengan pajak yang berlipat-lipat. UU Tax
Amnesty yang baru saja disahkan, misalnya, yang awalnya diniatkan untuk menyasar para
pengusaha besar yang banyak mengemplang pajak, disinyalir menyasar pula rakyat biasa
yang telah terbebani oleh berbagai pungutan pajak yang amat memberatkan mereka. Padahal
Baginda Rasulullah saw. telah bersabda:


Tidaklah seseorang diangkat untuk mengurus rakyat, lalu mati, sementara ia menipu
(menzalimi) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari).
Masyiral-Muslimn RahimakumulLh:
Pendek kata, berbeda dengan saat menyaksikan ibadah haji, kita justru sering dihadapkan
pada kenyataan yang bertolak belakang. Betapa banyak kaum Muslim yang enggan pasrah,
tunduk dan taat kepada Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Betapa penguasa
dan para elit wakil rakyat pun hingga saat ini tetap menolak untuk menerapkan syariah Islam
secara formal dalam kehidupan bernegara. Padahal Allah SWT telah berfirman:

Hai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total (QS al-Baqarah
[2]: 208).
Di dalam tasfirnya, Aysar at-Tafsr, Imam al-Jazairi menyatakan bahwa kata kaffat[an]
dalam ayat di atas bermakna jmi[an]. Karena itu, kata Imam al-Jazairi, tidak boleh sedikit
pun kaum Muslim meninggalkan syariah dan hukum-hukum Islam.
Masyiral-Muslimn RahimakumulLh:
Yang tak kalah mengherankan, banyak di antara umat Islam, khususnya para penguasanya,
yang bahkan dengan berani dan lancang menuduh penerapan syariah Islam di negeri ini
sebagai hal yang buruk dan berbahaya. Padahal jelas, Allah SWT mengutus Baginda
Rasulullah saw. ke tangah-tengah umat manusia dengan membawa risalah (syariah)-Nya
tidak lain demi mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya [21]: 107).
Tak kalah lancangnya, penguasa negeri ini tetap mempertahankan sistem demokrasi kufur
dan tetap membuat aturan sendiri yang bersumber dari ideologi sekular yang berasal hawa
nafsu mereka. Padahal Allah SWT tegas menyatakan:

Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya
daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Yang lebih mengherankan, ada di antara mereka berani menghalalkan sesuatu yang nyatanyata telah Allah SWT haramkan. Misalnya, dengan berbagai alasan, mereka tanpa malumalu menghalalkan kepemimpinan orang-orang kafir atas kaum Mukmin. Padahal tegas
Allah SWT menyatakan:




Hai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin. Sebagian mereka adalah penolong atas sebagian yang lain. Siapa saja di antara
kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, sesungguhnya dia adalah bagian dari
mereka (QS al-Maidah [5]: 51).
Masyiral-Muslimn RahimakumulLh:
Pada saat yang sama ada di antara mereka alah menolak dengan keras kepemimpinan Islam,
yakni Khilafah, dengan berbagai alasan. Di antara mereka mengatakan bahwa Khilafah tidak
wajib ditegakkan. Padahal kewajiban menegakkan Khilafah bukan saja telah menjadi Ijmak
Sahabat, tetapi juga telah menjadi Ijmak ulama. Saat menafsirkan kalimat Inn Jil[un] f
al-ardhi khalfah (QS al-Baqarah [2]: 20), Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, AlJmi li Ahkm al-Qurn, menyatakan, Mengangkat imam (khalifah) adalah wajib. Tak ada
ikhtilaf (perbedaan pendapat) tentang kewajiban mengangkat imam (khalifah) ini di kalangan
umat Islam dan para imam mazhab, kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham.
Imam al-Jaziri, di dalam kitabnya, Al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah, juga menyatakan
hal serupa. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahh Muslim juga menegaskan hal yang sama.
Bahkan menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami di dalam Ash-Shawiq al-Muhriqah (I/25), para
Sahabat telah menjadikan upaya menegakkan Khilafah sebagai ahammi alwjibt (kewajiban paling penting).
Selain menolak kewajiban menegakkan Khilafah, mereka pun berdalih bahwa jika ditegakkan
Khilafah bisa memecah-belah, mengancam negara, dll. Tuduhan tersebut tentu saja tuduhan
palsu tanpa bukti.
Anehnya, mereka buta terhadap sekularisme dengan neoliberalismenya, yang nyata-nyata
telah merusak dan membangkrutkan negeri ini. Mereka pun seolah menutup mata bahaya
neoimperialisme yang dilancarkan negara-negara kafir penjajah, khususnya Amerika, Eropa
dan Cina, melalui instrumen utang luar negeri, investasi asing, pasar bebas, dll. Faktanya,
akibat neoliberalisme dan neoimperalisme, sebagian besar tanah dan air kita telah dikuasai
asing; demikian pula sebagian besar kekayaan negeri ini. Menurut Data Litbang Kompas
2011, hingga tahun 2011 saja, asing telah menguasai: 70% tambang migas; 75% batubara,
bouksit, nikel dan timah; 85% tembaga dan emas; dan 40% perkebunan sawit dari total 8,5
juta hektar. Tak hanya itu, menurut Kompas (25/5/2011) pula, dengan penerapan otonomi
daerah yang cenderung liberal, hingga tahun 2011 saja sudah ada 8.000 izin kuasa
pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kondisi itu makin membuka peluang
asing untuk menguasai langsung sumber daya batubara dan mineral.
Padahal penguasaan swasta apalagi asing atas sumber-sumber keayaan alam milik umat jelas
haram karena bertentangan dengan nash-nash syariah, antara lain sabda Nabi saw.:


:
Umat manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, pedang
gembalaan dan api (HR Ibn Majah).

