You are on page 1of 6

Bank Indonesia sebagai lender of last resort

Bank Indonesia adalah otoritas moneter tertinggi di Indonesia. Bank


Indonesia bertanggung jawab untuk memelihara kestabilan kondisi
moneter nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut bank Indonesia
diberikan beberapa wewenang, salah satunya adalah wewenang BI
sebagai Lender of Last Resort. Bank Indonesia dalam hal ini memiliki
wewenang untuk memberikan pinjaman jangka pendek kepada bank
yang memiliki kesulitan likuiditas. Bank Indonesia dalam menjalankan
wewenangnya

tersebut

diberikan

status

independen,

lepas

dari

pengaruh pihak manapun. Akan tetapi independensi Bank Indonesia


tidak berarti Bank Indonesia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
manakala dalam menjalankan wewenangnya tersebut terdapat indikasi
pelanggaran hukum. Bank Indonesia harus mempertanggungjawabkan
wewenang mereka kepada DPR, BPK, dan masyarakat.
Menurut penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menyatakan Bank Sentral adalah lembaga
negara

yang

pembayaran

mempunyai
yang

sah

wewenang
dari

suatu

untuk

mengeluarkan

alat

negara,

merumuskan

dan

melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran


sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta
menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort
Bank Indonesia bertindak sebagai lender of the lest resort, yaitu
Bank Indonesia berfungsi sebagai pemberi pinjaman kepada bank
dalam keadaan yang memaksa untuk menjaga likuiditas bank tersebut.
Dalam hal ini Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap suatu
bank. Keadaan yang memaksa tersebut dapat berupa: a. Hal-hal yang
membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan; b. Halhal yang membahayakan sistem perbankan; dan c. Terjadi kesulitan
perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort, Bank
Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan kepada bank

yang mengalami kesulitan likuditas jangka pendek yang disebabkan


oleh terjadinya

mismatch dalam pengelolaan dana dengan tetap

memperhatikan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan


ketentuan yang berlaku dalam UU No. 23 tahun 1999.
Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank
sentral

dalam

mengelola

krisis

guna

menghindari

terjadinya

ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup


penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini
hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan
berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada
kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang
mengalami

kesulitan

likuiditas

temporer

namun

masih

memiliki

kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya


sebagai LoLR,

Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral

hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan


yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.
KEBIJAKAN NILAI TUKAR
Nilai tukar mata uang atau yang sering disebut dengan kurs adalah
harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik atau
dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang
asing. Sebagai contoh nilai tukar (NT) Rupiah terhadap Dolar Amerika
(USD) adalah harga satu dolar Amerika (USD) dalam Rupiah (Rp), atau
dapat juga sebaliknya diartikan harga satu Rupiah terhadap satu USD.
Apabila nilai tukar didefinisikan sebagai nilai Rupiah dalam valuta asing
dapat diformulasikan sebagai berikut: NTIDR/USD =Rupiah yang
diperlukan untuk membeli 1 dolar Amerika (USD) NTIDR/YEN = Rupiah
yang diperlukan untuk membeli satu Yen Jepang Dalam hal ini, apabila
NT meningkat maka berarti Rupiah mengalami depresiasi, sedangkan
apabila NT menurun maka Rupiah mengalami apresiasi. Sementara
untuk sesuatu negara menerapkan sistem nilai tukar tetap, perubahan
nilai tukar dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Kebijakan suatu
negara secara resmi menaikkan nilai mata uangnya terhadap mata

uang

asing

disebut

dengan

revaluasi,

sementara

kebijakan

menurunkan nilai mata uang terhadap mata uang asing tersebut


devaluasi

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar


Dalam sistem nilai tukar tetap, mata uang lokal ditetapkan secara
tetap terhadap mata uang asing. Sementara dalam sistem nilai tukar
mengambang, nilai tukar atau Kurs dapat berubah-ubah setiap saat,
tergantung pada jumlah penawaran dan permintaan valuta asing relatif
terhadap mata uang domestik. Setiap perubahan dalam penawaran
dan permintaan dari suatu mata uang akan mempengaruhi nilai tukar
mata uang yang bersangkutan. Dalam hal pemintaan terhadap valuta
asing relatif terhadap mata uang domestik meningkat, maka nilai mata
uang domestik akan menurun. Sebaliknya jika permintaan terhadap
valuta asing menurun, maka nilai mata uang domestik meningkat.
Sementara itu, jika penawaran valuta asing meningkat relatif terhadap
mata uang domestik, maka nilai tukar mata uang domestik meningkat.
Sebaliknya jika penawaran menurun, maka nilai tukar mata uang
domestik menurun

Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, terdapat tiga faktor


utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing
1. faktor pembayaran impor.
Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar
permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan
cenderung melemah. Sebaliknya, jika impor menurun, maka
permintaan

valuta

asing

menurun

sehingga

mendorong

menguatnya nilai tukar.


