Professional Documents
Culture Documents
BERITA TERKAIT
Ada Celah Dokter Terlibat dalam Praktik Jual-Beli Organ
Sistem Antigratifikasi OJK Diklaim Lebih Ketat Dari KPK
Menyikapi isu gratifikasi di bidang kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
berencana menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk mencegah
terjadinya gratifikasi khususnya terhadap dokter swasta. IDI juga sudah membahas
masalah
ini
dengan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Ilham Oetama Marsis, mengatakan ada beberapa
kesepakatan dalam rangka mencegah profesi kedokteran dari tindakan pelanggaran
hukum. Khususnya terkait gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Ilham membenarkan selama ini dokter kerap
menerimasponsorship dari perusahaan farmasi. Ia memastikan kode etik kedokteran
Indonesia
telah
mengatur
dan
memberi
batasan
yang
ketat.
Namun, dikatakan Ilham, ada yang menilai sponsorship sebagai bentuk gratifikasi.
Itu sebabnya KPK juga ikut menaruh perhatian. Guna mencegah gratifikasi dari
perusahaan farmasi, dokter tak boleh langsung berhubungan dengan perusahaan
farmasi. Semua tawaran sponsorship dan undangan kegiatan ilmiah kepada dokter
tidak diberikan langsung oleh perusahaan kepada dokter, tapi melalui lembaga.
Misalnya, untuk dokter berstatus PNS tawaran itu harus disampaikan ke institusinya
dan
bagi
dokter
swasta
lewat
organisasi
profesi.
Menurut Ilham kesepakatan itu perlu dituangkan dalam bentuk regulasi teknis. Untuk
dokter berstatus PNS, pencegahan gratifikasi sudah diatur dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan seperti UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No. 5 Tahun
2014 tentang
Aparatur
Sipil
Negara
(ASN).
Namun, payung hukum itu belum mengatur pencegahan gratifikasi terhadap dokter
swasta. Pemerintah perlu menerbitkan peraturan sebagai cantolan hukum baik
berbentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Kalau pemerintah sudah
membuat cantolan hukumnya nanti kami akan mengatur lebih teknis. Misalnya, IDI
menerbitkan SOP agar dokter tidak bisa menerima langsung sponsorship tapi harus
melalui lembaga atau organisasi profesi, kata Ilham dalam jumpa pers di kantor PB
IDI
di
Jakarta,
Kamis
(11/2).
Secara umum, Ilham menegaskan IDI mendukung upaya pemberantasan korupsi
terutama di bidang kesehatan. Menurutnya, IDI harus membuat kajian mendalam
dalam membuat SOP tersebut sehingga regulasi itu dapat terimplementasi dengan
baik
di
lapangan.
Wakil Sekretaris 1 PB IDI, Kemas Abdurrohim, mengatakan pengaturan mengenai
sponsorship itu diharapkan dapat mencegah potensi gratifikasi terhadap dokter.
Pencegahan gratifikasi itu bisa didorong lebih baik lagi jika program Jaminan
Kesehatan Nasional yang digelar BPJS Kesehatan berhasil mencapai universal
health
coverage(UHC)
pada
2019
sebagaimana roadmap DJSN.
Jika UHC bisa dicapai maka hampir 100 persen penduduk Indonesia sudah tercakup
dalam program JKN. Dengan sistem asuransi sosial itu diharapkan dapat
meminimalisir praktik fee for service yang masih banyak digunakan saat ini di bidang
pelayanan kesehatan. Kalau UHC bisa tercapai maka ini (celah untuk terjadinya
gratifikasi
dokter,-red)
bisa
ditekan,
tukasnya.
Ketua Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi kelembagaan PB IDI, Mahesa
Paranadipa, berpendapat dalam hukum, gratifikasi hanya menyasar PNS dan
penyelenggara negara. Praktik sponsorship dalam profesi dokter sudah lazim
dilakukan khususnya dokter swasta. Kode Etik Kedokteran Indonesia yang telah
direvisi terakhir tahun 2012 juga sudah mengatur batas-batas sponsorship yang
dibolehkan. Seperti untuk biaya akomodasi, transportasi dan registrasi.
Namun, sebagai bentuk komitmen IDI dalam upaya pemberantasan korupsi, Mahesa
mengganti obat bermerek menjadi obat generik, sehingga perlu audit dan revisi PP
No. 51 Tahun 2009 yang memanjakan industri farmasi.
image:
http://media.suara.com/thumbnail/api/images/2016/03/10/o_1adg7r8jqer
mh711ki01djn174kf.jpg
Agus Raharjo
Laporan PPATK ada dugaan kuat gratifikasi kepada dokter-dokter dalam jumlah fantastis.
image: http://assets.suara.com/frontend/images/icon-facebook.jpg
image: http://assets.suara.com/frontend/images/icon-twitter.jpg
image: http://assets.suara.com/frontend/images/icon-google.jpg
miliar yang diduga diberikan oleh perusahaan farmasi kepada dokterdokter selama 3 tahun.
"Mengenai laporan PPATK tentang perusahaan farmasi yang disebut
memberikan gratifikasi, banyak laporan dari PPATK yang disampaikan ke
KPK jadi masih harus dianalisa dan ditelusuri, tidak bisa langsung diusut
masih butuh waktu apakah kasus itu terkait korupsi," kata pelaksana
tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di gedung KPK Jakarta,
Jumat.
Yuyuk menyampaikan hal tersebut, menyusul pernyataan ketua KPK
Agus Rahardjo yang menyatakan menerima laporan PPATK mengenai
dugaan pemberian gratifikasi kepada dokter dalam jumlah yang
fantastis.
"Beberapa hari lalu, saya dilapori PPATK, salah satu di bidang farmasi
yang tidak terlalu besar, selama 3 tahun mentransfer uang ke dokter
Rp800 miliar. Masih ada pabrik farmasi yang lain. Ini harus
diperkenalkan hal-hal baru yang mengubah kebiasaan itu. Ini
membutuhkan komitmen banyak pihak. Pengenalan sistem baru tadi
akan menjadi salah satu kegiatan KPK," kata Agus pada Kamis (16/9).
Menurut Yuyuk, KPK juga sudah melakukan program pencegahan di
bidang kesehatan.
"KPK dalam hal ini selain penindakan juga melakukan pencegahan
dengan bekerja sama dengan Kemenkes. Nanti akan muncul peraturan
yang mengatur 'sponsorship' mengenai dokter-dokter itu. Sementara ini
'sponsorship' itu boleh untuk menambah kompentensi tenaga kesehatan
sedangkan kalau penindakan ditemukan tindak pidana korupsi terkait
industri bidang apapun maka KPK akan menindaklanjuti dan
menelusuri," tambah Yuyuk.
Saat ini menurut Yuyuk, sedang dilakukan pembenahan sistem sebagai
kerja sama antara KPK dan Kementerian Kesehatan.
"Momentum (pencegahan) itu bisa diciptakan, tapi yang paling penting
apakah ada alat bukti yang ditemukan KPK untuk menetapkan