You are on page 1of 7

BAB III

PEMBAHASAN
Pasien dibawa ke RS dengan keluhan badan kecil. Sejak 4 bulan SMRS badan
pasien tampak kecil dan mengurus disertai perut yang tampak membesar. Sejak 7
bulan SMRS pasien mengalami BAB encer dengan disertai batuk tidak berdahak.
Sejak 3 bulan SMRS, pasien mengalami muntah disertai dengan demam yang bersifat
hilang timbul. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit keriput, bercak putih pada
lidah, distensi abdomen, hepatosplenomegali serta pembesaran limfonodi regional
pada area preaurikular, servikal, aksilar dan inguinal. Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan beberapa kesan patologis. Pada pemeriksaan hematologi rutin didapatkan
kesan anemia, leukositosis, dan trombositosis. Pada pemeriksaan urin rutin
didapatkan kesan hematuria mikroskopik dan proteinuria. Pada pemeriksaan
gambaran darah tepi didapatkam kesan anemia defisiensi besi dengan relatif
eosinofilia.
Diagnosis infeksi HIV pada pasien ini ditegakkan secara klinis dan
laboratoris. Secara klinis, manifestasi klinis yang ditemukan pada pasien yang
menunjukkan kemungkinan infeksi HIV adalah sebagai berikut: 1) terjadinya infeksi
berulang (diare persiten dan batuk kronik), 2) terdapat oral thrush, 3) terdapat
limfadenopati generalisata (pada pasien ditemukan pemebesaran limfonodi regional
di 3 daerah ekstra inguinal yakni di area preaurikular, servikal dan aksilar), 4)
hepatomegali, 5) demam yang berulang. Secara laboratoris, diagnosis ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan antibodi HIV positif. Akan tetapi diagnosis ini tidak
bersifat definitif sebab antibodi maternal terhadap HIV (pada ibu dengan infeksi HIV)
yang didapat secara pasif mungkin masih ada pada darah anak sampai usia 18 bulan.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis HIV stadium III berdasarkan kriteria stadium
klinis WHO tahun 2006 yang telah diadaptasi. Dari 11 kriteria stadium 3 dalam
kriteria klinis tersebut, terdapat 5 kriteria yang ditemukan pada pasien yakni: 1) gizi
kurang yang tak dapat dijelaskan, 2) diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (> 14

hari), 3) demam persisten yang tidak dapat dijelaskan, 4) kandidiasis oral, 5)


tuberkulosis paru.
Cara penularan HIV yang paling mungkin pada pasien ini adalah secara
vertikal yakni adalah ibu kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum
dan sesudah kehamilan Transmisi ini dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin),
intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia
yang mengandung HIV selama proses kelahiran, dan postpartum melalui ASI.
Terjadinya kandidiasis oral , diare persisten dan tuberkulosis paru pada pasien ini
disebabkan oleh defisiensi imun yang diakibatkan oleh infeksi HIV.
Diagnosis diare persisten pada pasien ditegakkan secara klinis. Berdasarkan
hasil anamnesis, ditemukan bahwa pasien mengalami BAB encer sejak lahir ( > 14
hari) dan > 3 x hari. Sedangkan diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan
sistem skoring. Berdasarkan sistem skoring, gejala yang ditemukan pada pasien
antara lain:
1) kontak dengan pasien TB : tidak jelas (skor 0)
2) Uji tuberkulin (tidak dilakukan)
3) Keadaan gizi: gizi buruk (skor 2)
4) Demam: demam hilang timbul > 2 minggu (skor 1)
5) Batuk: > 3 minggu (skor 1)
6) Pembesaran kelenjar limfa: jumlah > 1 (skor 1)
7) Pembengkakan tulang: tidak ditemukan (skor 0)
8) Foto dada: infiltrat pada lobus kiri atas/sugestif TB (skor 1)
Berdasarkan perhitungan skor di atas, didapat skor pada pasien ini adalah 6.
Apabila diperoleh nilai skor 6, maka diagnosis TB dapat ditegakkan secara klinis.
Diagnosis gizi buruk pada pasien ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala
klinis serta penilaian status gizi secara antropometris. Pada pasien ini, hasil
perhitungan BB/TB pada pasien ini adalah < - 3SD. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa status gizi pasien adalah gizi buruk. Secara klinis, jenis gizi
buruk yang diderita oleh pasien adalah kwasiorkor. Manifestasi klinis pada pasien
yang mendukung diagnosis kwasiorkor adalah: 1) anak tampak sangat kurus
(visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak di bawah kulit, 2)

wajah seperti orang tua, 3) otot paha mengendor (baggy pant), 4) tanda edema (-).
Tidak ditemukannya tanda edema pada pasien menyingkirkan kemungkinan
diagnosis marasmus pada pasien. Kwasiorkor merupakan salah satu jenis dari
malnutrisi energi-protein berat yang disebabkan oleh asupan karbohidrat yang
kurang (berbeda dari marasmus yang terutama disebabkan oleh asupan protein yang
kurang).