2. faktor aliran modal keluar (capital outflow).
Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin besar
permintaan

valuta

memperlemah

nilai

asing

dan

tukar.

Aliran

pada

lanjutannya

modal

keluar

akan

meliputi

pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan


pemerintah)

kepada

pihak

asing

dan

penempatan

dana

penduduk Indonesia ke luar negeri.


3. kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta
asing yang dilakukan oleh spekulan maka semakin besar
permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai
tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing

Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor


utama.
1. faktor

penerimaan

hasil

ekspor.

Semakin

besar

volume

penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar


jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada
lanjutannya nilai tukar terhadap mata uang asing cenderung
menguat atau apresiasi. Sebaliknya, jika ekspor menurun, maka
jumlah valuta asing yang dimiliki semakin menurun sehingga
nilai tukar juga cenderung mengalami depresiasi.
2. faktor aliran modal masuk (capital inflow). Semakin besar aliran
modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin
menguat.

Aliran

modal

masuk

tersebut

dapat

berupa

penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka


pendek oleh pihak asing (Portfolio investment) dan investasi
langsung pihak asing (foreign direct invetment).

Kebijakan dan Sistem Nilai Tukar di Dunia


Pada umumnya, kebijakan nilai tukar suatu negara diarahkan untuk
mendukung

neraca

pembayaran

dan/atau

membantu

efektivitas

kebijakan moneter. Penetapan nilai tukar yang overvalue dapat


mengakibatkan harga barang-barang ekspor menjadi lebih mahal di
luar negeri dan barang barang impor menjadi lebih murah dan
akhirnya neraca perdagangan menjadi memburuk.

Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter, depresiasi nilai tukar


yang berlebihan dapat mengakibatkan tingginya laju inflasi sehingga
dapat mengganggu tujuan akhir kebijakan moneter untuk memelihara
stabilitas harga. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kebijakan nilai
tukar yang tepat merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan pembangunan suatu negara.
Sejalan dengan tujuan kebijakan nilai tukar, maka dikenal berbagai
jenis sistem nilai tukar yang digunakan oleh suatu negara khususnya
lagi setelah runtuhnya sistem nilai tukar Bretton Woods. Berdasarkan
perkembangan terakhir, terdapat kecenderungan negara-negara dunia
menggunakan sistem nilai tukar mengambang. Namun, masih terdapat
beberapa negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap ataupun
variasi dari sistem nilai tukar mengambang dengan sistem nilai tukar
tetap.
Corden (2002) mengklasifikasikan sistem nilai tukar ke dalam tiga
kelompok, yaitu
1. sistem nilai tukar tetap murni (Absolutely fixed rate regime),
2. sistem nilai tukar mengambang murni (Pure floating regime),
dan
3. sistem nilai tukar tetap tetapi dapat disesuaikan (Fixed But
Adjustable Rate/FBAR) yang merupakan kombinasi sistem nilai
tukar tetap dan mengambang.
Selanjutnya terdapat beberapa jenis sistem nilai tukar yang merupakan
kombinasi dari ketiga sistem nilai tukar tersebut. Di antara sistem nilai
tukar mengambang murni dengan FBAR terdapat currency board
system (CBS). Sementara itu, di antara sistem nilai tukar mengambang
murni dengan FBAR terdapat tiga jenis sistem nilai tukar, yaitu i)
pegged, ii) target zone (band) dan iii) managed floating. Selanjutnya
sistem nilai tukar pegged dapat dibagi atas dua jenis, yaitu flexible and
crawling pegged. Sementara crawling pegged dapat dibagi atas dua
jenis lagi, yaitu active (pre-announced) dan pasive crawling pegged.

http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-136421.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40993/3/Chapter
%20II.pdf

You might also like