Dalam hadis lain dinyatakan: Abyadh bin Ahmmal pernah meminta tambang garam kepada
Nabi saw. di daerah Marib. Awalnya Nabi saw. hendak memberikan tambang garam itu
kepada Abyadh. Namun, seseorang berkata, Tambang garam itu seperti air yang mengalir
(berlimpah, red.). Seketika Nabi saw. pun menolak untuk memberikan tambang garam itu
kepada Abyadh (HR al-Baihaqi, ad-Daruquthni dan ad-Darimi).
Allhu Akbar 3X, WaliLlhilhamd.
Masyiral-Muslimn RahimakumulLh:
Sementara itu, terkait dengan ritual penyembelihan hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha
ini, kita selalu diingatkan kisah tentang ketundukan Nabi Ibrahim as. dan putranya, Nabi
Ismail as., dalam menjalankan perintah Allah SWT. Keduanya dengan ikhlas menunaikan
perintah Allah SWT meski harus mengorbankan sesuatu yang paling mereka cintai. Ibrahim
rela kehilangan putranya. Ismail tak keberatan kehilangan nyawanya. Tentu kepasrahan,
ketundukan, ketaatan dan pengorbanan mereka seharusnya menjadi teladan bagi kita.
Sebagaimana Nabi Ibrahim as., kita pun menerima berbagai kewajiban yang harus
dikerjakan. Di antara kewajiban itu adalah menerapkan syariah Allah SWT dalam seluruh
aspek kehidupan kita; dalam ibadah ritual; dalam hal makanan, pakaian dan akhlak; dalam
muamalah yang meliputi sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, strategi
pendidikan dan politik luar negeri; juga dalam uqubat yang memberikan ketentuan mengenai
ragam sanksi hukum atas setiap pelaku kriminal.
Keseluruhan syariah itu wajib kita terapkan. Tak boleh ada yang diabaikan, ditelantarkan,
apalagi didustakan. Tindakan mengimani sebagian syariah dan mengingkari sebagian lainnya
hanya akan mengantarkan kita pada kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat (QS alBaqarah [2]: 85).
Berdasarkan fakta itu, jelas keberadaan negara yang menjalankan syariah Allah SWT menjadi
wajib. Sebab, tanpa adanya negara, yakni Khilafah, niscaya sebagian besar syariah akan tetap
terlantar sebagaimana saat ini. Dalam kaidah ushul fikih dinyatakan:

Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu
juga wajib adanya.
Allhu Akbar 3X, WaliLlhilhamd
Masyiral-Muslimn RahimakumulLh:
Alhasil, jika hikmah (pelajaran) dari haji dan kurban adalah kepasrahan, ketundukan dan
ketaatan total kepada Allah SWT, maka semua itu harus juga diwujudkan di dalam kehidupan
nyata di luar haji dan kurban.
Untuk itu, mari kita buktikan kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kita kepada Allah
SWT itu dengan sama-sama berjuang menerapkan syariah-Nya secara kaffh dalam institusi
Khilafah ar-Rasyidah ala Minhj an-Nubuwwah.
Terakhir, marilah kita sama-sama berdoa dengan penuh kerendahan hati kepada Allah SWT,
agar umat ini senantiasa diliputi dengan rahmat dan keberkahan-Nya dalam seluruh aspek

kehidupan mereka melalui tegaknya syariah dan Khilafah ar-Rasyidah ala Minhj anNubuwwah.
:


.

.
.
Ya Allah, ya Tuhan kami, maafkanlah dosa-dosa kami; karena dalam shalat-shalat kami
Engkau kami besarkan dan kami agungkan, namun di luar itu Engkau acapkali kami
kecilkan dan kami kerdilkan.
Ya Allah, ya Tuhan kami, maafkanlah kesalahan-kesalahan kami; karena di dalam ibadah
haji kami merendahkan diri, namun di luar itu kami menyombongkan diri sendiri.
Ya Allah, ya tuhan kami, maafkanlah kami. Setiap saat Engkau kami sucikan dan kami
istimewakan dalam ritual ibadah-ibadah kami. Namun, di luar itu Engkau kami kotori dan
kami cemari dengan dosa-dosa kami di dalam banyak aspek kehidupan kami.
;Ya Allah, ya Tuhan kami, maafkanlah kami. Syariah-Mu telah lama kami tanggalkan
perintah-larangan-Mu sudah lama kami tinggalkan; Kitab Suci-Mu telah lama kami
campakkan; sunnah-sunnah Nabi-Mu pun telah lama kami lemparkan.
Karena itu, ya Allah, ya Tuhan kami, maafkan kami atas kebodohan, keangkuhan dan segala
kemunafikan kami yang sesungguhnya tak termaafkan.
Namun, hanya karena satu keyakinan, maaf-Mu tak terperikan, ampunan-Mu tak
tergambarkan dan kasih-sayang-Mu tak terukurkan; kami bersimpuh di hadapan kebesaranMu dan bersujud di haribaan ketinggian-Mu seraya berharap gugurnya dosa-dosa kami dan
hapusnya kesalahan-kesalahan kami.
.
. .


.
.
.
.

.

. .
o0o

You might also like