You are on page 1of 6

Aturan Gratifikasi Dokter Swasta,

Ini Pandangan IDI


Cegah gratifikasi dokter, IDI berencana terbitkan standar operasional
prosedur.
ADY
Dibaca: 3594 Tanggapan: 0

Ilham Oetama Marsis. Foto: idikotim.org

BERITA TERKAIT
Ada Celah Dokter Terlibat dalam Praktik Jual-Beli Organ
Sistem Antigratifikasi OJK Diklaim Lebih Ketat Dari KPK
Menyikapi isu gratifikasi di bidang kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
berencana menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk mencegah
terjadinya gratifikasi khususnya terhadap dokter swasta. IDI juga sudah membahas
masalah
ini
dengan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Ilham Oetama Marsis, mengatakan ada beberapa
kesepakatan dalam rangka mencegah profesi kedokteran dari tindakan pelanggaran
hukum. Khususnya terkait gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Ilham membenarkan selama ini dokter kerap
menerimasponsorship dari perusahaan farmasi. Ia memastikan kode etik kedokteran
Indonesia
telah
mengatur
dan
memberi
batasan
yang
ketat.
Namun, dikatakan Ilham, ada yang menilai sponsorship sebagai bentuk gratifikasi.
Itu sebabnya KPK juga ikut menaruh perhatian. Guna mencegah gratifikasi dari
perusahaan farmasi, dokter tak boleh langsung berhubungan dengan perusahaan
farmasi. Semua tawaran sponsorship dan undangan kegiatan ilmiah kepada dokter
tidak diberikan langsung oleh perusahaan kepada dokter, tapi melalui lembaga.
Misalnya, untuk dokter berstatus PNS tawaran itu harus disampaikan ke institusinya

dan

bagi

dokter

swasta

lewat

organisasi

profesi.

Menurut Ilham kesepakatan itu perlu dituangkan dalam bentuk regulasi teknis. Untuk
dokter berstatus PNS, pencegahan gratifikasi sudah diatur dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan seperti UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No. 5 Tahun
2014 tentang
Aparatur
Sipil
Negara
(ASN).
Namun, payung hukum itu belum mengatur pencegahan gratifikasi terhadap dokter
swasta. Pemerintah perlu menerbitkan peraturan sebagai cantolan hukum baik
berbentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Kalau pemerintah sudah
membuat cantolan hukumnya nanti kami akan mengatur lebih teknis. Misalnya, IDI
menerbitkan SOP agar dokter tidak bisa menerima langsung sponsorship tapi harus
melalui lembaga atau organisasi profesi, kata Ilham dalam jumpa pers di kantor PB
IDI
di
Jakarta,
Kamis
(11/2).
Secara umum, Ilham menegaskan IDI mendukung upaya pemberantasan korupsi
terutama di bidang kesehatan. Menurutnya, IDI harus membuat kajian mendalam
dalam membuat SOP tersebut sehingga regulasi itu dapat terimplementasi dengan
baik
di
lapangan.
Wakil Sekretaris 1 PB IDI, Kemas Abdurrohim, mengatakan pengaturan mengenai
sponsorship itu diharapkan dapat mencegah potensi gratifikasi terhadap dokter.
Pencegahan gratifikasi itu bisa didorong lebih baik lagi jika program Jaminan
Kesehatan Nasional yang digelar BPJS Kesehatan berhasil mencapai universal
health
coverage(UHC)
pada
2019
sebagaimana roadmap DJSN.
Jika UHC bisa dicapai maka hampir 100 persen penduduk Indonesia sudah tercakup
dalam program JKN. Dengan sistem asuransi sosial itu diharapkan dapat
meminimalisir praktik fee for service yang masih banyak digunakan saat ini di bidang
pelayanan kesehatan. Kalau UHC bisa tercapai maka ini (celah untuk terjadinya
gratifikasi
dokter,-red)
bisa
ditekan,
tukasnya.
Ketua Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi kelembagaan PB IDI, Mahesa
Paranadipa, berpendapat dalam hukum, gratifikasi hanya menyasar PNS dan
penyelenggara negara. Praktik sponsorship dalam profesi dokter sudah lazim
dilakukan khususnya dokter swasta. Kode Etik Kedokteran Indonesia yang telah
direvisi terakhir tahun 2012 juga sudah mengatur batas-batas sponsorship yang
dibolehkan. Seperti untuk biaya akomodasi, transportasi dan registrasi.
Namun, sebagai bentuk komitmen IDI dalam upaya pemberantasan korupsi, Mahesa

mengatakan pencegahan gratifikasi terhadap dokter swasta juga layak dilakukan. Ia