Manifestasi klinis wajah seperti orang tua

Manifestasi klinis bagging pants

Manifestasi klinis wasting

Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini meliputi pemberian resomal (hari
I), cairan RL (8 tpm pada hari ke-2 sampai hari ke-9; 12 tpm pada hari ke-16 sampai
hari ke-18). Resomal diberikan dengan dosis 5 cc/kgbb/jam (pada pasien 20 cc/jam)
diberikan selama 12 jam secara bergantian dengan F75. Resomal merupakan cairan
rehidrasi yang terdiri atas: oralit WHO, gula pasir, larutan mineral mix, dan air.
Larutan oralit WHO tidak bisa langsung diberikan pada penderita gizi buruk sebab
mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium yang rendah; oleh sebab itu cairan
yang lebih tepat adalah Resomal.
Terapi nutrisi yang diberikan pada pasien ini meliputi pemberian F-75 (sejak
hari ke-1 sampai ke-3: 40 cc/2 jam; hari ke -4 sampai hari ke-6 60 cc/3 jam) pada fase
stabilisasi dan F-100 (75 cc/3 jam sejak hari ke 7) pada fase transisi. Kandungan
kalori pada F-75 adalah 75 kkal/100 ml sedangkan F-100 adalah 100 kkal/100 ml.
Pada fase stabilisasi, kebutuhan energi dan cairan pada anak adalah 80 100
kkal/kgbb/hari dan 130 ml/kgbb/hari sedangkan pada fase transisi adalah 100 150
kkal/100 ml dan 150 ml/kgbb/hari. Analisis kebutuhan kalori pada pasien ini adalah
sebagai berikut:
BB pasien = 4 kg
Fase stabilisasi
o Kebutuhan kalori = 360 400 kkal/hari
o Asupan kalori
Dari F-75 : 4,8 x 75 = 360 kalori
Dari ASI
Fase transisi
o Kebutuhan kalori = 400 600 kkal/hari
o Asupan kalori
Dari F-100 = 6 x 100 kkal = 600 kkal/hari
Dari ASI
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa asupan kalori
yang diberikan pada pasien telah mencukupi kebutuhan pasien baik pada fase
stabilisasi maupun transisi.

Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien meliputi antibiotik (oral


[kotrimoksazol]

; intravena [ampisilin,

gentamisin, sefotaksim]), mukolitik

(ambroxol), antipiretik (paracetamol), zink, antifungal (nistatin), vitamin A dan asam


folat, gentian violet, dan obat anti tuberkulosis (rifampisin, isoniazid dan
pirazinamid). Pemberian antibiotik kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi
dan anak dengan infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh
pneumonia berat. Pemberian paracetamol dan ambroxol ditujukan sebagai terapi
simtomatik demam dan batuk yang dialami oleh pasien. Nistatin diberikan sebagai
terapi kandidiasis yang diderita pasien. Asam folat dan vitamin A diberikan karena
pada pasien anak dengan gizi buruk cenderung mengalami defisiensi vitamin dan
mineral. Asam folat diberikan dengan dosis 5 mg pada hari pertama dan selanjutnya 1
mg/hari. Sedangkan vitamin A diberikan secara oral pada hari pertama. Jika melihat
profil hasil pemeriksaan hematologi pasien, terdapat kesan anemia defisiensi besi.
Akan tetapi pada pasien ini tidak diberikan preparat besi. Pada anak gizi buruk yang
disertai anemia, zat besi biasanya tidak diberikan pada fase awal, tetapi ditunggu
sampai anak mempunyai makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya
(biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat
memperparah infeksi.
Pada hari rawat ke-12, pasien kemudian diberi obat antituberkulosis yakni
rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu
tahap awal/intensif (2 bulan) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar
pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan
pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan). Pada
pasien ini, setelah pengobatan TB intensif baru direncanakan untuk diberikan obat
anti retroviral (ARV). Hal ini untuk menghindari interaksi dengan rifampisin dan juga
kemungkinan ketidakpatuhan mengingat jumlah obat yang harus diminum banyak.
WHO merekomendasikan bahwa rejimen lini pertama ARV yang diberikan adalah 2
obat golongan nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors (NRTI) ditambah
1 obat golongan non-nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors (NNRTI).

BAB IV
KESIMPULAN

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis infeksi HIV stadium III, diare persisten,
kandiasis oral, tuberkulosis paru dan gizi buruk secara klinis dan laboratoris. Terapi
yang diberikan meliputi terapi nutrisi dan medikamentosa. Terapi nutrisi yang
diberikan meliputi pemberian F-75 dan F-100. Sedangkan terapi medikamentosa
yang diberikan meliputi antibiotik (oral [kotrimoksazol] ; intravena [ampisilin,
gentamisin, sefotaksim]), mukolitik (ambroxol), antipiretik (paracetamol), zink,
antifungal (nistatin), vitamin A dan asam folat, gentian violet, dan obat anti
tuberkulosis (rifampisin, isoniazid dan pirazinamid). Prognosis ad vitam, functionam
dan sanactionam pada pasien ini adalah dubia ad malam, dubia ad malam dan malam.

You might also like