mengakui bukan tugas mudah bagi IDI untuk membuat SOP dalam rangka
mencegah gratifikasi dokter swasta. PR besar kami yakni membuat ramburambunya untuk mencegah agar perusahaan (yang memberikan sponsorship,-red)
tidak
melakukan
Kontak
langsung
dengan
dokter,
pungkasnya.
Pandangan
MKI
Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) ikut memberikan pandangan mengenai
masalah ini. Dalam pernyataan resminya MKI menilai kenaikan harga obat tak
berhubungan dengan sponsorship perusahaan farmasi kepada dokter.
Tidak adil dan tidak proporsional jika sponsorship dokter dianggap menjadi sebab
mahalnya harga obat, karena mesti diperiksa secara makro tata niaga obat dan audit
hukum kebijakan pemerintah, kata Ketua MKI, Muhammad Joni, di Jakarta (12/2).
Menurut Joni, berdasarkan audit ada tiga faktor strategis yang mesti dibenahi
pemerintah. Pertama, kebijakan hulu yang menambah pasokan dan penyaluran obat
generik, sehingga pasar tidak tergantung pada sediaan obat bermerek saja yang
mengakibatkan harga obat mahal. Persediaan obat generik masih kecil, hanya
untuk 12,8 bulan padahal semestinya 18 bulan, apalagi untuk daerah terpencil di
Indonesia
Timur.
Kedua, sebagai barang kebutuhan strategis dan terkait hak konstitusional atas
pelayanan kesehatan, pemerintah mesti mengubah orientasi industri farmasi milik
pemerintah untuk kepentingan publik bukan komersial. Tersebab itu, industri farmasi
nasional milik badan usaha milik negara (BUMN) jangan berorientasi profit untuk
kebutuhan publik di dalam negeri, sehingga berkontribusi bagi kemahalan
obat yang membebani masyararakat dan pemerintah dengan skim Jaminan
Kesehatan
Nasional
(JKN).
Ketiga, memberi insentif kepada industri farmasi domestik terutama BUMN dan
mengeliminasi monopoli obat bermerek dengan dalih hak milik intelektual (property
rights), karena kebutuhan obat bukan hanya untuk skim komersial namun juga
pelayanan publik guna melaksanakan kewajiban konstitusional Pemerintah atas
pelayanan
kesehatan
Pasal
28H
ayat
(1)
UUD
1945.
Momentum legalisasi sponsorship dokter, kata Joni. mestinya dijadikan pemerintah
sebagai pintu masuk membenahi total tata niaga dan kebijakan obat dan alat
kesehatan. MKI mendesak pembenahan regulasi, termasuk mewajibkan apoteker

mengganti obat bermerek menjadi obat generik, sehingga perlu audit dan revisi PP
No. 51 Tahun 2009 yang memanjakan industri farmasi.

KPK Telusuri Gratifikasi Perusahaan Farmasi ke


Dokter Rp800 M
Suwarjono
Jum'at, 16 September 2016 | 19:41 WIB

image:
http://media.suara.com/thumbnail/api/images/2016/03/10/o_1adg7r8jqer
mh711ki01djn174kf.jpg

Agus Raharjo

Laporan PPATK ada dugaan kuat gratifikasi kepada dokter-dokter dalam jumlah fantastis.
image: http://assets.suara.com/frontend/images/icon-facebook.jpg

image: http://assets.suara.com/frontend/images/icon-twitter.jpg

image: http://assets.suara.com/frontend/images/icon-google.jpg

Suara.com - KPK masih menelusuri laporan Pusat Pelaporan dan


Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait gratifikasi sebesar Rp800

miliar yang diduga diberikan oleh perusahaan farmasi kepada dokterdokter selama 3 tahun.
"Mengenai laporan PPATK tentang perusahaan farmasi yang disebut
memberikan gratifikasi, banyak laporan dari PPATK yang disampaikan ke
KPK jadi masih harus dianalisa dan ditelusuri, tidak bisa langsung diusut
masih butuh waktu apakah kasus itu terkait korupsi," kata pelaksana
tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di gedung KPK Jakarta,
Jumat.
Yuyuk menyampaikan hal tersebut, menyusul pernyataan ketua KPK
Agus Rahardjo yang menyatakan menerima laporan PPATK mengenai
dugaan pemberian gratifikasi kepada dokter dalam jumlah yang
fantastis.
"Beberapa hari lalu, saya dilapori PPATK, salah satu di bidang farmasi
yang tidak terlalu besar, selama 3 tahun mentransfer uang ke dokter
Rp800 miliar. Masih ada pabrik farmasi yang lain. Ini harus
diperkenalkan hal-hal baru yang mengubah kebiasaan itu. Ini
membutuhkan komitmen banyak pihak. Pengenalan sistem baru tadi
akan menjadi salah satu kegiatan KPK," kata Agus pada Kamis (16/9).
Menurut Yuyuk, KPK juga sudah melakukan program pencegahan di
bidang kesehatan.
"KPK dalam hal ini selain penindakan juga melakukan pencegahan
dengan bekerja sama dengan Kemenkes. Nanti akan muncul peraturan
yang mengatur 'sponsorship' mengenai dokter-dokter itu. Sementara ini
'sponsorship' itu boleh untuk menambah kompentensi tenaga kesehatan
sedangkan kalau penindakan ditemukan tindak pidana korupsi terkait
industri bidang apapun maka KPK akan menindaklanjuti dan
menelusuri," tambah Yuyuk.
Saat ini menurut Yuyuk, sedang dilakukan pembenahan sistem sebagai
kerja sama antara KPK dan Kementerian Kesehatan.
"Momentum (pencegahan) itu bisa diciptakan, tapi yang paling penting
apakah ada alat bukti yang ditemukan KPK untuk menetapkan

tersangka," ungkap Yuyuk.


Namun, KPK menduga perusahaan farmasi yang memberikan gratifikasi
itu tidak hanya satu perusahan. "Perusahaan tidak cuma satu, tapi ini
masih dianalisa oleh KPK. Kami sedang melakukan tindakan ,tapi tidak
bisa merinci siapa saja." tutur Yuyuk.
Namun, Yuyuk menegaskan bahwa KPK hanya berwenang untuk dokterdokter yang merupakan pegawai negeri.
"KPK berwenang untuk dokter yang merupakan pegawai negeri, bukan
yang swasta, kalau terkait promosi peningkatan kompetensi seperti
seminar tidak bisa dikategorikan sebagai gratifikasi," imbuh Yuyuk.
(Antara)
Read more at http://www.suara.com/news/2016/09/16/194158/kpk-telusuri-gratifikasi-perusahaanfarmasi-ke-dokter-rp800-m#x1AYFuBg2bflbBgy.99

You might also like